Satu Sekolah, Satu Jalan, Ribuan Kendaraan: Riset Ini Membedah Bagaimana Jam Masuk Sekolah Melumpuhkan Kota – dan Apa Solusi Sebenarnya

Dipublikasikan oleh Hansel

24 Oktober 2025, 23.34

suarasurabaya.net

Setiap pagi, di ribuan ruas jalan di seluruh Indonesia, sebuah ritual yang sama terulang kembali. Mesin-mesin kendaraan dinyalakan, klakson mulai bersahutan, dan sebuah gelombang pasang lalu lintas yang dapat diprediksi mulai bergerak menuju satu titik pusat: sekolah. Bagi jutaan orang tua, siswa, dan pengguna jalan lainnya, jam-jam sibuk antara pukul 06:00 hingga 08:00 pagi bukanlah sekadar kemacetan biasa; ia adalah sebuah mimpi buruk harian, sebuah labirin kekacauan yang menguras waktu, energi, dan kesabaran.

Fenomena ini telah lama menjadi keluhan umum, bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan kota. Namun, di balik keluhan anekdotal tersebut, terdapat sebuah pertanyaan krusial yang jarang terjawab dengan data yang presisi: Seberapa besar sebenarnya dampak satu sekolah terhadap kelumpuhan lalu lintas di sekitarnya? Dan apa yang sebenarnya terjadi di balik angka-angka tersebut?

Sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh Yohanes Pracoyo Widi Prasetyo dari Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi memberikan jawaban yang gamblang dan mengkhawatirkan. Dengan mengambil studi kasus di SMA Negeri 1 Tempeh, Kabupaten Lumajang, penelitian ini berhasil mengukur dan membedah dampak aktivitas sekolah terhadap pola lalu lintas dengan detail yang belum pernah terungkap sebelumnya.1 Hasilnya bukan lagi sekadar cerita tentang jalanan yang padat, melainkan sebuah bukti kuantitatif tentang kegagalan sistemik infrastruktur perkotaan kita.

Riset ini mengubah perbincangan dari sekadar "macet" menjadi analisis terukur tentang kapasitas jalan yang dilampaui, pilihan moda transportasi yang timpang, dan konsentrasi pergerakan manusia yang menciptakan "tsunami" lalu lintas dalam hitungan menit. Temuan dari satu ruas jalan di Lumajang ini berfungsi sebagai cermin bagi ratusan kota lain di Indonesia, mengungkap bahwa kelumpuhan pagi hari bukanlah takdir yang harus diterima, melainkan sebuah masalah sistemik yang datanya kini telah kita miliki untuk dipecahkan.

 

Di Balik Klakson dan Antrean: Membedah "Tsunami" 15 Menit di Jalan Raya Tempeh

Untuk memahami skala masalah, para peneliti memfokuskan lensa mereka pada satu lokasi spesifik: Jalan Raya Tempeh, sebuah arteri vital di Lumajang. Jalan ini memiliki lebar 6 meter dengan dua lajur tanpa pemisah arah, didukung oleh bahu jalan selebar 2 meter di setiap sisinya.1 Di ruas jalan inilah berdiri SMA Negeri 1 Tempeh, sebuah institusi pendidikan dengan total populasi 986 orang, terdiri dari 933 siswa dan 53 guru.1 Lokasi ini menjadi laboratorium sempurna untuk mengukur bagaimana denyut kehidupan sebuah sekolah dapat memengaruhi—atau lebih tepatnya, melumpuhkan—arteri transportasi kota.

Penelitian ini secara cermat menghitung apa yang disebut "tarikan perjalanan"—jumlah kendaraan yang secara spesifik bergerak menuju sekolah pada jam-jam sibuk pagi hari. Data yang terkumpul antara pukul 06:00 hingga 08:00 pagi menunjukkan gambaran yang mencengangkan. Dalam rentang waktu dua jam tersebut, tercatat ada 563 kendaraan yang masuk ke area sekolah. Komposisinya didominasi oleh 476 sepeda motor dan 87 kendaraan ringan seperti mobil pribadi dan angkutan.1 Jika dikonversi ke dalam satuan standar lalu lintas, beban ini setara dengan 325 satuan kendaraan ringan (skr) yang membebani jaringan jalan hanya untuk satu tujuan.

Namun, data yang paling mengejutkan terungkap ketika para peneliti membedah pergerakan ini dalam interval waktu yang lebih sempit. Analisis menunjukkan bahwa masalah utamanya bukanlah sekadar volume total kendaraan, melainkan konsentrasi kedatangan yang luar biasa padat. Puncak dari segala kepadatan terjadi dalam satu jendela waktu yang sangat singkat:

  • Antara pukul 06:30 hingga 06:45 WIB.

Dalam rentang waktu hanya 15 menit ini, sebuah "tsunami" kendaraan menerjang Jalan Raya Tempeh. Tercatat sebanyak 222 kendaraan—terdiri dari 193 sepeda motor dan 29 mobil—memasuki gerbang sekolah.1 Angka ini setara dengan hampir 40% dari total kendaraan yang datang pagi itu, semuanya terkonsentrasi dalam seperdelapan dari total waktu pengamatan.

Ini adalah temuan kunci yang mengubah cara kita memandang masalah. Kemacetan di depan sekolah bukanlah masalah yang berlangsung selama dua jam. Ia adalah sebuah ledakan dahsyat yang terjadi dalam 15 menit. Sistem jalan raya tidak gagal secara perlahan; ia runtuh secara katastropik ketika dihantam oleh gelombang permintaan yang terkonsentrasi dan tiba-tiba. Jalan yang mungkin masih bisa menampung 563 kendaraan jika tersebar merata, terbukti tidak berdaya menghadapi serbuan 222 kendaraan dalam waktu bersamaan. Ini menunjukkan bahwa akar masalahnya bukan semata-mata spasial (ukuran jalan), tetapi juga temporal (manajemen waktu kedatangan).

 

Pilihan di Persimpangan: Paradoks Sepeda Motor dan Potensi Pejalan Kaki yang Terabaikan

Di balik angka-angka volume kendaraan, terdapat cerita tentang pilihan-pilihan manusia. Riset ini tidak hanya menghitung jumlah mobil dan motor, tetapi juga menganalisis bagaimana 986 anggota komunitas sekolah memilih untuk melakukan perjalanan mereka setiap hari. Data karakteristik penggunaan kendaraan ini membuka tabir tentang perilaku mobilitas yang membentuk krisis lalu lintas tersebut.1

Hasilnya menunjukkan dominasi mutlak kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor. Hampir separuh dari seluruh siswa dan guru (49%) memilih untuk mengendarai sepeda motor sendiri ke sekolah. Jika ditambah dengan 4% yang diantar menggunakan moda yang sama, maka lebih dari separuh komunitas sekolah bergantung pada kendaraan roda dua. Di sisi lain, penggunaan mobil pribadi terhitung lebih kecil, dengan 2% mengemudi sendiri dan 4% diantar.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah betapa kecilnya peran transportasi publik. Hanya 14% dari komunitas sekolah yang mengandalkan angkutan umum untuk perjalanan harian mereka.1 Angka ini menjadi sinyal kuat bahwa sistem transportasi publik yang ada dianggap tidak efisien, tidak dapat diandalkan, atau tidak mampu bersaing dengan fleksibilitas dan kecepatan (yang ironisnya hilang dalam kemacetan) yang ditawarkan oleh kendaraan pribadi.

Ketergantungan masif pada sepeda motor ini melahirkan sebuah paradoks. Bagi seorang individu, memilih sepeda motor adalah keputusan yang sangat rasional. Ia menawarkan cara untuk menyelinap di antara kemacetan, biaya operasional yang lebih rendah, dan fleksibilitas dari pintu ke pintu yang tidak bisa ditandingi angkutan umum. Namun, ketika ratusan individu membuat keputusan rasional yang sama secara serentak, hasil kolektifnya menjadi sangat irasional: kemacetan parah yang justru mereka coba hindari. Ini adalah contoh klasik dari "tragedi kebersamaan" (tragedy of the commons) dalam konteks urban, di mana pilihan individu yang logis menciptakan bencana bagi komunitas.

Di tengah dominasi kendaraan pribadi, data penelitian ini menyimpan satu kejutan positif yang sering terabaikan:

  • Sebanyak 27% dari komunitas sekolah adalah pejalan kaki.

Fakta bahwa lebih dari seperempat siswa dan guru berjalan kaki ke sekolah adalah sebuah aset yang luar biasa. Ini menunjukkan bahwa ada populasi signifikan yang tinggal dalam radius yang memungkinkan untuk berjalan, sebuah kelompok yang tidak menghasilkan emisi, tidak memakan ruang jalan, dan tidak berkontribusi pada kemacetan. Mereka adalah representasi dari moda transportasi paling berkelanjutan yang sudah ada dan berfungsi. Namun, ironisnya, solusi konvensional untuk kemacetan—seperti pelebaran jalan yang disinggung dalam kesimpulan studi ini—justru akan menciptakan lingkungan yang lebih berbahaya dan tidak ramah bagi kelompok vital ini, mengancam perilaku paling positif yang teridentifikasi dalam data.

 

Mengukur Kelumpuhan: Ketika Jalan Raya Dipaksa Bekerja 250% Lebih Keras

Untuk benar-benar memahami betapa parahnya situasi di Jalan Raya Tempeh, para peneliti menggunakan metrik teknis yang disebut "Derajat Kejenuhan" ($D_j$). Konsep ini pada dasarnya mengukur seberapa penuh sebuah jalan. Pertama, kapasitas maksimum jalan dihitung berdasarkan standar nasional, mempertimbangkan lebar jalan, pemisah arah, hambatan samping, dan ukuran kota. Untuk Jalan Raya Tempeh, kapasitas idealnya adalah 2.270,7 satuan kendaraan ringan (skr) per jam.1

Derajat Kejenuhan ($D_j$) kemudian dihitung dengan membagi volume lalu lintas aktual pada jam puncak ($Q$) dengan kapasitas jalan ($C$). Nilai $D_j$ sebesar 0,7 berarti jalan terisi 70%. Nilai 1,0 berarti jalan berada di ambang kapasitas penuh. Nilai di atas 1,0 menandakan bahwa jalan tersebut telah gagal; volume kendaraan telah melampaui kemampuan desainnya, menyebabkan antrean panjang dan kemacetan parah.

Hasil analisis Derajat Kejenuhan di Jalan Raya Tempeh selama seminggu penuh melukiskan gambaran kelumpuhan yang sistemik dan dapat diprediksi. Data ini bukan lagi sekadar angka, melainkan sebuah narasi harian tentang infrastruktur yang dipaksa bekerja jauh melampaui batas kemampuannya.

Pada Senin pagi, saat minggu kerja dimulai, jalan tersebut sudah beroperasi pada tingkat kejenuhan 1,818.1 Ini berarti volume lalu lintasnya mencapai 181,8% dari kapasitas maksimumnya. Bayangkan mencoba menuangkan hampir dua liter air ke dalam botol berukuran satu liter; itulah tekanan yang dialami Jalan Raya Tempeh setiap Senin pagi. Situasinya semakin memburuk di sore hari, mencapai 2,302 atau 230,2% dari kapasitas.

Kondisi ini terus berlanjut dan bahkan memburuk sepanjang minggu. Selasa pagi mencatatkan angka 1,883, Rabu pagi 1,936, dan puncaknya terjadi pada hari Jumat. Pada Jumat pagi, tingkat kejenuhan mencapai 1,958, dan pada sore harinya, jalan tersebut mencapai titik terendahnya dengan nilai Derajat Kejenuhan sebesar 2,540.1 Artinya, pada puncak kesibukan akhir pekan, Jalan Raya Tempeh dipaksa menahan beban lalu lintas 254% dari kapasitas yang dirancangnya. Ini bukan lagi kemacetan; ini adalah kegagalan total sistem jalan.

Dalam terminologi teknik sipil, semua nilai di atas 1,0 ini diklasifikasikan sebagai "Tingkat Pelayanan F". Ini adalah level terburuk yang bisa dialami sebuah ruas jalan, ditandai dengan arus yang dipaksakan, kecepatan sangat rendah, volume yang jauh di atas kapasitas, dan antrean yang terus memanjang.1 Satu-satunya waktu di mana jalan berfungsi dengan relatif normal adalah pada Minggu pagi, dengan tingkat kejenuhan 0,774 atau "Tingkat Pelayanan D".1

Konsistensi data ini menunjukkan bahwa kelumpuhan tersebut bukanlah insiden acak yang disebabkan oleh kecelakaan atau cuaca buruk. Ini adalah konsekuensi matematis yang tak terhindarkan dari interaksi antara aktivitas sekolah yang terjadwal dengan infrastruktur jalan yang terbatas. Karena masalah ini sangat terstruktur dan dapat diprediksi, solusinya pun harus bersifat sistemik, bukan sekadar reaktif.

 

Kritik dan Konteks: Apakah Melebarkan Jalan Adalah Jawaban yang Tepat?

Menghadapi data yang begitu dramatis, sebuah solusi intuitif yang sering muncul adalah menambah kapasitas. Penelitian ini sendiri menyimpulkan bahwa salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan "pelebaran jalan".1 Ini adalah pendekatan rekayasa sipil tradisional: jika sebuah pipa tersumbat, perbesar pipanya. Namun, dalam konteks perencanaan transportasi kota modern, solusi ini seringkali terbukti tidak hanya mahal tetapi juga kontraproduktif.

Para perencana kota di seluruh dunia telah lama mengenali sebuah fenomena yang disebut "induced demand" atau permintaan terinduksi. Logikanya sederhana: membangun lebih banyak jalan untuk mengatasi kemacetan ibarat melonggarkan ikat pinggang untuk mengatasi obesitas. Ruang jalan tambahan akan dengan cepat terisi oleh lalu lintas baru—orang-orang yang sebelumnya menggunakan angkutan umum, memilih rute lain, atau bepergian di luar jam sibuk kini merasa terdorong untuk mengemudi. Dalam beberapa tahun, tingkat kemacetan seringkali kembali ke level semula, atau bahkan lebih buruk, namun kini dengan infrastruktur yang lebih besar dan lebih mahal untuk dipelihara.

Data dari studi di Lumajang ini, jika dianalisis lebih dalam, justru mengarah pada solusi yang lebih cerdas dan berkelanjutan daripada sekadar menuang aspal baru.

  1. Solusi Berbasis Waktu, Bukan Ruang: Mengingat bahwa puncak krisis terjadi dalam "tsunami 15 menit", intervensi yang paling efektif mungkin bukanlah mengubah ruang jalan, melainkan mengelola waktu. Kebijakan seperti jam masuk sekolah yang berjenjang (staggered school hours)—misalnya, kelas 10 masuk pukul 07:00, kelas 11 pukul 07:15, dan kelas 12 pukul 07:30—dapat secara dramatis "meratakan kurva" kedatangan. Ini akan menyebarkan beban lalu lintas secara lebih merata tanpa memerlukan investasi infrastruktur yang masif.
  2. Melindungi dan Mengembangkan Aset yang Ada: Dengan 27% komunitas sekolah yang sudah berjalan kaki, investasi paling strategis adalah melindungi dan mendorong kelompok ini. Alih-alih melebarkan jalan untuk mengakomodasi lebih banyak mobil dan motor, bagaimana jika satu meter dari bahu jalan yang ada diubah menjadi trotoar yang aman, teduh, dan nyaman? Ini akan membuat opsi berjalan kaki menjadi lebih menarik dan aman, berpotensi mengurangi jumlah pengguna kendaraan pribadi dari populasi yang tinggal di dekat sekolah.
  3. Mengatasi Akar Masalah, Bukan Gejalanya: Dominasi sepeda motor (49%) dan rendahnya penggunaan angkutan umum (14%) adalah sinyal pasar yang tidak bisa diabaikan. Ini menunjukkan bahwa sistem transportasi publik yang ada gagal bersaing. Daripada terus mengakomodasi lebih banyak kendaraan pribadi, kebijakan yang lebih visioner akan berfokus pada penyediaan alternatif yang nyata. Ini bisa berupa layanan bus sekolah yang andal dan aman, atau peningkatan frekuensi dan jangkauan angkutan umum di rute-rute kunci yang melayani siswa.

 

Dari Lumajang untuk Indonesia: Proyeksi Dampak dan Jalan ke Depan

Studi kasus di Jalan Raya Tempeh, Lumajang, bukanlah sebuah anomali. Ia adalah sebuah mikrokosmos yang merefleksikan realitas pahit di ratusan, bahkan ribuan, zona sekolah di seluruh penjuru Indonesia. Setiap angka yang terungkap dalam penelitian ini—dari lonjakan kendaraan dalam 15 menit hingga jalan yang beroperasi 250% di atas kapasitas—adalah gema dari masalah yang dihadapi oleh kota-kota besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke.

Biaya dari kelambanan untuk bertindak sangatlah besar. Ini bukan hanya tentang waktu yang terbuang di jalan. Ini adalah tentang produktivitas ekonomi yang hilang, konsumsi bahan bakar yang boros, polusi udara yang memperburuk kesehatan publik, tingkat stres yang meningkat pada orang tua dan siswa, serta risiko keselamatan yang lebih tinggi bagi semua pengguna jalan, terutama bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda motor.

Temuan dari Lumajang ini adalah sebuah peringatan sekaligus sebuah peluang. Ia memberikan kita data yang solid untuk beralih dari sekadar mengeluh tentang kemacetan menjadi merancang solusi yang cerdas dan berbasis bukti. Pola mobilitas yang sangat bergantung pada kendaraan pribadi, jika dibiarkan tanpa intervensi, akan terus mencekik pertumbuhan dan kualitas hidup di perkotaan Indonesia.

Namun, jika temuan ini dijadikan dasar untuk kebijakan transportasi sekolah yang cerdas dan terintegrasi—yang memprioritaskan pejalan kaki, mengelola waktu kedatangan secara efektif, dan menyediakan alternatif transportasi publik yang layak—maka masa depan bisa sangat berbeda. Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi landasan untuk sebuah transformasi. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, kita bisa menyaksikan penurunan kemacetan di titik-titik krusial dekat sekolah hingga 30-40%, sekaligus menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman, sehat, dan efisien bagi generasi mendatang. Jalan menuju kota yang lebih baik tidak selalu dibangun dengan aspal yang lebih lebar, tetapi dengan kebijakan yang lebih cerdas.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.47233/jsit.v4i1.151