Keselamatan Kerja

Analisis Faktor Keselamatan Industri

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan industri merupakan aspek krusial dalam dunia kerja, terutama di sektor yang melibatkan risiko tinggi seperti manufaktur, pertambangan, dan energi. Artikel "A Factorial Analysis of Industrial Safety" oleh Cordelia Ochuole Omoyi dan Ayodeji Samuel Omotehinse, yang diterbitkan dalam International Journal of Engineering and Innovative Research (2021), membahas berbagai variabel yang mempengaruhi keselamatan industri serta penerapan metode statistik untuk menganalisis faktor-faktor ini.

Studi ini mengadopsi pendekatan statistik yang menggabungkan dua metode utama:

  1. Kendall’s Coefficient of Concordance (KCC) – Digunakan untuk menganalisis konsistensi peringkat faktor bahaya oleh panel juri yang terdiri dari 13 orang.
  2. Principal Component Analysis (PCA) – Digunakan untuk mengurangi jumlah variabel dari 32 menjadi 5 faktor utama yang paling berpengaruh terhadap keselamatan industri.

Para peneliti mengumpulkan data melalui kuesioner berbasis skala Likert 5 poin yang disebarkan kepada 22 responden yang memiliki pengalaman di industri terkait. Dari 22 kuesioner yang disebarkan, 13 di antaranya berhasil dikembalikan dan dianalisis lebih lanjut.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi keselamatan industri:

  1. Work World Culture (Budaya Kerja)

    • Faktor ini mencakup aspek seperti lingkungan kerja, desain tempat kerja, volume lalu lintas dalam zona kerja, serta tingkat kesadaran terhadap bahaya.
    • Salah satu temuan menarik adalah bahwa kegagalan sub-sistem dalam proses industri memiliki pengaruh signifikan terhadap kecelakaan kerja.
  2. Ground Rule Matters (Aturan Dasar Keselamatan)

    • Faktor ini menyoroti pentingnya desain ruang kerja yang ergonomis, kejelasan prosedur keselamatan, serta kesiapan dalam menghadapi peringatan dini.
    • Kesalahan manusia dan gangguan konsentrasi menjadi faktor utama dalam peningkatan risiko kecelakaan.
  3. Safety Considerations (Pertimbangan Keselamatan)

    • Faktor ini mencakup aspek seperti penanganan material berbahaya dan risiko akibat kegagalan peralatan.
    • Data menunjukkan bahwa kombinasi beberapa faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan kecelakaan secara eksponensial.
  4. Work Condition (Kondisi Kerja)

    • Termasuk dalam faktor ini adalah aspek lingkungan kerja yang mempengaruhi produktivitas dan tingkat kecelakaan, seperti suhu, ventilasi, dan kondisi fisik fasilitas.
  5. Perception of Safety (Persepsi Terhadap Keselamatan)

    • Faktor ini menggarisbawahi pentingnya bagaimana pekerja memandang keselamatan dalam lingkungan kerja mereka.
    • Studi ini menemukan bahwa persepsi keselamatan yang rendah sering kali berkorelasi dengan tingkat kecelakaan yang lebih tinggi.

Dalam penelitian ini, salah satu contoh konkret yang dianalisis adalah sektor minyak dan gas. Beberapa temuan utama dari sektor ini antara lain:

  • 41,45% pekerja dalam industri ini memiliki kemungkinan mengalami transisi dari kondisi aman ke kondisi berisiko tinggi.
  • Adanya korelasi antara beban kerja tinggi dan peningkatan tingkat kecelakaan.
  • Kompleksitas lingkungan kerja memainkan peran besar dalam menentukan tingkat kecelakaan di sektor ini.

Penerapan metode PCA dalam studi ini menunjukkan bahwa dengan mengurangi jumlah variabel yang diamati, organisasi dapat lebih mudah menentukan prioritas dalam mengelola risiko keselamatan.

Hasil penelitian ini memiliki implikasi penting bagi industri dalam meningkatkan keselamatan kerja:

  1. Penguatan Budaya Keselamatan – Perusahaan perlu memastikan bahwa keselamatan menjadi bagian integral dari budaya kerja.
  2. Peningkatan Pelatihan dan Kesadaran – Pelatihan berkala harus diberikan kepada pekerja untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap bahaya yang ada.
  3. Penerapan Teknologi Keselamatan – Penggunaan sensor, sistem peringatan dini, dan perangkat keselamatan pintar dapat membantu mengurangi risiko kecelakaan.
  4. Evaluasi Berkelanjutan – Proses audit keselamatan harus dilakukan secara berkala untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan industri.

Artikel "A Factorial Analysis of Industrial Safety" memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor utama yang mempengaruhi keselamatan di lingkungan industri. Dengan menerapkan pendekatan berbasis data seperti KCC dan PCA, organisasi dapat mengidentifikasi faktor-faktor kritis dan mengambil tindakan preventif yang lebih efektif. Studi ini juga menyoroti pentingnya meningkatkan budaya keselamatan di tempat kerja guna mengurangi tingkat kecelakaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Sumber Asli

Omoyi, C.O., Omotehinse, S.A. A Factorial Analysis of Industrial Safety. International Journal of Engineering and Innovative Research, 4(1), 33-43.

Selengkapnya
Analisis Faktor Keselamatan Industri

Keselamatan Kerja

Pentingnya Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi Kurir Ekspedisi dalam Menghadapi Multi-Hazard

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Dalam industri logistik yang berkembang pesat, para kurir ekspedisi menghadapi berbagai risiko kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas dan keselamatan mereka. Paper berjudul Occupational Health and Safety (OHS) Training for Expedition Couriers to be Able to Deal with Multi-Hazards oleh Reniasinta dan Evi Widowati dari Universitas Negeri Semarang membahas bagaimana pelatihan K3 dapat membantu kurir dalam menghadapi risiko kerja yang beragam. Studi ini dilakukan pada kurir ID Express Drop Point Kroya di Kabupaten Cilacap, dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja serta mengusulkan solusi berbasis pelatihan K3.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode cross-sectional. Sampel penelitian terdiri dari 35 kurir ekspedisi ID Express Drop Point Kroya. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang mengukur kelelahan kerja menggunakan instrumen Industrial Fatigue Research Committee (IFRC), serta faktor lain seperti beban kerja, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga, dan usia.

Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji chi-square, Kolmogorov-Smirnov, dan Fisher. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kelelahan kerja dengan beban kerja (p=0.024), lama kerja (p=0.007), dan kebiasaan olahraga (p=0.021).

Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap kelelahan kerja pada kurir ekspedisi:

  1. Beban Kerja Tinggi:
    • 42,9% kurir mengalami beban kerja tinggi
    • 45,7% mengalami beban kerja sangat tinggi
    • Beban kerja yang tinggi meningkatkan kemungkinan kelelahan secara signifikan
  2. Lama Kerja yang Tidak Sesuai:
    • 82,9% kurir bekerja lebih dari 7 jam per hari
    • Pekerja dengan jam kerja lebih panjang memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kelelahan
  3. Kurangnya Aktivitas Fisik:
    • 48,6% kurir tidak pernah berolahraga
    • Hanya 8,6% yang rutin berolahraga lebih dari 3 kali per minggu
    • Kurangnya olahraga berkontribusi terhadap tingkat kelelahan yang lebih tinggi
  4. Kurangnya Pengalaman Kerja:
    • 57,1% kurir memiliki masa kerja ≤7 bulan, yang dikaitkan dengan adaptasi kerja yang belum optimal

Berdasarkan wawancara dengan 7 kurir, ditemukan bahwa 71% mengalami gejala kelelahan seperti:

  • Sakit kepala
  • Nyeri punggung akibat duduk terlalu lama
  • Kekakuan bahu setelah berkendara berjam-jam

Selain itu, peningkatan belanja online selama pandemi COVID-19 menyebabkan lonjakan volume pengiriman, sehingga menambah tekanan kerja bagi kurir ekspedisi.

Solusi: Pentingnya Pelatihan K3

Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pelatihan K3 dapat menjadi solusi dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan keselamatan kerja kurir ekspedisi. Beberapa langkah yang direkomendasikan meliputi:

  1. Pelatihan Manajemen Kelelahan: Mengajarkan teknik manajemen waktu dan istirahat yang optimal untuk mengurangi risiko kelelahan.
  2. Pelatihan Keselamatan Berkendara: Mengedukasi kurir tentang teknik berkendara yang aman dan cara menghindari kecelakaan di jalan.
  3. Pelatihan Ergonomi: Memberikan panduan tentang postur tubuh yang benar saat berkendara dan mengangkat barang untuk mencegah cedera otot dan tulang.
  4. Penerapan Sistem K3 di Perusahaan: Mengoptimalkan jadwal kerja agar tidak melebihi batas aman serta memastikan kurir memiliki waktu istirahat yang cukup.

Paper ini menyoroti betapa pentingnya pelatihan K3 dalam industri logistik, khususnya bagi kurir ekspedisi yang menghadapi risiko kerja tinggi. Dengan menerapkan sistem pelatihan yang baik, perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan kurir sekaligus menjaga produktivitas operasional. Studi ini memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan kebijakan keselamatan kerja di sektor logistik, terutama dalam menghadapi tantangan era digital yang semakin menuntut kecepatan dan efisiensi.

Sumber: Reniasinta, R., & Widowati, E. Occupational Health and Safety (OHS) Training for Expedition Couriers to be Able to Deal with Multi-Hazards. International Journal of Active Learning, Vol. 7 No. 2, 2022, Hal. 209-218.

Selengkapnya
Pentingnya Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi Kurir Ekspedisi dalam Menghadapi Multi-Hazard

Keselamatan Kerja

Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Metode HIRARC di PT Barokah Galangan Perkasa

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menjadi faktor krusial dalam industri maritim, terutama di sektor galangan kapal. Paper berjudul Risk Analysis of Occupational Health and Safety Using Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) Method (Case Study in PT Barokah Galangan Perkasa) karya Andi Giovanni, Lina Dianati Fathimahhayati, dan Theresia Amelia Pawitra membahas penerapan metode HIRARC dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko di PT Barokah Galangan Perkasa, sebuah perusahaan perbaikan dan pembuatan kapal di Kalimantan Timur.

Penelitian ini menggunakan metode Hazard Identification, Risk Assessment, and Risk Control (HIRARC), yang bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya, menilai tingkat risiko, dan menentukan tindakan pengendalian yang tepat. Studi dilakukan pada dua area kerja utama:

  • Upper Accommodation Area, dengan 40 potensi bahaya yang terdiri dari:
    • 77% risiko rendah
    • 12% risiko sedang
    • 8% risiko tinggi
    • 3% risiko sangat tinggi
  • Cargo Oil Tank Area, dengan 37 potensi bahaya yang terdiri dari:
    • 84% risiko rendah
    • 13% risiko sedang
    • 3% risiko tinggi

Dengan mengetahui tingkat risiko ini, perusahaan dapat memprioritaskan tindakan perbaikan untuk mengurangi kecelakaan kerja.

  1. Bahaya di Upper Accommodation Area
    • Risiko tinggi (8%) dan sangat tinggi (3%): Terjadi pada proses pengelasan di ketinggian, dengan risiko jatuh akibat kurangnya penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti body harness.
    • Penyebab utama kecelakaan: Kabel listrik yang berserakan, pencahayaan buruk, dan penggunaan alat pelindung diri yang tidak optimal.
    • Solusi yang direkomendasikan: Peningkatan pengawasan terhadap pemakaian APD dan penerapan prosedur keamanan ketat.
  2. Bahaya di Cargo Oil Tank Area
    • Risiko tinggi (3%): Terdapat pada paparan gas beracun akibat ventilasi yang kurang baik.
    • Penyebab utama kecelakaan: Kurangnya pelatihan dalam penggunaan alat bantu pernapasan.
    • Solusi yang direkomendasikan: Pemasangan sistem ventilasi tambahan dan pelatihan keselamatan rutin bagi pekerja.

Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan HIRARC dapat membantu perusahaan dalam meminimalkan risiko kecelakaan kerja. Beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan antara lain:

  1. Peningkatan Standar Keselamatan
    • Penyediaan APD yang sesuai dengan standar internasional.
    • Penerapan prosedur keselamatan ketat sebelum melakukan pekerjaan berisiko tinggi.
  2. Pelatihan dan Kesadaran Pekerja
    • Pelatihan berkala terkait penggunaan alat keselamatan.
    • Simulasi keadaan darurat untuk meningkatkan kesiapsiagaan pekerja.
  3. Peningkatan Infrastruktur dan Peralatan
    • Pemasangan ventilasi tambahan di ruang tertutup.
    • Perbaikan sistem pencahayaan untuk mengurangi risiko kecelakaan akibat visibilitas rendah.

Paper ini menggarisbawahi pentingnya penerapan metode HIRARC dalam industri galangan kapal. Dengan memahami tingkat risiko dan menerapkan langkah-langkah pencegahan yang tepat, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan produktif.

Sumber: Giovanni, A., Fathimahhayati, L. D., & Pawitra, T. A. Risk Analysis of Occupational Health and Safety Using Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) Method (Case Study in PT Barokah Galangan Perkasa). IJIEM (Indonesian Journal of Industrial Engineering & Management), Vol. 4 No. 2, 2023, Hal. 198-211.

 

Selengkapnya
Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Metode HIRARC di PT Barokah Galangan Perkasa

Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok

Desain Sistem Monitoring Kinerja Rantai Pasok: Framework, Tantangan, dan Implementasi Efektif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Pendahuluan

Pandemi COVID-19 menyebabkan disrupsi besar dalam rantai pasok global, menimbulkan tantangan bagi perusahaan dalam mengelola arus material dan informasi. Untuk tetap kompetitif, perusahaan harus memiliki sistem monitoring kinerja rantai pasok yang efektif.

Penelitian ini, yang dilakukan oleh Peter Majercak dari University of Zilina, Slovakia, bertujuan untuk mengembangkan framework Supply Chain Performance Monitoring (SCPM) yang dapat meningkatkan daya saing perusahaan manufaktur.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggabungkan berbagai metode analisis untuk mengidentifikasi kelemahan dalam pengukuran kinerja rantai pasok:

  • SCOR Model → Mengukur reliabilitas, fleksibilitas, dan biaya rantai pasok.
  • Balanced Scorecard (BSC) → Mengevaluasi kinerja dari perspektif keuangan, pelanggan, proses internal, dan inovasi.
  • Root Cause Analysis (RCA) → Mengidentifikasi akar masalah dalam rantai pasok.

Framework ini membantu perusahaan dalam menyesuaikan strategi rantai pasok dengan tujuan bisnis serta mengurangi dampak gangguan eksternal.

Temuan Utama

1. Mengapa Monitoring Kinerja Rantai Pasok Sangat Penting?

  • Mengoptimalkan proses produksi dan distribusi untuk mengurangi keterlambatan pengiriman.
  • Mendeteksi masalah operasional lebih awal sebelum memengaruhi efisiensi bisnis.
  • Meningkatkan daya saing global dengan menerapkan teknologi digital dalam pengukuran kinerja.

2. Framework Monitoring Kinerja Supply Chain

Framework yang diusulkan dalam penelitian ini mencakup:
📌 SCOR Model

  • Reliability: Evaluasi ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk.
  • Responsiveness: Kecepatan dalam menanggapi perubahan permintaan pelanggan.
  • Flexibility: Kemampuan adaptasi terhadap gangguan rantai pasok.
  • Cost & Asset Management: Optimasi biaya produksi dan distribusi.

📌 Balanced Scorecard

  • Keuangan → ROI, cost efficiency, dan revenue growth.
  • Pelanggan → Kepuasan pelanggan dan ketepatan waktu pengiriman.
  • Proses Internal → Efisiensi produksi dan pengelolaan persediaan.
  • Inovasi → Adopsi teknologi digital dalam rantai pasok.

3. Studi Kasus: Implementasi Monitoring Kinerja di Perusahaan Manufaktur

Penelitian ini mengkaji sistem monitoring rantai pasok di perusahaan manufaktur yang terdampak pandemi COVID-19.

📌 Industri Otomotif

  • Lead-time produksi meningkat hingga 45% selama pandemi akibat keterlambatan bahan baku.
  • Penerapan SCOR Model berhasil mengurangi lead-time hingga 20% melalui optimasi rantai pasok.

📌 Industri Farmasi

  • Gangguan distribusi obat mencapai 35% akibat lockdown dan pembatasan ekspor.
  • Balanced Scorecard meningkatkan efisiensi pengiriman hingga 25% dengan optimasi logistik digital.

📌 Industri Elektronik

  • Permintaan melonjak 60%, tetapi keterbatasan chip semikonduktor menyebabkan stagnasi produksi.
  • Just-in-Time (JIT) dikombinasikan dengan SCOR berhasil mengurangi pemborosan inventaris hingga 30%.

Tantangan dalam Implementasi Sistem Monitoring Supply Chain

Kurangnya data real-time untuk pengambilan keputusan
➡ Solusi: Menggunakan IoT dan AI untuk pemantauan otomatis.

Kesulitan dalam integrasi sistem monitoring
➡ Solusi: Menggunakan platform berbasis cloud untuk transparansi rantai pasok.

Biaya investasi tinggi dalam teknologi digital
➡ Solusi: Menggunakan strategi hybrid dengan investasi bertahap dalam digitalisasi.

Strategi Optimal untuk Meningkatkan Sistem Monitoring Supply Chain

Mengadopsi Digital Supply Chain

  • Menggunakan Big Data dan AI untuk prediksi permintaan pasar.
  • Menerapkan Blockchain untuk meningkatkan transparansi dan keamanan data.

Meningkatkan Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik

  • Mengembangkan kontrak berbasis performa untuk meningkatkan keandalan pemasok.
  • Menggunakan real-time tracking system untuk memantau arus logistik.

Mengoptimalkan Model SCPM dengan Hybrid Approach

  • Kombinasi SCOR Model, Balanced Scorecard, dan Just-in-Time untuk hasil optimal.
  • Menyesuaikan framework dengan kebutuhan spesifik industri manufaktur.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa Supply Chain Performance Monitoring System (SCPM) menjadi faktor kunci dalam meningkatkan daya tahan rantai pasok selama pandemi COVID-19.

Dengan mengadopsi teknologi digital, strategi berbasis SCOR Model, dan Balanced Scorecard, perusahaan dapat:
Meningkatkan ketahanan rantai pasok terhadap disrupsi eksternal.
Mengoptimalkan biaya operasional dan meningkatkan efisiensi logistik.
Meningkatkan kepuasan pelanggan melalui distribusi yang lebih andal.

Di era pasca-pandemi, transformasi digital dalam monitoring rantai pasok bukan lagi opsi, tetapi menjadi kebutuhan utama bagi perusahaan yang ingin tetap kompetitif.

Sumber : Peter Majercak (2021). Design of a Supply Chain Performance Monitoring System for a Company in the Context of the COVID-19 Pandemic. University of Zilina, Slovakia.

 

Selengkapnya
Desain Sistem Monitoring Kinerja Rantai Pasok: Framework, Tantangan, dan Implementasi Efektif

Keselamatan Kerja

Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di rumah sakit menjadi isu penting yang harus diperhatikan. Rumah sakit merupakan tempat kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap tenaga kesehatan, pasien, dan bahkan pengunjung. Paper berjudul Analysis of Occupational Safety and Health (OSH) Risks in Hospitals: Literature Review karya Widi Mahasih Pramusiwi, Widodo Hariyono, dan Rochana Ruliyandari dari Universitas Ahmad Dahlan mengkaji berbagai risiko K3 di rumah sakit Indonesia melalui tinjauan literatur sistematis.

Penelitian ini menggunakan metode systematic literature review dengan pendekatan PRISMA untuk menyeleksi enam artikel ilmiah terkait K3 rumah sakit di Indonesia. Sumber data diperoleh melalui Google Scholar dengan kata kunci "Hospital Occupational Health and Safety Risks" dalam rentang tahun 2018-2022.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko K3 di rumah sakit dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok utama:

  1. Risiko Fisik: Cedera akibat jatuh, tertusuk jarum, terkena benda tajam, kecelakaan listrik, dan gangguan akibat pencahayaan buruk.
  2. Risiko Kimia: Paparan bahan kimia berbahaya seperti disinfektan, gas anestesi, limbah medis, dan obat-obatan sitotoksik.
  3. Risiko Biologis: Penyebaran virus dan bakteri penyebab infeksi nosokomial, COVID-19, hepatitis, HIV/AIDS, dan tuberkulosis.
  4. Risiko Ergonomis: Cedera otot dan tulang akibat postur kerja yang buruk, mengangkat pasien dengan teknik yang salah, serta kelelahan akibat pekerjaan berulang.
  5. Risiko Psikologis: Stres kerja, gangguan kecemasan, serangan dari pasien, serta kejenuhan akibat jam kerja panjang.

Beberapa temuan penting dari studi kasus yang dikaji dalam penelitian ini:

  • Risiko Infeksi Nosokomial di IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang: Ditemukan bahwa tenaga kesehatan di IGD menghadapi risiko tinggi terhadap infeksi dari virus dan bakteri. Studi ini menunjukkan bahwa tenaga medis di rumah sakit ini sering mengalami paparan HIV, hepatitis, dan COVID-19 akibat kurangnya standar proteksi diri.
  • Bahaya Limbah Medis di RSU Haji Surabaya: Petugas kebersihan menghadapi risiko tinggi terkena tusukan jarum bekas, yang dapat menyebabkan infeksi HIV dan hepatitis. Paparan limbah medis yang tidak terkelola dengan baik juga meningkatkan risiko penyakit akibat vektor seperti tikus dan serangga.
  • Kelelahan dan Gangguan Muskuloskeletal di RS Roemani Muhammadiyah Semarang: Petugas filing rekam medis sering mengalami sakit punggung, nyeri sendi, serta stres akibat beban kerja yang berlebihan dan ergonomi kerja yang buruk.
  • Paparan Bahan Kimia di Instalasi Farmasi Rumah Sakit: Ditemukan bahwa petugas farmasi sering terpapar zat beracun yang dapat menyebabkan iritasi mata, gangguan pernapasan, hingga penyakit akibat paparan jangka panjang.

Dari hasil penelitian ini, ada beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan untuk mengurangi risiko K3 di rumah sakit:

  1. Peningkatan Standar Keselamatan: Menerapkan standar K3 yang lebih ketat dalam penggunaan alat pelindung diri (APD), prosedur pembuangan limbah, serta sistem ventilasi yang baik untuk mengurangi paparan bahan kimia berbahaya.
  2. Pelatihan dan Kesadaran Pegawai: Seluruh tenaga kesehatan dan staf rumah sakit harus mendapatkan pelatihan rutin mengenai manajemen risiko K3 dan cara penanganan darurat jika terjadi kecelakaan kerja.
  3. Peningkatan Infrastruktur dan Peralatan: Menyediakan alat kerja ergonomis, pencahayaan yang cukup, serta sistem keamanan untuk mencegah kecelakaan akibat jatuh atau tertusuk benda tajam.
  4. Dukungan Psikologis untuk Tenaga Kesehatan: Memberikan fasilitas konseling dan sistem kerja yang lebih fleksibel guna mengurangi tingkat stres dan kelelahan di lingkungan rumah sakit.

Penelitian ini menegaskan bahwa risiko K3 di rumah sakit sangat beragam dan berpotensi menimbulkan dampak serius bagi tenaga kesehatan serta pasien. Oleh karena itu, implementasi kebijakan keselamatan yang lebih baik sangat diperlukan guna menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman. Dengan langkah-langkah preventif yang tepat, rumah sakit dapat meningkatkan kualitas pelayanan sekaligus melindungi kesejahteraan tenaga medis dan staf pendukungnya.

Sumber: Widi Mahasih Pramusiwi, Widodo Hariyono, Rochana Ruliyandari. Analysis of Occupational Safety and Health (OSH) Risks in Hospitals: Literature Review. MPPKI (August 2024) Vol. 7 No. 8. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Palu.

 

Selengkapnya
Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok

Desain Sistem Pengukuran Kinerja Pemasok di Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Implementasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Pendahuluan

Kinerja pemasok yang buruk dapat meningkatkan biaya produksi hingga 10-20% akibat kualitas produk yang tidak sesuai atau keterlambatan pengiriman. Oleh karena itu, perusahaan memerlukan Sistem Pengukuran Kinerja Pemasok (SPMS) untuk mengelola dan mengevaluasi pemasok secara efektif.

Penelitian ini, yang dilakukan oleh Eveliina Toivakka dari Lappeenranta–Lahti University of Technology (LUT) dan University of Twente, bertujuan untuk mengembangkan framework desain SPMS yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggabungkan kajian literatur dan wawancara dengan perusahaan besar yang telah mengimplementasikan SPMS.

  • Wawancara dianalisis menggunakan Gioia Methodology untuk mendapatkan wawasan mendalam.
  • Kajian literatur mengeksplorasi berbagai model SPMS dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya.

Temuan Utama

1. Mengapa SPMS Penting dalam Industri Manufaktur?

  • Efisiensi Operasional → Perusahaan dapat mengurangi biaya akibat kesalahan pemasok.
  • Evaluasi Kinerja Secara Objektif → Data berbasis KPI membantu dalam pengambilan keputusan.
  • Peningkatan Hubungan dengan Pemasok → Transparansi dalam evaluasi meningkatkan kepercayaan dan kerja sama jangka panjang.

2. Siklus Hidup SPMS

Penelitian ini membagi siklus hidup SPMS menjadi empat tahap utama:

  1. Desain → Menentukan KPI dan standar evaluasi pemasok.
  2. Implementasi → Membangun sistem data dan pelaporan kinerja.
  3. Penggunaan → Mengumpulkan, menganalisis, dan menindaklanjuti hasil evaluasi.
  4. Review → Memperbarui sistem untuk meningkatkan efektivitas.

3. Model Pengukuran Kinerja Pemasok

Beberapa pendekatan dalam pengukuran kinerja pemasok yang dikaji dalam penelitian ini:
Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan inovasi.
SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliabilitas, fleksibilitas, dan biaya rantai pasok.
Activity-Based Costing (ABC) → Mengidentifikasi biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.

Studi Kasus: Implementasi SPMS dalam Industri Manufaktur

1. Industri Otomotif

  • Implementasi SCOR Model meningkatkan akurasi prediksi permintaan hingga 25%.
  • Waktu produksi berkurang 30%, meningkatkan efisiensi rantai pasok.

2. Industri Elektronik

  • Penerapan Balanced Scorecard meningkatkan efisiensi operasional sebesar 18% dalam dua tahun.
  • Kualitas pemasok meningkat 40% melalui sistem pemantauan berbasis data real-time.

3. Industri Farmasi

  • Menggunakan EVA (Economic Value Added) untuk menilai dampak finansial pemasok.
  • Keuntungan operasional meningkat 12% dengan optimasi rantai pasok.

Tantangan dalam Implementasi SPMS

Kesulitan dalam Standarisasi KPI
➡ Banyak perusahaan memiliki metode evaluasi yang berbeda, sehingga sulit melakukan benchmarking.

Biaya Implementasi yang Tinggi
Integrasi sistem digital seperti ERP dan AI memerlukan investasi besar.

Kurangnya Keahlian dalam Analisis Data
Sebagian besar perusahaan masih menggunakan metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.

Strategi Optimal untuk Implementasi SPMS

Integrasi Digital dalam Pengukuran Kinerja Pemasok

  • Big Data dan AI untuk meningkatkan akurasi prediksi kinerja pemasok.
  • Blockchain untuk meningkatkan transparansi dan keamanan data pemasok.

Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik

  • Kontrak berbasis performa untuk meningkatkan keandalan pemasok.
  • Platform berbasis cloud untuk berbagi informasi secara real-time.

Menggunakan Framework Hybrid

  • Kombinasi SCOR dan Balanced Scorecard untuk hasil optimal.
  • Menyesuaikan metrik dengan kebutuhan spesifik industri manufaktur.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa Supplier Performance Measurement System (SPMS) adalah elemen krusial dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing industri manufaktur.

Dengan framework yang tepat, perusahaan dapat:
Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
Mengoptimalkan biaya operasional.
Meningkatkan kepuasan pelanggan dengan pemasok yang lebih andal.

Dalam era Industri 4.0, digitalisasi dalam pengukuran kinerja pemasok menjadi faktor penentu keberhasilan rantai pasok global.

Sumber : Eveliina Toivakka (2023). Supplier Performance Measurement System Design in Manufacturing Industry. Lappeenranta–Lahti University of Technology LUT & University of Twente.

 

Selengkapnya
Desain Sistem Pengukuran Kinerja Pemasok di Industri Manufaktur: Framework, Tantangan, dan Implementasi
« First Previous page 624 of 1.298 Next Last »