Kecerdasan Buatan di Balik Kemacetan Tomohon: Terobosan Teknologi yang Bisa Mengubah Wajah Kota Anda

Dipublikasikan oleh Hansel

24 Oktober 2025, 23.38

beritamanado.com

Tomohon di Persimpangan Jalan: Potret Kota yang Terjebak dalam Pertumbuhannya Sendiri

Bayangkan pemandangan yang begitu akrab bagi jutaan penduduk kota di Indonesia: jarum jam mendekati pukul lima sore di Bundaran Matani, Kota Tomohon. Deru mesin yang tak sabar, laju kendaraan yang merayap, dan hamparan lampu rem yang menyala serempak melukiskan potret frustrasi kolektif. Di sepanjang Jalan Raya Kakaskasen 3 menuju Kinilow, pemandangan serupa tersaji setiap pagi dan sore, mengubah perjalanan yang seharusnya singkat menjadi ujian kesabaran.1 Ini adalah denyut nadi kemacetan, sebuah penyakit kronis perkotaan yang tidak hanya merenggut waktu, tetapi juga produktivitas dan kualitas hidup warganya.

Namun, kemacetan di Tomohon bukanlah tanda kegagalan, melainkan paradoks dari keberhasilannya sendiri. Sebagai kota yang terus tumbuh dan berkembang, Tomohon menjadi cerminan dari tren urbanisasi nasional yang tak terhindarkan. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2045, lebih dari 80% populasi Indonesia akan menghuni area perkotaan.1 Dalam skala yang lebih kecil, Tomohon sedang menghadapi tantangan masa depan tersebut hari ini. Pertumbuhan ekonomi dan populasi secara alami memicu peningkatan volume kendaraan, namun infrastruktur jalan yang ada seolah tak mampu mengimbangi derap langkah pertumbuhan tersebut.

Angka-angka di balik keluhan para komuter menceritakan kisah yang lebih dalam. Data dari Dinas Perhubungan Kota Tomohon menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan. Hanya dalam kurun waktu satu tahun, dari 2015 hingga 2016, jumlah kendaraan pribadi melonjak dari 2.626 unit menjadi 2.839 unit.1 Artinya, lebih dari 200 mobil dan motor baru tumpah ke jalanan kota—sebuah armada kecil yang menuntut ruang di atas aspal yang lebarnya nyaris tak bertambah.

Pada saat yang sama, tulang punggung transportasi publik justru menunjukkan pelemahan. Jumlah angkutan umum menurun dari 651 unit menjadi 636 unit dalam periode yang sama.1 Kedua data ini, jika dilihat bersamaan, bukanlah dua tren yang terpisah. Keduanya terjalin dalam sebuah lingkaran setan mobilitas perkotaan. Ketika jumlah angkutan umum berkurang, layanan menjadi kurang andal, frekuensi menurun, dan waktu tunggu menjadi lebih lama. Hal ini membuat transportasi publik menjadi pilihan yang kurang menarik. Akibatnya, warga yang memiliki kemampuan finansial akan beralih ke kenyamanan dan kepastian kendaraan pribadi. Ironisnya, lonjakan kendaraan pribadi inilah yang kemudian memperparah kemacetan, yang pada gilirannya membuat sisa angkutan umum yang beroperasi menjadi semakin lambat dan tidak efisien. Siklus ini terus berputar, memperburuk masalah dari hari ke hari.

 

Banjir Data, Haus Informasi: Dilema Tersembunyi di Balik Meja Dinas Perhubungan

Di tengah hiruk pikuk jalanan, ada pertempuran lain yang terjadi di ruang-ruang kantor pemerintahan. Upaya Pemerintah Kota Tomohon bersama Dinas Perhubungan untuk mengurai benang kusut kemacetan ini bukannya tanpa usaha. Namun, berbagai kebijakan yang telah coba diterapkan belum membuahkan hasil yang signifikan.1 Penyebabnya bukanlah kurangnya niat, melainkan sebuah tantangan yang lebih fundamental dan tak kasat mata: krisis informasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Nadya Verona Viani Kamasi dan Stephanie Mariane Felly Nangoy menyoroti akar masalah yang tersembunyi ini. Persoalan utamanya terletak pada "kekurangan data yang valid, ketidakmampuan untuk mengolah data dalam jumlah besar serta memanfaatkan informasi dari data yang diolah untuk menjadi keputusan yang tepat".1 Dinas Perhubungan, pada kenyataannya, tidak kekurangan data. Mereka justru tenggelam di dalamnya.

Data yang mereka miliki sangat beragam dan potensial, mencakup:

  • Jumlah total kendaraan di Kota Tomohon beserta kategorinya (mobil, motor, bus).
  • Data detail mengenai ruas-ruas jalan yang ada.
  • Pola pergerakan penduduk komuter yang masuk dan keluar kota setiap hari.
  • Rute-rute favorit yang dipilih oleh para pengendara.
  • Bahkan data lalu lintas modern dari sumber seperti Google Traffic.1

Masalahnya, semua data ini tersimpan dalam format yang terpisah, tidak terintegrasi, dan terlalu masif untuk dianalisis secara manual. Kondisi ini sering disebut sebagai fenomena “data-rich, information-poor”—kaya akan data mentah, tetapi miskin akan wawasan yang bisa ditindaklanjuti. Bayangkan sebuah perpustakaan raksasa di mana jutaan buku berisi informasi berharga hanya ditumpuk di lantai tanpa katalog, tanpa sistem pengarsipan. Meskipun semua jawaban mungkin ada di dalam tumpukan itu, menemukannya menjadi sebuah tugas yang mustahil. Inilah dilema yang dihadapi para pengambil keputusan di Tomohon. Kebijakan yang mereka buat sering kali harus didasarkan pada pengamatan lapangan dan intuisi, bukan pada analisis data komprehensif yang dapat mengungkap pola-pola tersembunyi di balik kemacetan.

Perjuangan Dinas Perhubungan Tomohon ini sejatinya adalah sebuah studi kasus tentang tantangan modernisasi tata kelola pemerintahan. Di abad ke-21, memiliki akses ke big data tidak lagi cukup. Kemampuan untuk menganalisis, menafsirkan, dan mengubah data tersebut menjadi kebijakan yang cerdas adalah kunci keberhasilan. Penelitian ini tidak hanya bertujuan membangun sebuah aplikasi canggih; ia mencoba menjembatani kesenjangan fundamental antara ketersediaan data dan kapasitas analitis di sektor publik. Ini adalah langkah awal untuk mengubah cara pemerintah kota beroperasi—beralih dari pengambilan keputusan berdasarkan kebiasaan menjadi kebijakan berbasis bukti.

 

Membedah 'Kecerdasan Bisnis': Senjata Digital Baru Tomohon Melawan Macet

Untuk mengatasi banjir data yang tak terkelola, para peneliti dari Universitas Sariputra Indonesia Tomohon tidak menawarkan solusi konvensional seperti pelebaran jalan atau penambahan rambu lalu lintas. Mereka memperkenalkan sebuah senjata digital yang lebih canggih: Business Intelligence (BI) atau Kecerdasan Bisnis.1 Meskipun namanya berbau korporat, prinsip di baliknya sangat relevan untuk tata kelola kota.

Secara sederhana, bayangkan BI sebagai seorang analis super cerdas yang bekerja untuk kota. Analis ini mampu membaca ribuan laporan data yang berbeda—jumlah kendaraan, kondisi jalan, rute populer, jam sibuk—dalam sekejap mata. Tidak hanya membaca, ia juga mampu menemukan pola-pola tersembunyi yang tidak akan terlihat oleh mata manusia, lalu menyajikan semua temuannya dalam satu halaman ringkasan visual yang mudah dipahami oleh para pemimpin kota. Inilah esensi dari sistem BI yang dikembangkan untuk Tomohon.

Proses "memasak" data mentah menjadi wawasan matang ini mengikuti resep empat langkah yang sistematis, sebagaimana diuraikan dalam penelitian:

  1. Mengumpulkan Bahan Baku (Data Source): Langkah pertama adalah mengumpulkan semua data yang relevan. Dalam kasus ini, sumber utamanya adalah data dalam format Excel yang berisi informasi sebaran kendaraan, kategori kendaraan, dan rute transportasi di Tomohon.1
  2. Membersihkan dan Merapikan (ETL - Extract, Transform, Load): Ini adalah tahap krusial yang sering diabaikan. Data mentah sering kali "kotor"—mengandung kesalahan pengetikan, format yang tidak konsisten, atau informasi yang tidak lengkap. Proses ETL bekerja seperti seorang editor yang cermat. Ia mengekstrak data dari sumbernya, mengubahnya menjadi format yang standar dan bersih, lalu memuatnya ke dalam sistem penyimpanan pusat.1 Ini memastikan bahwa analisis yang dihasilkan nantinya didasarkan pada data yang akurat dan andal.
  3. Membangun 'Gudang Pengetahuan' (Data Warehouse): Setelah bersih, semua data disimpan dalam sebuah Data Warehouse—sebuah basis data terpusat yang dirancang khusus untuk analisis. Para peneliti menggunakan struktur yang disebut Star Schema, sebuah metode pengorganisasian data yang cerdas. Anggap saja ini seperti membuat indeks super efisien untuk perpustakaan, yang memungkinkan analis menemukan hubungan antara berbagai jenis informasi (misalnya, volume sepeda motor di Jalan Kakaskasen pada hari Senin pagi) dengan sangat cepat.1
  4. Melihat dari Segala Sudut (OLAP - Online Analytical Processing): Inilah bagian "ajaib" dari BI. OLAP memungkinkan pengguna untuk "memainkan" data. Bayangkan data tersebut sebagai sebuah Kubus Rubik. Seorang analis dapat memutar kubus itu untuk melihatnya dari berbagai sisi. Mereka bisa melihat data dari sisi "waktu" untuk mengidentifikasi jam-jam puncak kemacetan. Mereka bisa memutarnya ke sisi "kategori kendaraan" untuk melihat dominasi mobil pribadi. Atau, mereka bisa melihatnya dari sisi "rute" untuk menemukan titik-titik kemacetan paling parah.1 Kemampuan analisis multidimensi inilah yang mengubah tumpukan angka menjadi wawasan strategis.

Di balik teknologi ini, ada kisah kolaborasi yang tak kalah penting. Para peneliti menggunakan metode Action Research, sebuah pendekatan yang menekankan partisipasi dan pemecahan masalah di dunia nyata.1 Ini berarti mereka tidak bekerja di menara gading akademis, melainkan turun langsung, bekerja sama dengan Dinas Perhubungan, mendiagnosis masalah mereka secara spesifik, dan membangun solusi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka. Model kemitraan antara universitas lokal dan pemerintah kota ini menjadi fondasi penting bagi keberhasilan inovasi teknologi sipil.

 

Dari Angka Menjadi Aksi: Ketika Dashboard Mengungkap Rahasia Jalanan Tomohon

Hasil akhir dari seluruh proses teknis yang rumit ini adalah sesuatu yang sangat sederhana dan kuat: sebuah dashboard. Dashboard ini adalah jembatan yang menghubungkan dunia analisis data yang kompleks dengan dunia pengambilan keputusan yang praktis. Alih-alih menyajikan tabel-tabel angka yang membosankan, sistem BI ini menampilkan informasi dalam bentuk visual yang intuitif seperti grafik, diagram, dan peta.1

Mari kita ambil satu contoh nyata yang disajikan dalam penelitian: sebuah grafik lingkaran (pie chart) yang menunjukkan sebaran kendaraan bermotor di Kecamatan Tomohon Tengah.1 Bagi orang awam, ini mungkin hanya lingkaran berwarna-warni. Namun bagi seorang perencana kota yang menggunakan dashboard BI, ini adalah peta harta karun.

Dalam sekejap, ia bisa melihat bahwa Kelurahan Matani dan Matani II menjadi kontributor utama lalu lintas di area tersebut, menyumbang hampir 40% dari total volume kendaraan. Ini bukan lagi sekadar firasat atau keluhan warga; ini adalah fakta visual yang tak terbantahkan. Informasi ini segera memicu pertanyaan-pertanyaan strategis: Mengapa kedua kelurahan ini begitu padat? Apakah ada pusat kegiatan ekonomi atau perumahan padat di sana? Apakah infrastruktur jalan di sana memadai?

Kekuatan sebenarnya dari dashboard ini terletak pada kemampuannya untuk menggali lebih dalam. Dengan beberapa klik, perencana kota tersebut bisa memfilter data ini untuk hanya menampilkan kondisi pada jam 8 pagi. Mungkin ia akan menemukan bahwa 90% lalu lintas di Matani pada jam itu adalah sepeda motor. Dengan klik lain, ia bisa melapisi data ini dengan peta rute angkutan umum, dan mungkin menemukan bahwa tidak ada rute angkutan umum langsung yang melayani koridor padat ini. Tiba-tiba, solusi potensial mulai muncul dengan jelas: mungkin perlu diperkenalkan rute angkutan umum baru yang menyasar para pekerja di pagi hari, atau mungkin pembangunan jalur khusus motor bisa menjadi solusi jangka pendek yang efektif.

Inilah transformasi fundamental yang ditawarkan oleh sistem BI. Ia mengubah cara pemerintah kota bekerja, dari yang tadinya reaktif menjadi proaktif. Secara tradisional, manajemen lalu lintas bersifat seperti pemadam kebakaran: ketika kemacetan terjadi, petugas dikirim untuk mengurainya. Dengan dashboard BI, pemerintah dapat mengenali pola—misalnya, "kemacetan di Bundaran Matani selalu memuncak pada hari Jumat sore minggu gajian." Ini memungkinkan mereka untuk melakukan intervensi taktis, seperti menempatkan petugas sebelum kemacetan terjadi.

Lebih jauh lagi, dengan mengintegrasikan data lain di masa depan—seperti izin mendirikan bangunan baru, jadwal acara kota, atau data demografi—sistem ini dapat berevolusi menjadi alat prediksi. Pemerintah bisa mengantisipasi, "Pembangunan kompleks perumahan baru di wilayah X kemungkinan besar akan menciptakan titik kemacetan baru di persimpangan Y dalam 18 bulan ke depan." Kemampuan prediktif ini memungkinkan perencanaan proaktif: melebarkan jalan atau membangun sistem transportasi publik sebelum masalah terjadi. Sistem BI ini, pada akhirnya, berpotensi mengubah pejabat kota dari sekadar "polisi lalu lintas" menjadi "arsitek perkotaan" yang merancang alur kehidupan kota di masa depan.

 

Perspektif Kritis: Sebuah Langkah Awal yang Menjanjikan, Namun Bukan Jalan Tol Menuju Solusi

Penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata yang jernih dan realistis. Penelitian ini berhasil mendokumentasikan pengembangan sebuah alat pendukung keputusan yang sangat kuat dan inovatif.1 Namun, sebuah alat secanggih apa pun hanya akan efektif di tangan pengguna yang terampil dan dalam lingkungan yang mendukung. Laporan ini menandai selesainya fase pengembangan teknologi, tetapi fase implementasi yang jauh lebih menantang baru saja dimulai.

Sistem BI ini adalah sebuah solusi teknis, tetapi kemacetan adalah masalah sosio-teknis yang kompleks. Ada beberapa pertanyaan krusial yang belum terjawab oleh penelitian ini, yang menjadi batasan implisit dari lingkupnya:

  • Adopsi dan Kapasitas Sumber Daya Manusia: Siapa di dalam struktur pemerintahan Kota Tomohon yang akan dilatih untuk menggunakan dan menafsirkan data dari dashboard ini? Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan sistem, pembaruan data, dan pelatihan berkelanjutan bagi para staf?
  • Jalur dari Data ke Kebijakan: Seberapa cepat sebuah wawasan dari dashboard dapat diterjemahkan menjadi kebijakan nyata di lapangan? Sebuah dashboard mungkin dengan jelas menunjukkan perlunya rute bus baru, tetapi proses implementasinya melibatkan birokrasi, penganggaran, kemauan politik, dan konsultasi publik yang bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
  • Faktor Manusia dan Politik: Apakah para pengambil keputusan akan sepenuhnya memercayai data, terutama jika data tersebut menyarankan solusi yang tidak populer secara politik, seperti penerapan jalan berbayar, pembatasan kendaraan, atau penataan parkir yang ketat? Perlawanan terhadap perubahan dan pertimbangan politik sering kali menjadi penghalang yang lebih besar daripada tantangan teknis.

Pada dasarnya, bagian tersulit dari implementasi teknologi sipil sering kali bukan terletak pada penulisan kode atau perancangan algoritma, melainkan pada perubahan budaya organisasi, proses birokrasi, dan dinamika politik. Keberhasilan jangka panjang dari sistem BI di Tomohon akan lebih bergantung pada manusia dan proses di sekitarnya daripada pada kecanggihan teknologinya semata. Kemenangan teknologi yang didokumentasikan dalam penelitian ini hanyalah pertempuran pertama dalam perang yang jauh lebih panjang melawan inersia kelembagaan dan kompleksitas tata kelola perkotaan.

 

Visi Kota Cerdas Tomohon: Dampak Nyata di Balik Kode dan Algoritma

Pada akhirnya, kisah pengembangan Business Intelligence di Tomohon adalah tentang manusia. Ini tentang komuter yang terjebak macet di Bundaran Matani, tentang orang tua yang ingin pulang lebih cepat untuk bertemu anak-anaknya, dan tentang pemilik usaha yang produktivitasnya terhambat oleh logistik yang lambat. Teknologi canggih ini tidak ada artinya jika tidak memberikan dampak nyata bagi kehidupan mereka.

Visi yang ditawarkan oleh sistem ini adalah visi tentang sebuah kota yang lebih cerdas, responsif, dan efisien. Dengan memanfaatkan kekuatan data, Tomohon dapat membuat keputusan yang lebih tepat sasaran. Alih-alih menebak-nebak, pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya yang terbatas—baik itu anggaran infrastruktur maupun personel di lapangan—ke titik-titik yang paling membutuhkannya, pada waktu yang paling krusial.

Jika sistem ini diadopsi sepenuhnya dan didukung oleh kebijakan yang responsif, Tomohon berpotensi menjadi cetak biru bagi kota-kota berukuran sedang lainnya di seluruh Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Dalam lima tahun, bukan tidak mungkin waktu tempuh di jam-jam sibuk bisa dipangkas secara signifikan. Ini bukan sekadar angka dalam laporan; ini adalah puluhan menit tambahan setiap hari bagi warga untuk keluarga, pekerjaan, atau istirahat. Ini adalah penghematan biaya bahan bakar yang berarti bagi para pekerja dan pelaku usaha. Dan pada akhirnya, ini adalah kontribusi untuk udara yang lebih bersih dan lingkungan kota yang lebih layak huni bagi semua.

Kisah dari Tomohon ini mengajarkan sebuah pelajaran penting: di era digital, solusi untuk masalah fisik seperti kemacetan tidak selalu harus berupa beton dan aspal. Terkadang, solusi yang paling transformatif justru datang dari kecerdasan, data, dan kemauan untuk berinovasi. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah kota, dihadapkan pada masalah universal, memilih untuk melawan balik dengan senjata paling modern yang dimilikinya: informasi.