Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Peran Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Karyawan di Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kondusif, terutama bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Penelitian yang dilakukan oleh Aseel Mousa Matar dalam jurnal Journal of University Studies for Inclusive Research menyoroti bagaimana manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dapat meningkatkan produktivitas karyawan di UKM industri. Penelitian ini menyoroti risiko yang dihadapi tenaga kerja, dampak terhadap produktivitas, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan sistem K3 di UKM.

Latar Belakang dan Masalah Penelitian

UKM merupakan pilar utama dalam perekonomian berbagai negara, baik yang maju maupun berkembang. Namun, sektor ini sering menghadapi berbagai tantangan seperti persaingan pasar, keterbatasan teknologi, serta kurangnya tenaga kerja yang terlatih. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi UKM adalah rendahnya penerapan standar keselamatan kerja, yang berdampak langsung pada tingkat kecelakaan dan produktivitas karyawan.

Menurut penelitian sebelumnya, banyak UKM yang masih mengabaikan penerapan sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang baik. Surienty (2019) menegaskan bahwa penerapan K3 yang lemah dalam UKM sering kali menyebabkan cedera kerja dan menurunkan efisiensi produksi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana penerapan manajemen K3 berpengaruh terhadap produktivitas karyawan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan meninjau berbagai literatur serta studi kasus di beberapa UKM industri. Data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti jurnal, buku, dan laporan studi kasus untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai peran K3 dalam meningkatkan produktivitas.

Hasil Penelitian dan Temuan Utama

1. Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di UKM

Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak UKM masih belum menerapkan prosedur keselamatan kerja yang memadai. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya implementasi K3 di UKM antara lain:

  • Kurangnya kesadaran manajemen terhadap pentingnya keselamatan kerja.
  • Keterbatasan sumber daya dan biaya dalam menerapkan standar keselamatan yang tinggi.
  • Minimnya regulasi dan pengawasan pemerintah terhadap UKM dalam penerapan K3.

Namun, penelitian juga menegaskan bahwa UKM yang menerapkan sistem keselamatan kerja dengan baik cenderung memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

2. Hubungan Antara Keselamatan Kerja dan Produktivitas

Menurut data yang dikumpulkan, penerapan K3 yang baik dapat meningkatkan produktivitas dengan cara berikut:

  • Mengurangi tingkat kecelakaan kerja, sehingga karyawan dapat bekerja dengan lebih efektif tanpa gangguan akibat cedera.
  • Meningkatkan moral dan motivasi karyawan, karena mereka merasa lebih aman dan dihargai oleh perusahaan.
  • Menurunkan biaya pengobatan dan kompensasi akibat kecelakaan kerja, yang pada akhirnya menghemat anggaran perusahaan.

Surienty et al. (2011) mengungkapkan bahwa pekerja yang merasa aman di lingkungan kerja cenderung memiliki semangat kerja lebih tinggi dan lebih fokus dalam menyelesaikan tugas mereka.

3. Studi Kasus Implementasi K3 di UKM Industri

Dalam penelitian ini, dilakukan studi kasus terhadap beberapa UKM yang telah berhasil menerapkan sistem manajemen K3. Salah satu contoh sukses adalah sebuah perusahaan manufaktur kecil di Malaysia yang mengalami peningkatan produktivitas sebesar 20% setelah menerapkan kebijakan keselamatan yang lebih ketat, termasuk:

  • Penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi pekerja.
  • Pelatihan keselamatan secara rutin untuk meningkatkan kesadaran pekerja terhadap risiko kerja.
  • Inspeksi berkala dan evaluasi risiko untuk mengurangi potensi bahaya di tempat kerja.

Hasilnya, perusahaan tersebut mengalami penurunan jumlah kecelakaan kerja dari 15 kasus per tahun menjadi hanya 3 kasus per tahun setelah menerapkan kebijakan ini.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Keselamatan Kerja di UKM

Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan oleh UKM untuk meningkatkan keselamatan kerja dan produktivitas karyawan:

  1. Meningkatkan Kesadaran Manajemen
    • Manajemen UKM harus memahami bahwa investasi dalam keselamatan kerja akan memberikan keuntungan jangka panjang dalam bentuk peningkatan produktivitas dan efisiensi.
  2. Pelatihan Keselamatan Rutin
    • Karyawan harus diberikan pelatihan berkala mengenai prosedur keselamatan kerja yang benar dan cara menggunakan alat pelindung diri (APD) dengan baik.
  3. Penyediaan Fasilitas Keselamatan yang Memadai
    • UKM harus memastikan bahwa tempat kerja dilengkapi dengan fasilitas keselamatan yang sesuai, seperti jalur evakuasi yang jelas, alat pemadam kebakaran, dan ventilasi yang baik.
  4. Pengawasan dan Inspeksi Rutin
    • Melakukan inspeksi secara berkala untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan mengambil tindakan korektif sebelum terjadi kecelakaan.
  5. Menerapkan Budaya Keselamatan
    • Mendorong karyawan untuk melaporkan risiko keselamatan tanpa takut akan hukuman, sehingga dapat dilakukan perbaikan segera.

Penelitian ini menegaskan bahwa manajemen keselamatan dan kesehatan kerja memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas karyawan di UKM. Dengan mengurangi kecelakaan kerja, meningkatkan kesadaran pekerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, UKM dapat mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi serta mengurangi biaya akibat cedera kerja.

Penerapan sistem K3 yang baik di UKM bukan hanya sekadar kewajiban hukum, tetapi juga merupakan investasi jangka panjang untuk meningkatkan kinerja bisnis dan daya saing di pasar. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari manajemen UKM untuk lebih serius dalam menerapkan langkah-langkah keselamatan kerja.

Sumber Asli

Matar, Aseel Mousa. The Role of Occupational Safety and Health Management in Enhancing Employee Productivity in SMEs. Journal of University Studies for Inclusive Research, Vol.3, Issue 1 (2019), 243-260.

Selengkapnya
Peran Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Karyawan di Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Keselamatan Kerja

Dampak Implementasi Safety Management System (SMS) dalam Industri Transportasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan dalam industri transportasi merupakan prioritas utama yang tidak dapat diabaikan. Dengan kompleksitas operasional serta berbagai risiko yang melekat, organisasi di sektor ini terus mencari cara untuk meningkatkan manajemen risiko dan proses pengambilan keputusan. Salah satu pendekatan yang semakin banyak diterapkan adalah Safety Management System (SMS).

Penelitian oleh Kathleen Fox dalam tesisnya di Lund University berjudul How has the implementation of Safety Management Systems (SMS) in the transportation industry impacted on risk management and decision-making? menyoroti bagaimana SMS telah memengaruhi pengelolaan risiko dan pengambilan keputusan di sektor transportasi. Studi ini mengulas laporan investigasi kecelakaan dari Transportation Safety Board of Canada (TSB) yang melibatkan operator yang telah atau sedang menerapkan SMS. Selain itu, penelitian ini membahas tantangan dan manfaat dari implementasi SMS serta dampaknya dalam menciptakan lingkungan keselamatan yang lebih baik.

Latar Belakang dan Teori Dasar

1. Manajemen Risiko dalam Industri Transportasi

Dalam industri transportasi, pengambilan keputusan oleh manajer sering kali melibatkan prioritas yang saling bertentangan, seperti keselamatan, efisiensi operasional, dan keuntungan finansial. Seiring dengan meningkatnya regulasi keselamatan, banyak perusahaan mulai menerapkan SMS sebagai pendekatan sistematis untuk mengelola risiko.

Fox mengacu pada berbagai teori yang mendukung implementasi SMS, seperti model pengambilan keputusan oleh March (1994) dan konsep High-Reliability Organizations (HRO). HRO adalah organisasi yang secara konsisten berhasil menghindari kegagalan meskipun beroperasi dalam kondisi berisiko tinggi, seperti dalam penerbangan dan lalu lintas udara.

2. Definisi dan Komponen Safety Management System (SMS)

SMS didefinisikan sebagai kerangka kerja sistematis untuk mengelola risiko keselamatan, yang mencakup:

  • Kebijakan Keselamatan: Komitmen organisasi terhadap keselamatan.
  • Identifikasi Bahaya dan Manajemen Risiko: Evaluasi risiko yang dapat menyebabkan kecelakaan.
  • Jaminan Keselamatan: Proses pemantauan dan peningkatan berkelanjutan terhadap sistem keselamatan.
  • Promosi Keselamatan: Pelatihan dan komunikasi keselamatan untuk meningkatkan kesadaran pekerja.

SMS telah diadopsi secara luas di berbagai sektor transportasi, termasuk penerbangan, perkapalan, dan perkeretaapian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganalisis laporan investigasi kecelakaan dari TSB Kanada. Laporan-laporan ini memberikan wawasan mengenai bagaimana kelemahan dalam manajemen risiko dan pengambilan keputusan berkontribusi terhadap kecelakaan. Selain itu, Fox juga melakukan wawancara dengan para manajer dan ahli industri untuk memahami tantangan serta keberhasilan dalam implementasi SMS.

Hasil dan Temuan Utama

1. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan SMS

Studi ini menemukan bahwa keberhasilan implementasi SMS bergantung pada beberapa faktor kunci:

  • Komitmen Manajemen: SMS yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung dari pimpinan organisasi.
  • Pelaporan Insiden yang Transparan: Budaya keselamatan yang sehat mendorong karyawan untuk melaporkan insiden tanpa takut mendapat hukuman.
  • Identifikasi Bahaya yang Proaktif: Organisasi yang secara aktif mengidentifikasi dan menilai risiko sebelum terjadi kecelakaan cenderung lebih berhasil dalam menerapkan SMS.

2. Studi Kasus dari Laporan Investigasi TSB

Fox mengulas berbagai kecelakaan yang terjadi di Kanada, di mana kurangnya penerapan SMS atau kelemahan dalam sistem ini berkontribusi terhadap insiden serius.

  • Kasus 1: Sebuah kapal kargo mengalami kegagalan sistem navigasi karena manajemen tidak melakukan analisis risiko sebelum mengganti peralatan elektroniknya.
  • Kasus 2: Sebuah maskapai penerbangan mengalami kecelakaan akibat kurangnya pemantauan terhadap prosedur keselamatan oleh manajemen.
  • Kasus 3: Sebuah perusahaan kereta api mengalami kecelakaan fatal akibat kelalaian dalam memperbarui kebijakan keselamatan setelah serangkaian insiden sebelumnya.

Dari studi kasus ini, Fox menyoroti bahwa kegagalan dalam mengelola risiko sering kali terjadi karena adanya tekanan operasional, kurangnya sumber daya, atau ketidakseimbangan antara prioritas keselamatan dan efisiensi bisnis.

3. Tantangan dalam Implementasi SMS

Meskipun SMS memiliki manfaat besar, penerapannya juga menghadapi berbagai tantangan:

  • Hambatan Budaya: Beberapa organisasi masih memiliki budaya keselamatan yang lemah, di mana pelaporan insiden dianggap sebagai tanda kelemahan.
  • Kekurangan Sumber Daya: Implementasi SMS memerlukan investasi dalam pelatihan dan teknologi, yang sering kali menjadi kendala bagi perusahaan kecil.
  • Kurangnya Pemahaman di Tingkat Manajemen: Manajer yang tidak memahami pentingnya SMS cenderung mengabaikan aspek keselamatan dalam pengambilan keputusan.

Implikasi dan Rekomendasi

Fox menyimpulkan bahwa implementasi SMS yang sukses dapat mengurangi risiko kecelakaan secara signifikan dan meningkatkan efisiensi operasional. Untuk memperbaiki sistem ini, ia memberikan beberapa rekomendasi:

  1. Meningkatkan Pelatihan Keselamatan: Program pelatihan harus mencakup simulasi risiko dan studi kasus nyata untuk meningkatkan pemahaman karyawan.
  2. Mendorong Budaya Pelaporan Insiden: Organisasi harus menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa aman untuk melaporkan insiden tanpa takut dihukum.
  3. Penggunaan Teknologi dalam Manajemen Risiko: Data analitik dan kecerdasan buatan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola risiko yang tidak terlihat sebelumnya.
  4. Evaluasi dan Audit Berkala: Organisasi harus melakukan audit SMS secara rutin untuk memastikan efektivitasnya dan melakukan perbaikan yang diperlukan.

Kesimpulan

Studi ini menunjukkan bahwa SMS merupakan alat yang efektif dalam mengelola risiko keselamatan di industri transportasi. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen manajemen, budaya keselamatan, dan sumber daya yang tersedia. Dengan menerapkan sistem ini secara konsisten, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan efisien.

Sumber Asli

Fox, Kathleen. How has the implementation of Safety Management Systems (SMS) in the transportation industry impacted on risk management and decision-making? Thesis submitted in partial fulfillment of the requirements for the MSc in Human Factors and System Safety, Lund University, Sweden, 2009.

Selengkapnya
Dampak Implementasi Safety Management System (SMS) dalam Industri Transportasi

Keselamatan Industri

Membangun Budaya Keselamatan Industri di Sektor Manufaktur

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Budaya keselamatan industri merupakan faktor kunci dalam mengurangi kecelakaan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan di sektor manufaktur. Tingkat kecelakaan industri di tempat kerja terus meningkat setiap tahun, terutama di sektor manufaktur yang memiliki risiko tinggi. Berdasarkan statistik Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Malaysia (DOSH), angka kecelakaan kerja di sektor manufaktur meningkat dari 1.722 kasus pada tahun 2012 menjadi 2.333 kasus pada tahun 2016. Angka ini menunjukkan perlunya strategi yang lebih efektif dalam meningkatkan budaya keselamatan di industri ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi persepsi dan tingkat kesadaran pekerja terhadap budaya keselamatan di tempat kerja mereka. Dengan menganalisis faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap keberhasilan budaya keselamatan, penelitian ini memberikan wawasan bagi industri manufaktur dalam meningkatkan kebijakan keselamatan mereka.

Penelitian ini dilakukan melalui survei terhadap 140 karyawan di industri manufaktur di Pulau Pinang, Malaysia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 101 responden dipilih sebagai sampel. Kuesioner yang digunakan terdiri dari tujuh bagian utama:

  1. Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (OSH Policy)
  2. Tanggung Jawab Manajemen Puncak (Top Management Responsibilities)
  3. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (OSH Training)
  4. Keterlibatan Karyawan (Employee Involvement and Engagement)
  5. Komunikasi Keselamatan (Safety Communication)
  6. Prosedur Kerja (Work Procedures)
  7. Pencegahan Risiko dan Bahaya (Hazard and Risk Prevention)

Hasil dan Temuan Utama

1. Tingkat Kesadaran Karyawan terhadap Budaya Keselamatan

Dari hasil survei, ditemukan bahwa:

  • 65% karyawan menyadari pentingnya kebijakan keselamatan, tetapi hanya 45% yang merasa kebijakan tersebut diterapkan secara konsisten.
  • 50% karyawan merasa bahwa manajemen puncak belum sepenuhnya berkomitmen dalam meningkatkan budaya keselamatan.
  • Hanya 38% karyawan yang pernah mengikuti pelatihan keselamatan secara rutin.
  • 70% karyawan menyatakan bahwa komunikasi keselamatan di tempat kerja masih perlu ditingkatkan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Budaya Keselamatan

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap keberhasilan budaya keselamatan di industri manufaktur:

  • Komitmen Manajemen: Manajemen yang menunjukkan komitmen terhadap keselamatan cenderung memiliki tingkat kecelakaan kerja yang lebih rendah.
  • Pelatihan Keselamatan: Pelatihan yang berkelanjutan membantu meningkatkan kesadaran karyawan terhadap bahaya di tempat kerja.
  • Pelibatan Karyawan: Karyawan yang lebih terlibat dalam kebijakan keselamatan lebih cenderung mematuhi prosedur keselamatan.

3. Dampak dari Budaya Keselamatan yang Lemah

Kurangnya penerapan budaya keselamatan yang efektif dapat mengakibatkan:

  • Peningkatan jumlah kecelakaan kerja: Data dari DOSH menunjukkan bahwa kecelakaan kerja di sektor manufaktur meningkat dari 2.780 kasus pada tahun 2012 menjadi 3.702 kasus pada tahun 2016.
  • Produktivitas yang lebih rendah: Karyawan yang merasa tidak aman di tempat kerja cenderung mengalami stres, yang berujung pada penurunan produktivitas.
  • Biaya operasional yang lebih tinggi: Perusahaan yang tidak menerapkan sistem keselamatan dengan baik harus menghadapi biaya kompensasi yang lebih besar akibat kecelakaan kerja.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Budaya Keselamatan

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan budaya keselamatan di sektor manufaktur:

  1. Peningkatan Komitmen Manajemen
    • Manajemen harus lebih aktif dalam mengawasi penerapan kebijakan keselamatan.
    • Menetapkan target keselamatan yang jelas dan mengintegrasikan keselamatan sebagai bagian dari budaya perusahaan.
  2. Pelatihan Keselamatan yang Berkelanjutan
    • Mengadakan sesi pelatihan keselamatan secara berkala untuk meningkatkan kesadaran karyawan.
    • Menggunakan simulasi dan skenario nyata dalam pelatihan untuk memberikan pengalaman langsung kepada pekerja.
  3. Komunikasi yang Efektif Mengenai Keselamatan
    • Meningkatkan komunikasi internal terkait kebijakan keselamatan.
    • Menggunakan papan pengumuman atau aplikasi digital untuk menyebarluaskan informasi keselamatan secara real-time.
  4. Inspeksi dan Audit Keselamatan Secara Rutin
    • Melakukan audit keselamatan secara berkala untuk memastikan bahwa prosedur keselamatan dijalankan dengan baik.
    • Memberikan umpan balik kepada karyawan mengenai hasil audit dan langkah perbaikan yang diperlukan.
  5. Meningkatkan Keterlibatan Karyawan
    • Mendorong karyawan untuk melaporkan potensi bahaya tanpa takut akan sanksi.
    • Memberikan insentif bagi karyawan yang secara aktif berkontribusi dalam meningkatkan keselamatan di tempat kerja.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa budaya keselamatan yang kuat di industri manufaktur dapat mengurangi kecelakaan kerja, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi biaya operasional. Dengan menerapkan kebijakan keselamatan yang efektif, meningkatkan pelatihan keselamatan, serta memperkuat komunikasi dan keterlibatan karyawan, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan produktif.

Implementasi budaya keselamatan yang kuat bukan hanya menjadi kewajiban hukum tetapi juga investasi jangka panjang yang dapat memberikan manfaat besar bagi perusahaan dan karyawan.

Sumber Asli

Aziz, Lia Dayana Binti Abdul. Total Industrial Safety Culture in Manufacturing Sector. Universiti Sains Malaysia, 2019.

Selengkapnya
Membangun Budaya Keselamatan Industri di Sektor Manufaktur

Konflik Pekerjaan

Tantangan Work-Family Conflict bagi Insinyur Perempuan di Yaman

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Work-Family Conflict (WFC) adalah fenomena yang banyak dialami pekerja di seluruh dunia, terutama perempuan di bidang teknik. Paper "Perceptions of Work–Family–Engineering Relationships Among Employed Female Engineers in Yemen: A Survey Study" mengeksplorasi bagaimana budaya konservatif Yaman memengaruhi keseimbangan kerja dan keluarga bagi perempuan insinyur. Studi ini berfokus pada tekanan sosial, ekonomi, dan budaya yang membentuk dinamika pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka.

Faktor Penyebab WFC dalam Masyarakat Konservatif

  • Pernikahan dan konsekuensinya menyumbang 26% alasan utama perempuan meninggalkan pekerjaan.
  • Tanggung jawab keluarga mencapai 21%.
  • Tekanan sosial secara kumulatif mencapai 50% penyebab utama konflik kerja-keluarga.

Dampak Pernikahan terhadap Karier dan Pendidikan

  • Perempuan yang menikah sebelum atau selama kuliah memiliki nilai akademik 4,93% lebih rendah dibandingkan yang tidak menikah.
  • Semua insinyur perempuan yang bekerja di sektor industri dan konstruksi berstatus lajang, sedangkan yang menikah memilih meninggalkan pekerjaan.
  • 52% perempuan insinyur yang bekerja masih lajang, sedangkan 48% sudah menikah.
  • 68% lulusan perempuan insinyur dalam dekade terakhir di negara bagian Taiz mendapatkan pekerjaan tetap atau sementara, tetapi sebagian besar bekerja di sektor pendidikan dengan status kontrak sementara.

Kesenjangan Gaji dan Peluang Karier

  • Rata-rata gaji perempuan insinyur adalah USD 145,73 per bulan, sedangkan laki-laki mencapai USD 557.
  • 21% laki-laki insinyur menghasilkan lebih dari USD 1000 per bulan, tetapi tidak ada perempuan dalam kategori ini.
  • Hanya 3,5% perempuan insinyur yang berpenghasilan lebih dari USD 500 per bulan, dibandingkan dengan 31,6% laki-laki.
  • Ini berarti laki-laki insinyur di Yaman berpenghasilan 3,822 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Perspektif Suami terhadap Karier Istri

Dari survei terhadap 20 suami perempuan insinyur, ditemukan beberapa kecenderungan:

  • Dukungan untuk istri mencari pekerjaan di bidang teknik: 4,13 (skala 1-5).
  • Penolakan terhadap pekerjaan dengan shift malam dan perjalanan dinas: 1,30.
  • Dukungan terhadap pekerjaan tetap full-time: 2,83.
  • Pandangan bahwa perempuan sebaiknya tinggal di rumah dan tidak bekerja: 3,11.

Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun suami mendukung istri mereka dalam mencari pekerjaan, banyak yang menolak pekerjaan dengan jam kerja panjang atau mobilitas tinggi.

Dampak Budaya Konservatif terhadap Perempuan Insinyur

Studi ini menunjukkan bahwa peran gender di Yaman masih sangat membatasi perempuan dalam dunia kerja, terutama di sektor teknik yang didominasi laki-laki. Meski ada dukungan terhadap pendidikan perempuan, budaya patriarki tetap menjadi penghalang utama dalam mempertahankan pekerjaan setelah menikah.

Kesempatan Karier yang Tidak Setara

Dengan adanya kesenjangan gaji yang cukup besar, perempuan insinyur cenderung memilih pekerjaan di sektor pendidikan atau administrasi daripada sektor industri. Ini mencerminkan hambatan struktural yang membatasi akses perempuan ke karier teknik yang lebih kompetitif.

Solusi yang Ditawarkan

Paper ini mengusulkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi WFC bagi perempuan insinyur di Yaman:

  • Kebijakan fleksibilitas kerja, seperti jam kerja fleksibel, kerja jarak jauh, dan pelacakan tugas secara online.
  • Meningkatkan kesadaran sosial, terutama di kalangan suami dan keluarga, untuk lebih mendukung perempuan bekerja.
  • Kebijakan insentif finansial bagi perempuan insinyur untuk mengurangi kesenjangan gaji.
  • Peningkatan perlindungan hukum, termasuk penghapusan diskriminasi dalam rekrutmen dan promosi kerja.

Secara global, isu work-family balance juga menjadi perdebatan di banyak negara. Beberapa negara telah mengadopsi kebijakan ramah keluarga seperti cuti melahirkan yang lebih panjang, subsidi pengasuhan anak, dan fleksibilitas jam kerja. Studi ini memberikan wawasan bahwa tantangan serupa juga dihadapi perempuan di negara-negara berkembang, terutama di masyarakat konservatif.

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan perempuan insinyur di Yaman. Dengan data empiris yang kuat, penelitian ini memperlihatkan bagaimana faktor budaya, sosial, dan ekonomi saling berinteraksi dalam menciptakan tantangan bagi perempuan yang ingin berkarier di bidang teknik. Rekomendasi yang diberikan dapat menjadi dasar bagi kebijakan yang lebih inklusif untuk mendukung kesetaraan gender di dunia kerja.

Sumber Artikel:
Ghaleb, A.M.; Abdulkhaliq, L.; Al-nour, H.A.; Amrani, M.A.; Hebah, H.A.; Mejjaouli, S. "Perceptions of Work–Family–Engineering Relationships Among Employed Female Engineers in Yemen: A Survey Study." Societies 2025, 15, 13.

 

Selengkapnya
Tantangan Work-Family Conflict bagi Insinyur Perempuan di Yaman

Industri Kontruksi

Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Dalam industri konstruksi, profesionalisme adalah faktor kunci yang menentukan keberhasilan sebuah proyek. Paper berjudul “Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali” membahas bagaimana kurangnya perencanaan, kontrak kerja yang tidak jelas, serta pengawasan yang lemah menyebabkan proyek ini mengalami keterlambatan yang signifikan. Dengan menyoroti berbagai masalah serta solusi yang dapat diterapkan, studi ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan yang dihadapi dalam proyek konstruksi di Indonesia.

Proyek pembangunan Restoran X di Bali dimulai pada Maret 2019, namun hingga saat ini masih belum selesai karena berbagai faktor. Berikut adalah beberapa permasalahan utama yang ditemukan:

Kurangnya Perencanaan dan Perubahan Desain Berulang. Perubahan desain terjadi secara terus-menerus sehingga menghambat kelancaran proyek. Gambar kerja dan spesifikasi tidak disiapkan dengan matang sebelum pelaksanaan. Kontraktor pelaksana sering mengalami kesulitan karena harus menunggu gambar kerja terbaru. Ketiadaan Kontrak Kerja yang Jelas. Pemilik proyek tidak membuat kontrak kerja tertulis dengan kontraktor pelaksana. Sistem kerja berdasarkan kepercayaan menyebabkan kurangnya tanggung jawab yang jelas. Kontraktor pelaksana sering mengajukan biaya tambahan tanpa mekanisme verifikasi yang jelas. Manajemen Proyek yang Kurang Efektif. Pemilik proyek sering berkomunikasi langsung dengan kontraktor tanpa melibatkan konsultan pengawas. Tidak ada koordinasi yang baik antara tim proyek, sehingga sering terjadi miskomunikasi. Kontraktor lebih berfokus pada pencairan dana dibandingkan menyelesaikan pekerjaan sesuai standar. Kualitas Pekerjaan yang Buruk. Pekerjaan struktur baja yang tidak sesuai standar menyebabkan keterlambatan dan pembengkakan biaya. Pengecatan dan pemasangan railing tangga dilakukan tanpa prosedur yang benar, sehingga mengalami kerusakan dini. Kebocoran pada bangunan akibat pemasangan kusen yang tidak sesuai spesifikasi. Dampak Finansial dan Hukum. Proyek mengalami kerugian besar karena kontraktor menerima pembayaran sebelum pekerjaan selesai. Tidak adanya dokumen kontrak yang mengikat membuat pemilik proyek kesulitan menuntut pertanggungjawaban kontraktor.

Kurangnya Profesionalisme dalam Proyek Konstruksi

Paper ini menyoroti bagaimana kurangnya profesionalisme dalam manajemen proyek berkontribusi terhadap keterlambatan dan kualitas pekerjaan yang buruk. Beberapa indikator utama kurangnya profesionalisme adalah:

  • Kurangnya keahlian manajemen proyek: Tidak adanya perencanaan matang dan SOP yang jelas.
  • Komunikasi yang tidak efektif: Keputusan sering dibuat tanpa konsultasi dengan semua pihak yang terlibat.
  • Pelanggaran standar konstruksi: Kontraktor menggunakan bahan berkualitas rendah tanpa mengikuti spesifikasi teknis.

Dalam beberapa studi lain mengenai proyek konstruksi, faktor utama yang menentukan keberhasilan proyek adalah perencanaan yang komprehensif, manajemen risiko yang baik, serta pengawasan ketat. Studi ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam aspek-aspek tersebut berdampak buruk terhadap kelangsungan proyek.

Untuk meningkatkan profesionalisme dalam proyek konstruksi, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

1. Perencanaan yang Lebih Matang

  • Melakukan analisis proyek secara menyeluruh sebelum pelaksanaan.
  • Menyusun gambar kerja yang lengkap dan jelas untuk menghindari perubahan desain yang berulang.
  • Menggunakan software manajemen proyek untuk membantu koordinasi tim.

2. Penerapan Kontrak Kerja yang Ketat

  • Kontrak kerja tertulis harus mencakup lingkup pekerjaan, spesifikasi teknis, jadwal, serta sanksi jika kontraktor gagal memenuhi target.
  • Mekanisme pembayaran berbasis progres pekerjaan agar kontraktor tidak menerima dana sebelum pekerjaan diselesaikan.

3. Pengawasan yang Lebih Ketat

  • Menggunakan SOP yang jelas untuk memastikan bahwa semua pekerjaan dilakukan sesuai standar.
  • Melibatkan konsultan pengawas yang berpengalaman dalam seluruh tahapan proyek.
  • Melakukan audit berkala terhadap pekerjaan di lapangan untuk menghindari kecurangan.

4. Peningkatan Kualitas dan Profesionalisme Kontraktor

  • Seleksi kontraktor harus didasarkan pada rekam jejak profesionalisme dan kompetensi teknisnya.
  • Memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi kontraktor dan pekerja proyek agar memenuhi standar industri.

5. Peningkatan Transparansi dan Komunikasi

  • Mengadakan rapat koordinasi secara rutin antara pemilik proyek, kontraktor, dan pengawas untuk memastikan semua pihak memahami perkembangan proyek.
  • Menggunakan platform digital untuk pelaporan kemajuan proyek agar lebih transparan dan terdokumentasi dengan baik.

Paper ini memberikan gambaran jelas mengenai dampak dari kurangnya profesionalisme dalam proyek konstruksi. Studi kasus Restoran X di Bali menunjukkan bagaimana ketidakteraturan dalam perencanaan, pengawasan, dan eksekusi proyek dapat menyebabkan keterlambatan signifikan dan peningkatan biaya. Dengan menerapkan perencanaan yang lebih matang, kontrak kerja yang jelas, serta pengawasan ketat, proyek-proyek konstruksi di masa depan dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Sumber Artikel:
Hudaya, R.G.; Setiadji, J.S.; Lesmana, A.L. “Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali”. Jurnal Dimensi Insinyur Profesional, Vol. 2, No. 2, September 2024.

 

Selengkapnya
Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali

Bencana Alam

Analisis Hukum dan Bisnis dalam Penyiaran Stop Press Peringatan Dini Tsunami pada Prime Time di iNews

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan terhadap bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Untuk mengurangi risiko korban jiwa, penyampaian peringatan dini tsunami menjadi hal yang sangat krusial. Paper "Legal and Business Study Stop Press Early Warning Tsunami at Prime Time on iNews" oleh Khoiri Akhmadi menyoroti dilema antara kepatuhan hukum dan strategi bisnis dalam penyiaran informasi darurat oleh media televisi, khususnya dalam konteks penayangan "Stop Press" di jam tayang utama (prime time).

Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20/P/M.KOMINFO/8/2006, media televisi diwajibkan untuk menayangkan peringatan dini tsunami dalam bentuk "Stop Press" selama minimal 30 detik dengan nada suara tinggi setelah adanya gempa bermagnitudo ≥7.0 yang berpotensi tsunami. Regulasi ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 50/2005 Pasal 17 Ayat 10 dan 11 yang mengharuskan lembaga penyiaran swasta untuk menginformasikan peringatan dini bencana kepada masyarakat tanpa penundaan.

Dalam penelitian ini, iNews sebagai salah satu stasiun televisi nasional menunjukkan kepatuhan terhadap regulasi tersebut dengan menayangkan "Stop Press" meskipun berdampak pada hilangnya pendapatan dari iklan prime time yang sangat mahal. Jam tayang utama atau prime time (pukul 17.00–23.00 WIB) merupakan slot yang paling menguntungkan bagi industri pertelevisian karena jumlah penonton yang tinggi. Berdasarkan data Nielsen yang dikutip dalam penelitian ini:

  • 180 juta pemirsa aktif di Indonesia lebih cenderung menonton televisi dibandingkan media sosial, radio, atau cetak.
  • Harga iklan 30 detik di prime time dapat mencapai Rp30 juta.
  • Jika iklan ditayangkan empat kali, total pendapatan yang hilang bisa mencapai Rp120 juta dalam waktu dua menit.

Penayangan "Stop Press" pada jam tayang ini menimbulkan dilema antara kepentingan bisnis dan kewajiban hukum, karena mengganggu program yang sedang tayang dan mengorbankan pendapatan iklan.

Untuk mengatasi potensi kerugian finansial, iNews menerapkan strategi "standby commercial", yaitu perjanjian dengan klien iklan yang memungkinkan iklan tetap tayang meskipun ada "Stop Press". Selain itu, iNews juga mengombinasikan "Stop Press" dengan program Breaking News, yang memungkinkan informasi peringatan dini disampaikan dengan lebih panjang dan rinci tanpa kehilangan nilai komersial. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam periode enam tahun terakhir, iNews berhasil menyampaikan "Stop Press" pada peristiwa besar seperti:

  • Gempa Mentawai (Maret 2016, M8.3, pukul 19.49 WIB) – Stop Press tidak dapat ditayangkan tepat waktu karena belum tersedianya sistem WRS (Warning Receiver System) di studio kontrol utama.
  • Gempa Palu (September 2018, M7.7, pukul 17.02 WIB) – Stop Press berhasil disiarkan sesuai regulasi.
  • Gempa Banten (Agustus 2019, M7.4, pukul 19.02 WIB) – Stop Press berhasil disiarkan dengan baik.

Kesalahan dalam penayangan peringatan dini di Mentawai memunculkan perdebatan mengenai pertanggungjawaban hukum media penyiaran jika gagal memenuhi kewajiban penyiaran informasi bencana.

Studi ini menyoroti bahwa media penyiaran dapat dikenakan sanksi jika tidak mematuhi regulasi. Berdasarkan KUHP Pasal 359 dan 360, kelalaian dalam menyampaikan informasi yang dapat menyelamatkan nyawa dapat dikategorikan sebagai kelalaian yang berujung pada pertanggungjawaban pidana. Namun, dalam kasus keterlambatan "Stop Press" di Mentawai, iNews tidak dikenakan sanksi karena tetap menyampaikan informasi melalui "Breaking News" dengan durasi lebih panjang.

Legal expert Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa kepatuhan terhadap hukum berasal dari kesadaran hukum dan motivasi untuk bertindak, bukan hanya karena ketakutan terhadap sanksi. Dalam hal ini, iNews menunjukkan kepatuhan hukum dengan tetap memprioritaskan kepentingan masyarakat.

Analisis dan Kritik

1. Keseimbangan antara Bisnis dan Kepentingan Publik

Penelitian ini mengungkapkan bahwa industri penyiaran menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kewajiban hukum, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan bisnis. Meskipun regulasi mewajibkan "Stop Press", tidak semua stasiun televisi menerapkannya secara konsisten karena alasan ekonomi.

Studi ini menekankan pentingnya mekanisme kompensasi bagi stasiun televisi agar tetap dapat menjalankan kewajibannya tanpa mengalami kerugian finansial yang signifikan. Pemerintah dapat mempertimbangkan subsidi atau insentif pajak bagi media yang aktif menyebarkan peringatan dini bencana.

2. Perlunya Standardisasi dalam Penyiaran Peringatan Dini

Kasus keterlambatan "Stop Press" pada gempa Mentawai menunjukkan bahwa masih ada celah dalam mekanisme penyiaran informasi darurat. Diperlukan peningkatan standarisasi teknis, seperti penerapan sistem WRS secara merata di semua studio berita agar peringatan dini dapat disiarkan tepat waktu.

Selain itu, pelatihan bagi kru media dalam menangani situasi darurat juga perlu ditingkatkan agar tidak ada keterlambatan dalam penyampaian informasi yang krusial.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penelitian ini memberikan wawasan yang penting mengenai dilema antara kepatuhan hukum dan kepentingan bisnis dalam industri penyiaran. Beberapa rekomendasi yang dapat diambil dari studi ini antara lain:

  • Meningkatkan investasi dalam infrastruktur penyiaran peringatan dini, termasuk pemasangan WRS di semua studio berita.
  • Membentuk regulasi tambahan yang memberikan insentif finansial bagi media yang konsisten menyampaikan peringatan dini.
  • Meningkatkan kolaborasi antara media, pemerintah, dan lembaga terkait (BMKG, BNPB) untuk memastikan penyampaian informasi bencana yang lebih efektif.
  • Memperkuat pengawasan dan sanksi bagi media yang lalai dalam menyampaikan informasi peringatan dini, guna memastikan kepatuhan yang lebih baik terhadap regulasi.

Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan media penyiaran dapat tetap menjalankan perannya sebagai penyedia informasi publik yang andal, tanpa mengorbankan keberlanjutan bisnisnya.

Sumber Artikel:
Khoiri Akhmadi. "Legal and Business Study Stop Press Early Warning Tsunami at Prime Time on iNews." UNTAG Law Review (ULREV), Volume 6, Issue 1, May 2022, PP 1 - 18.

 

Selengkapnya
Analisis Hukum dan Bisnis dalam Penyiaran Stop Press Peringatan Dini Tsunami pada Prime Time di iNews
« First Previous page 388 of 1.301 Next Last »