Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Air, Digitalisasi, dan Masa Depan Layanan Publik
Air merupakan infrastruktur vital yang menopang kehidupan sosial dan ekonomi. Di Swedia, tantangan seperti urbanisasi, infrastruktur menua, dan perubahan iklim mendorong kebutuhan untuk mendigitalisasi sistem penyediaan air. Namun, adopsi solusi digital masih tertinggal dibandingkan sektor lain. Laporan tesis "Aligning Currents" oleh Emelie Skantz (2024) menyoroti berbagai hambatan utama dalam proses digitalisasi utilitas air, berdasarkan wawancara dengan penyedia teknologi dan operator air di Swedia.
Tujuan dan Metodologi Studi
Penelitian ini mengeksplorasi dua pertanyaan utama:
Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan 11 pemangku kepentingan dari utilitas air, penyedia teknologi, konsultan, dan akademisi, serta ditunjang dengan literatur sekunder.
Hambatan Utama Digitalisasi Utilitas Air
1. Tidak Ada Strategi dan Visi Digitalisasi yang Jelas
Banyak utilitas air tidak memiliki strategi digitalisasi formal. WU4 menyebut meski telah melakukan beberapa lokakarya, belum ada arah strategis yang konkret. WU1 menekankan digitalisasi dilakukan secara “instingtif” tanpa panduan tujuan jangka panjang.
2. Dukungan Manajemen dan Struktur Organisasi Lemah
Digitalisasi belum menjadi prioritas manajerial. Banyak CEO/utilitas masih menganggap digitalisasi sebagai proyek teknologi, bukan investasi strategis. Konsultan C1 menyebut banyak perusahaan air “belum siap secara budaya dan struktur” menghadapi proyek transformasi digital.
3. Kekurangan Kompetensi dan Sumber Daya Manusia
Kekurangan tenaga ahli membuat inisiatif digitalisasi seringkali gagal dieksekusi meskipun sudah direncanakan. Bahkan, posisi seperti manajer digitalisasi kadang tidak dibekali dengan kewenangan atau dukungan memadai.
4. Isu Keamanan Siber dan Kepemilikan Data
Kekhawatiran tentang cybersecurity dan kontrol data jadi penghambat utama, terutama untuk layanan berbasis cloud atau “data as a service”. Risiko vendor lock-in juga menghambat adopsi luas.
5. Kurangnya Insentif Regulasi dan Kebijakan
Tidak ada mandat nasional untuk mendorong digitalisasi. Operator tidak diberi insentif dari pemerintah, padahal biaya investasi tinggi dan tarif air rendah membuat pengembalian investasi sulit dihitung.
Perspektif Penyedia Teknologi: Selaras tapi Terkendala
Penyedia teknologi, terutama yang sudah mapan dan tergabung dalam asosiasi industri seperti Vattenindustrin, merasa sudah cukup memahami kebutuhan pasar. Namun mereka menyebut tantangan utama datang dari organisasi pelanggan sendiri, terutama lambatnya pengambilan keputusan, struktur birokratis, dan sikap konservatif.
Peluang solusi yang diusulkan:
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Data ini menunjukkan kompleksitas dan kebutuhan investasi besar yang sulit diatasi tanpa transformasi struktural dan digitalisasi yang sistemik.
Temuan Tambahan dari Literatur
Rekomendasi Praktis
Kesimpulan: Digitalisasi Butuh Tata Kelola dan Budaya Baru
Digitalisasi sektor air bukan sekadar mengganti meter manual dengan sensor pintar. Ia menuntut perubahan budaya, restrukturisasi organisasi, penyesuaian regulasi, dan peningkatan kompetensi. Studi ini menegaskan bahwa keberhasilan digitalisasi di sektor air akan sangat bergantung pada kemampuan berbagai aktor untuk bekerja sama secara terkoordinasi, dengan tujuan dan tanggung jawab yang jelas.
Tanpa strategi menyeluruh dan reformasi institusional, digitalisasi hanya akan jadi buzzword—bukan solusi nyata atas tantangan air masa kini.
Sumber : Skantz, E. (2024). Aligning Currents: Uncovering Perspectives on Barriers in Water Utility Digitalization. Master of Science Thesis, KTH Royal Institute of Technology. TRITA-ITM-EX 2024:302.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pengantar: Data Besar dan Inovasi Infrastruktur
Big data dan Internet of Things (IoT) telah menjadi penggerak utama dalam manajemen infrastruktur publik, termasuk air minum. Melalui data-driven innovation (DDI), operator jaringan bisa melakukan pemeliharaan prediktif, deteksi kebocoran, dan penghematan biaya secara signifikan. Namun, transformasi digital seperti penerapan Smart Water Meter (SWM) di Belanda menghadapi hambatan besar: aturan hukum yang belum siap.
Makalah oleh Espinosa dan Lavrijssen (2019) membedah tantangan regulasi SWM di Belanda. Penelitian ini jadi diskusi awal tentang bagaimana kerangka hukum lama berinteraksi (atau bertabrakan) dengan teknologi baru.
Fungsi dan Manfaat SWM: Lebih dari Sekadar Tagihan
Smart Water Meter bukan hanya alat ukur konsumsi, tapi sistem sensor real-time yang:
Namun teknologi ini juga membawa risiko privasi dan keamanan data, karena informasi dikumpulkan secara real-time di rumah pelanggan dan bisa menggambarkan pola hidup pengguna.
Situasi Terkini di Belanda: Potensi Besar, Payung Hukum Kurang
Belanda belum memiliki kebijakan nasional untuk SWM. Tidak ada regulasi khusus, standar teknis, maupun mandat instalasi. Pilot project hanya dilakukan oleh tiga perusahaan air: Vitens, Oasen, dan Brabant Water.
Mengapa belum diluncurkan secara nasional?
Namun, cuaca ekstrem seperti musim panas 2018 yang sangat kering menunjukkan bahwa krisis air bisa datang lebih cepat dari perkiraan.
Studi Kasus: Ketidaksiapan Regulasi Mikro dan Makro
Tingkat Mikro (Peraturan Metering)
Aturan yang ada hanya mengatur meteran untuk kebutuhan tagihan. Fitur-fitur baru seperti pengiriman data otomatis, deteksi kebocoran, atau pemantauan kualitas air tidak tercakup.
Masalah krusial:
Tingkat Makro (Kerangka Umum Sektor Air)
Sebagai sektor monopoli publik, perusahaan air Belanda terikat pada aturan ketat:
SWM sebagai investasi baru sulit dimasukkan tanpa aturan nasional yang jelas, apalagi karena konsumen tidak bisa memilih operator air mereka (captive consumers).
Regulasi dan Teknologi: Empat Dilema Hukum
Berdasarkan kerangka Bennett Moses, regulasi menghadapi 4 dilema akibat perubahan teknologi:
Dalam konteks SWM:
Perbandingan Internasional dan Potensi Solusi
Negara seperti Inggris sudah mewajibkan SWM di daerah rawan kekeringan. Beberapa negara, seperti Denmark, menggunakan GDPR Pasal 6(1)(e) dan 6(1)(f) sebagai dasar hukum pemrosesan data untuk kepentingan publik dan legitimasi pemilik data.
Di Belanda, pendekatan ini belum ada. Tanpa kebijakan nasional, setiap perusahaan air harus menafsirkan sendiri ruang geraknya, yang menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko hukum.
Rekomendasi dan Refleksi
Kesimpulan: Saatnya Aturan Mengejar Teknologi
Belanda memiliki potensi besar dalam transformasi digital sektor air. Namun tanpa penyesuaian regulasi, inovasi seperti SWM akan tetap berada di tahap uji coba. Tulisan ini menunjukkan bahwa tantangan bukan pada teknologi itu sendiri, tetapi pada kerangka hukum yang belum cukup adaptif untuk mengakomodasi perubahan digital yang cepat.
Langkah ke depan adalah mengkaji ulang aturan yang ada, bukan untuk menghambat teknologi, tapi untuk memastikan manfaatnya bisa dinikmati dengan tetap menjaga hak-hak dasar konsumen.
Sumber : Espinosa, B., & Lavrijssen, S. (2019). Exploring the regulatory challenges of a possible rollout of smart water meters in the Netherlands. Competition and Regulation in Network Industries, 19(3–4), 159–179.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Transisi Hijau Pasca Pandemi
Pandemi COVID-19 bukan hanya krisis kesehatan, tetapi juga momentum untuk reformasi struktural sektor air di Uni Eropa. Melalui skema Recovery and Resilience Facility (RRF) senilai €648 miliar, UE menyelaraskan pemulihan ekonomi dengan agenda transisi hijau, termasuk penguatan manajemen air berkelanjutan yang mendukung SDG 6 dan mitigasi perubahan iklim. Dokumen yang diterbitkan oleh European Parliamentary Research Service (2024) ini membahas bagaimana 15 negara anggota UE mengalokasikan dana pemulihan mereka untuk reformasi dan investasi air senilai lebih dari €12,9 miliar.
Latar Belakang: Tantangan Ketimpangan Akses dan Krisis Iklim
Walaupun sebagian besar penduduk UE memiliki akses air bersih, laporan mencatat masih ada ketimpangan regional dan musiman, serta 61 kasus pelanggaran lingkungan aktif terkait air di seluruh Eropa pada Juli 2024. Krisis iklim memperparah tekanan air, dengan kekeringan bahkan terjadi di wilayah lembab seperti Jerman dan Belgia. Indeks Eksploitasi Air (WEI+) menunjukkan stress parah di Siprus (113%) dan Malta (29,6%), di mana nilai di atas 40% mengindikasikan kelangkaan serius.
Struktur Dana: Dari Reformasi hingga Proyek Infrastruktur
Dana pemulihan terbagi ke dalam beberapa kategori intervensi:
Setiap negara wajib mengikuti prinsip Do No Significant Harm (DNSH) dan menyertakan reformasi yang berkontribusi pada 37% pengurangan emisi karbon, serta mematuhi standar kualitas air dan konservasi laut.
Studi Kasus 1: Italia dan Jaringan Distribusi Air
Italia mengalokasikan €1,924 miliar untuk memperbaiki kebocoran air, terutama di selatan di mana kerugian air melebihi 50%. Proyek mencakup digitalisasi sistem, kontrol cerdas, dan pembangunan 45.000 km jaringan air baru. Reformasi pendukung mencakup konsolidasi operator air menjadi satu entitas per wilayah guna efisiensi investasi.
Studi Kasus 2: Yunani dan Akses Air Minum
Yunani menjalankan proyek €200 juta untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan air, termasuk pembangunan tiga pabrik desalinasi, telemetri jaringan air, dan pengadaan 10.000 meter air digital. Targetnya adalah menghemat air di 45.000 rumah dan 10.000 bisnis pada akhir 2025.
Studi Kasus 3: Portugal dan Efisiensi di Pulau
Portugal menyasar pulau Madeira dan Porto Santo dengan proyek €82 juta untuk membangun dan memodernisasi jaringan irigasi, membuat 53 km pipa, serta menambah 4 hm³ cadangan air. Proyek ini bertujuan memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim dan meningkatkan efisiensi distribusi.
Studi Kasus 4: Slovenia dan Air Limbah Ramah Iklim
Slovenia membiayai 25 proyek pengolahan air limbah kota berenergi nol dan efisiensi tinggi, senilai €54 juta, khusus untuk wilayah Natura 2000 dan area perlindungan air. Semua proyek harus selesai pada Juni 2026 dan menghasilkan sistem yang sesuai dengan Urban Waste Water Treatment Directive.
Progres Pelaksanaan: Revisi dan Tantangan Lapangan
Hingga Juli 2024, hanya 17% target dan milestone proyek air yang tercapai, dengan reformasi mencapai 41%, sementara investasi baru 11%. Hal ini disebabkan banyak proyek infrastruktur masih dalam tahap desain atau tender.
Dampak Reformasi: Hasil Nyata di Beberapa Negara
Analisis Tambahan: Peluang untuk Indonesia dan Global South
Pendekatan yang berbasis pada reformasi dan investasi simultan seperti UE dapat menjadi inspirasi untuk negara berkembang. Indonesia bisa meniru:
Namun, keberhasilan Eropa juga bergantung pada dukungan regulasi kuat, tata kelola transparan, dan evaluasi berkala, yang masih menjadi tantangan di banyak negara Global South.
Kesimpulan: Air sebagai Prioritas Strategis Pemulihan Hijau
Laporan ini menunjukkan bahwa air bukan sekadar isu lingkungan, melainkan infrastruktur dasar pemulihan ekonomi dan sosial. Pendekatan UE membuktikan bahwa pengelolaan air yang efisien, adil, dan tahan iklim bisa dicapai melalui kombinasi investasi hijau, reformasi kelembagaan, dan dukungan kebijakan fiskal.
Tantangan terbesar ke depan adalah menjamin eksekusi proyek tepat waktu sebelum tenggat Agustus 2026, serta menutup kesenjangan investasi air yang kini mencapai €25,6 miliar per tahun.
Sumber : D'Alfonso, A. (2024). Sustainable water management in recovery and resilience plans. European Parliamentary Research Service. PE 762.375 – July 2024.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Krisis Air Bersih dan Sanitasi Belum Usai
Air bersih dan sanitasi layak adalah hak asasi manusia yang masih belum dinikmati miliaran orang. Laporan PBB tahun 2023 menegaskan bahwa dunia belum berada di jalur yang tepat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6. Bahkan, lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses ke layanan air minum yang dikelola dengan aman, dan sekitar 1,9 miliar masih hidup tanpa sanitasi dasar.
Laporan “Ensuring Safe Water and Sanitation for All: A Solution through Science, Technology and Innovation” yang disusun oleh UNCTAD, memberikan peta jalan teknologi dan inovasi yang dapat mempercepat capaian SDG 6, terutama di negara berkembang.
Tantangan Global: Ketimpangan dan Krisis Iklim
Laporan menunjukkan ketimpangan masif:
Perubahan iklim memperparah krisis, dengan meningkatnya kekeringan, banjir, kontaminasi air, dan beban air yang tidak seimbang antar wilayah.
Dimensi Inovasi: Teknologi Saja Tak Cukup
UNCTAD menekankan empat dimensi inovasi penting dalam sektor air:
Kunci sukses bukan hanya inovasi canggih, tetapi integrasi antara teknologi, masyarakat, dan kebijakan.
Studi Kasus Penting dari Berbagai Negara
1. Cina – Water Cellar for Mothers
Sejak tahun 2000, lebih dari 139.000 sumur air hujan dibangun untuk mengatasi krisis air di pedesaan. Proyek ini telah membantu 3,3 juta orang, terutama perempuan, meningkatkan pendapatan melalui pertanian dan peternakan.
2. Kenya – Pipa Air Gantung di Kibera
SHOFCO membangun sistem perpipaan udara dan tangki 100.000 liter, menyediakan air untuk 84.000 warga slum Kibera, Nairobi. Akses dipastikan dalam radius 8 menit jalan kaki.
3. Senegal – Swiss Fresh Water
Dengan sistem desalinasi berkapasitas 4.000 liter/hari, proyek ini mendirikan 120 kios air dan menciptakan 500+ pekerjaan di Sine Saloum Delta.
4. India – Swachh Bharat Mission
Dalam 5 tahun, membangun 95 juta toilet dan menurunkan angka defekasi terbuka dari 550 juta ke 50 juta, menyelamatkan puluhan ribu nyawa dari penyakit diare.
Teknologi Masa Depan: Dari Sensor Hingga Biofuel
Inovasi Lokal: Teknologi Rakyat dan Kesiapsiagaan Iklim
Data, Digitalisasi dan Sistem Informasi
Rekomendasi Kebijakan UNCTAD
Analisis Tambahan: Peluang untuk Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan besar seperti:
Namun, Indonesia juga memiliki potensi besar:
Maka, mengadopsi pendekatan berbasis teknologi dengan adaptasi lokal dan partisipasi masyarakat menjadi sangat relevan.
Penutup: Teknologi Tanpa Inklusi Akan Gagal
Laporan UNCTAD menegaskan: ilmu pengetahuan dan teknologi tidak cukup tanpa keberpihakan sosial dan inovasi kelembagaan. Solusi air dan sanitasi hanya akan berkelanjutan jika dikembangkan bersama masyarakat, untuk masyarakat, dengan kebijakan yang mendukung keadilan sosial dan ketahanan iklim.
Sumber : United Nations Conference on Trade and Development. (2023). Ensuring Safe Water and Sanitation for All: A Solution through Science, Technology and Innovation. Geneva: UNCTAD.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Pandemi sebagai Titik Balik Ekonomi Hijau
Denmark menjadikan krisis COVID-19 sebagai momen strategis untuk mempercepat transisi hijau dan digital, sekaligus menguatkan daya tahan ekonomi pasca pandemi. Melalui Recovery and Resilience Plan (RRP) tahun 2021, Denmark merancang skema pembiayaan ambisius: total 11,6 miliar DKK dari UE dan dana nasional, dengan 60% dialokasikan untuk inisiatif hijau dan 25% untuk digitalisasi. Rencana ini bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 70% pada 2030, menjadikannya salah satu target iklim paling ambisius di dunia.
Pilar Rencana: Tujuh Komponen untuk Pemulihan dan Transformasi
Rencana ini dibagi menjadi tujuh komponen utama, dengan fokus dominan pada sektor-sektor emisi tinggi. Berikut ringkasan kontribusi terhadap target emisi CO2e (2030):
Studi Kasus 1: Reformasi Pajak Karbon Berbasis Dua Fase
Denmark menjalankan Green Tax Reform dalam dua fase:
Fase awal menargetkan pengurangan emisi sebesar 0,5 Mt CO2e. Fase lanjutan diharapkan menciptakan dampak struktural, memperkuat investasi teknologi rendah karbon, dan menjaga daya saing industri lewat skema insentif cerdas seperti window investasi dan penyusutan dipercepat.
Studi Kasus 2: Transisi Hijau Sektor Transportasi
Sektor transportasi menyumbang sekitar 25% dari total emisi Denmark. Komponen ini menargetkan:
Langkah-langkah ini diperkirakan mempercepat transisi kendaraan pribadi, sekaligus mengurangi polusi udara dan kemacetan.
Transformasi Energi: Efisiensi, Panas Hijau, dan CCS
Sektor energi menjadi tulang punggung transisi. RRP Denmark mendukung:
Diproyeksikan kontribusi pengurangan emisi sebesar 0,1 Mt CO2e pada 2030, dengan potensi tambahan dari CCS sebesar 4–9 Mt jika teknologi sepenuhnya diterapkan.
Transformasi Pertanian dan Lingkungan
Sektor pertanian menyumbang sekitar ⅓ emisi nasional. Rencana Denmark meliputi:
Potensi teknis pengurangan emisi dari sektor ini mencapai 2 Mt CO2e.
Riset dan Inovasi Hijau: Empat Misi Utama
Denmark berinvestasi 1,8 miliar DKK dalam riset hijau, dengan empat fokus:
Hasilnya diproyeksikan menurunkan emisi antara 8,7–16,7 Mt CO2e pada 2030.
Digitalisasi dan Ekspor Teknologi
Sebagai pemimpin digital global menurut PBB, Denmark memperkuat infrastruktur dan strategi digital:
Digitalisasi dianggap katalis penting dalam efisiensi energi, transportasi, hingga layanan publik.
Komitmen Sosial dan Kesehatan
Denmark menyisihkan 244 juta DKK untuk memperkuat sistem kesehatan nasional melalui:
Langkah ini menegaskan bahwa transisi hijau tidak mengorbankan keadilan sosial dan kesehatan publik.
Dampak Makroekonomi dan Sosial
Menurut proyeksi pemerintah:
Dengan demikian, RRP Denmark membuktikan bahwa transisi hijau dan pemulihan ekonomi dapat berjalan seiring.
Analisis Tambahan: Inspirasi Global untuk Ekonomi Hijau
Pendekatan Denmark relevan bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Pengalaman Denmark menunjukkan bahwa reformasi fiskal progresif, riset berbasis misi, dan kemitraan multisektor bisa menciptakan pertumbuhan hijau yang inklusif dan berkelanjutan.
Namun, keberhasilan ini juga menuntut:
Kesimpulan: Investasi Hijau Jadi Pilar Pemulihan dan Ketahanan
Denmark memposisikan transisi hijau bukan sekadar respons terhadap krisis, tetapi strategi jangka panjang menuju ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan. Rencana ini menunjukkan sinergi antara kebijakan fiskal, insentif ekonomi, teknologi digital, dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan adil.
Sumber : Ministry of Finance, Denmark. (2021). Denmark's Recovery and Resilience Plan – Accelerating the Green Transition. April 2021.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Teknologi Maju Tak Cukup Tanpa Tata Kelola Inklusif
Infrastruktur air modular semakin dipertimbangkan sebagai solusi atas keterbatasan sistem konvensional yang besar, tersentralisasi, dan kaku. Namun, transisi ini bukan hanya persoalan teknologi, melainkan juga tantangan besar dalam tata kelola. Artikel ini merangkum dan menganalisis paper dari Katrin Pakizer dan Eva Lieberherr (2018) yang mereview tata kelola alternatif bagi infrastruktur air modular secara sistematis, terutama dalam konteks negara-negara OECD dan ekonomi berkembang.
Konteks Masalah: Ketergantungan pada Sistem Sentralisasi
Sebagian besar negara maju masih mengandalkan sistem air konvensional yang tersentralisasi dan hierarkis, padahal sistem ini rentan terhadap:
Sementara sistem modular yang terdiri dari unit-unit kecil, otomatis, dan diproduksi massal memiliki potensi untuk lebih adaptif, efisien, dan berkelanjutan.
Namun, adopsi sistem modular sering terhambat oleh defisit inovasi, yaitu kecenderungan sektor air untuk bertahan pada sistem lama karena biaya awal tinggi, umur aset panjang (30–100 tahun), dan risiko perubahan kelembagaan.
Fokus Studi: Tinjauan Eksploratif Tata Kelola Alternatif
Penelitian ini mengevaluasi 115 publikasi yang relevan dan mengidentifikasi 11 studi kasus nyata dari 8 negara, termasuk Jepang, Jerman, Australia, Kanada, dan Finlandia. Fokus utama kajian ini:
Temuan Utama: Masih Dominannya Instrumen Formal
Sebagian besar studi mengandalkan instrumen kebijakan formal, seperti:
Instrumen pasar seperti subsidi, lelang, dan insentif ekonomi juga muncul, misalnya dalam mendorong pemasangan kebun hujan dan tangki air di Amerika Serikat (Thurston et al., 2010).
Sementara itu, instrumen informal masih jarang digunakan, tapi efektif dalam tahap perencanaan, seperti:
Studi Kasus Kunci: Pelajaran dari Jepang dan Finlandia
Bentuk Organisasi: Publik Tetap Sentral, Tapi Komunitas Naik Peran
Tidak ada satu pun studi kasus yang sepenuhnya dikelola swasta. Sebagian besar layanan tetap berada di bawah pengawasan publik atau melalui koperasi air masyarakat.
Pengelolaan berbasis komunitas menjadi semakin penting, terutama untuk infrastruktur berskala rumah tangga atau desa. Misalnya, sistem air hujan di Australia atau koperasi air di Texas dan New Mexico yang dijalankan melalui kemitraan publik-swasta lokal.
Mekanisme Sosial: Dari Akuntabilitas Vertikal ke Horizontal
Dalam sistem modular, bentuk akuntabilitas cenderung bergeser dari vertikal (atas ke bawah) ke horizontal (antarwarga). Ini dicontohkan dengan:
Nilai-nilai seperti altruisme, kepercayaan, dan kerja sama sukarela menjadi kunci dalam kelangsungan sistem modular berbasis masyarakat.
Kritik dan Analisis Tambahan: Relevansi untuk Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serupa: keterbatasan dana, ketimpangan pelayanan air, dan tekanan urbanisasi. Sistem modular dapat menjadi solusi alternatif, terutama di wilayah pinggiran dan rural, namun:
Kesimpulan: Tata Kelola Modular Butuh Reformasi Bertahap
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi modular menjanjikan, tata kelola dan regulasi yang adaptif tetap jadi kunci keberhasilan. Dibutuhkan:
Modularisasi infrastruktur air bukan hanya proyek teknis, tetapi transformasi sosial-politik yang membutuhkan pendekatan lintas sektor dan partisipatif. Ke depan, penelitian harus menggali lebih dalam hubungan timbal balik antara teknologi dan institusi untuk merancang tata kelola yang benar-benar inovatif dan berkelanjutan.
Sumber : Pakizer, K., & Lieberherr, E. (2018). Alternative governance arrangements for modular water infrastructure: An exploratory review. Competition and Regulation in Network Industries, 19(1-2), 53–68.