Modularisasi Infrastruktur Air Butuh Tata Kelola Baru yang Adaptif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

19 Juni 2025, 09.42

pixabay.com

Pendahuluan: Teknologi Maju Tak Cukup Tanpa Tata Kelola Inklusif

Infrastruktur air modular semakin dipertimbangkan sebagai solusi atas keterbatasan sistem konvensional yang besar, tersentralisasi, dan kaku. Namun, transisi ini bukan hanya persoalan teknologi, melainkan juga tantangan besar dalam tata kelola. Artikel ini merangkum dan menganalisis paper dari Katrin Pakizer dan Eva Lieberherr (2018) yang mereview tata kelola alternatif bagi infrastruktur air modular secara sistematis, terutama dalam konteks negara-negara OECD dan ekonomi berkembang.

Konteks Masalah: Ketergantungan pada Sistem Sentralisasi

Sebagian besar negara maju masih mengandalkan sistem air konvensional yang tersentralisasi dan hierarkis, padahal sistem ini rentan terhadap:

  • Penuaan infrastruktur
  • Teknologi usang
  • Perubahan iklim
  • Pertumbuhan populasi dan urbanisasi

Sementara sistem modular yang terdiri dari unit-unit kecil, otomatis, dan diproduksi massal memiliki potensi untuk lebih adaptif, efisien, dan berkelanjutan.

Namun, adopsi sistem modular sering terhambat oleh defisit inovasi, yaitu kecenderungan sektor air untuk bertahan pada sistem lama karena biaya awal tinggi, umur aset panjang (30–100 tahun), dan risiko perubahan kelembagaan.

Fokus Studi: Tinjauan Eksploratif Tata Kelola Alternatif

Penelitian ini mengevaluasi 115 publikasi yang relevan dan mengidentifikasi 11 studi kasus nyata dari 8 negara, termasuk Jepang, Jerman, Australia, Kanada, dan Finlandia. Fokus utama kajian ini:

  • Instrumen kebijakan (formal dan informal)
  • Bentuk organisasi dan aktor yang terlibat
  • Mekanisme sosial seperti akuntabilitas dan norma masyarakat

Temuan Utama: Masih Dominannya Instrumen Formal

Sebagian besar studi mengandalkan instrumen kebijakan formal, seperti:

  • Regulasi kualitas air dan standar instalasi
  • Inspeksi dan monitoring langsung oleh negara
  • Hukum khusus seperti Johkasou Law di Jepang yang mewajibkan sistem pengolahan air limbah on-site

Instrumen pasar seperti subsidi, lelang, dan insentif ekonomi juga muncul, misalnya dalam mendorong pemasangan kebun hujan dan tangki air di Amerika Serikat (Thurston et al., 2010).

Sementara itu, instrumen informal masih jarang digunakan, tapi efektif dalam tahap perencanaan, seperti:

  • Kampanye edukasi masyarakat
  • Benchmarking antar komunitas (misalnya di Finlandia)
  • Pertemuan warga dan forum komunikasi langsung

Studi Kasus Kunci: Pelajaran dari Jepang dan Finlandia

  • Jepang mewajibkan sistem pengolahan air limbah Johkasou untuk daerah tanpa saluran pembuangan. Hukum ini juga mengatur siapa yang bertanggung jawab memasang, mengelola, dan mengevaluasi teknologi.
  • Finlandia menunjukkan bahwa infrastruktur mikro berbasis komunitas bisa berhasil bila didorong oleh kolektivitas, rasa percaya, dan akuntabilitas horizontal antarwarga.

Bentuk Organisasi: Publik Tetap Sentral, Tapi Komunitas Naik Peran

Tidak ada satu pun studi kasus yang sepenuhnya dikelola swasta. Sebagian besar layanan tetap berada di bawah pengawasan publik atau melalui koperasi air masyarakat.

Pengelolaan berbasis komunitas menjadi semakin penting, terutama untuk infrastruktur berskala rumah tangga atau desa. Misalnya, sistem air hujan di Australia atau koperasi air di Texas dan New Mexico yang dijalankan melalui kemitraan publik-swasta lokal.

Mekanisme Sosial: Dari Akuntabilitas Vertikal ke Horizontal

Dalam sistem modular, bentuk akuntabilitas cenderung bergeser dari vertikal (atas ke bawah) ke horizontal (antarwarga). Ini dicontohkan dengan:

  • Partisipasi warga dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan
  • Rasa kepemilikan komunitas terhadap infrastruktur
  • Munculnya prinsip keadilan prosedural, di mana warga merasa dihargai karena dilibatkan

Nilai-nilai seperti altruisme, kepercayaan, dan kerja sama sukarela menjadi kunci dalam kelangsungan sistem modular berbasis masyarakat.

Kritik dan Analisis Tambahan: Relevansi untuk Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan serupa: keterbatasan dana, ketimpangan pelayanan air, dan tekanan urbanisasi. Sistem modular dapat menjadi solusi alternatif, terutama di wilayah pinggiran dan rural, namun:

  • Regulasi harus mendukung inovasi, bukan menghambatnya
  • Peran masyarakat perlu diperkuat dengan edukasi dan dukungan teknis
  • Kolaborasi antara pemerintah daerah, LSM, dan sektor swasta harus berbasis prinsip keadilan dan transparansi

Kesimpulan: Tata Kelola Modular Butuh Reformasi Bertahap

Studi ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi modular menjanjikan, tata kelola dan regulasi yang adaptif tetap jadi kunci keberhasilan. Dibutuhkan:

  • Kombinasi instrumen formal dan informal
  • Peran aktif komunitas lokal
  • Akuntabilitas berbasis kolaborasi, bukan hanya kontrol

Modularisasi infrastruktur air bukan hanya proyek teknis, tetapi transformasi sosial-politik yang membutuhkan pendekatan lintas sektor dan partisipatif. Ke depan, penelitian harus menggali lebih dalam hubungan timbal balik antara teknologi dan institusi untuk merancang tata kelola yang benar-benar inovatif dan berkelanjutan.

Sumber : Pakizer, K., & Lieberherr, E. (2018). Alternative governance arrangements for modular water infrastructure: An exploratory review. Competition and Regulation in Network Industries, 19(1-2), 53–68.