Kegagalan Kontruksi

Menelisik Kegagalan Konstruksi Bangunan: Perspektif Teknis dalam Praktik Proyek di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Konstruksi Gagal?

 

Konstruksi yang gagal tak hanya berarti kerugian materi, tetapi juga dapat berdampak pada keselamatan publik. Studi oleh Yustinus Eka Wiyana mengangkat isu mendalam tentang bagaimana faktor teknis menjadi penyumbang besar kegagalan proyek bangunan di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Kegagalan ini tak selalu terjadi akibat bencana alam, tetapi justru berasal dari praktik internal proyek yang keliru atau lalai.

 

Definisi dan Ruang Lingkup Kegagalan

 

Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000, kegagalan konstruksi didefinisikan sebagai ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan spesifikasi teknis yang disepakati dalam kontrak. Hal ini mencakup seluruh tahapan proyek, dari perencanaan hingga pelaksanaan. Sementara kegagalan bangunan mengacu pada kerusakan struktural pasca-konstruksi yang biasanya disebabkan oleh kesalahan desain, pelaksanaan, atau pengawasan.

 

Fakta Lapangan: Dimensi Kegagalan yang Terungkap

 

Penelitian ini memeriksa 34 proyek bangunan gedung pemerintah di Jawa Tengah yang didanai APBN/APBD antara 1996 hingga 2008. Temuan menunjukkan:

 

  • Rata-rata penyimpangan biaya pada elemen struktur mencapai 4,36% dari nilai kontrak.
  • Kegagalan pada atap: 2,53%.
  • Pondasi: 0,15%.
  • Utilitas: 0,12%.
  • Finishing: 0,07%.

 

Angka-angka ini merefleksikan bahwa struktur utama adalah titik paling rentan terhadap kegagalan teknis.

 

Akar Masalah: Bukan Sekadar Material

 

1. Nilai Kontrak yang Terlalu Rendah

 

Kontrak dengan nilai di bawah 70% dari pagu anggaran memaksa kontraktor menekan biaya, yang akhirnya berdampak pada pemilihan material murah dan SDM kurang kompeten. Ini menjadi pemicu dominan penyimpangan pelaksanaan dari RKS dan gambar kerja.

 

2. Pengawasan yang Lemah

 

Studi ini menekankan pentingnya supervisi internal dan eksternal. Jika pengawasan hanya formalitas, maka kualitas akan terkorbankan. Kualitas pengawasan sangat dipengaruhi oleh:

 

  • Kualifikasi SDM (pendidikan, pelatihan, sertifikasi)
  • Kedisiplinan evaluasi lapangan
  • Komunikasi antara pemilik proyek dan pelaksana

 

3. Tenggat Waktu yang Melemahkan Proses

 

Simulasi model menunjukkan bahwa semakin singkat waktu pelaksanaan, maka kemungkinan kegagalan konstruksi meningkat. Di sisi lain, waktu yang lebih panjang tidak selalu menjamin keberhasilan jika tidak dibarengi manajemen yang baik.

 

Simulasi Model: Hubungan Variabel Teknis

 

Dengan menggunakan metode Partial Least Squares (PLS) dan Structural Equation Modeling (SEM), penelitian ini memetakan hubungan antara:

 

  • Waktu vs Biaya: Korelasi positif (semakin pendek waktu, semakin kecil biaya—tapi rawan kegagalan)
  • Waktu vs Kegagalan: Korelasi negatif (semakin cepat proyek, potensi kegagalan meningkat)
  • Jenis Kontrak vs Kegagalan: Kontrak lump sum dan unit price memiliki risiko yang berbeda dalam kontrol mutu.

 

Temuan ini relevan dengan tantangan yang dihadapi pelaksana proyek di Indonesia yang sering berhadapan dengan tenggat ketat dan fleksibilitas kontrak yang terbatas.

 

Studi Kasus: Proyek Pemerintah Bermasalah

 

Beberapa proyek dalam studi ini menjadi objek pemeriksaan kejaksaan karena dugaan penyimpangan teknis. Penyebab umumnya:

 

  • Tidak sesuainya pelaksanaan dengan gambar rencana
  • Material tidak memenuhi standar
  • Pengawas lapangan tidak melakukan evaluasi mingguan
  • Sertifikasi tenaga kerja rendah

 

Kondisi ini makin diperburuk oleh tekanan politik dan kebijakan tender yang tidak mempertimbangkan kelayakan teknis secara menyeluruh.

 

Perspektif Tambahan: Kegagalan sebagai Akumulasi Kesalahan

 

Sejalan dengan pendapat Oyfer (2002), kegagalan konstruksi adalah resultante dari banyak kesalahan kecil yang dibuat oleh berbagai pihak—mulai dari perencana, pelaksana, pengawas, hingga pemilik proyek. Dalam banyak kasus, masalah muncul bukan karena satu faktor tunggal, melainkan akumulasi dari:

 

  • Desain yang tidak matang
  • Perencanaan lemah
  • Kesalahan pelaksanaan
  • Material berkualitas rendah
  • Supervisi yang tidak optimal

 

Dimensi Supervisi: Internal dan Eksternal

 

Model kualitatif yang dikembangkan dalam studi ini menyoroti tiga pilar utama:

 

1. Internal Supervisi — mencakup:

 

Pendidikan, pelatihan, pengalaman tenaga kerja

Sertifikasi profesi dan nilai proyek yang ditangani

 

2. Eksternal Supervisi — meliputi:

 

Cek penyimpangan, inspeksi lapangan, briefing pagi

Evaluasi mingguan dan hasil kerja

 

3. Kualitas — hasil akhir dari koordinasi kedua jenis supervisi, tergantung pada komunikasi, kepercayaan, dan komitmen antar tim proyek.

 

Simulasi model menunjukkan bahwa jika supervisi eksternal lemah, kualitas proyek pasti menurun—terlepas dari kemampuan internal.

 

Rekomendasi Solutif

 

Untuk mencegah kegagalan konstruksi di masa mendatang, beberapa solusi penting meliputi:

 

1. Evaluasi Ulang Nilai Kontrak: Lakukan audit awal agar tidak terjadi tekanan harga yang menyebabkan kontraktor mengorbankan kualitas.

 

2. Wajibkan Sertifikasi SDM: Semua tenaga kerja proyek harus memiliki pelatihan dan sertifikasi sesuai bidangnya.

 

3. Penguatan Peran Supervisi:

 

  • Supervisi internal harus aktif mengevaluasi mingguan
  • Supervisi eksternal independen dilibatkan untuk validasi mutu

 

4. Integrasi Teknologi Monitoring: Gunakan sistem digital untuk mencatat deviasi progres dan kualitas secara real time.

 

5. Transparansi Tender: Sistem lelang proyek pemerintah harus lebih ketat dalam menilai aspek teknis, bukan hanya harga terendah.

 

6. Penerapan Kontrak Berbasis Kinerja (Performance-based Contracts): Agar kontraktor terdorong memberikan kualitas terbaik, bukan sekadar menyelesaikan proyek.

 

Penutup: Membangun Proyek yang Berkelanjutan

 

Kegagalan konstruksi bukan hanya soal teknik, tapi juga soal integritas dan manajemen. Penelitian ini menegaskan bahwa proyek yang berhasil tidak bisa dilepaskan dari sistem kontrak yang adil, SDM yang mumpuni, dan supervisi yang berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam dunia konstruksi Indonesia yang masih banyak tantangan, temuan ini sangat relevan untuk membentuk ekosistem proyek yang berkelanjutan dan aman.

 

Ke depan, pelibatan teknologi, tata kelola proyek yang baik, serta standar kompetensi tenaga kerja harus menjadi fondasi utama dalam pengelolaan proyek konstruksi nasional. Tidak cukup hanya menyalahkan kegagalan teknis, tetapi memperkuat seluruh rantai nilai dalam ekosistem konstruksi.

 

 

Sumber:

Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Teknis. Wahana Teknik Sipil, 17(2), 77–86. https://sipil.polines.ac.id

Selengkapnya
Menelisik Kegagalan Konstruksi Bangunan: Perspektif Teknis dalam Praktik Proyek di Indonesia

Kegagalan Kontruksi

Tanggung Jawab Hukum Penyedia Jasa Konstruksi terhadap Kegagalan Bangunan: Telaah Kritis atas Kasus PT. Haji Muhammad Taher

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 23 Mei 2025


Pendahuluan: Krisis Kepercayaan dalam Dunia Konstruksi

 

Industri konstruksi merupakan fondasi penting dalam pembangunan nasional. Namun, meski vital, sektor ini tak lepas dari persoalan klasik: kegagalan bangunan. Masalah ini bukan hanya berdampak pada kerugian material, tetapi juga memicu pertanyaan serius terkait tanggung jawab hukum. Artikel ilmiah yang disusun oleh Muhammad Rakha Manna Naufal Maulana membahas secara mendalam tanggung jawab penyedia jasa konstruksi terhadap kegagalan bangunan, dengan studi kasus PT. Haji Muhammad Taher di Kalimantan Selatan.

 

Tulisan ini tidak sekadar merangkum isi paper, melainkan juga menyuguhkan interpretasi kritis, pembandingan dengan literatur relevan, serta kaitan dengan praktik industri konstruksi modern.

 

Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Bangunan

 

1. Faktor Internal (Human Error)

 

Paper ini menyoroti bahwa banyak kegagalan konstruksi disebabkan oleh kesalahan manusia. Dalam kasus PT. Haji Muhammad Taher, kerusakan struktur jalan di Jalan Martapura Lama terjadi karena beban berlebih dari truk kontainer. Ini menunjukkan lemahnya kontrol teknis terhadap spesifikasi beban dan kurangnya pengawasan lapangan.

 

Analisis Tambahan:

Faktor human error sering kali terjadi akibat kurangnya pelatihan teknis, ketidakakuratan dalam perencanaan, dan pemangkasan anggaran. Menurut Construction Management Association of America, 60% kegagalan proyek disebabkan oleh kelemahan manajemen internal (CMAA, 2022).

 

2. Faktor Eksternal (Lingkungan dan Alam)

 

Lingkungan yang ekstrem atau bencana alam dapat menyebabkan kerusakan, namun dalam konteks studi ini, kerusakan tidak disebabkan oleh faktor ini.

 

3. Kombinasi Faktor

 

Kombinasi antara human error dan kondisi eksternal kerap memperburuk kegagalan. Contoh: konstruksi yang tidak tahan terhadap hujan ekstrem karena spesifikasi material tidak sesuai iklim setempat.

 

Tanggung Jawab Hukum Penyedia Jasa Konstruksi

 

1. Kewajiban Berdasarkan Kontrak dan Regulasi

 

PT. Haji Muhammad Taher memiliki tanggung jawab hukum berdasarkan kontrak kerja serta regulasi yang berlaku, terutama UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Ketika terjadi kegagalan, penyedia jasa wajib melakukan evaluasi arsitektural, perencanaan, hingga teknik pelaksanaan.

 

2. Implementasi Konsep Bank Garansi

 

Bank garansi menjadi bentuk proteksi hukum atas kegagalan konstruksi. Jika PT. Haji Muhammad Taher wanprestasi, pengguna jasa (pemerintah) dapat mengklaim ganti rugi melalui bank penjamin.

 

Opini Kritis:

Mekanisme bank garansi efektif di atas kertas, namun implementasinya sering lemah karena lemahnya sistem audit proyek. Banyak pihak enggan mengaktifkan klaim karena birokrasi kompleks.

 

3. Rehabilitasi Pasca-Kegagalan

 

PT. Haji Muhammad Taher diwajibkan memperbaiki infrastruktur yang gagal sesuai dengan standar K3L (Keselamatan, Keamanan, Kesehatan, dan Keberlanjutan). Kewajiban ini tidak hanya berdasarkan etika bisnis, tetapi juga tanggung jawab hukum yang bersifat imperatif.

 

Studi Kasus: Jalan Martapura Lama

 

Kasus yang diangkat menunjukkan kegagalan struktural akibat beban berlebih dari truk kontainer yang berhenti lama di jembatan. Menurut warga setempat, kejadian ini menimbulkan kerusakan signifikan pada aspal dan membuat struktur jembatan amblas.

 

Analisis Industri:

Kasus ini mencerminkan lemahnya penerapan manajemen beban dalam konstruksi jalan raya di Indonesia. Menurut data Kementerian PUPR (2021), 40% kerusakan jalan nasional terjadi karena pelanggaran muatan kendaraan.

 

Solusi yang Diberikan:

  • Evaluasi menyeluruh terhadap desain dan perencanaan awal.
  • Penggunaan material yang lebih tahan terhadap beban dinamis.
  • Penguatan sistem inspeksi dan audit proyek.

 

Kritik terhadap Regulasi: Celah dalam Hukum Konstruksi

 

Paper ini menyinggung bahwa sanksi pidana dalam UU Jasa Konstruksi telah dihapus sejak perubahan UU No. 2 Tahun 2017. Ini menjadi celah yang berpotensi melemahkan efek jera.

 

Analisis Tambahan:

Pendekatan sanksi administratif memang lebih fleksibel, namun efektivitasnya masih diragukan. Tanpa pengawasan ketat, perusahaan dapat mengabaikan tanggung jawab teknis tanpa takut konsekuensi serius.

 

Rekomendasi Perbaikan Sistemik

 

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tambahan, berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat memperkuat tanggung jawab penyedia jasa konstruksi:

 

1. Integrasi Sistem Pengawasan Digital

 

Penggunaan teknologi seperti BIM (Building Information Modelling) dan sensor IoT dalam memantau proyek real-time akan sangat membantu deteksi dini terhadap potensi kegagalan.

 

2. Audit Teknis oleh Pihak Independen

 

Wajibkan keterlibatan pihak ketiga untuk melakukan verifikasi di setiap tahapan proyek.

 

3. Penguatan Sertifikasi Profesional

 

Tingkatkan kualitas SDM konstruksi melalui sertifikasi nasional berbasis kompetensi.

 

Dampak Sosial dan Ekonomi

 

Kegagalan bangunan bukan hanya masalah teknis. Ia bisa:

  • Mengancam keselamatan publik.
  • Menyebabkan kerugian negara (anggaran ganda).
  • Menurunkan kepercayaan publik terhadap penyedia jasa.

 

Contoh nyata: Proyek jalan rusak sebelum masa pakai 5 tahun mengharuskan pemerintah mengalokasikan ulang dana APBD/APBN, yang seharusnya bisa dialokasikan ke sektor lain seperti pendidikan atau kesehatan.

 

Kesimpulan

 

Penelitian ini menegaskan pentingnya tanggung jawab penyedia jasa konstruksi dalam menjamin keberhasilan proyek. PT. Haji Muhammad Taher, sebagai studi kasus, telah menunjukkan bentuk konkret tanggung jawab hukum terhadap kegagalan bangunan. Namun demikian, sistem konstruksi nasional perlu pembenahan menyeluruh: mulai dari regulasi yang lebih kuat, pengawasan independen, hingga peningkatan kapabilitas sumber daya manusia.

 

 

Sumber:

 

Maulana, Muhammad Rakha Manna Naufal. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Konstruksi terhadap Kegagalan Bangunan (Studi di PT. Haji Muhammad Taher). Jurnal Education and Development Vol. 8 No.1, Februari 2020. [Institut Pendidikan Tapanuli Selatan].

[E.ISSN: 2614-6061 | P.ISSN: 2527-4295]

Selengkapnya
Tanggung Jawab Hukum Penyedia Jasa Konstruksi terhadap Kegagalan Bangunan: Telaah Kritis atas Kasus PT. Haji Muhammad Taher

Kegagalan Kontruksi

Belajar dari Kegagalan: Mengupas Basis Data Kegagalan Struktural untuk Meningkatkan Konstruksi Masa Depan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 22 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Belajar dari Kegagalan Itu Penting?

 

Dalam dunia teknik sipil, kegagalan struktur seringkali menjadi pelajaran paling mahal—tidak hanya dalam bentuk kerugian materi, tetapi juga hilangnya nyawa dan kepercayaan publik. Namun, justru dari kegagalan inilah lahir pemahaman baru yang dapat mencegah bencana serupa di masa depan. Peter Yvon Epp, melalui tesis magisternya di University of British Columbia (2022), menyajikan pendekatan sistematis dalam memetakan dan menganalisis kegagalan struktur melalui pembuatan basis data yang komprehensif.

 

Metodologi: Membuat Peta Kegagalan Konstruksi

 

Tesis ini membangun sebuah database yang mencakup 275 kegagalan struktur, termasuk jembatan, bangunan, dan menara telekomunikasi, dari tahun 1980 hingga 2019. Data dikumpulkan dari artikel berita, laporan teknis, dan publikasi akademik. Uniknya, Epp hanya memasukkan kegagalan tak terduga—misalnya, tidak termasuk bencana akibat gempa atau terorisme—untuk fokus pada kesalahan desain, pelaksanaan, dan pemeliharaan.

 

Basis data diklasifikasikan menggunakan sistem pelabelan yang mencakup:

  • Jenis struktur
  • Penyebab kegagalan
  • Material konstruksi
  • Tahap proyek (konstruksi atau masa pakai)
  • Lokasi geografis
  • Keterlibatan kesalahan manusia

 

Fakta dan Temuan Utama

 

Dominasi Kesalahan Manusia

 

Salah satu temuan paling penting adalah bahwa 65% dari seluruh kegagalan disebabkan oleh kesalahan manusia. Ini mencakup kesalahan desain (20%), kesalahan konstruksi (24%), dan kelalaian dalam pemeliharaan. Ini menegaskan kembali bahwa meskipun kita hidup di era teknologi canggih, faktor manusia tetap menjadi titik rawan terbesar dalam siklus hidup proyek konstruksi.

 

Jembatan: Korban Terbanyak Bencana Alam

 

Dari seluruh struktur yang dianalisis, jembatan merupakan yang paling banyak mengalami kegagalan. 41% dari total kasus berasal dari Amerika Serikat, dengan 29% jembatan gagal akibat bencana alam, seperti banjir dan badai. Ini menunjukkan pentingnya integrasi parameter risiko iklim dalam desain infrastruktur transportasi, terutama di era perubahan iklim yang semakin ekstrem.

 

Bangunan: Masalah di Balik Dinding

 

Kegagalan pada bangunan lebih sering disebabkan oleh kesalahan dalam pelaksanaan (24%) dan desain (20%). Menariknya, kegagalan akibat akumulasi salju pada atap menjadi salah satu faktor dominan, khususnya pada bangunan dengan bentang panjang seperti stadion atau aula.

 

Menara Telekomunikasi: Ancaman dari Cuaca

 

Untuk menara telekomunikasi, 61% kegagalan disebabkan oleh cuaca ekstrem, terutama es yang menumpuk pada kabel pengikat, dan 26% karena kesalahan saat pemeliharaan, seperti penggantian elemen struktur tanpa penyangga sementara.

 

Studi Kasus: Belajar dari Bencana Nyata

 

Runtuhnya Jembatan Pejalan Kaki Florida (2018)

 

Runtuhnya jembatan ini, hanya beberapa hari setelah dipasang, mengejutkan publik Amerika Serikat. Epp menunjukkan bahwa desain yang salah dan kegagalan mendeteksi retakan kritis menjadi penyebab utama. Kasus ini mempertegas pentingnya inspeksi independen selama fase konstruksi.

 

Menara KDUH-TV (2002)

 

Kegagalan menara setinggi 600 meter ini terjadi saat pekerja mengganti penyangga utama tanpa memperhitungkan distribusi beban ulang. Kejadian ini memperlihatkan bahwa prosedur pemeliharaan tanpa perencanaan struktural yang matang dapat sama berbahayanya dengan kesalahan desain.

 

Analisis Tambahan: Apa yang Bisa Dipelajari Industri?

 

Bandingkan dengan Studi Sebelumnya

 

Studi ini memperkuat temuan Wardhana dan Hadipriono (2003) serta Eldukair dan Ayyub (1991), yang menunjukkan bahwa kesalahan teknis dan manajemen masih mendominasi penyebab kegagalan. Namun, Epp lebih unggul dalam penyajian visual data dan pendekatan berbasis probabilitas kegagalan dibandingkan hanya statistik deskriptif.

 

Integrasi dengan Standar Kode Desain

 

Epp membandingkan data aktual dengan nilai indeks keandalan (reliability index) dari standar desain seperti CSA S6 dan ISO 2394. Misalnya, jembatan truss di AS memiliki indeks keandalan 3.1, lebih rendah dari target 3.5. Ini menunjukkan bahwa banyak struktur yang belum memenuhi ekspektasi ketahanan selama masa pakainya.

 

Solusi yang Ditawarkan: Mengurangi Kegagalan Lewat Sistemik

 

Peer Review dan Human Reliability Analysis

 

Epp merekomendasikan peer review independen dalam tahap desain, serta penggunaan metode “Human Reliability Analysis” (HRA) yang umum di industri penerbangan dan medis, namun belum diterapkan secara luas di konstruksi.

 

Basis Data Terbuka dan Sistem Pelaporan Sukarela

 

Ditekankan pula pentingnya sistem pelaporan seperti Collaborative Reporting for Safer Structures (CROSS). Basis data terbuka seperti yang dikembangkan Epp memungkinkan komunitas teknik sipil untuk terus belajar dan memperbarui pemahaman tentang risiko.

 

Kritik dan Rekomendasi

 

  • Keterbatasan Data Global: Sebagian besar data berasal dari AS dan negara-negara maju. Negara berkembang, yang justru memiliki potensi risiko lebih besar, justru kekurangan dokumentasi.
  • Kurangnya Data pada Fase Pemeliharaan: Banyak struktur gagal saat pemeliharaan, tetapi dokumentasi tentang hal ini masih minim.
  • Keterbatasan pada Bangunan: Basis data lebih kuat pada jembatan dan menara daripada bangunan, terutama karena bangunan jarang runtuh total berkat redundansi desain.

 

Kesimpulan: Membangun Masa Depan yang Lebih Aman

 

Tesis Peter Yvon Epp bukan sekadar dokumentasi kegagalan; ini adalah panggilan bagi industri konstruksi untuk lebih transparan, sistematis, dan adaptif terhadap risiko struktural. Melalui basis data kegagalan yang terbuka dan terstandar, serta pendekatan kuantitatif terhadap reliabilitas struktur, kita dapat membangun masa depan yang lebih aman—baik secara teknis, sosial, maupun ekonomi.

 

 

Sumber:

 

Epp, Peter Yvon. Learning from Failure: Development and Discussion of a Database of Structural Failures. University of British Columbia, 2022.

Selengkapnya
Belajar dari Kegagalan: Mengupas Basis Data Kegagalan Struktural untuk Meningkatkan Konstruksi Masa Depan

Kegagalan Kontruksi

Menyoal Kegagalan Bangunan: Strategi Hukum Mengurai Sengketa Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 22 Mei 2025


Mengapa Sengketa Konstruksi Jadi Masalah Serius?

 

Industri konstruksi di Indonesia mengalami lonjakan permintaan seiring pesatnya pembangunan infrastruktur. Namun di balik pertumbuhan tersebut, risiko kegagalan bangunan dan sengketa hukum kian meningkat. Artikel karya Agustina dan Sagita Purnomo mencoba menelaah kompleksitas hukum yang menyelimuti konflik dalam proyek konstruksi, khususnya yang berujung pada kegagalan struktur bangunan.

 

Alih-alih hanya fokus pada teori, tulisan ini menelusuri akar persoalan, kerangka hukum yang berlaku, dan solusi penyelesaian sengketa berdasarkan praktik lapangan dan regulasi negara. Dengan pendekatan normatif dan analisis yuridis, artikel ini menjadi panduan penting bagi pelaku industri, kontraktor, konsultan hukum, dan akademisi.

 

Hukum sebagai Pilar Utama dalam Dunia Konstruksi

 

Latar Belakang Regulasi Konstruksi

 

Sebelum Undang-Undang No. 2 Tahun 2017, Indonesia merujuk pada UU No. 18 Tahun 1999. Regulasi lama itu memberikan sanksi pidana bagi penyedia jasa yang lalai hingga menyebabkan kegagalan bangunan. Misalnya, perencana yang gagal memenuhi kaidah teknis bisa dipidana hingga 5 tahun atau didenda maksimal 10% nilai kontrak. Namun, sejak UU baru berlaku, sanksi pidana dihapus dan diganti dengan pendekatan administratif.

 

Pertanyaannya: Apakah pendekatan baru ini efektif? Di satu sisi, penghapusan ancaman pidana memberi ruang lebih besar bagi inovasi dan efisiensi. Tapi di sisi lain, bisa melemahkan perlindungan hukum bagi pengguna jasa.

 

Definisi Kegagalan Bangunan

 

Menurut Pasal 1 ayat (10) UU No. 2/2017, kegagalan bangunan didefinisikan sebagai “keadaan keruntuhan atau tidak berfungsinya bangunan setelah diserahterimakan”. Artinya, tanggung jawab hukum tetap melekat pada penyedia jasa dalam jangka waktu tertentu, umumnya hingga 10 tahun dari serah terima akhir.

 

Penyebab Sengketa dan Kegagalan Konstruksi: Bukan Sekadar Teknis

 

Data Lapangan : 39 Kasus Konstruksi Bermasalah

 

Kementerian PUPR mencatat 39 kasus kecelakaan konstruksi antara 2017 hingga Agustus 2021. Jumlah ini diprediksi jauh lebih besar di lapangan karena tidak semua kejadian tercatat secara resmi. Umumnya, kecelakaan konstruksi mengakibatkan kerugian finansial besar dan merusak reputasi perusahaan.

 

Faktor Teknis:

  • Kesalahan desain dan perhitungan beban struktur
  • Pemilihan material yang tidak sesuai
  • Pondasi yang tidak cocok dengan kontur tanah
  • Kegagalan dalam implementasi sistem tulangan atau pengelasan

 

Faktor Non-Teknis:

  • Tidak kompetennya badan usaha
  • Kelalaian dalam pengawasan
  • Manajemen proyek yang buruk
  • Penafsiran kontrak yang multitafsir

 

Dengan kata lain, kegagalan konstruksi adalah kombinasi dari kekeliruan teknis dan lemahnya sistem manajerial yang seharusnya bisa dicegah melalui regulasi dan kontrak yang solid.

 

Studi Kasus Sengketa Konstruksi di Pengadilan Indonesia

 

Kasus 1: Developer Vista Estate vs Konsumen

 

Dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 408/Pdt.G/2014/PN.Mdn, pengembang gagal menyerahkan rumah sesuai waktu perjanjian. Akibatnya, penggugat tetap harus membayar cicilan bank meski rumah belum diserahterimakan. Pengadilan menghukum developer membayar ganti rugi dan membatalkan kewajiban cicilan.

 

Kasus 2: PT Binakarya Bangun Propertindo vs Ng Hui-Hui

 

Developer gagal membangun unit apartemen sesuai jadwal. Konsumen menggugat dan berhasil membawa perusahaan ke pengadilan, yang akhirnya memutuskan perusahaan dalam status PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang).

 

Catatan penting: Kedua kasus ini menunjukkan bahwa kontrak tanpa klausul penyelesaian sengketa yang rinci bisa membuka celah besar untuk konflik dan kerugian konsumen.

 

Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Litigasi vs Non-Litigasi

 

Jalur Litigasi (Pengadilan)

  • Keunggulan: Keputusan final dan mengikat secara hukum
  • Kekurangan: Proses lama, biaya tinggi, dan terkadang tidak fleksibel
  • Kapan digunakan: Bila sengketa tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah dan menyangkut aspek pidana seperti penipuan, mark-up, atau wanprestasi berat

 

Jalur Non-Litigasi

 

Merujuk UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, opsi yang tersedia:

 

1. Negosiasi – solusi awal yang bersifat informal dan mengandalkan itikad baik

2. Mediasi – melibatkan pihak ketiga netral (mediator)

3. Konsiliasi (Mini Trial) – mirip mediasi, namun dengan pendekatan simulasi peradilan

4. Arbitrase – jalur privat dan final yang sangat populer di kalangan proyek besar

 

Asas Keseimbangan dan Itikad Baik: Dasar Etis dalam Kontrak

 

Dalam setiap kontrak konstruksi, asas keseimbangan dan itikad baik sangat krusial. Pihak penyedia jasa wajib memperhitungkan kemampuan, beban kerja, serta kualifikasi untuk menghindari overclaim atau janji berlebihan yang sulit dipenuhi.

 

Pasal 67 UU No. 2/2017 menegaskan bahwa penyedia jasa wajib mengganti kerugian bila terjadi kegagalan bangunan. Ini termasuk biaya pembelian ulang bahan, pembangunan ulang, atau perbaikan menyeluruh.

 

Kritik terhadap Regulasi Saat Ini

 

Kelemahan UU No. 2 Tahun 2017

  • Tidak memuat sanksi pidana atas kegagalan konstruksi → potensi lemahnya efek jera
  • Fokus hanya pada tanggung jawab administratif dan perdata → tidak semua kasus bisa diadili secara efisien
  • Lemahnya pengawasan implementasi kontrak di lapangan → banyak kontraktor bekerja di luar spesifikasi

 

Usulan Solusi

  • Penyusunan kontrak konstruksi yang lebih detail dan antisipatif
  • Sertifikasi wajib bagi manajemen proyek dan pengawas lapangan
  • Sistem pelaporan risiko konstruksi seperti CROSS di Inggris
  • Penguatan kapasitas Penilai Ahli Forensik sebagai pelacak penyebab kegagalan struktur

 

Kesimpulan: Menata Ulang Sistem Sengketa Konstruksi Indonesia

 

Artikel ini menyoroti bahwa sengketa konstruksi bukan hanya urusan teknis, tetapi persoalan multidimensi yang melibatkan hukum, etika, dan manajemen proyek. Kegagalan bangunan harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi sistem regulasi, penyusunan kontrak, hingga pembinaan pelaku jasa konstruksi.

 

Kedepannya, pemerintah, asosiasi profesi, dan pelaku industri harus bergandengan tangan mendorong penyelesaian sengketa secara adil dan efisien. Tanpa kontrak yang adil dan sistem hukum yang kuat, pembangunan hanya akan melahirkan risiko—bukan kemajuan.

 

 

Sumber:

 

Agustina, A., & Purnomo, S. (2023). Kajian Hukum Penyelesaian Sengketa Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruksi. Jurnal Rectum, Vol. 5, No. 2, Mei 2023.

DOI: http://dx.doi.org/10.46930/jurnalrectum.v5i2.3153

Selengkapnya
Menyoal Kegagalan Bangunan: Strategi Hukum Mengurai Sengketa Konstruksi di Indonesia

Kegagalan Kontruksi

Faktor Teknis Pemicu Gagalnya Proyek Bangunan: Bukan Hanya Masalah Material

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Kegagalan yang Berulang dan Jarang Dievaluasi Secara Menyeluruh

 

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan pembangunan infrastruktur, terutama proyek gedung publik yang didanai dari APBN/APBD. Meski kuantitas proyek meningkat, kualitasnya masih sering dipertanyakan. Tidak sedikit proyek mengalami kegagalan, baik dalam tahap pelaksanaan maupun pasca serah terima. Penelitian oleh Yustinus Eka Wiyana ini mengupas secara tajam apa saja faktor teknis yang secara langsung menyebabkan kegagalan konstruksi dan bangunan, khususnya dari proyek gedung pemerintahan di Jawa Tengah.

 

Berbekal studi lapangan pada 34 proyek antara tahun 1996 hingga 2008, artikel ini bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga menyajikan model kuantitatif dan kualitatif untuk menganalisis hubungan antara variabel waktu, biaya, jenis kontrak, kualitas, dan kegagalan elemen bangunan.

 

Metode Penelitian: Pendekatan Ganda Kuantitatif dan Kualitatif

 

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama. Pertama, model kuantitatif dengan metode Partial Least Square (PLS) untuk mengukur korelasi antar variabel. Kedua, model kualitatif yang digunakan untuk menangkap persepsi terhadap kualitas pengawasan pekerjaan, baik dari sisi internal maupun eksternal supervisi.

 

Sumber data terdiri dari dokumen kontrak proyek, investigasi teknis, serta kuesioner kepada 31 responden profesional yang terlibat langsung dalam proyek bangunan publik.

 

Temuan Utama: Struktur Bangunan Paling Rentan Gagal

 

Berdasarkan pengamatan terhadap proyek-proyek yang dianalisis, elemen struktur bangunan merupakan bagian paling sering mengalami kegagalan, dengan deviasi rata-rata mencapai 4,36% dari nilai kontrak. Selanjutnya disusul oleh elemen atap (2,53%), pondasi (0,15%), utilitas (0,12%), dan pekerjaan finishing (0,07%).

 

Temuan ini membuktikan bahwa permasalahan utama bukan terjadi di akhir, seperti pengecatan atau instalasi listrik, melainkan pada fondasi kekuatan utama dari bangunan itu sendiri. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kualitas pelaksanaan dari tahap paling awal.

 

Analisis Tambahan: Kontrak Murah, Mutu Hancur

 

Salah satu akar kegagalan yang paling mencolok adalah banyaknya proyek yang dimenangkan dengan harga penawaran di bawah 70% dari nilai pagu anggaran. Situasi ini mendorong kontraktor melakukan efisiensi berlebihan, mengorbankan mutu material, metode kerja, bahkan mengurangi volume pekerjaan secara diam-diam.

 

Studi juga menemukan bahwa proyek-proyek semacam ini umumnya minim dokumen pendukung untuk kontrol mutu. Ketiadaan gambar kerja rinci, tidak adanya Rencana Mutu Konstruksi (RMK), serta absennya briefing teknis rutin menjadi pola umum di proyek bermasalah.

 

Kasus Lapangan: Ketika “Asal Jadi” Jadi Standar Baru

 

Sebuah proyek pembangunan gedung sekolah di Jawa Tengah yang didanai APBD tahun 2006 mengalami keretakan struktur hanya dalam waktu satu semester. Penelusuran menunjukkan bahwa nilai kontraknya hanya 68% dari pagu dan jenis kontrak yang digunakan adalah lumpsum. Tim pelaksana memotong tinggi kolom dan menggunakan beton berkualitas rendah untuk mengejar efisiensi. Tidak ada supervisi lapangan harian dan pengawas dari konsultan hanya datang sekali dalam seminggu.

 

Dalam kasus lain, bangunan Puskesmas baru mengalami kebocoran parah di bagian atap saat musim hujan pertama setelah proyek rampung. Setelah diperiksa, ternyata kemiringan atap tidak sesuai gambar rencana, dan rangka baja ringan yang digunakan tidak memenuhi standar kekuatan minimum. Lagi-lagi, harga penawaran proyek jauh di bawah standar dan tidak ada kontrol mutu selama pelaksanaan.

 

Korelasi Variabel: Apa yang Sebenarnya Menyebabkan Kegagalan?

 

Dari hasil simulasi model SEM (Structural Equation Modeling), diperoleh kesimpulan penting:

 

1. Semakin pendek waktu pelaksanaan, semakin besar potensi kegagalan. Korelasi negatif sebesar -0,5289 antara durasi dan kegagalan menunjukkan bahwa percepatan jadwal tanpa penguatan manajemen teknis hanya akan memperbesar risiko rusaknya bangunan.

 

2. Jenis kontrak berpengaruh terhadap manajemen waktu dan kualitas. Kontrak dengan sistem swakelola cenderung lebih fleksibel dalam pengendalian mutu, sedangkan kontrak lumpsum rentan terhadap manipulasi karena fokus pada harga tetap.

 

3. Biaya rendah berbanding lurus dengan kualitas buruk. Penurunan biaya proyek (dengan memaksakan penawaran rendah) menghasilkan korelasi negatif terhadap kualitas sebesar -0,2081.

 

Dari sisi model kualitatif, ditemukan bahwa pengawasan internal dan eksternal memiliki kontribusi langsung terhadap kualitas hasil pekerjaan. Internal supervisi mencakup pelatihan, pengalaman, pendidikan, sertifikasi, hingga nilai proyek, sedangkan eksternal supervisi meliputi evaluasi mingguan, cek spesifikasi, briefing pagi, dan pengawasan harian.

 

Kritik dan Opini: Masalah Lama, Belum Ada Perubahan Signifikan

 

Meski penelitian ini dilakukan sebelum 2012, kenyataannya banyak proyek pemerintah hingga kini masih mengalami kegagalan teknis yang serupa. Masalah seperti “penawaran terendah jadi pemenang” masih dijadikan tolok ukur utama dalam proses lelang, tanpa menilai kemampuan teknis dan reputasi penyedia jasa secara menyeluruh.

 

Penerapan sistem supervisi juga belum maksimal. Banyak pengawas di lapangan yang terbatas jumlahnya, tidak kompeten, atau bahkan terafiliasi dengan kontraktor, sehingga tidak independen. Padahal, penelitian ini secara tegas menunjukkan bahwa tanpa supervisi yang kuat, kualitas tidak akan pernah bisa dikendalikan.

 

Implikasi Praktis: Langkah Nyata yang Bisa Dilakukan

 

Untuk menghindari kegagalan teknis pada proyek-proyek bangunan ke depan, berikut rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini:

 

1. Reformasi Sistem Lelang

 

Hapus penilaian berdasarkan harga terendah semata. Terapkan sistem evaluasi berimbang (quality-cost based selection) yang memperhitungkan kualitas teknis, pengalaman, dan kompetensi SDM kontraktor.

 

2. Wajibkan Supervisi Independen

 

Pastikan pengawas lapangan berasal dari pihak yang independen dan memiliki rekam jejak pengawasan yang baik. Lakukan audit berkala terhadap laporan supervisi.

 

3. Atur Batas Waktu yang Rasional

 

Tentukan durasi proyek berdasarkan beban kerja realistis, bukan kepentingan politik atau ambisi seremonial. Proyek cepat selesai tetapi penuh cacat hanya akan membuang anggaran publik.

 

4. Penguatan Kapasitas Pelaksana

 

Wajibkan pelatihan dan sertifikasi bagi semua tenaga kerja teknis yang terlibat dalam proyek bangunan publik, terutama yang menyangkut struktur, pondasi, dan atap.

 

Penutup: Pembangunan yang Bermutu Dimulai dari Komitmen Teknis

 

Artikel ini dengan gamblang menunjukkan bahwa kegagalan konstruksi bukan hanya disebabkan oleh faktor luar seperti cuaca atau bencana, tetapi lebih sering karena kesalahan dalam perencanaan teknis, pengawasan yang lemah, dan keinginan menekan harga secara berlebihan. Bangunan yang gagal bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan keselamatan jiwa dan menurunkan kepercayaan publik terhadap kualitas pembangunan.

 

Reformasi sistem pengadaan dan supervisi harus menjadi prioritas jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran kegagalan proyek infrastruktur. Pembangunan yang bermutu bukan soal cepat atau murah, tapi soal tepat, kuat, dan berkelanjutan.

 

 

Sumber Resmi:

 

Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Teknis. Jurnal Wahana Teknik Sipil, Vol. 17 No. 2.

Diterbitkan oleh Politeknik Negeri Semarang.

Selengkapnya
Faktor Teknis Pemicu Gagalnya Proyek Bangunan: Bukan Hanya Masalah Material

Kegagalan Kontruksi

Menakar Peran Pengawasan Konstruksi: Menyikapi Kegagalan Bangunan Bertingkat di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Bangunan Bertingkat Gagal?

 

Di tengah pesatnya pembangunan gedung bertingkat tinggi di Indonesia, muncul satu pertanyaan krusial: Mengapa masih terjadi kegagalan bangunan yang berakibat fatal, bahkan merenggut nyawa? Artikel yang ditulis oleh Maiko Lesmana Dewa dan tim menjawab pertanyaan ini melalui pendekatan hukum normatif. Mereka menyoroti bahwa lemahnya pengawasan konstruksi dan tidak memadainya perlindungan hukum menjadi akar masalah.

 

Kegagalan bangunan di Indonesia sering kali dikaitkan dengan buruknya kualitas konstruksi, pelanggaran teknis, dan lemahnya akuntabilitas pengawas lapangan. Namun penelitian ini mengangkat dimensi yang jarang dibahas: bagaimana regulasi hukum — atau justru kekurangannya — turut memperbesar risiko kegagalan struktur.

 

Pengawasan Konstruksi: Pilar yang Rentan Diabaikan

 

Pengawasan konstruksi merupakan salah satu elemen vital dalam siklus pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, eksekusi, hingga pasca-konstruksi. Namun, dalam praktiknya, fungsi pengawasan ini sering kali dilemahkan oleh:

  • Kurangnya wewenang yang memadai bagi pengawas.
  • Tidak adanya dukungan hukum yang kuat untuk menindak pelanggaran teknis.
  • Rendahnya kesadaran hukum dari pemilik bangunan maupun kontraktor.

 

Menurut UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pengawasan konstruksi adalah bagian dari proses pembangunan yang harus dipenuhi untuk memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Namun, penegakan aturan ini dalam praktik ternyata masih jauh dari ideal.

 

Definisi Kegagalan Bangunan dan Posisi Hukum

 

Pasal 1 angka 7 UU Jasa Konstruksi menjelaskan bahwa kegagalan bangunan adalah ketidaksesuaian fungsi bangunan pasca-serah terima akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa. Ini mencakup:

  • Bangunan tidak berfungsi sebagian atau sepenuhnya.
  • Ketidaksesuaian dengan kontrak kerja konstruksi.
  • Penyimpangan pemanfaatan bangunan dari fungsi aslinya.

Namun, ironisnya, meski sudah ada definisi legal, belum ada mekanisme efektif yang menjadikan pengawasan sebagai benteng awal pencegahan.

 

Studi Perbandingan: Indonesia vs. Negara Lain

 

Penulis melakukan pendekatan komparatif terhadap regulasi di negara-negara maju seperti Inggris. Dalam buku Construction Law oleh John Uff, digambarkan bagaimana sistem hukum konstruksi di Inggris memberikan kekuatan penuh bagi pengawas untuk mencegah potensi kerusakan bangunan. Bahkan, pengawas konstruksi memiliki kedudukan penting sejajar dengan kontraktor dan insinyur struktural.

 

Sebaliknya, di Indonesia, pengawas kerap dianggap sebagai pelengkap formalitas, tanpa dukungan regulasi yang memperkuat posisi mereka untuk menolak pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi teknis.

 

Studi Kasus Nyata: Tragedi Jebolnya Gedung BEI 2018

 

Salah satu kasus yang menjadi sorotan nasional adalah runtuhnya selasar gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2018, yang menyebabkan lebih dari 70 korban luka. Investigasi awal menyebutkan bahwa ada kesalahan teknis dalam pemasangan struktur langit-langit. Namun, tidak banyak yang menggali bagaimana peran pengawasan konstruksi — apakah sudah berjalan optimal atau sekadar simbolis.

 

Jika mengacu pada definisi dalam UU Jasa Konstruksi, insiden ini seharusnya bisa dikategorikan sebagai kegagalan bangunan. Tetapi, karena sistem pengawasan yang lemah dan tidak adanya penguatan hukum terhadap peran pengawas, kasus ini hanya berakhir pada catatan kelam tanpa reformasi berarti.

 

Analisis Temuan Penelitian

 

Penelitian oleh Dewa dkk. menyimpulkan bahwa regulasi saat ini masih belum mampu melindungi kepentingan masyarakat dari risiko kegagalan bangunan. Ada tiga temuan kunci:

 

1. Kekosongan Hukum Teknis

 

Tidak ada ketentuan yang menjelaskan secara rinci kewenangan teknis pengawas konstruksi.

Tidak ada sistem akuntabilitas langsung terhadap pengawas bila terjadi kegagalan struktural.

 

2. Minimnya Perlindungan Hukum Masyarakat

 

Masyarakat sebagai pengguna akhir bangunan belum memiliki saluran hukum yang jelas untuk menggugat kegagalan bangunan akibat kelalaian pengawas atau kontraktor.

 

3. Penyelesaian Sengketa yang Lemah

 

Prosedur penyelesaian sengketa hukum terhadap kegagalan bangunan tidak melibatkan analisis teknis mendalam dari pengawas.

Pengawas tidak dilibatkan secara proaktif dalam investigasi kegagalan bangunan.

 

Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Diperbaiki?

 

Untuk menghindari terulangnya kasus serupa, berikut langkah-langkah yang disarankan berdasarkan hasil analisis dan penambahan opini:

 

1. Revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi

 

Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 perlu direvisi agar:

  • Menjelaskan secara eksplisit tanggung jawab pengawas konstruksi.
  • Memberikan kewenangan menghentikan pekerjaan bila ditemukan penyimpangan teknis.
  • Mewajibkan audit pengawasan pada proyek-proyek berskala besar.

 

2. Penguatan Sertifikasi Pengawas

 

Saat ini, profesi pengawas masih bisa dijalankan tanpa standar sertifikasi teknis yang ketat. Bandingkan dengan Jepang, yang mewajibkan sertifikasi berkala dan uji kompetensi berlapis bagi pengawas proyek infrastruktur besar.

 

3. Pengadilan Konstruksi Khusus

 

Indonesia perlu membentuk lembaga arbitrase atau pengadilan konstruksi yang dapat memproses sengketa teknis secara cepat dan tepat, melibatkan saksi ahli dari kalangan pengawas profesional.

 

4. Digitalisasi Pengawasan

 

Teknologi Building Information Modeling (BIM) dan drone inspection sudah umum digunakan di luar negeri untuk mendukung fungsi pengawasan secara real-time. Indonesia dapat mulai menerapkannya di proyek pemerintah sebagai proyek percontohan.

 

Kritik terhadap Penelitian

 

Walaupun penelitian ini memberi kontribusi penting, ada beberapa catatan:

 

Minimnya Data Lapangan: Studi ini lebih bersifat normatif daripada empiris. Akan lebih kuat bila disertai data statistik kegagalan bangunan dalam 10 tahun terakhir di Indonesia.

 

Kurang Eksplorasi Aspek Ekonomi: Penelitian belum menggali bagaimana biaya pengawasan yang ditekan justru bisa meningkatkan risiko kegagalan bangunan.

 

Kesimpulan: Pengawasan Konstruksi Harus Menjadi Prioritas

 

Pembangunan gedung bertingkat tinggi tidak bisa hanya mengandalkan desain megah atau teknologi canggih. Tanpa pengawasan konstruksi yang kuat, semua itu hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh. Penelitian ini menegaskan bahwa pengawas konstruksi bukan sekadar pemeriksa dokumen — mereka adalah garda depan perlindungan keselamatan publik.

 

Melalui pembaruan hukum, penguatan kompetensi, serta reformasi kelembagaan, Indonesia dapat menekan angka kegagalan bangunan yang selama ini memicu kerugian besar, baik secara material maupun nyawa manusia.

 

 

Sumber Utama

 

Dewa, M. L., Maria, K., Marlin, S., & Andayani, K. (2022). Kajian Pengawasan Konstruksi pada Kegagalan Bangunan dalam Pembangunan Gedung Bertingkat Tinggi. Jurnal Ilmiah Global Education, 3(2), 216–219. Tautan: https://ejournal.nusantaraglobal.ac.id/index.php/jige

Selengkapnya
Menakar Peran Pengawasan Konstruksi: Menyikapi Kegagalan Bangunan Bertingkat di Indonesia
« First Previous page 3 of 4 Next Last »