Risiko Iklim

Kolaborasi Riset, Industri, dan Pemerintah dalam Mengurangi Risiko Longsor di Norwegia: Studi Kasus Inovasi Klima 2050

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025


Menghadapi Tantangan Iklim Global melalui Kolaborasi Nasional

Dalam menghadapi risiko bencana yang semakin kompleks akibat perubahan iklim, Norwegia menunjukkan pendekatan inovatif melalui kolaborasi lintas sektor dan disiplin ilmu. Paper “Landslide Risk Reduction Through Close Partnership Between Research, Industry, and Public Entities in Norway: Pilots and Case Studies” oleh Solheim dkk. (2022) mengangkat inisiatif riset nasional bernama Klima 2050, yang menargetkan adaptasi iklim terhadap risiko tanah longsor melalui pilot project berbasis kemitraan.

Perubahan iklim telah meningkatkan curah hujan ekstrem di Norwegia sebesar 18% sejak tahun 1900, dan diproyeksikan meningkat hingga 18% lagi hingga akhir abad ini. Hal ini memperbesar frekuensi kejadian longsor, banjir, dan erosi yang mengancam infrastruktur dan keselamatan publik.

H2: Klima 2050 – Inovasi Nasional Melalui Kemitraan Jangka Panjang

Klima 2050 merupakan bagian dari program Centres for Research-based Innovation (CRI) yang didanai selama delapan tahun oleh Norwegian Research Council. Program ini mendorong kolaborasi antara institusi riset, sektor swasta, dan lembaga publik. Dalam struktur organisasinya, pilot project dijadikan platform utama untuk riset terapan dan inovasi teknologi.

Total terdapat 19 mitra dalam Klima 2050 yang terdiri atas:

  • 5 institusi riset dan universitas,
  • 6 entitas publik termasuk otoritas jalan dan perkeretaapian,
  • 8 perusahaan swasta di sektor konstruksi dan teknologi.

Pendanaan sebesar 57% berasal dari mitra dan 43% dari pemerintah, mengindikasikan komitmen kuat dari sektor non-pemerintah dalam membangun ketangguhan infrastruktur terhadap perubahan iklim.

H2: Studi Kasus: Dampak Longsor dan Respon Kolaboratif

H3: Kasus Longsor di Kvam dan Jølster

Dua kejadian besar menjadi pemicu pendirian pilot-pilot Klima 2050:

  • Kvam (2011 & 2013): Lebih dari 100 longsor akibat kombinasi hujan ekstrem dan pencairan salju menyebabkan kerusakan parah senilai lebih dari 200 juta Euro.
  • Jølster (2019): Hujan lebat lokal yang tak terdeteksi sistem prakiraan menyebabkan lebih dari 50 longsor, 1 korban jiwa, dan gangguan infrastruktur skala besar.

Dalam satu dekade terakhir, klaim asuransi akibat longsor dan avalanche tercatat mencapai 180 juta Euro. Angka ini belum memperhitungkan kerugian pada infrastruktur maupun dampak sosial, seperti evakuasi massal dan trauma psikologis masyarakat.

H2: Empat Pilot Inovatif: Teknologi, Data, dan Solusi Berbasis Alam

H3: 1. LaRiMiT – Toolbox Digital untuk Pengambil Keputusan

LaRiMiT (Landslide Risk Mitigation Toolbox) adalah portal web yang membantu pemerintah daerah dan pemilik infrastruktur memilih solusi mitigasi yang paling sesuai berdasarkan data teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi. Dikembangkan sejak 2016, tool ini menggabungkan masukan pengguna dengan penilaian ahli, dan menyediakan berbagai opsi mitigasi, termasuk Nature-Based Solutions (NBS).

Inovasi penting dari LaRiMiT adalah kemampuannya menghasilkan peringkat rekomendasi otomatis berdasarkan atribut situs tertentu seperti:

  • Jenis longsor,
  • Kondisi geoteknik,
  • Dampak ekologis dan ekonomi dari intervensi.

Tool ini kini menarik minat internasional dan telah dimanfaatkan oleh otoritas transportasi, konsultan, dan akademisi di luar Norwegia.

H3: 2. Trollstigen – Sistem Peringatan Dini untuk Jalan Wisata

Jalur Trollstigen, jalan ikonik Norwegia yang sering dikunjungi turis, rentan terhadap longsor dan aliran debris. Pilot ini bertujuan menciptakan sistem peringatan dini yang menggabungkan:

  • Data radar cuaca lokal,
  • Sensor meteorologi permanen,
  • Alat ukur aliran permukaan sungai.

Manfaatnya:

  • Menghindari penutupan jalan yang tidak perlu,
  • Menyediakan sistem peringatan berbasis data lokal,
  • Dapat direplikasi untuk jalur infrastruktur lain di wilayah serupa.

Kolaborator utama mencakup NPRA, MET Norway, NGI, dan konsultan swasta Multiconsult.

H3: 3. Eidsvoll – Mitigasi Longsor di Kawasan Warisan Budaya

Lokasi ini melibatkan lereng curam yang terletak di dekat gereja abad ke-12. Karena lokasi adalah kawasan cagar budaya, tidak mungkin membangun dinding penahan atau solusi fisik lainnya. Maka, pendekatan berbasis sensor dan sistem peringatan dini berbasis data real-time menjadi pilihan utama.

Sensor yang dipasang melacak:

  • Kadar air dalam tanah,
  • Tekanan pori,
  • Kemiringan tanah.

Tujuan akhirnya adalah membangun sistem prediktif yang dapat mendeteksi tanda-tanda awal ketidakstabilan lereng dan mengeluarkan peringatan otomatis kepada otoritas perkeretaapian.

H3: 4. Bodø – Uji Solusi Drainase dan NBS dalam Skala Lapangan

Di Bodø, lereng sepanjang jalur rel mengalami setidaknya tiga longsor besar dalam 25 tahun terakhir. Pilot ini fokus pada:

  • Pengujian 5 jenis solusi mitigasi, termasuk metode NBS seperti vegetasi lokal (live fascines),
  • Pengumpulan data dari 6 pengeboran geoteknik dan sensor kelembaban tanah,
  • Evaluasi efektivitas biaya dan kemudahan pemeliharaan.

Pendekatan ini membuka peluang inovasi produk dan layanan baru bagi industri konstruksi Norwegia.

H2: Analisis Kritis dan Implikasi Global

Pendekatan Klima 2050 membuktikan bahwa kolaborasi lintas sektor bukan hanya meningkatkan efektivitas teknis mitigasi risiko, tetapi juga menghasilkan dampak ekonomi dan sosial yang nyata:

  • Efektivitas biaya: Meskipun investasi awal tinggi, solusi berbasis data dan peringatan dini mampu mencegah kerugian jauh lebih besar.
  • Transferabilitas global: Solusi seperti LaRiMiT dan sistem peringatan lokal bisa diterapkan di negara lain yang menghadapi ancaman serupa.
  • Inovasi terbuka: Semua data hasil proyek tersedia untuk umum, mendukung pengembangan ilmu dan adaptasi lintas negara.

Namun, tantangan terbesar tetap pada mentalitas silo yang masih banyak terjadi di institusi dan lembaga publik, sebagaimana disebutkan dalam diskusi penutup paper. Silo ini menghambat pertukaran informasi antar disiplin dan memperlambat adopsi inovasi, terutama untuk pendekatan baru seperti NBS.

H2: Kesimpulan: Membangun Resiliensi Lewat Kolaborasi dan Teknologi

Klima 2050 membuktikan bahwa adaptasi terhadap risiko iklim, terutama tanah longsor, memerlukan:

  • Sinergi antara riset, industri, dan pemerintah,
  • Pemanfaatan teknologi berbasis data real-time,
  • Pendekatan keberlanjutan melalui NBS,
  • Transfer pengetahuan lintas sektor dan disiplin.

Melalui sejumlah pilot project yang berhasil dan dapat direplikasi, Norwegia membuktikan bahwa risiko bencana bukan semata ancaman, melainkan juga ruang bagi lahirnya inovasi teknologi dan kolaborasi lintas sektor yang konstruktif.

Sumber asli:
Solheim A., Kalsnes B., Strout J., Piciullo L., Heyerdahl H., Eidsvig U., Lohne J. (2022). Landslide risk reduction through close partnership between research, industry, and public entities in Norway: Pilots and case studies. Frontiers in Earth Science, Vol. 10, Article 855506.

Selengkapnya
Kolaborasi Riset, Industri, dan Pemerintah dalam Mengurangi Risiko Longsor di Norwegia: Studi Kasus Inovasi Klima 2050

Kompetensi Karier Dosen

Strategi Kompetensi Karier Dosen di Afrika Selatan: Pelajaran Berharga dari Sebuah Universitas Publik

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025


Kompetensi Karier sebagai Kunci Sukses Akademik

Perubahan dinamika dalam pendidikan tinggi global menuntut para akademisi untuk tidak hanya unggul dalam bidang keilmuan, tetapi juga mahir mengelola karier mereka secara mandiri. Paper berjudul "Career Competencies for Academic Career Progression: Experiences of Academics at a South African University" oleh Barnes, du Plessis, dan Frantz (2022) mengangkat isu ini melalui lensa pengalaman para akademisi yang berhasil memperoleh promosi jabatan di sebuah universitas negeri Afrika Selatan.

Dengan latar belakang krisis regenerasi dosen, tekanan nasional untuk memenuhi target transformasi pendidikan tinggi, serta meningkatnya kompetisi di lingkungan kerja akademik, studi ini menempatkan pendekatan berbasis kompetensi sebagai instrumen strategis dalam pengembangan karier dosen.. Penelitian ini tidak hanya menyajikan data kualitatif dari delapan peserta, tetapi juga menawarkan model konseptual berdasarkan kerangka kerja integratif kompetensi karier dari Akkermans dkk. (2013).

H2: Latar Sosial Akademik Afrika Selatan dan Kebutuhan Regenerasi

Pemerintah Afrika Selatan melalui Department of Higher Education and Training (DHET) menekankan pentingnya pengembangan tenaga akademik untuk menjawab kebutuhan SDM dan menjembatani kesenjangan gender dan rasial dalam struktur universitas. Namun demikian, tantangan besar masih dihadapi: mayoritas profesor saat ini mendekati usia pensiun, sementara generasi baru akademisi belum sepenuhnya siap mengisi kekosongan tersebut.

Studi ini secara spesifik menyoroti bagaimana delapan akademisi dari berbagai fakultas dan tingkat karier, dari Associate Lecturer hingga Professor berhasil melakukan lompatan karier melalui manajemen kompetensi pribadi.

H2: Kerangka Kompetensi Karier: Reflektif, Komunikatif, dan Perilaku

Mengacu pada model Akkermans dkk. (2013), penelitian ini mengelompokkan 11 kompetensi karier ke dalam tiga dimensi utama:

H3: 1. Kompetensi Reflektif

Gap Analysis

Peserta studi menunjukkan kesadaran tinggi terhadap kesenjangan antara posisi mereka saat ini dan target promosi yang diinginkan. Salah satu responden bahkan membuat matriks kriteria promosi antar universitas untuk mengukur posisinya secara objektif. Pendekatan ini memperlihatkan kemampuan untuk menilai kekuatan dan kelemahan pribadi secara sistematis.

Self-Evaluation

Para akademisi rutin mengevaluasi performa pribadi dan capaian akademik terhadap target yang mereka tetapkan sendiri, bukan sekadar memenuhi syarat minimal. Hal ini mencerminkan karakter proaktif dan berorientasi pada pertumbuhan.

Social Comparison

Beberapa peserta mencari pembanding dari kolega lintas institusi dan bahkan luar negeri, untuk memahami standar promosi yang berlaku luas. Salah satu dosen bahkan mengikuti program pertukaran dosen ke luar negeri untuk menyerap standar global.

Goal Orientation

Komitmen terhadap tujuan jangka panjang menjadi penggerak utama tindakan mereka. Beberapa peserta bahkan merancang strategi bertahap menuju level profesor dengan memetakan langkah demi langkah secara sadar.

H3: 2. Kompetensi Komunikatif

Information Seeking

Sebagian besar akademisi mencari informasi strategis dari kolega senior dan mentor. Bahkan, beberapa secara proaktif membayar jasa profesional untuk membantu penyusunan portofolio promosi—menunjukkan investasi waktu dan sumber daya demi pengembangan diri.

Negotiation

Menariknya, kompetensi ini lebih banyak ditemukan pada akademisi senior. Mereka bernegosiasi secara strategis, seperti menukar beban kerja pengajaran dengan waktu untuk menulis publikasi, atau menyusun struktur tesis mahasiswa agar bisa menghasilkan publikasi bersama.

H3: 3. Kompetensi Perilaku

Strategy Alignment

Kompetensi ini menjadi yang paling umum dan menonjol dalam studi ini. Akademisi menyusun langkah strategis jauh hari sebelum mengajukan promosi, seperti mendanai sendiri partisipasi konferensi internasional demi membangun jaringan dan portofolio.

Control and Agency

Peserta menunjukkan kapasitas untuk mengambil kendali karier secara aktif, termasuk menyelaraskan kegiatan mereka dengan visi universitas. Ini menandakan internalisasi nilai-nilai institusional dan pemahaman atas politik organisasi.

University Awareness

Para akademisi menyadari pentingnya memahami sistem internal, kebijakan, dan budaya kampus untuk memaksimalkan peluang promosi. Mereka juga memanfaatkan pelatihan profesional yang disediakan universitas serta komunitas informal seperti grup WhatsApp untuk berbagi informasi peluang.

Continuous Learning

Komitmen untuk belajar seumur hidup menjadi benang merah dari semua peserta. Baik melalui pelatihan formal maupun kolaborasi informal seperti co-writing dan co-supervision, akademisi terus memperbarui dan memperluas kapasitas mereka.

Collaboration

Kemampuan untuk bekerja sama menjadi nilai tambah penting. Beberapa peserta secara aktif menawarkan diri sebagai kolaborator, bahkan dalam peran tidak formal seperti proofreader atau mentor, untuk membangun reputasi dan jaringan.

H2: Studi Kasus: Strategi Karier dari Dosen Berprestasi

Salah satu peserta, P3 (perempuan, 40 tahun), menggambarkan strategi promotif luar biasa:

  • Membuat matriks promosi lintas universitas.
  • Mengeluarkan biaya pribadi untuk konsultasi profesional.
  • Menargetkan konferensi internasional sejak awal karier.
  • Menjadikan publikasi sebagai produk dari proses bimbingan mahasiswa.

Ia berhasil naik dari Senior Lecturer ke Associate Professor, dan sudah menargetkan posisi Professor berikutnya. Strategi ini menunjukkan konsistensi, orientasi jangka panjang, dan kemauan untuk berinvestasi pada diri sendiri.

H2: Perbandingan dengan Literatur dan Kritik Konstruktif

Penelitian ini mengisi kesenjangan dalam literatur tentang kompetensi karier di semua fase karier dosen, yang sebelumnya lebih banyak berfokus pada dosen awal karier saja. Namun, keterbatasannya adalah:

  • Skala studi kecil (8 peserta).
  • Dilakukan di satu universitas saja.
  • Tidak ada analisis perbandingan antar institusi.

Meski demikian, pendekatan berbasis kompetensi ini sangat aplikatif dan relevan untuk konteks global, termasuk Indonesia, di mana promosi akademik juga mengalami tantangan sistemik.

H2: Implikasi Strategis untuk Pendidikan Tinggi

Studi ini dapat menjadi acuan bagi:

  • Pengelola universitas, untuk merancang program pelatihan dan mentoring berbasis kompetensi.
  • Dosen, untuk merancang strategi karier jangka panjang secara mandiri.
  • Pembuat kebijakan, dalam membangun pipeline akademisi muda berbakat untuk regenerasi sistem pendidikan tinggi.

Penerapan model ini juga memungkinkan penyesuaian lokal dengan mempertimbangkan konteks budaya, struktur organisasi, dan sistem evaluasi di masing-masing negara.

Kesimpulan: Kompetensi sebagai Pondasi Promosi Akademik Berkelanjutan

Kesuksesan karier akademik bukan semata hasil dari prestasi keilmuan, tetapi juga keterampilan mengelola diri, memahami sistem, dan membangun strategi. Temuan studi ini menegaskan pentingnya kombinasi antara kompetensi reflektif, komunikatif, dan perilaku merupakan elemen saling melengkapi yang esensiali.

Strategi seperti alignment dengan visi universitas, evaluasi diri, negosiasi waktu, dan kolaborasi aktif terbukti menjadi fondasi penting dalam perjalanan promosi akademik. Ke depan, model ini bisa direplikasi dan dikembangkan dalam berbagai konteks institusi pendidikan tinggi lainnya di dunia.

Sumber asli:
Barnes N., du Plessis M., dan Frantz J. (2022). Career Competencies for Academic Career Progression: Experiences of Academics at a South African University. Frontiers in Education, Vol. 7, Article 814842.

Selengkapnya
Strategi Kompetensi Karier Dosen di Afrika Selatan: Pelajaran Berharga dari Sebuah Universitas Publik

Kompetensi Kerja

Saat Kompetensi Jadi Penentu Masa Depan Organisasi Berbasis Pengetahuan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 September 2025


Di era ketika informasi bergerak lebih cepat daripada angin, organisasi di seluruh dunia dituntut untuk beradaptasi. Tidak lagi cukup hanya mengandalkan modal finansial, infrastruktur, atau aset fisik yang kasat mata. Yang kini menjadi pembeda adalah pengetahuan—dan lebih penting lagi, orang-orang yang membawa pengetahuan itu.

Dari perusahaan teknologi raksasa, pusat riset nasional, hingga lembaga pendidikan vokasi, semua menghadapi satu pertanyaan mendasar: bagaimana mengelola sumber daya manusia agar benar-benar menjadi penggerak utama organisasi?

Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Knowledge Management Studies (2018) mencoba menjawab pertanyaan besar ini. Jimmy Kansal dan Sandeep Singhal, dua peneliti asal India, menelusuri persoalan yang sebenarnya sudah lama menjadi “rahasia umum”: organisasi berbasis pengetahuan (knowledge-based organisations/KBOs) hanya akan seefektif kompetensi orang-orang di dalamnya. Tanpa kompetensi yang tepat, strategi sehebat apa pun berisiko gagal di lapangan.

Bayangkan sebuah organisasi riset besar dengan ribuan ilmuwan. Mereka memiliki akses ke teknologi mutakhir, dana riset miliaran, dan mandat nasional yang penting. Namun, jika para penelitinya tidak memiliki kompetensi yang sesuai—baik keterampilan teknis maupun kemampuan manajerial—maka riset bisa tersendat, kerja sama tim rapuh, dan hasil akhir jauh dari harapan.

Penelitian Kansal dan Singhal menegaskan, membangun model kompetensi bukan sekadar urusan HRD atau pelatihan rutin. Ini adalah investasi strategis yang menentukan keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang. Kompetensi dipandang bukan hanya apa yang bisa dilakukan seseorang, melainkan juga bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan berkolaborasi dalam konteks organisasi.

Dengan kata lain, kompetensi adalah fondasi tak terlihat di balik gedung-gedung megah, laboratorium canggih, atau perusahaan raksasa. Dan penelitian ini mencoba merumuskannya menjadi sebuah model yang sistematis, yang bisa diterapkan lintas sektor dan lintas negara, termasuk di Indonesia.

Mengapa Kompetensi Jadi Isu Global Hari Ini?

Pertama-tama, mari kita tarik persoalan ke konteks global. Dunia kerja tengah diguncang revolusi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan (AI). Pekerjaan-pekerjaan manual kian digantikan mesin, sementara kebutuhan akan pekerja yang mampu berpikir kritis, beradaptasi, dan berinovasi meningkat tajam.

Dalam kondisi ini, organisasi berbasis pengetahuan menjadi aktor utama. Mereka bukan hanya menciptakan produk atau jasa, tetapi juga menciptakan nilai dari ide, riset, dan kreativitas. Namun, di sinilah masalah muncul: tidak semua organisasi siap mengelola manusia sebagai aset pengetahuan.

Penelitian Kansal dan Singhal menunjukkan adanya jurang nyata antara potensi individu dan kebutuhan organisasi. Banyak pekerja pintar, tetapi belum tentu kompeten dalam konteks organisasi. Ada yang mahir teknis, tetapi lemah dalam komunikasi. Ada yang punya ide brilian, tetapi tak mampu bekerja sama dalam tim. Jurang inilah yang membuat organisasi sering kali tidak mencapai efektivitas yang diharapkan.

Lebih mengejutkan lagi, masalah ini tidak hanya berkaitan dengan soft skill. Kompetensi teknis pun sering kali tidak selaras dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, seorang ilmuwan mungkin sangat ahli di bidang fisika material, tetapi ketika organisasi membutuhkan aplikasi praktis untuk pertahanan, kompetensi itu tidak otomatis bisa diterjemahkan.

Maka, dibutuhkan model kompetensi yang mampu memetakan keterampilan dari level individu hingga ke level organisasi.

Kisah Lapangan: Menggali Kompetensi dengan Metode BEI

Untuk memahami lebih dalam, Kansal dan Singhal melakukan penelitian di sebuah organisasi riset pertahanan di India. Mereka menggunakan metode Behavioral Event Interview (BEI)—sebuah teknik wawancara mendalam yang menggali pengalaman nyata responden.

Metode ini ibarat membuka kotak hitam pengalaman seseorang. Responden diminta menceritakan situasi nyata di mana mereka merasa sangat sukses atau gagal dalam pekerjaan. Dari cerita itu, peneliti bisa mengidentifikasi pola perilaku, cara berpikir, dan keterampilan yang digunakan.

Pendekatan ini menghasilkan data yang kaya. Misalnya, peneliti menemukan bahwa kompetensi seperti problem solving, kemampuan mengelola konflik, dan keterampilan komunikasi sering kali muncul dalam cerita sukses. Sebaliknya, kurangnya kemampuan koordinasi atau manajemen waktu sering kali muncul dalam cerita kegagalan.

Temuan ini kemudian diperkuat dengan survei kuantitatif yang melibatkan ratusan ilmuwan. Hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi memang memiliki hubungan langsung dengan efektivitas organisasi. Dengan kata lain, semakin baik kompetensi individu, semakin tinggi pula kinerja organisasi.

Model Kompetensi: Peta Jalan Organisasi Berbasis Pengetahuan

Penelitian ini menghasilkan sebuah model kompetensi khusus untuk organisasi berbasis pengetahuan. Model ini tidak hanya mencakup keterampilan teknis (hard skills), tetapi juga kemampuan perilaku dan manajerial (soft skills).

Beberapa kompetensi inti yang diidentifikasi antara lain:

  • Keterampilan Teknis dan Inovasi – menguasai pengetahuan mutakhir di bidangnya serta menerjemahkannya menjadi aplikasi nyata.
  • Komunikasi dan Kolaborasi – menyampaikan ide dengan jelas dan bekerja sama lintas tim serta lintas disiplin.
  • Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan – bukan hanya pada level manajer, tetapi juga kepemimpinan fungsional di level ilmuwan senior.
  • Problem Solving dan Adaptabilitas – menghadapi situasi baru dengan solusi kreatif.
  • Komitmen Organisasi dan Etika Profesional – menjaga integritas, disiplin, serta keselarasan dengan visi organisasi.

Model ini berfungsi sebagai peta jalan bagi manajemen organisasi. Dengan model ini, rekrutmen bisa lebih terarah, pelatihan lebih efektif, dan jalur karier lebih jelas.

Dampak Nyata bagi Organisasi

Apa artinya semua ini bagi organisasi? Penelitian Kansal dan Singhal memberi gambaran jelas. Jika model kompetensi diterapkan, organisasi bisa:

  • Meningkatkan efektivitas: proyek lebih tepat waktu, hasil riset lebih relevan, dan kualitas kerja meningkat.
  • Mengurangi konflik internal: karena komunikasi dan kolaborasi menjadi bagian dari kompetensi yang diutamakan.
  • Memperkuat inovasi: dengan memastikan individu yang direkrut atau dilatih benar-benar sesuai kebutuhan.
  • Menjaga kesinambungan: melalui pengembangan karier yang jelas dan regenerasi pemimpin organisasi.

Sebaliknya, jika kompetensi diabaikan, organisasi berisiko menghadapi stagnasi. Proyek tertunda, ide brilian terbuang, dan organisasi kehilangan daya saing.

Kritik dan Batasan Studi

Meski temuan penelitian ini sangat relevan, ada beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, studi dilakukan pada konteks spesifik—yaitu organisasi riset pertahanan di India. Karakteristiknya bisa berbeda dengan perusahaan swasta atau lembaga non-riset.

Kedua, jumlah responden terbatas pada ilmuwan, sehingga hasilnya mungkin belum sepenuhnya mencerminkan seluruh jenis KBO.

Namun, justru di sinilah menariknya. Riset ini membuka jalan bagi penelitian lanjutan di berbagai sektor dan negara. Misalnya, bagaimana penerapan model kompetensi di startup teknologi Indonesia? Atau di BUMN strategis seperti Pertamina dan PLN? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi agenda penelitian berikutnya.

Relevansi untuk Indonesia

Mengapa penelitian ini penting bagi Indonesia? Karena Indonesia sedang gencar membangun ekonomi berbasis pengetahuan. Dari pengembangan industri 4.0, riset energi terbarukan, hingga transformasi digital pendidikan, semua membutuhkan organisasi berbasis pengetahuan yang efektif.

Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan kesenjangan. Banyak lembaga riset masih terjebak birokrasi, perusahaan kesulitan mencari talenta yang sesuai, dan universitas menghadapi tantangan menyiapkan lulusan yang kompeten.

Model kompetensi seperti yang dikembangkan Kansal dan Singhal bisa menjadi inspirasi untuk menata ulang sistem manajemen SDM di Indonesia. Melalui jalur manajemen proyekkepemimpinan, hingga pengembangan teknologi, Indonesia dapat memperkuat fondasi organisasi berbasis pengetahuan.

Kesimpulan: Kompetensi sebagai Investasi Masa Depan

Pada akhirnya, penelitian ini menyampaikan pesan sederhana namun kuat: kompetensi adalah fondasi efektivitas organisasi berbasis pengetahuan. Tanpa kompetensi, semua strategi, teknologi, dan sumber daya akan kehilangan arah.

Jika diterapkan secara serius, model kompetensi ini bisa membantu organisasi di Indonesia dan dunia untuk mengurangi biaya akibat inefisiensi, mempercepat inovasi, dan meningkatkan daya saing global dalam waktu lima tahun ke depan.

Seperti kata pepatah, “bangunan setinggi apa pun bergantung pada fondasinya.” Dan dalam organisasi modern, fondasi itu adalah kompetensi sumber daya manusia.

Sumber Artikel:

Swai, L. (2022). Development of a conceptual framework for enhancing payment practices in the UK construction industry (Doctoral dissertation, Coventry University).

Selengkapnya
Saat Kompetensi Jadi Penentu Masa Depan Organisasi Berbasis Pengetahuan

Industry 4.0 & Manufaktur Digital

A Review on Machine Learning Techniques for Predictive Maintenance in Industry 4.0

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 09 September 2025


Paper berjudul A Review on Machine Learning Techniques for Predictive Maintenance in Industry 4.0 karya Megha Sisode dan Manoj Devare (2023) hadir sebagai salah satu kajian penting dalam memahami bagaimana machine learning (ML) dimanfaatkan untuk predictive maintenance (PdM) di era Industry 4.0. Industry 4.0 sendiri adalah istilah untuk revolusi industri keempat, di mana sistem fisik dan digital saling terintegrasi lewat Internet of Things (IoT), big data, dan otomatisasi pintar. Di dalam konteks ini, PdM menjadi topik sentral karena berhubungan langsung dengan produktivitas, efisiensi biaya, serta keberlanjutan rantai pasok industri modern. Paper ini secara khusus berusaha menelaah metode PdM berbasis ML, sekaligus menawarkan pendekatan baru menggunakan Gated Recurrent Unit (GRU) yang dioptimasi dengan Whale Optimization Algorithm (WOA) dan Seagull Algorithm (SA), yang kemudian disebut sebagai Whale Seagull Optimization Algorithm (WSOA).

Predictive maintenance adalah metode perawatan yang berusaha memprediksi kapan suatu mesin atau peralatan akan mengalami kerusakan berdasarkan data sensor real-time dan historis. Pendekatan ini berbeda dengan reactive maintenance yang hanya memperbaiki mesin setelah rusak, atau preventive maintenance yang merawat mesin secara berkala tanpa melihat kondisi sebenarnya. PdM jauh lebih unggul karena mampu mengurangi downtime yang tidak terduga, menghemat biaya perbaikan darurat, dan memperpanjang umur mesin. Namun, penerapan PdM tidaklah sederhana. Tantangan muncul dari kualitas data yang buruk, data sensor yang tidak berlabel, masalah kelangkaan data kerusakan (data sparsity), serta kompleksitas data IoT yang berukuran besar dan berdimensi tinggi. Paper ini menyoroti masalah tersebut dan menawarkan model berbasis ML untuk menjawabnya.

Dalam pendahuluannya, penulis menekankan bahwa industri modern membutuhkan sistem pemeliharaan yang mampu menyesuaikan diri dengan tingkat otomatisasi tinggi. Contohnya ada pada industri otomotif, di mana sebuah mesin pembuat komponen (automobile part manufacturing machine) bisa menjadi titik krusial. Bila mesin ini berhenti akibat kerusakan mendadak, maka seluruh lini produksi akan terganggu dan kerugian finansial bisa mencapai jutaan dolar hanya dalam hitungan jam. Oleh karena itu, PdM menjadi solusi strategis yang semakin dicari.

Paper ini juga mengulas literatur sebelumnya. Misalnya, penggunaan Dynamic Bayesian Network (DBN) yang mampu memodelkan hubungan sebab-akibat dalam kerusakan mesin, atau pendekatan lambda architecture pada prognostics and health management (PHM) yang memanfaatkan dua lapisan penyimpanan dan pemrosesan data. Ada pula penggunaan Artificial Neural Network (ANN) dan Support Vector Machine (SVM) yang populer untuk memprediksi kondisi mesin. Penelitian di industri woodworking bahkan menggunakan model pohon keputusan untuk menghitung probabilitas kegagalan mesin, sementara penelitian lain mengandalkan Random Forest (RF) untuk mendeteksi perubahan perilaku mesin (concept drift). Peneliti juga menyebut penggunaan Long Short-Term Memory (LSTM) dan Recurrent Neural Network (RNN) untuk menghitung Remaining Useful Life (RUL), atau sisa umur pakai komponen. Meski banyak metode sudah dicoba, masing-masing punya kelemahan. LSTM misalnya sering menghadapi masalah long-dependency yang membuatnya butuh waktu pelatihan lebih lama dan daya komputasi lebih tinggi.

Motivasi utama penelitian ini adalah kebutuhan untuk menciptakan sistem PdM yang lebih efisien, akurat, dan mudah diimplementasikan di industri nyata. Reactive maintenance terbukti mahal dan berisiko, sementara preventive maintenance sering tidak optimal karena bisa saja perawatan dilakukan meski mesin masih berfungsi baik. Dengan PdM berbasis ML, penulis ingin menunjukkan bagaimana data sensor bisa dianalisis untuk mengidentifikasi pola kerusakan sebelum benar-benar terjadi, sehingga perawatan bisa dilakukan tepat waktu.

Metodologi yang diusulkan dalam paper ini menarik untuk dibahas secara mendetail. Proses pertama adalah data pre-processing, di mana data dari sensor mesin butt weld dibersihkan dari outlier, data kosong diisi ulang, dan data redundan dihapus. Tahap kedua adalah feature extraction menggunakan metode Supervised Aggregative Feature Extraction (SAFE). Metode ini lebih unggul dibanding teknik statistik biasa karena mampu menangkap keterkaitan antara variabel input berbasis waktu dengan output berupa kondisi mesin. Tahap ketiga adalah pembangunan prediction network berbasis GRU. GRU adalah varian dari RNN yang lebih ringan dibanding LSTM namun tetap mampu mengelola data sekuensial. GRU memiliki dua mekanisme gerbang (update gate dan reset gate) yang memungkinkan model untuk mempelajari ketergantungan jangka panjang dengan efisiensi komputasi lebih baik.

Tahap keempat yang menjadi kontribusi utama adalah optimisasi bobot jaringan menggunakan Whale Seagull Optimization Algorithm (WSOA). Whale Optimization Algorithm terinspirasi dari perilaku paus dalam berburu mangsa dengan bubble-net feeding, sedangkan Seagull Algorithm meniru pola spiral attack burung camar ketika menyerang mangsanya. Kedua mekanisme ini digabung untuk menghasilkan algoritma optimisasi yang lebih kuat dalam menjelajahi ruang pencarian global, sekaligus lebih cepat mencapai konvergensi. Dengan cara ini, GRU yang digunakan mampu bekerja lebih stabil, lebih cepat, dan lebih akurat. Tahap terakhir adalah decision output, yaitu hasil prediksi yang dipakai untuk menentukan jadwal maintenance mesin.

Hasil yang ditampilkan dalam paper menunjukkan bahwa model GRU + WSOA lebih akurat dibanding model LSTM tradisional maupun RNN standar. Penulis menyatakan bahwa model ini mampu mengatasi masalah long dependency dan memperbaiki kelemahan training time yang lama. Selain itu, framework ini lebih cocok digunakan dalam skala industri karena lebih efisien secara komputasi, sehingga tidak membebani sumber daya perusahaan. Meski demikian, paper ini tidak banyak menyajikan angka detail seperti root mean square error (RMSE) atau perbandingan akurasi dalam persentase, yang sebetulnya penting untuk memperkuat klaim.

Kalau dibawa ke dunia nyata, model ini punya relevansi besar. Dalam industri otomotif, kerusakan mendadak satu mesin bisa menghentikan seluruh lini produksi. Dengan PdM, perusahaan bisa mengatur maintenance tepat sebelum mesin benar-benar rusak. Hal ini tidak hanya mengurangi downtime, tapi juga menekan biaya spare part dan tenaga kerja yang biasanya membengkak ketika terjadi kerusakan besar. PdM juga meningkatkan keselamatan kerja karena potensi kecelakaan akibat mesin rusak mendadak bisa dihindari. Dampak lainnya adalah optimalisasi sumber daya manusia, karena teknisi tidak lagi harus melakukan inspeksi rutin tanpa arah, melainkan fokus pada mesin yang benar-benar berisiko rusak.

Namun, implementasi nyata tidak sesederhana yang dijelaskan di paper. Ada beberapa tantangan yang tidak banyak dibahas penulis. Pertama, investasi awal untuk IoT, sensor, dan infrastruktur data tidaklah murah, sehingga perusahaan kecil mungkin akan keberatan. Kedua, perusahaan membutuhkan tim data scientist yang mampu membangun, melatih, dan memelihara model ML. Ketiga, ada faktor manusia, di mana operator atau teknisi senior mungkin resistensi terhadap teknologi baru karena terbiasa dengan cara lama. Paper ini juga kurang membahas aspek Return on Investment (ROI), padahal itu sangat penting agar manajemen perusahaan yakin berinvestasi di PdM.

Secara akademis, paper ini memberikan kontribusi yang solid dengan memperkenalkan kombinasi GRU dan WSOA. Penulis berhasil menunjukkan bahwa pendekatan hybrid ini bisa mengatasi keterbatasan model-model sebelumnya. Tetapi, seperti yang sudah disinggung, kurangnya detail angka hasil eksperimen membuat klaim masih butuh pembuktian lebih lanjut. Kritik lain adalah cakupan penelitian masih terbatas pada satu jenis mesin (butt weld machine di industri otomotif). Untuk bisa diterapkan secara luas, model ini sebaiknya diuji juga pada industri lain seperti aerospace, konstruksi, atau energi, di mana mesin besar dan kritis juga sangat membutuhkan PdM.

Kesimpulannya, paper ini menegaskan pentingnya predictive maintenance dalam Industry 4.0. Konsepnya jelas: dengan memanfaatkan data sensor dan algoritma machine learning, perusahaan bisa mengurangi downtime, menghemat biaya, dan meningkatkan keberlanjutan produksi. Pendekatan GRU + Whale Seagull Optimization yang diusulkan menawarkan solusi yang lebih efisien dan akurat dibanding metode lama. Meski demikian, tantangan implementasi nyata seperti biaya awal, kesiapan SDM, dan resistensi budaya kerja masih perlu dipecahkan. Bagi dunia industri, penelitian ini bisa menjadi landasan awal yang kuat, tapi perlu ada studi lanjutan dengan data nyata berskala besar serta analisis biaya-manfaat yang konkret.

Paper ini dipublikasikan dalam prosiding ICAMIDA 2022, ACSR 105, pp. 774–783 oleh Springer dan bisa diakses melalui tautan resmi DOI berikut: https://doi.org/10.2991/978-94-6463-136-4_67.

Selengkapnya
A Review on Machine Learning Techniques for Predictive Maintenance in Industry 4.0

Tantangan Global

Mengungkap Dinamika Produktivitas Konstruksi Global: Resensi Kritis terhadap Kajian Sistematis oleh Rathnayake dan Middleton

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025


Pendahuluan

Produktivitas adalah jantung dari efisiensi ekonomi dan industri konstruksi telah lama dituduh gagal menjaganya. Dalam artikel mereka yang diterbitkan pada Maret 2023 di Journal of Construction Engineering and Management, Asitha Rathnayake dan Campbell Middleton dari University of Cambridge menyajikan tinjauan sistematis literatur produktivitas konstruksi selama lebih dari tiga dekade. Artikel ini merupakan salah satu kajian paling komprehensif, menelaah 108 studi dari 10 jurnal terbaik. Resensi ini mengurai temuan utama dengan melakukan parafrase kritis, analisis tambahan, serta mengaitkannya dengan realita industri dan teknologi saat ini.

Mengapa Produktivitas Konstruksi Itu Penting?

Dengan kontribusi sebesar 13% terhadap PDB global dan menyerap sekitar 7% tenaga kerja dunia (Barbosa et al., 2017), sektor konstruksi adalah industri vital. Namun, data menunjukkan pertumbuhan produktivitasnya jauh tertinggal: hanya 1% per tahun dibandingkan  3,6% pada sektor manufaktur (Barbosa et al., 2017). Kesenjangan ini tidak sekadar persoalan angka, tetapi membawa konsekuensi nyata bagi keterjangkauan infrastruktur, ketahanan rantai pasok, dan efisiensi proyek.

Fokus Kajian dan Metodologi

Studi ini mengkaji produktivitas konstruksi dalam dua kerangka:

  • Makro (ekonomi nasional): menggunakan data dari lembaga statistik (BLS, OECD, KLEMS)

  • Mikro (tingkat proyek atau aktivitas): menggunakan data aktual dari lapangan atau estimasi biaya tenaga kerja
     

Pencarian data dilakukan via Scopus dengan 211 makalah awal, disaring menjadi 108 artikel relevan. Peneliti memetakan:

  • Tingkatan analisis (industri, proyek, aktivitas)

  • Indikator produktivitas (tenaga kerja, multifaktor)

  • Sumber data (data primer, database industri, estimasi manual)
     

Temuan Utama dan Analisis Tambahan

1. Tren Produktivitas Konstruksi Global

Salah satu mitos terbesar adalah produktivitas konstruksi menurun secara global. Studi menunjukkan:

  • Di AS, data BLS menunjukkan penurunan 0,3% per tahun dalam 35 tahun.

  • Namun, data manual estimasi seperti RSMeans menunjukkan peningkatan 1,2% per tahun (Goodrum et al., 2002).

  • Perbedaan metode deflasi (pengaruh inflasi) dan pencatatan jam kerja subcontractor menjadi penyebab utama ketidakkonsistenan.
     

Analisis Tambahan:
Tren ini menggambarkan kesenjangan antara persepsi makroekonomi dan realitas proyek. Dalam industri yang makin padat modal (capital-intensive), labor productivity menjadi indikator yang semakin lemah.

2. Indikator Produktivitas: Mana yang Akurat?

  • Labor productivity (output per jam kerja) adalah yang paling umum, tetapi sering menyesatkan karena tidak memperhitungkan kontribusi modal dan teknologi.

  • Multifactor productivity (MFP) mencakup tenaga kerja, peralatan, material, dan energi. Ini memberikan gambaran lebih holistik.
     

Kritik:
Karena keterbatasan data, MFP jarang digunakan di level mikro. Namun, penulis menyarankan penggunaan kombinasi indikator agar hasil lebih akurat.

3. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Dari 75 studi, faktor-faktor utama meliputi:

Tambahan Wawasan:
Data menunjukkan bahwa proyek dengan tenaga kerja lebih stabil dan supervisor berpengalaman cenderung memiliki produktivitas lebih tinggi. Ini sejalan dengan riset dari Jarkas & Bitar (2014) yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal di lapangan.

4. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas

Studi ini mengulas beberapa teknologi yang menjanjikan:

  • Offsite construction: Meningkatkan produktivitas hingga 5,5% per tahun di sektor industri (Eastman & Sacks, 2008)

  • Building Information Modeling (BIM): Meningkatkan produktivitas hingga 241% dalam satu kasus proyek instalasi pipa (Poirier et al., 2015)

  • RFID & GPS: Melacak material, mengurangi waktu pencarian hingga 87%

  • Automated Monitoring: Menggunakan AI dan sensor untuk melacak produktivitas secara real-time
     

Refleksi Industri:
Penerapan teknologi ini belum merata, terutama di negara berkembang. Namun, tren global menunjukkan arah yang positif.

Kritik Konstruktif dan Implikasi Riset

A. Kelebihan Kajian

  • Komprehensif: menggabungkan data lintas negara dan metodologi.

  • Menawarkan klasifikasi baru yang membedakan tingkat spesifikasi dan analisis.

  • Mengkritisi penggunaan indikator tunggal (labor productivity).
     

B. Keterbatasan

  • Masih dominan pada studi di AS (50 dari 108 studi)

  • Kurangnya database mikro di negara-negara berkembang

  • Hanya sedikit studi yang mengevaluasi dampak nyata dari teknologi
     

Studi Kasus Tambahan

Sebuah proyek pembangunan sekolah di Inggris (Jansen van Vuuren & Middleton, 2020) menunjukkan bahwa proyek dengan proporsi pre-manufactured value (PMV) tinggi memiliki produktivitas hingga 30% lebih besar (m2 per jam kerja). Ini menegaskan bahwa prefabrikasi adalah solusi nyata untuk menekan waktu dan biaya konstruksi.

Rekomendasi Praktis

  • Pemerintah: Dorong pengembangan database produktivitas mikro untuk kebijakan berbasis bukti.

  • Kontraktor: Kombinasikan BIM, prefabrikasi, dan pelatihan tenaga kerja untuk optimalisasi produktivitas.

  • Akademisi: Lanjutkan riset longitudinal terhadap produktivitas lintas sektor dan negara.
     

Kesimpulan

Rathnayake dan Middleton berhasil menyajikan peta besar produktivitas konstruksi global, lengkap dengan tantangan dan peluangnya. Artikel ini menekankan bahwa peningkatan produktivitas tidak bisa diukur dengan satu indikator semata, melainikan dibutuhkan pendekatan multidimensimenggabungkan teknologi, data mikro, dan pemahaman kontekstual proyek.

Sebagai catatan penutup, industri konstruksi akan sulit berevolusi jika terus mengandalkan indikator lama. Untuk mencapai revolusi produktivitas, seperti yang dibayangkan McKinsey, dibutuhkan sinergi antara data, desain, dan digitalisasi.

 

Sumber:
Rathnayake, A., & Middleton, C. (2023). Systematic Review of the Literature on Construction Productivity. Journal of Construction Engineering and Management. DOI: 10.1061/JCEMD4.COENG-13045

Selengkapnya
Mengungkap Dinamika Produktivitas Konstruksi Global: Resensi Kritis terhadap Kajian Sistematis oleh Rathnayake dan Middleton

Keterlambatan Proyek

Membongkar Akar Masalah Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia: Antara Biaya Terendah dan Kualitas Perencanaan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025


Mengapa Proyek EPC Rentan Terlambat di Indonesia?

 

Proyek EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi andalan dalam pembangunan infrastruktur skala besar di Indonesia, terutama dalam sektor industri pupuk BUMN. Model ini menjanjikan efisiensi melalui paket kerja terintegrasi. Namun, janji manis ini seringkali tidak terealisasi. Studi Sarwani dkk. menunjukkan bahwa 90% proyek EPC pada periode 2010–2020 mengalami keterlambatan signifikan, meskipun praktik terbaik dari proyek sebelumnya telah diterapkan.

 

Fakta ini menimbulkan pertanyaan penting: jika pendekatan EPC yang terintegrasi justru memicu keterlambatan, di mana letak masalahnya?

 

Metode dan Sampel: Representasi Nyata Dunia Proyek

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 67 responden kunci yang berasal dari pemilik proyek (BUMN dan anak perusahaannya), kontraktor EPC, serta konsultan desain. Lebih dari 76% responden memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun, dan hampir separuh adalah manajer proyek.

 

Dengan menggunakan Relative Importance Index (RII) dan Spearman Rank Correlation, peneliti mengidentifikasi 21 faktor penyebab keterlambatan yang dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: proyek, pemilik, kontraktor, desain, material, tenaga kerja, dan eksternal.

 

Sepuluh Penyebab Keterlambatan Paling Kritis

 

1. Keterlambatan Pengadaan Material dan Peralatan

Menempati peringkat pertama (RII 0.910), keterlambatan ini mengganggu jalur kritis proyek. Masalah seperti pergantian daftar produsen, masalah bea cukai, dan keterlambatan fabrikasi vendor menjadi akar penyebab.

 

2. Kesulitan Pembiayaan oleh Kontraktor

RII 0.896 mencerminkan bahwa banyak kontraktor yang bergantung sepenuhnya pada pembayaran progres. Jika progres lambat, dana macet, proyek pun tersendat.

 

3. Perencanaan dan Penjadwalan yang Tidak Efektif

Masalah ini menjadi penyebab klasik (RII 0.884). Jadwal kerja yang tidak realistis, ditambah kurangnya kompetensi perencana proyek, menyebabkan deviasi besar antara rencana dan realisasi.

 

4. Pemenang Tender adalah Penawar Terendah yang Tidak Layak

Ironi besar muncul ketika proyek diberikan kepada penawar 80% di bawah estimasi pemilik. RII 0.857 menunjukkan bahwa praktik “harga terendah” justru menjadi jebakan biaya dan kualitas.

 

5. Pekerjaan Ulang karena Kesalahan Konstruksi

RII 0.848. Rework terjadi karena kurangnya pelatihan dan pengawasan mutu. Biaya rework di proyek studi kasus mencapai 3,15% dari total nilai kontrak.

 

6. Komunikasi dan Koordinasi yang Buruk

Dalam proyek sebesar EPC, minimnya sistem komunikasi formal (bahkan hanya mengandalkan ingatan dan chat pribadi) menjadi penyebab salah paham antar pihak (RII 0.836).

 

7. Keterlambatan Desain Subkontraktor

Indonesia memiliki tingkat subkontrak yang tinggi dalam proyek EPC. Ketika subkontraktor tidak kompeten atau lambat menyelesaikan desain, seluruh proses mundur (RII 0.833).

 

8. Perselisihan dalam Pemahaman Kontrak EPC

Kontrak lumpsum sering kali disusun dalam waktu terbatas, dengan spesifikasi yang masih umum. Hal ini memicu sengketa saat proyek berjalan (RII 0.830).

 

9. Penentuan Durasi Kontrak yang Tidak Realistis oleh Pemilik

Manajemen proyek kadang ditekan untuk mengejar target politik atau kepentingan bisnis jangka pendek, memaksakan durasi tak masuk akal (RII 0.827).

 

10. Keterlambatan Keputusan Pemilik Terkait Perubahan Desain

Ketika pemilik lambat menyetujui perubahan atau resolusi konflik, proyek mandek (RII 0.815). Kerap kali pemilik harus konsultasi dengan pihak ketiga untuk menghindari konflik kepentingan, yang malah memperpanjang proses.

 

Analisis Tambahan: Apa yang Membuat Faktor Ini Berbahaya?

 

Faktor-faktor di atas, meskipun tampak teknis, memiliki implikasi luas. Misalnya, ketergantungan pada pembiayaan dari progres menyebabkan kontraktor kesulitan menalangi pekerjaan awal. Di sisi lain, sistem tender berbasis harga terendah mendorong kontraktor menekan biaya secara tidak sehat, yang berujung pada pekerjaan asal-asalan dan sengketa panjang.

 

Konsistensi Pandangan antar Pihak

 

Spearman Rank Correlation menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi antar pemilik, kontraktor, dan konsultan:

 

Korelasi pemilik–kontraktor: 99,3%

 

Korelasi pemilik–konsultan: 98,3%

 

Korelasi kontraktor–konsultan: 97,4%

 

Hal ini menunjukkan bahwa penyebab keterlambatan bersifat struktural dan tidak sekadar pandangan sepihak.

 

Perbandingan Internasional: Pola Global yang Mirip

 

Penelitian ini juga membandingkan temuan dengan negara berkembang lain seperti Vietnam, India, Bangladesh, dan Iran. Hasilnya, penyebab seperti perencanaan buruk, keterlambatan pembayaran, dan konflik desain juga menjadi masalah umum di negara-negara tersebut.

 

Rekomendasi Mitigasi Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia

 

Untuk Kontraktor:

  • Bangun sistem perencanaan terstandar dan berbasis data.
  • Miliki cadangan dana awal proyek, jangan hanya andalkan pembayaran progres.
  • Latih tenaga kerja dan tim perencana agar kompeten.
  • Gunakan tools seperti BIM untuk efisiensi desain dan integrasi kerja.

 

 

Untuk Pemilik:

  • Jangan hanya fokus pada harga saat lelang, pertimbangkan kompetensi.
  • Realistis dalam menetapkan durasi kontrak dan fleksibel terhadap revisi.
  • Sediakan mekanisme pengambilan keputusan cepat saat ada usulan perubahan.

 

Untuk Konsultan:

  • Tingkatkan standar dokumentasi teknis dan validasi desain.
  • Pastikan subkontraktor desain memiliki kapasitas dan pengalaman cukup.

 

Solusi Sistemik:

  • Gunakan metode tender dua tahap seperti Design Build Competition (DBC) agar kontraktor tidak hanya dinilai dari harga, tetapi juga kualitas inovasi.
  • Terapkan regulasi yang memaksa evaluasi kualitatif dalam seleksi kontraktor.
  • Wajibkan penggunaan BIM dalam semua proyek EPC berskala besar.

 

Opini dan Kritik: Apa yang Bisa Ditingkatkan dari Studi Ini?

 

Studi ini sudah sangat mendalam dalam identifikasi penyebab. Namun, beberapa catatan penting:

  • Survei hanya melibatkan 67 responden, sehingga validitasnya bisa diperluas dengan populasi lebih besar.
  • Fokus hanya pada industri pupuk milik BUMN, padahal proyek EPC juga marak di sektor energi dan transportasi.

 

Meski begitu, data empiris dan metode kuantitatif yang digunakan cukup kuat sebagai dasar pembuatan kebijakan mitigasi risiko proyek di masa depan.

 

Kesimpulan: Saatnya EPC Indonesia Meninggalkan Paradigma "Murah Tapi Mahal"

 

Studi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar keterlambatan proyek EPC di Indonesia disebabkan oleh faktor internal yang bisa dikendalikan, bukan oleh kejadian eksternal seperti cuaca atau politik. Keberhasilan EPC memerlukan sinergi yang kuat antara perencanaan matang, komunikasi lintas aktor, pembiayaan yang sehat, dan sistem tender yang adil.

 

Apabila Indonesia serius ingin meningkatkan kinerja infrastruktur nasional, maka dibutuhkan pergeseran paradigma dari sekadar efisiensi biaya menjadi efisiensi keseluruhan proyek, dari hulu ke hilir. Dalam hal ini, studi Sarwani dkk. memberi kita peta jalan awal untuk menuju ke sana.

 

 

Sumber:

Sarwani, I. Baihaqi, & C. Utomo. (2024). Causes of Delay in EPC Projects: The Case of Indonesia. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 14(2). DOI:10.18517/ijaseit.14.2.19744

Selengkapnya
Membongkar Akar Masalah Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia: Antara Biaya Terendah dan Kualitas Perencanaan
« First Previous page 125 of 1.250 Next Last »