Perubahan Iklim

Strategi Terpadu Menghadapi Banjir Jakarta Raya: Adaptasi Iklim, Tata Ruang, dan Kolaborasi Multi-Stakeholder

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Banjir Jakarta Raya sebagai Ancaman Berkepanjangan

Jakarta Raya (Jabodetabekpunjur) dikenal sebagai salah satu wilayah metropolitan dengan risiko banjir tertinggi di dunia. Banjir yang terjadi berulang kali, seperti pada tahun 2007, 2013, dan 2020, menimbulkan kerugian besar baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam konteks perubahan iklim yang memperparah intensitas hujan ekstrem dan kenaikan muka air laut, dokumen ini menyajikan rangkaian policy briefs yang mengupas tantangan, solusi, dan rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan risiko banjir yang adaptif dan inklusif.

Analisis Risiko Banjir: Data dan Proyeksi

  • Estimasi risiko banjir di Jakarta saat ini mencapai sekitar USD 186 juta per tahun, dan diperkirakan meningkat hingga USD 521 juta per tahun pada 2030.
  • Faktor utama peningkatan risiko banjir adalah penurunan muka tanah (land subsidence) yang menyumbang 226% peningkatan risiko, disusul oleh perubahan penggunaan lahan (45%) dan kenaikan muka laut (14%).
  • Curah hujan ekstrem meningkat signifikan, dengan intensitas hujan tertinggi sejak 1866 tercatat pada Januari 2020.
  • Kepadatan penduduk Jakarta mencapai sekitar 15.900 jiwa/km², dua kali lipat dari Singapura, dengan pertumbuhan penduduk 1,19% per tahun, membuat lebih banyak orang tinggal di daerah rawan banjir.

Pendekatan Pengelolaan Risiko Banjir

Infrastruktur (Hard Engineering)

  • Pembangunan kanal banjir, tanggul pantai, dan normalisasi sungai menjadi pendekatan utama.
  • Kanal Banjir Timur (BKT) berhasil mengurangi luasan banjir hingga 27% dan volume banjir 34%, dengan penghematan risiko sebesar USD 311 juta.
  • Namun, pendekatan ini rentan terhadap efek samping seperti peningkatan risiko banjir di hilir dan biaya pemeliharaan yang tinggi.

Pendekatan Ekologis (Green Engineering)

  • Konsep rekayasa ekologis atau solusi berbasis alam (nature-based solutions) mengintegrasikan pengelolaan ruang hijau dan biru.
  • Strategi HURD (Holistic, Upstream, Rain, Downstream) mengelola siklus hidrologi secara menyeluruh.
  • Contoh: Pengembangan kawasan konservasi, restorasi mangrove, dan sistem polder buatan.
  • Pendekatan ini dapat menurunkan risiko banjir sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan dan ruang publik.

Pendekatan Sosial dan Institusional (Soft Engineering)

  • Pembentukan lembaga pengelola risiko banjir yang independen dan multi-stakeholder.
  • Penguatan partisipasi masyarakat dan edukasi publik tentang mitigasi dan adaptasi banjir.
  • Pengembangan sistem asuransi mikro untuk mengurangi dampak ekonomi banjir bagi kelompok rentan.
  • Pengembangan rencana darurat keluarga dan peningkatan koordinasi antar lembaga.

Kebijakan Tata Ruang Adaptif

  • Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2020 mengatur rencana tata ruang wilayah Jabodetabekpunjur hingga 2030 dengan fokus pada mitigasi dan adaptasi banjir.
  • Rencana ini mengintegrasikan pembangunan infrastruktur abu-abu (grey), biru (blue), dan hijau (green) secara terpadu.
  • Implementasi efektif membutuhkan konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
  • Penataan ruang berbasis ekoregion dan hasil studi risiko banjir berbasis DAS serta proyeksi iklim masa depan sangat penting.
  • Namun, tantangan masih ada dalam pengawasan pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang.

Studi Kasus dan Dampak Sosial-Ekonomi

  • Kelapa Gading, kawasan rendah di Jakarta Utara, menjadi contoh di mana bisnis properti berkembang pesat meski rawan banjir.
  • Kehilangan ruang terbuka hijau akibat pembangunan masif memperparah risiko banjir.
  • Masyarakat miskin yang tinggal di daerah rawan banjir mengalami dampak sosial dan ekonomi yang lebih besar, seperti kehilangan mata pencaharian dan relokasi paksa.
  • Integrasi SDGs, Pengurangan Risiko Bencana (DRR), dan Adaptasi Perubahan Iklim (CCA) menjadi kerangka kerja yang diusulkan untuk mengatasi kompleksitas ini secara inklusif.

Rekomendasi Utama

  • Membangun lembaga pengelola risiko banjir yang independen dengan kewenangan dan pendanaan memadai.
  • Mengintegrasikan pendekatan infrastruktur, ekologis, dan sosial-institusional secara simultan.
  • Memperkuat kapasitas pemerintah dan masyarakat melalui pelatihan, edukasi, dan partisipasi aktif.
  • Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi pemantauan dan sistem peringatan dini banjir.
  • Melakukan revisi dan penegakan ketat terhadap rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
  • Mengembangkan mekanisme insentif dan kompensasi, termasuk asuransi mikro bagi komunitas rentan.

Kesimpulan: Menuju Jakarta yang Tangguh dan Inklusif

Policy Briefs ini memberikan gambaran menyeluruh tentang tantangan dan solusi pengelolaan risiko banjir di Jakarta Raya di tengah perubahan iklim. Dengan pendekatan multi-disiplin dan multi-stakeholder, serta integrasi kebijakan tata ruang dan mitigasi risiko, Jakarta berpotensi menjadi kota yang lebih tangguh dan inklusif. Namun, keberhasilan membutuhkan komitmen politik, koordinasi lintas sektor, dan partisipasi masyarakat yang kuat.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Kusumanto, T., Triyanti, A., Tjiook, W. (Eds.). (2022). Dealing with Greater Jakarta Floods in Times of Climate Change. Policy Briefs Series, October 2022. TYK Research & Action Consulting, Utrecht University, Indonesian National Research and Innovation Agency (BRIN).

Selengkapnya
Strategi Terpadu Menghadapi Banjir Jakarta Raya: Adaptasi Iklim, Tata Ruang, dan Kolaborasi Multi-Stakeholder

Perubahan Iklim

Meningkatkan Ketahanan Air di Asia: Studi Kasus, Tantangan Tata Kelola, dan Inovasi Adaptasi Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Krisis Air dan Pentingnya Tata Kelola di Asia

Asia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya air, terutama di tengah perubahan iklim yang memperparah risiko kekeringan, banjir, dan degradasi kualitas air. Konferensi virtual “Water Resource Management in Agriculture for Achieving Food and Water Security Under Climate Change in Asia” (Oktober 2022) dan forum-forum terkait menyoroti kebutuhan mendesak untuk tata kelola air yang inovatif dan adaptif. Para peneliti dan praktisi dari berbagai negara Asia membagikan pengalaman, data, dan solusi nyata yang dapat menjadi inspirasi bagi pengambil kebijakan dan pelaku lapangan.

Fokus dan Pendekatan Penelitian

  • Penelitian dan diskusi menggabungkan pendekatan multidisiplin: ekonomi sumber daya, teknik irigasi, kebijakan publik, dan pengelolaan berbasis komunitas.
  • Studi kasus meliputi India, Nepal, China, Indonesia, dan beberapa negara Asia Tenggara.
  • Data kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap sistem irigasi dan ketahanan pangan.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan partisipasi masyarakat menjadi tema sentral dalam strategi adaptasi.

Studi Kasus Utama dan Temuan Angka

1. India: Ketahanan Sistem Pertanian Semi-Kering

  • Peneliti Arjuna Srinidhi dari Wageningen University memaparkan bahwa sistem pertanian semi-kering di India menghadapi risiko tinggi kekeringan.
  • Studi menunjukkan bahwa penerapan teknologi konservasi air dan diversifikasi tanaman dapat meningkatkan ketahanan iklim dan produktivitas hingga 30%.
  • Pendekatan kolaboratif antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan.

2. Nepal: Adaptasi Berbasis Komunitas di Daerah Pegunungan

  • Aastha Bhusal dari LI-BIRD Nepal menyoroti pentingnya pelibatan komunitas dalam merancang strategi adaptasi iklim, terutama di sektor pertanian dan pengelolaan air.
  • Contoh: Program panen air hujan dan pengelolaan irigasi mikro yang meningkatkan ketersediaan air selama musim kemarau.
  • Data menunjukkan peningkatan hasil panen sebesar 20-25% di wilayah yang menerapkan teknologi adaptif ini.

3. China: Pengelolaan Rantai Pasok dan Pertanian Berkelanjutan

  • Profesor Chen Ji dan Chengfang Liu dari Zhejiang University dan Peking University meneliti dampak kebijakan pertanian hijau dan efisiensi penggunaan air di China.
  • Studi menggunakan data panel dari ribuan petani menunjukkan bahwa investasi dalam teknologi irigasi hemat air meningkatkan efisiensi air hingga 35% dan pendapatan petani hingga 15%.
  • Kebijakan insentif dan dukungan kelembagaan mempercepat adopsi teknologi ini.

4. Indonesia: Pengelolaan Air Terpadu dan Kebijakan Adaptasi

  • Peneliti dari Asian Development Bank Institute dan institusi lokal menyoroti pentingnya penguatan tata kelola air terpadu (IWRM) di Indonesia.
  • Studi kasus di beberapa DAS menunjukkan bahwa koordinasi antar lembaga dan partisipasi masyarakat meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya air.
  • Namun, tantangan seperti fragmentasi kelembagaan dan data yang belum terintegrasi masih menghambat.

Tema Sentral: Tata Kelola Air Berbasis Komunitas dan Adaptasi Iklim

  • Banyak studi menekankan bahwa pengelolaan air yang sukses harus melibatkan komunitas lokal secara aktif, menggabungkan pengetahuan tradisional dengan teknologi modern.
  • Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, tetapi juga memperkuat kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
  • Contoh inovasi seperti sistem irigasi mikro, panen air hujan, dan pertanian konservasi menjadi solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Tantangan Umum yang Dihadapi

  • Fragmentasi kelembagaan: Banyak negara menghadapi tumpang tindih kewenangan dan kurangnya koordinasi antar lembaga pengelola air.
  • Keterbatasan data dan monitoring: Data sumber daya air sering tidak lengkap dan tidak terintegrasi, menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Pendanaan dan kapasitas SDM: Keterbatasan dana dan kurangnya tenaga ahli menghambat implementasi program adaptasi.
  • Perubahan iklim yang cepat dan tidak pasti: Membutuhkan pendekatan adaptif dan fleksibel dalam perencanaan dan pengelolaan air.

Rekomendasi Strategis dan Praktis

  • Penguatan tata kelola terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan dari tingkat lokal hingga nasional.
  • Peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan, termasuk pelatihan, penyediaan data, dan teknologi monitoring.
  • Pendekatan berbasis ekosistem untuk konservasi sumber daya air dan perlindungan lingkungan.
  • Pengembangan mekanisme pembiayaan inovatif untuk mendukung investasi infrastruktur dan program adaptasi.
  • Penggunaan teknologi digital dan big data untuk pemantauan real-time dan pengambilan keputusan cepat.
  • Penguatan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan komunitas sebagai aktor utama dalam pengelolaan air.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

  • Pendekatan ini sejalan dengan agenda SDG 6 tentang air bersih dan sanitasi, serta SDG 13 tentang aksi iklim.
  • Industri teknologi air semakin mengadopsi solusi digital dan smart water management.
  • Kerjasama regional dan internasional menjadi kunci untuk mengelola sumber daya air lintas batas.
  • Inovasi berbasis masyarakat dan nature-based solutions mendapat perhatian global sebagai strategi adaptasi efektif.

Membangun Masa Depan Ketahanan Air di Asia

Paper dan diskusi dalam forum ini memberikan gambaran komprehensif tentang tantangan dan solusi pengelolaan air di Asia di tengah perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan pendekatan ilmiah, kebijakan, dan praktik berbasis komunitas, kawasan ini dapat memperkuat ketahanan air dan pangan secara berkelanjutan. Investasi pada tata kelola yang inklusif, adaptif, dan berbasis data menjadi kunci keberhasilan menghadapi krisis air masa depan.

Sumber Artikel 

Conference on Water Resource Management in Agriculture for Achieving Food and Water Security Under Climate Change in Asia, 26-27 October 2022, Virtual Conference, Japan Standard Time (JST).
Biographies of the Speakers, Global Alliance for Climate-Smart Agriculture (GACSA), Food and Agriculture Organization (FAO), Asian Development Bank Institute (ADBI), and related organizations.

Selengkapnya
Meningkatkan Ketahanan Air di Asia: Studi Kasus, Tantangan Tata Kelola, dan Inovasi Adaptasi Iklim

Perubahan Iklim

Desentralisasi dan Pendidikan di Papua: Studi Kasus Jayawijaya dan Hambatan Pelayanan Publik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Desentralisasi sebagai Instrumen Reformasi Tata Kelola

Desentralisasi merupakan salah satu reformasi kelembagaan penting yang bertujuan mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat dan meningkatkan akuntabilitas serta responsivitas layanan publik. Di Indonesia, desentralisasi mulai diterapkan secara luas sejak 1999, termasuk di Papua yang memiliki status otonomi khusus sejak 2001. Namun, meskipun dana dan kewenangan dialihkan ke daerah, capaian pembangunan, khususnya di sektor pendidikan di Jayawijaya, masih jauh dari harapan.

Metodologi dan Fokus Studi

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam, analisis dokumen kebijakan, dan observasi lapangan di Jayawijaya. Fokus utama adalah mengidentifikasi hambatan dalam penyediaan layanan pendidikan dasar setelah desentralisasi.

Temuan Utama: Tiga Hambatan Utama dalam Pendidikan di Jayawijaya

1. Uniformitas Kebijakan Nasional yang Tidak Sesuai Konteks Lokal

  • Kebijakan pendidikan dan kurikulum nasional diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan kondisi geografis, budaya, dan sosial Jayawijaya yang unik.
  • Contoh: Standar jarak maksimal sekolah 3 km tidak realistis di wilayah pegunungan dengan akses transportasi terbatas.
  • Buku pelajaran nasional sulit dipahami siswa karena menggunakan konteks budaya yang asing, seperti gambar kereta api dan gunung Bromo.
  • Yayasan Kristen Wamena (YKW) mengembangkan Buku Paket Kontekstual Papua yang lebih relevan, namun belum diakui secara resmi oleh pemerintah.

2. Sistem Insentif yang Tidak Efektif dan Ketidakhadiran Guru

  • Tingginya angka ketidakhadiran guru, terutama guru PNS, menjadi masalah utama.
  • Faktor penyebab: lokasi terpencil, gaji yang rendah, kurangnya fasilitas pendukung (transportasi, perumahan, kesehatan).
  • Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tunjangan guru belum efektif karena pengalokasian dana yang tidak sesuai kebutuhan lokal dan minimnya pengawasan.
  • Data UNICEF (2012) menunjukkan ketidakhadiran guru di daerah pegunungan Papua mencapai 50%, jauh lebih tinggi dibanding daerah dataran rendah (25%).

3. Monitoring dan Koordinasi yang Lemah

  • Struktur pemerintahan yang kompleks dan terfragmentasi menyebabkan lemahnya koordinasi antara pemerintah kabupaten, kecamatan, dan sekolah.
  • Monitoring guru dan sekolah sulit dilakukan karena jarak geografis yang jauh dan infrastruktur yang buruk.
  • Kepala sekolah sering tidak hadir, memperparah masalah ketidakhadiran guru dan kualitas pendidikan.
  • Pengawasan lebih efektif jika didelegasikan ke tingkat kecamatan, namun kewenangan masih terbatas.

Studi Kasus dan Data Pendukung

  • Jayawijaya memiliki luas 7.030 km² dengan 40 kecamatan dan 328 desa.
  • Populasi 268.137 jiwa (2017) dengan kepadatan 1 orang per 25 km², sangat tersebar dan sulit dijangkau.
  • Rata-rata lama sekolah di Jayawijaya hanya 5 tahun, jauh di bawah target nasional 8,8 tahun.
  • Alokasi anggaran pendidikan hanya 0,95% dari total APBD Jayawijaya, terendah di Papua.
  • BOS dialokasikan Rp800.000 per siswa per tahun tanpa penyesuaian kondisi lokal.

Analisis Teoritis: Multi-Level Governance dan Agency Theory

  • Desentralisasi menciptakan hubungan principal-agent antara pemerintah pusat (principal) dan daerah (agent), serta antara pemerintah daerah dan penyedia layanan (guru, sekolah).
  • Masalah muncul ketika tujuan dan kepentingan principal dan agent tidak selaras, serta adanya asimetri informasi dan lemahnya mekanisme kontrol.
  • Kondisi geografis yang sulit memperburuk masalah monitoring dan akuntabilitas.
  • Uniformitas kebijakan nasional menghambat fleksibilitas daerah dalam menyesuaikan layanan dengan kebutuhan lokal.

Opini dan Kritik

  • Penelitian ini memberikan gambaran mendalam tentang hambatan nyata di lapangan yang sering terabaikan dalam wacana desentralisasi.
  • Penekanan pada konteks geografis dan kelembagaan lokal menjadi kekuatan utama.
  • Namun, solusi yang diusulkan masih terbatas pada rekomendasi kebijakan tanpa eksplorasi mendalam tentang inovasi teknologi atau pendekatan partisipatif yang lebih luas.
  • Studi ini juga membuka ruang untuk riset lebih lanjut mengenai peran masyarakat dan teknologi dalam memperbaiki monitoring dan akuntabilitas.

Rekomendasi Kebijakan

  • Kebijakan pendidikan harus fleksibel dan responsif terhadap konteks lokal, termasuk kurikulum dan standar pelayanan.
  • Penguatan sistem insentif yang sesuai dengan kondisi lokal dan pengawasan yang ketat terhadap kehadiran guru.
  • Delegasi kewenangan monitoring ke tingkat kecamatan dan desa untuk meningkatkan efektivitas pengawasan.
  • Peningkatan alokasi anggaran pendidikan yang proporsional dengan kebutuhan daerah terpencil.
  • Dukungan berkelanjutan untuk pengembangan bahan ajar kontekstual dan pelatihan guru.

Desentralisasi yang Berkeadilan dan Kontekstual

Tesis ini menegaskan bahwa desentralisasi di Papua, khususnya Jayawijaya, menghadapi tantangan besar dalam penyediaan layanan pendidikan dasar. Uniformitas kebijakan nasional, sistem insentif yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring menjadi hambatan utama. Untuk mewujudkan desentralisasi yang efektif, diperlukan pendekatan yang menghargai keragaman lokal, memperkuat kapasitas pemerintahan daerah, dan meningkatkan akuntabilitas melalui pengawasan yang lebih dekat dengan masyarakat. Hanya dengan demikian, tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan pendidikan di wilayah terpencil dapat tercapai.

Sumber Artikel 

Efriandi, T., Couwenberg, O., Holzhacker, R.L. (2019). Decentralization and public service provision: A case study of the education sector in Jayawijaya District, Papua, Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 41(3), 364-389. http://doi.org/10.1355/cs41-3b

Selengkapnya
Desentralisasi dan Pendidikan di Papua: Studi Kasus Jayawijaya dan Hambatan Pelayanan Publik

Perubahan Iklim

Meningkatkan Tata Kelola Air di Asia: Tantangan, Kerangka Kerja, dan Strategi untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Tata Kelola Air untuk Masa Depan Asia

Asia, sebagai benua terpadat dan terbesar di dunia, memiliki peran sentral dalam pengelolaan sumber daya air global. Meskipun memiliki sekitar 32% sumber air tawar dunia, kawasan ini menghadapi tantangan besar seperti pertumbuhan penduduk yang cepat, urbanisasi, industrialisasi, dan perubahan iklim yang memperburuk ketersediaan dan kualitas air. Paper ini melakukan tinjauan sistematis terhadap literatur tata kelola air (water governance/WG) di Asia antara tahun 2000-2020, mengidentifikasi tantangan utama, kerangka kerja yang digunakan, serta merekomendasikan strategi untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Pendekatan Sistematis dan Luas

Penulis menggunakan metode PRISMA untuk menyeleksi literatur dari database Scopus dan Google Scholar, termasuk artikel peer-reviewed, laporan institusi, dan literatur abu-abu. Dari 350 dokumen yang ditemukan, 145 publikasi dipilih untuk analisis mendalam berdasarkan relevansi, metodologi, dan cakupan studi kasus di Asia.

Tren dan Distribusi Studi Tata Kelola Air di Asia

  • Jumlah publikasi meningkat signifikan sejak 2015, seiring dengan munculnya SDGs.
  • Fokus studi paling banyak di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur. Negara dengan studi terbanyak adalah India, China, Vietnam, dan Thailand.
  • Wilayah Asia Tengah dan Barat kurang mendapat perhatian karena keterbatasan data dan konflik politik.

Definisi dan Konsep Tata Kelola Air

  • Tata kelola air mencakup sistem politik, sosial, ekonomi, dan administratif yang mengatur penggunaan dan pengelolaan air di berbagai tingkat masyarakat.
  • Tidak ada definisi tunggal yang disepakati, namun prinsip utama meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keberlanjutan.
  • Konsep “effective water governance” menekankan keterlibatan aktif pemangku kepentingan, keadilan sosial, dan responsivitas terhadap perubahan.

Isu Utama dalam Tata Kelola Air di Asia

Pengelolaan Air Lintas Batas (Transboundary Water Management/TWM)

  • Asia memiliki 57 DAS lintas batas, namun hanya 10 yang memiliki perjanjian pengelolaan resmi.
  • Konflik air timbul akibat pembangunan bendungan, alokasi irigasi, dan perubahan iklim.
  • Contoh: Konflik di DAS Ganges-Brahmaputra-Meghna dan Mekong.

Manajemen Irigasi

  • Pertanian menggunakan porsi terbesar air, namun efisiensi irigasi rendah.
  • Fragmentasi kelembagaan dan teknologi usang menjadi kendala utama.

Kualitas Air

  • Polusi limbah domestik, industri, dan pertanian mengancam kesehatan dan ekosistem.
  • Studi di China dan India menunjukkan tantangan besar dalam pengelolaan limbah.

Nexus Air-Pangan-Energi-Iklim

  • Interdependensi sektor ini menuntut tata kelola terintegrasi dan adaptif.
  • Contoh: Pengelolaan bendungan untuk energi dan irigasi harus mempertimbangkan dampak iklim dan kebutuhan pangan.

Kerangka Kerja Tata Kelola Air yang Digunakan

  • Kerangka hukum dan kelembagaan (Legal and Institutional Framework/LIF) paling banyak digunakan untuk analisis kasus.
  • Teori Ostrom (Institutional Analysis and Development/IAD) dan Adaptive Integrated Water Management (AIWM) banyak dipakai untuk memahami dinamika kelembagaan dan adaptasi.
  • OECD Water Governance Indicator and Measurement (WGIM) framework digunakan untuk menilai efektivitas dan transparansi tata kelola.
  • Kerangka ini menekankan regulasi jelas, pengelolaan adaptif, keterlibatan pemangku kepentingan, koordinasi lintas sektor, dan transparansi data.

Tantangan Tata Kelola Air di Asia

  • Fragmentasi kelembagaan dan tumpang tindih peran antar lembaga.
  • Keterbatasan kapasitas teknis dan finansial.
  • Kurangnya koordinasi dan kepercayaan antar pemangku kepentingan, khususnya di wilayah lintas batas.
  • Data dan sistem informasi yang belum terintegrasi dan kurang transparan.
  • Pengaruh politik dan ketidakstabilan menghambat reformasi.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

  • Perbaikan kerangka hukum dan kelembagaan untuk mengurangi tumpang tindih dan memperjelas tanggung jawab.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia.
  • Peningkatan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan.
  • Pengembangan mekanisme koordinasi lintas sektor dan lintas negara.
  • Implementasi sistem monitoring dan evaluasi berbasis data.
  • Adopsi pendekatan adaptif dan inovatif untuk menghadapi perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

  • Konflik dan kerjasama di DAS Mekong antara negara hilir dan hulu.
  • Pengelolaan air irigasi dan kualitas air di perbatasan India dan Bangladesh.
  • Pengelolaan air perkotaan dan pertanian di Delta Mekong, Vietnam.
  • Reformasi kelembagaan air di China.

Tata Kelola Air sebagai Pilar Pencapaian SDGs di Asia

Tata kelola air yang efektif dan adaptif adalah kunci mengatasi tantangan air di Asia dan mencapai SDG 6. Dengan kerangka kerja yang tepat, penguatan kelembagaan, dan kolaborasi lintas sektor serta negara, kawasan ini dapat mengelola sumber daya airnya secara berkelanjutan. Studi ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi untuk memperbaiki tata kelola air di Asia.

Sumber Artikel

Nguyen Hong Duc, Pankaj Kumar, Pham Tam Long, Gowhar Meraj, Pham Phuong Lan, Mansour Almazroui, Ram Avtar. (2024). A Systematic Review of Water Governance in Asian Countries: Challenges, Frameworks, and Pathways Toward Sustainable Development Goals. Earth Systems and Environment.

Selengkapnya
Meningkatkan Tata Kelola Air di Asia: Tantangan, Kerangka Kerja, dan Strategi untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Perubahan Iklim

Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Dari Difusi hingga Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas Perjalanan Kebijakan Air di Era Globalisasi

Paper ini mengulas secara komprehensif empat generasi riset terkait perjalanan kebijakan air di berbagai negara dan konteks sosial-politik. Farhad Mukhtarov mengkaji kekuatan dan kelemahan pendekatan difusi, transfer, translasi, dan branding kebijakan air, serta bagaimana kebijakan tersebut tidak hanya berpindah, tapi juga berubah dan dibentuk ulang oleh konteks lokal dan kekuatan global.

Empat Generasi Riset Kebijakan Air

1. Difusi Kebijakan (Diffusion)

  • Fokus pada pola penyebaran kebijakan secara luas dan statistik, termasuk tipping points dan pola adopsi.
  • Menekankan faktor struktural seperti globalisasi dan norma internasional.
  • Contoh: Penyebaran Integrated Water Resources Management (IWRM) sebagai norma global.
  • Kelemahan: Kurang memperhatikan politik nasional dan transformasi kebijakan saat diadopsi.

2. Transfer Kebijakan (Transfer)

  • Studi kasus kecil yang meneliti aktor, motivasi, dan kondisi transfer kebijakan.
  • Transfer bisa bersifat sukarela, negosiasi, atau paksaan (coercion).
  • Contoh: Transfer Water User Associations (WUAs) di Uzbekistan dan Turki dengan berbagai tingkat keberhasilan dan penyesuaian.
  • Menyoroti peran aktor transnasional dan domestik serta konteks politik.

3. Translasi Kebijakan (Translation)

  • Memperhatikan bagaimana kebijakan mengalami perubahan makna dan bentuk saat berpindah konteks.
  • Fokus pada politik makna, kekuasaan, dan interpretasi lokal.
  • Contoh: Adaptasi Dutch Delta Approach di Bangladesh dan Vietnam yang melibatkan negosiasi dan kontestasi politik.
  • Menolak pandangan kebijakan sebagai objek tetap, melainkan sebagai proses dinamis dan kontingen.

4. Branding Kebijakan (Branding)

  • Fenomena baru di mana negara/kota memposisikan diri sebagai pusat keunggulan tata kelola air (Global Hydro-Hubs).
  • Melibatkan diplomasi, pemasaran, dan kolaborasi publik-swasta.
  • Contoh: Singapore International Water Week sebagai ajang promosi keahlian air.
  • Branding menjadi strategi geopolitik dan ekonomi di tengah krisis iklim dan kebutuhan air global.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

  • Tennessee Valley Authority (TVA) AS: Model pengelolaan air yang berpengaruh di banyak DAS internasional.
  • IWRM: Sebagai kebijakan hegemonik global yang menyebar melalui jaringan internasional.
  • Dutch Delta Approach: Branding dan transfer kebijakan adaptasi delta ke negara-negara Asia Tenggara.
  • Singapore: Branding sebagai pusat solusi air urban melalui event dan diplomasi air.
  • EU Water Framework Directive (WFD): Transfer kebijakan dengan adaptasi kontekstual di Turki dan negara anggota.

Analisis Kritis

  • Paper ini berhasil menggabungkan berbagai pendekatan riset dan menempatkannya dalam dialog kritis.
  • Menekankan pentingnya konteks lokal dan politik dalam memahami perjalanan kebijakan air.
  • Branding sebagai fenomena baru menandai pergeseran peran negara dan swasta dalam tata kelola air global.
  • Kritik utama terhadap riset difusi dan transfer adalah asumsi linearitas dan kurangnya perhatian pada politik lokal dan transformasi kebijakan.

Relevansi dan Implikasi

  • Kebijakan air tidak bisa dipahami hanya sebagai objek statis, melainkan sebagai proses dinamis yang dipengaruhi oleh aktor, konteks, dan kekuasaan.
  • Pemahaman ini penting bagi pembuat kebijakan, donor, dan praktisi agar dapat mengelola transfer kebijakan dengan efektif dan sensitif terhadap konteks.
  • Branding dan diplomasi air menjadi instrumen penting dalam geopolitik air dan pasar global yang bernilai miliaran dolar.

Memahami Kompleksitas Perjalanan Kebijakan Air

Mukhtarov memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kebijakan air bergerak, berubah, dan dibentuk ulang di berbagai belahan dunia. Pendekatan difusi, transfer, translasi, dan branding masing-masing menawarkan perspektif unik yang saling melengkapi. Tantangan utama adalah mengintegrasikan pendekatan ini untuk menghasilkan kebijakan air yang efektif, adil, dan berkelanjutan di tengah dinamika global dan lokal.

Sumber Artikel

Mukhtarov, F. (2022). A review of water policies on the move: Diffusion, transfer, translation or branding? Water Alternatives, 15(2), 290-306.

Selengkapnya
Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Dari Difusi hingga Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Perubahan Iklim

Climate-Smart Irrigation: Solusi Terintegrasi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Ketahanan Iklim di Sektor Irigasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan Irigasi di Tengah Perubahan Iklim

Irigasi memainkan peran krusial dalam ketahanan pangan global dengan menghasilkan sekitar 40% produksi pangan dunia meski hanya mengairi 20% lahan pertanian. Namun, irigasi juga menjadi pengguna air terbesar, menyerap hampir 47% air tawar yang diambil dari sumber permukaan dan air tanah. Dengan pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan perubahan pola konsumsi, tekanan terhadap sumber daya air semakin meningkat. Perubahan iklim menambah kompleksitas dengan mengubah pola curah hujan, meningkatkan frekuensi kejadian ekstrem, dan menaikkan permintaan air untuk irigasi.

Dokumen ini menyajikan pendekatan Climate-Smart Irrigation (CSI) sebagai bagian integral dari Climate-Smart Agriculture (CSA), yang bertujuan meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sistem irigasi.

Konsep Climate-Smart Irrigation (CSI)

CSI merupakan pendekatan holistik yang menggabungkan tiga pilar utama CSA:

  • Produktivitas: Meningkatkan hasil panen dan pendapatan petani tanpa merusak lingkungan atau mengurangi ketersediaan air bagi pengguna lain.
  • Adaptasi: Memperkuat ketahanan sistem irigasi dan rantai nilai terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan.
  • Mitigasi: Mengurangi emisi GRK dari seluruh siklus produksi, mulai dari penggunaan energi hingga pengelolaan lahan.

CSI menekankan pentingnya konteks agroklimatik dan sosial-ekonomi lokal serta dukungan kebijakan dan kelembagaan yang sesuai.

Tantangan Utama Sektor Irigasi

  • Ketidakpastian iklim: Perubahan pola curah hujan dan suhu yang sulit diprediksi memengaruhi ketersediaan air.
  • Reformasi sektor: Hambatan politik dan kelembagaan menghambat adopsi praktik berkelanjutan.
  • Efisiensi dan produktivitas: Meningkatkan efisiensi penggunaan air dan hasil panen secara bersamaan masih menjadi tantangan.
  • Resistensi terhadap perubahan: Petani dan pengelola irigasi sering enggan mengubah praktik lama tanpa jaminan hasil.
  • Pengelolaan air yang adil dan berkelanjutan: Menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertanian, ekosistem, dan pengguna lain.

Pilar CSI dan Implementasinya

Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan

  • Fokus pada menutup kesenjangan hasil panen antara potensi dan realisasi.
  • Model “Save and Grow” mengintegrasikan konservasi tanah dan air dengan praktik berkelanjutan.
  • Penerapan di tingkat DAS, skema irigasi, dan lahan petani.

Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Perencanaan berbasis risiko dan skenario masa depan.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan dukungan teknis.
  • Pendekatan pengelolaan DAS dan irigasi yang fleksibel.

Mitigasi Emisi GRK

  • Pengurangan penggunaan energi fosil dengan teknologi hemat energi dan energi terbarukan.
  • Pengelolaan pupuk dan lahan untuk memaksimalkan penyerapan karbon.
  • Pengurangan kehilangan hasil panen dan efisiensi rantai nilai.

Studi Kasus Penting

  • Misión Posible II, Spanyol: Pengurangan konsumsi air irigasi hingga 20% tanpa menurunkan hasil panen dengan konservasi di lahan basah Las Tablas de Daimiel.
  • Kavre, Nepal: Pengembangan strategi adaptasi berbasis partisipasi menghadapi banjir dan kekeringan.
  • Danau Urmia, Iran: Proyek restorasi dengan pengelolaan irigasi dan konservasi DAS untuk memulihkan danau hypersaline terbesar kedua dunia.
  • Sub-Sahara Afrika: Pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan pengelolaan irigasi dan hasil panen.
  • Andean Agroforestry: Keterlibatan masyarakat dalam pemantauan sumber daya air dan hutan meningkatkan kapasitas adaptasi.

Analisis dan Nilai Tambah

  • Pendekatan CSI menggabungkan aspek teknis, kelembagaan, sosial, dan ekonomi secara holistik.
  • Menekankan integrasi adaptasi dan mitigasi dalam kerangka kerja yang fleksibel dan kontekstual.
  • Memberikan contoh nyata yang dapat menjadi inspirasi bagi negara berkembang dan maju.
  • Menyoroti pentingnya sistem monitoring berbasis teknologi digital dan sensor modern.

Kritik dan Tantangan

  • Resistensi budaya dan politik masih menjadi hambatan utama implementasi.
  • Kebutuhan investasi dan kapasitas teknis yang besar belum merata.
  • Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengatasi trade-off antara produktivitas, adaptasi, dan mitigasi.
  • Studi kasus masih terbatas di wilayah tertentu, perlu perluasan cakupan.

Menuju Irigasi Cerdas Iklim yang Berkelanjutan

Dokumen ini menjadi rujukan penting bagi pengambil kebijakan dan praktisi dalam menghadapi tantangan irigasi di era perubahan iklim. Climate-Smart Irrigation bukan hanya teknologi, tetapi juga tata kelola, kapasitas, dan kolaborasi multi-level. Dengan pendekatan ini, irigasi dapat meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan, dan mengurangi jejak karbon, mendukung pencapaian SDG 2, 6, dan 13 secara simultan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Batchelor, C., Schnetzer, J. (2018). Compendium on Climate-Smart Irrigation: Concepts, evidence and options for a climate-smart approach to improving the performance of irrigated cropping systems. Global Alliance for Climate-Smart Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Selengkapnya
Climate-Smart Irrigation: Solusi Terintegrasi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Ketahanan Iklim di Sektor Irigasi
« First Previous page 82 of 1.119 Next Last »