Pertanggungjawaban Hukum Konsultan Konstruksi atas Kegagalan Bangunan: Kajian Kritis dan Implikasi Praktis dalam Industri Jasa Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

30 Mei 2025, 14.04

Freepik.com

Pendahuluan: Kompleksitas Dunia Konstruksi dan Urgensi Akuntabilitas Hukum

 

Industri jasa konstruksi di Indonesia bukan hanya tulang punggung pembangunan nasional, tetapi juga ruang interaksi hukum yang kompleks. Dalam konteks ini, kegagalan bangunan bukan sekadar kerugian fisik dan ekonomi, melainkan juga menjadi isu hukum yang menguji sejauh mana akuntabilitas para pihak, terutama konsultan konstruksi. Paper karya Linggomi Adinda Tamaradhina Napitupulu dan Imam Haryanto dalam Jurnal USM Law Review Vol 7 No 1 Tahun 2024 mengulas secara mendalam pertanggungjawaban hukum konsultan konstruksi terhadap kegagalan bangunan berdasarkan UU Jasa Konstruksi dan aturan hukum positif Indonesia.

 

Tulisan ini akan menguraikan resensi mendalam atas paper tersebut, dengan fokus pada nilai tambah, kritik, dan konteks industri konstruksi yang dinamis. Artikel ini juga akan menyoroti bagaimana tanggung jawab hukum konsultan tidak hanya berdampak pada penyelesaian sengketa, tetapi juga berperan penting dalam menciptakan iklim pembangunan yang aman, berkualitas, dan berkelanjutan.

 

Konstruksi Sebagai Sektor Strategis dan Sumber Sengketa

 

Pembangunan infrastruktur, yang melibatkan proyek berskala besar dan nilai ekonomi tinggi, rentan terhadap sengketa akibat kegagalan bangunan. Faktor penyebabnya sangat beragam, mulai dari kelalaian teknis, lemahnya pengawasan, hingga kesalahan perencanaan. Dalam sistem kontraktual Indonesia, konsultan konstruksi – baik sebagai perencana maupun pengawas – memegang peranan krusial.

 

Kegagalan bangunan sendiri didefinisikan dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai ketidaksesuaian fungsi atau keruntuhan bangunan pasca serah terima kedua, dalam jangka waktu maksimal 10 tahun sejak penyerahan hasil pekerjaan. Definisi ini memiliki konsekuensi hukum besar karena mengikat para pihak pada tanggung jawab pasca proyek.

 

Peran konsultan konstruksi, khususnya konsultan pengawas dan perencana, tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum ini. Mereka bukan hanya pihak yang memberikan rekomendasi teknis, tetapi juga bertindak sebagai pengendali mutu dan jaminan bahwa setiap tahap konstruksi berjalan sesuai rencana dan peraturan.

 

Kerangka Hukum dan Metodologi Penelitian

 

Penelitian ini mengadopsi metode hukum normatif-empiris. Artinya, penulis tidak hanya mengkaji undang-undang dan peraturan perundangan, tetapi juga memadukannya dengan fakta empiris melalui wawancara dan studi kasus. Pendekatan ini menghasilkan pemahaman yang lebih konkret terhadap pelaksanaan tanggung jawab hukum di lapangan.

 

Kerangka hukum utama yang digunakan meliputi:

  • UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (dan UU Cipta Kerja sebagai perubahannya)
  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 1243–1246 tentang wanprestasi
  • Standar kontrak konstruksi nasional dan internasional (FIDIC)

 

Metode ini diperkuat dengan hasil wawancara mendalam bersama VP PT Prosys Bangun Persada dan Direktur PT Umsa Pratama Engineering yang memiliki pengalaman panjang di bidang jasa konsultansi konstruksi.

 

Konsultan Konstruksi dalam Konteks Tanggung Jawab Hukum

 

Menurut teori Hans Kelsen, tanggung jawab hukum adalah suatu akibat logis dari pelanggaran terhadap norma hukum. Dalam konteks konstruksi, konsultan memiliki tanggung jawab apabila terjadi pelanggaran atau kelalaian profesional dalam perencanaan maupun pengawasan yang menyebabkan kerugian.

 

Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat dua bentuk pertanggungjawaban hukum:

 

1. Tanggung jawab perdata: Bila konsultan melanggar isi perjanjian kerja sama, maka ia dapat digugat melalui mekanisme wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Dalam praktiknya, penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan, kerugian, dan hubungan kausalitas antara tindakan konsultan dan akibat yang ditimbulkan.

 

2. Tanggung jawab kontraktual: Terikat dalam perjanjian kerja konstruksi, konsultan wajib menyampaikan hasil pekerjaan sesuai spesifikasi teknis, keselamatan, dan kaidah hukum. Bila lalai, maka hak pemilik proyek untuk menuntut ganti rugi dapat diberlakukan. Tanggung jawab ini diperkuat dalam ketentuan kontrak maupun ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang sahnya perjanjian.

 

Studi Kasus dan Praktik Lapangan

 

Hasil wawancara dalam paper ini menekankan bahwa dalam banyak proyek, tanggung jawab konsultan tidak bersifat pasif. Konsultan manajemen konstruksi bahkan terlibat aktif dalam hal pengendalian mutu, penyusunan jadwal kerja, hingga verifikasi progres lapangan. Jika terjadi kegagalan, maka tanggung jawab mereka sangat tergantung pada ruang lingkup pekerjaan dan klausul kontrak.

 

Misalnya, dalam proyek pembangunan gedung pemerintah, kegagalan struktur atap yang disebabkan oleh kesalahan dalam perhitungan beban oleh konsultan perencana dapat mengakibatkan gugatan hukum. Bila dapat dibuktikan bahwa kesalahan terjadi akibat kelalaian profesional dan tidak mengikuti standar baku (misalnya SNI atau ISO), maka konsultan wajib bertanggung jawab secara hukum dan finansial.

 

Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa proses pembuktian tanggung jawab tidak mudah. Banyak proyek melibatkan berbagai pihak, dan batas tanggung jawab sering kali tumpang tindih. Di sinilah peran klausul dalam kontrak menjadi sangat penting.

 

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

 

Studi ini unggul dibandingkan beberapa penelitian terdahulu karena secara spesifik membedah peran konsultan, bukan hanya pelaksana proyek. Dalam penelitian oleh Sihombing (2019), fokus masih banyak pada tanggung jawab kontraktor. Sementara itu, Saputri (2020) menyoroti aspek penyelesaian sengketa, namun belum menyentuh kedalaman prinsip tanggung jawab hukum konsultan.

 

Namun demikian, ada beberapa kekurangan yang bisa dikembangkan lebih lanjut:

  • Belum membahas hubungan antara tanggung jawab konsultan dan polis asuransi professional indemnity.
  • Minim penjelasan tentang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif seperti arbitrase atau mediasi.
  • Belum ada analisis perbandingan dengan sistem hukum negara lain seperti Singapura atau Australia.

 

Implikasi terhadap Penyusunan Kontrak Konstruksi

 

Kontrak kerja konstruksi harus disusun dengan ketelitian ekstra. Paper ini menyarankan beberapa komponen krusial yang wajib dicantumkan:

  • Ruang lingkup kerja konsultan (dengan spesifikasi teknis)
  • Batasan dan pengecualian tanggung jawab
  • Jangka waktu tanggung jawab hukum (biasanya 10 tahun sejak serah terima kedua)
  • Ketentuan asuransi tanggung gugat profesional
  • Mekanisme penyelesaian sengketa (litigasi/arbitrase)

 

Kontrak yang detail dan disusun secara profesional akan membantu menghindari ambiguitas saat terjadi kegagalan bangunan.

 

Opini dan Rekomendasi Tambahan

 

Sebagai pelengkap, artikel ini membuka ruang untuk perbaikan sistemik di bidang konstruksi:

 

1. Regulasi Sertifikasi dan Lisensi Konsultan: Pemerintah perlu memastikan bahwa konsultan konstruksi yang terlibat dalam proyek publik memiliki sertifikasi kompetensi dan lisensi yang diperbarui secara berkala.

 

2. Perlindungan Pihak Pengguna Jasa: UU Jasa Konstruksi dapat diperkuat dengan aturan turunan yang menjelaskan perlindungan konsumen atas jasa konstruksi yang gagal fungsi.

 

3. Digitalisasi Sistem Pengawasan: Penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan teknologi pengawasan digital dapat meningkatkan akurasi dan transparansi kerja konsultan.

 

4. Integrasi Skema Asuransi Proyek: Pemerintah bisa mewajibkan skema asuransi kegagalan proyek agar semua pihak mendapat perlindungan hukum dan finansial yang adil.

 

Kesimpulan: Menata Ulang Akuntabilitas di Dunia Konstruksi

 

Paper ini memberikan kontribusi nyata dalam memahami dan membingkai ulang peran serta tanggung jawab konsultan konstruksi dalam hukum Indonesia. Di tengah maraknya kegagalan bangunan dan proyek infrastruktur besar-besaran, akuntabilitas hukum menjadi aspek tak terhindarkan.

 

Dengan pendekatan berbasis kontrak dan prinsip tanggung jawab perdata, diharapkan para konsultan konstruksi dapat menjalankan fungsi profesionalnya dengan lebih hati-hati, transparan, dan bertanggung jawab. Reformasi kontrak kerja konstruksi dan sistem evaluasi performa pasca proyek harus menjadi fokus ke depan.

 

Dengan memperkuat sistem hukum, memperjelas peran dan tanggung jawab dalam kontrak, serta meningkatkan profesionalisme dan sertifikasi konsultan, industri konstruksi Indonesia bisa melangkah menuju masa depan yang lebih berkualitas, aman, dan akuntabel.

 

 

Sumber Asli Paper:

Napitupulu, L. A. T., & Haryanto, I. (2024). Pertanggung Jawaban Hukum Konsultan Konstruksi terhadap Kegagalan Konstruksi Bangunan. Jurnal USM Law Review Vol. 7 No. 1. https://doi.org/10.26623/julr.v7i1