Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025
Saya pernah gagal total merakit sebuah lemari dari IKEA. Rencananya sempurna: semua bagian ada, instruksi jelas. Tapi tiga jam kemudian, saya duduk di lantai, dikelilingi sekrup misterius dan pintu yang miring. Kegagalan kecil ini terasa personal. Rasanya seperti rencana yang matang di atas kertas hancur berkeping-keping saat berhadapan dengan kenyataan.
Sekarang, bayangkan frustrasi saya, lalu kalikan dengan miliaran dolar. Itulah yang terjadi di Ghana, di mana sebuah studi dalam disertasi doktoral menemukan bahwa sekitar 70% proyek konstruksi jalan mengalami penundaan signifikan, dan 52% mengalami pembengkakan biaya. Ini bukan lagi soal pintu lemari yang miring, melainkan soal sekolah yang tak kunjung jadi, rumah sakit yang tertunda, dan uang pajak yang menguap sia-sia.
Biasanya, solusi untuk masalah sebesar ini dicari di seminar-seminar mahal atau buku-buku teori. Tapi saya menemukan jawaban yang paling jujur dan mengejutkan di tempat yang tak terduga: sebuah disertasi doktoral karya Degraft Gyan Kwafo. Ia tidak berteori dari menara gading. Ia turun ke lapangan dan mewawancarai 10 manajer proyek kawakan di Ghana—orang-orang yang setiap hari berjuang menyelesaikan proyek jalan, jembatan, dan perumahan yang didanai pemerintah.
Dari percakapan mereka, muncul tiga rahasia yang mengubah cara saya memandang manajemen proyek. Ini bukan tentang software canggih atau metodologi rumit. Ini tentang strategi yang berakar pada realitas pahit, kecerdasan manusiawi, dan keberanian yang luar biasa.
Rahasia Pertama: Proyek Adalah Tentang Manusia, Bukan Sekadar Beton dan Baja
Bayangkan Anda mengelola tim proyek bukan seperti mandor yang meneriakkan perintah, tapi seperti pelatih tim juara. Pelatih terbaik tahu bahwa kemenangan tidak datang dari strategi di papan tulis saja, tapi dari kondisi fisik, mental, dan emosional setiap pemainnya. Para manajer di Ghana ini adalah pelatih-pelatih ulung.
Kesejahteraan Dulu, Produktivitas Kemudian
Di tengah ketidakpastian proyek, satu hal yang mereka pegang teguh adalah kesejahteraan tim. Ini bukan sekadar basa-basi, melainkan strategi inti. Seperti yang diungkapkan salah satu manajer, sebut saja PA, "Di Ghana, banyak manajer proyek tidak memikirkan kesejahteraan pekerja... Jika kesejahteraan tidak diurus, mereka bisa mogok, yang bisa menunda proyek.".
Kesejahteraan bagi mereka berarti tiga hal konkret:
Gaji Tepat Waktu: Ini bukan tugas administratif, melainkan fondasi kepercayaan. Menahan dana "tanpa perlu" adalah resep bencana. Di lingkungan di mana proyek bisa berhenti kapan saja karena masalah pendanaan eksternal, memastikan tim internal tetap solid adalah prioritas utama.
Keselamatan dan Perawatan: Mereka tidak main-main dengan keselamatan. Manajer PC menyediakan pusat P3K di lokasi, sementara Manajer PJ bahkan menanggung seluruh biaya rumah sakit jika ada pekerja yang cedera dan tetap membayar gaji mereka sampai pulih. PJ bahkan pernah memulangkan pekerja yang tidak memakai sepatu keselamatan, karena baginya, pencegahan adalah segalanya.
Hubungan Personal: Ini bukan sekadar hubungan atasan-bawahan. Manajer PH dan PI sengaja membangun hubungan baik agar para pekerja merasa nyaman berbagi masalah dan ide. PI bahkan mengakui, "Kami juga mendapat pengetahuan dari para tukang ini," yang menunjukkan adanya rasa saling menghormati dan alur komunikasi dua arah.
Fokus intens pada kesejahteraan staf bukanlah tindakan altruistik semata; ini adalah strategi mitigasi risiko tingkat lanjut. Dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian eksternal, seperti pendanaan pemerintah yang tidak bisa diandalkan, satu-satunya variabel yang bisa mereka kendalikan sepenuhnya adalah moral dan loyalitas tim mereka. Dengan menciptakan lingkungan internal yang sangat stabil—gaji tepat waktu, keselamatan terjamin, hubungan yang baik—mereka membangun tim yang tangguh dan mampu menahan guncangan dari luar. Mogok kerja karena gaji telat adalah kesalahan fatal yang tidak bisa mereka tolerir ketika harus berhadapan dengan penundaan dana yang di luar kendali mereka. Dengan kata lain, soft skills menjadi alat utama mereka untuk mengelola risiko-risiko yang paling keras.
Gula dan Garam Akuntabilitas
Tim yang sejahtera bukan berarti tim yang manja. Para manajer ini menerapkan sistem akuntabilitas yang adil namun tegas, seperti memberikan gula dan garam sekaligus.
Insentif (Gula): Penghargaan bukan hanya soal bonus. Manajer PA, misalnya, memberikan penghargaan bulanan untuk "pekerja terbaik" dan "perilaku terbaik." Hadiahnya bisa berupa barang atau uang. Ini adalah bentuk pengakuan publik yang sangat memotivasi.
Konsekuensi (Garam): Akuntabilitas ditegakkan tanpa pandang bulu. Manajer PF dan PD tidak ragu memotong gaji atau bahkan menghentikan kontrak jika menemukan kelalaian atau penundaan yang disengaja. Aturan mainnya jelas, dan semua orang tahu konsekuensinya.
🚀 Hasilnya luar biasa: Tim yang merasa dihargai secara proaktif mengatasi masalah, mengurangi risiko penundaan akibat faktor internal seperti mogok kerja atau kelalaian.
🧠 Inovasinya: Menggeser fokus dari sekadar "manajemen sumber daya manusia" menjadi "pembangunan benteng manusia" yang tangguh untuk menghadapi badai ketidakpastian eksternal.
💡 Pelajaran: Gaji yang telat satu hari bisa menunda proyek Anda satu bulan. Jangan pernah meremehkan fondasi kepercayaan dalam tim Anda.
Rahasia Kedua: Pertaruhan Terbesar Seorang Manajer Proyek
Setiap proyek besar pasti dimulai dengan rencana. Namun, apa yang terjadi jika sistem yang ada membuat rencana terbaik sekalipun menjadi mustahil untuk dieksekusi? Di sinilah para manajer di Ghana menunjukkan keberanian yang melampaui deskripsi pekerjaan mereka.
Fondasi yang Tak Terlihat
Tentu saja, semua dimulai dengan perencanaan yang baik. Ini adalah dasar dari semua manajemen proyek yang solid: membuat anggaran, mengalokasikan sumber daya, dan menyusun jadwal yang realistis. Para manajer ini melakukan semua itu dengan cermat. Mereka melalui proses tender yang kompetitif, melakukan riset awal untuk kebutuhan alat dan tenaga kerja, serta mengidentifikasi pemasok material yang bisa diandalkan. Namun, ada satu masalah sistemik yang tidak bisa dipecahkan oleh diagram Gantt secanggih apapun: pendanaan pemerintah yang seringkali macet.
Ketika Manajer Menggadaikan Rumahnya Demi Proyek Negara
Inilah bagian yang paling mengejutkan dari disertasi ini. Untuk mengatasi masalah dana pemerintah yang tidak menentu, banyak manajer mengambil langkah ekstrem: membiayai proyek negara dengan uang pribadi mereka.
Nasihat dari Manajer PC sangat lugas: "Jangan tunggu dana pemerintah sebelum Anda memulai proyek [jika ingin selesai tepat waktu].".
Namun, Manajer PJ memberikan gambaran yang lebih gamblang dan mengerikan tentang realitas di baliknya: "Serius, Anda harus punya dana. Kami mengambil pinjaman dari bank dan menggunakan rumah kami sebagai jaminan... Jika Anda tidak punya dana... Anda tidak bisa melakukannya.... Ketika Anda tidak punya dana dan membeli secara kredit, itu menggerus margin keuntungan Anda karena harga apapun yang diberikan, Anda tidak punya pilihan selain menerimanya.".
PJ bahkan menceritakan bagaimana ia terpaksa menerima peralatan listrik berkualitas rendah karena membelinya secara kredit. Ini adalah kompromi pahit: menjaga jadwal proyek tetap berjalan dengan mengorbankan kualitas jangka panjang.
Membaca ini membuat saya terdiam. Di satu sisi, ini adalah bukti dedikasi dan komitmen yang luar biasa. Para manajer ini mempertaruhkan segalanya, secara harfiah, demi menyelesaikan tugas mereka. Di sisi lain, ini adalah sebuah anomali sistemik yang mengerikan. Keberhasilan sebuah proyek infrastruktur publik seharusnya tidak bergantung pada apakah manajernya bersedia menggadaikan rumahnya. Ini adalah cerminan sistem yang rusak, yang memaksa individu untuk menjadi pahlawan hanya untuk menutupi kegagalan birokrasi.
Praktik ini secara fundamental mengubah deskripsi pekerjaan "Manajer Proyek" menjadi "Manajer Proyek sekaligus Pemodal". Risiko inefisiensi pemerintah dialihkan sepenuhnya dari negara ke pundak individu. Hal ini menciptakan hambatan masuk yang sangat besar bagi manajer-manajer berbakat yang mungkin tidak memiliki aset pribadi untuk dijadikan jaminan. Akibatnya, sistem ini mungkin secara tidak sengaja menyaring kandidat bukan berdasarkan keahlian manajerial, tetapi berdasarkan kekayaan pribadi. Ini adalah sebuah ironi yang tragis dalam upaya pembangunan nasional.
Rahasia Ketiga: Mata di Lapangan, Telinga di Komunitas
Setelah tim solid dan rencana (yang radikal) sudah ada, tantangan berikutnya adalah pengawasan. Di sini, para manajer di Ghana kembali menunjukkan kecerdasan mereka dengan memadukan metode klasik dan inovasi sosial yang brilian.
Kekuatan Kunjungan Dadakan (dan Panggilan Zoom)
Pengawasan langsung tetap menjadi kunci. Manajer PD dan PI menekankan pentingnya kunjungan mendadak ke lokasi. "Kami mengunjungi mereka tanpa memberitahu agar kami bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," kata PD. Strategi sederhana ini memastikan semua orang tetap waspada dan standar kualitas terjaga.
Namun, mereka juga adaptif. Di tengah pandemi COVID-19, teknologi menjadi penyelamat. Manajer seperti PA, PF, dan PI beralih ke panggilan video dan Zoom untuk memantau kemajuan. "Saya menggunakan panggilan video dan Zoom untuk memastikan saya bisa melihat apa yang sedang terjadi," jelas PA. WhatsApp juga menjadi alat komunikasi vital untuk koordinasi harian.
Ketika Warga Menjadi Pengawas Proyek
Inilah strategi yang paling unik dan kuat. Sadar bahwa mereka tidak bisa berada di semua tempat sekaligus, beberapa manajer memberdayakan pihak yang paling berkepentingan dengan keberhasilan proyek: masyarakat setempat.
Mereka secara aktif melibatkan para pemimpin lokal, seperti "para kepala suku, anggota dewan, dan komite unit," untuk ikut mengawasi jalannya proyek. Peran komunitas ini bukan pasif. Mereka menjadi mata dan telinga manajer di lapangan. Manajer PD berbagi sebuah kisah luar biasa: "Ada seorang penduduk desa [yang melaporkan] kontraktor menggunakan pasir yang salah, komunitas memberi tahu kami, dan kami bisa menyelesaikan masalahnya.".
Strategi ini lebih dari sekadar pengawasan gratis. Dengan mempekerjakan orang-orang dari komunitas tersebut, para manajer menciptakan "rasa memiliki" yang mendalam. Proyek itu bukan lagi "proyek pemerintah," melainkan "proyek kita bersama."
Ini adalah contoh cemerlang bagaimana modal sosial dapat digunakan untuk memecahkan masalah manajemen proyek. Dalam konteks di mana pengawasan formal mungkin terbatas atau rentan terhadap korupsi (seperti yang diisyaratkan oleh Manajer PE tentang mandor yang menerima suap), komunitas menyediakan lapisan pengawasan yang gratis, sangat termotivasi, dan sulit untuk dikorupsi. Para penerima manfaat utama dari proyek tersebut menjadi penjaga yang paling waspada. Praktik ini secara fundamental mengubah definisi "pemangku kepentingan" dari seseorang yang perlu Anda kelola menjadi mitra yang bisa Anda aktifkan.
Tiga Pertanyaan untuk Proyek Anda Berikutnya
Disertasi ini mengajarkan kita bahwa manajemen proyek yang hebat bukanlah ilmu eksakta yang dingin, melainkan sebuah praktik yang sangat manusiawi—seni menyeimbangkan empati, strategi yang berani, dan pengawasan yang adaptif.
Jadi, sebelum memulai proyek Anda berikutnya, entah itu meluncurkan produk baru, mengatur acara, atau bahkan merakit lemari, coba tanyakan pada diri Anda tiga hal ini:
Manusia: "Apakah tim saya merasa dihargai dan aman? Apakah saya sudah membangun 'benteng manusia' yang solid sebelum membangun apapun?"
Rencana & Risiko: "Apa 'dana pemerintah' yang telat dalam proyek saya? Di mana titik kegagalan sistemik yang paling mungkin terjadi, dan apakah saya punya rencana radikal (semoga bukan menggadaikan rumah!) untuk mengatasinya?"
Pengawasan: "Siapa 'komunitas' dalam proyek saya? Siapa yang paling diuntungkan dari keberhasilan ini, dan bagaimana saya bisa mengubah mereka dari penonton menjadi pengawas yang aktif?"
Wawasan ini hanyalah puncak gunung es. Jika Anda tertarik untuk memahami lebih dalam dinamika di balik temuan ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca disertasi aslinya.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025
I. Pencarian Saya akan Cetak Biru yang Lebih Baik
Saya pernah berdiri di depan sebuah proyek konstruksi besar di pusat kota, menyesap kopi pagi sambil mengamati kesibukan para pekerja. Namun, ada satu hal yang mengusik saya. Di sudut area proyek, sebuah kontainer raksasa terus-menerus diisi dengan tumpukan material yang tampak masih sangat layak: potongan kayu balok, sisa gulungan kabel, bahkan beberapa lembar papan gipsum yang hanya terpotong sedikit. Hati saya mencelos. "Pasti ada cara yang lebih baik," pikir saya. Tapi, seperti apa persisnya "cara yang lebih baik" itu?
Pertanyaan itu menghantui saya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya saya menemukan sebuah paper penelitian yang terasa seperti peta harta karun. Judulnya, "Sustainability in Construction Projects: A Systematic Literature Review," mungkin terdengar kering, tapi isinya adalah sebuah pencerahan. Para peneliti di baliknya tidak hanya memberikan opini; mereka memetakan seluruh lanskap pemikiran tentang konstruksi berkelanjutan.
Bayangkan para peneliti ini sebagai kartografer langit. Mereka mengumpulkan setiap studi penting tentang konstruksi berkelanjutan yang terbit sejak 2015, memperlakukannya seperti bintang di galaksi. Dengan perangkat lunak canggih, mereka menarik garis antara bintang-bintang yang membahas konsep serupa. Perlahan tapi pasti, tiga konstelasi atau gugusan ide raksasa mulai terbentuk—tiga pilar utama yang mendefinisikan seluruh alam semesta tantangan ini.1
Peta ini mengungkap sebuah konflik inti yang sering kita abaikan. Di satu sisi, industri konstruksi adalah mesin ekonomi global yang luar biasa, menyumbang 13% dari PDB dunia.1 Di sisi lain, ia adalah salah satu kontributor terbesar masalah lingkungan, bertanggung jawab atas 36% penggunaan energi global dan 39% emisi karbon dioksida ($CO_{2}$).1 Ini bukan sekadar soal menjadi "hijau"; ini tentang mendamaikan dua kekuatan dahsyat yang tampaknya saling bertentangan.
Dalam tulisan ini, saya akan mengajak Anda menjelajahi tiga "konstelasi" yang ditemukan para peneliti. Tiga pilar ini mengungkap rahasia-rahasia fundamental yang akan mengubah cara kita berpikir tentang membangun masa depan.
II. Wahyu Pertama: Jika Anda Tidak Bisa Menghitung Skornya, Anda Hanya Sedang Latihan
Gugusan ide pertama yang ditemukan para peneliti adalah tentang sesuatu yang terdengar mendasar, tapi ternyata sangat krusial: Evaluasi dan Pengukuran. Sebagian besar penelitian di bidang ini ternyata tidak fokus pada teknologi canggih, melainkan pada upaya untuk mendefinisikan dan mengukur apa arti "keberlanjutan" dalam sebuah proyek.1 Istilah-istilah seperti "indikator kinerja utama" (key performance indicators), "penilaian" (assessment), dan "kinerja keberlanjutan" (sustainability performance) menjadi pusat dari konstelasi ini.1
Ini membawa kita pada wahyu pertama: Apa yang tidak bisa diukur, tidak bisa dikelola.
Fitbit untuk Gedung
Bayangkan Anda ingin "menjadi lebih sehat". Tujuan itu terlalu kabur. Anda tidak akan masuk ke gym dan sekadar "berusaha bugar". Anda akan melacak kemajuan dengan angka-angka konkret: jumlah langkah, kalori yang terbakar, berat yang diangkat, jam tidur.
Para peneliti menemukan bahwa orang-orang terpintar di industri konstruksi sedang mencoba melakukan hal yang sama untuk proyek mereka. Mereka beralih dari janji-janji samar seperti "bangunan ramah lingkungan" ke metrik yang jelas. Mereka sedang menciptakan Fitbit untuk gedung.
Paper ini mengingatkan kita pada konsep klasik Triple Bottom Line—tiga pilar yang harus seimbang: ekonomi, lingkungan, dan sosial.1 Saya suka menjelaskannya seperti ini:
Ekonomi: Apakah proyek ini masuk akal secara finansial sepanjang siklus hidupnya, bukan hanya pada hari pertama peresmian?
Lingkungan: Apakah proyek ini mengurangi dampak buruk terhadap planet dalam hal energi, air, dan limbah?
Sosial: Apakah proyek ini meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang menggunakannya dan masyarakat di sekitarnya?
Pilar "sosial" sering kali menjadi yang paling abstrak, tetapi paper ini memberikan contoh nyata yang menusuk. Di Arab Saudi, investasi miliaran dolar dalam industri konstruksi ternyata tidak selalu menciptakan banyak lapangan kerja lokal atau mengembangkan keterampilan profesional.1 Akibatnya, terjadi ketidaksetaraan dan basis keterampilan nasional tidak berkembang. Ini adalah kegagalan sosial yang nyata, sebuah pengingat bahwa bangunan megah tidak ada artinya jika komunitas di sekitarnya tidak ikut terangkat.
Paradoks Pengukuran
Di sinilah letak sebuah pemahaman yang lebih dalam. Tantangan sebenarnya bukanlah menemukan satu metrik yang sempurna, melainkan menumbuhkan budaya bertanya dan berkomunikasi.
Para peneliti menyoroti berbagai sistem evaluasi yang sedang dikembangkan, mulai dari model akademis yang sangat kompleks hingga indeks yang lebih sederhana seperti CSIP (Composite Sustainability Index of a Project).1 Namun, mereka juga dengan bijak memperingatkan bahwa mereduksi keberlanjutan menjadi satu angka tunggal "berisiko kehilangan beberapa nilai esensial".1 Ini adalah sebuah ketegangan fundamental.
Bukti kuncinya datang dari studi kasus Scarborough Beach Pool di Australia.1 Kesuksesan proyek ini bukan hanya pada peringkat akhir "bintang 6" yang mereka raih. Kesuksesan sesungguhnya terletak pada proses—sebuah "tinjauan desain sementara" yang mengidentifikasi potensi untuk berbuat lebih baik. Dan yang terpenting, kemampuan tim proyek untuk mengomunikasikan kemenangan teknis tersebut (seperti pemanasan panas bumi dan penggunaan air hujan) dengan cara yang dapat dipahami dan dirayakan oleh publik.
Ini menunjukkan bahwa tujuan pengukuran bukan sekadar untuk menghasilkan rapor. Tujuannya adalah menyediakan informasi untuk membuat keputusan yang lebih baik selama proyek berlangsung, dan untuk menceritakan kisah yang menarik tentang nilai proyek tersebut setelah selesai. Fokusnya harus bergeser dari skor itu sendiri ke percakapan yang dimungkinkan oleh skor tersebut.
🚀 Gagasan Utamanya: Keberlanjutan bukanlah perasaan; ini adalah serangkaian hasil yang terukur. Sebelum memulai proyek, definisikan seperti apa "kemenangan" itu di seluruh lini ekonomi, sosial, dan lingkungan.
🧠 Nüansanya: Jangan terobsesi dengan satu skor tunggal. Gunakan metrik untuk memicu percakapan, menantang asumsi, dan menceritakan dampak sejati dari proyek Anda.
III. Tali Titian Manajer Proyek: Menyeimbangkan Anggaran Hari Ini dengan Planet Esok Hari
Jika gugusan pertama adalah tentang "apa" yang harus diukur, gugusan kedua menyelami "bagaimana" hal itu diwujudkan di lapangan. Konstelasi ini berpusat pada Manajemen Proyek untuk Keberlanjutan, dan ia mengungkap sebuah dilema yang dihadapi setiap praktisi.
Paper ini menyoroti adanya "ketegangan yang melekat" antara batasan proyek jangka pendek (waktu, biaya, ruang lingkup) dan tujuan keberlanjutan jangka panjang.1 Bayangkan Anda seorang manajer proyek. Anda dihadapkan pada dua pilihan: menggunakan material daur ulang yang lebih mahal dan butuh waktu pengiriman lebih lama, atau material standar yang murah, cepat, tapi tidak ramah lingkungan. Sementara itu, klien dan atasan Anda menuntut proyek selesai tepat waktu dan sesuai anggaran. Ini bukan pilihan teoretis; ini adalah pertarungan sehari-hari di lapangan.
Di sinilah saya menemukan temuan yang paling mengejutkan, sebuah bom waktu senyap dalam laporan ini. Para peneliti menunjukkan bahwa dua kerangka kerja manajemen proyek paling berpengaruh di dunia, PMBOK dan PRINCE2, ternyata "relatif diam mengenai pengelolaan keberlanjutan".1
Keheningan Kerangka Kerja
Ini adalah sebuah pengungkapan yang luar biasa. Artinya, "kitab suci" yang digunakan untuk melatih dan mensertifikasi jutaan manajer proyek di seluruh dunia tidak memberikan panduan yang memadai tentang salah satu tantangan terbesar di zaman kita. Paper ini juga menemukan bahwa jurnal-jurnal manajemen proyek terkemuka jauh lebih sedikit menerbitkan artikel tentang topik ini dibandingkan jurnal keberlanjutan, yang menandakan bahwa bidang ini tertinggal.1
Akibatnya, terciptalah sebuah kekosongan profesional. Seorang manajer proyek dinilai dan digaji berdasarkan kemampuannya mengelola "segitiga besi": waktu, biaya, dan ruang lingkup. Keberlanjutan sering kali dianggap sebagai tambahan, sesuatu yang "baik untuk dimiliki" tetapi bukan keharusan.
Maka, ketika konflik muncul—seperti pilihan material yang saya sebutkan tadi—sistem secara inheren dirancang untuk memprioritaskan segitiga besi. Mendorong pilihan yang berkelanjutan menjadi tindakan pemberontakan kecil terhadap kerangka kerja profesional yang sudah mapan. Ini menjelaskan mengapa paper ini kemudian menemukan bahwa "perilaku kewarganegaraan proyek" (project citizenship behavior)—inisiatif individu—menjadi sangat krusial.1 Sistemnya gagal, sehingga individu harus turun tangan untuk menyelamatkannya. Ini bukanlah model perubahan yang bisa diandalkan dalam jangka panjang.
Temuan ini adalah sebuah kritik halus namun tajam. Ini menunjukkan bahwa alat yang kita berikan kepada para pembangun masa depan ternyata terjebak di masa lalu. Ini seperti meminta seseorang untuk merakit mobil listrik otonom menggunakan buku manual perbaikan dari tahun 1980-an. Masalahnya bukan hanya pada proyek individu, tetapi pada seluruh sistem operasi profesi ini.
Ketika panduan resmi diam, para profesional harus mencari pengetahuan untuk diri mereka sendiri. Di sinilah pelatihan khusus menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan antara kerangka kerja yang usang dan tantangan modern. Kursus seperti yang ada di (https://diklatkerja.com) menjadi vital untuk membekali para manajer proyek dengan pola pikir dan alat yang tidak ada dalam panduan resmi.
IV. Arus Tak Terlihat: Apa yang Sebenarnya Mendorong Proyek Menjadi Lebih Baik
Gugusan ide ketiga dan terakhir adalah tentang Pendorong Konstruksi Berkelanjutan. Jika kita sudah tahu apa yang harus diukur dan memahami dilema yang dihadapi para praktisi, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang sebenarnya memotivasi perubahan?
Para peneliti mengidentifikasi berbagai faktor pendorong. Saya suka membayangkannya seperti arus di lautan.
Beberapa pendorong adalah arus permukaan—jelas, kuat, dan terlihat oleh semua orang. Ini adalah peraturan pemerintah, tuntutan klien untuk sertifikasi "bangunan hijau", atau standar seperti ISO 14000.1 Anda harus menavigasi arus ini.
Namun, analisis dalam paper ini mengungkap adanya arus yang lebih dalam, lebih kuat, dan sering kali tak terlihat: arus perilaku manusia di dalam tim proyek itu sendiri.
Pergeseran Kekuatan: Dari Atas ke Bawah Menjadi dari Bawah ke Atas
Secara konvensional, kita berpikir bahwa perubahan didorong dari atas: regulasi yang lebih ketat, permintaan pasar, atau mandat dari dewan direksi. Semua itu penting. Namun, paper ini memberikan porsi analisis yang signifikan pada dampak dari "perilaku proaktif individu" dan "hubungan interpersonal" di dalam tim.1
Para peneliti membuat klaim yang sangat penting: perilaku individu ini menjadi sangat penting terutama ketika indikator teknis saja tidak cukup untuk mencapai tujuan keberlanjutan. Artinya, kecerdikan, kolaborasi, dan inisiatif manusia adalah solusi terakhir yang menentukan keberhasilan.
Ini mengubah peran kepemimpinan secara fundamental. Tugas seorang manajer bukan lagi sekadar memastikan daftar periksa keberlanjutan tercentang (kepatuhan). Tugasnya adalah menciptakan kondisi di mana "perilaku menolong, kepatuhan berbasis proyek, mengambil alih tanggung jawab, dan inisiatif pribadi" dapat berkembang.1 Ini adalah pergeseran dari manajemen menjadi pemberdayaan. Ini tentang budaya, bukan hanya kontrol.
V. Membangun Fondasi Baru, Dimulai Hari Senin
Perjalanan kita melintasi peta penelitian ini telah mengungkap tiga wahyu fundamental yang mengubah cara kita memandang konstruksi berkelanjutan. Ini bukan lagi hanya tentang panel surya atau atap hijau. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam.
Mulai dengan Papan Skor: Jangan hanya bertujuan untuk menjadi "berkelanjutan". Tentukan apa yang akan Anda ukur. Kejelasan adalah langkah pertama menuju perubahan.
Akui Adanya Tali Titian: Sadari bahwa alat profesional kita mungkin tertinggal. Secara aktif, carilah pengetahuan dan kerangka kerja untuk menavigasi ketegangan antara tuntutan jangka pendek dan nilai jangka panjang.
Nyalakan Ruang Mesin: Pahami bahwa perubahan sejati datang dari bawah ke atas. Aset Anda yang paling berharga adalah budaya tim yang mendorong pemecahan masalah secara proaktif.
Ini mungkin terdengar besar dan kompleks, tetapi perubahan selalu dimulai dengan langkah kecil. Berikut adalah tiga pertanyaan yang bisa Anda bawa ke tempat kerja Anda, terinspirasi langsung dari temuan paper ini:
Terinspirasi oleh Gugus 1: "Jika kita harus membuat 'skor keberlanjutan' untuk proyek kita saat ini, tiga metrik apa yang akan kita pilih dan mengapa?"
Terinspirasi oleh Gugus 2: "Di mana letak ketegangan terbesar antara 'cara lama yang biasa kita lakukan' dan pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pekerjaan kita?"
Terinspirasi oleh Gugus 3: "Satu hal apa yang bisa saya lakukan minggu ini untuk mempermudah anggota tim menyarankan cara baru yang lebih baik dalam melakukan sesuatu?"
Tulisan ini hanya menggores permukaan dari detail luar biasa dalam penelitian ini. Ini adalah peta yang akan memberi lebih banyak hadiah bagi mereka yang mau menjelajahinya lebih dalam. Jika Anda siap melihat lanskap penuh dan menyelami datanya sendiri, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.
Pembangunan Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025
Saya pernah berjalan di sebuah gedung perkantoran baru yang megah. Semuanya sempurna. Dindingnya terbuat dari material daur ulang, lampunya hemat energi, dan di lobi, sebuah plakat berkilauan dengan bangga memamerkan sertifikasi BREEAM (Building Research Establishment Environmental Assessment Method) peringkat tinggi. Secara teknis, gedung ini adalah sebuah mahakarya keberlanjutan. Ia efisien, bertanggung jawab secara ekologis, dan dirancang untuk meminimalkan jejak karbonnya.
Tapi saat saya berdiri di atriumnya yang luas dan sunyi, saya merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah kekosongan. Gedung itu terasa seperti sebuah lagu yang dimainkan dengan presisi teknis sempurna tetapi tanpa emosi, atau makanan yang direkayasa secara molekuler tapi hambar. Semua notnya benar, tapi tidak ada jiwa. Tidak ada sudut untuk mengobrol santai, tidak ada ruang yang terasa mengundang komunitas, tidak ada denyut kehidupan manusia. Yang ada hanyalah efisiensi yang dingin dan steril.
Perasaan "ada yang kurang" itu menghantui saya. Bagaimana mungkin sebuah bangunan yang dicap sebagai puncak desain "berkelanjutan" terasa begitu tidak manusiawi? Jawaban atas kegelisahan saya ternyata ada dalam sebuah paper penelitian yang mengubah cara saya memandang arsitektur selamanya.
Sebuah Paper yang Membalik Cetak Biru Desain Berkelanjutan
Paper itu berjudul "Advancing Social Sustainability in BREEAM New Construction Certification Standards" oleh Anosh Nadeem Butt. Membacanya terasa seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang. Paper ini membuka mata saya pada konsep dasar yang sering kita lupakan: keberlanjutan sejati berdiri di atas tiga pilar, bukan hanya satu. Pilar-pilar itu adalah Lingkungan (Planet), Ekonomi (Profit), dan Sosial (Manusia).
Selama beberapa dekade, argumen utama paper ini adalah bahwa pilar "Planet" telah menjadi bintang utama. Kita telah menjadi ahli dalam mengukur kilowatt-jam yang dihemat, meter kubik air yang dikonservasi, dan ton limbah yang didaur ulang. Sistem sertifikasi seperti BREEAM, yang lahir pada tahun 1990, secara alami memprioritaskan metrik lingkungan yang terukur ini. Sejarah gerakan keberlanjutan modern itu sendiri dimulai dengan fokus pada krisis ekologis, seperti yang diperingatkan oleh laporan The Limits to Growth pada tahun 1972, yang membingkai masalah ini sebagai soal kelangkaan sumber daya.
Meskipun laporan-laporan selanjutnya seperti Brundtland Report pada tahun 1987 mulai memperkenalkan dimensi sosial dan ekonomi, DNA awal yang berfokus pada lingkungan ini sudah terlanjur tertanam dalam perangkat yang kita gunakan. Akibatnya, pilar "Manusia"—kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan bagi penghuni dan komunitas di sekitarnya—sering kali menjadi pemeran pembantu yang terlupakan.
Gedung "hijau" yang terasa hampa itu bukanlah sebuah kebetulan desain; itu adalah hasil logis dari sistem pengukuran kita. Kita telah membangun apa yang kita ukur, dan kita gagal mengukur apa yang benar-benar membuat sebuah bangunan terasa hidup. Paper ini tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan cetak biru tentang bagaimana kita bisa mulai mengukur—dan dengan demikian, membangun—jiwa sosial yang hilang itu.
Empat Kekuatan Super Sosial yang Hilang dari Gedung Kita
Inilah inti dari penemuan paper tersebut. Alih-alih mengusulkan perombakan total, Butt dengan cerdas mengidentifikasi celah-celah spesifik dalam kerangka BREEAM yang ada dan menunjukkan bagaimana kita dapat mengisinya. Ada empat "kekuatan super" sosial yang selama ini kita abaikan, yang dapat diintegrasikan ke dalam cara kita menilai bangunan.
Bukan Sekadar Gedung, Ini Rumah (Bahkan di Tempat Kerja): Pencarian Kepuasan Pengguna
Apa gunanya gedung yang super efisien jika orang-orang di dalamnya sengsara? Pertanyaan ini seharusnya menjadi inti dari setiap proyek desain. "Kepuasan Pengguna" lebih dari sekadar perasaan; itu adalah metrik keberhasilan yang krusial. Paper ini menunjukkan cara cerdas untuk melacaknya, bukan dengan menciptakan kategori baru yang abstrak, tetapi dengan menghubungkannya ke kredit BREEAM yang sudah ada dan sangat praktis.
Misalnya, apakah manajemen gedung memiliki rencana "Layanan Purnajual" (MAN 05) yang baik untuk menanggapi keluhan penghuni? Apakah ada "Pemantauan Energi" (ENE 02) yang transparan sehingga pengguna merasa berdaya? Apakah lingkungan sekitarnya "Aman dan Sehat" (HEA 07)? Ini adalah tindakan nyata yang secara langsung memengaruhi perasaan orang di dalam sebuah ruang.
🚀 Hasilnya luar biasa: Keberhasilan sebuah gedung bukan hanya tagihan listriknya, tetapi juga kesejahteraan penghuninya. Paper ini menunjukkan bagaimana BREEAM dapat melacak kebahagiaan pengguna dengan menghubungkannya ke kredit nyata untuk layanan purnajual, data energi yang transparan, dan ruang komunal yang aman.
🧠 Inovasinya: Alih-alih memperlakukan "kepuasan" sebagai perasaan yang tidak jelas, pendekatan ini memperlakukannya sebagai hasil rekayasa. Layanan purnajual yang baik dan lingkungan yang aman bukanlah sekadar fasilitas tambahan; mereka adalah fitur desain yang menghasilkan pengguna yang puas.
💡 Pelajaran: Kita perlu beralih dari merancang bangunan yang hanya berkinerja baik menjadi merancang bangunan yang membantu orang hidup dengan baik.
Manusia di Balik Pembangunan: Titik Buta Hak-Hak Pekerja
Di sinilah letak paradoks etis dari banyak diskusi keberlanjutan. Kita dengan cermat melacak jejak karbon sebatang baja, tetapi sering kali mengabaikan kesejahteraan orang yang memasangnya. Paper ini menyoroti titik buta ini: biaya manusia dari konstruksi.
BREEAM dapat mengatasi ini dengan memperluas definisi kredit yang ada. Misalnya, "Pengadaan Sumber Material Konstruksi yang Bertanggung Jawab" (MAT 03) seharusnya tidak hanya berarti kayunya bersertifikat FSC; itu juga harus berarti perusahaan pemasoknya memiliki praktik perburuhan yang adil. "Praktik Konstruksi yang Bertanggung Jawab" (MAN 03) harus secara eksplisit mencakup kesejahteraan dan keselamatan pekerja di luar kepatuhan minimum.
🚀 Hasilnya luar biasa: Huruf "S" dalam ESG (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) sering terlupakan di lokasi konstruksi. Paper ini mengidentifikasi celah besar dalam melindungi hak dan kesejahteraan para pekerja yang membangun masa depan "berkelanjutan" kita.
🧠 Inovasinya: Usulannya adalah menanamkan hak asasi manusia langsung ke dalam rantai pasokan dan kredit manajemen. Ini menjadikan tanggung jawab sosial sebagai bagian yang tidak dapat dinegosiasikan dari proses pengadaan dan konstruksi, bukan masalah SDM yang terpisah.
💡 Pelajaran: Bangunan yang benar-benar berkelanjutan tidak dapat dibangun di atas praktik perburuhan yang tidak berkelanjutan. Kesehatan bangunan dimulai dengan kesehatan dan martabat para pembangunnya.
Merancang untuk Hari Esok: Apa Warisan Arsitektur Kita?
Bayangkan membangun istana pasir yang indah tepat di tepi air—mengesankan hari ini, tetapi hilang besok. Banyak bangunan modern dirancang dengan pandangan jangka pendek yang mengejutkan. Keberlanjutan sejati adalah tentang membangun untuk keabadian dan kemampuan beradaptasi. Konsep ini disebut "Perencanaan Warisan" (Legacy Planning).
Paper ini menyarankan agar BREEAM dapat mendorong ini dengan memberikan penghargaan untuk "Perancangan untuk Daya Tahan dan Ketahanan" (MAT 05) dan, yang menarik, "Desain untuk Pembongkaran dan Adaptabilitas" (WST 06). Ini berarti memikirkan seluruh siklus hidup bangunan: Bisakah bangunan ini dengan mudah dialihfungsikan dalam 50 tahun? Bisakah komponennya didaur ulang alih-alih dihancurkan? Ini adalah tentang menjadi leluhur yang baik bagi generasi mendatang.
🚀 Hasilnya luar biasa: "Perencanaan Warisan" memastikan bahwa sebuah bangunan tetap menjadi aset berharga bagi generasi mendatang, bukan menjadi beban.
🧠 Inovasinya: Gagasan untuk memberi penghargaan pada "Desain untuk Pembongkaran" adalah revolusioner. Ini membingkai ulang sebuah bangunan bukan sebagai produk akhir, tetapi sebagai kumpulan material berharga sementara yang dapat digunakan kembali, yang secara fundamental mengubah hubungan kita dengan limbah dan keabadian.
💡 Pelajaran: Desain berkelanjutan bukan hanya tentang mengurangi dampak negatif kita hari ini; ini tentang menciptakan warisan positif dan adaptif untuk hari esok.
Saat Krisis Datang: Apakah Gedung Kita Siap?
Bagian terakhir yang hilang adalah "Perencanaan Tanggap Darurat". Pandemi dan peristiwa terkait iklim telah menunjukkan kepada kita bahwa bangunan adalah garis pertahanan pertama kita. Bangunan yang berkelanjutan juga harus tangguh.
Paper ini menghubungkan hal ini dengan kredit praktis seperti "Keamanan" (HEA 06), "Deteksi Kebocoran Air" (WAT 03), dan "Pencahayaan Eksternal" (ENE 03). Ini bukan hanya tentang kenyamanan; ini adalah komponen penting dari sistem yang menjaga orang tetap aman selama krisis.
Meskipun analisis paper ini brilian dan perlu, saya bisa membayangkan para manajer proyek menghela napas. Memetakan "respons darurat" ke kredit untuk "limbah operasional" (WST 03) terasa agak abstrak dan bisa jadi sulit diterima oleh tim yang fokus pada anggaran dan tenggat waktu. Ini menyoroti ketegangan klasik antara ketelitian akademis dan implementasi di lapangan. Di sinilah pekerjaan sebenarnya dimulai: menerjemahkan konsep-konsep vital ini ke dalam alur kerja proyek yang praktis. Untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, para profesional memerlukan panduan terstruktur, seperti prinsip-prinsip manajemen proyek yang diajarkan dalam (https://diklatkerja.com) yang komprehensif. Mengetahui apa yang harus dilakukan adalah satu hal; mengetahui bagaimana mengintegrasikannya dengan mulus adalah hal lain.
Membangun Jembatan, Bukan Hanya Tembok: Panggilan untuk Kolaborasi Baru
Kesimpulan paling kuat dari paper ini adalah bahwa untuk memecahkan masalah ini, kita memerlukan "kolaborasi transdisipliner". Sederhananya: arsitek dan insinyur tidak bisa melakukannya sendiri.
Ini adalah kritik mendasar terhadap struktur industri arsitektur, rekayasa, dan konstruksi (AEC) saat ini yang terkenal terkotak-kotak. Untuk merancang bangunan yang mempromosikan komunitas, Anda perlu berbicara dengan seorang sosiolog. Untuk menciptakan ruang yang meningkatkan kesehatan mental, Anda memerlukan masukan dari ahli kesehatan masyarakat. Untuk memastikan sebuah proyek melayani lingkungannya, Anda memerlukan seorang perencana kota.
Menerapkan rekomendasi paper ini tidak cukup hanya dengan menambahkan kredit baru ke BREEAM. Komposisi tim proyek dan alur kerja itu sendiri perlu dipikirkan ulang secara radikal. Masa depan desain adalah kolaboratif, dan ide-ide paling inovatif akan datang dari meruntuhkan silo-silo profesional.
Giliran Anda Menggambar Ulang Rencana
Pada akhirnya, pesan dari paper ini sederhana namun mendalam: nilai sejati sebuah bangunan tidak diukur dalam kilowatt yang dihemat, tetapi dalam kualitas kehidupan manusia yang didukungnya. Kita memiliki alat dan pengetahuan untuk membangun ruang yang baik bagi planet dan baik bagi manusia.
Paper oleh Anosh Nadeem Butt ini bukan hanya sebuah kritik; ini adalah cetak biru praktis tentang bagaimana memulainya. Ini adalah undangan untuk kita semua—arsitek, pengembang, perencana, dan penghuni—untuk menuntut lebih dari gedung kita. Bukan hanya cangkang yang efisien, tetapi rumah yang hidup dan bernapas untuk kemanusiaan.
Jika ini memicu sesuatu dalam diri Anda—rasa frustrasi dengan status quo atau inspirasi untuk proyek Anda berikutnya—saya sangat menganjurkan Anda untuk mendalaminya lebih lanjut. Baca penelitian aslinya. Bagikan dengan tim Anda. Mulailah percakapan.
Konstruksi & Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Insiden seperti terpeleset (slips), tersandung (trips), dan terjatuh (falls) merupakan penyebab kecelakaan kerja yang sering dianggap “remaja” dibanding kecelakaan besar, tetapi dampaknya signifikan — mulai dari cedera ringan hingga cedera berat, penurunan produktivitas, hingga beban biaya besar bagi perusahaan dan negara.
Dalam konteks konstruksi dan industri Indonesia — seperti proyek gedung bertingkat, pabrik, atau area publik yang sedang dibangun risiko tersebut sangat nyata. Sebagian besar slips & trips terjadi akibat kondisi lantai licin, barang/rintangan berserakan, pencahayaan buruk, atau perubahan level permukaan yang tidak terlihat.
Temuan ini penting untuk kebijakan karena:
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia selama ini lebih banyak berfokus pada kecelakaan besar atau kerja di ketinggian, padahal insiden seperti slips/trips/falls justru berfrekuensi tinggi dan memiliki dampak akumulatif signifikan.
Diperlukan kebijakan K3 yang memperkuat aspek preventif, seperti kondisi lantai, kelembapan, penataan jalur kerja, pencahayaan, pelatihan kesadaran bahaya, serta pengawasan rutin — bukan hanya persyaratan APD atau audit formal.
Pendekatan global menunjukkan bahwa negara yang berhasil menurunkan angka jatuh di tempat kerja menerapkan sistem pelaporan, analisis akar penyebab, dan desain lingkungan kerja yang lebih aman. Indonesia bisa mengambil pelajaran dengan memasukkan metrik untuk slips/trips/falls ke dalam regulasi SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi) nasional.
Sebagai contoh lokal, artikel “K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO” di Diklatkerja.com menyoroti bagaimana risiko terpeleset dan tersandung sering kali diabaikan padahal merupakan pemicu awal dari banyak cedera di proyek.
Selain itu, “Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah?” menekankan pentingnya reformasi sistem pengawasan di proyek-proyek publik agar tidak hanya berorientasi pada dokumentasi, tetapi pada praktik nyata di lapangan.
Dengan demikian, kebijakan publik perlu memperluas kerangka regulasi: mencakup kondisi fisik lokasi kerja (permukaan lantai, pencahayaan, jalur aman), pelatihan dan budaya kerja (kesadaran risiko kecil), serta sistem pengawasan dan pelaporan yang menyertakan jenis insiden ini agar intervensi dapat lebih tepat sasaran.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif bila ditangani:
Proyek yang rutin melakukan inspeksi jalur kerja, pemeliharaan lantai, dan pelatihan kesadaran hazard mengalami penurunan insiden slips/trips/falls hingga 30%.
Berkurangnya absensi atau cuti medis akibat cedera ringan meningkatkan produktivitas dan reputasi proyek.
Terbentuk budaya kerja “jalur aman” (clear walkway) yang meningkatkan kepuasan pekerja dan menurunkan kecemasan terhadap keselamatan.
Hambatan yang sering muncul:
Area proyek sering berubah layout, sehingga rambu, pencahayaan, dan jalur aman sulit diperbarui tepat waktu.
Banyak subkontraktor menganggap pelatihan hazard kecil sebagai “biaya tambahan”.
Kurangnya data atau indikator spesifik untuk slips/trips/falls membuat pengawasan tidak fokus pada jenis insiden ini.
Peluang:
Penerapan sistem digital pelaporan near-miss slips/trips untuk mendeteksi dan mencegah insiden besar sebelum terjadi.
Kolaborasi dengan lembaga yang menyediakan pelatihan terkait risiko mikro dan budaya keselamatan kerja.
Penggunaan checklist harian keselamatan untuk menilai kondisi jalur kerja, tangga, dan kabel sebelum kegiatan proyek dimulai.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Wajibkan sistem pelaporan internal untuk slips, trips & falls di setiap proyek besar dan laporan tahunan ke instansi K3 nasional.
Audit jalur kerja dan kondisi lantai dilakukan minimal setiap tiga bulan untuk memastikan area aman dari licin, rintangan, dan bahaya jatuh.
Pelatihan hazard kecil bagi pekerja baru dan supervisor, termasuk simulasi kondisi licin dan rintangan, serta briefing rutin.
Tata ulang jalur aman (clear walkways), kabel tertata, dan rambu hazard permanen sebagai syarat kontrak proyek publik.
Berikan insentif bagi proyek dengan nol insiden slips/trips/falls, seperti pengurangan premi BPJS Ketenagakerjaan atau penghargaan nasional Safe Work Path Award.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan K3 dapat gagal jika hanya menitikberatkan pada kecelakaan besar dan mengabaikan insiden kecil yang justru lebih sering terjadi. Tanpa pencatatan insiden ringan dan near-miss, pola risiko tidak akan terlihat jelas. Selain itu, budaya kerja yang masih mengutamakan kecepatan dan target fisik di atas keselamatan “langkah per langkah” menyebabkan risiko terus berulang.Kebijakan juga rawan stagnan jika tidak dilengkapi pengukuran hasil seperti tren penurunan insiden dan tindak lanjut terhadap temuan audit. Sebagaimana ditegaskan dalam artikel “Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah?”, keberhasilan manajemen K3 bukan hanya soal dokumen, tapi soal perubahan perilaku dan kepemimpinan di lapangan.
Penutup
Insiden slips, trips, dan falls mungkin terlihat sepele dibanding kecelakaan besar, tetapi sering menjadi pintu masuk bagi cedera serius, penurunan produktivitas, dan kerugian ekonomi.
Menjadikan pencegahan insiden ini bagian dari kebijakan K3 nasional berarti membangun ekosistem kerja yang tidak hanya patuh regulasi, tetapi juga berbudaya aman.
Melalui sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga pelatihan, Indonesia dapat memperkuat budaya keselamatan yang proaktif dan berkelanjutan di setiap proyek konstruksi dan industri.
Sumber Artikel
Muhammad Ezam Nurdin (2022). Safety in Construction Management (Thesis)
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian Safety in Construction Management (tahun recent) menegaskan bahwa penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di proyek konstruksi masih menghadapi kendala besar — terutama pada aspek manajerial, budaya keselamatan, pelatihan, dan pengawasan lapangan. Meskipun studi tersebut dilakukan dalam konteks global, temuan-temuannya sangat relevan bagi Indonesia yang tengah menjalankan banyak proyek gedung, tol, dan infrastruktur publik dengan skala besar.
Dari riset lokal yang dibahas di Diklatkerja dalam artikel seperti “Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan” ditemukan bahwa masih terdapat jurang antara regulasi dan praktik lapangan—pelatihan sering dianggap formalitas, pengawasan melemah, dan pekerja merasa kurang dilibatkan.
Lebih lanjut, dalam artikel “Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia” disebutkan bahwa teknologi dan perilaku kerja harus disinergikan untuk meningkatkan efektivitas K3 di proyek konstruksi.
Temuan ini penting karena menggambarkan bahwa kebijakan K3 tidak cukup hanya menetapkan regulasi — seperti kewajiban SMK3/SMKK, penyediaan APD atau instruksi kerja — tetapi harus memastikan bahwa implementasi di lapangan berjalan nyata: pelatihan dilakukan, supervisi aktif, pekerja dan manajemen saling berkomunikasi, dan budaya keselamatan terinternalisasi. Kebijakan publik yang efektif harus memperkuat seluruh rantai — dari regulasi, pelatihan, pengawasan, hingga budaya.
Bagi pembuat kebijakan nasional dan daerah, riset ini menjadi sinyal penting: sektor konstruksi yang menyerap tenaga kerja besar dan menangani infrastruktur publik harus dijadikan prioritas dalam reformasi K3. Temuan tersebut mendorong agar regulasi seperti Permen PUPR No. 21/2019 dan standar SMKK diperkuat dengan audit independen, pelatihan berkala, dan pengukuran metrik-hasil, bukan hanya paparan prosedur di atas kertas.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif:
Proyek konstruksi yang melakukan pelatihan K3 secara terstruktur, pembekalan manajemen risiko, dan supervisi rutin menunjukkan penurunan insiden kerja hingga sekitar 20–30%.
Keberadaan budaya keselamatan membuat pekerja lebih aktif mengidentifikasi bahaya, berpartisipasi dalam toolbox meeting, dan menggunakan APD secara konsisten.
Efisiensi proyek meningkat: keterlambatan dapat dikurangi karena gangguan akibat kecelakaan kerja menurun.
Hambatan utama:
Pelatihan K3 masih sering dianggap sebagai kewajiban administratif dalam tender, bukan sebagai investasi jangka panjang dalam budaya kerja.
Banyak kontraktor menengah atau lokal belum memiliki unit K3 atau instruktur bersertifikat, terutama di wilayah non-Jabodetabek.
Pengawasan berkala dan audit implementasi kurang; terdapat gap antara dokumen formal dan kenyataan lapangan.
Budaya kerja masih sangat produktivitas-oriented: target fisik dan waktu sering mengalahkan aspek keselamatan.
Peluang:
Pemanfaatan teknologi digital untuk pelaporan dan monitoring K3: misalnya sistem e-K3 atau aplikasi pelaporan insiden, yang sudah dirujuk dalam artikel “10 Aturan Keselamatan di Lokasi Konstruksi” sebagai bagian dari standar harian di lokasi kerja.
Kolaborasi antara pemerintah daerah, universitas teknik, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja untuk membentuk pusat pelatihan regional atau modul adaptif digital.
Integrasi modul K3 dalam kurikulum vokasi dan politeknik teknik sipil/kontruksi untuk memastikan generasi baru pekerja memahami keselamatan sejak awal kerja.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Audit Independen SMK3/SMKK untuk Semua Proyek Publik
Setiap proyek infrastruktur besar (gedung pemerintah, tol, jembatan) wajib menjalani audit eksternal K3 minimal dua kali per tahun, dengan laporan terbuka.
Sertifikasi dan Pelatihan K3 Wajib bagi Mandor dan Pekerja Lapangan
Mandor wajib memiliki Sertifikat Ahli K3 Konstruksi, dan pekerja baru wajib mendapat pelatihan K3 minimal 8 jam sebelum mulai pekerjaan.
Subsidi dan Dukungan Pelatihan K3 untuk Kontraktor Kecil
Pemerintah memberikan voucher pelatihan atau subsidi biaya pelatihan K3 bagi kontraktor skala kecil agar kesenjangan kompetensi di lapangan dapat diatasi.
Digitalisasi Sistem Pelaporan & Monitoring K3 Terpadu
Buat platform nasional yang memungkinkan pelaporan kecelakaan dan “nyaris kecelakaan” (near miss) secara real-time, yang terhubung ke BPJS Ketenagakerjaan dan kementerian terkait.
Insentif dan Penghargaan Proyek dengan Rekam Jejak Zero Accident
Proyek yang berhasil mencapai zero kecelakaan kerja selama satu tahun atau lebih mendapat penghargaan nasional dan pengurangan biaya jaminan pelaksanaan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan K3 meskipun kelihatannya kuat, berisiko gagal jika hanya berfokus pada kepatuhan administratif (compliance) tanpa memperhatikan komitmen budaya (commitment). Banyak perusahaan hanya mengejar dokumen SMKK/SMK3 atau sertifikat pelatihan agar memenuhi tender, tetapi pelaksanaan di lapangan tetap lemah.
Tanpa sistem monitoring yang transparan dan audit independen yang mengukur hasil nyata—seperti penurunan insiden, absensi, dan produktivitas maka kebijakan tetap akan stagnan. Artikel “Tinjauan Kritis dan Arah Riset Manajemen Keselamatan di Sektor Konstruksi” menunjukkan bahwa elemen seperti pelatihan reguler, manajemen anggaran untuk keselamatan, dan keterlibatan pekerja adalah faktor utama yang sering diabaikan.
Kebijakan bisa gagal bila tidak mempertimbangkan kondisi lokal seperti tenaga kerja informal, diversitas bahasa, dan akses pelatihan di daerah terpencil. Tanpa adaptasi terhadap kondisi real lapangan, regulasi akan sulit diterapkan secara efektif.
Penutup
Kajian ini memperkuat pentingnya manajemen K3 yang terintegrasi secara menyeluruh di setiap proyek konstruksi Indonesia — dari regulasi, pelatihan, pengawasan, hingga budaya keselamatan. Dengan pendekatan training-based prevention, digital monitoring, dan kolaborasi lintas-sektor antara pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja, Indonesia dapat membangun ekosistem konstruksi yang aman, produktif, dan berdaya saing global.
Sumber
Safety in Construction Management. (2022). Thesis.
Konstruksi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025
Prolog: Tambang Emas di Lokasi Proyek Sebelah Rumah
Beberapa bulan lalu, sebuah gedung tua di seberang jalan komplek saya dirobohkan. Setiap pagi, saya mendengar deru mesin ekskavator dan dentuman baja yang membentur beton. Pemandangannya, jujur saja, terasa brutal. Balok-balok baja raksasa yang bengkok dan berkarat ditumpuk seperti tulang belulang dinosaurus, menunggu diangkut truk entah ke mana. Pikiran saya sederhana: "Sayang sekali, semua itu jadi sampah." Puing-puing itu adalah simbol akhir dari sebuah siklus hidup, sebuah proses destruktif yang bising dan berdebu.
Itulah yang saya pikirkan, sampai saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian berjudul “Reuse of Steel in the Construction Industry: Challenges and Opportunities”.1 Awalnya saya skeptis. Apa yang bisa menarik dari dokumen akademis tentang baja bekas? Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguan. Halaman demi halaman, paper itu seperti memberikan saya kacamata baru. Pemandangan di seberang jalan itu—yang tadinya saya lihat sebagai kuburan material—berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang penuh harapan.
Paper ini bukan sekadar tulisan teknis. Ia adalah sebuah kunci yang membuka cara pandang baru. Ia membisikkan sebuah rahasia besar yang tersembunyi di balik puing-puing bangunan: tumpukan baja itu bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan awal dari cerita yang baru. Itu bukan sampah; itu adalah tambang emas urban yang menunggu untuk digali.
Angka-Angka yang Mengguncang: Kenapa Daur Ulang Saja Tidak Cukup
Mari kita jujur, sebagian besar dari kita merasa sudah cukup "hijau" dengan membuang sampah pada tempatnya dan mendukung daur ulang. Saya pun begitu. Tapi paper ini menampar saya dengan kenyataan yang lebih besar. Sektor konstruksi adalah salah satu monster emisi terbesar di planet ini. Bayangkan, industri ini menyumbang 37% emisi gas rumah kaca (GRK) global dan 36% dari total penggunaan energi.1 Artinya, dari setiap tiga gedung yang kita lihat, satu di antaranya adalah kontributor utama masalah iklim kita.
Yang lebih mengejutkan, sekitar 70% dari jejak karbon sebuah gedung baru—dikenal sebagai embodied carbon—dilepaskan di muka, bahkan sebelum gedung itu ditempati. Emisi ini berasal dari proses produksi material dan konstruksi itu sendiri.1 Ini seperti menghabiskan sebagian besar bahan bakar mobil hanya untuk keluar dari garasi.
Di sinilah letak miskonsepsi terbesar kita: daur ulang (recycling) vs. penggunaan kembali (reuse). Selama ini, kita menganggap daur ulang baja sudah merupakan solusi pamungkas. Tapi para peneliti dalam paper ini menunjukkan perbedaan fundamentalnya.
Saya coba jelaskan dengan analogi. Bayangkan Anda punya kalung emas dengan liontin berlian yang modelnya sudah ketinggalan zaman.
Daur Ulang itu seperti melebur seluruh kalung emas dan berlian itu di suhu tinggi, lalu mencetaknya menjadi cincin baru. Proses ini butuh energi yang sangat besar, dan mungkin kualitas emasnya sedikit menurun.
Penggunaan Kembali itu seperti melepas liontin berlian dari kalung lama dan memasangnya di cincin baru. Nilai inti (berliannya) tetap terjaga, dan energi yang dibutuhkan jauh lebih sedikit.
Baja struktural itu seperti berlian dalam analogi ini. Meleburnya kembali (daur ulang) memang lebih baik daripada menambang bijih besi baru, tapi tetap saja boros energi. Menggunakannya kembali secara langsung (reuse) adalah langkah paling cerdas dan ramah lingkungan.
Paper ini menyajikan data yang membuat saya terdiam sejenak:
🚀 Hasilnya luar biasa: Merancang struktur dengan elemen baja bekas dapat mengurangi dampak lingkungan hingga 63% dibandingkan dengan solusi yang menggunakan baja baru, bahkan yang sudah dioptimalkan bobotnya.1
🧠 Inovasinya: Emisi karbon dari baja bekas (reused steel) hanya sekitar 50 $kgCO_{2}e/t$. Bandingkan dengan baja primer dari proses tanur sembur (BF-BOF) yang bisa mencapai 2.500 $kgCO_{2}e/t$. Ini adalah penurunan emisi hingga 95%.1 Bahkan baja daur ulang pun emisinya masih jauh lebih tinggi.
💡 Pelajaran: Kita terlalu lama terjebak dalam pola pikir daur ulang. Padahal, penggunaan kembali adalah cara paling efektif untuk mempertahankan nilai material dan energi yang sudah tertanam di dalamnya.
Masalahnya, permintaan global akan baja tiga kali lebih besar dari ketersediaan baja bekas (scrap).1 Artinya, daur ulang saja tidak akan pernah cukup. Kita akan selalu butuh memproduksi baja primer yang boros energi. Satu-satunya cara memutus siklus ini adalah dengan mengurangi permintaan baja primer secara drastis, yaitu dengan menjaga baja yang sudah ada tetap beredar selama mungkin melalui penggunaan kembali.
Menghadapi Lima Raksasa: Rintangan di Jalan Menuju Ekonomi Sirkular
Jika penggunaan kembali baja begitu hebat, mengapa praktik ini tidak menjadi standar industri? Paper ini mengidentifikasi lima tantangan besar, yang saya bayangkan sebagai lima raksasa yang menghadang jalan kita menuju ekonomi sirkular sejati di dunia konstruksi.1
Rintangan #1: Seni Membongkar, Bukan Menghancurkan (Ketersediaan Material)
Raksasa pertama adalah kebiasaan. Industri demolisi modern telah berinvestasi besar-besaran pada peralatan dan metode untuk menghancurkan bangunan secepat mungkin. Kecepatan adalah uang. Sebaliknya, proses dekonstruksi—membongkar bangunan secara hati-hati untuk menyelamatkan material—jauh lebih lambat dan mahal.1 Tanpa insentif yang kuat, kontraktor demolisi tidak punya alasan untuk mengubah cara kerja mereka yang sudah efisien dan menguntungkan.
Rintangan #2: Peta Tanpa Legenda (Kurangnya Aturan dan Standar Desain)
Bayangkan Anda seorang insinyur yang diminta membangun jembatan menggunakan kayu dari sebuah kapal tua. Pertanyaan pertama Anda pasti: "Seberapa kuat kayu ini? Apa riwayatnya? Adakah standar yang menjamin keamanannya?" Ketidakpastian inilah raksasa kedua. Saat ini, belum ada standar universal yang harmonis untuk penggunaan kembali baja struktural. Meskipun sudah ada panduan seperti P427 di Inggris atau upaya standardisasi di tingkat Uni Eropa, para desainer dan arsitek masih ragu karena risiko dan ambiguitas hukum.1 Tanpa "peta" dan "legenda" yang jelas, mereka lebih memilih jalur aman dengan material baru yang bersertifikat.
Rintangan #3: Biaya Tersembunyi dan Jejak Karbon yang Terlupakan (Biaya Awal & Karbon Demolisi)
Saat ini, jejak karbon dari proses demolisi sebuah gedung tua dianggap sebagai bagian dari akhir siklus hidup gedung tersebut (Modul C). Gedung baru yang dibangun di atasnya memulai perhitungan karbonnya dari nol, seolah-olah lahannya bersih secara "karbon".1 Paper ini menyoroti proposal brilian dari RICS (Royal Institution of Chartered Surveyors) untuk memperkenalkan "Modul A5.1: Demolisi Pra-Konstruksi". Aturan ini akan memaksa proyek baru untuk "mewarisi" jejak karbon dari proses demolisi di lokasinya. Tiba-tiba, ada insentif finansial yang sangat kuat untuk menggunakan kembali material dari gedung lama demi mengimbangi "dosa warisan" karbon tersebut.
Rintangan #4 & #5: Sebuah Orkestra yang Butuh Dirigen (Memaksimalkan Material & Koordinasi Ekosistem)
Dua raksasa terakhir ini saling berkaitan. Agar dekonstruksi menjadi layak secara ekonomi, kita tidak bisa hanya menyelamatkan bajanya. Komponen lain seperti panel fasad, pelat lantai, dan lainnya juga harus diselamatkan untuk dijual kembali.1 Hal ini membutuhkan koordinasi yang luar biasa dari seluruh ekosistem konstruksi: pemilik gedung, arsitek, insinyur, kontraktor demolisi, pabrikator, hingga regulator. Saat ini, mereka semua bekerja dalam silo masing-masing, seperti sebuah orkestra tanpa dirigen.1
Kelima rintangan ini menciptakan lingkaran setan: tidak ada standar, jadi permintaan rendah. Permintaan rendah, jadi tidak ada insentif untuk dekonstruksi. Tanpa dekonstruksi, biaya tetap tinggi dan pasokan tidak menentu. Tanpa pasokan, tidak ada yang mau membuat standar. Dan seterusnya. Memecahkan lingkaran inilah tantangan sebenarnya.
Bukti dari Lapangan: Kisah Sukses yang Menginspirasi
Bagian paling menarik dari paper ini adalah ketika teori bertemu dengan praktik. Para penulis menyajikan beberapa studi kasus nyata yang membuktikan bahwa penggunaan kembali baja bukan hanya mimpi, tapi kenyataan yang menguntungkan.
Contoh lain yang menginspirasi adalah Sloane Square House, sebuah proyek renovasi kantor yang berhasil menggunakan 100% baja bekas untuk penambahan lantai baru. Kuncinya? Penggunaan perangkat lunak digital internal yang mampu mencocokkan stok baja bekas yang tersedia dengan kebutuhan desain secara real-time.
Ada juga proyek skala industri seperti Port of Dundee East Redevelopment, di mana pipa gas berlebih (surplus) dialihfungsikan menjadi tiang pancang untuk dermaga. Proyek ini berhasil menghemat 2.185 ton emisi karbon.
Studi kasus ini mengungkapkan sebuah benang merah: data adalah segalanya. Baik itu berupa gambar teknis lama, protokol pengujian yang ketat, maupun perangkat lunak canggih, informasi yang andal adalah yang mengubah sebatang baja bekas dari "sampah" menjadi "aset berharga".
Masa Depan Konstruksi: Saat AI Bertemu Palu Godam
Lalu, bagaimana kita bisa memecahkan lingkaran setan tantangan tadi dalam skala besar? Paper ini menawarkan visi masa depan di mana teknologi tinggi bertemu dengan industri berat.
Bayangkan drone terbang di atas lokasi demolisi, kameranya memindai setiap balok baja. Dalam hitungan menit, sebuah sistem kecerdasan buatan (AI) menganalisis gambar-gambar tersebut, secara otomatis mendeteksi korosi, kerusakan, atau jenis sambungan. Ini bukan fiksi ilmiah. Para peneliti telah mengembangkan model Convolutional Neural Network (CNN) yang dapat melakukan hal ini dengan akurasi 83% hingga 89%. Teknologi ini dapat secara drastis mengurangi biaya dan waktu inspeksi manual yang mahal.
Lebih jauh lagi, ada konsep Structural Digital Twin atau Kembaran Digital Struktural. Anggap saja ini seperti "rekam medis digital" untuk sebuah gedung. Sejak hari pertama dibangun, semua data tentang material, beban yang pernah dialami, dan kondisi lingkungan dicatat dalam sebuah model virtual. Ketika gedung itu akan dibongkar 60 tahun kemudian, kita tinggal membuka "rekam medis"-nya untuk mengetahui dengan pasti bagian mana saja yang "sehat" dan siap untuk digunakan kembali, tanpa perlu pengujian ekstensif.
Mewujudkan visi canggih ini, mulai dari dekonstruksi yang terencana hingga pemanfaatan teknologi AI, tentu saja bukan pekerjaan mudah. Ini membutuhkan pemimpin proyek yang tidak hanya paham teknis, tapi juga mampu mengorkestrasi ekosistem yang rumit dan mengelola risiko dengan cermat. Inilah mengapa keahlian dalam Manajemen Proyek Konstruksi menjadi sangat krusial, menggabungkan prinsip-prinsip efisiensi dengan wawasan pembangunan berkelanjutan yang visioner.
Catatan Pribadi: Antara Optimisme dan Realisme
Setelah selesai membaca paper ini, saya dipenuhi oleh optimisme yang berdasar. Ini bukan sekadar seruan "selamatkan bumi" yang abstrak. Paper ini menyajikan peta jalan yang konkret, didukung oleh data, studi kasus, dan solusi teknologi yang masuk akal. Ia menunjukkan bahwa perubahan menuju industri konstruksi yang lebih sirkular tidak hanya mungkin, tetapi juga menguntungkan.
Namun, saya juga ingin bersikap realistis. Ada satu kritik halus yang muncul di benak saya. Paper ini, dengan studi kasus dan standar yang dirujuk, sangat berfokus pada konteks Eropa, khususnya Inggris. Pertanyaannya, seberapa mudah solusi ini bisa diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia? Di sini, kita mungkin menghadapi tantangan yang berbeda terkait regulasi, rantai pasok yang belum matang untuk material bekas, dan tingkat adopsi teknologi digital yang bervariasi. Selain itu, meskipun AI terdengar menjanjikan, pengembangannya membutuhkan dataset gambar yang besar dan berkualitas untuk melatih modelnya—sebuah tantangan tersendiri di tahap awal.
Meskipun begitu, kritik ini tidak mengurangi nilai dari paper tersebut. Justru, ia menjadi pemicu untuk pertanyaan selanjutnya: bagaimana kita bisa mengadaptasi dan mengontekstualisasikan gagasan-gagasan brilian ini untuk kondisi lokal kita?
Epilog: Dari Puing Menjadi Fondasi Masa Depan
Sekarang, setiap kali saya melihat lokasi proyek di seberang jalan, pandangan saya sudah berubah total. Saya tidak lagi melihat tumpukan sampah atau mendengar suara kehancuran. Saya melihat sebuah tambang urban. Saya melihat balok-balok baja bukan sebagai rongsokan, tetapi sebagai fondasi untuk gedung berikutnya, jembatan berikutnya, atau gudang berikutnya.
Paper ini mengajarkan saya satu hal penting: salah satu tindakan iklim paling berdampak yang bisa dilakukan oleh industri konstruksi adalah dengan melihat kembali apa yang sudah kita miliki. Bukan dengan menciptakan material "hijau" baru yang canggih, tetapi dengan menghargai dan menggunakan kembali material tangguh yang sudah terbukti kekuatannya selama puluhan tahun.
Perubahan ini membutuhkan pergeseran paradigma dari semua pihak. Bagi para profesional di industri, ini adalah panggilan untuk berinovasi dan keluar dari zona nyaman. Bagi kita sebagai masyarakat, ini adalah ajakan untuk mengubah cara kita memandang "sampah" dan menuntut praktik pembangunan yang lebih bertanggung jawab.
Perjalanan menuju ekonomi sirkular memang masih panjang dan penuh tantangan. Tapi seperti yang ditunjukkan oleh paper ini, langkah pertama dimulai dengan sebuah kesadaran sederhana: bahwa di dalam setiap akhir, selalu ada awal yang baru.
Jika Anda tergelitik oleh gagasan ini dan ingin mendalami detail teknisnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca karya aslinya.