Perubahan Iklim

Pembangunan Berkelanjutan, Pengentasan Kemiskinan, dan Pengurangan Ketimpangan dalam Konteks Pemanasan Global 1,5°C

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Hubungan Kompleks antara Iklim dan Pembangunan

Bab ini menyoroti hubungan timbal balik yang kompleks antara pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan tindakan iklim dalam konteks pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Pembatasan ini dinilai dapat mengurangi risiko kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan, serta memudahkan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dampak Pemanasan 1,5°C terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan

  • Pemanasan global 1,5°C akan memperburuk kemiskinan dan ketimpangan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan penduduk di wilayah pesisir dan lahan kering.
  • Proyeksi menunjukkan bahwa pada 2030, pemanasan 1,5°C dapat menyebabkan tambahan 122 juta orang mengalami kemiskinan ekstrem, terutama akibat kenaikan harga pangan dan penurunan kesehatan.
  • Dibandingkan dengan pemanasan 2°C, pembatasan di 1,5°C dapat mengurangi jumlah orang rentan terhadap risiko iklim dan kemiskinan antara 62 hingga 457 juta orang.
  • Wilayah seperti Afrika, Asia Selatan, dan negara-negara kepulauan kecil sangat rentan terhadap dampak ini.

Sinergi dan Trade-Off antara Adaptasi, Mitigasi, dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Adaptasi iklim yang efektif dapat memperkuat pencapaian SDGs, khususnya SDG 1 (kemiskinan), SDG 2 (kelaparan), SDG 3 (kesehatan), dan SDG 6 (air bersih).
  • Namun, beberapa strategi adaptasi dan mitigasi berpotensi menimbulkan trade-off, misalnya penggunaan pupuk yang berlebihan dapat merusak kualitas air, atau peningkatan irigasi dapat menimbulkan tekanan air.
  • Mitigasi dengan pengurangan emisi di sektor energi dan pertanian dapat memberikan manfaat kesehatan dan lingkungan yang besar, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
  • Transformasi sosial dan ekonomi yang inklusif sangat penting untuk mengoptimalkan sinergi dan meminimalkan trade-off.

Jalur Pembangunan Berkelanjutan Menuju Dunia 1,5°C

  • Jalur pembangunan yang berkelanjutan dan tahan iklim (Climate-Resilient Development Pathways/CRDPs) mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.
  • Jalur ini menuntut transformasi sistemik yang meliputi perubahan teknologi, institusi, nilai budaya, dan pola konsumsi.
  • Studi menunjukkan bahwa jalur dengan tingkat kesetaraan sosial dan pengurangan kemiskinan yang tinggi (misalnya SSP1) lebih memungkinkan untuk mencapai target 1,5°C dengan biaya mitigasi yang lebih rendah.
  • Jalur yang berisiko tinggi (misalnya SSP3 dengan rivalitas regional dan ketimpangan) menghadapi tantangan besar untuk mencapai target iklim dan pembangunan.

Studi Kasus: Praktik Berbasis Komunitas dan Ekosistem

  • Di daerah kering, praktik regenerasi alami yang dikelola petani (Farmer Managed Natural Regeneration/FMNR) telah berhasil merehabilitasi jutaan hektar lahan di Afrika dan Asia, meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
  • Contoh di Ethiopia menunjukkan rehabilitasi lahan yang mendukung 648.000 orang dan merehabilitasi 25,4 juta hektar lahan antara 2012-2015.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan komunitas ini merupakan strategi adaptasi dan mitigasi yang murah, efektif, dan inklusif.

Tantangan dan Kondisi untuk Mencapai Tujuan

  • Pencapaian pembangunan berkelanjutan dan mitigasi iklim memerlukan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan.
  • Pendanaan dan transfer teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan memperhatikan keadilan sosial.
  • Proses inklusif dan partisipatif sangat penting untuk memastikan keterlibatan kelompok rentan dan pengambilan keputusan yang adil.
  • Perlu perhatian khusus pada struktur kekuasaan dan ketimpangan yang dapat menghambat transformasi sosial dan lingkungan.

Opini dan Kritik

  • Bab ini sangat komprehensif dan menggabungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik.
  • Penekanan pada sinergi dan trade-off memberikan gambaran realistis tentang kompleksitas transformasi yang dibutuhkan.
  • Namun, literatur tentang dampak jangka panjang dan evaluasi empiris jalur pembangunan berkelanjutan masih terbatas.
  • Perlu lebih banyak studi kontekstual dan kebijakan yang mengintegrasikan keadilan sosial secara eksplisit.

Jalan Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan

Pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C membuka peluang besar untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta mempercepat pencapaian SDGs. Namun, ini menuntut transformasi sosial-ekonomi yang mendalam, penguatan kapasitas adaptasi, dan kebijakan inklusif yang mengatasi ketidaksetaraan. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.

Sumber Artikel

Roy, J., Tschakert, P., Waisman, H., Abdul Halim, S., Antwi-Agyei, P., Dasgupta, P., Hayward, B., Kanninen, M., Liverman, D., Okereke, C., Pinho, P.F., Riahi, K., Suarez Rodriguez, A.G. (2018). Sustainable Development, Poverty Eradication and Reducing Inequalities. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty. Masson-Delmotte, V. et al. (eds.). In Press.

Selengkapnya
Pembangunan Berkelanjutan, Pengentasan Kemiskinan, dan Pengurangan Ketimpangan dalam Konteks Pemanasan Global 1,5°C

Sumber Daya Air

Tata Kelola Air di Asia: Tantangan Kompleks dan Strategi Menuju Pencapaian SDG 6

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Tata Kelola Air untuk Masa Depan Asia

Asia adalah benua terluas dan terpadat di dunia, dengan sekitar 60% populasi global dan 32% sumber daya air tawar dunia. Namun, kawasan ini menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air yang berkelanjutan, terutama di negara-negara berkembang yang mengalami urbanisasi cepat, pertumbuhan industri, dan perubahan iklim. Tata kelola air (Water Governance/WG) menjadi kunci utama untuk mengatasi masalah ini dan mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 6 tentang air bersih dan sanitasi.

Paper ini melakukan tinjauan sistematis literatur WG di Asia selama 2000-2020, mengidentifikasi isu-isu utama, kerangka kerja yang digunakan, dan merekomendasikan model tata kelola yang efektif.

Tinjauan Sistematis dan Analisis Literatur

Penulis menggunakan metode PRISMA untuk menyeleksi 350 dokumen dari database Scopus dan sumber lain, kemudian menyaring menjadi 145 publikasi yang relevan. Studi ini mencakup artikel peer-reviewed, laporan institusi, dan literatur abu-abu (gray literature) yang membahas WG di Asia.

Tren dan Distribusi Studi WG di Asia

  • Jumlah publikasi WG meningkat signifikan sejak 2015, sejalan dengan pengesahan SDGs dan meningkatnya perhatian global terhadap isu air.
  • Sebagian besar studi fokus pada Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur, dengan negara yang paling banyak diteliti adalah India, China, Vietnam, dan Thailand.
  • Wilayah Asia Tengah dan Barat kurang mendapat perhatian karena keterbatasan data dan konflik politik.

Definisi dan Konsep Tata Kelola Air

  • Tidak ada konsensus tunggal tentang definisi WG, namun GWP 2003 menjadi acuan utama: WG mencakup sistem politik, sosial, ekonomi, dan administratif yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan layanan air.
  • WG melibatkan aspek formal dan informal, serta menekankan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
  • Konsep “effective WG” menekankan pada keterlibatan aktif pemangku kepentingan, keadilan, efisiensi, dan adaptasi terhadap perubahan.

Isu Utama dalam Tata Kelola Air di Asia

1. Pengelolaan Air Lintas Batas (Transboundary Water Management/TWM)

  • Asia memiliki 57 DAS lintas batas, namun hanya 10 yang memiliki perjanjian pengelolaan resmi.
  • Konflik air sering muncul akibat pembangunan bendungan, alokasi air irigasi, dan perubahan iklim.
  • Contoh: Konflik air di DAS Ganges-Brahmaputra-Meghna antara India, Bangladesh, dan Nepal; dan DAS Mekong antara China dan negara-negara hilir.

2. Manajemen Irigasi

  • Pertanian menyerap porsi terbesar air di Asia, namun efisiensi irigasi masih rendah.
  • Tantangan meliputi fragmentasi kelembagaan, konflik pengguna, dan teknologi usang.

3. Kualitas Air

  • Polusi dari limbah domestik, industri, dan pertanian mengancam kesehatan dan ekosistem.
  • Studi di China dan India menunjukkan tantangan besar dalam pengelolaan limbah dan perlindungan sumber air.

4. Nexus Air-Pangan-Energi-Iklim

  • Interdependensi sektor air, pangan, energi, dan iklim menuntut tata kelola yang terintegrasi dan adaptif.
  • Contoh: Pengelolaan bendungan untuk energi hidro dan irigasi harus mempertimbangkan dampak iklim dan kebutuhan pangan.

Kerangka dan Model Tata Kelola yang Digunakan

  • Kerangka hukum dan kelembagaan (Legal and Institutional Framework/LIF) paling banyak digunakan untuk menganalisis kasus.
  • Teori Ostrom (Institutional Analysis and Development/IAD) dan Adaptive Integrated Water Management (AIWM) banyak dipakai untuk memahami dinamika kelembagaan dan adaptasi.
  • OECD Water Governance Indicator and Measurement (WGIM) framework digunakan untuk menilai efektivitas dan transparansi tata kelola.
  • Kerangka ini menekankan pentingnya: regulasi yang jelas, pengelolaan yang adaptif, keterlibatan pemangku kepentingan, koordinasi lintas sektor, dan transparansi data.

Tantangan Umum Tata Kelola Air di Asia

  • Fragmentasi kelembagaan dan tumpang tindih peran antar lembaga.
  • Keterbatasan kapasitas teknis dan finansial untuk implementasi kebijakan.
  • Kurangnya koordinasi dan kepercayaan antar pemangku kepentingan, terutama di wilayah lintas batas.
  • Data dan sistem informasi yang belum terintegrasi dan kurang transparan.
  • Pengaruh politik dan ketidakstabilan yang menghambat reformasi tata kelola.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

  • Perbaikan kerangka hukum dan kelembagaan untuk mengurangi tumpang tindih dan memperjelas tanggung jawab.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, termasuk pelatihan dan teknologi informasi.
  • Peningkatan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan.
  • Pengembangan mekanisme koordinasi lintas sektor dan lintas negara, khususnya untuk DAS lintas batas.
  • Implementasi sistem monitoring dan evaluasi yang transparan dan berbasis data.
  • Adopsi pendekatan adaptif dan inovatif untuk menghadapi perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

  • DAS Mekong: Konflik dan kerjasama antara negara-negara hilir dan hulu terkait pembangunan bendungan dan pengelolaan air.
  • India dan Bangladesh: Tantangan pengelolaan air irigasi dan kualitas air di wilayah perbatasan.
  • Vietnam: Pengelolaan air perkotaan dan pertanian di Delta Mekong menghadapi tekanan urbanisasi dan perubahan iklim.
  • China: Reformasi kelembagaan air dan pengembangan sistem pengelolaan air yang adaptif dan terintegrasi.

Kesimpulan: Tata Kelola Air sebagai Pilar Pencapaian SDG di Asia

Paper ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif dan adaptif adalah kunci untuk mengatasi tantangan air di Asia dan mencapai SDG 6. Dengan kerangka kerja yang tepat, penguatan kelembagaan, dan kolaborasi lintas sektor serta negara, kawasan ini dapat mengelola sumber daya airnya secara berkelanjutan. Studi ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dan memperbaiki tata kelola air di Asia.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Nguyen Hong Duc, Pankaj Kumar, Pham Tam Long, Gowhar Meraj, Pham Phuong Lan, Mansour Almazroui, Ram Avtar. (2024). A Systematic Review of Water Governance in Asian Countries: Challenges, Frameworks, and Pathways Toward Sustainable Development Goals. Earth Systems and Environment. https://doi.org/10.1007/s41748-024-00385-1

Selengkapnya
Tata Kelola Air di Asia: Tantangan Kompleks dan Strategi Menuju Pencapaian SDG 6

Sumber Daya Air

Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Difusi, Transfer, Translasi, dan Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas Perjalanan Kebijakan Air dalam Era Globalisasi

Paper ini mengulas evolusi dan dinamika penyebaran kebijakan air di berbagai negara dan konteks melalui empat generasi pendekatan riset: difusi, transfer, translasi, dan branding. Dengan mengkaji literatur luas dan studi kasus empiris, Farhad Mukhtarov menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana kebijakan air tidak hanya berpindah, tapi juga berubah dan dibentuk ulang oleh konteks lokal dan kekuatan global.

Kerangka Teoritis dan Metodologi

Penulis membedakan empat generasi riset kebijakan air:

  • Difusi: Melihat penyebaran kebijakan secara luas dan statistik, menyoroti pola adopsi dan pengaruh globalisasi. Fokus pada faktor struktural dan norma internasional.
  • Transfer: Studi kasus kecil yang menelaah aktor, motivasi, dan kondisi transfer kebijakan, termasuk transfer sukarela, negosiasi, dan paksaan.
  • Translasi: Menyoroti transformasi kebijakan saat berpindah konteks, dengan fokus pada politik makna, kekuasaan, dan interpretasi lokal.
  • Branding: Fenomena baru di mana negara/kota memposisikan diri sebagai pusat keunggulan tata kelola air, menggabungkan diplomasi, bisnis, dan pemasaran ide kebijakan.

Metode yang digunakan adalah narrative review dengan pencarian literatur kritis dan analisis konseptual.

Temuan Utama dan Studi Kasus

Difusi Kebijakan Air

  • Kebijakan seperti Integrated Water Resources Management (IWRM) menyebar secara global karena norma internasional dan tekanan jaringan global.
  • Contoh: Kebijakan pengelolaan mikro-polutan di DAS Rhine yang diadopsi negara-negara riparian.
  • Namun, difusi sering mengabaikan politik nasional dan adaptasi lokal.

Transfer Kebijakan Air

  • Transfer bisa terjadi karena tekanan donor (coercion), negosiasi, atau sukarela.
  • Contoh: Transfer kebijakan Water User Associations (WUAs) di Uzbekistan, Turki, dan Meksiko.
  • Studi di Turki menunjukkan bahwa meski kebijakan EU-WFD diadopsi, implementasi dan maknanya berbeda karena konteks politik dan budaya.
  • Transfer sering melibatkan aktor transnasional dan domestik dengan kepentingan berbeda.

Translasi Kebijakan Air

  • Kebijakan yang dipindahkan mengalami perubahan makna dan bentuk sesuai konteks lokal.
  • Contoh: Dutch Delta Approach yang diterapkan di Bangladesh dan Vietnam, mengalami negosiasi dan penyesuaian politik.
  • Translasi menekankan kontinjensi dan kekuasaan dalam proses kebijakan, bukan sekadar adaptasi teknis.

Branding Kebijakan Air: Global Hydro-Hubs (GHHs)

  • Negara dan kota seperti Belanda, Singapura, Israel, China, dan Korea Selatan memposisikan diri sebagai pusat keunggulan tata kelola air.
  • Branding ini melibatkan diplomasi, pemasaran, dan kolaborasi publik-swasta.
  • Contoh: Singapore International Water Week sebagai ajang promosi keahlian air.
  • Branding menjadi strategi geopolitik dan ekonomi di tengah krisis iklim dan kebutuhan air global.

Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Peluang

Kekuatan

  • Paper ini menggabungkan berbagai pendekatan riset dan menempatkannya dalam dialog kritis.
  • Menyoroti pentingnya konteks lokal dan politik dalam memahami perjalanan kebijakan air.
  • Memperkenalkan konsep branding sebagai fenomena baru yang relevan di era globalisasi.

Kelemahan

  • Fokus pada studi kasus dan literatur yang sebagian besar dari negara maju dan donor, kurang menggali konteks negara berkembang.
  • Pendekatan naratif membuat review tidak sistematis, sehingga ada kemungkinan beberapa literatur penting terlewat.
  • Branding sebagai fenomena masih relatif baru dan belum banyak dievaluasi dampaknya secara empiris.

Peluang

  • Penelitian lanjutan dapat menggabungkan pendekatan difusi, transfer, dan translasi untuk memahami kompleksitas kebijakan air secara holistik.
  • Studi empiris lebih banyak di negara berkembang dan daerah transboundary untuk memahami konteks politik dan sosial.
  • Evaluasi dampak branding terhadap efektivitas kebijakan dan pembangunan kapasitas lokal.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

  • Paper ini sangat relevan dengan agenda SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi) dan tantangan perubahan iklim.
  • Menunjukkan pentingnya diplomasi air dan kolaborasi internasional dalam tata kelola sumber daya air.
  • Branding dan pemasaran kebijakan menjadi bagian dari strategi negara dalam menghadapi pasar global air yang bernilai ratusan miliar dolar.
  • Menggarisbawahi peran sektor swasta dan konsultan dalam mempengaruhi kebijakan publik.

Kesimpulan: Memahami dan Mengelola Perjalanan Kebijakan Air di Dunia Global

Farhad Mukhtarov dalam paper ini berhasil memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana kebijakan air bergerak, berubah, dan dibentuk ulang di berbagai belahan dunia. Dari difusi yang lebih struktural, transfer yang politis, translasi yang kontekstual, hingga branding yang strategis, setiap pendekatan menawarkan wawasan unik. Tantangan terbesar adalah mengintegrasikan pendekatan-pendekatan ini untuk menghasilkan kebijakan air yang efektif, adil, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Mukhtarov, F. (2022). A review of water policies on the move: Diffusion, transfer, translation or branding? Water Alternatives, 15(2), 290-306.

Selengkapnya
Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Difusi, Transfer, Translasi, dan Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Sumber Daya Air

Climate-Smart Irrigation: Solusi Inovatif untuk Ketahanan Pangan dan Adaptasi Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Peran Vital Irigasi dalam Ketahanan Pangan Global

Irigasi memegang peranan penting dalam ketahanan pangan dunia, menghasilkan sekitar 40% produksi pangan global meskipun hanya mengairi 20% lahan pertanian. Namun, irigasi juga merupakan pengguna air terbesar, menyerap hampir 47% air tawar yang diambil dari sumber permukaan dan air tanah. Dengan tekanan bertambah dari pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan perubahan pola konsumsi, serta ancaman perubahan iklim, sektor irigasi menghadapi tantangan besar.

Dokumen ini menyajikan pendekatan Climate-Smart Irrigation (CSI) sebagai bagian integral dari Climate-Smart Agriculture (CSA), yang bertujuan meningkatkan produktivitas, membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sistem irigasi.

Konsep Climate-Smart Irrigation (CSI)

CSI bukan sekadar teknik irigasi, melainkan pendekatan holistik yang menggabungkan:

  • Produktivitas: Meningkatkan hasil panen dan pendapatan petani tanpa merusak lingkungan atau mengurangi ketersediaan air untuk pengguna lain.
  • Adaptasi: Mengurangi risiko iklim dan memperkuat ketahanan sistem irigasi dan rantai nilai terkait.
  • Mitigasi: Mengurangi emisi GRK dari seluruh siklus produksi, termasuk penggunaan energi, pupuk, dan pengelolaan lahan.

CSI menekankan bahwa praktik irigasi harus disesuaikan dengan konteks agroklimatik dan sosial-ekonomi lokal, serta didukung oleh kebijakan, kelembagaan, dan teknologi yang tepat.

Tantangan Utama Sektor Irigasi di Era Perubahan Iklim

  • Ketidakpastian iklim: Perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan naiknya permukaan laut memengaruhi ketersediaan air dan infrastruktur irigasi.
  • Reformasi sektor: Banyak negara menghadapi hambatan politik dan kelembagaan dalam mengadopsi praktik berkelanjutan dan adaptif.
  • Efisiensi dan produktivitas: Meningkatkan efisiensi penggunaan air dan produktivitas tanaman secara bersamaan merupakan tantangan besar, terutama di daerah dengan sumber daya terbatas.
  • Resistensi terhadap perubahan: Petani dan pengelola irigasi sering enggan mengubah praktik lama tanpa jaminan hasil dan dukungan kebijakan.
  • Pengelolaan air yang adil dan berkelanjutan: Menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertanian, lingkungan, dan pengguna lain sangat kompleks.

Pilar Utama CSI dan Implementasinya

1. Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani

  • Fokus pada penutupan kesenjangan hasil panen antara potensi dan realisasi di lapangan.
  • Contoh: Model “Save and Grow” yang mengintegrasikan konservasi tanah dan air dengan praktik pertanian berkelanjutan.
  • Skala implementasi mulai dari tingkat DAS, skema irigasi, hingga tingkat lahan dan petani.

2. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Perencanaan adaptasi berbasis risiko dan skenario masa depan yang menghadapi ketidakpastian iklim.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan dukungan teknis untuk perencanaan adaptif.
  • Contoh: Pendekatan manajemen DAS dan skema irigasi yang fleksibel, pengembangan varietas tahan kekeringan.

3. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca

  • Pengurangan penggunaan energi fosil pada pompa dan pengolahan air dengan teknologi hemat energi dan energi terbarukan.
  • Pengelolaan pupuk dan lahan untuk memaksimalkan penyerapan karbon dan mengurangi emisi nitrous oxide dan metana.
  • Mitigasi juga melibatkan pengurangan kehilangan hasil pascapanen dan efisiensi rantai nilai.

Studi Kasus Penting dalam Dokumen

1. “Misión Posible II” di Spanyol

  • Fokus pada konservasi air di lahan pertanian sekitar lahan basah Las Tablas de Daimiel.
  • Pendekatan integratif antara pengelolaan air dan konservasi ekosistem.
  • Hasil: Pengurangan konsumsi air irigasi hingga 20% tanpa penurunan hasil panen.

2. Pengembangan Pertanian Resilien di Kavre, Nepal

  • Studi kerentanan komunitas terhadap perubahan iklim dan pengembangan strategi adaptasi berbasis partisipasi.
  • Identifikasi risiko utama seperti banjir dan kekeringan.
  • Implementasi teknologi irigasi hemat air dan diversifikasi tanaman.

3. Pelestarian Danau Urmia di Iran

  • Danau hypersaline terbesar kedua di dunia yang mengalami pengeringan drastis.
  • Proyek restorasi melibatkan pengelolaan air irigasi dan konservasi DAS.
  • Proyeksi menunjukkan potensi pemulihan kualitas air dan ekosistem jika strategi adaptasi diterapkan.

4. Informasi Irigasi untuk Petani di Sub-Sahara Afrika

  • Penggunaan teknologi informasi untuk membantu petani mengatur jadwal irigasi secara efisien.
  • Studi menunjukkan peningkatan hasil dan profitabilitas dengan informasi yang tepat waktu.

5. Citizen Science di Agroforestry Andes

  • Masyarakat lokal terlibat dalam pemantauan dan pengelolaan sumber daya air dan hutan.
  • Pendekatan ini meningkatkan kesadaran dan kapasitas adaptasi komunitas.

Analisis dan Nilai Tambah Paper

  • Paper ini menyajikan pendekatan komprehensif yang menggabungkan aspek teknis, kelembagaan, sosial, dan ekonomi dalam pengelolaan irigasi.
  • Menekankan pentingnya integrasi adaptasi dan mitigasi dalam satu kerangka kerja yang fleksibel dan kontekstual.
  • Memberikan contoh nyata yang dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara berkembang dan maju.
  • Menggarisbawahi perlunya sistem monitoring dan evaluasi berbasis data yang memanfaatkan teknologi digital dan sensor modern.

Kritik dan Tantangan

  • Meskipun komprehensif, implementasi CSI masih menghadapi resistensi budaya dan politik di banyak negara.
  • Kebutuhan investasi besar dan kapasitas teknis yang belum merata menjadi hambatan utama.
  • Perlu pengembangan lebih lanjut untuk mengatasi trade-off antara produktivitas, adaptasi, dan mitigasi secara simultan.
  • Studi kasus lebih banyak berfokus di wilayah tertentu, sehingga perlu perluasan cakupan penelitian ke wilayah lain.

Menuju Irigasi Cerdas Iklim untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Dokumen ini menjadi referensi penting yang menggabungkan ilmu pengetahuan, praktik terbaik, dan strategi kebijakan untuk menghadapi tantangan irigasi di era perubahan iklim. Climate-Smart Irrigation bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal tata kelola, kapasitas, dan kolaborasi multi-level. Dengan pendekatan ini, sektor irigasi dapat meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan, dan mengurangi jejak karbon, mendukung pencapaian SDG 2, 6, dan 13 secara simultan.

Sumber Artikel 

Batchelor, C., Schnetzer, J. (2018). Compendium on Climate-Smart Irrigation: Concepts, evidence and options for a climate-smart approach to improving the performance of irrigated cropping systems. Global Alliance for Climate-Smart Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

 

Selengkapnya
Climate-Smart Irrigation: Solusi Inovatif untuk Ketahanan Pangan dan Adaptasi Perubahan Iklim

Sumber Daya Air

Pengembangan Kapasitas dalam Pengelolaan Air: Kunci Keberlanjutan dan Adaptasi di Sektor Air Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas dan Pentingnya Pengembangan Kapasitas di Sektor Air

Paper ini membahas secara mendalam konsep dan praktik pengembangan kapasitas (Capacity Development/CD) dalam sektor pengelolaan air. Pengembangan kapasitas tidak hanya soal peningkatan keterampilan individu, tetapi juga tentang membangun lingkungan yang kondusif agar pengetahuan dan kemampuan tersebut dapat diterapkan secara efektif. Dalam konteks sektor air yang kompleks dan dinamis, pengembangan kapasitas menjadi prasyarat utama agar pengelolaan air dapat berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan iklim.

Konsep dan Definisi Kapasitas

  • Kapasitas adalah kombinasi kemampuan individu, organisasi, dan lingkungan yang memungkinkan pengelolaan sumber daya air secara efektif dan berkelanjutan.
  • Pengembangan kapasitas meliputi aspek teknis, manajerial, tata kelola, serta kemampuan belajar dan berinovasi.
  • Kapasitas harus dilihat sebagai proses yang berkelanjutan dan dinamis, bukan sekadar hasil statis.

Tantangan dalam Pengembangan Kapasitas Sektor Air

  • Banyak negara berkembang menghadapi keterbatasan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia.
  • Regulasi dan kebijakan yang ada seringkali tidak mendukung penerapan praktik terbaik.
  • Kurangnya koordinasi antar lembaga dan sektor serta minimnya partisipasi masyarakat.
  • Kesenjangan antara pengetahuan yang tersedia dan implementasi di lapangan.
  • Perubahan iklim dan tekanan demografis menambah kompleksitas pengelolaan air.

Kerangka Pengembangan Kapasitas: Tiga Tingkatan

  1. Tingkat Individu: Meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial melalui pendidikan, pelatihan, mentoring, dan pembelajaran berbasis pengalaman.
  2. Tingkat Organisasi: Memperkuat struktur, proses, budaya organisasi, dan sistem manajemen pengetahuan untuk mendukung kinerja yang efektif.
  3. Tingkat Lingkungan Pendukung (Enabling Environment): Membangun kerangka kebijakan, regulasi, insentif, dan budaya yang mendukung pengelolaan air yang berkelanjutan.

Studi Kasus dan Contoh Praktik

  • Pengembangan Kapasitas di Afrika Sub-Sahara: Investasi World Bank antara 1995-2004 mencapai US$9 miliar untuk penguatan kapasitas sektor air, termasuk pelatihan dan pendidikan.
  • Program E-learning dan Pelatihan di Asia dan Afrika: Melalui Water Virtual Learning Centre (WVLC) yang dikembangkan oleh UNU-INWEH, menyediakan kursus jarak jauh terintegrasi untuk manajemen sumber daya air terpadu (IWRM).
  • Pengalaman di Uganda: Optimalisasi operasi infrastruktur air melalui pelatihan staf dan pengembangan sistem manajemen.
  • Pendekatan Partisipatif di Kolombia: Manajemen pengetahuan di tingkat komunitas memperkuat kapasitas lokal dalam pengelolaan air.

Teknologi dan Metode Pembelajaran Modern

  • E-learning dan distance learning menjadi metode efektif untuk menjangkau peserta dari berbagai wilayah dengan biaya lebih rendah.
  • Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) mendukung pertukaran pengetahuan dan kolaborasi antar profesional air.
  • Metode pembelajaran interaktif, role-playing, dan simulasi memperkuat pemahaman konsep adaptif dan manajemen risiko.

Evaluasi dan Indikator Pengembangan Kapasitas

  • Pengukuran kapasitas sulit dilakukan karena sifatnya yang kompleks dan multidimensional.
  • Pendekatan evaluasi meliputi hasil, proses, dan konteks, dengan metode yang beragam seperti evaluasi berbasis hasil, evaluasi realistis, dan evaluasi kompleksitas.
  • Adaptive management sebagai pendekatan yang memungkinkan pembelajaran berkelanjutan dan penyesuaian strategi berdasarkan umpan balik.

Opini dan Kritik

  • Paper ini memberikan gambaran komprehensif dan sistematis mengenai pengembangan kapasitas di sektor air, sangat bermanfaat bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi.
  • Penekanan pada aspek kelembagaan dan lingkungan pendukung sangat tepat karena kapasitas individu saja tidak cukup.
  • Namun, tantangan implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang, masih besar dan memerlukan dukungan politik dan finansial yang kuat.
  • Perlu lebih banyak studi empiris tentang efektivitas metode pembelajaran baru dan dampaknya terhadap kinerja sektor air.

Pengembangan Kapasitas sebagai Pilar Keberlanjutan Sektor Air

Pengembangan kapasitas adalah fondasi utama untuk pengelolaan air yang efektif, adaptif, dan berkelanjutan. Dengan pendekatan yang holistik meliputi individu, organisasi, dan lingkungan pendukung, sektor air dapat menghadapi tantangan kompleks seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan tekanan sosial ekonomi. Investasi berkelanjutan dalam pendidikan, pelatihan, teknologi, dan reformasi kelembagaan sangat penting untuk memastikan ketersediaan air yang aman dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Sumber Artikel 

Blokland, M.W., Alaerts, G.J., Kaspersma, J.M., Hare, M. (2009). Capacity Development for Improved Water Management. UNESCO-IHE / UNW-DPC. Delft / Bonn.

Selengkapnya
Pengembangan Kapasitas dalam Pengelolaan Air: Kunci Keberlanjutan dan Adaptasi di Sektor Air Global

Perubahan Iklim

Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Era Pemanasan Global 1,5°C

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan dan Peluang di Dunia yang Memanas

Bab ini mengkaji hubungan kompleks antara pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan tindakan iklim dalam konteks pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Laporan ini menegaskan bahwa membatasi pemanasan pada 1,5°C dibanding 2°C dapat secara signifikan mengurangi risiko kemiskinan, ketimpangan, dan dampak buruk iklim lainnya, sekaligus memudahkan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dampak Pemanasan 1,5°C terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan

  • Pemanasan global 1,5°C akan memperburuk kemiskinan dan ketimpangan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan penduduk di wilayah pesisir dan lahan kering.
  • Proyeksi menunjukkan bahwa pada 2030, pemanasan 1,5°C dapat menyebabkan 122 juta orang tambahan mengalami kemiskinan ekstrem, terutama akibat kenaikan harga pangan dan penurunan kesehatan.
  • Dibandingkan dengan pemanasan 2°C, pembatasan di 1,5°C dapat mengurangi jumlah orang yang rentan terhadap risiko iklim dan kemiskinan antara 62 hingga 457 juta orang.
  • Wilayah seperti Afrika, Asia Selatan, dan negara-negara kepulauan kecil sangat rentan terhadap dampak ini.

Sinergi dan Trade-Off antara Adaptasi, Mitigasi, dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Adaptasi iklim yang efektif dapat memperkuat pencapaian SDGs, khususnya SDG 1 (kemiskinan), SDG 2 (kelaparan), SDG 3 (kesehatan), dan SDG 6 (air bersih).
  • Namun, beberapa strategi adaptasi dan mitigasi berpotensi menimbulkan trade-off, misalnya penggunaan pupuk yang berlebihan dapat merusak kualitas air, atau peningkatan irigasi dapat menimbulkan tekanan air.
  • Mitigasi dengan pengurangan emisi di sektor energi dan pertanian dapat memberikan manfaat kesehatan dan lingkungan yang besar, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
  • Transformasi sosial dan ekonomi yang inklusif sangat penting untuk mengoptimalkan sinergi dan meminimalkan trade-off.

Jalur Pembangunan Berkelanjutan Menuju Dunia 1,5°C

  • Jalur pembangunan yang berkelanjutan dan tahan iklim (Climate-Resilient Development Pathways/CRDPs) mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.
  • Jalur ini menuntut transformasi sistemik yang meliputi perubahan teknologi, institusi, nilai budaya, dan pola konsumsi.
  • Studi menunjukkan bahwa jalur dengan tingkat kesetaraan sosial dan pengurangan kemiskinan yang tinggi (misalnya SSP1) lebih memungkinkan untuk mencapai target 1,5°C dengan biaya mitigasi yang lebih rendah.
  • Jalur yang berisiko tinggi (misalnya SSP3 dengan rivalitas regional dan ketimpangan) menghadapi tantangan besar untuk mencapai target iklim dan pembangunan.

Studi Kasus: Praktik Berbasis Komunitas dan Ekosistem

  • Di daerah kering, praktik regenerasi alami yang dikelola petani (Farmer Managed Natural Regeneration/FMNR) telah berhasil merehabilitasi jutaan hektar lahan di Afrika dan Asia, meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
  • Contoh di Ethiopia menunjukkan rehabilitasi lahan yang mendukung 648.000 orang dan merehabilitasi 25,4 juta hektar lahan antara 2012-2015.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan komunitas ini merupakan strategi adaptasi dan mitigasi yang murah, efektif, dan inklusif.

Tantangan dan Kondisi untuk Mencapai Tujuan

  • Pencapaian pembangunan berkelanjutan dan mitigasi iklim memerlukan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan.
  • Pendanaan dan transfer teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan memperhatikan keadilan sosial.
  • Proses inklusif dan partisipatif sangat penting untuk memastikan keterlibatan kelompok rentan dan pengambilan keputusan yang adil.
  • Perlu perhatian khusus pada struktur kekuasaan dan ketimpangan yang dapat menghambat transformasi sosial dan lingkungan.

Opini dan Kritik

  • Bab ini sangat komprehensif dan menggabungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik.
  • Penekanan pada sinergi dan trade-off memberikan gambaran realistis tentang kompleksitas transformasi yang dibutuhkan.
  • Namun, literatur tentang dampak jangka panjang dan evaluasi empiris jalur pembangunan berkelanjutan masih terbatas.
  • Perlu lebih banyak studi kontekstual dan kebijakan yang mengintegrasikan keadilan sosial secara eksplisit.

Jalan Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan

Pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C membuka peluang besar untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta mempercepat pencapaian SDGs. Namun, ini menuntut transformasi sosial-ekonomi yang mendalam, penguatan kapasitas adaptasi, dan kebijakan inklusif yang mengatasi ketidaksetaraan. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.

Sumber Artikel 

Roy, J., Tschakert, P., Waisman, H., Abdul Halim, S., Antwi-Agyei, P., Dasgupta, P., Hayward, B., Kanninen, M., Liverman, D., Okereke, C., Pinho, P.F., Riahi, K., dan Suarez Rodriguez, A.G. (2018). Sustainable Development, Poverty Eradication and Reducing Inequalities. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty. Masson-Delmotte, V. et al. (eds.). In Press.

Selengkapnya
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Era Pemanasan Global 1,5°C
« First Previous page 83 of 1.119 Next Last »