Menyoal Kegagalan Bangunan: Strategi Hukum Mengurai Sengketa Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

22 Mei 2025, 13.12

Pexels.com

Mengapa Sengketa Konstruksi Jadi Masalah Serius?

 

Industri konstruksi di Indonesia mengalami lonjakan permintaan seiring pesatnya pembangunan infrastruktur. Namun di balik pertumbuhan tersebut, risiko kegagalan bangunan dan sengketa hukum kian meningkat. Artikel karya Agustina dan Sagita Purnomo mencoba menelaah kompleksitas hukum yang menyelimuti konflik dalam proyek konstruksi, khususnya yang berujung pada kegagalan struktur bangunan.

 

Alih-alih hanya fokus pada teori, tulisan ini menelusuri akar persoalan, kerangka hukum yang berlaku, dan solusi penyelesaian sengketa berdasarkan praktik lapangan dan regulasi negara. Dengan pendekatan normatif dan analisis yuridis, artikel ini menjadi panduan penting bagi pelaku industri, kontraktor, konsultan hukum, dan akademisi.

 

Hukum sebagai Pilar Utama dalam Dunia Konstruksi

 

Latar Belakang Regulasi Konstruksi

 

Sebelum Undang-Undang No. 2 Tahun 2017, Indonesia merujuk pada UU No. 18 Tahun 1999. Regulasi lama itu memberikan sanksi pidana bagi penyedia jasa yang lalai hingga menyebabkan kegagalan bangunan. Misalnya, perencana yang gagal memenuhi kaidah teknis bisa dipidana hingga 5 tahun atau didenda maksimal 10% nilai kontrak. Namun, sejak UU baru berlaku, sanksi pidana dihapus dan diganti dengan pendekatan administratif.

 

Pertanyaannya: Apakah pendekatan baru ini efektif? Di satu sisi, penghapusan ancaman pidana memberi ruang lebih besar bagi inovasi dan efisiensi. Tapi di sisi lain, bisa melemahkan perlindungan hukum bagi pengguna jasa.

 

Definisi Kegagalan Bangunan

 

Menurut Pasal 1 ayat (10) UU No. 2/2017, kegagalan bangunan didefinisikan sebagai “keadaan keruntuhan atau tidak berfungsinya bangunan setelah diserahterimakan”. Artinya, tanggung jawab hukum tetap melekat pada penyedia jasa dalam jangka waktu tertentu, umumnya hingga 10 tahun dari serah terima akhir.

 

Penyebab Sengketa dan Kegagalan Konstruksi: Bukan Sekadar Teknis

 

Data Lapangan : 39 Kasus Konstruksi Bermasalah

 

Kementerian PUPR mencatat 39 kasus kecelakaan konstruksi antara 2017 hingga Agustus 2021. Jumlah ini diprediksi jauh lebih besar di lapangan karena tidak semua kejadian tercatat secara resmi. Umumnya, kecelakaan konstruksi mengakibatkan kerugian finansial besar dan merusak reputasi perusahaan.

 

Faktor Teknis:

  • Kesalahan desain dan perhitungan beban struktur
  • Pemilihan material yang tidak sesuai
  • Pondasi yang tidak cocok dengan kontur tanah
  • Kegagalan dalam implementasi sistem tulangan atau pengelasan

 

Faktor Non-Teknis:

  • Tidak kompetennya badan usaha
  • Kelalaian dalam pengawasan
  • Manajemen proyek yang buruk
  • Penafsiran kontrak yang multitafsir

 

Dengan kata lain, kegagalan konstruksi adalah kombinasi dari kekeliruan teknis dan lemahnya sistem manajerial yang seharusnya bisa dicegah melalui regulasi dan kontrak yang solid.

 

Studi Kasus Sengketa Konstruksi di Pengadilan Indonesia

 

Kasus 1: Developer Vista Estate vs Konsumen

 

Dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 408/Pdt.G/2014/PN.Mdn, pengembang gagal menyerahkan rumah sesuai waktu perjanjian. Akibatnya, penggugat tetap harus membayar cicilan bank meski rumah belum diserahterimakan. Pengadilan menghukum developer membayar ganti rugi dan membatalkan kewajiban cicilan.

 

Kasus 2: PT Binakarya Bangun Propertindo vs Ng Hui-Hui

 

Developer gagal membangun unit apartemen sesuai jadwal. Konsumen menggugat dan berhasil membawa perusahaan ke pengadilan, yang akhirnya memutuskan perusahaan dalam status PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang).

 

Catatan penting: Kedua kasus ini menunjukkan bahwa kontrak tanpa klausul penyelesaian sengketa yang rinci bisa membuka celah besar untuk konflik dan kerugian konsumen.

 

Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Litigasi vs Non-Litigasi

 

Jalur Litigasi (Pengadilan)

  • Keunggulan: Keputusan final dan mengikat secara hukum
  • Kekurangan: Proses lama, biaya tinggi, dan terkadang tidak fleksibel
  • Kapan digunakan: Bila sengketa tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah dan menyangkut aspek pidana seperti penipuan, mark-up, atau wanprestasi berat

 

Jalur Non-Litigasi

 

Merujuk UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, opsi yang tersedia:

 

1. Negosiasi – solusi awal yang bersifat informal dan mengandalkan itikad baik

2. Mediasi – melibatkan pihak ketiga netral (mediator)

3. Konsiliasi (Mini Trial) – mirip mediasi, namun dengan pendekatan simulasi peradilan

4. Arbitrase – jalur privat dan final yang sangat populer di kalangan proyek besar

 

Asas Keseimbangan dan Itikad Baik: Dasar Etis dalam Kontrak

 

Dalam setiap kontrak konstruksi, asas keseimbangan dan itikad baik sangat krusial. Pihak penyedia jasa wajib memperhitungkan kemampuan, beban kerja, serta kualifikasi untuk menghindari overclaim atau janji berlebihan yang sulit dipenuhi.

 

Pasal 67 UU No. 2/2017 menegaskan bahwa penyedia jasa wajib mengganti kerugian bila terjadi kegagalan bangunan. Ini termasuk biaya pembelian ulang bahan, pembangunan ulang, atau perbaikan menyeluruh.

 

Kritik terhadap Regulasi Saat Ini

 

Kelemahan UU No. 2 Tahun 2017

  • Tidak memuat sanksi pidana atas kegagalan konstruksi → potensi lemahnya efek jera
  • Fokus hanya pada tanggung jawab administratif dan perdata → tidak semua kasus bisa diadili secara efisien
  • Lemahnya pengawasan implementasi kontrak di lapangan → banyak kontraktor bekerja di luar spesifikasi

 

Usulan Solusi

  • Penyusunan kontrak konstruksi yang lebih detail dan antisipatif
  • Sertifikasi wajib bagi manajemen proyek dan pengawas lapangan
  • Sistem pelaporan risiko konstruksi seperti CROSS di Inggris
  • Penguatan kapasitas Penilai Ahli Forensik sebagai pelacak penyebab kegagalan struktur

 

Kesimpulan: Menata Ulang Sistem Sengketa Konstruksi Indonesia

 

Artikel ini menyoroti bahwa sengketa konstruksi bukan hanya urusan teknis, tetapi persoalan multidimensi yang melibatkan hukum, etika, dan manajemen proyek. Kegagalan bangunan harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi sistem regulasi, penyusunan kontrak, hingga pembinaan pelaku jasa konstruksi.

 

Kedepannya, pemerintah, asosiasi profesi, dan pelaku industri harus bergandengan tangan mendorong penyelesaian sengketa secara adil dan efisien. Tanpa kontrak yang adil dan sistem hukum yang kuat, pembangunan hanya akan melahirkan risiko—bukan kemajuan.

 

 

Sumber:

 

Agustina, A., & Purnomo, S. (2023). Kajian Hukum Penyelesaian Sengketa Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruksi. Jurnal Rectum, Vol. 5, No. 2, Mei 2023.

DOI: http://dx.doi.org/10.46930/jurnalrectum.v5i2.3153