Kompetensi Kerja
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 September 2025
Di era ketika informasi bergerak lebih cepat daripada angin, organisasi di seluruh dunia dituntut untuk beradaptasi. Tidak lagi cukup hanya mengandalkan modal finansial, infrastruktur, atau aset fisik yang kasat mata. Yang kini menjadi pembeda adalah pengetahuan—dan lebih penting lagi, orang-orang yang membawa pengetahuan itu.
Dari perusahaan teknologi raksasa, pusat riset nasional, hingga lembaga pendidikan vokasi, semua menghadapi satu pertanyaan mendasar: bagaimana mengelola sumber daya manusia agar benar-benar menjadi penggerak utama organisasi?
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Knowledge Management Studies (2018) mencoba menjawab pertanyaan besar ini. Jimmy Kansal dan Sandeep Singhal, dua peneliti asal India, menelusuri persoalan yang sebenarnya sudah lama menjadi “rahasia umum”: organisasi berbasis pengetahuan (knowledge-based organisations/KBOs) hanya akan seefektif kompetensi orang-orang di dalamnya. Tanpa kompetensi yang tepat, strategi sehebat apa pun berisiko gagal di lapangan.
Bayangkan sebuah organisasi riset besar dengan ribuan ilmuwan. Mereka memiliki akses ke teknologi mutakhir, dana riset miliaran, dan mandat nasional yang penting. Namun, jika para penelitinya tidak memiliki kompetensi yang sesuai—baik keterampilan teknis maupun kemampuan manajerial—maka riset bisa tersendat, kerja sama tim rapuh, dan hasil akhir jauh dari harapan.
Penelitian Kansal dan Singhal menegaskan, membangun model kompetensi bukan sekadar urusan HRD atau pelatihan rutin. Ini adalah investasi strategis yang menentukan keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang. Kompetensi dipandang bukan hanya apa yang bisa dilakukan seseorang, melainkan juga bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan berkolaborasi dalam konteks organisasi.
Dengan kata lain, kompetensi adalah fondasi tak terlihat di balik gedung-gedung megah, laboratorium canggih, atau perusahaan raksasa. Dan penelitian ini mencoba merumuskannya menjadi sebuah model yang sistematis, yang bisa diterapkan lintas sektor dan lintas negara, termasuk di Indonesia.
Mengapa Kompetensi Jadi Isu Global Hari Ini?
Pertama-tama, mari kita tarik persoalan ke konteks global. Dunia kerja tengah diguncang revolusi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan (AI). Pekerjaan-pekerjaan manual kian digantikan mesin, sementara kebutuhan akan pekerja yang mampu berpikir kritis, beradaptasi, dan berinovasi meningkat tajam.
Dalam kondisi ini, organisasi berbasis pengetahuan menjadi aktor utama. Mereka bukan hanya menciptakan produk atau jasa, tetapi juga menciptakan nilai dari ide, riset, dan kreativitas. Namun, di sinilah masalah muncul: tidak semua organisasi siap mengelola manusia sebagai aset pengetahuan.
Penelitian Kansal dan Singhal menunjukkan adanya jurang nyata antara potensi individu dan kebutuhan organisasi. Banyak pekerja pintar, tetapi belum tentu kompeten dalam konteks organisasi. Ada yang mahir teknis, tetapi lemah dalam komunikasi. Ada yang punya ide brilian, tetapi tak mampu bekerja sama dalam tim. Jurang inilah yang membuat organisasi sering kali tidak mencapai efektivitas yang diharapkan.
Lebih mengejutkan lagi, masalah ini tidak hanya berkaitan dengan soft skill. Kompetensi teknis pun sering kali tidak selaras dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, seorang ilmuwan mungkin sangat ahli di bidang fisika material, tetapi ketika organisasi membutuhkan aplikasi praktis untuk pertahanan, kompetensi itu tidak otomatis bisa diterjemahkan.
Maka, dibutuhkan model kompetensi yang mampu memetakan keterampilan dari level individu hingga ke level organisasi.
Kisah Lapangan: Menggali Kompetensi dengan Metode BEI
Untuk memahami lebih dalam, Kansal dan Singhal melakukan penelitian di sebuah organisasi riset pertahanan di India. Mereka menggunakan metode Behavioral Event Interview (BEI)—sebuah teknik wawancara mendalam yang menggali pengalaman nyata responden.
Metode ini ibarat membuka kotak hitam pengalaman seseorang. Responden diminta menceritakan situasi nyata di mana mereka merasa sangat sukses atau gagal dalam pekerjaan. Dari cerita itu, peneliti bisa mengidentifikasi pola perilaku, cara berpikir, dan keterampilan yang digunakan.
Pendekatan ini menghasilkan data yang kaya. Misalnya, peneliti menemukan bahwa kompetensi seperti problem solving, kemampuan mengelola konflik, dan keterampilan komunikasi sering kali muncul dalam cerita sukses. Sebaliknya, kurangnya kemampuan koordinasi atau manajemen waktu sering kali muncul dalam cerita kegagalan.
Temuan ini kemudian diperkuat dengan survei kuantitatif yang melibatkan ratusan ilmuwan. Hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi memang memiliki hubungan langsung dengan efektivitas organisasi. Dengan kata lain, semakin baik kompetensi individu, semakin tinggi pula kinerja organisasi.
Model Kompetensi: Peta Jalan Organisasi Berbasis Pengetahuan
Penelitian ini menghasilkan sebuah model kompetensi khusus untuk organisasi berbasis pengetahuan. Model ini tidak hanya mencakup keterampilan teknis (hard skills), tetapi juga kemampuan perilaku dan manajerial (soft skills).
Beberapa kompetensi inti yang diidentifikasi antara lain:
Model ini berfungsi sebagai peta jalan bagi manajemen organisasi. Dengan model ini, rekrutmen bisa lebih terarah, pelatihan lebih efektif, dan jalur karier lebih jelas.
Dampak Nyata bagi Organisasi
Apa artinya semua ini bagi organisasi? Penelitian Kansal dan Singhal memberi gambaran jelas. Jika model kompetensi diterapkan, organisasi bisa:
Sebaliknya, jika kompetensi diabaikan, organisasi berisiko menghadapi stagnasi. Proyek tertunda, ide brilian terbuang, dan organisasi kehilangan daya saing.
Kritik dan Batasan Studi
Meski temuan penelitian ini sangat relevan, ada beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, studi dilakukan pada konteks spesifik—yaitu organisasi riset pertahanan di India. Karakteristiknya bisa berbeda dengan perusahaan swasta atau lembaga non-riset.
Kedua, jumlah responden terbatas pada ilmuwan, sehingga hasilnya mungkin belum sepenuhnya mencerminkan seluruh jenis KBO.
Namun, justru di sinilah menariknya. Riset ini membuka jalan bagi penelitian lanjutan di berbagai sektor dan negara. Misalnya, bagaimana penerapan model kompetensi di startup teknologi Indonesia? Atau di BUMN strategis seperti Pertamina dan PLN? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi agenda penelitian berikutnya.
Relevansi untuk Indonesia
Mengapa penelitian ini penting bagi Indonesia? Karena Indonesia sedang gencar membangun ekonomi berbasis pengetahuan. Dari pengembangan industri 4.0, riset energi terbarukan, hingga transformasi digital pendidikan, semua membutuhkan organisasi berbasis pengetahuan yang efektif.
Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan kesenjangan. Banyak lembaga riset masih terjebak birokrasi, perusahaan kesulitan mencari talenta yang sesuai, dan universitas menghadapi tantangan menyiapkan lulusan yang kompeten.
Model kompetensi seperti yang dikembangkan Kansal dan Singhal bisa menjadi inspirasi untuk menata ulang sistem manajemen SDM di Indonesia. Melalui jalur manajemen proyek, kepemimpinan, hingga pengembangan teknologi, Indonesia dapat memperkuat fondasi organisasi berbasis pengetahuan.
Kesimpulan: Kompetensi sebagai Investasi Masa Depan
Pada akhirnya, penelitian ini menyampaikan pesan sederhana namun kuat: kompetensi adalah fondasi efektivitas organisasi berbasis pengetahuan. Tanpa kompetensi, semua strategi, teknologi, dan sumber daya akan kehilangan arah.
Jika diterapkan secara serius, model kompetensi ini bisa membantu organisasi di Indonesia dan dunia untuk mengurangi biaya akibat inefisiensi, mempercepat inovasi, dan meningkatkan daya saing global dalam waktu lima tahun ke depan.
Seperti kata pepatah, “bangunan setinggi apa pun bergantung pada fondasinya.” Dan dalam organisasi modern, fondasi itu adalah kompetensi sumber daya manusia.
Sumber Artikel:
Swai, L. (2022). Development of a conceptual framework for enhancing payment practices in the UK construction industry (Doctoral dissertation, Coventry University).
Industry 4.0 & Manufaktur Digital
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 09 September 2025
Paper berjudul A Review on Machine Learning Techniques for Predictive Maintenance in Industry 4.0 karya Megha Sisode dan Manoj Devare (2023) hadir sebagai salah satu kajian penting dalam memahami bagaimana machine learning (ML) dimanfaatkan untuk predictive maintenance (PdM) di era Industry 4.0. Industry 4.0 sendiri adalah istilah untuk revolusi industri keempat, di mana sistem fisik dan digital saling terintegrasi lewat Internet of Things (IoT), big data, dan otomatisasi pintar. Di dalam konteks ini, PdM menjadi topik sentral karena berhubungan langsung dengan produktivitas, efisiensi biaya, serta keberlanjutan rantai pasok industri modern. Paper ini secara khusus berusaha menelaah metode PdM berbasis ML, sekaligus menawarkan pendekatan baru menggunakan Gated Recurrent Unit (GRU) yang dioptimasi dengan Whale Optimization Algorithm (WOA) dan Seagull Algorithm (SA), yang kemudian disebut sebagai Whale Seagull Optimization Algorithm (WSOA).
Predictive maintenance adalah metode perawatan yang berusaha memprediksi kapan suatu mesin atau peralatan akan mengalami kerusakan berdasarkan data sensor real-time dan historis. Pendekatan ini berbeda dengan reactive maintenance yang hanya memperbaiki mesin setelah rusak, atau preventive maintenance yang merawat mesin secara berkala tanpa melihat kondisi sebenarnya. PdM jauh lebih unggul karena mampu mengurangi downtime yang tidak terduga, menghemat biaya perbaikan darurat, dan memperpanjang umur mesin. Namun, penerapan PdM tidaklah sederhana. Tantangan muncul dari kualitas data yang buruk, data sensor yang tidak berlabel, masalah kelangkaan data kerusakan (data sparsity), serta kompleksitas data IoT yang berukuran besar dan berdimensi tinggi. Paper ini menyoroti masalah tersebut dan menawarkan model berbasis ML untuk menjawabnya.
Dalam pendahuluannya, penulis menekankan bahwa industri modern membutuhkan sistem pemeliharaan yang mampu menyesuaikan diri dengan tingkat otomatisasi tinggi. Contohnya ada pada industri otomotif, di mana sebuah mesin pembuat komponen (automobile part manufacturing machine) bisa menjadi titik krusial. Bila mesin ini berhenti akibat kerusakan mendadak, maka seluruh lini produksi akan terganggu dan kerugian finansial bisa mencapai jutaan dolar hanya dalam hitungan jam. Oleh karena itu, PdM menjadi solusi strategis yang semakin dicari.
Paper ini juga mengulas literatur sebelumnya. Misalnya, penggunaan Dynamic Bayesian Network (DBN) yang mampu memodelkan hubungan sebab-akibat dalam kerusakan mesin, atau pendekatan lambda architecture pada prognostics and health management (PHM) yang memanfaatkan dua lapisan penyimpanan dan pemrosesan data. Ada pula penggunaan Artificial Neural Network (ANN) dan Support Vector Machine (SVM) yang populer untuk memprediksi kondisi mesin. Penelitian di industri woodworking bahkan menggunakan model pohon keputusan untuk menghitung probabilitas kegagalan mesin, sementara penelitian lain mengandalkan Random Forest (RF) untuk mendeteksi perubahan perilaku mesin (concept drift). Peneliti juga menyebut penggunaan Long Short-Term Memory (LSTM) dan Recurrent Neural Network (RNN) untuk menghitung Remaining Useful Life (RUL), atau sisa umur pakai komponen. Meski banyak metode sudah dicoba, masing-masing punya kelemahan. LSTM misalnya sering menghadapi masalah long-dependency yang membuatnya butuh waktu pelatihan lebih lama dan daya komputasi lebih tinggi.
Motivasi utama penelitian ini adalah kebutuhan untuk menciptakan sistem PdM yang lebih efisien, akurat, dan mudah diimplementasikan di industri nyata. Reactive maintenance terbukti mahal dan berisiko, sementara preventive maintenance sering tidak optimal karena bisa saja perawatan dilakukan meski mesin masih berfungsi baik. Dengan PdM berbasis ML, penulis ingin menunjukkan bagaimana data sensor bisa dianalisis untuk mengidentifikasi pola kerusakan sebelum benar-benar terjadi, sehingga perawatan bisa dilakukan tepat waktu.
Metodologi yang diusulkan dalam paper ini menarik untuk dibahas secara mendetail. Proses pertama adalah data pre-processing, di mana data dari sensor mesin butt weld dibersihkan dari outlier, data kosong diisi ulang, dan data redundan dihapus. Tahap kedua adalah feature extraction menggunakan metode Supervised Aggregative Feature Extraction (SAFE). Metode ini lebih unggul dibanding teknik statistik biasa karena mampu menangkap keterkaitan antara variabel input berbasis waktu dengan output berupa kondisi mesin. Tahap ketiga adalah pembangunan prediction network berbasis GRU. GRU adalah varian dari RNN yang lebih ringan dibanding LSTM namun tetap mampu mengelola data sekuensial. GRU memiliki dua mekanisme gerbang (update gate dan reset gate) yang memungkinkan model untuk mempelajari ketergantungan jangka panjang dengan efisiensi komputasi lebih baik.
Tahap keempat yang menjadi kontribusi utama adalah optimisasi bobot jaringan menggunakan Whale Seagull Optimization Algorithm (WSOA). Whale Optimization Algorithm terinspirasi dari perilaku paus dalam berburu mangsa dengan bubble-net feeding, sedangkan Seagull Algorithm meniru pola spiral attack burung camar ketika menyerang mangsanya. Kedua mekanisme ini digabung untuk menghasilkan algoritma optimisasi yang lebih kuat dalam menjelajahi ruang pencarian global, sekaligus lebih cepat mencapai konvergensi. Dengan cara ini, GRU yang digunakan mampu bekerja lebih stabil, lebih cepat, dan lebih akurat. Tahap terakhir adalah decision output, yaitu hasil prediksi yang dipakai untuk menentukan jadwal maintenance mesin.
Hasil yang ditampilkan dalam paper menunjukkan bahwa model GRU + WSOA lebih akurat dibanding model LSTM tradisional maupun RNN standar. Penulis menyatakan bahwa model ini mampu mengatasi masalah long dependency dan memperbaiki kelemahan training time yang lama. Selain itu, framework ini lebih cocok digunakan dalam skala industri karena lebih efisien secara komputasi, sehingga tidak membebani sumber daya perusahaan. Meski demikian, paper ini tidak banyak menyajikan angka detail seperti root mean square error (RMSE) atau perbandingan akurasi dalam persentase, yang sebetulnya penting untuk memperkuat klaim.
Kalau dibawa ke dunia nyata, model ini punya relevansi besar. Dalam industri otomotif, kerusakan mendadak satu mesin bisa menghentikan seluruh lini produksi. Dengan PdM, perusahaan bisa mengatur maintenance tepat sebelum mesin benar-benar rusak. Hal ini tidak hanya mengurangi downtime, tapi juga menekan biaya spare part dan tenaga kerja yang biasanya membengkak ketika terjadi kerusakan besar. PdM juga meningkatkan keselamatan kerja karena potensi kecelakaan akibat mesin rusak mendadak bisa dihindari. Dampak lainnya adalah optimalisasi sumber daya manusia, karena teknisi tidak lagi harus melakukan inspeksi rutin tanpa arah, melainkan fokus pada mesin yang benar-benar berisiko rusak.
Namun, implementasi nyata tidak sesederhana yang dijelaskan di paper. Ada beberapa tantangan yang tidak banyak dibahas penulis. Pertama, investasi awal untuk IoT, sensor, dan infrastruktur data tidaklah murah, sehingga perusahaan kecil mungkin akan keberatan. Kedua, perusahaan membutuhkan tim data scientist yang mampu membangun, melatih, dan memelihara model ML. Ketiga, ada faktor manusia, di mana operator atau teknisi senior mungkin resistensi terhadap teknologi baru karena terbiasa dengan cara lama. Paper ini juga kurang membahas aspek Return on Investment (ROI), padahal itu sangat penting agar manajemen perusahaan yakin berinvestasi di PdM.
Secara akademis, paper ini memberikan kontribusi yang solid dengan memperkenalkan kombinasi GRU dan WSOA. Penulis berhasil menunjukkan bahwa pendekatan hybrid ini bisa mengatasi keterbatasan model-model sebelumnya. Tetapi, seperti yang sudah disinggung, kurangnya detail angka hasil eksperimen membuat klaim masih butuh pembuktian lebih lanjut. Kritik lain adalah cakupan penelitian masih terbatas pada satu jenis mesin (butt weld machine di industri otomotif). Untuk bisa diterapkan secara luas, model ini sebaiknya diuji juga pada industri lain seperti aerospace, konstruksi, atau energi, di mana mesin besar dan kritis juga sangat membutuhkan PdM.
Kesimpulannya, paper ini menegaskan pentingnya predictive maintenance dalam Industry 4.0. Konsepnya jelas: dengan memanfaatkan data sensor dan algoritma machine learning, perusahaan bisa mengurangi downtime, menghemat biaya, dan meningkatkan keberlanjutan produksi. Pendekatan GRU + Whale Seagull Optimization yang diusulkan menawarkan solusi yang lebih efisien dan akurat dibanding metode lama. Meski demikian, tantangan implementasi nyata seperti biaya awal, kesiapan SDM, dan resistensi budaya kerja masih perlu dipecahkan. Bagi dunia industri, penelitian ini bisa menjadi landasan awal yang kuat, tapi perlu ada studi lanjutan dengan data nyata berskala besar serta analisis biaya-manfaat yang konkret.
Paper ini dipublikasikan dalam prosiding ICAMIDA 2022, ACSR 105, pp. 774–783 oleh Springer dan bisa diakses melalui tautan resmi DOI berikut: https://doi.org/10.2991/978-94-6463-136-4_67.
Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025
Pendahuluan
Produktivitas adalah jantung dari efisiensi ekonomi dan industri konstruksi telah lama dituduh gagal menjaganya. Dalam artikel mereka yang diterbitkan pada Maret 2023 di Journal of Construction Engineering and Management, Asitha Rathnayake dan Campbell Middleton dari University of Cambridge menyajikan tinjauan sistematis literatur produktivitas konstruksi selama lebih dari tiga dekade. Artikel ini merupakan salah satu kajian paling komprehensif, menelaah 108 studi dari 10 jurnal terbaik. Resensi ini mengurai temuan utama dengan melakukan parafrase kritis, analisis tambahan, serta mengaitkannya dengan realita industri dan teknologi saat ini.
Mengapa Produktivitas Konstruksi Itu Penting?
Dengan kontribusi sebesar 13% terhadap PDB global dan menyerap sekitar 7% tenaga kerja dunia (Barbosa et al., 2017), sektor konstruksi adalah industri vital. Namun, data menunjukkan pertumbuhan produktivitasnya jauh tertinggal: hanya 1% per tahun dibandingkan 3,6% pada sektor manufaktur (Barbosa et al., 2017). Kesenjangan ini tidak sekadar persoalan angka, tetapi membawa konsekuensi nyata bagi keterjangkauan infrastruktur, ketahanan rantai pasok, dan efisiensi proyek.
Fokus Kajian dan Metodologi
Studi ini mengkaji produktivitas konstruksi dalam dua kerangka:
Makro (ekonomi nasional): menggunakan data dari lembaga statistik (BLS, OECD, KLEMS)
Mikro (tingkat proyek atau aktivitas): menggunakan data aktual dari lapangan atau estimasi biaya tenaga kerja
Pencarian data dilakukan via Scopus dengan 211 makalah awal, disaring menjadi 108 artikel relevan. Peneliti memetakan:
Tingkatan analisis (industri, proyek, aktivitas)
Indikator produktivitas (tenaga kerja, multifaktor)
Sumber data (data primer, database industri, estimasi manual)
Temuan Utama dan Analisis Tambahan
1. Tren Produktivitas Konstruksi Global
Salah satu mitos terbesar adalah produktivitas konstruksi menurun secara global. Studi menunjukkan:
Di AS, data BLS menunjukkan penurunan 0,3% per tahun dalam 35 tahun.
Namun, data manual estimasi seperti RSMeans menunjukkan peningkatan 1,2% per tahun (Goodrum et al., 2002).
Perbedaan metode deflasi (pengaruh inflasi) dan pencatatan jam kerja subcontractor menjadi penyebab utama ketidakkonsistenan.
Analisis Tambahan:
Tren ini menggambarkan kesenjangan antara persepsi makroekonomi dan realitas proyek. Dalam industri yang makin padat modal (capital-intensive), labor productivity menjadi indikator yang semakin lemah.
2. Indikator Produktivitas: Mana yang Akurat?
Labor productivity (output per jam kerja) adalah yang paling umum, tetapi sering menyesatkan karena tidak memperhitungkan kontribusi modal dan teknologi.
Multifactor productivity (MFP) mencakup tenaga kerja, peralatan, material, dan energi. Ini memberikan gambaran lebih holistik.
Kritik:
Karena keterbatasan data, MFP jarang digunakan di level mikro. Namun, penulis menyarankan penggunaan kombinasi indikator agar hasil lebih akurat.
3. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Dari 75 studi, faktor-faktor utama meliputi:
Tenaga kerja (keterampilan, motivasi, absensi)
Peralatan dan teknologi (ketersediaan, otomatisasi)
Tambahan Wawasan:
Data menunjukkan bahwa proyek dengan tenaga kerja lebih stabil dan supervisor berpengalaman cenderung memiliki produktivitas lebih tinggi. Ini sejalan dengan riset dari Jarkas & Bitar (2014) yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal di lapangan.
4. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas
Studi ini mengulas beberapa teknologi yang menjanjikan:
Offsite construction: Meningkatkan produktivitas hingga 5,5% per tahun di sektor industri (Eastman & Sacks, 2008)
Building Information Modeling (BIM): Meningkatkan produktivitas hingga 241% dalam satu kasus proyek instalasi pipa (Poirier et al., 2015)
RFID & GPS: Melacak material, mengurangi waktu pencarian hingga 87%
Automated Monitoring: Menggunakan AI dan sensor untuk melacak produktivitas secara real-time
Refleksi Industri:
Penerapan teknologi ini belum merata, terutama di negara berkembang. Namun, tren global menunjukkan arah yang positif.
Kritik Konstruktif dan Implikasi Riset
A. Kelebihan Kajian
Komprehensif: menggabungkan data lintas negara dan metodologi.
Menawarkan klasifikasi baru yang membedakan tingkat spesifikasi dan analisis.
Mengkritisi penggunaan indikator tunggal (labor productivity).
B. Keterbatasan
Masih dominan pada studi di AS (50 dari 108 studi)
Kurangnya database mikro di negara-negara berkembang
Hanya sedikit studi yang mengevaluasi dampak nyata dari teknologi
Studi Kasus Tambahan
Sebuah proyek pembangunan sekolah di Inggris (Jansen van Vuuren & Middleton, 2020) menunjukkan bahwa proyek dengan proporsi pre-manufactured value (PMV) tinggi memiliki produktivitas hingga 30% lebih besar (m2 per jam kerja). Ini menegaskan bahwa prefabrikasi adalah solusi nyata untuk menekan waktu dan biaya konstruksi.
Rekomendasi Praktis
Pemerintah: Dorong pengembangan database produktivitas mikro untuk kebijakan berbasis bukti.
Kontraktor: Kombinasikan BIM, prefabrikasi, dan pelatihan tenaga kerja untuk optimalisasi produktivitas.
Akademisi: Lanjutkan riset longitudinal terhadap produktivitas lintas sektor dan negara.
Kesimpulan
Rathnayake dan Middleton berhasil menyajikan peta besar produktivitas konstruksi global, lengkap dengan tantangan dan peluangnya. Artikel ini menekankan bahwa peningkatan produktivitas tidak bisa diukur dengan satu indikator semata, melainikan dibutuhkan pendekatan multidimensimenggabungkan teknologi, data mikro, dan pemahaman kontekstual proyek.
Sebagai catatan penutup, industri konstruksi akan sulit berevolusi jika terus mengandalkan indikator lama. Untuk mencapai revolusi produktivitas, seperti yang dibayangkan McKinsey, dibutuhkan sinergi antara data, desain, dan digitalisasi.
Sumber:
Rathnayake, A., & Middleton, C. (2023). Systematic Review of the Literature on Construction Productivity. Journal of Construction Engineering and Management. DOI: 10.1061/JCEMD4.COENG-13045
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025
Mengapa Proyek EPC Rentan Terlambat di Indonesia?
Proyek EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi andalan dalam pembangunan infrastruktur skala besar di Indonesia, terutama dalam sektor industri pupuk BUMN. Model ini menjanjikan efisiensi melalui paket kerja terintegrasi. Namun, janji manis ini seringkali tidak terealisasi. Studi Sarwani dkk. menunjukkan bahwa 90% proyek EPC pada periode 2010–2020 mengalami keterlambatan signifikan, meskipun praktik terbaik dari proyek sebelumnya telah diterapkan.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan penting: jika pendekatan EPC yang terintegrasi justru memicu keterlambatan, di mana letak masalahnya?
Metode dan Sampel: Representasi Nyata Dunia Proyek
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 67 responden kunci yang berasal dari pemilik proyek (BUMN dan anak perusahaannya), kontraktor EPC, serta konsultan desain. Lebih dari 76% responden memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun, dan hampir separuh adalah manajer proyek.
Dengan menggunakan Relative Importance Index (RII) dan Spearman Rank Correlation, peneliti mengidentifikasi 21 faktor penyebab keterlambatan yang dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: proyek, pemilik, kontraktor, desain, material, tenaga kerja, dan eksternal.
Sepuluh Penyebab Keterlambatan Paling Kritis
1. Keterlambatan Pengadaan Material dan Peralatan
Menempati peringkat pertama (RII 0.910), keterlambatan ini mengganggu jalur kritis proyek. Masalah seperti pergantian daftar produsen, masalah bea cukai, dan keterlambatan fabrikasi vendor menjadi akar penyebab.
2. Kesulitan Pembiayaan oleh Kontraktor
RII 0.896 mencerminkan bahwa banyak kontraktor yang bergantung sepenuhnya pada pembayaran progres. Jika progres lambat, dana macet, proyek pun tersendat.
3. Perencanaan dan Penjadwalan yang Tidak Efektif
Masalah ini menjadi penyebab klasik (RII 0.884). Jadwal kerja yang tidak realistis, ditambah kurangnya kompetensi perencana proyek, menyebabkan deviasi besar antara rencana dan realisasi.
4. Pemenang Tender adalah Penawar Terendah yang Tidak Layak
Ironi besar muncul ketika proyek diberikan kepada penawar 80% di bawah estimasi pemilik. RII 0.857 menunjukkan bahwa praktik “harga terendah” justru menjadi jebakan biaya dan kualitas.
5. Pekerjaan Ulang karena Kesalahan Konstruksi
RII 0.848. Rework terjadi karena kurangnya pelatihan dan pengawasan mutu. Biaya rework di proyek studi kasus mencapai 3,15% dari total nilai kontrak.
6. Komunikasi dan Koordinasi yang Buruk
Dalam proyek sebesar EPC, minimnya sistem komunikasi formal (bahkan hanya mengandalkan ingatan dan chat pribadi) menjadi penyebab salah paham antar pihak (RII 0.836).
7. Keterlambatan Desain Subkontraktor
Indonesia memiliki tingkat subkontrak yang tinggi dalam proyek EPC. Ketika subkontraktor tidak kompeten atau lambat menyelesaikan desain, seluruh proses mundur (RII 0.833).
8. Perselisihan dalam Pemahaman Kontrak EPC
Kontrak lumpsum sering kali disusun dalam waktu terbatas, dengan spesifikasi yang masih umum. Hal ini memicu sengketa saat proyek berjalan (RII 0.830).
9. Penentuan Durasi Kontrak yang Tidak Realistis oleh Pemilik
Manajemen proyek kadang ditekan untuk mengejar target politik atau kepentingan bisnis jangka pendek, memaksakan durasi tak masuk akal (RII 0.827).
10. Keterlambatan Keputusan Pemilik Terkait Perubahan Desain
Ketika pemilik lambat menyetujui perubahan atau resolusi konflik, proyek mandek (RII 0.815). Kerap kali pemilik harus konsultasi dengan pihak ketiga untuk menghindari konflik kepentingan, yang malah memperpanjang proses.
Analisis Tambahan: Apa yang Membuat Faktor Ini Berbahaya?
Faktor-faktor di atas, meskipun tampak teknis, memiliki implikasi luas. Misalnya, ketergantungan pada pembiayaan dari progres menyebabkan kontraktor kesulitan menalangi pekerjaan awal. Di sisi lain, sistem tender berbasis harga terendah mendorong kontraktor menekan biaya secara tidak sehat, yang berujung pada pekerjaan asal-asalan dan sengketa panjang.
Konsistensi Pandangan antar Pihak
Spearman Rank Correlation menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi antar pemilik, kontraktor, dan konsultan:
Korelasi pemilik–kontraktor: 99,3%
Korelasi pemilik–konsultan: 98,3%
Korelasi kontraktor–konsultan: 97,4%
Hal ini menunjukkan bahwa penyebab keterlambatan bersifat struktural dan tidak sekadar pandangan sepihak.
Perbandingan Internasional: Pola Global yang Mirip
Penelitian ini juga membandingkan temuan dengan negara berkembang lain seperti Vietnam, India, Bangladesh, dan Iran. Hasilnya, penyebab seperti perencanaan buruk, keterlambatan pembayaran, dan konflik desain juga menjadi masalah umum di negara-negara tersebut.
Rekomendasi Mitigasi Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia
Untuk Kontraktor:
Untuk Pemilik:
Untuk Konsultan:
Solusi Sistemik:
Opini dan Kritik: Apa yang Bisa Ditingkatkan dari Studi Ini?
Studi ini sudah sangat mendalam dalam identifikasi penyebab. Namun, beberapa catatan penting:
Meski begitu, data empiris dan metode kuantitatif yang digunakan cukup kuat sebagai dasar pembuatan kebijakan mitigasi risiko proyek di masa depan.
Kesimpulan: Saatnya EPC Indonesia Meninggalkan Paradigma "Murah Tapi Mahal"
Studi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar keterlambatan proyek EPC di Indonesia disebabkan oleh faktor internal yang bisa dikendalikan, bukan oleh kejadian eksternal seperti cuaca atau politik. Keberhasilan EPC memerlukan sinergi yang kuat antara perencanaan matang, komunikasi lintas aktor, pembiayaan yang sehat, dan sistem tender yang adil.
Apabila Indonesia serius ingin meningkatkan kinerja infrastruktur nasional, maka dibutuhkan pergeseran paradigma dari sekadar efisiensi biaya menjadi efisiensi keseluruhan proyek, dari hulu ke hilir. Dalam hal ini, studi Sarwani dkk. memberi kita peta jalan awal untuk menuju ke sana.
Sumber:
Sarwani, I. Baihaqi, & C. Utomo. (2024). Causes of Delay in EPC Projects: The Case of Indonesia. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 14(2). DOI:10.18517/ijaseit.14.2.19744
Teknologi & Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 09 September 2025
Dalam dunia industri modern, mesin adalah tulang punggung operasi. Sayangnya, mesin juga rentan gagal, dan kegagalan ini bisa bikin rugi besar, entah dalam bentuk downtime produksi, kerusakan finansial, atau bahkan dampak lingkungan yang tidak berkelanjutan. Paper ini fokus pada solusi praktis: bagaimana cara memprediksi kegagalan sebelum benar-benar terjadi. Alih-alih hanya mengandalkan satu metode, penulis mengusulkan pendekatan hibrida yang menggabungkan metode data-driven (berbasis data dengan algoritma machine learning) dan knowledge-driven (berbasis aturan dan pengetahuan pakar industri).
Tujuan utama dari penelitian ini bukan hanya meningkatkan akurasi prediksi, tapi juga membuat sistem yang lebih bisa dipercaya, lebih bisa dijelaskan (explainable), dan lebih berkelanjutan. Intinya, sistem prediksi ini nggak cuma pintar, tapi juga transparan dan ramah industri.
Latar Belakang: Dari Industry 4.0 ke Predictive Maintenance
Era Industry 4.0 membawa gelombang besar berupa data masif dari sensor, Internet of Things (IoT), dan sistem otomatisasi pintar. Tantangannya, data ini melimpah tapi seringkali nggak dimanfaatkan dengan baik.
Di sinilah predictive maintenance (pemeliharaan prediktif) masuk. Konsepnya sederhana: daripada nunggu mesin rusak baru diperbaiki (reactive maintenance) atau sekadar melakukan inspeksi rutin tanpa tahu kondisi riil mesin (preventive maintenance), predictive maintenance mencoba menebak kapan mesin bakal rusak sehingga tindakan perbaikan bisa dilakukan tepat waktu.
Ada tiga pendekatan besar di predictive maintenance:
Penulis menyoroti bahwa pendekatan murni data-driven bisa gagal memahami konteks industri, sementara pendekatan knowledge-driven aja kurang adaptif dengan data kompleks. Jadi, solusi hibrida jadi opsi paling masuk akal.
Tujuan Penelitian: Lebih dari Sekadar Akurasi
Objektif utama paper ini adalah membangun sistem prediksi kegagalan yang lebih akurat, lebih bisa dijelaskan, dan berkelanjutan. Fokusnya pada:
Metodologi: Arsitektur Sistem Hibrida
Penulis merancang sistem dengan beberapa tahapan utama:
1. Data Pre-processing
Data sensor dari unit produksi udara di kereta metro diproses dulu:
2. Model Data-Driven
Beberapa algoritma machine learning diuji:
Setiap model menghasilkan prediksi, tapi belum final.
3. Knowledge-Driven Rules
Prediksi model disesuaikan lagi dengan aturan berbasis pengetahuan pakar. Misalnya, kalau sensor menunjukkan pola X, meski model bilang “aman”, aturan bisa override hasil dan bilang “berisiko gagal”.
4. Explainable AI (XAI)
Untuk bikin model lebih transparan, dipakai teknik interpretabilitas:
5. Web Application
Sistem dilengkapi antarmuka:
Dataset: Kasus Metro do Porto
Dataset utama berasal dari Metro do Porto (Portugal). Data diambil dari unit produksi udara (air production units) pada kompresor kereta metro antara Februari–Agustus 2020.
Detail dataset:
Dataset ini sangat besar, sehingga tantangan utamanya ada di pre-processing dan pemilihan fitur relevan.
Hasil dan Validasi: Akurasi Hibrida Naik Drastis
Kinerja model dievaluasi dengan metrik: Precision, Recall, F1 Score, Accuracy, AUC.
Hasilnya:
Artinya, sistem jauh lebih andal dalam mendeteksi potensi kegagalan (tingkat recall tinggi berarti lebih sedikit failure yang terlewat).
Analisis Praktis: Apa Artinya untuk Industri
Dari sudut pandang praktis, hasil ini punya implikasi besar:
Kritik: Apa yang Bisa Ditingkatkan
Walaupun sistem hibrida ini kuat, ada beberapa catatan kritis:
Relevansi dengan Sustainable Development Goals (SDG)
Penelitian ini selaras dengan SDG 9 (Industry, Innovation, Infrastructure) dan SDG 11 (Sustainable Cities and Communities).
Kesimpulan: Hybrid is the Future
Paper ini membuktikan bahwa pendekatan hibrida—menggabungkan machine learning dengan pengetahuan pakar—bisa meningkatkan akurasi prediksi kegagalan secara signifikan. Dari F1 Score hanya 62–70% jadi 90%, ini lompatan besar.
Lebih jauh lagi, dengan tambahan Explainable AI, sistem nggak cuma “pintar”, tapi juga “transparan” dan bisa dipercaya. Hal ini krusial untuk adopsi industri, karena engineer butuh ngerti “kenapa model bilang mesin mau gagal”.
Kalau ditarik ke dunia nyata, pendekatan ini bisa dipakai di berbagai sektor: manufaktur, energi, transportasi, bahkan kesehatan. Intinya, masa depan maintenance industri ada di kombinasi manusia + data + AI.
Referensi Paper
Miguel Ramos Martins Rua Almeida. Hybrid Failure Prognosis Approach combining Data-Driven and Knowledge-Based Methods. Faculdade de Engenharia da Universidade do Porto, 2024.
Tautan resmi: [FEUP Repository / ICINCO 2024]
Banjir Bandang
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025
Pendahuluan: Ketika Banjir Datang di Tanah yang Harusnya Kering
Wilayah karst seperti Gunungkidul dikenal oleh minimnya permukaan udara, namun ironi muncul di Dukuh Tungu, Desa Girimulyo, ketika kawasan tersebut justru terendam banjir besar selama 4–7 hari akibat siklon tropis Cempaka pada akhir November 2017. Bencana ini bukan hanya langka, tetapi menyingkap sistem sedimen dan kerusakan ekologis di wilayah yang umumnya bersifat porus.
Dalam penelitiannya, Dian Hudawan Santoso berusaha menjawab tantangan banjir dengan pendekatan ecodrainage, yakni metode yang mengandalkan retensi dan infiltrasi alami untuk mengelola limpasan air hujan secara berkelanjutan. Lebih dari sekadar solusi artikel ini mengupas strategi penanggulangan banjir berbasis kerentanan multidimensi: lingkungan, fisik, sosial, dan ekonomi.
Kerentanan Banjir di Kawasan Karst: Temuan Penting
Penelitian dilakukan pada RT 06, RT 07, RT 08, dan RT 09 yang mencakup luas ±10,7 Ha. Melalui metode survei, pemetaan, kuesioner pada 65 responden, dan analisis matematis, tingkat kerentanan banjir dinilai berdasarkan empat aspek utama:
Hasilnya, keempat RT dinyatakan memiliki kerentanan banjir tingkat sedang , bahkan pada wilayah yang tidak tergenang. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman banjir tidak hanya terbatas pada ekosistem, tetapi juga kesiapan sistem sosial-ekologis.
Sumber Masalah: Ponor Tertutup dan Limpasan Tak Terarah
Salah satu penemuan kunci adalah tertutupnya ponor (lubang alami karst tempat air meresap ke dalam tanah), akibat pembangunan dan pengurukan oleh warga. Hal ini memperparah genangan karena air hujan tidak lagi memiliki jalan alami untuk meresap, melainkan terkumpul di cekungan, memperpanjang durasi banjir hingga >48 jam.
Solusi Teknologi: Ecodrainage sebagai Pendekatan Adaptif
Ecodrainage yang diterapkan menggabungkan tiga elemen kunci:
1. Kolam Retensi Berbasis Infiltrasi
Meski efisiensi infiltrasinya rendah, kolam ini tetap menjadi zona penyangga yang efektif dalam menahan limpasan langsung.
2. Saluran Air Hujan dengan Rorak dan Bak Pengumpul
Rorak meningkatkan daya serap lokal sekaligus memperlambat aliran udara, memberi waktu untuk infiltrasi.
3. Peninggian Lantai dan Vegetasi Halaman
Efisiensi Sistem: Seberapa Besar Dampaknya?
Hasil akhir menunjukkan bahwa kombinasi ecodrainage dapat mengurangi potensi banjir hingga 71,3% . Ini merupakan angka signifikan untuk wilayah karst dengan karakter tanah lempung yang biasanya sulit ditembus udara.
Pendekatan Non-Teknis: Sosial dan Pemerintahan
Sosial:
Pemerintahan:
Ketiadaan peran serta warga akan membuat infrastruktur mati suri.
Studi Banding dan Kritik
Pita:
Kritik:
Rekomendasi: Langkah Strategis Menuju Ketahanan
Kesimpulan: Teknologi Ramah Lingkungan untuk Daerah Rentan
Penelitian ini memberikan kontribusi besar dalam menunjukkan bahwa metode ecodrainage berpotensi menjadi alternatif solusi di wilayah karst seperti Dukuh Tungu. Banjir yang dahulu dianggap mustahil di wilayah kering pun kini bisa diatasi dengan sistem infiltrasi serta dukungan partisipasi komunitas yang tepat.
Namun, kehancuran sistem tidak hanya terletak pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran sosial dan komitmen institusi . Banjir adalah fenomena kompleks yang harus dihadapi dengan pendekatan sistemik dari bawah ke atas.
Sumber:
Santoso, DH (2019). Penanggulangan Bencana Banjir Berdasarkan Tingkat Kerentanan dengan Metode Ecodrainage pada Ekosistem Karst di Dukuh Tungu, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY . Jurnal Geografi, 16(1), 7–15.