Sumber daya air telah menjadi aspek yang paling penting bagi manusia untuk hidup. Bagaimana jika ada daerah yang mengalami kelangkaan air? Bagaimana kehidupan mereka? Menurut Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Prof. KMT. Sunjoto Kusumosanyoto Dip, HE. DEA, kelangkaan sumber daya air telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan airnya, kurang lebih sekitar 1.500-2.000 liter per hari per kapita. Kebutuhan air dalam konteks ini mengacu pada konsumsi manusia, termasuk pertanian dan peternakan sebagai sumber daya pangan.
"Beberapa daerah di Indonesia seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara kekurangan sumber daya air. Tidak semua daerah, memang, tapi tingkat kekurangannya sangat besar," jelasnya, Kamis (25/3).
Sejalan dengan masalah ini, Papua merupakan salah satu daerah dengan sumber daya air yang melimpah karena faktor jumlah penduduk yang sedikit, wilayah yang luas, dan curah hujan yang tinggi. Jawa dan Bali merupakan daerah dengan curah hujan yang tinggi, namun karena jumlah penduduknya yang cukup banyak, hal ini berpengaruh pada ketersediaan sumber daya air.
"Hal ini harus menjadi perhatian besar. Namun bukan berarti daerah lain tidak perlu diperhatikan," tambah Sunjoto.
Pria yang pernah meraih Kalpataru sebagai Pembina Lingkungan Hidup melalui temuannya tentang rumus perhitungan dimensi Hisapan Air Hujan ini menyebutkan bahwa masalah ini belum tersentuh atau bahkan terdengar oleh masyarakat yang selama ini tinggal di daerah yang memiliki sumber daya air yang mencukupi. Sebaliknya, hal ini menjadi masalah besar yang membuat sebagian masyarakat yang tinggal di daerah sulit air menjadi khawatir.
Ketersediaan sumber daya air di bawah permukaan bumi dalam ruang pori-pori tanah semakin berkurang dari waktu ke waktu. Bahkan air yang kita gunakan saat ini seharusnya merupakan air untuk generasi berikutnya.
"Tanpa sadar kita telah menggunakan sumber daya air yang seharusnya untuk generasi penerus kita," ujar Sunjoto.
Sunjoto mengungkapkan bahwa perlu untuk menghidupkan kembali sumber daya air menjadi kapasitas yang melimpah, meskipun cukup menantang. Metode konstruktif dan vegetatif harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Pada metode vegetatif, reboisasi perlu dilakukan pada kawasan yang berbasis hutan. Namun, hal tersebut telah bergeser secara fungsional karena tidak ada lagi proses vegetasi. Selain itu, kita juga harus peduli untuk menanam pohon di lahan-lahan kosong yang tersebar di berbagai daerah untuk meningkatkan kapasitas resapan tanah.
"Bagi saya, metode vegetasi masih yang terbaik. Kita bisa melakukan penghijauan di mana saja, bahkan di lahan-lahan kosong di pinggir jalan," jelas Sunjoto.
Di sisi lain, dengan metode konstruktif, kita bisa mulai membangun sistem peresapan air hujan, baik dalam bentuk sumur resapan, parit resapan, maupun taman resapan.
"Beberapa rumah seharusnya sudah menyediakan sistem peresapan air hujan sehingga dapat menyerap air hujan yang jatuh ke halaman rumah. Upaya ini mencegah air meluap ke jalan, dan persediaan air di dalam sumur pun akan lebih banyak," kata Sunjata.
Disadur: ugm.ac.id