Keuangan
Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 28 Mei 2024
Bank Indonesia (BI) mengatakan, rupiah digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) akan menjadi salah satu isu yang dibahas dalam finance track Presidensi G20. Bank sentral menilai, CBDC bakal mendorong kesuksesan digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia.
"Digitalisasi sistem pembayaran menjadi agenda utama. Tetapi di dalamnya termasuk persiapan CBDC," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara G20 BI Finance Tracking Side Event Series pada Senin (14/2).
CBDC merupakan bentuk digital dari mata uang nasional yang diterbitkan oleh bank sentral suatu negara. Dengan demikian, CBDC menjadi bagian dari kewajiban moneter dan simbol kedaulatan negara atau sovereign currency.
Ia mengatakan, CBDC menjadi upaya regulator untuk mendorong kesuksesan digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia. "Ini guna memajukan digitalisasi sistem pembayaran," ujarnya.
CBDC juga sejalan dengan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Dalam cetak biru ini, BI mendorong integrasi ekonomi dan keuangan digital, termasuk mengintegrasikan bank dan platform teknologi finansial (fintech). BI juga akan menyeimbangkan inovasi dan mitigasi risiko dari digitalisasi sistem pembayaran.
Sebelumnya, Perry mengatakan bahwa BI akan mempercepat penerbitan CBDC. Namun, bank sentral masih melakukan riset terkait penerapan rupiah digital di masyarakat.
Wakil Ketua Umum III Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Harianto Gunawan menyambut baik rencana peluncuran CBDC dari BI tersebut. "Kami melihat, CBDC akan menjadi pelengkap dalam mempercepat inklusi keuangan," katanya kepada Katadata.co.id, tahun lalu (3/12/2021).
Dia menilai, CBDC akan memberikan dampak positif terhadap industri fintech, khususnya sektor pembayaran seperti OVO, GoPay, DANA hingga LinkAja. CBDC membuat transaksi lebih efisien, minim biaya, dan mudah.
CBDC juga membuka ceruk pasar dan layanan baru bagi sektor fintech. "Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang belum pernah tersentuh bank bisa memiliki digital money, seperti punya uang kartal. Teknologi ini bisa dipakai berdagang," ujarnya.
Sumber: katadata.co.id
Keuangan
Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 28 Mei 2024
Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait larangan pihak perbankan memfasilitasi transaksi kripto telah menuai kritik. Sebelumnya OJK telah meminta kepada industri perbankan agar pemakaian rekening bank tidak dijadikan sebagai penampung dana dari kegiatan melanggar hukum, termasuk kripto. Hal ini merupakan buntut dari maraknya penipuan investasi dan kejahatan bermodus skema ponzi.
Di sisi lain, kripto telah dikukuhkan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan dengan pengawasan di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda menilai pernyataan OJK itu menandakan adanya ketidakselarasan antar instansi pemerintah. Lantaran, kripto sendiri telah dirancang sebagai komoditas oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan.
Tidak hanya itu, Bappebti juga telah merancang aturan terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Artinya, selama transaksi dilakukan oleh pedagang kripto terdaftar dan diawasi Bappebti, skema perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif lainnya.
"Di satu sisi Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti ini ngobrol dululah, tren aset kripto ini sudah jalan beberapa tahun terakhir," ujar Nailul dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (8/2/2022).
Di lain sisi, dia memahami sudut pandang OJK yang masih mempersepsikan aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya uang fiat, karena namanya adalah cryptocurrency. Sedangkan alat tukar resmi adalah Rupiah sebagaimana diatur perundang-undangan.
"Tapi sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya, kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi. Bukan alat transaksi,” ujar Nailul.
Ada Perbedaan
Oleh karena itu, dia menilai ada kejanggalan dengan imbauan dari otoritas agar perbankan tidak memfasilitasi transaksi aset kripto, padahal sejak awal Bappebti merumuskan kripto sebagai komoditas investasi.
"Bagaimana bisa investor membeli atau berinvestasi aset kripto kalau tidak bisa menggunakan rekening bank sebagai jembatan untuk beli atau jual aset kripto ke pedagang kriptonya? Ini aset digital, masa iya beli dan jualnya lewat pedagang langsung secara offline," tutur Nailul.
Dia sepakat, otoritas dan Satgas Waspada Investasi (SWI) berhak melarang sejauh perdagangan itu bersifat ilegal, termasuk dilakukan oleh pedagang kripto yang tidak terdaftar.
"Selama ini Bappebti sudah merilis mana saja pedagang kripto dan koin kripto yang terdaftar dan berizin resmi di Bappebti. Seharusnya itu sudah cukup jadi acuan untuk melakukan pengawasan dan mengendalikan keterlibatan bank," tutur Nailul.
Dia menambahkan, OJK berhak dan berwenang mengatur dan melarang perbankan dalam ekosistem aset kripto, dalam hal penempatan dana bank ke dalam bentuk aset kripto. Sebab, kata Nailul, karena dana di bank adalah dana masyarakat.
"Mereka tidak boleh main-main menempatkan dana nasabahnya, terutama di aset yang punya fluktuasi tinggi," tutur dia.
Tanggapan Asosiasi
Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Teguh K. Harmanda mengungkapkan pihak asosiasi menghargai pernyataan dari otoritas. Namun, dia menilai, sejauh ini asosiasi telah berupaya untuk menempatkan perdagangan kripto sesuai aturan main dan melengkapi perlindungan hukum.
"Bahwa sudah semestinya kita harus menjaga industri agar tumbuh secara sehat, contohnya pada industri aset kripto yang sudah menerapkan rekomendasi terhadap APU/PPT, adanya pelaporan yang diwajibkan oleh Bappebti setiap harinya, dan melaporkan jika menemukan transaksi mencurigakan," ujar dia.
Pihaknya yakin, transaksi aset kripto yang berjalan saat ini sudah seirama dengan mitigasi risiko yang khawatirkan bersama pada industri keuangan secara luas.
Sumber: www.liputan6.com
Keuangan
Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 28 Mei 2024
TRANSFORMASI digital di berbagai sektor telah berkembang dengan sangat masif dan tren ini diperkirakan akan terus berlanjut. Salah satu tren digitalisasi yang sedang marak saat ini adalah kemunculan berbagai jenis aset kripto.
Hingga saat ini, tercatat lebih dari 17 ribu jenis aset kripto di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi seperti blockchain dan distributed ledger technology (DLT), jumlah tersebut diyakini akan terus bertambah. Dan dana yang mengalir ke aset kripto juga akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Di tengah popularitas yang terus meningkat, regulator di berbagai negara masih menilai aset kripto memiliki banyak aspek negatif yang dapat merugikan konsumen. Misalnya, nilainya sangat fluktuatif dan tidak ada otoritas yang menjamin. Selain itu, sifat anonim dari aset kripto juga rawan disalahgunakan untuk beragam tindak kejahatan. Kita mungkin sering mendengar berbagai serangan siber berbasis ransomware selalu meminta tebusan kepada korban dalam bentuk aset kripto.
Dengan latar belakang itu, bank sentral dari berbagai negara mulai mempertimbangkan untuk menerbitkan mata uang digital, yang sering disebut sebagai central bank digital currency (CBDC). Kehadiran mata uang digital yang diterbitkan langsung oleh lembaga berwenang itu merupakan perwujudan dari tugas dan fungsi untuk menyediakan uang sebagai alat pembayaran yang sah dan tepercaya kepada publik.
CBDC berpotensi memainkan peran vital dalam upaya bank sentral untuk terus menyediakan instrumen pembayaran yang aman dan selaras dengan perkembangan era digital. Dengan CBDC, masyarakat dapat memperoleh akses ke instrumen pembayaran digital yang risk-free karena dijamin langsung oleh regulator. Sama dengan kita menggunakan uang kertas dan logam yang dijamin oleh bank sentral, hanya dalam wujud digital.
Hal tersebut sangat kritikal. Sebab, nominal pembayaran digital terus tumbuh tinggi, khususnya di situasi pandemi seperti saat ini. Rilis terakhir dari Bank Indonesia pada Kamis (10/2) menyebutkan, pada Januari 2022, nilai transaksi uang elektronik (UE) tumbuh 66,65 persen (yoy) mencapai Rp 34,6 triliun dan nilai transaksi digital banking meningkat 62,82 persen (yoy) menjadi Rp 4.314,3 triliun. Dengan pertumbuhan pesat tersebut, kehadiran instrumen pembayaran digital yang aman dan dikelola oleh regulator menjadi suatu kebutuhan.
Kemudian, CBDC juga dapat mendorong peningkatan inklusivitas keuangan yang menjadi tantangan banyak negara berkembang. Dengan adanya CBDC, transaksi masyarakat akan tercatat secara lengkap dan granular. Hal tersebut pada gilirannya dapat membentuk scoring berbasis aktivitas transaksi pembayaran bagi tiap-tiap individu masyakarat. Selanjutnya, scoring yang telah terbentuk dapat dipergunakan sebagai dasar bagi penyaluran pinjaman atau pembiayaan untuk pengembangan kapasitas ekonomi masyarakat lebih lanjut.
Selain kedua hal di atas, masih banyak manfaat lain yang diperoleh dari keberadaan CBDC. Mulai dari dapat menjadi instrumen baru kebijakan moneter jika didesain untuk tujuan tersebut, mempermudah penyaluran bantuan sosial, sampai dengan membantu transaksi antarnegara. Termasuk remitansi dari pekerja migran langsung kepada keluarga di Indonesia.
Namun, sebelum menerbitkan CBDC, penting bagi regulator melakukan penilaian secara cermat, transparan, dan komprehensif. Sehingga dampak dan risiko yang mungkin ditimbulkan oleh penerbitan CBDC dapat dipahami dan dimitigasi dengan baik. Hal ini disebabkan keberadaan CBDC akan sangat memengaruhi stabilitas moneter dan keuangan serta perekonomian secara keseluruhan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyoroti tiga poin penting yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan kehadiran CBDC sehingga dapat memainkan peran vital di era digital.
Interoperability
Inisiatif CBDC perlu dipersiapkan dan diimplementasikan melalui kerangka kerja sama dan kolaborasi lintas negara. Penting bagi regulator (bank sentral dan otoritas terkait lain) berkolaborasi dan menciptakan interoperabilitas (kemampuan saling ”berbicara” dan saling bertransaksi antar-CBDC) di antara proyek mata uang digital.
Langkah membangun interoperabilitas, antara lain, dapat dilakukan melalui pengembangan standar dan pedoman umum terkait interoperabilitas serta skema interkoneksi dengan berbagai infrastruktur pembayaran yang saat ini telah beroperasi. Hal ini sangat penting agar kehadiran CBDC tidak menjadikan transaksi lintas negara terfragmentasi tetapi justru menjadi pemicu aktivitas keuangan antarnegara yang semakin terintegrasi.
Availability
Di negara maju, akses internet bisa jadi telah tersebar secara merata di seluruh wilayah. Namun demikian, di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, masih banyak daerah yang belum terjangkau oleh akses internet. Hal ini juga perlu menjadi pertimbangan regulator dalam mendesain aspek teknologi dari CBDC.
CBDC perlu dirancang dan disiapkan sedemikian rupa sehingga tetap dapat digunakan di daerah dengan maupun tanpa akses internet. Salah satu opsi solusi yang dapat diambil adalah CBDC akan ditransaksikan secara online di area yang memiliki akses internet. Sedangkan untuk area yang tidak memiliki konektivitas internet, CBDC akan diproses secara offline.
Novelty
Bergerak lebih jauh dari kehadiran belasan ribu aset kripto, saat ini skema decentralized finance atau DeFi juga tengah berkembang dengan sangat pesat di berbagai negara. Dengan berbasis DLT dan smart contract, DeFI merupakan ”bangunan baru” sistem keuangan yang mereplikasi layanan keuangan konvensional (lending, derivatif, exchange, dan sebagainya) ke dalam ekosistem digital peer-to-peer.
Sebagai perbandingan, jika menggunakan sistem keuangan yang saat ini kita kenal, untuk menabung atau memperoleh pinjaman kita perlu perantara lembaga keuangan (bank atau nonbank). Dengan adanya DeFi, keberadaan lembaga keuangan akan digantikan oleh platform/apps yang bekerja dengan teknologi DLT. Aset kripto yang kita miliki dapat dipinjamkan atau kita dapat meminjam aset kripto, di mana semuanya akan diproses secara otomatis menggunakan smart contract.
The Federal Reserve Bank of St Louis mencatat, dana yang berada dalam DeFi telah mencapai lebih dari USD 10 miliar pada akhir 2021 (naik pesat dari ”hanya” USD 1 juta di awal 2018). Dengan semakin maraknya aktivitas keuangan di dalam ekosistem DeFi, CBDC juga perlu dirancang agar bisa kompatibel dan digunakan dalam ekosistem tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pihak berwenang dapat memantau perkembangan DeFi dari dalam ekosistem serta memastikan terjaganya perlindungan konsumen. (*)
Sumber: www.jawapos.com
Keuangan
Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 28 Mei 2024
Jakarta, Beritasatu.com - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan Bank Indonesia merupakan bank sentral pertama yang tidak mengakui penggunaan aset kripto, yang saat ini sedang banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia dan dunia.
"Bank Indonesia merupakan bank sentral pertama yang tidak akui cryptocurrency sebagai alat pembayaran sah, dan kita sudah terbitkan itu. Sehingga, kenapa di Indonesia istilahnya bukan cryptocurrency tapi aset kripto. Sekarang, banyak negara kemudian mengeluarkan statement dan regulasi seperti itu," kata Perry Warjiyo saat FGD dengan pimpinan redaksi media massa, Rabu (23/2/2022).
Seiring berjalannya waktu, perkembangan aset kripto di dunia bahkan Indonesia sangat cepat. Alhasil, aset kripto masuk dalam salah satu topik yang dibicarakan negara-negara anggota G-20. Pembahasan ini berkaitan pengelolaan risiko, pengawasan, monitoring transaksi aset kripto.
Menurut Perry Warjiyo, aset kripto memiliki transaksi yang luar biasa besar. Oleh karena itu, finansial supervisory saat ini tengah melakukan assement terkait potensi risiko-risiko dari transaksi aset kripto terhadap stabilitas sistem keuangan.
"Assement ini dilakukan kemudian regulasi seperti apa, pengawasan seperti apa yang harus dilakukan oleh global atau otoritas dan bank sentral ini dirumuskan oleh financial supervisory bond ini sedang dirumuskan Bank Indonesia. Keterangan lengkapnya akan dijelaskan dalam first respond yang akan dibahas di Bali," imbuhnya.
Perry menegaskan, dengan nilai transaksi aset kripto yang besar, namun bila tidak dipantau secara baik dikhawatirkan akan menimbulkan distabilitas terhadap pasar keuangan global maupun perekonomian Indonesia.
"Kita susun bagaimana rancangan pengaturan dan pengawasan aset kripto agar tidak menimbulkan stabilitas sistem keuangan dan global dan tidak timbulkan risiko lain termasuk keamanan siber, perlindungan konsumen, dan anti money laundering serta pendanaan untuk terorisme. Itu merupakan asesment yang dilakukan terhadap aset kripto," tegasnya.
Selain itu, kata Perry Warjiyo, assessment juga akan dilakukan terhadap pengawasan aset kripto yang dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
"Kami lakukan assesment implikasi ke stabilitas sistem keuangan dan moneter. Jadi, agenda dibahas dalam KSSK ini perlunya pengawasan monitoring perdagangan aset kripto," pungkasnya.
Sumber: www.beritasatu.com
Keuangan
Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 28 Mei 2024
Jakarta - Jagad media sosial ramai pembahasan token kripto ASIX milik Anang Hermansyah setelah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencuit di twitter. Bappebti lewat akun twitter resminya menyampaikan, ASIX Token jadi aset digital yang tidak bisa diperdagangkan karena belum ada izin untuk ASIX Token di Indonesia. Bappebti juga menyatakan token kripto ASIX Anang Hermansyah tidak bisa digunakan di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi token ASIX, sebenarnya apa sih token kripto itu?
Pengertian Token Kripto
Melansir laman Business Insider, token kripto adalah representasi dari aset yang dapat disimpan untuk nilai, diperdagangkan, dan 'dipertaruhkan' untuk mendapatkan bunga. Dalam istilah lain disebut juga sebagai Mata Uang Kripto (Cryptocurrency) yang berarti aset digital yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan kriptografi yang kuat, dikutip laman Bank Indonesia.
Tujuannya yakni untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol penciptaan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset. Mata uang kripto yang paling terkenal adalah bitcoin. Selain bitcoin masih ada ribuan mata uang kripto, di antaranya ethereum, litecoin, ripple, stellar, dogecoin, cardano,
Bisa digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia?
Mata uang kripto yang ada saat ini tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.
Bank Indonesia juga telah menegaskan bahwa sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara Teknologi Finansial di Indonesia baik Bank dan Lembaga Selain Bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency.
Sebagai aset kripto yang dapat diperdagangkan
Sementara itu, posisi token mata uang kripto sendiri telah diatur oleh Kementerian Perdagangan melalui Bappebti. Aturan tersebut diterbitkan sebagai Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto (berlaku 17 Desember 2020). Jadi, mata uang Kripto yang diketahui saat ini bukan sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah NKRI, namun sebagai Aset Kripto yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Sumber: www.detik.com
Keuangan
Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 28 Mei 2024
Jakarta, Kominfo - Bank Indonesia, dalam rilis yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi, Agusman, menegaskan bahwa virtual currencytermasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia.
Lebih lanjut, Agusman menyampaikan bahwa hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah,” jelas Agusman dalam rilisnya.
Pemilikan virtual currency, menurut Departemen Komunikasi BI, sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency.
Dalam rilis tersebut, BI juga menyampaikan bahwa nilai perdagangan virtual currency sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Hal itu dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency,” jelas Agusman dalam rilis tersebut.
Bank Indonesia, jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara Teknologi Finansial di Indonesia baik Bank dan Lembaga Selain Bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency, sebagaimana diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017​ tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
“Bank Indonesia sebagai otoritas di bidang Moneter, Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pembayaran senantiasa berkomitmen menjaga stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen dan mencegah praktik-praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme,” jelas Agusman di akhir rilis tersebut. (YURA)
Sumber: www.kominfo.go.id