Kegagalan Kontruksi

Faktor Teknis Pemicu Gagalnya Proyek Bangunan: Bukan Hanya Masalah Material

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025


Pendahuluan: Kegagalan yang Berulang dan Jarang Dievaluasi Secara Menyeluruh

 

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan pembangunan infrastruktur, terutama proyek gedung publik yang didanai dari APBN/APBD. Meski kuantitas proyek meningkat, kualitasnya masih sering dipertanyakan. Tidak sedikit proyek mengalami kegagalan, baik dalam tahap pelaksanaan maupun pasca serah terima. Penelitian oleh Yustinus Eka Wiyana ini mengupas secara tajam apa saja faktor teknis yang secara langsung menyebabkan kegagalan konstruksi dan bangunan, khususnya dari proyek gedung pemerintahan di Jawa Tengah.

 

Berbekal studi lapangan pada 34 proyek antara tahun 1996 hingga 2008, artikel ini bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga menyajikan model kuantitatif dan kualitatif untuk menganalisis hubungan antara variabel waktu, biaya, jenis kontrak, kualitas, dan kegagalan elemen bangunan.

 

Metode Penelitian: Pendekatan Ganda Kuantitatif dan Kualitatif

 

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama. Pertama, model kuantitatif dengan metode Partial Least Square (PLS) untuk mengukur korelasi antar variabel. Kedua, model kualitatif yang digunakan untuk menangkap persepsi terhadap kualitas pengawasan pekerjaan, baik dari sisi internal maupun eksternal supervisi.

 

Sumber data terdiri dari dokumen kontrak proyek, investigasi teknis, serta kuesioner kepada 31 responden profesional yang terlibat langsung dalam proyek bangunan publik.

 

Temuan Utama: Struktur Bangunan Paling Rentan Gagal

 

Berdasarkan pengamatan terhadap proyek-proyek yang dianalisis, elemen struktur bangunan merupakan bagian paling sering mengalami kegagalan, dengan deviasi rata-rata mencapai 4,36% dari nilai kontrak. Selanjutnya disusul oleh elemen atap (2,53%), pondasi (0,15%), utilitas (0,12%), dan pekerjaan finishing (0,07%).

 

Temuan ini membuktikan bahwa permasalahan utama bukan terjadi di akhir, seperti pengecatan atau instalasi listrik, melainkan pada fondasi kekuatan utama dari bangunan itu sendiri. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kualitas pelaksanaan dari tahap paling awal.

 

Analisis Tambahan: Kontrak Murah, Mutu Hancur

 

Salah satu akar kegagalan yang paling mencolok adalah banyaknya proyek yang dimenangkan dengan harga penawaran di bawah 70% dari nilai pagu anggaran. Situasi ini mendorong kontraktor melakukan efisiensi berlebihan, mengorbankan mutu material, metode kerja, bahkan mengurangi volume pekerjaan secara diam-diam.

 

Studi juga menemukan bahwa proyek-proyek semacam ini umumnya minim dokumen pendukung untuk kontrol mutu. Ketiadaan gambar kerja rinci, tidak adanya Rencana Mutu Konstruksi (RMK), serta absennya briefing teknis rutin menjadi pola umum di proyek bermasalah.

 

Kasus Lapangan: Ketika “Asal Jadi” Jadi Standar Baru

 

Sebuah proyek pembangunan gedung sekolah di Jawa Tengah yang didanai APBD tahun 2006 mengalami keretakan struktur hanya dalam waktu satu semester. Penelusuran menunjukkan bahwa nilai kontraknya hanya 68% dari pagu dan jenis kontrak yang digunakan adalah lumpsum. Tim pelaksana memotong tinggi kolom dan menggunakan beton berkualitas rendah untuk mengejar efisiensi. Tidak ada supervisi lapangan harian dan pengawas dari konsultan hanya datang sekali dalam seminggu.

 

Dalam kasus lain, bangunan Puskesmas baru mengalami kebocoran parah di bagian atap saat musim hujan pertama setelah proyek rampung. Setelah diperiksa, ternyata kemiringan atap tidak sesuai gambar rencana, dan rangka baja ringan yang digunakan tidak memenuhi standar kekuatan minimum. Lagi-lagi, harga penawaran proyek jauh di bawah standar dan tidak ada kontrol mutu selama pelaksanaan.

 

Korelasi Variabel: Apa yang Sebenarnya Menyebabkan Kegagalan?

 

Dari hasil simulasi model SEM (Structural Equation Modeling), diperoleh kesimpulan penting:

 

1. Semakin pendek waktu pelaksanaan, semakin besar potensi kegagalan. Korelasi negatif sebesar -0,5289 antara durasi dan kegagalan menunjukkan bahwa percepatan jadwal tanpa penguatan manajemen teknis hanya akan memperbesar risiko rusaknya bangunan.

 

2. Jenis kontrak berpengaruh terhadap manajemen waktu dan kualitas. Kontrak dengan sistem swakelola cenderung lebih fleksibel dalam pengendalian mutu, sedangkan kontrak lumpsum rentan terhadap manipulasi karena fokus pada harga tetap.

 

3. Biaya rendah berbanding lurus dengan kualitas buruk. Penurunan biaya proyek (dengan memaksakan penawaran rendah) menghasilkan korelasi negatif terhadap kualitas sebesar -0,2081.

 

Dari sisi model kualitatif, ditemukan bahwa pengawasan internal dan eksternal memiliki kontribusi langsung terhadap kualitas hasil pekerjaan. Internal supervisi mencakup pelatihan, pengalaman, pendidikan, sertifikasi, hingga nilai proyek, sedangkan eksternal supervisi meliputi evaluasi mingguan, cek spesifikasi, briefing pagi, dan pengawasan harian.

 

Kritik dan Opini: Masalah Lama, Belum Ada Perubahan Signifikan

 

Meski penelitian ini dilakukan sebelum 2012, kenyataannya banyak proyek pemerintah hingga kini masih mengalami kegagalan teknis yang serupa. Masalah seperti “penawaran terendah jadi pemenang” masih dijadikan tolok ukur utama dalam proses lelang, tanpa menilai kemampuan teknis dan reputasi penyedia jasa secara menyeluruh.

 

Penerapan sistem supervisi juga belum maksimal. Banyak pengawas di lapangan yang terbatas jumlahnya, tidak kompeten, atau bahkan terafiliasi dengan kontraktor, sehingga tidak independen. Padahal, penelitian ini secara tegas menunjukkan bahwa tanpa supervisi yang kuat, kualitas tidak akan pernah bisa dikendalikan.

 

Implikasi Praktis: Langkah Nyata yang Bisa Dilakukan

 

Untuk menghindari kegagalan teknis pada proyek-proyek bangunan ke depan, berikut rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini:

 

1. Reformasi Sistem Lelang

 

Hapus penilaian berdasarkan harga terendah semata. Terapkan sistem evaluasi berimbang (quality-cost based selection) yang memperhitungkan kualitas teknis, pengalaman, dan kompetensi SDM kontraktor.

 

2. Wajibkan Supervisi Independen

 

Pastikan pengawas lapangan berasal dari pihak yang independen dan memiliki rekam jejak pengawasan yang baik. Lakukan audit berkala terhadap laporan supervisi.

 

3. Atur Batas Waktu yang Rasional

 

Tentukan durasi proyek berdasarkan beban kerja realistis, bukan kepentingan politik atau ambisi seremonial. Proyek cepat selesai tetapi penuh cacat hanya akan membuang anggaran publik.

 

4. Penguatan Kapasitas Pelaksana

 

Wajibkan pelatihan dan sertifikasi bagi semua tenaga kerja teknis yang terlibat dalam proyek bangunan publik, terutama yang menyangkut struktur, pondasi, dan atap.

 

Penutup: Pembangunan yang Bermutu Dimulai dari Komitmen Teknis

 

Artikel ini dengan gamblang menunjukkan bahwa kegagalan konstruksi bukan hanya disebabkan oleh faktor luar seperti cuaca atau bencana, tetapi lebih sering karena kesalahan dalam perencanaan teknis, pengawasan yang lemah, dan keinginan menekan harga secara berlebihan. Bangunan yang gagal bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan keselamatan jiwa dan menurunkan kepercayaan publik terhadap kualitas pembangunan.

 

Reformasi sistem pengadaan dan supervisi harus menjadi prioritas jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran kegagalan proyek infrastruktur. Pembangunan yang bermutu bukan soal cepat atau murah, tapi soal tepat, kuat, dan berkelanjutan.

 

 

Sumber Resmi:

 

Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Teknis. Jurnal Wahana Teknik Sipil, Vol. 17 No. 2.

Diterbitkan oleh Politeknik Negeri Semarang.

Selengkapnya
Faktor Teknis Pemicu Gagalnya Proyek Bangunan: Bukan Hanya Masalah Material
page 1 of 1