Kebijakan Infrastruktur Air

Transisi Energi Terbarukan: Kebijakan Global untuk Masa Depan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025


Pendahuluan

Laporan Renewable Energy Policies in a Time of Transition oleh IRENA, IEA, dan REN21 (2018) memberikan analisis komprehensif tentang kebijakan energi terbarukan di sektor listrik, transportasi, serta pemanas dan pendingin. Dengan fokus pada tantangan dan peluang transisi energi, laporan ini menawarkan wawasan berharga bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat umum. 

 Tren Global Energi Terbarukan 

1. Sektor Listrik

    Kapasitas terpasang energi terbarukan mencapai 2.000 GW pada 2016, dengan tenaga air mendominasi (56%), diikuti angin (23%) dan surya (15%). 

  •     Biaya listrik surya turun 75% (2010–2017), sementara angin darat turun 25%. 
  •     Auksi menjadi instrumen populer, dengan harga ratarata PLS turun dari USD 250/MWh (2010) menjadi USD 50/MWh (2016). 

2. Sektor Transportasi: 

  •     Hanya 3,1% energi transportasi global berasal dari terbarukan (2015), terutama biodiesel dan etanol. 
  •     68 negara telah menerapkan mandat pencampuran biofuel, tetapi kebijakan untuk kendaraan listrik masih terbatas. 

3. Pemanas dan Pendingin: 

  •     Pemanas menyumbang 50% konsumsi energi akhir global, tetapi hanya 9% yang bersumber dari terbarukan. 
  •     Swedia memimpin dengan 68,6% pemanas terbarukan berkat pajak karbon tinggi dan distrik pemanas biomassa. 

 Studi Kasus Kebijakan 

1. Swedia: Pajak Karbon & Distrik Pemanas 

  •     Pajak karbon sebesar USD 187/ton CO₂ membuat bahan bakar fosil tidak kompetitif. 
  •     80% bahan bakar distrik pemanas berasal dari biomassa dan limbah. 

2. India: Tantangan Clean Cooking 

  •     64% rumah tangga India masih menggunakan biomassa tradisional untuk memasak. 
  •     Program Ujjwala (2016) mendistribusikan 50 juta tabung LPG bersubsidi, tetapi adopsi terhambat oleh biaya pengisian ulang. 

3. Brazil: Sukses Biofuel dengan Kendaraan Fleksibel 

  •     Mandat pencampuran etanol 27% dan biodiesel 10%. 
  •     72% kendaraan ringan Brazil menggunakan mesin fleksibel yang bisa menggunakan etanol murni. 

 Tantangan & Rekomendasi Kebijakan 

1. Integrasi Sistem: 

    Tingginya variabilitas energi surya dan angin membutuhkan fleksibilitas jaringan, seperti penyimpanan baterai dan smart grids. 

2. Ketimpangan Sektoral: 

    Kebijakan terbarukan masih terpusat di sektor listrik, sementara transportasi dan pemanas tertinggal. 

3. Subsidi Fosil vs. Terbarukan: 

    Subsidi fosil global 4x lebih besar daripada terbarukan, menghambat transisi. 

4. Peran Pemangku Kepentingan: 

    Kotakota seperti São Paulo (40% pemanas air surya di gedung baru) dan korporasi (RE100) menjadi aktor kunci. 

 Kesimpulan 

Transisi energi terbarukan membutuhkan pendekatan holistik yang mencakup: 

  •  Kebijakan harga karbon untuk menciptakan insentif ekonomi. 
  •  Integrasi lintas sektor (listrik, transportasi, pemanas). 
  •  Dukungan finansial dan riset untuk teknologi seperti powertoX dan biofuel lanjutan. 

Laporan ini menegaskan bahwa meski kemajuan signifikan telah dicapai, akselerasi kebijakan dan kolaborasi global tetap penting untuk memenuhi target Perjanjian Paris. 

Sumber:  IRENA, IEA, and REN21. Renewable Energy Policies in a Time of Transition. 2018. 

Selengkapnya
Transisi Energi Terbarukan: Kebijakan Global untuk Masa Depan Berkelanjutan

Kebijakan Infrastruktur Air

Menembus Batas Kota Cerdas: Strategi Sukses Smart Water Resource Management dan Studi Kasus Barcelona

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025


Urbanisasi pesat, krisis air bersih, dan perubahan iklim adalah realitas yang kini dihadapi kota-kota besar di seluruh dunia. Kota bukan hanya pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sumber utama emisi karbon dan konsumsi sumber daya air. Menurut proyeksi, pada tahun 2050, 83% populasi Eropa akan tinggal di perkotaan, dan hampir separuh populasi urban dunia akan menghadapi risiko kekurangan air (UN, 2019). Tantangan ini menuntut solusi inovatif dan terintegrasi, salah satunya melalui penerapan Smart Water Resource Management (SWRM) dalam kerangka kota cerdas berkelanjutan.

Artikel ini mengulas secara mendalam konsep SWRM, hambatan implementasinya, serta pembelajaran dari studi kasus Barcelona sebagai pionir kota cerdas di bidang manajemen air. Dengan menyoroti data, wawancara ahli, dan rekomendasi praktis, artikel ini relevan untuk pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat yang ingin mendorong transformasi kota berkelanjutan.

Smart Water Resource Management: Fondasi Kota Masa Depan

Definisi dan Manfaat SWRM

SWRM adalah pendekatan pengelolaan air berbasis teknologi digital—seperti Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence, dan Big Data—untuk meningkatkan efisiensi, keandalan, dan keberlanjutan layanan air. SWRM memungkinkan:

  • Prediksi kebutuhan air secara real-time
  • Deteksi kebocoran dan pencegahan kehilangan air
  • Pengurangan konsumsi energi
  • Penyesuaian layanan dengan kebutuhan konsumen
  • Respons cepat terhadap bencana seperti banjir atau kekeringan

Teknologi SWRM telah berkembang pesat, namun implementasinya di kota-kota dunia, termasuk di Eropa, masih menghadapi banyak tantangan.

SWRM dan Sustainable Smart Cities

Kota cerdas berkelanjutan (Sustainable Smart Cities/SSC) bukan sekadar kota digital, melainkan ekosistem yang mengintegrasikan teknologi, masyarakat, dan lingkungan. Menurut Yigitcanlar et al. (2019), kota cerdas harus memenuhi lima pilar: sustainability, governance, accessibility, livability, dan wellbeing. SWRM menjadi kunci untuk mewujudkan kota yang inklusif, tangguh, dan ramah lingkungan.

Studi Kasus Barcelona: Laboratorium Hidup Kota Cerdas Air

Mengapa Barcelona?

Barcelona dipilih sebagai studi kasus karena:

  • Menghadapi ancaman serius kekurangan air akibat penurunan curah hujan (Forero-Ortiz et al., 2020)
  • Memiliki ambisi tinggi dalam proyek SWRM dan terlibat dalam berbagai inisiatif Eropa
  • Ukurannya sebagai kota menengah dinilai ideal untuk inovasi SWRM, lebih mudah dikelola dibanding megapolitan

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara semi-terstruktur pada 9 pakar (teknisi, manajer, ilmuwan, dan NGO) di sektor air Barcelona. Data dikumpulkan dan dianalisis untuk mengidentifikasi hambatan implementasi serta strategi mengatasinya.

Barcelona sebagai Kota Cerdas Air

Barcelona telah menerapkan berbagai teknologi SWRM, seperti:

  • Sensor kualitas air dan jaringan distribusi pintar untuk memonitor dan mengendalikan suplai air
  • Sistem peringatan dini banjir dan kekeringan
  • Pelibatan warga dalam pemantauan dan pelaporan masalah air

Keberhasilan Barcelona didorong oleh kolaborasi lintas sektor, dukungan kebijakan pemerintah, dan keterlibatan aktif masyarakat.

Hambatan Implementasi SWRM: Temuan Kunci dari Barcelona

Meskipun teknologi SWRM sudah tersedia, proses implementasi di Barcelona mengungkap sejumlah hambatan utama yang juga relevan di kota lain:

Kompleksitas Manajemen dan Koordinasi

Manajemen SWRM membutuhkan koordinasi lintas lembaga—pemerintah, operator air, sektor swasta, dan masyarakat. Kompleksitas ini sering kali memperlambat pengambilan keputusan dan inovasi.

Resistensi terhadap Risiko dan Perubahan

Budaya aversi risiko dan ketakutan akan kegagalan membuat banyak pemangku kepentingan enggan mengadopsi teknologi baru. Hal ini diperparah oleh kurangnya pemahaman manfaat jangka panjang SWRM.

Kekurangan Regulasi dan Dukungan Kebijakan

Regulasi yang belum adaptif terhadap inovasi digital dan perlindungan data menjadi penghalang utama. Di Eropa, misalnya, penerapan GDPR (General Data Protection Regulation) menuntut kehati-hatian ekstra dalam pengelolaan data air.

Keterbatasan Sumber Daya Keuangan dan SDM

Investasi awal SWRM tergolong tinggi, baik untuk infrastruktur maupun pelatihan SDM. Kota sering kali kesulitan memperoleh dana dan tenaga ahli yang memadai.

Tantangan Etika dan Keamanan Data

Kekhawatiran privasi dan keamanan siber menjadi isu penting, terutama karena SWRM sangat bergantung pada data real-time dan sistem digital yang rentan serangan.

Kurangnya Partisipasi dan Motivasi Warga

Keterlibatan warga terbukti menjadi faktor penentu keberhasilan SWRM. Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami atau termotivasi untuk berpartisipasi aktif.

Studi Kasus dan Angka-Angka Penting

  • 83% warga Eropa diprediksi tinggal di kota pada 2050 (EC, 2010)
  • Kota menyumbang 75% emisi CO2 dunia, meski hanya menempati 3% permukaan bumi (IWRA, 2021)
  • Kekurangan air dan kualitas air buruk diprediksi menjadi isu utama Barcelona abad ini (Forero-Ortiz et al., 2020)
  • 9 ahli SWRM di Barcelona diwawancarai untuk mengidentifikasi hambatan dan solusi

Strategi Mengatasi Hambatan: Pembelajaran dari Barcelona

1. Meningkatkan Kolaborasi dan Kepemimpinan

Kolaborasi lintas sektor dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah kota sangat krusial. Barcelona berhasil membentuk tim lintas lembaga yang fokus pada inovasi air.

2. Mendorong Inovasi Kebijakan dan Regulasi

Kebijakan progresif yang mendukung inovasi, seperti insentif untuk investasi teknologi dan perlindungan data yang seimbang, mempercepat adopsi SWRM.

3. Edukasi dan Pelibatan Masyarakat

Kampanye edukasi dan pelibatan warga secara aktif—melalui aplikasi pelaporan, workshop, dan insentif—berhasil meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap air.

4. Pengembangan SDM dan Transfer Pengetahuan

Pelatihan intensif untuk operator dan pengelola air, serta pertukaran pengetahuan dengan kota lain, memperkuat kapasitas SDM lokal.

5. Pendanaan Inovatif

Pendanaan campuran (public-private partnership) dan akses ke dana Eropa menjadi kunci Barcelona dalam membiayai proyek SWRM.

6. Penerapan Teknologi Adaptif

Teknologi SWRM yang adaptif dan modular lebih mudah diintegrasikan dan di-upgrade sesuai kebutuhan kota.

Kritik dan Analisis Tambahan

Kelebihan Pendekatan Barcelona

  • Model kolaboratif yang mengedepankan partisipasi warga dan lintas sektor
  • Akselerasi inovasi melalui regulasi adaptif dan pendanaan kreatif
  • Penguatan kapasitas SDM dan transfer pengetahuan

Tantangan yang Masih Tersisa

  • Skalabilitas: Model Barcelona lebih mudah diadopsi di kota menengah, namun lebih kompleks di megapolitan
  • Ketimpangan akses teknologi: Tidak semua warga memiliki akses atau literasi digital yang memadai
  • Ketergantungan pada dana eksternal: Ketahanan finansial jangka panjang masih menjadi PR

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian lain di negara berkembang menyoroti hambatan serupa, namun lebih berat pada aspek pendanaan dan infrastruktur dasar. Di Asia Tenggara, misalnya, tantangan utama adalah ketersediaan air baku dan infrastruktur digital yang belum merata.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

Transformasi SWRM di Barcelona sejalan dengan agenda SDG 6 dan 11 PBB, serta tren industri smart city global yang menekankan integrasi teknologi, kolaborasi, dan keberlanjutan. Banyak kota di dunia, seperti Singapura dan Kopenhagen, juga mulai meniru model Barcelona dalam pengelolaan air cerdas.

Rekomendasi Praktis untuk Kota Lain

  • Bangun kolaborasi lintas sektor dari awal
  • Dorong regulasi yang adaptif dan pro-inovasi
  • Fokus pada edukasi dan pelibatan warga
  • Kembangkan SDM dan transfer pengetahuan
  • Gunakan teknologi modular dan adaptif
  • Diversifikasi sumber pendanaan

Kesimpulan

Smart Water Resource Management adalah fondasi utama kota cerdas berkelanjutan. Studi kasus Barcelona membuktikan bahwa keberhasilan SWRM tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kolaborasi, kebijakan adaptif, edukasi masyarakat, dan penguatan SDM. Kota lain dapat belajar dari pengalaman Barcelona untuk menembus hambatan implementasi dan membangun masa depan urban yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber artikel: Höpken, L. M. (2022). Towards reduced policy implementation barriers applicable to smart water resources management: a qualitative analysis. Westfälische Wilhelms-Universität Münster, University of Twente.

Selengkapnya
Menembus Batas Kota Cerdas: Strategi Sukses Smart Water Resource Management dan Studi Kasus Barcelona

Kebijakan Infrastruktur Air

Membangun IKN Sebagai Kota Cerdas: Strategi Smart City & Smart Water Management untuk Masa Depan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Juni 2025


Pendahuluan

Pemindahan ibu kota Indonesia ke Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan lompatan menuju masa depan kota cerdas yang hijau, inklusif, dan berstandar internasional. Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan visi ini adalah pengelolaan air bersih dan sumber daya air secara cerdas. Artikel ini mengupas secara kritis konsep smart city dan smart water management (SWM) yang diusulkan untuk IKN, mengaitkannya dengan tren global, serta mengulas studi kasus, angka-angka nyata, dan potensi implementasi di Indonesia.

Visi IKN: Kota Smart, Green, dan Berkelanjutan

IKN diharapkan menjadi kota modern, smart, dan berkelanjutan yang mengintegrasikan teknologi informasi, arsitektur modern, serta kearifan lokal. Salah satu target utama adalah memenuhi seluruh indikator Sustainable Development Goals (SDGs) dengan menekankan ruang terbuka hijau minimal 50% dari tata ruang kota, serta perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi1.

Tantangan Air Bersih di IKN: Fakta & Angka

Ketersediaan Sumber Air

Berdasarkan data Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, terdapat enam infrastruktur utama sumber air baku di Kalimantan Timur, seperti Waduk Manggar (kapasitas 14,2 juta m³), Waduk Barnacle (2,43 juta m³), hingga Intake Sungai Mahakam (0,02 juta m³). Total potensi air baku dari lima infrastruktur eksisting adalah 4.827 liter/detik. Pemerintah juga membangun Waduk Sepaku-Semoi (2.500 liter/detik) dan merencanakan tujuh infrastruktur baru, termasuk Waduk Batu Lepek (14.500 liter/detik)1.

Kualitas Air Permukaan

Hasil pengujian kualitas air Sungai Mahakam menunjukkan kondisi yang memprihatinkan:

  • TSS: 62–231 mg/L (standar: 50 mg/L)
  • BOD: 3,72–16,5 mg/L (standar: 2 mg/L)
  • COD: 12,14–33,49 mg/L (standar: 10 mg/L)
  • DO: 2,03–3,56 mg/L (standar: 6 mg/L)
  • Fe: 1,19–4,36 mg/L (standar: 0,3 mg/L)
  • Koliform total: hingga 30.000.000/mL (standar: 1.000/mL)

Angka-angka ini menunjukkan bahwa kualitas air mentah di IKN jauh di bawah standar air minum, sehingga diperlukan sistem pengelolaan air yang sangat canggih dan terintegrasi1.

Potensi Banjir dan Keterbatasan Air Tanah

Wilayah IKN rentan terhadap banjir, terutama di kawasan Sepaku, Samboja, dan Muara Jawa akibat deforestasi serta aktivitas pertambangan. Potensi air tanah juga terbatas, dengan debit rata-rata hanya 0,7 liter/detik di beberapa titik, dan kualitas yang buruk (tinggi Fe, bahkan asin di kedalaman tertentu)1.

Konsep Smart City: Pilar Transformasi Urban

Smart city bukan sekadar kota digital, tetapi kota yang mengintegrasikan teknologi, masyarakat, dan lingkungan untuk menciptakan ekosistem urban yang efisien, inklusif, dan berkelanjutan. Model smart city menurut Supangkat (2018) mencakup tiga pilar: smart economy, smart society, dan smart environment. Sementara Leimiller dan O'Mara (2013) menekankan pentingnya integrasi enam sektor: energi, integrasi sistem, layanan publik, mobilitas, bangunan, dan air1.

Smart Water Management: Solusi Inovatif untuk Kota Masa Depan

Definisi & Manfaat SWM

Smart Water Management (SWM) adalah pendekatan pengelolaan air berbasis teknologi mutakhir seperti IoT, sensor, dan sistem kontrol otomatis untuk memastikan efisiensi, kualitas, dan keberlanjutan air di tingkat kota. SWM menawarkan manfaat utama:

  • Deteksi kebocoran secara real-time
  • Monitoring kualitas air online
  • Optimalisasi operasi dan pemeliharaan
  • Penghematan biaya dan energi
  • Peningkatan pengalaman pelanggan1

Studi Kasus Implementasi SWM

1. Smart Water Grid (SWG)

SWG menggabungkan teknologi sensor, komunikasi dua arah, dan sistem kontrol otomatis (misal: SCADA) untuk memantau dan mengendalikan distribusi air secara efisien. Sensus (2012) membagi smart meter dalam lima lapisan, mulai dari sensor hingga software analitik real-time. Dengan SWG, kebocoran air yang sebelumnya bisa berlangsung bertahun-tahun dapat dideteksi dalam hitungan jam, mengurangi Non-Revenue Water (NRW) yang di Indonesia rata-rata mencapai 32,8%1.

2. Flood Early Warning System (FEWS)

FEWS diimplementasikan untuk meminimalisasi kerugian akibat banjir. Sistem ini memanfaatkan data real-time dan prediksi cuaca untuk memberikan peringatan dini, seperti yang telah sukses diuji di DKI Jakarta melalui J-FEWS. Output FEWS meliputi prediksi curah hujan, tinggi muka air, hingga estimasi waktu banjir tiba, sehingga masyarakat dan pemerintah dapat melakukan evakuasi lebih cepat1.

3. Water Quality Online Monitoring (OnLimo)

OnLimo adalah sistem monitoring kualitas air secara online dan real-time, menggunakan sensor yang terintegrasi dengan data logger dan software. Sistem ini sudah diimplementasikan di PDAM Pontianak dan Kutai Kartanegara, serta mampu memberikan early warning jika terjadi pencemaran air di sumber air baku maupun outlet limbah industri1.

Strategi Implementasi di IKN: Langkah-Langkah Kunci

Tahapan Penerapan Smart City & SWM

  1. Pembentukan Tim Kebijakan Smart City
    Melibatkan semua pemangku kepentingan untuk menyusun visi bersama.
  2. Studi Kebutuhan dan Sinkronisasi Dokumen
    Menyusun master plan dan blueprint smart city yang terintegrasi dengan dokumen hukum dan perencanaan pembangunan.
  3. Sosialisasi dan Edukasi
    Melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, dan pelaku industri dalam proses transformasi digital.
  4. Penerapan Roadmap dan Inovasi Berkelanjutan
    Mengadopsi teknologi baru dan melakukan evaluasi berkala untuk meningkatkan performa smart city dan SWM1.

Analisis Kritis & Opini

Kelebihan Konsep SWM untuk IKN

  • Efisiensi Operasional: Integrasi SWM berpotensi menurunkan NRW, menghemat biaya energi dan bahan kimia, serta meningkatkan cakupan layanan air bersih.
  • Mitigasi Risiko Bencana: FEWS dan OnLimo memperkuat sistem mitigasi banjir dan pencemaran air, sangat relevan untuk wilayah tropis dengan curah hujan tinggi.
  • Transparansi & Keterbukaan Data: Sistem monitoring real-time meningkatkan transparansi pengelolaan air dan mempercepat respons terhadap masalah.

Tantangan dan Kritik

  • Investasi Awal Tinggi: Implementasi SWM dan smart city memerlukan investasi besar dalam infrastruktur, SDM, dan teknologi.
  • Kesiapan SDM: Diperlukan pelatihan intensif bagi operator dan pengelola agar mampu mengoperasikan sistem canggih seperti SCADA dan IoT.
  • Konektivitas & Keamanan Data: Infrastruktur digital harus didukung jaringan internet yang andal dan sistem keamanan siber yang kuat.

Perbandingan dengan Studi Lain

Konsep SWM di IKN sejalan dengan tren global, seperti proyek smart water di Singapura (PUB) dan Barcelona, yang berhasil menurunkan NRW hingga di bawah 10% melalui smart metering dan data analytics. Namun, tantangan geografis dan sosial di Indonesia membutuhkan penyesuaian khusus, terutama dalam hal edukasi masyarakat dan adaptasi teknologi lokal.

Relevansi dengan Tren Industri & Masa Depan

Transformasi IKN menjadi kota cerdas dengan SWM bukan hanya solusi teknis, tetapi juga bagian dari revolusi industri 4.0 di sektor tata kelola kota dan sumber daya alam. Implementasi SWM akan membuka peluang kolaborasi antara pemerintah, startup teknologi, dan universitas untuk mengembangkan solusi berbasis IoT, big data, dan AI di bidang air dan lingkungan.

Rekomendasi & Nilai Tambah

  • Kolaborasi Multistakeholder: Libatkan sektor swasta, universitas, dan masyarakat dalam pengembangan dan pemeliharaan sistem SWM.
  • Peningkatan Literasi Digital: Edukasi masyarakat tentang manfaat smart city dan SWM agar tercipta budaya hemat air dan responsif terhadap peringatan dini.
  • Pengembangan Teknologi Lokal: Dorong inovasi teknologi berbasis kebutuhan lokal untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor.

Kesimpulan

Mewujudkan IKN sebagai kota cerdas dan berkelanjutan sangat bergantung pada keberhasilan implementasi smart water management. Studi kasus dan angka-angka nyata dari Kalimantan Timur menegaskan perlunya sistem pengelolaan air berbasis teknologi untuk mengatasi tantangan kualitas, kuantitas, dan risiko bencana. Dengan strategi yang tepat, kolaborasi lintas sektor, dan edukasi berkelanjutan, IKN dapat menjadi model kota masa depan yang hijau, inklusif, dan resilien.

Sumber  : Hernaningsih, T., Said, N. I., Yudo, S., Wahyono, H. D., Widayat, W., & Rifai, A. (2023). Application of the concept of smart city and smart water management for the new capital city. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1201(1), 012103.

Selengkapnya
Membangun IKN Sebagai Kota Cerdas: Strategi Smart City & Smart Water Management untuk Masa Depan Berkelanjutan

Kebijakan Infrastruktur Air

Strategi Inklusif Infrastruktur: Cara Mewujudkan Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan Sosial

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Besar Infrastruktur Modern

Di tengah percepatan urbanisasi dan pembangunan ekonomi, infrastruktur menjadi tulang punggung kemajuan bangsa. Namun, pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keadilan sosial justru memperlebar kesenjangan. Infrastruktur yang inklusif adalah jawaban agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal, baik itu kelompok berpenghasilan rendah, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, maupun mereka yang tinggal di wilayah terpencil1.

Pentingnya inklusivitas dalam proyek infrastruktur telah ditegaskan dalam berbagai forum global, salah satunya pada KTT G20 2016 di Hangzhou. Di sana, investasi infrastruktur berkualitas didefinisikan tidak hanya harus efisien dan tahan bencana, tapi juga mampu mendorong penciptaan lapangan kerja, transfer pengetahuan, dan mengatasi dampak sosial serta lingkungan1.

Kerangka Kerja Infrastruktur Inklusif: Pilar dan Strategi Utama

Berdasarkan Reference Tool dari Global Infrastructure Hub, ada beberapa pilar kunci yang mendorong pertumbuhan inklusif:

  • Keterlibatan pemangku kepentingan: Melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan proyek agar kebutuhan dan aspirasi kelompok rentan benar-benar terakomodasi.
  • Kepemimpinan politik dan tata kelola: Dukungan kuat dari pemerintah dan tata kelola yang transparan sangat penting untuk memastikan kebijakan inklusif berjalan efektif.
  • Penguatan kapasitas dan regulasi: Pengembangan kapasitas institusi dan penyusunan regulasi yang pro-inklusi menjadi fondasi agar praktik baik dapat diadopsi secara luas.
  • Sinergi dengan sektor swasta: Mendorong kemitraan dengan sektor swasta untuk memperluas dampak sosial dan menjamin keberlanjutan proyek.
  • Optimalisasi subsidi dan pembiayaan: Menggunakan skema subsidi dan pembiayaan inovatif agar kelompok miskin tetap terjangkau dalam mengakses layanan infrastruktur1.

Studi Kasus: Praktik Baik dan Angka-angka Nyata

1. Proyek Jalan Pedesaan Liupanshan, Ningxia, Tiongkok
Proyek ini berhasil meningkatkan akses transportasi bagi lebih dari 500.000 penduduk miskin di daerah terpencil. Dengan membangun jalan baru dan memperbaiki infrastruktur lama, angka kemiskinan di wilayah tersebut menurun signifikan, dan mobilitas masyarakat meningkat pesat1.

2. International Solar Training Program, Barefoot College
Program pelatihan tenaga surya ini memberdayakan perempuan di desa-desa miskin di berbagai negara berkembang. Lebih dari 1.000 perempuan dari 96 negara telah dilatih menjadi teknisi surya, menciptakan efek domino dalam pemberdayaan ekonomi dan akses energi bersih1.

3. Social and Affordable Housing Fund (SAHF), New South Wales, Australia
Dana ini mengintegrasikan penyediaan hunian layak bagi kelompok rentan, termasuk lansia, penyandang disabilitas, dan keluarga berpenghasilan rendah. Dengan investasi lebih dari AUD 1,1 miliar, SAHF telah menyediakan ribuan unit hunian yang terjangkau dan ramah akses1.

4. Universal Design pada Transportasi Publik di Inggris
Penerapan standar universal design pada kereta dan bus memastikan layanan transportasi dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas dan lansia. Hasilnya, tingkat kepuasan dan partisipasi kelompok rentan dalam aktivitas ekonomi dan sosial meningkat1.

Analisis Kritis: Kunci Sukses dan Tantangan

Mengapa banyak proyek gagal menjadi inklusif?
Seringkali, kegagalan terjadi karena kurangnya keterlibatan masyarakat, lemahnya tata kelola, dan minimnya data tentang kebutuhan kelompok rentan. Reference Tool menegaskan pentingnya melakukan identifikasi dan pemetaan pemangku kepentingan sejak awal, serta mengadopsi pendekatan partisipatif sepanjang siklus proyek.

Tantangan besar lainnya adalah pembiayaan.
Proyek inklusif biasanya membutuhkan investasi awal yang lebih besar, terutama untuk memastikan aksesibilitas fisik dan sosial. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa manfaat jangka panjang—seperti peningkatan produktivitas, penurunan angka kemiskinan, dan penguatan kohesi sosial—jauh melebihi biaya awal tersebut.

Kritik dan pembelajaran:
Beberapa proyek yang terlalu fokus pada aspek fisik tanpa memperhatikan aspek sosial justru memperbesar kesenjangan. Misal, pembangunan jalan tanpa memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas atau perempuan bisa memperkuat eksklusi sosial. Oleh karena itu, Reference Tool menekankan pentingnya integrasi Social Equity Plan sejak tahap perencanaan.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan literatur lain, seperti studi oleh Asian Development Bank dan World Bank, Reference Tool ini lebih menekankan pada praktik nyata dan studi kasus lintas negara. Pendekatan berbasis aksi (action area) membuatnya mudah diadopsi oleh pemerintah dan pelaku industri. Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang yang masih lemah dalam tata kelola dan partisipasi masyarakat.

Nilai tambah utama dari Reference Tool:

  • Menyediakan framework yang aplikatif, bukan sekadar teori.
  • Menampilkan contoh konkret dan angka-angka keberhasilan.
  • Mendorong diskusi lintas sektor dan negara.

Implikasi untuk Masa Depan Infrastruktur

Infrastruktur inklusif adalah syarat mutlak untuk mencapai SDGs dan membangun masyarakat yang adil. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bersinergi agar manfaat pembangunan benar-benar dirasakan semua kelompok. Dengan mengadopsi strategi inklusif, pembangunan infrastruktur tidak hanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, tapi juga penggerak keadilan sosial dan keberlanjutan.

Kesimpulan: Infrastruktur untuk Semua

Inklusivitas bukan sekadar jargon, melainkan fondasi utama pembangunan berkelanjutan. Reference Tool dari Global Infrastructure Hub membuktikan bahwa dengan strategi yang tepat—mulai dari keterlibatan pemangku kepentingan, tata kelola yang kuat, hingga inovasi pembiayaan—pembangunan infrastruktur dapat menjadi katalis perubahan sosial yang nyata. Studi kasus di berbagai negara menunjukkan bahwa investasi pada inklusivitas membawa dampak berlipat ganda: menurunkan kemiskinan, meningkatkan akses layanan dasar, dan memperkuat kohesi sosial.

Pemerintah dan pelaku industri harus menjadikan inklusivitas sebagai standar baru dalam setiap proyek infrastruktur. Hanya dengan begitu, visi “no one left behind” benar-benar bisa diwujudkan.

Sumber : Global Infrastructure Hub. (2019). Inclusive Infrastructure and Social Equity: Practical guidance for increasing the positive social outcomes of large infrastructure projects.

Selengkapnya
Strategi Inklusif Infrastruktur: Cara Mewujudkan Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan Sosial

Kebijakan Infrastruktur Air

Mengurai Peluang dan Tantangan Implementasi Smart Water Meter di Rumah Tangga Swedia: Menuju Efisiensi dan Keberlanjutan Air

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Krisis Air Global dan Pentingnya Inovasi Teknologi

Krisis air bersih adalah tantangan global yang semakin nyata. Dengan pertumbuhan penduduk dunia, permintaan air meningkat drastis, sementara ketersediaan air bersih semakin menipis. Data dari UNDP (2021) menunjukkan lebih dari 40% populasi dunia terdampak kelangkaan air, dan pada 2015, 844 juta orang masih belum memiliki akses ke air minum layak. Tantangan ini tidak hanya dialami negara-negara berkembang, namun juga mulai mengancam negara maju, termasuk Swedia, terutama akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan persaingan sumber daya air1.

Teknologi menjadi kunci solusi. Salah satu inovasi yang kini banyak dibahas adalah smart water meter—alat ukur digital yang mampu memantau konsumsi air secara real-time, memberikan data akurat, serta mendukung pengelolaan air yang lebih efisien dan berkelanjutan. Namun, seberapa besar peluang dan hambatan implementasi teknologi ini di negara seperti Swedia, yang selama ini dikenal tidak kekurangan air?

Studi Kasus: Implementasi Smart Water Meter di Rumah Tangga Swedia

Penelitian oleh Ekström & Sivadasan (2021) dari KTH Royal Institute of Technology mengupas tuntas peluang dan tantangan implementasi smart water meter secara luas di rumah tangga Swedia. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kombinasi studi literatur, pre-study, dan wawancara mendalam dengan pelaku industri, utilitas air, serta produsen teknologi1.

Latar Belakang Swedia: Unik di Tengah Krisis Global

Swedia memiliki karakteristik unik: tingkat konsumsi air rumah tangga cenderung menurun, dan secara umum tidak mengalami masalah kekurangan air. Namun, ancaman perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk tetap menuntut inovasi dalam pengelolaan air. Smart water meter dianggap sebagai solusi masa depan yang dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi kebocoran, dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data1.

Peluang (Enablers) Implementasi Smart Water Meter

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang mendukung implementasi smart water meter secara luas di Swedia:

  • Lingkungan Sektor Air yang Terbuka dan Mendukung:
    Sektor air Swedia dikenal progresif, terbuka terhadap inovasi, dan memiliki ekosistem kolaboratif antara pemerintah, penyedia utilitas, dan pelaku industri. Hal ini mempercepat adopsi teknologi baru1.
  • Keunggulan Teknologi Dibandingkan Meter Mekanik:
    Smart water meter menawarkan keunggulan signifikan dibandingkan meter mekanik, seperti deteksi kebocoran secara otomatis, pembacaan data real-time, dan potensi integrasi dengan sistem smart city. Teknologi ini juga memungkinkan penghematan air hingga 5–15% berdasarkan studi di sektor energi, dan potensi serupa juga diharapkan pada air1.
  • Penerimaan Aktor dan Masyarakat:
    Mayoritas pelaku industri dan utilitas air di Swedia sudah menerima dan menganggap smart water meter sebagai solusi optimal untuk masa depan. Hal ini memperkecil resistensi sosial dan mempercepat proses implementasi1.
  • Dukungan Kebijakan dan Regulasi:
    Pemerintah dan regulator Swedia cenderung mendukung inovasi digitalisasi di sektor publik, termasuk air. Hal ini menjadi landasan penting bagi ekspansi teknologi smart water meter1.

Hambatan (Barriers) Implementasi Smart Water Meter

Meski peluangnya besar, penelitian ini juga menyoroti sejumlah hambatan yang harus diatasi:

  • Biaya Investasi Awal yang Tinggi:
    Salah satu tantangan utama adalah harga smart water meter yang jauh lebih mahal dibandingkan meter mekanik konvensional. Biaya ini mencakup perangkat keras, instalasi, integrasi sistem, hingga pelatihan SDM. Meski biaya operasional jangka panjang bisa lebih rendah, investasi awal tetap menjadi penghalang utama bagi banyak utilitas air1.
  • Ketidakpastian Teknologi dan Risiko Inovasi:
    Pilihan teknologi yang beragam memunculkan masalah kompatibilitas, risiko lock-in (terjebak pada satu vendor/teknologi), dan kekhawatiran teknologi cepat usang. Hal ini membuat beberapa pelaku industri ragu untuk berinvestasi besar-besaran sebelum standar teknologi benar-benar mapan1.
  • Keterbatasan Infrastruktur dan SDM:
    Implementasi smart water meter menuntut kesiapan infrastruktur digital dan tenaga kerja yang terampil. Tidak semua daerah di Swedia memiliki kesiapan yang sama, sehingga dibutuhkan strategi bertahap dan pelatihan intensif1.
  • Isu Privasi dan Keamanan Data:
    Pengumpulan data konsumsi air secara real-time menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan keamanan data pelanggan. Regulasi perlindungan data dan transparansi pengelolaan data menjadi isu penting yang harus diantisipasi sejak awal1.

Studi Angka dan Dampak Nyata

Penelitian ini tidak hanya bersifat konseptual, namun juga menyajikan data dan studi kasus nyata:

  • Efisiensi Konsumsi Air:
    Studi di sektor energi menunjukkan penghematan 5–15% setelah pemasangan smart meter. Studi internasional di sektor air (misal, Australia dan AS) juga melaporkan penurunan konsumsi air rumah tangga setelah implementasi smart water meter, meski angka spesifik di Swedia masih perlu riset lanjutan1.
  • Deteksi Kebocoran:
    Smart water meter terbukti mampu mendeteksi kebocoran lebih cepat, mengurangi potensi kerugian air dan biaya perbaikan. Di beberapa kota, kebocoran air dapat ditekan hingga 20% setelah implementasi sistem monitoring digital1.
  • Dampak Ekonomi:
    Meski biaya awal tinggi, potensi penghematan jangka panjang dari efisiensi operasional, pengurangan kebocoran, dan pengelolaan air yang lebih baik dapat mengimbangi investasi tersebut dalam beberapa tahun ke depan1.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami krisis air akut, Swedia berada pada posisi unik. Negara-negara seperti Australia dan AS mengadopsi smart water meter sebagai solusi mendesak, sedangkan Swedia lebih menekankan aspek efisiensi, keberlanjutan, dan kesiapan masa depan. Penelitian Ekström & Sivadasan (2021) menegaskan bahwa meski tantangan biaya dan teknologi masih ada, peluang jangka panjang sangat besar berkat dukungan ekosistem inovasi dan penerimaan sosial yang tinggi1.

Penelitian lain (Liu & Mukheibir, 2018; Sønderlund et al., 2016) juga menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi smart water meter sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan kebijakan lokal. Swedia, dengan sistem tata kelola air yang transparan dan kolaboratif, memiliki modal sosial yang kuat untuk mendukung transformasi digital di sektor air.

Opini dan Implikasi untuk Industri

Smart water meter bukan sekadar alat ukur, tapi fondasi transformasi digital sektor air. Keberhasilan implementasi di Swedia dapat menjadi model bagi negara-negara lain yang ingin beralih ke pengelolaan air berbasis data dan teknologi. Namun, penting untuk memastikan:

  • Investasi awal didukung insentif atau skema pembiayaan inovatif.
  • Standarisasi teknologi dan interoperabilitas sistem dijaga untuk menghindari lock-in.
  • Edukasi masyarakat dan pelaku industri dilakukan secara berkelanjutan.
  • Regulasi privasi dan keamanan data diperkuat.

Jika tantangan ini diatasi, Swedia berpotensi menjadi pelopor smart water management di Eropa, bahkan dunia.

Kesimpulan: Menuju Masa Depan Pengelolaan Air yang Lebih Cerdas dan Berkelanjutan

Implementasi smart water meter di rumah tangga Swedia menawarkan peluang besar untuk efisiensi, deteksi kebocoran, dan pengelolaan air berkelanjutan. Dukungan ekosistem inovasi, penerimaan sosial, serta kesiapan sektor air menjadi modal utama. Namun, tantangan biaya, teknologi, dan keamanan data harus direspons dengan strategi matang dan kolaboratif.

Transformasi digital di sektor air bukan hanya kebutuhan, tapi keniscayaan di era perubahan iklim dan urbanisasi. Swedia, dengan segala keunggulan dan tantangannya, sedang menunjukkan bagaimana inovasi teknologi dapat mengubah paradigma pengelolaan air untuk masa depan yang lebih baik.

Sumber : Ekström, E., & Sivadasan, S. (2021). Smart Water Meters in Swedish Households: The Enablers and Barriers for a Large-Scale Implementation. KTH Royal Institute of Technology, School of Industrial Engineering and Management, Stockholm, Sweden.

Selengkapnya
Mengurai Peluang dan Tantangan Implementasi Smart Water Meter di Rumah Tangga Swedia: Menuju Efisiensi dan Keberlanjutan Air

Kebijakan Infrastruktur Air

Bagaimana Konsep Infrastruktur Biru-Hijau dan Resiliensi Kota Menyebar: Studi Kasus Cloudburst Management Plan Kopenhagen

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Kota di Era Krisis Iklim

Perubahan iklim global telah memaksa kota-kota di seluruh dunia untuk beradaptasi dengan risiko cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, dan badai. Kota-kota kini menghadapi tantangan besar untuk membangun resiliensi—kemampuan untuk bertahan dan pulih dari gangguan lingkungan dan sosial. Salah satu pendekatan inovatif yang kini banyak diadopsi adalah pengembangan infrastruktur biru-hijau (Blue-Green Infrastructure/BGI), yaitu integrasi solusi berbasis alam dalam tata kelola air, drainase, dan ruang terbuka kota.

Namun, bagaimana konsep-konsep ini menyebar dari satu kota ke kota lain? Siapa saja aktor kunci di balik transfer pengetahuan ini? Studi yang dilakukan oleh Sutthi Suteerasan (2020) melalui tesis di KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, mengupas tuntas mekanisme, aktor, dan tantangan dalam mobilisasi kebijakan resiliensi kota, dengan menyoroti studi kasus Cloudburst Management Plan (CMP) di Kopenhagen, Denmark1.

Latar Belakang: Urbanisasi, Kerentanan, dan Pergeseran Paradigma

Kota-kota modern adalah simpul utama infrastruktur dan populasi. Ketika terjadi kegagalan infrastruktur akibat cuaca ekstrem, dampaknya bisa sangat luas—mulai dari kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga penurunan kualitas hidup warga. Paradigma lama yang mengandalkan pendekatan fail-safe (menghindari kegagalan sama sekali) kini bergeser ke safe-to-fail, yaitu menerima kemungkinan kegagalan namun memastikan sistem kota tetap dapat pulih dengan cepat1.

Konsep resiliensi menjadi kunci. Kota tidak lagi hanya membangun tembok atau saluran air besar, tapi juga mengintegrasikan ruang hijau, area resapan, dan sistem drainase berkelanjutan (Sustainable Urban Drainage Systems/SuDS). Pendekatan ini terbukti efektif menekan risiko banjir dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.

Studi Kasus: Cloudburst Management Plan (CMP) Kopenhagen

CMP Kopenhagen adalah respons inovatif terhadap banjir besar yang melanda kota pada 2 Juli 2011, yang menyebabkan kerugian sekitar 1 miliar euro dan menenggelamkan sebagian besar kota dalam waktu singkat. Pemerintah kota, bekerja sama dengan konsultan global seperti Rambøll, mengembangkan strategi cloudburst yang mengintegrasikan solusi infrastruktur biru-hijau, seperti taman banjir, kanal terbuka, dan sistem penyerapan air di ruang publik1.

CMP tidak hanya berhasil menurunkan risiko banjir, tetapi juga meningkatkan kualitas ruang publik dan nilai ekonomi kawasan. Misalnya, kawasan-kawasan yang sebelumnya rawan banjir kini menjadi ruang terbuka hijau yang diminati warga. Selain itu, CMP menjadi model yang diadopsi kota-kota lain, seperti New York, yang bekerja sama dengan Rambøll untuk mengembangkan Cloudburst Resiliency Plan di Brooklyn1.

Bagaimana Konsep Resiliensi dan BGI Menyebar Antar Kota?

Penelitian Suteerasan membedah proses transfer pengetahuan kebijakan menjadi empat tahap utama:

1. Eksplorasi, Produksi, dan Pemasaran Pengetahuan

Aktor utama di tahap ini adalah para policy mobilizers—baik dari pemerintah lokal, konsultan global, maupun lembaga internasional. Mereka mengeksplorasi dan memproduksi pengetahuan, lalu mengamplifikasi dan memasarkan konsep tersebut ke jaringan kota lain. Contohnya, Rambøll berperan aktif mempromosikan solusi CMP ke kota-kota besar dunia1.

2. Kontak Antar Kota

Terjadi pertukaran pengetahuan melalui konferensi, studi banding, dan kerja sama proyek. Di sinilah jaringan profesional dan institusi memainkan peran penting. Kota-kota seperti Kopenhagen dan New York membangun kemitraan strategis, bertukar data, dan menyesuaikan solusi sesuai konteks lokal masing-masing1.

3. Transfer dan Translasi

Konsep yang sudah matang kemudian diadopsi dan diterjemahkan ke dalam kebijakan lokal kota tujuan. Proses ini tidak sekadar menyalin, tetapi juga menyesuaikan dengan kebutuhan, regulasi, dan budaya setempat. Misalnya, solusi taman banjir di Kopenhagen diadaptasi menjadi rain gardens di New York yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan pola tata kota Amerika1.

4. Refleksi dan Internalasi

Setelah implementasi, kota melakukan evaluasi, refleksi, dan perbaikan berkelanjutan. Di tahap ini, muncul tantangan baru seperti risiko gentrifikasi (kenaikan harga tanah dan penggusuran warga asli) dan ketimpangan akses terhadap manfaat infrastruktur baru1.

Peran Aktor dan Studi Kasus Angka

Penelitian ini menyoroti peran penting policy mobilizers:

  • Konsultan Global (misal: Rambøll): Berperan sebagai jembatan pengetahuan dan inovasi antar kota. Rambøll, misalnya, telah mengembangkan lebih dari 300 proyek BGI di 20 negara, termasuk di Eropa, Amerika Utara, dan Asia.
  • Pemerintah Kota: Menjadi motor penggerak kebijakan dan memastikan adopsi sesuai kebutuhan lokal. Di Kopenhagen, pemerintah kota mengalokasikan lebih dari 1,5 miliar euro untuk program CMP hingga 2035.
  • Jaringan Internasional: Organisasi seperti C40 Cities dan ICLEI mempercepat pertukaran pengetahuan melalui platform global, mempertemukan lebih dari 90 kota besar dunia untuk berbagi pengalaman dan solusi.

Kritik, Tantangan, dan Nilai Tambah

Walaupun transfer pengetahuan kebijakan mempercepat inovasi, ada risiko yang perlu diwaspadai:

  • Adaptasi Konteks Lokal: Tidak semua solusi bisa langsung diadopsi. Kota dengan karakteristik sosial, ekonomi, dan geografis berbeda harus melakukan penyesuaian signifikan agar solusi benar-benar efektif.
  • Risiko Gentrifikasi: Infrastruktur baru yang meningkatkan kualitas kawasan sering kali menyebabkan kenaikan harga tanah dan penggusuran warga berpenghasilan rendah. Di Kopenhagen, beberapa kawasan yang sukses melakukan revitalisasi justru mengalami pergeseran demografi yang memicu ketimpangan baru.
  • Ketergantungan pada Konsultan Global: Dominasi perusahaan konsultan besar kadang mengurangi otonomi kota dalam merancang solusi lokal, serta berpotensi menstandarkan solusi tanpa mempertimbangkan keunikan lokal.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian Suteerasan memperkuat temuan sebelumnya bahwa policy mobility di era globalisasi tidak lagi bersifat satu arah, melainkan interaktif dan adaptif. Studi Wachsmuth & Angelo (2018) dan Monstadt & Schmidt (2019) juga menyoroti pentingnya jaringan pengetahuan dan peran aktor non-pemerintah dalam mempercepat adopsi solusi inovatif.

Namun, Suteerasan menambahkan dimensi penting: proses transfer pengetahuan tidak hanya membawa manfaat, tapi juga risiko sosial-ekonomi yang harus diantisipasi sejak awal. Dibutuhkan mekanisme refleksi dan evaluasi berkelanjutan agar transfer kebijakan benar-benar menciptakan kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kesimpulan: Pelajaran Penting untuk Kota Masa Depan

Infrastruktur biru-hijau dan konsep resiliensi kota terbukti efektif meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Namun, keberhasilan transfer pengetahuan kebijakan sangat bergantung pada:

  • Peran aktif aktor lokal dan global dalam membangun jaringan pengetahuan.
  • Kemampuan kota untuk menyesuaikan solusi dengan konteks lokal.
  • Mekanisme evaluasi dan refleksi untuk mengantisipasi dampak sosial-ekonomi.

CMP Kopenhagen menjadi contoh nyata bagaimana inovasi lokal bisa menjadi inspirasi global, asalkan proses transfer pengetahuan dilakukan secara adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber : Suteerasan, S. (2020). Blue-Green Infrastructure on the Move: How Resilience Concepts Travel Between Cities. KTH Royal Institute of Technology, Stockholm.

Selengkapnya
Bagaimana Konsep Infrastruktur Biru-Hijau dan Resiliensi Kota Menyebar: Studi Kasus Cloudburst Management Plan Kopenhagen
« First Previous page 5 of 10 Next Last »