Air Limbah
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 16 September 2025
Pendahuluan
Di Indonesia, jutaan penduduk tinggal di kawasan spesifik perairan seperti tepi sungai dan muara. Permukiman ini memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam hal sanitasi. Praktik buang air besar sembarangan dan minimnya pengelolaan limbah domestik menjadi masalah umum. Untuk menjawab isu ini, disertasi Dyah Wulandari Putri (2017) dari ITB menawarkan solusi berbasis Decision Support System (DSS) yang mempertimbangkan keberlanjutan dan kondisi spesifik kawasan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan DSS dalam pemilihan teknologi pengolahan air limbah domestik yang berkelanjutan dan kontekstual, dengan menggunakan studi kasus di Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang (permukiman sungai) dan Desa Sungsang, Banyuasin (permukiman muara).`
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap:
Hasil Temuan Lapangan
DSS sebagai Solusi Kontekstual
DSS yang dikembangkan mempertimbangkan tiga tahap seleksi:
Opsi Teknologi Terpilih
Dari DSS, teknologi unggulan adalah:
Studi Kasus & Angka Kunci
Analisis dan Kritik
Penggunaan DSS memberikan pendekatan sistematis dan adaptif. Namun, keterbatasan muncul dalam pemenuhan semua aspek keberlanjutan. Hal ini menandakan perlunya integrasi dengan kebijakan dan program infrastruktur lainnya. Selain itu, DSS ini membutuhkan data input yang cukup spesifik sehingga harus ada pelatihan penggunaan di tingkat lokal.
Kontekstualisasi dengan Tren Global
Solusi sanitasi berbasis DSS selaras dengan pendekatan global dalam urban sanitation management yang menekankan pada data-driven decision making dan pendekatan berbasis komunitas. Hal ini juga menguatkan agenda SDGs, terutama tujuan 6: Clean Water and Sanitation.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
Kesimpulan
Penelitian ini menekankan pentingnya pendekatan berbasis data dan kondisi lokal dalam memilih teknologi sanitasi. DSS terbukti mampu memberikan rekomendasi teknologi dengan memperhitungkan kompleksitas sosial dan fisik kawasan perairan. Walau model ini masih belum sempurna, kontribusinya tetap signifikan bagi pengembangan infrastruktur sanitasi berkelanjutan di Indonesia.
Sumber:
Putri, D.W. (2017): Strategi pengembangan infrastruktur air limbah domestik setempat untuk permukiman di kawasan spesifik perairan, Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung.
Budaya Air
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 16 September 2025
Pengantar: Sungai sebagai Entitas Sosial-Ekologis
Artikel “Understanding Rivers and their Social Relations” mendorong perubahan besar dalam paradigma pengelolaan air: dari pendekatan teknokratik ke pendekatan relasional dan kontekstual. Sungai dipahami bukan hanya sebagai objek hidrologis, tapi juga sebagai entitas hidup yang terkait erat dengan identitas, spiritualitas, dan kesejahteraan masyarakat.
Peralihan Paradigma: Dari Aliran Minimum ke Aliran Relasional
Konsep environmental flows awalnya dikembangkan untuk melestarikan fungsi ekologis sungai melalui penetapan debit minimum. Namun pendekatan ini kerap mengabaikan hubungan sosial-budaya antara masyarakat dan sungai.
Deklarasi Brisbane 2018 merevisi definisi ini menjadi lebih inklusif:
"...kuantitas, kualitas, dan waktu dari aliran air tawar yang diperlukan untuk mendukung ekosistem, budaya, ekonomi, dan kesejahteraan manusia."
Studi Kasus: Menyatukan Pengetahuan Lokal dan Kebijakan Air
1. Sungai Patuca, Honduras
Masyarakat adat Miskito dan Tawahka mengidentifikasi aliran ideal untuk transportasi, pertanian banjir, dan pemijahan ikan melalui pemetaan partisipatif dan wawancara lokal. Hasilnya: pemerintah menetapkan debit minimum musim kering berdasarkan rata-rata keluaran bendungan.
2. Sungai Ganga, India
Ganga bukan hanya sungai fisik, melainkan sungai spiritual. Kajian WWF India di Kumbh Mela 2013 memperkirakan debit optimal untuk ritual mandi dan kremasi: 200–300 m³/s. Pemerintah Uttar Pradesh akhirnya mengalokasikan debit tersebut sebagai bentuk penghormatan pada kebutuhan spiritual masyarakat.
3. Sungai Athabasca, Kanada
Suku ACFN dan Mikisew Cree memformulasikan konsep Aboriginal Base Flow (ABF) dan Aboriginal Extreme Flow (AXF) untuk mempertahankan aktivitas tradisional seperti memancing, berkebun, dan beribadah. Mereka menyatakan bahwa sungai adalah makhluk hidup dengan hak dan relasi dengan manusia.
4. Murray-Darling Basin, Australia
Konsep Cultural Flows menjadi platform masyarakat adat untuk menuntut hak legal atas aliran air demi kelangsungan budaya. Studi di Werai Forest menunjukkan pentingnya konektivitas antara air dan situs spiritual, yang tidak bisa dicapai hanya dengan analisis hidrologi konvensional.
5. Sungai Kakaunui dan Orari, Aotearoa (Selandia Baru)
Suku Māori menilai sungai menggunakan indikator budaya seperti mahinga kai (makanan tradisional), Wai Māori (air murni), dan hauora (kesejahteraan). Debit di bawah 350 L/s di Kakaunui dan 900 L/s di Orari dinilai merusak kualitas hubungan spiritual.
Kritik dan Refleksi: Keterbatasan Pendekatan Barat
Walau progresif, sebagian pendekatan masih mengandalkan metode teknis Barat dan pemisahan antara manusia dan alam. Banyak studi tetap menilai sungai dari perspektif jasa ekosistem, bagi masyarakat adat seperti suku Lumbee (Amerika), sungai adalah kerabat dan identitas kolektif, bukan hanya penyedia air.
Mengapa Personifikasi Sungai Penting?
Gerakan memberi status hukum pada sungai, seperti Sungai Whanganui (NZ) dan Ganga (India), mengubah logika pengelolaan:
Kesimpulan: Merancang Ulang Tata Kelola Air Secara Holistik
Artikel ini menyerukan agar tata kelola air lebih dari sekadar sains dan kebijakan ia juga harus mencakup spiritualitas, identitas, dan sejarah masyarakat. Dalam dunia yang kian terdampak krisis air, pengakuan terhadap nilai lokal dan relasi sosial dengan sungai menjadi kunci keberlanjutan dan keadilan.
Sumber Asli :
Boelens, R., Zwarteveen, M., Rusca, M., et al. (2022). Understanding rivers and their social relations: A critical step to advance environmental water management. WIREs Water, 9(1), e1381.
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 16 September 2025
Pendahuluan: Tantangan Global di Balik Pembangunan Fisik
Konstruksi bangunan adalah salah satu sektor paling krusial dalam pembangunan ekonomi, namun ironisnya juga paling rentan terhadap kegagalan proyek dan pembengkakan biaya. Artikel ilmiah dari Shakir Iqbal dkk. dalam Pakistan Journal of Humanities and Social Sciences (2024) menyajikan tinjauan mendalam terhadap faktor-faktor penyebab kegagalan proyek dan pembengkakan biaya dalam industri konstruksi gedung di Pakistan, menggunakan pendekatan mixed-methods yang menggabungkan survei dan wawancara ahli.
Dalam resensi ini, kita akan mengupas temuan-temuan utama dari paper tersebut, disertai dengan interpretasi dan studi kasus yang relevan dengan kondisi lapangan. Resensi ini juga menambahkan opini kritis, perbandingan global, serta solusi untuk memperkuat analisis yang aplikatif dan kontekstual.
Mengapa Proyek Konstruksi Gagal: Pandangan Makro dan Mikro
Faktor penyebab kegagalan proyek bukan sekadar hasil dari satu sumber tunggal. Penelitian ini mengidentifikasi lima penyebab utama yang dominan di Pakistan, yakni:
1. Desain buruk dan perubahan desain berulang
2. Birokrasi dan korupsi
3. Manajemen proyek yang lemah
4. Manajemen lokasi proyek yang tidak efektif
5. Kualitas bangunan yang rendah
Dengan skor tertinggi pada survei sebesar 3.83 dari skala 5, desain buruk dan perubahan desain berulang menjadi akar masalah utama. Hal ini senada dengan berbagai kasus di negara berkembang lainnya, seperti pembangunan apartemen di India yang mangkrak akibat revisi desain tanpa koordinasi dengan kontraktor.
Permasalahan desain bersifat teknis, administratif, dan struktural. Kerap kali keputusan perubahan desain datang dari pihak klien yang tidak memahami konsekuensi teknis maupun anggaran. Ketidaktegasan dalam dokumentasi desain serta kurangnya sistem validasi (design review) menjadi celah besar dalam proses konstruksi.
Studi Kasus: Proyek Flyover Lahore (2018)
Proyek jembatan layang di Lahore pada 2018 mengalami pembengkakan biaya hampir 28% dari estimasi awal, terutama karena kesalahan desain awal dan perubahan spesifikasi material. Kondisi tersebut menyebabkan proyek molor enam bulan dan menimbulkan protes publik. Ini mencerminkan temuan bahwa desain buruk bisa berdampak sistemik.
Di sisi lain, ketidakefisienan proyek sering kali diperburuk oleh ketidaktepatan pengambilan keputusan. Contoh nyata lain adalah proyek apartemen pemerintah di Karachi yang terhenti selama lebih dari setahun akibat perubahan desain arsitektur, tanpa revisi yang sepadan dalam manajemen anggaran dan jadwal.
Korupsi dan Birokrasi: Penghambat Tak Kasat Mata
Faktor birokrasi dan korupsi menempati skor tinggi (3.81), mencerminkan betapa pengadaan proyek seringkali dikaburkan oleh praktik nepotisme dan pungli. Transparansi kontrak dan integritas lembaga menjadi krusial. Proyek yang dikuasai oleh jaringan elite lokal kerap memprioritaskan kepentingan politik daripada efisiensi teknis.
Sebagai pembanding, sistem open contracting yang diterapkan di Kolombia berhasil menurunkan biaya pembangunan infrastruktur publik hingga 21% dengan meningkatkan keterbukaan data proyek. Transparansi digital, pelibatan publik, dan audit independen terbukti efektif untuk memitigasi biaya tersembunyi akibat korupsi.
Biaya Proyek Membengkak: Apa Penyebabnya?
Dalam aspek pembengkakan biaya (cost overrun), penelitian ini menyoroti lima faktor utama:
1. Perencanaan awal yang lemah (skor 4.05)
2. Ketidakstabilan ekonomi nasional (skor 3.99)
3. Situasi politik (skor 3.87)
4. Estimasi biaya proyek yang buruk (skor 3.86)
5. Kondisi cuaca buruk (skor 3.84)
Perencanaan awal yang lemah sering kali berkaitan dengan data awal yang tidak akurat, survei geoteknik yang terbatas, serta ketidaksiapan dalam pengelolaan risiko. Dampaknya, saat proyek berlangsung muncul banyak perubahan dan tambahan pekerjaan yang seharusnya sudah bisa diprediksi.
Kondisi ekonomi dan fluktuasi harga material juga memperparah situasi. Di Pakistan, seperti di banyak negara berkembang, nilai tukar mata uang yang tidak stabil dan inflasi tahunan membuat prediksi biaya jangka panjang menjadi sulit. Proyek yang memakan waktu lebih dari dua tahun rentan terhadap kenaikan harga besi, semen, dan upah buruh.
Analisis Wawancara: Validasi Lapangan dari Praktisi
Sebelas profesional dari berbagai latar belakang konstruksi di Pakistan diwawancara dan hampir semuanya sepakat bahwa:
adalah akar utama dari kegagalan proyek dan pembengkakan biaya. Responden juga menyatakan bahwa keterlambatan keputusan dari klien turut memperparah situasi, terutama dalam proyek pemerintah. Proyek yang tergantung pada anggaran tahunan juga sangat rentan tertunda jika alokasi dana tidak cair tepat waktu.
Salah satu responden dari perusahaan konsultan menyatakan bahwa proyek pemerintah sering gagal karena dokumentasi tender yang tidak lengkap dan peran konsultan yang dibatasi oleh birokrasi politik. Ini menunjukkan pentingnya desentralisasi teknis dan peningkatan otonomi manajerial pada proyek-proyek skala besar.
Pendekatan Mixed-Methods: Keunggulan dalam Riset Konstruksi
Salah satu kelebihan dari studi ini adalah penggunaan pendekatan campuran (kuantitatif + kualitatif), yang memberikan kedalaman dan konteks terhadap data survei. Hal ini menjadikannya lebih aplikatif di dunia nyata dibanding studi kuantitatif murni. Temuan kuantitatif yang diukur dari skor rata-rata diperkuat oleh narasi wawancara yang memperlihatkan tantangan lapangan secara langsung.
Metode seperti ini seharusnya menjadi model untuk studi manajemen konstruksi di negara berkembang, di mana dinamika sosial, politik, dan kelembagaan sangat berpengaruh terhadap hasil proyek.
Komparasi Global: Apakah Pakistan Unik?
Tidak sepenuhnya. Studi serupa di Malaysia, Nigeria, dan India menunjukkan pola yang hampir sama: lemahnya estimasi biaya, fluktuasi harga material, dan intervensi politik. Artinya, masalah ini bersifat universal, namun solusinya harus disesuaikan dengan konteks lokal.
Di Nigeria, misalnya, studi oleh Olatunji (2019) menunjukkan bahwa proyek yang melibatkan banyak pihak cenderung lebih sering gagal karena komunikasi yang tidak sinkron. Sementara itu, di India, pendekatan Public-Private Partnership (PPP) mulai banyak diterapkan untuk membagi risiko antara pemerintah dan swasta.
Solusi dan Rekomendasi Praktis
Penulis menyarankan beberapa langkah konkret untuk menekan risiko kegagalan proyek:
Selain itu, penulis merekomendasikan agar sistem pemantauan proyek dilakukan oleh lembaga independen agar lebih objektif. Penerapan ISO 21500 tentang project management juga disarankan sebagai standar acuan.
Opini Tambahan: Reformasi Kontrak dan Partisipasi Stakeholder
Dalam konteks proyek publik, penting untuk menyusun kontrak dengan sistem reward-penalty dan milestone-based payment agar semua pihak terdorong bekerja sesuai jadwal. Kontrak perlu menekankan transparansi, fleksibilitas teknis, dan sanksi terhadap keterlambatan atau kegagalan proyek.
Selain itu, keterlibatan komunitas pengguna akhir juga penting untuk menekan perubahan desain di tengah jalan. Partisipasi masyarakat dapat mencegah proyek tidak sesuai kebutuhan dan memperkuat legitimasi sosial proyek.
Penutup: Menuju Konstruksi yang Lebih Adaptif dan Transparan
Kegagalan proyek dan pembengkakan biaya adalah momok lama dalam industri konstruksi. Paper ini menyajikan peta penyebab yang mencakup aspek teknikal, struktural, dan politis. Dengan penguatan kapasitas manajerial, tata kelola proyek yang transparan, serta adopsi teknologi, industri konstruksi di Pakistan dan negara berkembang lain dapat menuju transformasi yang lebih positif.
Lebih penting lagi, studi ini menyadarkan kita bahwa kegagalan proyek bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dengan sistem yang lebih adaptif dan stakeholder yang lebih kompeten, proyek pembangunan dapat mencapai hasil maksimal: tepat waktu, tepat guna, dan tepat biaya.
Sumber Asli:
Iqbal, S., Nawaz, M. J., Hamza, A., Khan, H. A., Butt, M. M., & Maqsood, A. (2024). Analyzing the Causes of Project Failure and Cost Overruns in Building Construction Industry by Using a Mixed-Methods Approach. Pakistan Journal of Humanities and Social Sciences, 12(2), 1898–1916. DOI: 10.52131/pjhss.2024.v12i2.2311
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 16 September 2025
Kegagalan Konstruksi Bukan Semata Kecelakaan, Tapi Akumulasi Kesalahan Manajerial
Dalam dunia konstruksi, kegagalan proyek bukan hanya soal bangunan runtuh atau hasil yang mengecewaka. Artikel ini secara tajam mengungkap bahwa kegagalan konstruksi lebih dalam dari itu, kegagalan adalah cermin dari lemahnya sistem manajemen, ifensiensi penggunaan anggaran, serta lemahnya pengawasan internal yang memadai.
Amariza dan Mulya merancang studi ini sebagai refleksi kritis terhadap praktik manajemen proyek yang selama ini dianggap cukup “berjalan” karena proyek selesai, meski diwarnai banyak penyimpangan yang terabaikan.
Studi dengan Sudut Pandang Realistis dan Fenomenologis
Berbeda dari riset kuantitatif yang hanya berfokus pada angka semata, penelitian ini memanfaatkan pendekatan kualitatif fenomenologis. Observasi lapangan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen dilakukan secara langsung di lingkungan proyek konstruksi, untuk menelusuri alasan mengapa perusahaan tetap bertahan meskipun mengabaikan banyak prinsip dasar manajemen proyek.
Data dikumpulkan dari perusahaan konstruksi dengan usia lebih dari 39 tahun, yang menurut peneliti bertahan lebih karena kekuatan relasi bisnis dan portofolio proyek berlapis (portofolio simultan), bukan karena sistem internal yang kokoh.
Manajemen Operasional: Peran Penting yang Masih Diabaikan
Penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan konstruksi masih memandang manajemen operasional sekadar pelengkap, bukan fondasi. Lima fungsi utama yang semestinya dijalankan belum terlaksana secara maksimal:
Efisiensi: Penempatan pekerja tidak sesuai keahlian, jam kerja tidak terkontrol, dan pencatatan lembur yang longgar menimbulkan pembengkakan biaya gaji hingga melampaui batas Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Produktivitas: Pembelian material sering tidak sesuai dengan kebutuhan aktual. Kelebihan jumlah disebabkan oleh miskomunikasi antara bagian pembelian dan bagian lapangan. Biaya tak terduga seperti ongkos kirim dan biaya penyambungan bahan pun tidak diantisipasi.
Ekonomi: RAP (Rencana Anggaran Proyek) dibuat tanpa rincian item biaya tertentu seperti premi asuransi proyek. Ketidakakuratan ini menyebabkan proyek dibiayai secara ad-hoc, menimbulkan tekanan pada arus kas perusahaan.
Empat Fungsi Manajemen yang Masih Minim Implementasinya
1. Perencanaan (Planning)
Secara dokumen, perencanaan terlihat matang. Tapi di lapangan, pelaksanaannya tidak sesuai. K3LMP (Kesehatan, Keselamatan Kerja, Lingkungan, Mutu, dan Pengamanan) tidak diawasi secara aktif. Akibatnya, standar keselamatan sering dilanggar.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Struktur organisasi memang dibuat, tapi penempatan SDM tidak berdasarkan kompetensi. Bahkan, terdapat indikasi pembentukan struktur proyek demi kepentingan pribadi, seperti pengalihan laba hingga 45% secara tidak wajar dari laba seharusnya.
3. Kepemimpinan (Leading)
Aspek ini hampir absen. Tidak ada mekanisme formal untuk membina dan memotivasi staf. Komunikasi vertikal maupun horizontal minim, padahal ini adalah kunci dalam penyelesaian masalah proyek yang dinamis.
4. Pengendalian (Controlling)
Tidak ada tim pengawas khusus. Penyimpangan prosedur, pengeluaran tak terduga, dan deviasi progres proyek tidak terdeteksi sejak dini. Kontrol hanya dilakukan reaktif, bukan preventif.
Internal Control System (SPI): Komponen Vital yang Terabaikan
Salah satu sorotan penting dari studi ini adalah lemahnya penerapan Sistem Pengendalian Intern (SPI). Tanpa SPI yang berjalan, perusahaan tidak mampu menjamin keandalan laporan keuangan, efisiensi operasional, serta kepatuhan terhadap peraturan.
Konsekuensi dari lemahnya SPI adalah laporan keuangan yang tidak merefleksikan kondisi riil perusahaan. Hal ini berisiko menurunkan kredibilitas di hadapan mitra bisnis, bank, maupun investor.
Mengapa Perusahaan Bisa Bertahan Meski Banyak Kegagalan?
Peneliti menyebut bahwa perusahaan tetap eksis selama lebih dari tiga dekade karena dua hal:
Perusahaan mengelola 4–6 proyek sekaligus. Kerugian dari satu proyek ditutup dari keuntungan proyek lain. Praktik ini dikenal sebagai cross-subsidy, meski tidak sehat dalam jangka panjang.
Layanan yang responsif dan komunikasi informal yang intens menjadi kekuatan perusahaan dalam memenangkan kepercayaan klien, bahkan ketika pengelolaan internal tidak ideal.
Studi Kasus: Pembengkakan Biaya karena Kesalahan Sederhana
Salah satu contoh konkret dalam studi ini adalah pembelian material besi yang salah spesifikasi. Kondisi tersebut memaksa adanya proses pengembalian dan pengiriman ulang, yang pada akhirnya menimbulkan biaya transportasi tambahan di luar rencana anggaran pelaksanaan (RAP).
Kritik terhadap Praktik yang Ada: Strategi Bertahan atau Bom Waktu?
Meski pendekatan survival through relationship masih bisa berjalan dalam jangka pendek, praktik semacam ini tidak berkelanjutan. Risiko reputasi, inefisiensi berulang, dan potensi sengketa kontrak bisa meledak kapan saja. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan transformasi menyeluruh dalam sistem pengelolaan proyek.
Rekomendasi Kunci dari Penelitian Ini
Minimal terdiri dari personel audit internal, manajer lapangan, dan staf administrasi proyek yang rutin melakukan inspeksi.
Rotasi karyawan perlu berbasis kompetensi, bukan kedekatan atau loyalitas.
RAP harus menjadi dokumen hidup yang direvisi sesuai perubahan desain, harga bahan baku, dan kebijakan baru.
Pertemuan mingguan antardivisi wajib dilakukan untuk deteksi dini masalah.
Supplier yang tidak fleksibel atau tidak kooperatif perlu diganti untuk menjaga kelancaran pasokan.
Kesimpulan: Kunci Perubahan Ada pada Niat dan Aksi Serius
Penelitian ini memberi cermin bahwa banyak kegagalan proyek konstruksi bukan karena faktor eksternal seperti cuaca atau peraturan pemerintah, melainkan karena lemahnya tata kelola internal. Manajemen operasional yang dijalankan secara minimalis, tanpa pengawasan yang memadai, pada akhirnya berdampak langsung terhadap efisiensi biaya, kualitas hasil, dan kredibilitas perusahaan.
Jika perusahaan ingin bertahan tidak hanya karena relasi personal tetapi karena kompetensi profesional, maka reformasi manajemen harus dimulai dari sekarang. Transformasi menuju konstruksi modern dan berdaya saing membutuhkan perencanaan matang, pelaksanaan disiplin, serta evaluasi berkelanjutan.
Sumber:
Amariza, M., & Mulya, H. (2019). The Basic Aspects of the Failures Resulted in the Failure of the Construction. Scholars Bulletin, 5(11), 648–657. DOI:10.36348/sb.2019.v05i11.008
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025
Penelitian ini, berjudul "A roadmap to improve usage items to enhance the operational effectiveness of occupational safety and health management expense in Korean construction," menawarkan analisis yang mendalam dan berharga mengenai masalah kritis dalam industri konstruksi Korea Selatan: tingginya tingkat kecelakaan kerja meskipun ada regulasi biaya keselamatan dan kesehatan kerja (OSHE) yang ketat. Melalui metodologi yang cermat, para peneliti tidak hanya mengidentifikasi kelemahan dalam sistem saat ini, tetapi juga menyusun sebuah peta jalan praktis yang berpotensi merevolusi cara biaya OSHE dialokasikan dan dimanfaatkan.
Paper ini secara eksplisit berargumen bahwa meskipun Korea telah menetapkan OSHE sebagai biaya hukum independen yang diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan (MOEL), tingkat kecelakaan kerja dan fatalitas di sektor konstruksi tetap tinggi dan bahkan menunjukkan tren meningkat. Sebagai contoh, tingkat fatalitas per 10.000 orang meningkat dari 1,30 pada tahun 2015 menjadi 2,00 pada tahun 2020. Perbedaan yang signifikan ini (sekitar dua kali lipat dari rata-rata semua industri, yang pada tahun 2020 adalah 0,49 untuk tingkat kecelakaan kerja dan 0,50 untuk tingkat fatalitas) menunjukkan adanya disonansi antara regulasi dan efektivitas aktualnya.
Untuk mengatasi masalah ini, penelitian ini berfokus pada perbaikan item penggunaan OSHE, yang secara unik diatur dalam hukum Korea. Paper ini menyoroti bahwa studi-studi sebelumnya lebih banyak berfokus pada perbaikan tarif akuntansi dan transparansi penggunaan, namun kurang memperhatikan item-item itu sendiri. Padahal, industri kini menuntut perbaikan regulasi untuk mencakup item-item yang "tidak dapat digunakan" tetapi sangat efektif dalam pencegahan kecelakaan, serta integrasi produk keselamatan cerdas yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri Keempat.
Metodologi penelitian ini sangat sistematis. Pertama, peneliti mengumpulkan 57 item potensial yang membutuhkan perbaikan melalui tinjauan buku kuesioner MOEL dan wawancara pemangku kepentingan, dengan 79% item terkait fasilitas keselamatan dan alat pelindung diri. Kemudian, melalui konsultasi dengan delapan pakar industri yang memiliki rata-rata pengalaman 14 tahun, daftar ini disaring menjadi 34 item final. Data dikumpulkan melalui survei dari 536 pemangku kepentingan (84,89% adalah manajer keselamatan dari perusahaan konstruksi) menggunakan skala Likert 4 poin untuk mengevaluasi tingkat kepentingan (urgensi pengakuan) dan kinerja (efektivitas pencegahan kecelakaan) dari setiap item.
Temuan utama didasarkan pada Analisis Kepentingan-Kinerja (IPA), sebuah metodologi yang memetakan item-item ke dalam empat kuadran berdasarkan skor rata-rata kepentingan dan kinerja. Rata-rata kepentingan untuk item konvensional adalah 3,15 dan kinerja 3,31, sementara untuk produk keselamatan cerdas, kepentingannya 2,97 dan kinerjanya 3,12. Item yang jatuh di kuadran pertama (penting dan efektif) menjadi fokus utama. Secara keseluruhan, 16 item (7 konvensional, 9 produk cerdas) diidentifikasi sebagai prioritas utama untuk segera diperkenalkan. Temuan ini secara kuat menunjukkan adanya konsensus di antara para pemangku kepentingan bahwa jenis investasi ini sangat dibutuhkan dan berpotensi besar dalam mencegah kecelakaan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi signifikan. Pertama, ini adalah salah satu studi pertama yang secara komprehensif berfokus pada peningkatan item penggunaan OSHE, bukan hanya pada tarif atau transparansi akuntansi, mengisi kekosongan yang diidentifikasi dari studi-studi sebelumnya. Kedua, dengan menggunakan metodologi IPA, penelitian ini memberikan kerangka kerja yang solid dan berbasis data untuk pengambilan keputusan kebijakan. Pendekatan ini memungkinkan pemangku kepentingan untuk secara visual mengidentifikasi prioritas investasi dalam sumber daya yang terbatas, membedakan antara item yang perlu segera diimplementasikan dengan item yang memerlukan tinjauan jangka panjang.
Ketiga, studi ini secara eksplisit mengintegrasikan perspektif teknologi Revolusi Industri Keempat ke dalam manajemen keselamatan kerja, sebuah tren yang semakin relevan di seluruh dunia. Dengan memasukkan produk keselamatan cerdas seperti sistem deteksi area berbahaya dan rompi keselamatan dengan kantung udara ke dalam analisis, penelitian ini memvalidasi permintaan industri untuk mengadopsi inovasi. Terakhir, dengan menyajikan sebuah peta jalan yang terstruktur (jangka pendek, menengah, dan panjang), penelitian ini tidak hanya menyajikan temuan akademis tetapi juga instrumen kebijakan yang siap digunakan oleh pembuat kebijakan di Korea dan negara-negara lain dengan sistem manajemen keselamatan serupa. Peta jalan ini berfungsi sebagai model yang dapat direplikasi untuk memastikan alokasi dana yang efektif dan efisien untuk keselamatan pekerja.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya berharga, penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan dan meninggalkan pertanyaan terbuka untuk penelitian lanjutan. Salah satu keterbatasan yang diakui oleh penulis adalah sifat subjektif dari data yang dikumpulkan melalui IPA. Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengumpulkan data dari sampel besar dari berbagai pemangku kepentingan, persepsi terhadap "kepentingan" dan "kinerja" bisa bervariasi dan tidak selalu mencerminkan efektivitas nyata di lapangan.
Ini mengarah pada pertanyaan terbuka yang krusial bagaimana efektivitas item-item yang direkomendasikan ini dapat diverifikasi secara empiris di lingkungan nyata? Paper ini menyarankan perlunya pemantauan berkelanjutan setelah implementasi untuk memverifikasi tingkat kontribusi item-item tersebut dalam mencegah kecelakaan. Selain itu, pertanyaan mengenai dampak finansial masih menggantung. Penelitian ini mengakui bahwa memperluas item penggunaan tanpa meninjau ulang tarif akuntansi OSHE dapat menyebabkan kekurangan dana untuk fasilitas keselamatan esensial. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana model biaya yang diusulkan oleh studi ini dapat diterapkan dalam skala besar tanpa mengorbankan aspek keselamatan dasar.
Keterbatasan lainnya adalah fokus pada konteks Korea Selatan yang unik, di mana OSHE merupakan biaya hukum independen. Meskipun metodologi IPA dapat direplikasi, item-item spesifik dan regulasi yang melingkupinya mungkin tidak secara langsung berlaku di negara lain. Pertanyaannya adalah, bagaimana model ini dapat diadaptasi untuk pasar atau negara dengan sistem manajemen keselamatan yang berbeda, seperti yang mengintegrasikan OSHE ke dalam biaya proyek secara umum (seperti di AS atau Jepang)?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang dapat memajukan bidang ini:
Secara keseluruhan, penelitian ini tidak hanya berfungsi sebagai analisis kritis terhadap sistem manajemen keselamatan di industri konstruksi Korea, tetapi juga sebagai peta jalan yang berani dan visioner untuk masa depan. Dengan mengidentifikasi item-item penggunaan OSHE yang perlu segera ditingkatkan dan mengintegrasikan teknologi modern ke dalam kerangka regulasi, paper ini telah meletakkan fondasi yang kuat untuk kebijakan yang lebih efektif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi penelitian, kementerian pemerintah (seperti MOEL), perusahaan konstruksi, dan asosiasi industri. Kerja sama ini akan memastikan bahwa rekomendasi yang ada tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga praktis dan berkelanjutan di lapangan. Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang tidak bisa dilebih-lebihkan; setiap langkah kecil dalam meningkatkan item OSHE dapat berkontribusi besar pada penurunan tingkat kecelakaan dan menyelamatkan nyawa pekerja.
Baca paper aslinya di sini https://doi.org/10.2486/indhealth.2022-0008
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian berjudul "Benefits of implementing occupational health and safety management systems for the sustainable construction industry: a systematic literature review" karya Kineber et al. (2023) memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi terkini riset mengenai sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) di sektor konstruksi. Dengan menganalisis 104 artikel yang diterbitkan antara tahun 1999 dan 2023 dari database terkemuka seperti Scopus dan Web of Science, penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mengategorikan fokus utama dari studi-studi sebelumnya.
Temuan utama menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian (25.96%) berfokus pada manajemen SMK3, sementara topik implementasi juga cukup banyak diteliti (12.50%). Ini menunjukkan bahwa komunitas akademis telah berinvestasi besar dalam memahami bagaimana sistem-sistem ini diterapkan dan dikelola. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan hubungan kuat antara penerapan SMK3 dengan penurunan tingkat kecelakaan kerja, seperti yang diamati di Korea Selatan, di mana terjadi penurunan tingkat kecelakaan sebesar 67% setelah penerapan SMK3, dan tingkat kecelakaan fatal menurun 10,3% dari 2006 hingga 2011.
Studi ini juga secara eksplisit menyoroti data kuantitatif yang memperkuat argumennya. Misalnya, analisis 104 artikel yang ditinjau menunjukkan alokasi persentase topik yang jelas:
Distribusi ini secara deskriptif menggambarkan hubungan kuat antara fokus penelitian yang ada (manajemen, implementasi, model) dan area yang kurang terwakili (manfaat, kesadaran, indikator keselamatan). Selain itu, data geografis menunjukkan disparitas yang signifikan, dengan 61.54% studi dilakukan di negara berkembang dan hanya 38.46% di negara maju. Temuan ini secara tegas menunjukkan hubungan antara tingginya aktivitas konstruksi di negara berkembang dan tingginya perhatian penelitian di sana, namun juga menggarisbawahi perlunya transfer pengetahuan dan standardisasi praktik K3.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya signifikan, penelitian ini juga secara jujur mengakui keterbatasan dan kesenjangan yang ada dalam literatur yang ditinjau. Keterbatasan paling kritis adalah kurangnya data lapangan, survei, dan data klinis yang memadai mengenai insiden yang terjadi di industri konstruksi, sehingga sulit untuk mengautentikasi manfaat penerapan SMK3 secara komprehensif. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka tentang bagaimana cara terbaik untuk mengukur dan mengkuantifikasi manfaat tersebut di luar metrik yang umum seperti penurunan tingkat kecelakaan.
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa topik manfaat/signifikansi dari SMK3 hanya diwakili oleh 3.85% dari total studi. Persentase yang sangat rendah ini menandakan bahwa meskipun banyak penelitian berfokus pada bagaimana mengelola dan mengimplementasikan sistem ini, ada sedikit eksplorasi tentang mengapa sistem ini bermanfaat secara finansial dan operasional dalam jangka panjang, terutama dari perspektif keberlanjutan. Studi-studi yang ada cenderung melihat SMK3 sebagai masalah kepatuhan terhadap legislasi daripada sebagai metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan itu sendiri.
Kesenjangan lain yang diidentifikasi adalah kurangnya penelitian yang memadai pada:
Pertanyaan-pertanyaan ini menantang komunitas akademis untuk beralih dari deskripsi dan analisis ke studi yang berorientasi pada solusi dan kuantifikasi.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis untuk memperdalam pemahaman tentang SMK3 di industri konstruksi:
Penelitian ini harus melibatkan kolaborasi multidisipliner dan multi-institusi. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari negara berkembang dan maju untuk memastikan relevansi dan validitas global dari hasil yang ditemukan. Peneliti dari institusi di Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lain dengan industri konstruksi yang berkembang pesat harus berkolaborasi dengan universitas terkemuka seperti Queen's University Belfast dan Prince Sattam bin Abdulaziz University yang telah memimpin penelitian ini, untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk mentransfer pengetahuan yang sangat dibutuhkan.