K3 Konstruksi

Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Keselamatan dalam Dunia Berkuda

Di tengah pesatnya perkembangan sektor kuda Swedia—dengan lebih dari 355.000 ekor kuda dan 17.000 pekerja penuh waktu, keselamatan kerja menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Meski kontribusinya besar secara ekonomi dan budaya, sektor ini justru dikenal sebagai lingkungan kerja berisiko tinggi, khususnya di sekolah berkuda dan kandang pacuan.

Penelitian oleh Lindahl dan rekan-rekan menginvestigasi iklim keselamatan kerja (safety climate) di dua jenis fasilitas tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya adalah untuk memahami persepsi pekerja dan manajemen terhadap keselamatan kerja dan menemukan celah yang dapat diperbaiki.

Metodologi: Gabungan Survei dan Wawancara

Penelitian menggunakan pendekatan campuran sekuensial eksplanatori yang melibatkan:

  • 66 kuesioner NOSACQ-50 (Nordic Safety Climate Questionnaire)
  • 12 kuesioner manajer tentang manajemen lingkungan kerja
  • 47 wawancara mendalam dengan pekerja
  • Analisis dilakukan di 6 sekolah berkuda dan 6 kandang pacuan di Swedia Tengah.

Hasil Kunci: Safety Climate Umum Positif, Tapi Ada Celah

1. Dimensi Paling Lemah: Prioritas dan Penolakan Risiko oleh Pekerja

  • Dimensi ini mencetak skor terendah (mean 2,93), menunjukkan tingginya penerimaan terhadap risiko dan cedera ringan sebagai bagian pekerjaan.
  • Pernyataan seperti “kecelakaan kecil adalah hal biasa” disetujui oleh banyak pekerja, terutama di kandang pacuan.

2. Perbedaan Signifikan antara Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan

  • Sekolah berkuda mencetak skor lebih tinggi pada hampir semua dimensi.
  • Dimensi 5, 6, dan 7 (penolakan risiko, komunikasi keselamatan, dan kepercayaan terhadap sistem) menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0.05), dengan sekolah berkuda lebih unggul.

3. Manajemen Kandang Pacuan Kurang Prioritaskan Keselamatan

  • Manajer kandang pacuan hanya mencetak nilai 2,4 (dari 6) pada komitmen terhadap penilaian risiko.
  • Kontras dengan sekolah berkuda yang mencetak rata-rata 5,2, mengindikasikan pendekatan lebih sistematis.

Studi Kasus: Skor Safety Climate dalam Angka

Dalam studi kasus ini, skor safety climate dianalisis berdasarkan beberapa dimensi di dua lokasi kerja berbeda, yakni Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan. Pada dimensi Manajemen Prioritas K3 (Dim1), Sekolah Berkuda mencatat skor 3.46, sedikit lebih tinggi dibanding Kandang Pacuan yang memperoleh 3.27. Komitmen Pekerja (Dim4) menunjukkan hasil serupa di kedua lokasi, dengan skor masing-masing 3.58 dan 3.55. Perbedaan yang lebih mencolok tampak pada dimensi Penolakan Risiko (Dim5), di mana Sekolah Berkuda mencatat skor 3.08, sedangkan Kandang Pacuan hanya memperoleh 2.76 — nilai yang menunjukkan perlunya perbaikan nyata. Demikian pula, meskipun Komunikasi & Kepercayaan (Dim6) memiliki skor yang cukup baik di kedua lokasi (3.58 dan 3.39), dan Kepercayaan pada Sistem Keselamatan (Dim7) relatif tinggi (3.62 di Sekolah Berkuda dan 3.16 di Kandang Pacuan), nilai-nilai di bawah ambang batas 3.00 tetap menjadi indikator bahwa intervensi khusus diperlukan untuk meningkatkan persepsi keselamatan kerja..

Temuan Tambahan dari Wawancara

A. Normalisasi Cedera

Banyak pekerja menganggap cedera seperti tertendang, tergigit, atau terinjak sebagai “bagian dari pekerjaan”. Beberapa bahkan menyebut patah tulang ringan tanpa menganggapnya sebagai kejadian serius.

B. Kurangnya Komunikasi Formal

  • Sekolah berkuda lebih sering mengadakan rapat staf dan pembahasan keselamatan.
  • Kandang pacuan lebih banyak mengandalkan obrolan informal atau aplikasi pesan.

C. “Horsemanship” sebagai Kunci Tak Tertulis

Pekerja menyebut intuisi dan pengalaman sebagai alat utama menghadapi risiko. Banyak yang menyatakan bahwa keterampilan ini tidak bisa diajarkan di buku—harus dipelajari dari pengalaman langsung.

Analisis: Budaya Risiko Masih Mendominasi

Meskipun skor keseluruhan tergolong baik dibanding industri lain, sektor ini menunjukkan budaya risiko yang kuat, di mana:

  • Cedera ringan dianggap normal.
  • Waktu dan efisiensi kerja lebih diprioritaskan daripada perlindungan diri.
  • Sistem formal hanya digunakan saat terjadi insiden besar, bukan untuk pencegahan.

Implikasi Praktis & Rekomendasi

  1. Edukasi Ulang tentang Cedera Kecil
    • Harus ada perubahan mindset bahwa “kecelakaan kecil” tetaplah indikator sistem yang gagal.
  2. Perkuat Komitmen Manajemen Kandang Pacuan
    • Perlu pelatihan khusus bagi manajer untuk menerapkan manajemen risiko secara proaktif, bukan hanya reaktif.
  3. Tingkatkan Komunikasi Sistemik
    • Buat sistem pelaporan insiden & near-miss yang mudah, bahkan untuk kejadian ringan.
  4. Formalitas dalam Horsemanship
    • Uji coba pendekatan pelatihan sistematis untuk mengajarkan horsemanship secara terstruktur, tanpa mengandalkan "trial and error".

Kesimpulan: Keselamatan Harus Jadi Prioritas Kolektif

Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan kerja di sektor berkuda bukan hanya soal prosedur teknis, tapi budaya kerja. Di lingkungan yang didominasi risiko, komitmen manajemen dan keberanian pekerja menolak normalisasi cedera adalah faktor kunci. Perubahan sistemik—bukan hanya individual—dibutuhkan agar keselamatan tidak menjadi wacana, tapi bagian tak terpisahkan dari rutinitas.

Sumber : Lindahl, C., Bergman Bruhn, Å., & Andersson, I.-M. (2022). Occupational Safety Climate in the Swedish Equine Sector. Animals, 12(4), 438. https://doi.org/10.3390/ani12040438

Selengkapnya
Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

K3 Konstruksi

Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Pembangunan Pesat, Risiko Meningkat

Meningkatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia membawa dampak ganda: di satu sisi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, meningkatkan risiko kecelakaan kerja, terutama di sektor konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa konstruksi menjadi sektor tertinggi angka kecelakaannya, mencapai 32% secara nasional, menyaingi industri manufaktur (31%).

Kondisi ini makin memprihatinkan di wilayah-wilayah tertinggal, seperti di Desa Lamaninggara, Kecamatan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan, di mana edukasi terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih minim. Artikel ini mendokumentasikan program pengabdian masyarakat berupa penyuluhan K3 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pekerja konstruksi lokal tentang pentingnya penerapan K3.

Tujuan dan Fokus Program Pengabdian

Program ini dirancang untuk:

  • Meningkatkan pengetahuan dasar tentang K3 kepada tukang bangunan setempat.
  • Menjawab kebingungan pekerja terkait alat pelindung diri (APD) dan tanggung jawab pemberi kerja.
  • Menumbuhkan kesadaran bahwa K3 bukan formalitas, tetapi kebutuhan dasar untuk melindungi nyawa.

Metode Pelaksanaan: Ceramah dan Diskusi Interaktif

Penyuluhan dilaksanakan pada 14 Desember 2019 di Aula Kantor Desa Lamaninggara. Materi disampaikan oleh dosen Teknik Sipil dari Universitas Muhammadiyah Buton, menggunakan metode:

  • Ceramah terstruktur dengan bantuan infokus.
  • Diskusi terbuka, di mana peserta dapat bertanya langsung.
  • Evaluasi kualitatif melalui wawancara terhadap 10 dari 27 peserta.

Studi Kasus: Perubahan Signifikan Pasca Penyuluhan

Sebelum Penyuluhan:

  • 0 dari 10 responden mengetahui apa itu K3.
  • 9 dari 10 tidak pernah menggunakan APD seperti helm atau sarung tangan.
  • Kesadaran risiko sangat rendah, bahkan cedera kerja dianggap bagian dari keseharian.

Setelah Penyuluhan:

  • 10 dari 10 responden menyatakan memahami K3 dan pentingnya APD.
  • 9 dari 10 berkomitmen menggunakan APD saat bekerja.
  • Seluruh responden menunjukkan keinginan menerapkan prinsip K3 dalam pekerjaan mereka.

Materi Kunci yang Disampaikan:

  1. Definisi dan ruang lingkup K3 di bidang konstruksi
  2. Risiko umum yang dihadapi tukang batu dan tukang kayu
  3. Jenis alat pelindung diri dan cara penggunaannya
  4. Tanggung jawab pemberi kerja berdasarkan hukum Ketenagakerjaan
  5. Studi kasus kecelakaan kerja dan upaya pencegahan

Sesi diskusi pun menghasilkan pertanyaan penting dari para peserta, seperti:

  • Siapa yang bertanggung jawab menyediakan APD? → Pemberi kerja wajib menyediakannya.
  • Apa akibat jika tidak memakai APD? → Cedera serius bahkan kematian bisa terjadi.
  • Siapa bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan? → Pemberi kerja secara hukum bertanggung jawab.

Dampak Sosial dan Budaya

Program ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga mengubah mindset kolektif komunitas pekerja. Pekerjaan yang dulunya dianggap cukup dengan pengalaman saja, kini dilihat dari aspek risiko dan pencegahan. Kepala desa bahkan mendorong agar program ini menjadi agenda rutin desa.

Analisis dan Refleksi

Studi ini membuktikan bahwa pengetahuan dasar K3 masih sangat minim di tingkat desa, meskipun pembangunan infrastruktur masif sedang berlangsung. Fakta bahwa seluruh peserta awalnya tidak mengetahui apa itu K3 mengindikasikan kesenjangan serius antara kebijakan nasional dan realisasi di lapangan.

Penelitian ini juga menguatkan temuan sebelumnya seperti oleh Firna (2019) dan Novianto dkk (2016) bahwa K3 berdampak signifikan terhadap produktivitas dan performa kerja di bidang konstruksi.

Rekomendasi Strategis

  1. Edukasi K3 harus masuk dalam skema pelatihan Dana Desa, agar pelaksanaan infrastruktur desa tidak hanya cepat, tapi juga aman.
  2. Pendekatan langsung dan interaktif terbukti efektif di daerah yang belum akrab dengan sistem pelatihan formal.
  3. Kepala desa, kontraktor, dan tokoh masyarakat perlu dilibatkan aktif sebagai motor penggerak budaya K3.

Kesimpulan

Penyuluhan K3 yang dilakukan di Desa Lamaninggara menghasilkan dampak nyata dalam meningkatkan kesadaran keselamatan kerja. Transformasi terjadi tidak hanya dalam pengetahuan, tapi juga dalam sikap dan niat untuk berubah. Program seperti ini sangat penting di tengah masifnya pembangunan desa, agar pembangunan tidak harus dibayar dengan nyawa pekerja.

Sumber : Efendi, A., & Sianto, L. (2020). Pemahaman K3 Bidang Konstruksi pada Pekerja Bangunan di Desa Lamaninggara Kecamatan Siompu Barat Kabupaten Buton Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri, 4(1), 150–157.

Selengkapnya
Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung

K3 Konstruksi

Mengupas Praktik K3 Perusahaan Kehutanan Swedia: Tantangan, Fakta, dan Solusi Sistematis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: K3 dalam Industri Kehutanan, Urgensi yang Terlupakan

Industri kehutanan adalah salah satu yang paling berisiko tinggi secara global, dan Swedia tidak terkecuali. Meski negara ini terkenal dengan sistem keselamatan kerja yang maju, nyatanya rata-rata 2–3 kematian kerja akibat aktivitas kehutanan masih terjadi setiap tahun—angka yang tinggi mengingat hanya 0,6% tenaga kerja nasional bekerja di sektor ini, namun menyumbang lebih dari 5% total kecelakaan kerja fatal.

Selain kecelakaan, sekitar 100 insiden serius yang menyebabkan cuti sakit tercatat tiap tahun, dan 34 di antaranya berasal dari aktivitas penebangan. Namun, banyak kasus diduga tidak dilaporkan, sehingga angka riil jauh lebih tinggi.

Artikel ini menginvestigasi bagaimana kontraktor kehutanan di Swedia mengelola Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), serta faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi implementasinya. Studi ini penting karena mencerminkan realita sistem K3 di sektor yang semakin didominasi oleh subkontraktor dan mekanisasi tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengkarakterisasi praktik manajemen K3 kontraktor kehutanan Swedia.
  • Mengidentifikasi perbedaan berdasarkan ukuran perusahaan, jenis layanan, lokasi geografis, dan margin keuntungan.
  • Menyoroti area praktik K3 yang masih jauh dari standar hukum dan sertifikasi.

Metodologi: Survei Skala Nasional dan Analisis Multivariat

  • Sampel: 1200 perusahaan dengan berbagai tingkat profitabilitas.
  • Responden aktif: 267 perusahaan (22%).
  • Analisis: Statistik deskriptif, ANOVA, OPLS-DA, serta korelasi persepsi ekonomi dan implementasi K3.

Temuan Utama: Ukuran dan Lokasi Menentukan Kualitas K3

1. Perusahaan Besar Lebih Tertib K3

  • Perusahaan dengan omset > EUR 800.000 cenderung:
    • Menyediakan fasilitas staf seperti ruang hangat, air panas, dan tempat berganti pakaian.
    • Mempunyai panduan tertulis untuk pekerjaan berbahaya dan kerja sendiri.
    • Melakukan inspeksi keselamatan secara berkala dan menyediakan koordinat lokasi kerja via GPS.

2. Kesadaran Terhadap K3 Tidak Terkait Langsung dengan Keuntungan

  • Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat profitabilitas dan kepatuhan K3 formal.
  • Namun, perusahaan yang percaya bahwa K3 berdampak positif terhadap keuangan cenderung:
    • Lebih sering memberi pelatihan.
    • Lebih mendorong penggunaan alat pelindung diri (APD).
    • Lebih memperbarui rencana aksi K3.

3. Kesenjangan Geografis Signifikan

  • Kontraktor di utara Swedia lebih sering menyediakan:
    • Fasilitas staf lengkap.
    • Inspeksi rutin dan pelatihan K3.
  • Faktor seperti musim dingin ekstrem dan jarak lokasi kerja turut berpengaruh.

Studi Kasus: Statistik Fakta Menarik

  • 77% perusahaan memiliki panduan kerja sendirian, tapi 23% tidak sama sekali.
  • 48% tidak pernah melakukan inspeksi lokasi kerja dalam 12 bulan terakhir.
  • Hanya 42% memiliki rencana kerja K3 yang diperbarui.
  • 71% perusahaan tidak punya perwakilan keselamatan kerja, padahal diwajibkan untuk perusahaan >5 pekerja.
  • 45% perusahaan memberikan pelatihan tiap tahun, sementara 28% melakukannya lebih jarang dari dua tahun sekali.

Kendala Utama Implementasi K3

  • Kurangnya sumber daya, terutama pada perusahaan kecil.
  • Persepsi negatif terhadap biaya K3, meski bukti menyebutkan bahwa kecelakaan jauh lebih mahal dalam jangka panjang.
  • Ketergantungan pada pekerja musiman dan asing, terutama pada kontraktor silvikultur.
  • Perbedaan interpretasi standar, misalnya fasilitas staf kadang dianggap sama dengan tempat tinggal musiman, padahal berbeda secara fungsional dan legal.

Analisis & Opini: Sistemik, Bukan Sekadar Individu

Studi ini membuktikan bahwa implementasi K3 lebih dipengaruhi oleh ukuran dan sikap perusahaan dibanding kemampuan finansialnya. Ini menunjukkan bahwa persepsi dan budaya organisasi lebih penting daripada sekadar profitabilitas.

Kesenjangan antara regulasi hukum (AFS 2001:1) dan implementasi lapangan perlu ditangani melalui:

  • Edukasi berbasis risiko.
  • Pendekatan personal dan partisipatif.
  • Insentif fiskal atau pembebasan pajak atas investasi K3.

Rekomendasi Strategis

  1. Kampanye penyadaran ekonomi K3 kepada pelaku industri kecil dan menengah.
  2. Standardisasi fasilitas staf dan pengawasan berbasis wilayah, mengingat kesenjangan utara-selatan.
  3. Pemutakhiran panduan kerja berbahaya dan kerja sendiri sebagai keharusan tahunan.
  4. Peningkatan partisipasi pekerja dalam proses K3, termasuk pelatihan dan pemilihan perwakilan.
  5. Penguatan kerjasama antara kontraktor dan pemilik hutan sebagai pemangku kepentingan utama.

Kesimpulan

Penelitian ini mengungkap bahwa praktik K3 di industri kehutanan Swedia masih jauh dari ideal, terutama pada level kontraktor kecil dan sedang. Ukuran perusahaan dan persepsi terhadap nilai K3 menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi, bukan profitabilitas semata.

Untuk mencapai kondisi kerja yang aman dan sehat, diperlukan pendekatan sistemik, dukungan kebijakan, dan keterlibatan aktif semua pelaku industri. Jika tidak, maka risiko cedera dan kematian akan terus menghantui sektor yang sebenarnya menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan Swedia.

Sumber : Kronholm, T., Olsson, R., Thyrel, M., & Häggström, C. (2024). Characterization of Swedish Forestry Contractors’ Practices Regarding Occupational Safety and Health Management. Forests, 15(3), 545. https://doi.org/10.3390/f15030545

Selengkapnya
Mengupas Praktik K3 Perusahaan Kehutanan Swedia: Tantangan, Fakta, dan Solusi Sistematis

K3 Konstruksi

Membentuk Budaya K3 Konstruksi di Indonesia: Kerangka Iklim Keselamatan yang Terbukti Efektif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: K3 di Konstruksi Indonesia, Antara Retorika dan Realita

Industri konstruksi Indonesia menyumbang lebih dari 30% kecelakaan kerja nasional, menjadikannya sektor paling rentan secara keselamatan kerja. Dengan pertumbuhan pesat dan proyek-proyek berskala nasional yang semakin masif, penting untuk mengembangkan pendekatan sistematis terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian oleh Lestari dan rekan-rekan menjadi pionir dengan menyusun kerangka kerja iklim keselamatan (safety climate) untuk sektor konstruksi Indonesia berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Metodologi: Survei 311 Responden dan Analisis Multilevel

  • Responden: 311 pekerja konstruksi dari tiga proyek besar (tier-1) di Indonesia.
  • Instrumen: Survei berbasis kerangka Zou dan Sunindijo (2015) dengan enam dimensi: komitmen manajemen, komunikasi, aturan dan prosedur, lingkungan pendukung, pelatihan, dan akuntabilitas pribadi.
  • Analisis: Kuantitatif (skor rata-rata dimensi) dan kualitatif (analisis tema dari feedback terbuka).

Temuan Utama: Iklim Keselamatan “Sedang”, Tapi Banyak Kontradiksi

Skor Keseluruhan

  • Skor rata-rata keseluruhan: 4.45 dari 6.
    Sebagai perbandingan, Australia dengan sistem K3 yang jauh lebih baik memiliki skor 4.50.

Dimensi dengan Skor Tertinggi

  • Komitmen manajemen: 4.82
  • Komunikasi keselamatan: 4.74
  • Pelatihan: 4.64

Dimensi dengan Skor Terendah

  • Lingkungan pendukung: 4.20
  • Aturan dan prosedur: 4.22
  • Akuntabilitas pribadi: 4.34

Paradox Iklim K3: Bicara K3, Tapi Tak Bertindak

Penelitian ini mengungkap dua paradoks utama:

  1. Paradoks Manajerial: Komitmen verbal manajemen tidak diikuti tindakan nyata. Banyak responden merasa manajemen mengabaikan prosedur ketika tekanan produksi meningkat.
  2. Paradoks Pekerja: Meski pekerja menyadari pentingnya keselamatan, mereka merasa tidak punya kuasa atau keberanian untuk bertindak jika prosedur diabaikan.

Studi Kasus: Realita Lapangan yang Kontras

  • 97% responden laki-laki, usia rata-rata 32 tahun.
  • 68% baru bekerja < 5 tahun, menandakan keterbatasan pengalaman lapangan.
  • 33% lulusan SD atau tidak sekolah, menunjukkan tantangan dalam edukasi teknis dan pemahaman K3.

Temuan Spesifik Tiap Dimensi

1. Komitmen Manajemen

  • Skor tinggi tapi ada ketidakkonsistenan: manajer disebut “peduli”, tapi mengabaikan pelanggaran keselamatan.
  • Responden menuntut: “Jangan cuma slogan, buktikan komitmen dalam tindakan nyata dan anggaran”.

2. Komunikasi

  • Responden menghargai sosialiasi dan briefing rutin.
  • Namun, metode komunikasi dinilai kurang efektif—perlu media yang lebih interaktif dan visual seperti video atau infografik.

3. Pelatihan

  • Responden ingin pelatihan yang lebih praktis dan sering, bukan hanya formalitas awal proyek.
  • Beberapa menyarankan pelatihan lapangan langsung dengan studi kasus nyata.

4. Akuntabilitas Pribadi

  • Mayoritas responden menyatakan keselamatan penting, tapi takut menegur rekan kerja yang melanggar SOP.
  • Penyebab: budaya kolektif dan hierarki tinggi dalam budaya kerja Indonesia—“tidak enak menegur atasan atau rekan”.

5. Aturan dan Prosedur

  • Banyak aturan K3 tidak praktis dan sulit dipahami.
  • “Sering kali aturan dibuat di kantor pusat tanpa mempertimbangkan realita lapangan”, ujar salah satu responden.

6. Lingkungan Pendukung

  • Keluhan utama: PPE tidak memadai, lingkungan kerja berbahaya, waktu kerja terlalu ketat, dan fasilitas pekerja buruk.
  • Contoh kasus: ada pekerja yang memakai harness tapi tidak tersedia titik anchor, membuat APD tidak efektif.

Analisis Kritis: Iklim Keselamatan Sebagai Refleksi Budaya dan Kebijakan

Penelitian ini menyoroti bahwa masalah keselamatan bukan hanya pada SOP, tapi juga pada struktur kekuasaan, budaya kerja, dan ketidaksesuaian kebijakan formal dan informal. Banyak pekerja merasa "aman" dalam bahasa, tapi tak punya kuasa bertindak saat situasi tidak aman benar-benar terjadi.

  • Budaya kolektivisme: enggan melapor pelanggaran karena takut merusak hubungan sosial.
  • Power distance tinggi: takut menegur atasan meski prosedur dilanggar.
  • Sistem pelaporan lemah: tidak ada jaminan perlindungan bagi pelapor (whistleblower).

Rekomendasi Strategis

  1. Reformasi desain kebijakan K3: Buat kebijakan yang fleksibel, mudah direvisi, dan sesuai kondisi lapangan.
  2. Pendidikan dan pelatihan berbasis praktik nyata: Gunakan pendekatan pembelajaran kontekstual dan berbasis video.
  3. Perkuat peran pengawas lapangan: Pengawas harus jadi contoh dan pelatih, bukan hanya pemantau.
  4. Budaya keterbukaan dan tanpa menyalahkan: Dorong pelaporan tanpa takut dihukum atau dimusuhi.
  5. Peningkatan kesejahteraan dasar pekerja: Sediakan akomodasi layak, air bersih, makanan sehat, dan PPE berkualitas.

Kesimpulan: Kerangka Iklim K3 sebagai Solusi Sistemik

Penelitian ini bukan hanya mengukur persepsi pekerja, tapi menawarkan solusi konkret berbasis bukti dan realita budaya Indonesia. Kerangka kerja yang dihasilkan bersifat multilevel (proyek, organisasi, nasional) dan bisa digunakan untuk mengevaluasi serta meningkatkan performa K3 di proyek-proyek konstruksi di Indonesia.

Untuk benar-benar menyelamatkan nyawa pekerja, Indonesia butuh lebih dari sekadar peraturan tertulis—diperlukan komitmen kolektif lintas level, dari pekerja hingga pembuat kebijakan.

Sumber : Lestari, F., Sunindijo, R. Y., Loosemore, M., Kusminanti, Y., & Widanarko, B. (2020). A Safety Climate Framework for Improving Health and Safety in the Indonesian Construction Industry. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(20), 7462.

Selengkapnya
Membentuk Budaya K3 Konstruksi di Indonesia: Kerangka Iklim Keselamatan yang Terbukti Efektif

K3 Konstruksi

Co-Creation untuk Kesehatan Mental Pekerja Konstruksi: Studi Intervensi di Swedia Selama Pandemi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Kesehatan Mental di Industri Konstruksi

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang keras, dominan laki-laki, dan penuh tekanan kerja fisik. Namun, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental juga menjadi tantangan serius di sektor ini. Penelitian oleh Cedstrand et al. (2022) menyoroti hal ini melalui uji coba terkontrol berdurasi dua tahun di Swedia. Fokus utama penelitian ini adalah menilai efektivitas intervensi kesehatan kerja berbasis co-creation dalam mengatasi stres dan memperbaiki kondisi kerja psikososial.

Penelitian ini relevan dengan konteks global yang semakin menyoroti burnout, depresi, dan kecemasan kerja sebagai penyebab utama cuti sakit, terutama di negara-negara maju seperti Swedia. Di sana, stres kerja menjadi alasan paling umum untuk absensi kerja jangka panjang, dengan peningkatan signifikan terutama di kalangan manajer garis depan dan profesional teknik dalam industri konstruksi.

Tujuan dan Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan utama:

  1. Apakah intervensi yang dirancang bersama (co-created) dapat meningkatkan kondisi kerja psikososial dan mengurangi stres?
  2. Apakah intervensi tersebut dilaksanakan dengan tingkat kesetiaan pelaksanaan (implementation fidelity) yang tinggi?

Desain Penelitian:

  • Jenis: Uji coba terkontrol non-acak
  • Lokasi: Dua wilayah berbeda dari perusahaan konstruksi besar di Swedia
  • Durasi: 24 bulan (Desember 2019 – Desember 2021)
  • Responden: 359 pekerja di grup intervensi dan 275 di grup kontrol
  • Alat ukur utama: COPSOQ III (Copenhagen Psychosocial Questionnaire), PSC (Psychosocial Safety Climate), dan indikator lain seperti kejelasan peran, efektivitas tim, beban kerja kuantitatif, perencanaan, dan staf

Intervensi dirancang melalui pendekatan co-creation dengan pemangku kepentingan, dan berfokus pada dua komponen utama:

  • Duties Clarification: memperjelas tugas dan peran
  • Structured Roundmaking: pertemuan lapangan terstruktur untuk menyelesaikan hambatan kerja

Hasil Utama: Dampak Terbatas Namun Signifikan di Aspek Tertentu

1. Tidak Ada Pengaruh Signifikan terhadap Tingkat Stres
Hasil menunjukkan bahwa intervensi tidak menghasilkan perbedaan signifikan dalam pengurangan stres antara grup intervensi dan kontrol. Malah, tingkat stres meningkat pada kedua grup selama masa studi — sebesar +5 poin di grup intervensi dan +6,1 di grup kontrol, menurut skala COPSOQ (0–100). Ini menandakan bahwa faktor eksternal seperti pandemi COVID-19 berperan besar dalam meningkatkan tekanan kerja.

2. Peningkatan Kejelasan Peran (Role Clarity)
Namun demikian, intervensi memberikan dampak positif pada kejelasan peran, khususnya pada profesional dan manajer garis depan.

  • Profesional di grup intervensi mengalami peningkatan +5,7 poin dalam role clarity, dibanding +1,9 di grup kontrol.
  • Manajer garis depan menunjukkan peningkatan +6,2 poin, sedangkan grup kontrol hanya +0,2 poin.

Ini menunjukkan bahwa duties clarification dan structured roundmaking efektif dalam memperjelas peran kerja, meski tidak langsung berdampak pada penurunan stres.

3. Pengaruh Negatif Pandemi
Peningkatan beban kerja kuantitatif juga tercatat di kedua grup:

  • Grup intervensi: dari 43,1 ke 46,1
  • Grup kontrol: dari 36,7 ke 42,7

Peningkatan ini dipandang sebagai dampak pandemi, yang menyebabkan beban proyek meningkat dan sumber daya manusia terbatas.

Analisis Kritis dan Implikasi Praktis

Kekuatan Intervensi Co-Creation:

  • Tingkat implementasi tinggi, terutama di proyek yang mengikuti pelatihan "Production Academy".
  • Kesesuaian konteks terjaga karena desain intervensi melibatkan pengguna akhir, termasuk serikat pekerja dan manajer.
  • Komponen intervensi sesuai dengan tugas inti organisasi, sehingga lebih mudah diterapkan.

Keterbatasan:

  • Tidak adanya randomisasi meningkatkan potensi bias seleksi.
  • Tingkat respons yang rendah pada kelompok kontrol dapat mengganggu validitas eksternal.
  • Intervensi terutama menyasar profesional, bukan seluruh populasi pekerja konstruksi (termasuk buruh), membatasi cakupan generalisasi.

Dampak terhadap Industri:

  • Meskipun tidak berdampak signifikan pada stres, peningkatan role clarity merupakan indikator penting untuk intervensi jangka panjang dalam peningkatan kesehatan kerja.
  • Studi lanjutan diperlukan untuk melihat apakah perbaikan kejelasan peran akan berdampak terhadap stres dan burnout dalam periode lebih panjang (>2 tahun).

Perbandingan dengan Literatur Lain:

  • Meta-analisis Sun et al. (2022) menyebutkan bahwa role ambiguity adalah salah satu faktor risiko terbesar terhadap burnout di industri konstruksi.
  • Studi ini menambah bukti bahwa intervensi organisasi-level lebih efektif dibanding pendekatan individu dalam konteks tempat kerja yang maskulin dan hierarkis seperti konstruksi.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan utama:

  • Intervensi berbasis co-creation tidak menurunkan stres secara signifikan, namun meningkatkan kejelasan peran pekerja konstruksi profesional dan manajer garis depan.
  • Tingkat pelaksanaan intervensi tinggi, menunjukkan bahwa metode co-creation efektif dalam meningkatkan kesesuaian dan keberterimaan intervensi.

Rekomendasi:

  • Perlu dilakukan studi jangka panjang (3–5 tahun) untuk mengukur efek laten terhadap kesehatan mental.
  • Disarankan untuk memperluas cakupan intervensi ke seluruh kategori pekerja, tidak hanya profesional.
  • Gunakan pendekatan missing not at random (MNAR) dalam pengolahan data intervensi dengan dropout tinggi.

Sumber : Cedstrand, E., Augustsson, H., Alderling, M., Sánchez Martinez, N., Bodin, T., Nyberg, A., & Johansson, G. (2022). Effects of a co-created occupational health intervention on stress and psychosocial working conditions within the construction industry: A controlled trial. Frontiers in Public Health, 10, 973890. https://doi.org/10.3389/fpubh.2022.973890

Selengkapnya
Co-Creation untuk Kesehatan Mental Pekerja Konstruksi: Studi Intervensi di Swedia Selama Pandemi

K3 Konstruksi

Krisis Kesehatan dan Keselamatan di Konstruksi UAE: Mengapa Sistem Lama Harus Direvolusi Sekarang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Ancaman Nyata di Balik Megaproyek UAE

Industri konstruksi di Uni Emirat Arab (UAE) telah mengalami lonjakan luar biasa dalam dua dekade terakhir. Proyek bernilai miliaran dolar mengubah lanskap negara ini menjadi pusat arsitektur futuristik. Namun di balik kejayaan fisik tersebut, penelitian doktoral oleh Mohamed Alhajeri (2011) mengungkap krisis sistemik terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dapat menghambat keberlanjutan industri.

Penelitian ini mendalam, berbasis kuesioner dan wawancara dengan para profesional di sektor konstruksi dan migas UAE. Tujuannya jelas: menganalisis dan menyusun kerangka kerja manajemen K3 yang efektif, berbasis perbandingan antara praktik di UAE dan regulasi K3 di Inggris (UK), yang dianggap lebih matang.

Realita Buruk K3 di Lapangan

1. Data Statistik yang Mengkhawatirkan

  • 30% kecelakaan kerja fatal di Eropa berasal dari sektor konstruksi, meski hanya menyerap 10% tenaga kerja.
  • Di UAE, kasus sering tidak dilaporkan, tapi satu laporan mencatat 1097 korban jiwa dalam satu tahun (1999) dari 24 juta pekerja konstruksi global — setara dengan 4,5 kematian per 100.000 pekerja.
  • Dalam satu dekade, hampir satu pekerja meninggal di setiap proyek besar, namun hanya sebagian kecil kasus yang terpublikasi.

2. Praktik Buruk dan Ketiadaan Budaya K3

  • Banyak perusahaan UAE tidak memiliki kebijakan K3 yang diperbaharui, dan tidak melibatkan pekerja dalam konsultasi keselamatan.
  • Mayoritas pekerja konstruksi adalah imigran dari Asia Selatan yang tinggal di kamp kerja yang sempit dan tak punya kekuatan tawar terhadap pengusaha.
  • Ketakutan kehilangan pekerjaan membuat mereka enggan mengambil istirahat saat lelah atau sakit, meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

Faktor Penyebab Utama Kecelakaan

Penelitian ini mengidentifikasi berbagai faktor penyebab kecelakaan di lapangan konstruksi UAE:

a. Organisasi Proyek yang Terfragmentasi
Proyek dikerjakan oleh banyak subkontraktor tanpa koordinasi yang kuat. Ini menyebabkan ambiguitas tanggung jawab dan kontrol K3.

b. Budaya Organisasi yang Lemah
Tidak adanya budaya K3 yang kuat membuat keselamatan dianggap beban, bukan investasi. Fokus pada target produksi sering menyingkirkan protokol keselamatan.

c. Kompleksitas Sosial-Budaya

  • UAE memiliki 90% tenaga kerja asing, menciptakan tantangan lintas bahasa dan budaya.
  • Perbedaan persepsi terhadap risiko, komunikasi terbatas, dan latar belakang pendidikan rendah turut memperburuk situasi K3.

Solusi: Belajar dari Inggris dan Reformasi Internal

Alhajeri menyarankan reformasi besar terhadap sistem K3 konstruksi UAE, dengan mengadopsi elemen dari praktik di Inggris. Ini mencakup:

1. Pembentukan Badan Pengawas Independen

  • UAE harus membentuk badan K3 khusus di bawah Kementerian Tenaga Kerja, fokus pada inspeksi lapangan secara independen.

2. Pelatihan dan Sertifikasi Operator Alat Berat

  • Setiap operator crane atau alat berat harus mengikuti pelatihan tahunan dan uji sertifikasi, sebagaimana sistem Inggris.

3. Integrasi K3 dalam Manajemen Proyek

  • K3 harus menjadi bagian dari manajemen proyek sejak perencanaan hingga pelaksanaan, bukan hanya inspeksi akhir.

4. Sistem Pelaporan Kecelakaan yang Terpusat

  • Data kecelakaan harus dikumpulkan secara nasional untuk membentuk basis data K3 yang akurat dan bisa ditindaklanjuti.

Hasil Penelitian Lapangan: Kuesioner dan Wawancara

Temuan utama dari survei lapangan:

  • Hanya 32% perusahaan yang memperbaharui kebijakan K3 secara rutin.
  • Kurang dari 50% perusahaan memiliki departemen K3 internal.
  • Banyak perusahaan tidak memberikan pelatihan induksi K3 pada karyawan baru.
  • Penggunaan subkontraktor yang tidak tersertifikasi umum terjadi.
  • Hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki komite K3 aktif dan melakukan inspeksi rutin.

Studi juga menyertakan analisis SWOT, di mana ditemukan bahwa kelemahan utama adalah kurangnya sistem dan budaya K3 yang terstruktur, sementara peluangnya terletak pada komitmen pemerintah untuk regulasi baru.

Rekomendasi: Kerangka Praktik Terbaik untuk Konstruksi di UAE

Penelitian ini menutup dengan panduan praktik terbaik (best practice) untuk perusahaan konstruksi di UAE, mencakup:

  • Penerapan inspeksi K3 berkala
  • Pembentukan komite keselamatan internal
  • Penyusunan manual keselamatan kerja berbahasa ganda
  • Kewajiban pelaporan kecelakaan yang transparan
  • Penilaian risiko proyek sebelum pelaksanaan

Panduan ini bukan hanya solusi teknis, tetapi menekankan pentingnya transformasi budaya keselamatan di lingkungan kerja konstruksi.

Analisis Kritis dan Relevansi Global

Penelitian ini bukan hanya relevan untuk UAE, tetapi juga menggambarkan tantangan khas negara berkembang yang sedang membangun infrastruktur besar. Banyak negara di Asia Tenggara, Afrika, dan Timur Tengah menghadapi masalah serupa: sistem hukum yang lemah, minimnya pelatihan K3, dan kurangnya kesadaran manajerial terhadap risiko keselamatan.

Jika tidak ditangani, biaya ekonomi dari kecelakaan kerja—seperti waktu kerja hilang, kompensasi, dan litigasi—bisa jauh lebih besar dari investasi awal untuk sistem K3.

Kesimpulan: K3 adalah Investasi, Bukan Beban

Penelitian ini memberikan pemahaman komprehensif bahwa penerapan sistem K3 yang efektif bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi investasi strategis yang dapat:

  • Meningkatkan produktivitas
  • Mengurangi kecelakaan dan waktu kerja hilang
  • Meningkatkan citra perusahaan
  • Menarik lebih banyak investor dan mitra internasional

UAE sebagai negara maju secara ekonomi, harus segera mengadopsi sistem K3 berbasis budaya keselamatan yang kuat dan sistematis jika ingin mempertahankan pertumbuhan infrastruktur berkelanjutan.

Sumber : Alhajeri, M. (2011). Health and safety in the construction industry: challenges and solutions in the UAE (Unpublished doctoral thesis). Coventry University.

Selengkapnya
Krisis Kesehatan dan Keselamatan di Konstruksi UAE: Mengapa Sistem Lama Harus Direvolusi Sekarang
« First Previous page 6 of 11 Next Last »