Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air Lintas Negara dan Pentingnya Kompensasi Ekologis
Di era perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi pesat Asia Tenggara, pengelolaan sungai lintas negara menjadi isu strategis yang semakin kompleks. Sungai Lancang–Mekong, yang mengalir dari Tiongkok hingga Vietnam, menopang kehidupan ratusan juta penduduk di enam negara. Namun, perbedaan kepentingan, tingkat pembangunan, dan kekuatan politik kerap memicu konflik dalam pemanfaatan air dan jasa ekosistem sungai ini. Paper karya Yue Zhao dkk. (2021) menawarkan pendekatan baru dalam menentukan standar kompensasi ekologis berbasis nilai limpahan ekologi (ecological spillover value/ESV), dengan studi kasus mendalam di DAS Lancang–Mekong. Artikel ini sangat relevan dengan tren global menuju tata kelola air lintas negara yang adil, berbasis data, dan berkelanjutan1.
Latar Belakang: Mengapa Kompensasi Ekologis Diperlukan?
Ketimpangan Hulu-Hilir dan Potensi Konflik
Kompensasi Ekologis: Solusi Ekonomi dan Politik
Inovasi Metodologi: Model ESV Berbasis Emergy dan Jejak Ekologis Air
Kelemahan Metode Konvensional
Solusi: Model Emergy–Water Resources Ecological Footprint
Studi Kasus: Analisis Data dan Temuan Kunci di DAS Lancang–Mekong
Nilai Jasa Ekosistem (TESV) dan Konsumsi (CESV)
Status Keamanan Ekologis Air
Nilai Limpahan Ekologi (ESV) dan Implikasi Kompensasi
Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Implikasi Praktis
Kelebihan Model ESV
Keterbatasan dan Tantangan
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi Praktis
1. Tata Kelola Air Lintas Negara yang Inklusif
2. Penyesuaian Alokasi dan Kompensasi Dinamis
3. Inovasi Skema Kompensasi
4. Penguatan Kapasitas dan Edukasi
Studi Banding: Relevansi untuk Industri dan Tren Global
Opini dan Nilai Tambah: Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Berkelanjutan
Paper ini menandai kemajuan penting dalam tata kelola air lintas negara dengan menawarkan model kompensasi yang lebih adil, berbasis data, dan adaptif. Pendekatan ESV berbasis emergy dan jejak ekologis air dapat menjadi rujukan bagi negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen politik, transparansi data, dan partisipasi multi-stakeholder.
Kritik dan Saran:
Pelajaran Global dari Lancang–Mekong
Studi Yue Zhao dkk. menegaskan bahwa kompensasi ekologis berbasis nilai limpahan ekologi adalah solusi inovatif untuk mengatasi konflik dan ketimpangan dalam pengelolaan sungai lintas negara. Dengan mengadopsi prinsip keadilan, transparansi, dan kolaborasi, negara-negara di DAS Lancang–Mekong dan kawasan lain dapat memperkuat ketahanan air, mengurangi risiko konflik, dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Model ini layak diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut sebagai bagian dari tata kelola air global yang adaptif dan inklusif.
Sumber Artikel
Yue Zhao, Feng-ping Wu, Fang Li, Xiang-nan Chen, Xia Xu, Zhi-ying Shao. Ecological Compensation Standard of Trans-Boundary River Basin Based on Ecological Spillover Value: A Case Study for the Lancang–Mekong River Basin. International Journal of Environmental Research and Public Health, 2021, 18(3): 1251.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Pentingnya Kolaborasi Ekologis di Era Urbanisasi dan Krisis Lingkungan
Delta Sungai Yangtze (YRD) adalah salah satu kawasan ekonomi paling dinamis di Tiongkok, menyumbang hampir seperempat PDB nasional dan sepertiga volume ekspor-impor negara tersebut. Namun, pesatnya pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi telah memunculkan tantangan serius: polusi air, degradasi ekosistem, dan ketimpangan pengelolaan lingkungan antarwilayah. Dalam konteks inilah, paper karya Zhen Yu dan Qingjian Zhao (2022) menjadi sangat relevan, membedah secara mendalam bagaimana mekanisme kompensasi ekologis lintas wilayah dan lintas DAS (daerah aliran sungai) dapat dikembangkan secara kolaboratif untuk menjawab tantangan lingkungan dan tata kelola modern di YRD1.
Artikel ini tidak hanya penting bagi akademisi, tetapi juga bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang ingin memahami praktik terbaik, tantangan, dan peluang dalam membangun tata kelola lingkungan yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Mengapa Kompensasi Ekologis Lintas Wilayah Krusial?
Tantangan Utama
Tren Global
Metodologi: Analisis Jaringan Sosial dan Kerangka IAD
Penulis menggunakan dua pendekatan utama:
Temuan Utama: Peta Jaringan dan Dinamika Tata Kelola
1. Jaringan Kolaborasi: Siapa Pemain Kunci?
2. Studi Kasus: Kolaborasi di Sekitar Danau Dianshan dan Sungai Taipu
3. Analisis Aturan Kelembagaan: Apa yang Kurang?
Tantangan dan Masalah yang Ditemukan
1. Keterbatasan Skala dan Partisipasi
2. Standar dan Insentif yang Belum Jelas
3. Hambatan Struktural
Perbandingan dengan Praktik Global: Apa yang Bisa Dipelajari?
Studi Banding
Pelajaran untuk YRD
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
1. Diversifikasi Aktor dan Tata Kelola Multi-Level
2. Standarisasi dan Monitoring
3. Inovasi Insentif dan Sanksi
4. Penguatan Mekanisme Agregasi dan Informasi
Analisis Kritis dan Opini
Nilai Tambah Paper
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan
Menuju Tata Kelola Ekologis yang Kolaboratif dan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan kompensasi ekologis lintas wilayah di Delta Sungai Yangtze sangat bergantung pada:
Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini, YRD dan kawasan lain di dunia dapat memperkuat ketahanan lingkungan, mengurangi konflik hulu-hilir, dan mendorong pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan adaptif terhadap tantangan masa depan.
Sumber Artikel
Yu, Z.; Zhao, Q. Research on the Coordinated Governance Mechanism of Cross-Regional and Cross-Basin Ecological Compensation in the Yangtze River Delta. Int. J. Environ. Res. Public Health 2022, 19, 9881.
Hukum Lingkungan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Mengapa Rights of Nature Penting di Eropa dan Dunia
Isu Rights of Nature (RoN) atau Hak-Hak Alam kini menjadi perdebatan global yang semakin relevan di tengah krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kegagalan sistem hukum konvensional dalam melindungi lingkungan. Di Eropa, diskursus ini mendapat momentum seiring dorongan untuk Green Deal dan reformasi tata kelola lingkungan yang lebih inklusif. Studi Jan Darpö (2021) yang diulas di sini, mengupas secara kritis apakah konsep RoN benar-benar membawa nilai tambah bagi hukum lingkungan Uni Eropa (UE), atau sekadar simbolisme tanpa dampak nyata1.
Konsep Rights of Nature: Filosofi, Sejarah, dan Perkembangan Global
Dari Antroposentris ke Ekosentris
RoN menantang paradigma hukum tradisional yang menempatkan manusia sebagai pusat (antroposentris), dan menawarkan pendekatan ekosentris: alam memiliki hak inheren, bukan sekadar objek eksploitasi manusia. Filosofi ini berakar pada pemikiran Christopher Stone (“Should Trees Have Standing?”, 1972) dan berkembang melalui gerakan lingkungan, hukum adat, serta advokasi masyarakat adat di Amerika Latin dan Pasifik1.
Evolusi Global: Dari Ekuador ke New Zealand
Angka-angka Penting
Studi Kasus: Implementasi Rights of Nature di Berbagai Negara
1. Ekuador: Vilcabamba River Case
2. Kolombia: Atrato River Case
3. New Zealand: Whanganui River & Te Urewara
4. India: Ganges & Yamuna Rivers
5. Eropa: Simbolisme dan Tantangan Praktis
Analisis Hukum: Rights of Nature dalam Konteks Uni Eropa
Pilar Hukum Lingkungan UE
Perbandingan Model RoN dan Sistem UE
Perbandingan dengan Sistem Hukum Lain dan Studi Lain
Kritik, Tantangan, dan Peluang Rights of Nature di Eropa
Kritik Utama
Tantangan Implementasi
Peluang dan Inovasi
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis
1. Reformasi Hukum Primer UE
2. Penguatan Penegakan dan Monitoring
3. Inovasi Tata Kelola
4. Peningkatan Kapasitas dan Partisipasi
Menuju Tata Kelola Lingkungan yang Lebih Inklusif
Studi ini menegaskan bahwa Rights of Nature menawarkan inspirasi penting untuk reformasi hukum lingkungan, namun efektivitasnya sangat bergantung pada konteks politik, budaya, dan kelembagaan. Di Eropa, RoN lebih relevan sebagai sumber ide untuk memperkuat prinsip-prinsip lingkungan dalam hukum primer dan sekunder, serta mendorong inovasi tata kelola dan penegakan hukum. Tantangan utama tetap pada implementasi, penegakan, dan partisipasi publik yang bermakna. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip RoN secara kontekstual, Eropa dapat memperkuat ketahanan lingkungan dan mengurangi risiko krisis ekologi di masa depan1.
Sumber Artikel
Jan Darpö. Can Nature Get It Right? A Study on Rights of Nature in the European Context. Policy Department for Citizens’ Rights and Constitutional Affairs, European Parliament, PE 689.328, March 2021.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Teknologi Maju Tak Cukup Tanpa Tata Kelola Inklusif
Infrastruktur air modular semakin dipertimbangkan sebagai solusi atas keterbatasan sistem konvensional yang besar, tersentralisasi, dan kaku. Namun, transisi ini bukan hanya persoalan teknologi, melainkan juga tantangan besar dalam tata kelola. Artikel ini merangkum dan menganalisis paper dari Katrin Pakizer dan Eva Lieberherr (2018) yang mereview tata kelola alternatif bagi infrastruktur air modular secara sistematis, terutama dalam konteks negara-negara OECD dan ekonomi berkembang.
Konteks Masalah: Ketergantungan pada Sistem Sentralisasi
Sebagian besar negara maju masih mengandalkan sistem air konvensional yang tersentralisasi dan hierarkis, padahal sistem ini rentan terhadap:
Sementara sistem modular yang terdiri dari unit-unit kecil, otomatis, dan diproduksi massal memiliki potensi untuk lebih adaptif, efisien, dan berkelanjutan.
Namun, adopsi sistem modular sering terhambat oleh defisit inovasi, yaitu kecenderungan sektor air untuk bertahan pada sistem lama karena biaya awal tinggi, umur aset panjang (30–100 tahun), dan risiko perubahan kelembagaan.
Fokus Studi: Tinjauan Eksploratif Tata Kelola Alternatif
Penelitian ini mengevaluasi 115 publikasi yang relevan dan mengidentifikasi 11 studi kasus nyata dari 8 negara, termasuk Jepang, Jerman, Australia, Kanada, dan Finlandia. Fokus utama kajian ini:
Temuan Utama: Masih Dominannya Instrumen Formal
Sebagian besar studi mengandalkan instrumen kebijakan formal, seperti:
Instrumen pasar seperti subsidi, lelang, dan insentif ekonomi juga muncul, misalnya dalam mendorong pemasangan kebun hujan dan tangki air di Amerika Serikat (Thurston et al., 2010).
Sementara itu, instrumen informal masih jarang digunakan, tapi efektif dalam tahap perencanaan, seperti:
Studi Kasus Kunci: Pelajaran dari Jepang dan Finlandia
Bentuk Organisasi: Publik Tetap Sentral, Tapi Komunitas Naik Peran
Tidak ada satu pun studi kasus yang sepenuhnya dikelola swasta. Sebagian besar layanan tetap berada di bawah pengawasan publik atau melalui koperasi air masyarakat.
Pengelolaan berbasis komunitas menjadi semakin penting, terutama untuk infrastruktur berskala rumah tangga atau desa. Misalnya, sistem air hujan di Australia atau koperasi air di Texas dan New Mexico yang dijalankan melalui kemitraan publik-swasta lokal.
Mekanisme Sosial: Dari Akuntabilitas Vertikal ke Horizontal
Dalam sistem modular, bentuk akuntabilitas cenderung bergeser dari vertikal (atas ke bawah) ke horizontal (antarwarga). Ini dicontohkan dengan:
Nilai-nilai seperti altruisme, kepercayaan, dan kerja sama sukarela menjadi kunci dalam kelangsungan sistem modular berbasis masyarakat.
Kritik dan Analisis Tambahan: Relevansi untuk Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serupa: keterbatasan dana, ketimpangan pelayanan air, dan tekanan urbanisasi. Sistem modular dapat menjadi solusi alternatif, terutama di wilayah pinggiran dan rural, namun:
Kesimpulan: Tata Kelola Modular Butuh Reformasi Bertahap
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi modular menjanjikan, tata kelola dan regulasi yang adaptif tetap jadi kunci keberhasilan. Dibutuhkan:
Modularisasi infrastruktur air bukan hanya proyek teknis, tetapi transformasi sosial-politik yang membutuhkan pendekatan lintas sektor dan partisipatif. Ke depan, penelitian harus menggali lebih dalam hubungan timbal balik antara teknologi dan institusi untuk merancang tata kelola yang benar-benar inovatif dan berkelanjutan.
Sumber : Pakizer, K., & Lieberherr, E. (2018). Alternative governance arrangements for modular water infrastructure: An exploratory review. Competition and Regulation in Network Industries, 19(1-2), 53–68.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pengantar: Ketika Kota Jadi Produk Digital
Kota-kota kini berlomba menjadi “cerdas”—mengintegrasikan teknologi, data, dan kolaborasi publik-swasta untuk mengatasi persoalan urban. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Astrid Voorwinden dalam disertasinya di University of Groningen, keberhasilan proyek smart city bukan hanya soal teknologi, melainkan soal bagaimana nilai-nilai publik dijaga dalam pusaran digitalisasi dan komersialisasi. Artikel ini menganalisis riset tersebut, menyoroti studi kasus, konsep hukum, serta tantangan etika dan kelembagaan dalam implementasi smart city.
Smart City: Istilah yang Komersial, Tak Netral
Definisi “smart city” masih kabur dan bervariasi. Secara umum, kota cerdas digambarkan sebagai kota yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan efisiensi layanan publik, transparansi, dan keberlanjutan. Namun, Voorwinden menyatakan bahwa istilah ini sejak awal dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran, bukan kerangka ilmiah. Dengan citra positif yang dibentuk—dari “kota pintar” hingga “kota masa depan”—label ini kerap menyembunyikan agenda bisnis dan dominasi aktor swasta dalam tata kelola kota.
Studi Kasus: Gagalnya Quayside, Toronto
Proyek smart city paling kontroversial muncul di Quayside, Toronto, yang digagas oleh Sidewalk Labs—anak usaha Alphabet (induk Google). Proyek ini awalnya disambut antusias karena menawarkan inovasi seperti sensor jalan, pengelolaan limbah otomatis, dan transportasi otonom.
Namun, #BlockSidewalk—gerakan masyarakat sipil—muncul karena:
Akhirnya, proyek ini dibatalkan pada 2020, memperkuat kritik bahwa smart city sering kali lebih menguntungkan korporasi dibanding warganya.
Tantangan Hukum dan Regulasi Smart City
Voorwinden menyoroti bahwa sebagian besar literatur hukum masih terlalu fokus pada isu data dan teknologi, belum cukup membahas relasi kuasa antara pemerintah kota dan mitra swasta. Ia mengajukan lima pertanyaan utama:
Urban Living Labs dan Tantangan Praktis
Voorwinden mempelajari praktik kolaborasi melalui Urban Living Labs (ULLs)—proyek eksperimental di mana teknologi diuji langsung di lingkungan kota. Di Belanda, misalnya, ULL sering didanai swasta, namun pemerintah minim pengawasan hukum.
Hasil temuan menunjukkan:
ULL merepresentasikan model “sandbox governance” yang butuh peraturan ketat agar tidak justru merusak nilai publik.
Kasus Amsterdam: Fragmentasi dan Kelembagaan
Studi lapangan di Amsterdam memperlihatkan bagaimana pemerintah kota kesulitan mengkoordinasikan proyek smart city akibat:
Meski memiliki program resmi, tata kelola proyek digital cenderung terpecah-pecah. Hal ini menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan korporasi tanpa akuntabilitas publik yang memadai.
Soft Law: Alternatif atau Ilusi?
Voorwinden juga mengulas peran “soft law”—pedoman non-mengikat seperti kode etik digital, prinsip data terbuka, atau deklarasi hak digital warga. Meski fleksibel dan partisipatif, pendekatan ini punya keterbatasan:
Karena itu, ia merekomendasikan kombinasi antara soft law dengan kerangka hukum formal dan kebijakan berbasis hak asasi manusia.
Kritik dan Nilai Tambah: Perspektif Global Selatan
Satu hal yang kurang disorot dalam disertasi ini adalah konteks Global Selatan, termasuk Indonesia. Di banyak kota berkembang, implementasi smart city sering hanya kosmetik: mengganti lampu jalan dengan “smart lighting” tanpa memperbaiki layanan dasar.
Isu ketimpangan digital, literasi teknologi rendah, dan keterbatasan kapasitas lembaga juga membuat pendekatan seperti ULL atau data trust menjadi tidak relevan tanpa adaptasi lokal.
Di sisi lain, Voorwinden sangat tepat menyoroti bagaimana “nilai publik” harus menjadi pusat desain teknologi kota, bukan sekadar bonus tambahan.
Kesimpulan: Regulasi Proyek Kota Cerdas Butuh Paradigma Etis
Proyek smart city bukanlah soal teknologi, melainkan soal siapa yang berkuasa, siapa yang dilayani, dan siapa yang dikorbankan. Kolaborasi publik-swasta perlu transparansi, kontrol demokratis, dan perlindungan hak warga.
Kota cerdas yang ideal bukan hanya responsif, tapi adil dan partisipatif. Bukan hanya pintar secara teknis, tapi juga bijaksana secara sosial.
Sebagai kesimpulan, Voorwinden menegaskan bahwa hukum harus bergerak melampaui perlindungan data dan mulai membangun kerangka regulasi menyeluruh untuk menjaga nilai-nilai publik dalam tata kelola kota digital.
Sumber : Voorwinden, A. (2023). Smart cities: private means, public ends? Challenges in regulation and governance of smart city projects [Doctoral dissertation, University of Groningen]. University of Groningen.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Ketika Air, Cerita, dan Teknologi Menjadi Strategi Ekspor
Dalam era krisis iklim dan tekanan global terhadap infrastruktur air, Denmark tidak hanya menawarkan teknologi, tetapi juga narasi. Narasi ini bukan sekadar cerita sukses, melainkan alat diplomasi—yang oleh Jonas Falzarano Jessen disebut sebagai Water Diplomacy—untuk menjadikan solusi air Denmark diterima luas di pasar internasional. Artikel ini merangkum dan menganalisis temuan etnografis Jessen tentang bagaimana digitalisasi, diplomasi lunak, dan kapitalisasi cerita digunakan Denmark untuk memperkuat posisi globalnya.
Latar Belakang: Water Diplomacy dan Narasi Eksklusif Denmark
Jessen mengamati transformasi dalam cara Denmark menyampaikan solusi air. Bukan lagi melalui penjualan langsung, tetapi melalui pendekatan “soft sell” yang dilakukan oleh “water ambassadors”. Alih-alih menjual produk, mereka menjual cerita: bagaimana teknologi Denmark membantu mengurangi kehilangan air, menyelamatkan lingkungan, dan menjadi tulang punggung kesejahteraan sosial.
Dalam sebuah wawancara, Liam—water ambassador Denmark di Italia—mengatakan:
“Kami tidak datang sebagai penjual, tapi sebagai kolega. Tapi pada akhirnya, semua ini tetap tentang penjualan—hanya saja dikemas dalam cerita.”
Studi Kasus: Diplomasi Air Denmark di Italia
Salah satu contoh kuat datang dari perjalanan Liam ke Reggio Emilia, Italia. Di sana, ia tidak langsung menjual teknologi, tapi mendengarkan tantangan lokal: pipa tua, daerah pegunungan yang sulit dijangkau, dan limbah yang menjadi sumber air utama sungai.
Liam lalu membandingkan dengan dua proyek unggulan Denmark:
Dengan ini, Denmark tidak menawarkan barang, melainkan “solusi yang telah terbukti berhasil”, dan itu membuat delegasi Italia merasa narasi Denmark bisa jadi masa depan mereka.
Infrastruktur Kebijakan: Undang-Undang dan Strategi Nasional
Transformasi sektor air Denmark tak lepas dari kebijakan progresif:
Kedua regulasi ini mendorong investasi inovasi dan kolaborasi publik-swasta yang menjadi basis ekspor teknologi air Denmark.
Digitalisasi: Katalisator Skala dan Cerita
Denmark mengandalkan teknologi prediktif, AI, dan sensor digital sebagai bagian dari narasi keberhasilan. Dalam dokumen strategi ekspor air tahun 2021, pemerintah menyatakan:
“Denmark harus menjadi pemimpin global dalam solusi air cerdas yang berkelanjutan.”
Teknologi digital ini—seperti pemantauan kebocoran secara real-time, citra satelit, hingga AI untuk prediksi investasi infrastruktur—menjadi media untuk menyampaikan nilai keberlanjutan, bukan sekadar alat teknis.
Diplomasi yang Tak Tampak: Antara Cerita dan Pasar
Meski diplomasi ini tampak seperti pertukaran ide, tujuan akhirnya tetap ekonomi: menembus pasar global air, memperkuat posisi Denmark dalam ekspor teknologi, dan menopang kesejahteraan negara.
Namun Jessen menunjukkan bahwa keberhasilan ini bergantung pada praktik yang tak bisa ditiru sembarangan—seperti kunjungan fisik, relasi personal, dan kemampuan bercerita yang kontekstual. Inilah yang ia sebut sebagai praktik nonskalabel yang memungkinkan skalabilitas komersial.
Dengan kata lain, bukan teknologinya yang dijual, melainkan narasinya yang bisa disesuaikan dan dihidupkan oleh para diplomat air.
Kritik dan Analisis Tambahan
Keberhasilan Denmark dalam narasi air digital patut diakui. Namun beberapa pertanyaan patut diajukan:
Selain itu, pendekatan naratif yang terlalu fokus pada ekspor bisa mengabaikan kebutuhan domestik, khususnya jika digunakan untuk sekadar branding tanpa evaluasi dampak jangka panjang.
Kesimpulan: Diplomasi Cerita sebagai Aset Strategis
Water Diplomacy ala Denmark bukan sekadar ekspor teknologi, tapi ekspor cara bercerita dan cara membangun hubungan lintas negara. Cerita menjadi jembatan antara pasar dan nilai, antara teknologi dan diplomasi, antara efisiensi dan keberlanjutan.
Denmark membuktikan bahwa dalam dunia yang kian digital dan terhubung, soft power bukan hanya soal budaya—tapi juga soal air. Dan air, seperti cerita, bisa mengalir ke mana saja, asalkan dibingkai dengan strategi yang tepat.
Sumber : Jessen, J. F. (2024). Water Diplomacy: Scaling Water Stories through Digitalisation in Denmark. Anthropological Journal of European Cultures, 33(2), 88–107.