Rantai Pasok Resilien dan Adaptif

Membangun Ketangguhan dan Kelincahan dalam Manajemen Rantai Pasok: Tinjauan Teoretis dan Strategi Efektif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 13 Maret 2025


Membangun Ketangguhan dan Kelincahan dalam Rantai Pasok: Sebuah Tinjauan Teoretis

Pendahuluan
Makalah berjudul "Supply Chain Resilience and Agility: A Theoretical Literature Review" karya Jorge Calvo, Josep Lluis del Olmo, dan Vanesa Berlanga (2020) memberikan tinjauan komprehensif terhadap literatur teoretis mengenai ketangguhan (resilience) dan kelincahan (agility) dalam manajemen rantai pasok (SCM). Penulis menggarisbawahi pentingnya ketangguhan untuk menghadapi gangguan, serta kelincahan untuk merespons dengan cepat terhadap perubahan pasar yang tidak terduga.

Dengan mengacu pada peristiwa seperti krisis keuangan global, pandemi COVID-19, dan gangguan rantai pasok lainnya, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kerangka kerja terpadu yang menghubungkan konsep ketangguhan dan kelincahan dengan kinerja SCM.

Tujuan Penelitian
Makalah ini berfokus pada:

  1. Identifikasi teori-teori utama terkait ketangguhan dan kelincahan dalam SCM.
  2. Penyusunan kerangka kerja teoretis untuk menghubungkan ketangguhan dan kelincahan dengan kinerja rantai pasok.
  3. Penyediaan panduan bagi peneliti dan praktisi untuk meningkatkan efektivitas manajemen risiko di lingkungan bisnis global.

Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan semi-bibliometrik, mengumpulkan 64 publikasi ilmiah, termasuk artikel jurnal, buku, dan laporan. Publikasi dipilih berdasarkan relevansi dan jumlah sitasi, dengan fokus pada konsep risiko, mitigasi, pemulihan, dan stabilisasi dalam SCM.

Temuan Utama

  1. Definisi Ketangguhan dan Kelincahan
    • Ketangguhan: Kemampuan rantai pasok untuk menyerap dan memitigasi dampak gangguan sebelum, selama, dan setelah krisis.
    • Kelincahan: Kemampuan untuk merespons dengan cepat dan efisien terhadap perubahan pasar dan kondisi lingkungan yang tidak pasti.
  2. Kerangka Kerja Teoretis
    • Christopher dan Peck (2004) mengembangkan taksonomi strategis untuk desain ketangguhan yang mencakup redundansi dan fleksibilitas.
    • Sheffi (2007) menekankan pentingnya percepatan pemulihan dan visibilitas dalam menghadapi krisis.
  3. Faktor Risiko Utama
    • Risiko Strategis: Terkait dengan rencana bisnis dan strategi perusahaan.
    • Risiko Operasional: Berkaitan dengan proses, sistem, dan tenaga kerja.
    • Risiko Lingkungan: Termasuk bencana alam, konflik politik, dan perubahan peraturan.

Studi Kasus dan Data Pendukung

  1. Dampak Gangguan Rantai Pasok
    • Sebuah penelitian oleh Singhal (2011) menunjukkan bahwa gangguan rantai pasok dapat menurunkan nilai saham hingga 7% pada hari pengumuman dan memengaruhi kinerja perusahaan hingga tiga tahun setelah kejadian.
  2. Efektivitas Strategi Ketangguhan
    • Perusahaan yang menerapkan redundansi dalam inventori dan diversifikasi pemasok mampu mengurangi waktu pemulihan hingga 40%, menurut studi Christopher dan Peck (2004).
  3. Kelincahan Pasar
    • Contoh kasus Seven Eleven Japan menunjukkan bagaimana penggunaan helikopter dan sepeda motor selama gempa Kobe 1995 memungkinkan distribusi makanan ke daerah terdampak secara cepat, meningkatkan persepsi pelanggan terhadap perusahaan.

Rekomendasi Strategis

  1. Penguatan Ketangguhan Rantai Pasok
    • Terapkan redundansi strategis seperti inventori cadangan dan diversifikasi pemasok untuk memitigasi dampak gangguan besar.
  2. Meningkatkan Kelincahan Operasional
    • Gunakan teknologi informasi untuk meningkatkan visibilitas dan pengambilan keputusan yang cepat dalam menghadapi perubahan pasar.
  3. Kolaborasi dan Integrasi
    • Bangun hubungan strategis dengan pemasok dan mitra bisnis untuk meningkatkan kapasitas adaptasi bersama terhadap gangguan.
  4. Manajemen Risiko Terpadu
    • Gunakan matriks risiko untuk mengidentifikasi probabilitas dan dampak gangguan, serta mengembangkan rencana mitigasi yang efektif.

Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa integrasi ketangguhan dan kelincahan sangat penting dalam SCM untuk menghadapi tantangan global yang terus berkembang. Dengan menerapkan strategi yang terintegrasi, perusahaan dapat memastikan keberlanjutan operasional, meningkatkan daya saing, dan mengurangi dampak negatif gangguan.

Sumber Artikel:
Calvo, J., del Olmo, J. L., & Berlanga, V. (2020). Supply Chain Resilience and Agility: A Theoretical Literature Review.

 

Selengkapnya
Membangun Ketangguhan dan Kelincahan dalam Manajemen Rantai Pasok: Tinjauan Teoretis dan Strategi Efektif

Rantai Pasok Resilien dan Adaptif

Meningkatkan Ketangguhan Rantai Pasok: Studi Kasus Risiko dan Strategi Mitigasi di Volvo Construction Equipment

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 13 Maret 2025


Pendahuluan
Makalah Assessing Supply Chain Resilience to Mitigate Supply Chain Risks: A Case Study of Inbound Logistics at Volvo CE oleh Emma Fridolfsson dan Lova de Man Lapidoth (2023) membahas tantangan dan strategi pengelolaan risiko rantai pasok yang dihadapi oleh Volvo Construction Equipment (Volvo CE). Dengan latar belakang pandemi COVID-19, krisis bahan baku, dan perang Rusia-Ukraina, studi ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi strategis yang memungkinkan Volvo CE meningkatkan ketangguhan rantai pasok mereka.

Tujuan Penelitian:

  1. Mengidentifikasi risiko utama dalam rantai pasok Volvo CE.
  2. Menilai kapabilitas ketangguhan rantai pasok perusahaan.
  3. Menentukan strategi mitigasi risiko untuk mengurangi dampak gangguan logistik.

Identifikasi Risiko Utama Rantai Pasok Volvo CE

Melalui diskusi kelompok dan survei, tiga risiko utama dalam rantai pasok Volvo CE teridentifikasi:

  1. Kekurangan bahan baku dan komponen.
    • Contoh: Krisis semikonduktor sejak akhir 2019 telah menyebabkan penundaan produksi.
  2. Kekurangan tenaga kerja dan kompetensi di tingkat pemasok.
    • Akibat COVID-19, banyak pemasok menghadapi tantangan sumber daya manusia.
  3. Penutupan pabrik pemasok karena peristiwa tak terduga.
    • Contoh: Blokade Terusan Suez yang menghambat logistik global.

Ketiga risiko ini berdampak langsung pada kemampuan Volvo CE untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat, khususnya di pasar Asia dan Eropa yang menyumbang masing-masing 40% dan 32% dari penjualan.

Penilaian Kapabilitas Ketangguhan Volvo CE

Penelitian ini mengevaluasi elemen ketangguhan rantai pasok Volvo CE berdasarkan lima kapabilitas SCRES (Supply Chain Resilience Elements):

  1. Antisipasi: Kemampuan Volvo CE untuk mengidentifikasi potensi risiko dinilai masih perlu ditingkatkan.
  2. Adaptasi: Elemen ini cukup kuat, dengan adanya fleksibilitas dalam pengelolaan pemasok.
  3. Respon: Volvo CE menggunakan pendekatan reaktif, seperti dialog intensif dengan pemasok selama pandemi.
  4. Pemulihan: Kemampuan untuk bangkit dari gangguan memerlukan rencana kontingensi yang lebih baik.
  5. Pembelajaran: Volvo CE dapat meningkatkan pembelajaran berbasis pengalaman untuk mencegah gangguan serupa di masa depan.

Strategi Mitigasi Risiko yang Direkomendasikan

Berdasarkan analisis kapabilitas SCRES, lima strategi mitigasi risiko diusulkan:

  1. Pemahaman Mendalam tentang Rantai Pasok
    • Memetakan pemasok secara mendalam untuk meningkatkan visibilitas.
    • Contoh: Mengetahui tingkat produksi dan kapasitas cadangan setiap pemasok.
  2. Budaya Manajemen Risiko Rantai Pasok (SCRM Culture)
    • Menanamkan budaya manajemen risiko melalui pelatihan dan inovasi.
    • Contoh: Menggunakan platform digital untuk pemantauan real-time.
  3. Hubungan dengan Pemasok
    • Membangun hubungan strategis untuk meningkatkan prioritas di tingkat pemasok.
    • Contoh: Menjadikan Volvo CE sebagai pelanggan utama pemasok semikonduktor.
  4. Pemasok Cadangan (Backup Suppliers)
    • Mengurangi ketergantungan pada pemasok tunggal.
    • Contoh: Mengembangkan pemasok lokal untuk komponen penting.
  5. Perencanaan Skenario (Scenario Planning)
    • Simulasi skenario risiko untuk mengantisipasi berbagai gangguan.
    • Contoh: Menghitung dampak jika pemasok di Asia terganggu.

Studi Kasus dan Dampak Strategi

  1. Strategi Hubungan Pemasok
    • Selama pandemi, Volvo CE mendukung pemasok dengan memberikan bantuan logistik, sehingga mengurangi keterlambatan pengiriman hingga 15%.
  2. Pemasok Cadangan
    • Dengan menambahkan pemasok lokal untuk komponen tertentu, waktu pengiriman berkurang hingga 20% di pasar Eropa.
  3. Penggunaan Teknologi
    • Adopsi sistem informasi memungkinkan visibilitas rantai pasok meningkat hingga 30%, membantu mitigasi gangguan.

Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ketangguhan rantai pasok sangat bergantung pada pengelolaan risiko yang proaktif dan strategi mitigasi yang terintegrasi. Dengan menerapkan strategi seperti pemetaan rantai pasok, membangun hubungan strategis dengan pemasok, dan menggunakan teknologi untuk visibilitas, Volvo CE dapat mengurangi dampak gangguan rantai pasok dan memastikan keberlanjutan operasional mereka.

Sumber Artikel:
Fridolfsson, E., & de Man Lapidoth, L. (2023). Assessing Supply Chain Resilience to Mitigate Supply Chain Risks: A Case Study of Inbound Logistics at Volvo CE.

Selengkapnya
Meningkatkan Ketangguhan Rantai Pasok: Studi Kasus Risiko dan Strategi Mitigasi di Volvo Construction Equipment

Rantai Pasok Resilien dan Adaptif

Integrasi Paradigma Lean, Agile, Resilient, Green, dan Sustainable dalam Manajemen Rantai Pasok

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 13 Maret 2025


Pendahuluan
Makalah "A Systematic Literature Review to Integrate Lean, Agile, Resilient, Green, and Sustainable Paradigms in Supply Chain Management" karya Vikash Sharma et al. (2021) menawarkan tinjauan sistematis tentang bagaimana paradigma LARGS dapat diintegrasikan untuk menciptakan rantai pasok yang efisien, fleksibel, dan berkelanjutan. Studi ini mencakup 160 artikel peer-reviewed yang diterbitkan antara tahun 1999–2019 dan mengkaji hubungan antara LARGS dengan performa rantai pasok di berbagai industri.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini berfokus pada empat pertanyaan utama:

  1. Bagaimana menemukan penelitian LARGS di konteks SCM?
  2. Apa fokus utama penelitian LARGS dalam SCM?
  3. Bagaimana tren hubungan antar paradigma LARGS dengan performa rantai pasok?
  4. Apa area yang belum dieksplorasi dan peluang penelitian mendatang?

Metodologi yang digunakan adalah Systematic Literature Review (SLR) dengan klasifikasi artikel berdasarkan tipe penelitian, lokasi geografis, sektor industri, dan teknik yang digunakan.

Temuan Utama

  1. Konsep LARGS dalam Supply Chain
    • Lean: Eliminasi limbah dan peningkatan nilai pelanggan.
    • Agile: Respons cepat terhadap permintaan yang tidak pasti.
    • Resilient: Ketahanan menghadapi gangguan operasional.
    • Green: Minimalkan dampak ekologi.
    • Sustainable: Menggabungkan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam manajemen rantai pasok.
  2. Distribusi Penelitian Geografis dan Sektor Industri
    • Penelitian paling banyak dilakukan di sektor manufaktur (74%), seperti otomotif dan elektronik.
    • Studi geografis terpusat di Portugal, India, dan AS, dengan kontribusi signifikan pada literatur global SCM.
  3. Hubungan Paradigma LARGS dengan Performa SCM
    • Paradigma LARGS memiliki hubungan sinergis, seperti penggabungan lean dengan green untuk efisiensi biaya dan keberlanjutan.
    • Implementasi resilient supply chain meningkatkan fleksibilitas hingga 30% dalam sektor elektronik (studi kasus).
  4. Tren dan Peluang Penelitian Mendatang
    • Fokus pada integrasi paradigma untuk mengurangi risiko dan meningkatkan keberlanjutan rantai pasok di sektor layanan dan agribisnis.
    • Teknologi baru seperti IoT dan blockchain membuka peluang integrasi paradigma lebih lanjut.

Studi Kasus dan Data Pendukung

  1. Industri Otomotif
    • Penggunaan kombinasi lean dan agile berhasil mengurangi waktu pengiriman hingga 20% di perusahaan otomotif besar.
  2. Sektor Elektronik
    • Implementasi resilient practices mengurangi kerugian akibat gangguan sebesar 15% dibandingkan pendekatan konvensional.
  3. Manufaktur Hijau
    • Penerapan green manufacturing mengurangi emisi karbon sebesar 25%, meningkatkan citra merek dan kepuasan pelanggan.

Rekomendasi Strategis

  1. Penguatan Kolaborasi Antar Paradigma
    • Kombinasikan lean dan green untuk efisiensi biaya sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
  2. Investasi Teknologi untuk Ketahanan
    • Adopsi teknologi seperti IoT dan blockchain untuk meningkatkan visibilitas dan respons rantai pasok.
  3. Ekspansi Penelitian ke Sektor yang Kurang Dieksplorasi
    • Fokus pada sektor layanan dan agribisnis untuk memperluas penerapan paradigma LARGS.
  4. Pengembangan Alat Ukur Kinerja SCM yang Holistik
    • Gunakan indikator berbasis triple bottom line (ekonomi, sosial, dan lingkungan) untuk mengukur keberhasilan SCM.

Kesimpulan
Penelitian ini menyoroti pentingnya integrasi paradigma LARGS dalam SCM untuk meningkatkan efisiensi, fleksibilitas, dan keberlanjutan. Kombinasi paradigma tersebut memungkinkan perusahaan untuk menghadapi tantangan global dan meraih keunggulan kompetitif. Studi ini juga membuka peluang penelitian baru, khususnya di sektor non-manufaktur yang masih kurang tereksplorasi.

Sumber Artikel:
Sharma, V., Raut, R. D., Mangla, S. K., Narkhede, B. E., Luthra, S., & Gokhale, R. (2021). A Systematic Literature Review to Integrate Lean, Agile, Resilient, Green, and Sustainable Paradigms in Supply Chain Management. Business Strategy and the Environment, 30(2), 1191–1212.

 

Selengkapnya
Integrasi Paradigma Lean, Agile, Resilient, Green, dan Sustainable dalam Manajemen Rantai Pasok

Rantai Pasok Resilien dan Adaptif

Ketahanan Rantai Pasok dan Indikator Kinerja Utama: Tinjauan Sistematis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 13 Maret 2025


Pendahuluan
Makalah "Supply Chain Resilience and Key Performance Indicators: A Systematic Literature Review" oleh Alexandre Augusto Karl, Julio Micheluzzi, Luciana Rosa Leite, dan Carla Roberta Pereira (2018) mengeksplorasi bagaimana indikator kinerja utama (KPI) non-keuangan mendukung penguatan ketahanan rantai pasok (Supply Chain Resilience/SCRes). Studi ini menyoroti peran elemen-elemen seperti keamanan, manajemen risiko, kolaborasi, dan fleksibilitas dalam merespons gangguan rantai pasok.

Penelitian ini didorong oleh data FEMA (2016), yang mencatat bahwa 40% perusahaan bangkrut setelah gangguan signifikan dalam rantai pasok. Dengan menggunakan metodologi Systematic Literature Review (SLR), penelitian ini menganalisis 57 artikel akademik dari tahun 2000 hingga 2017. Fokusnya adalah KPI non-keuangan karena dianggap sebagai indikator awal yang mendukung kinerja finansial jangka panjang.

Metodologi
Studi ini menggunakan SLR yang ketat dengan pendekatan lima langkah untuk memilih literatur yang relevan. Hasil akhirnya mencakup 57 artikel peer-reviewed yang dievaluasi menggunakan analisis konten untuk mengidentifikasi hubungan antara KPI dan elemen-elemen SCRes.

Tujuan Utama Penelitian:

  1. Mengidentifikasi KPI yang relevan dalam konteks rantai pasok.
  2. Menganalisis elemen-elemen pendukung ketahanan rantai pasok.
  3. Mengeksplorasi hubungan antara KPI non-keuangan dan SCRes sebelum, selama, dan setelah gangguan.

Temuan Utama

  1. KPI Non-Keuangan untuk Ketahanan Rantai Pasok
    KPI yang paling relevan meliputi:
    • Order dan Delivery Lead Time: Menentukan responsivitas rantai pasok.
    • On-Time Delivery: Mengukur ketepatan waktu pengiriman untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.
    • Supplier Delivery Efficiency: Mengamati reliabilitas pemasok.
    • Stock Level: Memastikan persediaan cukup untuk mengatasi gangguan mendadak.
    • Customer Satisfaction: Memantau kepuasan pelanggan sebagai hasil dari pengelolaan KPI lainnya.
  2. Elemen Ketahanan dalam Fase Gangguan
    Elemen-elemen seperti keamanan, manajemen risiko, kolaborasi, fleksibilitas, dan visibilitas menjadi kunci untuk memitigasi dampak gangguan. Contoh: Keamanan siber dan fisik digunakan untuk melindungi rantai pasok dari ancaman eksternal.
  3. Kolaborasi dan Informasi
    • Kolaborasi antar mitra rantai pasok menghasilkan pengurangan risiko hingga 30% melalui perencanaan bersama.
    • Informasi berbagi real-time membantu mempercepat respons terhadap gangguan.

Studi Kasus dan Data Pendukung

  1. Industri Otomotif
    • Perusahaan yang memantau delivery lead time mencatat peningkatan efisiensi hingga 15% selama gangguan rantai pasok.
  2. Sektor Manufaktur
    • Penerapan KPI seperti supplier delivery efficiency mengurangi penolakan pemasok hingga 10%, meningkatkan reliabilitas rantai pasok.
  3. Perdagangan Global
    • Pemantauan stock level membantu perusahaan menahan dampak gangguan hingga 50% lebih lama dibandingkan perusahaan tanpa strategi serupa.

Rekomendasi Strategis

  1. Penerapan Sistem Manajemen Risiko
    • Identifikasi dan mitigasi risiko melalui pemantauan KPI seperti stock level dan supplier delivery efficiency.
  2. Investasi dalam Teknologi Informasi
    • Gunakan teknologi seperti IoT dan AI untuk meningkatkan visibilitas rantai pasok dan responsivitas terhadap gangguan.
  3. Kolaborasi Antar Mitra Rantai Pasok
    • Bangun kepercayaan melalui transparansi dan berbagi informasi untuk menciptakan ketahanan bersama.
  4. Peningkatan Pelatihan dan Edukasi
    • Fokus pada pengembangan manajemen pengetahuan untuk mempersiapkan karyawan menghadapi situasi krisis.

Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa KPI non-keuangan memainkan peran kunci dalam membangun ketahanan rantai pasok. Dengan fokus pada pemantauan elemen-elemen kritis seperti lead time, efisiensi pemasok, dan kepuasan pelanggan, organisasi dapat mengurangi risiko dan meningkatkan adaptabilitas terhadap gangguan. Temuan ini relevan bagi pengambil keputusan yang ingin mengoptimalkan efisiensi rantai pasok tanpa mengorbankan ketahanan jangka panjang.

Sumber Artikel:
Karl, A. A., Micheluzzi, J., Leite, L. R., & Pereira, C. R. (2018). Supply Chain Resilience and Key Performance Indicators: A Systematic Literature Review. Production, vol. 28.

 

Selengkapnya
Ketahanan Rantai Pasok dan Indikator Kinerja Utama: Tinjauan Sistematis

Perindustrian

IKM Alas Kaki Membuka Pasar Ekspor dengan Meningkatnya Daya Saing Global

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 13 Maret 2025


Kementerian Perindustrian terus mendorong pengembangan industri kecil dan menengah (IKM) produsen alas kaki agar bisa meningkatkan daya saingnya. Apalagi, sebagai negara pusat produksi alas kaki terbesar ke-4 dunia, Indonesia memiliki potensi menjadi produsen sepatu lokal yang kompetitif di kancah global, dengan kualitas yang setara dengan merek-merek ternama dunia.

Adapun dua merek sepatu lokal yang terbukti mampu merambah ke pasar global, di antaranya Sagara Boots dan Pijakbumi. Keduanya merupakan mitra Badan Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) Sidoarjo, unit pelaksana teknis di bawah binaan Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin.

“BPIPI menggandeng Sagara Boots dan Pijakbumi masuk ke dalam ekosistem pelaku industri alas kaki nasional lantaran berhasil menjadi contoh pelaku IKM alas kaki yang berkualitas. Kisah sukses kedua IKM ini diharapkan mampu membangkitkan semangat IKM lainnya untuk lebih lihai membaca peluang di pasar dalam dan luar negeri,” kata Direktur Jenderal IKMAKemenperin, Reni Yanita di Jakarta, Kamis (30/12).

Saat bertemu dengan para pendiri Sagara Boots dan Pijakbumi, Reni mengapresiasi prestasi Sagara Boots dan Pijakbumi yang telah mampu mematahkan stigma negatif produksi sepatu negara berkembang berkualitas buruk, dengan material jelek, dan desain yang kuno. “Sagara Boots bahkan telah tembus menjadi sepatu boots kulit tier satu, yang setara dengan sepatu asal Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Sedangkan, produk Pijakbumi telah diekspor ke 20 negara di dunia,” ungkapnya.

Menurut Reni, kedua IKM alas kaki tersebuttelah membuktikan bahwa brand sepatu lokal semakin inovatif, dengan desain yang mengikuti selera pasar terkini serta tetap memerhatikan produksi ramah lingkungan dan berkesinambungan.Bahkan, mereka mampu melayani permintaan secara custom atau sesuai selera konsumen. “Dengan kualitas yang terbaik, kami optimistis brand lokal bisa lebih keren dan punya nilai jual tinggi dibanding brand luar yang ada di retail besar,” tuturnya.

Hingga kuartal III tahun 2021, total nilai ekspor alas kaki (kulit dan non-kulit) Indonesia mencapai USD4,3 miliar. Sementara itu, total PDB industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki mencapai Rp20 triliun atau tumbuh 7% (y-o-y) sampai pada kuartal III-2021.

Pendiri sekaligus pemilik Sagara Boots, Bagus Satrio mengungkapkan, semakin banyak media asing yang mengekspos kemampuan industri sepatu Indonesia dalam menghasilkan boots yang berkualitas, yang bisa bersaing denganproduk kelas dunia. Oleh karenanya, produk sepatu lokal bisa dikenal masayarakat dunia.  

“Kami tidak sembarangan memilih bahan baku, harus menggunakan bahan kulit yang terbaik. Selain itu, dengan kualitas kulit dan sol terbaik, sehingga harga boots kami bahkan lebih mahal dari produk Amerika. Kami menjual dengan harga sekitar Rp6 juta,” sebut Bagus.

Sagara Boots bisa menerima pesanan secara custom, dan seluruh produksi sepatunya dilakukan secara manual dengan tangan. Tim Sagara pun menerapkan sistem waiting list sampai empat bulan lantaran tenaga kerja yang terbatas dan pesanan yang semakin membludak. “Dalam sebulan kami hanya bisa menghasilkan 40-60 pasang sepatu. Di luar negeri, Sagara Boots diminati karena handmade, custom, dan kualitas kulitnya tinggi,” imbuhnya.

Sedangkan Pijakbumi merupakan brand sepatu asal Bandung yang berciri khas eco friendly dengan bahan dari kulit natural dan ekstrak tumbuhan, salah satunya adalah dari serbuk kayu. Pijakbumi didirikan oleh Rowland Asfales dengan konsep orisinalitas desain, kearifan lokal, dan bahan material ramah lingkungan untuk mengurangi emisi karbon. Dengan memadu padankan bahan baku pilihan, Pijakbumi mampu menghasilkan produk sepatu berkualitas.

Dalam produksi dan pemasaran, seringkali Sagara Boots maupun Pijakbumi terkendala oleh akses bahan baku impor dan modal untuk ekspor. Selain itu, Pijakbumi juga sedang berupaya mengkalkulasi bahan eco friendly sebagai bahan utama sepatunya, agar bisnisnya lebih berkelanjutan.

“Kami berharap ada cara untuk mengkalkulasi penggunaan bahan ramah lingkungan untuk perusahaan inovatif, dan bisa mendapatkan pengurangan pajak terkait pengolahan industri yang berkomitmen mengurangi emisi karbon,” kata Rowland.

Platform digital IFN

Dirjen IKMA menegaskan, melalui BPIPI, pihaknya berkomitmen untuk terus membantu para pelaku IKM alas kaki untuk mencari solusi dalam upaya meningkatkan produktivitas dan kemudahan akses ke pasar ekspor.

“Untuk memecahkan masalah-masalah terkait ekspor produk alas kaku ini, kami akan memfasilitasi mereka untuk bisa mengakses fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan akses pembiayaan untuk ekspor melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI),” ujar Reni. Sementara itu, terkait kalkulasi penggunaan bahan material ramah lingkungan, Ditjen IKMA mempertemukan IKM alas kaki dengan Pusat Industri Hijau Kemenperin.

Lebih lanjut, guna mendukung para pelaku bisnis persepatuan untuk tumbuh bersama, BPIPI membuat sebuah platform digital bernama Indonesia Footwear Network (IFN) yang bisa diakses melalui lamanhttps://ifn.bpipi.id/.IFN ini bertujuan sebagai solusi atas perubahan tatanan industri alas kaki nasional sejak pandemi Covid-19.

“Di platform ini, beragam pelaku dan komunitas industri alas kaki nasional dapat berkolaborasi sebagai mitra bisnis untuk melakukan sharing value,” ujarnya. Reni menambahkan, melalui IFN, BPIPI akan dapat memberikan informasi yang relevan bagi pasar domestik dan global terkait potensi industri alas kaki Indonesia dari sektor hulu hingga hilir.

Kepala BPIPI Edi Suhendra menyampaikan, sebagai fasilitator industri alas kaki nasional, BPIPI memiliki peran untuk menguatkan kembali beragam komunitas industri alas kaki di Indonesia. Dengan demikian, IFN akan didorong untuk melengkapi dan mengumpulkan informasi industri yang selama ini ada di masing-masing komunitas. BPIPI juga terus mendorong program kemitraan di industri alas kaki agar ekosistem industri khususnya IKM alas kaki mampu lebih mandiri, menghasilkan kualitas produk lebih baik dan potensi go global.

“Sebagai salah satu manufaktur alas kaki terbesar global, Indonesia perlu mengambil inisiatif untuk mengintegrasikan informasi dari produsen, supplier, sumber material, merek lokal, dan organisasi yang bergerak di sektor industri alas kaki,” papar Edi. Oleh sebab itu, IFN yang digawangi BPIPI ini hadir sebagai penyedia informasi yang relevan bagi pasar potensial industri alas kaki dari hulu ke hilir, baik domestik dan global.

Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.

Sumber: kemenperin.go.id

Selengkapnya
IKM Alas Kaki Membuka Pasar Ekspor dengan Meningkatnya Daya Saing Global

Farmasi

Apa itu Farmasi?

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 13 Maret 2025


Farmasi adalah ilmu dan praktik menemukan, memproduksi, menyiapkan, meracik, meracik, mengkaji, dan memantau obat-obatan, yang bertujuan untuk memastikan penggunaan obat-obatan yang aman, efektif, dan terjangkau. Ilmu ini merupakan ilmu yang beragam karena menghubungkan ilmu kesehatan dengan ilmu farmasi dan ilmu pengetahuan alam. Praktik profesional menjadi lebih berorientasi klinis karena sebagian besar obat sekarang diproduksi oleh industri farmasi. Berdasarkan pengaturannya, praktik farmasi diklasifikasikan sebagai farmasi komunitas atau institusi. Memberikan perawatan pasien langsung di komunitas apotek institusional dianggap sebagai farmasi klinis

Ruang lingkup praktik farmasi mencakup peran yang lebih tradisional seperti peracikan dan pemberian obat. Hal ini juga mencakup layanan yang lebih modern yang berkaitan dengan perawatan kesehatan termasuk layanan klinis, meninjau obat untuk keamanan dan kemanjuran, dan memberikan informasi obat dengan konseling pasien. Oleh karena itu, apoteker adalah ahli dalam terapi obat dan merupakan tenaga kesehatan utama yang mengoptimalkan penggunaan obat untuk kepentingan pasien.

Tempat di mana farmasi (dalam arti pertama) dipraktikkan disebut apotek (istilah ini lebih umum di Amerika Serikat) atau apoteker (yang lebih umum di Britania Raya, meskipunapotek juga digunakan). Di Amerika Serikat dan Kanada, toko obat biasanya menjual obat-obatan, serta barang-barang lainnya seperti kembang gula, kosmetik, peralatan kantor, mainan, produk perawatan rambut, dan majalah, dan terkadang makanan dan bahan makanan.

Dalam penyelidikannya terhadap bahan-bahan herbal dan kimiawi, pekerjaan apoteker dapat dianggap sebagai pendahulu ilmu kimia dan farmakologi modern, sebelum perumusan metode ilmiah.

The Green Pharmacy Cross

Disiplin ilmu

Bidang farmasi secara umum dapat dibagi menjadi berbagai disiplin ilmu:

  • Farmasetika dan Farmasetika Komputasi
  • Farmakokinetik dan Farmakodinamik
  • Kimia Medis inal dan Farmakognosi
  • Farmakologi
  • Praktik Farmasi
  • Farmakoinformatika
  • Farmakogenomik

Batasan antara disiplin ilmu ini dan dengan ilmu lain, seperti biokimia, tidak selalu jelas. Seringkali, tim kolaboratif dari berbagai disiplin ilmu (apoteker dan ilmuwan lain) bekerja sama untuk memperkenalkan terapi dan metode baru untuk perawatan pasien. Namun, farmasi bukanlah ilmu dasar atau ilmu biomedis dalam bentuknya yang khas. Kimia obat juga merupakan cabang kimia sintetis yang berbeda yang menggabungkan farmakologi, kimia organik, dan biologi kimia.

Farmakologi terkadang dianggap sebagai disiplin ilmu farmasi keempat. Meskipun farmakologi sangat penting dalam studi farmasi, farmakologi tidak spesifik untuk farmasi. Kedua disiplin ilmu tersebut berbeda. Mereka yang ingin mempraktikkan farmasi (berorientasi pada pasien) dan farmakologi (ilmu biomedis yang membutuhkan metode ilmiah) menerima pelatihan dan gelar terpisah yang unik untuk kedua disiplin ilmu tersebut.

Farmakoinformatika dianggap sebagai disiplin ilmu baru lainnya, untuk penemuan dan pengembangan obat secara sistematis dengan efisiensi dan keamanan. Farmakogenomik adalah studi tentang varian terkait genetik yang memengaruhi respons klinis pasien, alergi, dan metabolisme obat.

Profesional
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setidaknya ada 2,6 juta apoteker dan tenaga farmasi lainnya di seluruh dunia. 

Pharmacists
Apoteker adalah tenaga kesehatan profesional dengan pendidikan dan pelatihan khusus yang melakukan berbagai peran untuk memastikan hasil kesehatan yang optimal bagi pasien mereka melalui penggunaan obat-obatan yang berkualitas. Apoteker juga dapat menjadi pemilik usaha kecil, yang memiliki apotek tempat mereka berpraktik. Karena apoteker mengetahui cara kerja obat tertentu, dan metabolisme serta efek fisiologisnya pada tubuh manusia dengan sangat rinci, mereka memainkan peran penting dalam optimalisasi perawatan obat untuk individu.

Apoteker diwakili secara internasional oleh Federasi Farmasi Internasional (FIP), sebuah LSM yang terkait dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mereka diwakili di tingkat nasional oleh organisasi profesi seperti Royal Pharmaceutical Society di Inggris, Pharmaceutical Society of Australia (PSA), Asosiasi Apoteker Kanada (CPhA), Asosiasi Apoteker India (IPA), Asosiasi Apoteker Pakistan (PPA), Asosiasi Apoteker Amerika (APhA), dan Malaysian Pharmaceutical Society (MPS).

Dalam beberapa kasus, badan perwakilan juga merupakan badan pendaftaran, yang bertanggung jawab atas regulasi dan etika profesi.

Di Amerika Serikat, spesialisasi dalam praktik farmasi yang diakui oleh Dewan Spesialisasi Farmasi meliputi: kardiovaskular, penyakit menular, onkologi, farmakoterapi, nuklir, nutrisi, dan psikiatri.[5] Komisi Sertifikasi Farmasi Geriatri memberikan sertifikasi kepada apoteker dalam praktik farmasi geriatri. American Board of Applied Toxicology mensertifikasi apoteker dan profesional medis lainnya dalam bidang toksikologi terapan.

Staf pendukung farmasi

Teknisi farmasi

Teknisi farmasi mendukung pekerjaan apoteker dan profesional kesehatan lainnya dengan melakukan berbagai fungsi yang berhubungan dengan farmasi, termasuk memberikan obat resep dan peralatan medis lainnya kepada pasien dan menginstruksikan penggunaannya. Mereka juga dapat melakukan tugas administratif dalam praktik kefarmasian, seperti meninjau permintaan resep dengan kantor medis dan perusahaan asuransi untuk memastikan obat yang tepat disediakan dan pembayaran diterima.

Undang-undang mewajibkan pengawasan kegiatan teknisi farmasi tertentu oleh seorang apoteker. Mayoritas teknisi farmasi bekerja di apotek komunitas. Di apotek rumah sakit, teknisi farmasi dapat dikelola oleh teknisi farmasi senior lainnya. Di Inggris, peran PhT di apotek rumah sakit telah berkembang dan tanggung jawab telah diserahkan kepada mereka untuk mengelola departemen farmasi dan area khusus dalam praktik farmasi yang memungkinkan apoteker memiliki waktu untuk mengkhususkan diri dalam bidang keahlian mereka sebagai konsultan pengobatan yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja dengan pasien dan penelitian. Teknisi farmasi terdaftar di General Pharmaceutical Council (GPhC). GPhC adalah regulator apoteker, teknisi farmasi, dan tempat farmasi.

Di Amerika Serikat, teknisi farmasi menjalankan tugasnya di bawah pengawasan apoteker. Meskipun mereka dapat melakukan, di bawah pengawasan, sebagian besar tugas pengeluaran, peracikan, dan tugas-tugas lainnya, mereka umumnya tidak diizinkan untuk melakukan peran konseling kepada pasien tentang penggunaan obat yang tepat. Beberapa negara bagian memiliki rasio apoteker dan teknisi farmasi yang diamanatkan secara hukum.

Asisten dispensing
Asisten dispensing biasanya disebut sebagai "dispenser" dan di apotek komunitas melakukan sebagian besar tugas yang sama dengan teknisi apotek. Mereka bekerja di bawah pengawasan apoteker dan terlibat dalam menyiapkan (mengeluarkan dan memberi label) obat-obatan untuk diberikan kepada pasien.

Asisten tenaga kesehatan/asisten konter obat
Di Inggris, kelompok staf ini dapat menjual obat-obatan tertentu (termasuk obat-obatan khusus apotek dan obat-obatan yang masuk dalam daftar penjualan umum) tanpa resep. Mereka tidak dapat menyiapkan obat-obatan yang hanya diresepkan untuk diberikan kepada pasien.

Persyaratan pendidikan

Ada beberapa persyaratan sekolah yang berbeda sesuai dengan yurisdiksi nasional di mana siswa bermaksud untuk berlatih.

Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, apoteker umum akan mendapatkan gelar Doktor Farmasi (Pharm.D.). Pharm.D. dapat diselesaikan dalam waktu minimal enam tahun, yang mencakup dua tahun kelas pra-farmasi, dan empat tahun studi profesional. Setelah lulus dari sekolah farmasi, sangat disarankan agar siswa melanjutkan untuk menyelesaikan residensi satu atau dua tahun, yang memberikan pengalaman berharga bagi siswa sebelum keluar secara mandiri untuk menjadi apoteker umum atau khusus.

Kurikulum yang ditetapkan untuk gelar Pharm.D. terdiri dari setidaknya 208 jam kredit. Dari 208 jam kredit, 68 jam kredit merupakan jam kredit yang ditransfer, dan 140 jam kredit sisanya diselesaikan di sekolah profesional. Ada serangkaian tes standar yang harus dilalui oleh siswa selama proses sekolah farmasi. Tes standar untuk masuk ke sekolah farmasi di Amerika Serikat disebut Tes Penerimaan Perguruan Tinggi Farmasi (PCAT). Pada tahun ketiga siswa di sekolah farmasi, siswa harus lulus Penilaian Hasil Kurikulum Farmasi (PCOA). Setelah gelar Pharm.D. diperoleh setelah tahun keempat sekolah profesional, siswa kemudian memenuhi syarat untuk mengikuti Ujian Lisensi Apoteker Amerika Utara (NAPLEX) dan Ujian Yurisprudensi Farmasi Multistate (MPJE) untuk bekerja sebagai apoteker profesional.

Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Apa itu Farmasi?
« First Previous page 624 of 1.336 Next Last »