Kondisi Kerja Buruh Migran di Proyek Konstruksi Denmark: Ketimpangan, Risiko, dan Harapan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

27 Mei 2025, 10.44

pixabay.com

Pendahuluan

Denmark dikenal sebagai negara maju dengan sistem kesejahteraan yang kuat. Namun, dalam laporan ilmiah “Migrants’ Work Environment in the Danish Construction Sector” (Overgård et al., 2023), tergambar realitas yang jauh dari ideal bagi buruh migran di sektor konstruksi. Dengan pertumbuhan pesat tenaga kerja migran—naik dua kali lipat dalam satu dekade terakhir—muncul ketimpangan signifikan dalam akses terhadap keselamatan kerja, hak, dan kondisi lingkungan kerja. Laporan setebal lebih dari 300 halaman ini menyajikan gabungan data kuantitatif dan kualitatif dari 84 pekerja migran dan 37 informan profesional, serta analisis dari berbagai data administratif nasional.

Latar Belakang dan Signifikansi Penelitian

Dalam periode 2013–2023, pekerja migran meningkat drastis dari 8.782 menjadi 25.014 di sektor konstruksi Denmark. Sebagian besar berasal dari Polandia (11.585 orang), Rumania (4.024), dan Lituania (2.741). Mereka mengisi posisi yang sering dianggap “3D” (dirty, dangerous, demanding) dan bekerja di lingkungan yang sangat berbeda dibandingkan pekerja lokal. Meskipun secara hukum memiliki hak yang sama, dalam praktiknya banyak pekerja migran:

  • Tidak mendapat pelatihan K3 memadai
  • Dipekerjakan dalam sistem subkontrak yang rumit
  • Tidak memiliki jaminan kerja yang stabil

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methods, melibatkan:

  • 84 wawancara mendalam dengan pekerja migran
  • 37 wawancara dengan profesional di bidang K3
  • Analisis 5 database administratif nasional, termasuk catatan kecelakaan kerja dan data tenaga kerja (CPR, RAS, LPR, EASY, BFL)

Pendekatan ini memungkinkan triangulasi data dan penelusuran hubungan antara etnisitas, jenis pekerjaan, status kontrak, dan frekuensi kecelakaan.

Hasil Penelitian Utama

1. Pekerja Migran Mendapat Beban dan Risiko Lebih Tinggi

Banyak migran ditempatkan pada pekerjaan kasar, berat, dan berbahaya seperti pembongkaran, pengangkutan, atau pembersihan puing. Mereka sering tidak diberikan pelatihan awal, alat pelindung yang layak, atau briefing keselamatan.

“Pekerja migran sering tidak tahu standar keselamatan Denmark karena informasi tidak diberikan dalam bahasa mereka.”

2. Kecelakaan Tinggi, Pelaporan Rendah

Berdasarkan analisis register:

  • Migran lebih rentan mengalami kecelakaan kerja serius.
  • Namun, tingkat pelaporan sangat rendah, karena:
    • Takut dipecat
    • Tidak tahu harus melapor ke mana
    • Kurangnya kepercayaan terhadap sistem

3. Ketidaksetaraan Struktural dalam Budaya K3

Budaya keselamatan yang berlaku hanya tercermin di permukaan. Dalam praktiknya, para buruh migran tidak dilibatkan dalam proses K3. Mereka juga tidak memiliki representasi dalam struktur AMO (organisasi keselamatan di tempat kerja).

4. Ketimpangan Gaji dan Waktu Kerja

Pekerja migran rata-rata:

  • Bekerja lebih dari 50 jam per minggu
  • Menerima upah di bawah standar Denmark
  • Mendapat tekanan untuk tidak mengambil cuti sakit meski terluka

Studi Kasus: Perbedaan Nasib Pekerja Lokal dan Migran

Seorang pekerja migran asal Polandia yang bekerja selama 3 tahun di Denmark melaporkan bahwa dia jatuh dari tangga di lokasi proyek, namun tidak melapor karena khawatir kehilangan pekerjaan. Hasilnya:

  • Tidak mendapatkan perawatan medis
  • Kembali bekerja dengan cedera
  • Tidak mendapatkan kompensasi

Sebaliknya, rekan kerja warga lokal yang mengalami insiden serupa dapat cuti penuh dan kompensasi dari perusahaan.

Analisis Kritis: Mengapa Sistem Ini Gagal untuk Migran?

1. Budaya Keselamatan Bersifat Normatif, Tidak Inklusif

Meskipun secara teoritis konsep safety culture dipraktikkan, dalam kenyataannya tidak ada upaya sistematis melibatkan pekerja migran dalam pembuatan kebijakan keselamatan.

2. Subkontrak Multilapis Menyulitkan Akses Keadilan

Banyak pekerja bekerja melalui agen tenaga kerja asing. Ini membuat:

  • Sulit menentukan siapa yang bertanggung jawab saat terjadi kecelakaan
  • Tidak ada sistem kontrol atau audit berlapis yang efektif

3. Hambatan Bahasa dan Sosial

  • Kurangnya materi keselamatan dalam bahasa ibu pekerja
  • Budaya organisasi yang tidak inklusif
  • Tidak adanya pelatihan lintas budaya untuk pengawas atau manajer proyek

Perbandingan Internasional dan Isu “Social Dumping”

Fenomena ini tidak unik di Denmark. Namun, laporan ini menguatkan dugaan terjadinya social dumping, yakni kondisi di mana buruh migran:

  • Diupah lebih rendah dari standar lokal
  • Tidak mendapatkan perlindungan hukum dan sosial yang layak
  • Dianggap hanya sebagai tenaga kerja, bukan manusia utuh

Rekomendasi dan Langkah Perbaikan

Penelitian ini mengajukan sejumlah solusi konkret:

  1. Peningkatan pelatihan K3 dalam bahasa yang dipahami pekerja migran
  2. Reformasi sistem subkontrak, agar lebih transparan dan bertanggung jawab
  3. Peningkatan representasi pekerja migran dalam struktur AMO
  4. Kampanye nasional untuk mendorong pelaporan kecelakaan tanpa takut sanksi
  5. Penyediaan tempat tinggal yang layak dan stabil, karena lingkungan hidup memengaruhi kesehatan kerja

Kesimpulan: Menuju Pekerjaan yang Layak (Decent Work)

Konsep decent work dari ILO menjadi relevan. Laporan ini menegaskan bahwa pekerjaan hanya bisa dianggap layak jika aman, adil, dan manusiawi. Pekerja migran membutuhkan:

  • Perlindungan hukum nyata, bukan hanya formalitas
  • Akses terhadap keadilan dan kompensasi
  • Keterlibatan dalam keputusan keselamatan
  • Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan

Ini bukan hanya isu etika, tapi juga keberlanjutan industri secara keseluruhan. Tanpa perbaikan menyeluruh, Denmark dan negara lain dengan ketergantungan tinggi pada tenaga migran akan menghadapi tantangan serius dalam hal ketimpangan sosial dan keberlangsungan tenaga kerja.

Sumber : Overgård, C. H., Jespersen, M., Høgedahl, L., Lund Thomsen, T., Sørensen, L. B., & Møller, N. B. (2023). Migrants’ work environment in the Danish construction sector. Centre for Labour Market Research (CARMA), Aalborg University.