Krisis Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Water Security, Tantangan Global, dan Relevansi Ekonomi
Water security atau ketahanan air kini menjadi isu sentral dalam pembangunan berkelanjutan dan kebijakan publik di seluruh dunia. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan terhadap sumber daya alam, kebutuhan akan air bersih dan aman semakin mendesak. Paper “An Economic Perspective on Water Security” karya Dustin E. Garrick dan Robert W. Hahn (2021) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana pendekatan ekonomi dapat membantu memahami, mengukur, dan mengatasi tantangan water security secara lebih efektif dan adil.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana perusahaan, pemerintah, dan lembaga multilateral seperti World Bank telah mengadopsi visi “A Water-Secure World for All” dengan portofolio investasi sekitar $30 miliar pada 2019, mencakup tiga pilar utama: keberlanjutan sumber daya air, layanan air, dan ketahanan terhadap risiko1. Dengan meningkatnya perhatian terhadap water security, artikel ini menyoroti perlunya pendekatan ekonomi yang tidak hanya menekankan efisiensi, tetapi juga keadilan dan keberlanjutan.
Definisi Water Security: Dari Ketersediaan hingga Risiko
Evolusi Konsep dan Indikator
Water security didefinisikan sebagai “tersedianya air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk kesehatan, mata pencaharian, ekosistem, dan produksi, disertai tingkat risiko air yang dapat diterima bagi manusia, lingkungan, dan ekonomi” (Grey & Sadoff, 2007)1. Definisi ini menekankan empat isu utama:
Indikator water security sangat beragam, mulai dari akses rumah tangga terhadap air bersih, jejak air (water footprint), hingga risiko banjir dan kekeringan. Namun, upaya mengintegrasikan berbagai indikator ini seringkali menghasilkan “babel indikator” yang membingungkan dan kurang fokus pada tujuan ekonomi seperti efisiensi dan keadilan1.
Perspektif Ekonomi: Efisiensi, Keadilan, dan Risiko
Tiga Pilar Analisis Ekonomi
OECD (2013) menekankan bahwa target risiko air harus dicapai seefisien mungkin, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara konsekuensi ekonomi, sosial, dan lingkungan serta biaya mitigasi1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Penting
1. Dampak Water Insecurity pada Pertumbuhan Ekonomi
Penelitian Brown et al. (2011) menunjukkan bahwa di Sub-Sahara Afrika, peningkatan area kekeringan 1% dapat menurunkan pertumbuhan PDB sebesar 2–4%1. Studi lain menegaskan bahwa kurangnya water security menjadi hambatan utama pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang.
2. Kesenjangan Investasi Infrastruktur Air
Untuk mencapai akses universal air minum dan sanitasi pada 2030, dibutuhkan investasi sekitar $114 miliar per tahun—tiga kali lipat dari tingkat investasi saat ini (Hutton & Varughese, 2016)1. Di Afrika Sub-Sahara, hanya 30% rumah tangga pedesaan yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan.
3. Over- dan Underinvestment: Dilema Infrastruktur
4. Misalokasi Air dan Efek Ekonomi
Sekitar 30% konsumsi air manusia berasal dari sumber yang tidak berkelanjutan. Di banyak basin besar seperti Colorado, Yellow, dan Murray-Darling, aliran air ke laut menurun drastis akibat ekstraksi berlebihan dan kegagalan mendefinisikan batas kumulatif pengambilan air1. Di Kansas, deplesi air tanah menyebabkan kerugian kekayaan sekitar $110 juta per tahun (1996–2005).
5. Risiko Air dan Kerugian Ekonomi
Analisis Kritis: Penyebab Ekonomi Water Insecurity
1. Kegagalan Pasar dan Institusi
2. Keterbatasan Hak Kepemilikan dan Koordinasi
3. Tantangan Institusional
Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Dunia Nyata
1. California, AS: Krisis Kekeringan dan Efisiensi Irigasi
Krisis kekeringan 2012–2016 di California menyebabkan kerugian ekonomi hampir $4 miliar di sektor pertanian. Respons kebijakan seperti pembatasan konsumsi, insentif efisiensi irigasi, dan pengembangan pasar air baru mulai dievaluasi efektivitasnya, namun tantangan jangka panjang tetap besar1.
2. Afrika Sub-Sahara: Kesenjangan Infrastruktur dan Pembiayaan
Hanya 30% rumah tangga pedesaan di 19 negara Afrika yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan. Upaya donor internasional dan inovasi model bisnis (misal, pembayaran berbasis hasil) mulai diuji untuk meningkatkan keberlanjutan layanan air1.
3. Bendungan Besar: Antara Manfaat dan Kontroversi
Proyek bendungan raksasa seperti Grand Ethiopian Renaissance Dam di Sungai Nil memicu ketegangan lintas negara akibat dampak hilir yang tidak sepenuhnya diperhitungkan. Analisis biaya-manfaat seringkali gagal mengakomodasi dampak sosial-lingkungan dan ketidakpastian jangka panjang1.
Kerangka Ekonomi untuk Water Security: Efisiensi, Risiko, dan Keadilan
1. Pendekatan Cost Minimization vs Net Benefit Maximization
2. Integrated Water Resources Management (IWRM)
IWRM menekankan pengelolaan terkoordinasi air, lahan, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. Namun, implementasinya seringkali sulit karena kompleksitas pengukuran manfaat dan biaya, serta keterbatasan institusi1.
Institusi dan Hak Air: Kunci Tata Kelola Efektif
1. Desain Hak Air
2. Polycentric Institutions
Institusi polisentris (multi-level) yang melibatkan pemerintah, pasar, dan komunitas lokal terbukti lebih adaptif dalam mengelola water security. Koordinasi formal dan informal diperlukan untuk monitoring, pembiayaan, dan resolusi konflik1.
3. Reformasi Institusi
Reformasi hak air dan tata kelola seringkali menghadapi resistensi politik dan biaya transaksi tinggi. Pendekatan bertahap (incremental) seperti perbaikan operasi infrastruktur dan insentif konservasi lebih mudah diterima, meski dampak sistemiknya terbatas.
Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Nilai Tambah Paper
Perbandingan dengan Studi Lain
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis
1. Kolaborasi Lintas Sektor dan Level
2. Inovasi Pembiayaan dan Investasi
3. Reformasi Hak Air dan Tata Kelola
4. Penguatan Data dan Monitoring
Menuju Water Security yang Efisien, Adil, dan Berkelanjutan
Paper Garrick & Hahn (2021) menegaskan bahwa tantangan water security tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Diperlukan kombinasi kebijakan efisiensi ekonomi, keadilan distribusi, dan manajemen risiko yang adaptif. Institusi yang kuat, hak air yang jelas, dan inovasi pembiayaan menjadi kunci keberhasilan. Dengan mengadopsi pendekatan ekonomi yang holistik dan kontekstual, negara dan kota di seluruh dunia dapat memperkuat ketahanan air dan mengurangi risiko krisis di masa depan.
Sumber Artikel
Dustin E. Garrick & Robert W. Hahn. An Economic Perspective on Water Security. Review of Environmental Economics and Policy, volume 15, number 1, winter 2021.
Hubungan Internasional
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Investasi Tiongkok, BRI, dan Tantangan Baru bagi Indonesia
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi salah satu tujuan utama investasi Tiongkok, terutama sejak peluncuran Belt and Road Initiative (BRI). Fenomena ini membawa peluang ekonomi besar, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait risiko lingkungan dan sosial, khususnya di sektor-sektor sensitif seperti industri logam, infrastruktur, dan energi. Paper “China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks” karya Albertus Hadi Pramono dkk. (2022) membedah secara komprehensif bagaimana gelombang investasi Tiongkok—dengan karakter unik dan tata kelola berbasis “country systems”—berdampak pada ekosistem, keanekaragaman hayati, serta komunitas adat di Indonesia.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana investasi lintas negara semakin dipertanyakan keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan pendekatan berbasis data spasial, studi kasus, dan analisis multi-dimensi, paper ini menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat sipil.
Latar Belakang: Lonjakan Investasi Tiongkok dan Pola Unik di Indonesia
Fakta dan Angka Kunci
Implikasi
Konsentrasi investasi di sektor dan wilayah sensitif membuat Indonesia menghadapi tantangan baru dalam tata kelola lingkungan dan perlindungan sosial, terutama di kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan komunitas adat yang rentan.
Analisis Spasial dan Indikator Multi-Dimensi
Penulis memetakan 14 klaster proyek FDI Tiongkok terkait BRI di Indonesia, meliputi:
Lima parameter lingkungan utama dianalisis:
Dampak sosial diukur melalui overlay spasial dengan wilayah adat dan komunitas lokal, serta identifikasi risiko kesehatan, kehilangan jasa ekosistem, dan potensi penggusuran.
Temuan Utama: Risiko Lingkungan dan Sosial di 14 Klaster Proyek
1. Penurunan Vegetasi dan Stok Karbon
2. Polusi Udara
3. Ancaman terhadap Hutan Primer dan Keanekaragaman Hayati
4. Risiko terhadap Komunitas Adat
Studi Kasus: Dampak Nyata di Lapangan
A. Obi Industrial Area (Maluku Utara)
B. Morowali Industrial Park (Sulawesi Tengah)
C. PLTU Paiton Unit 9 (Jawa Timur)
D. Waduk Lambo (Flores, NTT)
Analisis Kritis: Tantangan Tata Kelola dan Implikasi Kebijakan
1. Kelemahan Tata Kelola “Country Systems”
2. Omnibus Law dan Dilema Regulasi
3. Peran Komunitas Adat dan Kelembagaan Lokal
4. Tren Global dan Komitmen Tiongkok
Perbandingan dengan Studi Lain dan Industri
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik Terbaik
1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan
2. Perlindungan Komunitas Adat
3. Inovasi Tata Kelola dan Investasi
4. Kolaborasi Multi-pihak
Menuju Investasi Berkelanjutan di Era BRI
Paper ini menegaskan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia membawa peluang ekonomi besar, namun juga risiko lingkungan dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Dengan konsentrasi di sektor dan wilayah sensitif, serta tata kelola yang masih lemah, Indonesia berisiko kehilangan keanekaragaman hayati, ekosistem penting, dan hak-hak komunitas adat. Namun, dengan reformasi regulasi, penguatan partisipasi masyarakat, dan adopsi standar internasional, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus meminimalkan dampak negatif investasi BRI.
Rekomendasi utama:
Sumber Artikel
Albertus Hadi Pramono, Masita Dwi Mandini Manessa, Mochamad Indrawan, Dwi Amalia Sari, Habiburrahman A.H. Fuad, Nurlaely Khasanah, Kartika Pratiwi, Rondang S.E. Siregar, Nurul L. Winarni, Jatna Supriatna, Budi Haryanto, Kevin P. Gallagher, Rebecca Ray, B. Alexander Simmons, Herry Yogaswara. China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks. GCI Working Paper 021, Boston University Global Development Policy Center, 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air, Diplomasi, dan Pentingnya Paradigma Baru
Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di kawasan Asia Selatan yang padat penduduk dan rentan perubahan iklim. Sungai Ganges, yang mengalir dari Himalaya melintasi India dan Bangladesh, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta orang, sekaligus sumber konflik dan potensi kerja sama. Paper karya Sajid Karim ini menawarkan perspektif baru: alih-alih sekadar membagi volume air, kedua negara didorong untuk berbagi manfaat (benefit-sharing) yang lebih luas, mulai dari ekonomi, ekologi, hingga sosial12.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana pendekatan tradisional berbasis kuantitas air semakin tidak memadai menghadapi tekanan populasi, perubahan iklim, dan dinamika politik domestik. Dengan menyoroti studi kasus Ganges dan membandingkannya dengan praktik benefit-sharing di sungai internasional lain, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air lintas negara.
Latar Belakang: Mengapa Benefit-sharing Diperlukan?
Tantangan Klasik: Konflik dan Keterbatasan Perjanjian Lama
Realitas Baru: Tekanan Populasi, Iklim, dan Politik
Konsep Benefit-sharing: Dari Bagi Air ke Bagi Manfaat
Definisi dan Kerangka Analisis
Benefit-sharing adalah proses berbagi manfaat ekonomi, ekologi, sosial, dan politik yang dihasilkan dari pengelolaan sungai bersama, bukan sekadar membagi volume air12. Sadoff & Grey (2002) membagi manfaat menjadi empat tipe:
Studi Kasus: Ganges Basin dan Potensi Benefit-sharing
1. Navigasi dan Transportasi Air
2. Proyek Bendungan Multipurpose
3. Pengelolaan Bersama Sundarbans
Bagaimana Mewujudkan Benefit-sharing? Rekomendasi Kebijakan
1. Perubahan Paradigma dan Kebijakan
2. Penguatan Kelembagaan
3. Keterlibatan Pihak Ketiga dan Diplomasi Multi-level
4. Mekanisme Resolusi Konflik
Studi Banding: Praktik Benefit-sharing di Sungai Internasional Lain
Tantangan dan Keterbatasan Pendekatan Benefit-sharing
Analisis Kritis dan Opini
Nilai Tambah Paper
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Menuju Kerja Sama Air yang Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa masa depan kerja sama air lintas negara, khususnya di Ganges Basin, sangat bergantung pada kemauan untuk beralih dari paradigma “bagi air” ke “bagi manfaat”. Dengan mengoptimalkan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial, serta memperkuat kelembagaan dan transparansi, Bangladesh, India, dan Nepal dapat menciptakan win-win solution yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim dan dinamika politik123.
Rekomendasi utama:
Sumber Artikel
Sajid Karim. Transboundary Water Cooperation between Bangladesh and India in the Ganges River Basin: Exploring a Benefit-sharing Approach. Master thesis in Sustainable Development at Uppsala University, No. 2020/63, 48 pp, 30 ECTS/hp.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air, Ketahanan Pangan, dan Tantangan Global
Kelangkaan air kini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan di abad ke-21. Laporan FAO “Coping with Water Scarcity: An Action Framework for Agriculture and Food Security” (2012) menjadi rujukan penting dalam memahami dinamika, penyebab, dan solusi multidimensi untuk mengatasi krisis air, khususnya di sektor pertanian yang menyerap 70% air tawar dunia. Artikel ini tidak hanya membedah konsep dan indikator kelangkaan air, tetapi juga menawarkan kerangka aksi, studi kasus nyata, serta prinsip-prinsip kebijakan yang relevan dengan tren global seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan transformasi pola konsumsi pangan1.
Definisi dan Dimensi Kelangkaan Air: Lebih dari Sekadar Jumlah
Tiga Pilar Kelangkaan Air
Indikator dan Ukuran
Penyebab Utama Kelangkaan Air: Kombinasi Alam dan Ulah Manusia
Faktor Alam
Faktor Antropogenik
Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Berbagai Negara
1. India: Revolusi Irigasi dan Krisis Air Tanah
2. Australia: Perdagangan Hak Air dan Adaptasi Iklim
3. Mesir: Daur Ulang Air dan Efisiensi Irigasi
4. Sub-Sahara Afrika: Kelangkaan Ekonomi dan Potensi Rainfed Agriculture
Kerangka Konseptual: Dari Supply Enhancement ke Demand Management
Evolusi Strategi
Opsi Kebijakan
Inovasi dan Praktik Terbaik: Studi Lapangan
A. Participatory Groundwater Management di Andhra Pradesh, India
B. Water Trading di Australia
C. Water Footprint dan Virtual Water
Analisis Kritis: Tantangan, Peluang, dan Rekomendasi
Kelebihan Laporan FAO
Keterbatasan dan Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain
Prinsip-Prinsip Aksi: Panduan Kebijakan Masa Depan
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Menuju Ketahanan Air dan Pangan yang Berkelanjutan
Laporan FAO ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan respons lintas sektor, lintas skala, dan lintas disiplin. Tidak ada solusi instan atau universal; setiap negara dan wilayah harus merancang strategi adaptif berbasis data, kolaborasi, dan inovasi. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip aksi yang fleksibel dan kontekstual, dunia dapat memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi risiko krisis air di masa depan1.
Sumber Artikel
Coping with water scarcity: An action framework for agriculture and food security. FAO Water Reports 38, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 2012.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Adaptasi Iklim, Pariwisata, dan Tantangan Pulau Kecil
Perubahan iklim telah menjadi tantangan utama bagi pulau-pulau kecil di seluruh dunia, terutama yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Thailand, dengan ratusan pulau tropisnya, menjadi laboratorium alami untuk memahami bagaimana pelaku industri pariwisata—khususnya pemilik dan manajer akomodasi—memaknai risiko iklim dan mengambil keputusan investasi adaptasi. Disertasi Janto Simon Hess (2020) dari University College London mengupas secara mendalam persepsi, motivasi, dan hambatan investasi adaptasi perubahan iklim di dua destinasi utama: Koh Tao dan Koh Phi Phi.
Artikel ini tidak hanya relevan untuk akademisi, tetapi juga bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas yang ingin memahami dinamika nyata adaptasi iklim di sektor pariwisata pulau kecil. Dengan menggabungkan data survei, wawancara mendalam, dan analisis stakeholder, studi ini menawarkan wawasan orisinal tentang bagaimana adaptasi berjalan di lapangan—seringkali secara reaktif dan tanpa kesadaran penuh akan risiko iklim.
Pulau Kecil, Ketergantungan Pariwisata, dan Kerentanan Iklim
Karakteristik Pulau Kecil
Tantangan Adaptasi
Studi Kasus: Koh Tao dan Koh Phi Phi—Dua Wajah Pariwisata Pulau Kecil
Koh Tao: Surga Selam yang Terancam
Koh Phi Phi: Destinasi Massal dan Trauma Tsunami
Metodologi: Survei, Wawancara, dan Analisis Stakeholder
Temuan Utama: Persepsi, Adaptasi, dan Hambatan Investasi
Persepsi Risiko dan Adaptasi
Tindakan Adaptasi yang Sudah Diterapkan
Hambatan dan Insentif Investasi Adaptasi
Analisis Kritis: Dinamika Stakeholder, Kekuasaan, dan Adaptasi
Stakeholder dan Dinamika Kekuasaan
Adaptasi sebagai Proses Sosial-Ekologis
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Industri
Originalitas dan Nilai Tambah
Hubungan dengan Tren Global
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
1. Penguatan Kapasitas dan Akses Informasi
2. Insentif Investasi Adaptasi
3. Tata Kelola Kolaboratif
4. Integrasi Adaptasi dalam Strategi Bisnis
Menuju Adaptasi Iklim yang Kontekstual dan Inklusif
Studi Janto Simon Hess menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di pulau kecil tidak bisa mengandalkan solusi satu ukuran untuk semua. Adaptasi yang efektif harus berbasis pada:
Dengan mengadopsi pendekatan ini, destinasi pariwisata pulau kecil di Thailand dan dunia dapat memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim sekaligus menjaga daya saing dan keberlanjutan ekonomi.
Sumber Artikel
Janto Simon Hess. “Financing Climate Change Adaptation in Small Islands: Assessing Accommodation Suppliers’ Perceptions in Thailand.” PhD Thesis, Institute for Risk and Disaster Reduction (IRDR), University College London (UCL), 2020.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air Lintas Negara dan Pentingnya Model Alokasi yang Adil
Isu alokasi air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan paling krusial di era perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara. Sungai Lancang–Mekong, yang mengalir dari Tiongkok hingga Vietnam, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta penduduk di enam negara. Namun, perbedaan kepentingan, tingkat pembangunan, dan kekuatan politik sering memicu konflik dan ketidakpuasan dalam pembagian air. Paper karya Fang Li dkk. (2020) menawarkan pendekatan baru melalui model negosiasi Nash asimetris berbasis kepuasan, yang bertujuan menciptakan skema alokasi air yang lebih adil, stabil, dan dapat diterima oleh semua negara di kawasan ini1.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kebutuhan akan tata kelola air lintas negara yang adil semakin mendesak. Dengan menggabungkan teori negosiasi, hukum internasional, dan studi kasus nyata di Sungai Lancang–Mekong, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air, baik di tingkat regional maupun internasional.
Latar Belakang: Kompleksitas Alokasi Air Lintas Batas
Fakta dan Angka Kunci
Tantangan Utama
Kerangka Teoritis: Model Nash Asimetris dan Perspektif Kepuasan
Mengapa Nash Asimetris?
Model Nash asimetris dipilih karena mampu merepresentasikan realitas negosiasi antarnegara yang tidak setara dalam kekuatan ekonomi, politik, dan geografis. Model ini mengakomodasi:
Indikator dan Data Kunci
Model ini menggunakan 11 indikator utama, meliputi konsumsi air, permintaan listrik, pertumbuhan penduduk, tutupan hutan, kontribusi runoff, luas DAS, panjang sungai, populasi, air per kapita, produktivitas air, dan PDB per kapita. Data diambil dari berbagai sumber internasional dan nasional, termasuk TFDD, TWAP, dan World Bank1.
Studi Kasus: Alokasi Air di Sungai Lancang–Mekong
Profil Negara-Negara DAS
Proses Negosiasi dan Simulasi Model
Hasil Utama
Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Implikasi Kebijakan
Kelebihan Model
Keterbatasan
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan
1. Tata Kelola Air Lintas Negara yang Inklusif
2. Penyesuaian Alokasi Dinamis
3. Inovasi Model Negosiasi
4. Penguatan Partisipasi Publik dan Stakeholder
Studi Banding: Praktik Global dan Relevansi Industri
Menuju Alokasi Air Lintas Negara yang Adil dan Berkelanjutan
Paper Fang Li dkk. (2020) menegaskan bahwa alokasi air lintas negara yang adil hanya dapat dicapai melalui negosiasi berbasis kepuasan, yang mengakomodasi perbedaan kekuatan, kebutuhan, dan efisiensi antarnegara. Model Nash asimetris yang diusulkan terbukti mampu meningkatkan stabilitas, kepuasan, dan potensi diterimanya skema alokasi air di Sungai Lancang–Mekong. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini, negara-negara di DAS Lancang–Mekong dan kawasan lain dapat memperkuat ketahanan air, mengurangi risiko konflik, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi utama:
Sumber Artikel
Fang Li, Feng-ping Wu, Liu-xin Chen, Yue Zhao, Xiang-nan Chen, Zhi-ying Shao. Fair and Reasonable Allocation of Trans-Boundary Water Resources Based on an Asymmetric Nash Negotiation Model from the Satisfaction Perspective: A Case Study for the Lancang–Mekong River Bain. International Journal of Environmental Research and Public Health, 2020, 17(20): 7638.