Analisis Komprehensif Manajemen Risiko Banjir Air Tanah di Inggris: Sintesis Temuan, Kesenjangan Kritis, dan Arah Masa Depan (Berdasarkan Laporan FRS19217)
Penilaian bukti cepat (REA) ini, yang ditugaskan untuk mendukung National Flood and Coastal Erosion Risk Management Strategy for England (2020), menyajikan pemahaman dasar pertama yang komprehensif mengenai pendekatan saat ini terhadap manajemen risiko banjir air tanah.1 Dengan menggabungkan tinjauan literatur peer-reviewed dan grey literature dengan survei ekstensif terhadap 260 pemangku kepentingan dan wawancara mendalam, laporan ini mengidentifikasi alur praktik, keberhasilan lokal, dan, yang paling penting, kesenjangan sistemik yang signifikan.1
Temuan-temuan kunci menunjukkan rantai kegagalan kausal: ambiguitas dalam tata kelola menyebabkan fragmentasi pengumpulan data; kesenjangan data ini menghambat pengembangan model risiko yang andal; kurangnya model risiko membuat peramalan menjadi tidak berkelanjutan; dan semua faktor ini berpuncak pada mitigasi yang reaktif dan kegagalan dalam perencanaan tata ruang.1
Alur Logis Temuan: Sintesis Praktik Manajemen Risiko Banjir Air Tanah Saat Ini
Analisis laporan FRS19217 mengungkapkan alur logis di mana kelemahan pada satu tahap manajemen risiko secara langsung menyebabkan kegagalan pada tahap berikutnya.
1. Akar Masalah: Ambiguitas Tata Kelola (Governance)
Akar dari tantangan manajemen banjir air tanah saat ini terletak pada ambiguitas tata kelola yang diperkenalkan oleh Flood and Water Management Act (FWMA) 2010. Undang-undang ini membagi tanggung jawab, memberikan Environment Agency (EA) peran "strategis" sementara Lead Local Flood Authorities (LLFAs) menerima peran "manajemen".1
Masalah fundamentalnya adalah bahwa banjir air tanah tidak mematuhi batasan yurisdiksi ini. Laporan tersebut menemukan bahwa mengelola banjir air tanah "tidak dapat dengan mudah dipisahkan dari sumber banjir lainnya".1 Air tanah yang muncul dapat mengalir ke sungai (domain EA) atau membanjiri jaringan drainase (domain LLFA), menciptakan skenario risiko yang kompleks dan tumpang tindih. Ambiguitas tata kelola ini menciptakan kekosongan kepemilikan, di mana tidak ada satu entitas pun yang memiliki tanggung jawab penuh atau sumber daya untuk mengelola risiko yang saling terkait ini, yang mengarah langsung ke kegagalan dalam fungsi-fungsi berikutnya.1
2. Konsekuensi: Kesenjangan Data Sistemik dan 'Under-Reporting'
Konsekuensi paling langsung dari tata kelola yang terfragmentasi adalah kegagalan dalam pengumpulan data. Laporan ini mengidentifikasi bahwa insiden banjir air tanah secara signifikan kurang dilaporkan (under-reported). Hal ini bukan karena insiden tidak terjadi, melainkan karena dua faktor: (1) kurangnya pemahaman tentang mekanisme banjir air tanah di antara otoritas lokal dan masyarakat, dan (2) kesulitan yang melekat dalam "memisahkannya dari sumber banjir lainnya" dalam laporan insiden.1
Laporan tersebut secara tegas menyatakan bahwa "tidak ada sistem atau proses nasional untuk mengumpulkan dan mengkolasi catatan banjir air tanah".1 Apa yang ada bersifat terfragmentasi; LLFAs dan dewan lokal mengumpulkan beberapa catatan, seringkali dalam database GIS, tetapi data penting lainnya disimpan secara terpisah oleh entitas seperti perusahaan air (water companies) dan Highways England dan "seringkali tidak tersedia secara luas".1 Meskipun praktik baik lokal diidentifikasi, seperti portal web 'FORT' yang dikembangkan di Wessex, sistem ini tetap bersifat lokal dan belum diadopsi secara nasional.1 Tanpa data historis yang konsisten dan terpusat, menjadi mustahil untuk memvalidasi model risiko, melatih sistem peramalan, atau memprioritaskan investasi mitigasi secara efektif.
3. Dampak: Fragmentasi Penilaian Risiko (Assessment)
Kesenjangan data historis berdampak langsung pada kemampuan untuk menilai risiko di masa depan. Laporan tersebut menemukan bahwa, tanpa data insiden nasional untuk validasi, pemetaan risiko nasional menjadi sangat menantang. Akibatnya, peta risiko banjir air tanah nasional terbaik yang ada saat ini adalah "produk komersial".1
Hal ini menimbulkan masalah transparansi dan aksesibilitas yang kritis. Karena metodologi peta komersial ini "tidak dapat diakses untuk dinilai secara kuat," menjadi "sulit untuk membuat penilaian yang akurat" tentang kesesuaian dan akurasinya.1 Sebagai hasilnya, otoritas lokal dan perencana terpaksa menggunakan produk yang lebih tua dan kurang akurat—seperti peta 'Areas Susceptible to Groundwater Flooding' (AStGwF) milik Environment Agency, yang hanya merupakan alat penyaringan tingkat tinggi pada grid $1~km^{2}$—atau mereka harus menugaskan studi pemodelan lokal yang mahal dan padat data.1
Praktik ini menciptakan ketidakadilan risiko; wilayah dengan pendanaan dan keahlian yang lebih besar, seperti London dengan peta iPEG-nya, dapat mengembangkan pemahaman risiko yang terperinci 1, sementara wilayah lain yang mungkin menghadapi risiko serupa tertinggal dengan data yang sudah ketinggalan zaman atau tidak memadai.
4. Gejala: Peramalan yang Tidak Berkelanjutan dan Peringatan yang Tidak Pasti
Tanpa model risiko nasional yang terintegrasi dan tervalidasi, peramalan banjir air tanah menjadi aktivitas ad-hoc yang sangat bergantung pada keahlian lokal. Laporan ini menyoroti sistem yang dikembangkan secara lokal, seperti alat peramalan berbasis spreadsheet yang efektif di Wessex dan model CATCHMOD.1
Namun, sistem ini mengungkapkan kerapuhan sistemik. Laporan tersebut menemukan dua kelemahan fatal: pertama, sistem ini "tidak terintegrasi ke sistem nasional" dan "tidak berjalan otomatis." Kedua, mereka "dibiayai oleh waktu staf," sebuah model yang dianggap "tidak berkelanjutan" mengingat tekanan anggaran lainnya.1 Ini menunjukkan bahwa "praktik baik" saat ini menutupi kerentanan yang mendasar: manajemen risiko yang vital bergantung pada pengetahuan institusional beberapa individu kunci, bukan pada infrastruktur nasional yang tangguh.
Lebih lanjut, ada bahaya operasional yang jelas. Laporan tersebut mencatat "ketidakpastian dalam cara peringatan... dikeluarkan dan dihapus." Peringatan banjir seringkali dicabut segera setelah risiko banjir sungai (fluvial) berlalu, mengabaikan fakta bahwa respons air tanah tertunda dan dapat terus menjadi risiko selama berminggu-minggu, sehingga menempatkan publik pada risiko.1
5. Hasil Akhir: Mitigasi Reaktif dan Kegagalan Perencanaan Tata Ruang
Rantai kegagalan—dari tata kelola yang ambigu hingga data yang terfragmentasi, pemetaan yang tidak transparan, dan peramalan yang tidak berkelanjutan—berpuncak pada kelumpuhan tindakan proaktif. Laporan tersebut menemukan "panduan yang sangat terbatas" tentang cara mengembangkan dan menerapkan skema mitigasi banjir air tanah.1
Otoritas manajemen risiko menghadapi "ketidakpastian khusus" mengenai legalitas dan kelayakan opsi mitigasi yang paling jelas: pemompaan. Terdapat kebingungan mengenai "implikasi lisensi" dan "opsi untuk pembuangan" air yang dipompa.1 Kekhawatiran ini beralasan, karena laporan tersebut mencatat bahwa pemompaan di satu lokasi dapat "memperburuk banjir di lokasi lain," misalnya dengan membebani sistem drainase atau sungai.1
Kegagalan paling kritis dari rantai ini terjadi dalam perencanaan tata ruang. Karena risiko tidak dipetakan secara jelas, tidak dipahami secara luas, dan tidak ada solusi mitigasi yang jelas, laporan tersebut menemukan bahwa risiko banjir air tanah "seringkali sama sekali terlewatkan dalam pengajuan aplikasi perencanaan".1 Ini adalah kesimpulan yang paling memberatkan: sistem saat ini tidak hanya gagal mengelola risiko yang ada tetapi juga secara aktif menciptakan risiko baru dengan mengizinkan pembangunan di zona bahaya yang tidak teridentifikasi.
Analisis Kritis, Kesenjangan, dan Arah Riset
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari laporan FRS19217 ini adalah penetapan baseline komprehensif pertama untuk manajemen risiko banjir air tanah di Inggris pada era pasca-FWMA 2010.1 Sebelum studi ini, pemahaman tentang masalah ini sebagian besar bersifat anekdotal dan terfragmentasi, terikat pada peristiwa banjir tertentu.
Laporan ini mengubahnya dengan mengadopsi metodologi Rapid Evidence Assessment (REA) yang kuat, yang melampaui tinjauan literatur standar. Laporan ini secara unik mensintesis temuan dari 17 studi peer-reviewed, 37 dokumen grey literature, dan 12 sumber tidak terpublikasi dengan data kualitatif dan kuantitatif primer yang baru.1 Data baru ini berasal dari survei komprehensif terhadap 260 praktisi manajemen risiko dan 6 wawancara semi-terstruktur mendalam dengan para ahli di lembaga-lembaga kunci.1
Dengan melakukan sintesis ini, laporan tersebut berhasil mengangkat banjir air tanah dari sekadar masalah teknis atau hidrogeologis menjadi masalah kegagalan tata kelola yang sistemik dan dapat diidentifikasi. Laporan ini menyediakan dasar bukti yang koheren yang diperlukan untuk membenarkan tindakan kebijakan dan investasi strategis, seperti yang diuraikan dalam rekomendasi Bagian 7.3.1
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Laporan ini secara eksplisit mengidentifikasi "kesenjangan dalam pengetahuan, proses, dan data" yang signifikan.1 Kesenjangan ini mewakili keterbatasan utama dari kemampuan Inggris saat ini untuk mengelola risiko ini dan menyoroti pertanyaan-pertanyaan terbuka yang paling mendesak untuk penelitian di masa depan.
1. Kesenjangan Pengetahuan: Kuantifikasi Risiko dan Perubahan Iklim
Tantangan terbesar yang diidentifikasi adalah ketidakpastian mendasar dalam mengukur skala sebenarnya dari risiko tersebut. Peta "kerentanan" (susceptibility) geologis, seperti yang dirinci dalam Tabel 6.7, menunjukkan angka yang sangat besar sehingga tidak dapat ditindaklanjuti secara praktis, seperti 2.981.000 properti residensial di atas endapan superfisial permeabel dan 488.000 di atas akuifer air jernih (clearwater) lainnya.1
Temuan kuantitatif kunci dari laporan yang dikutip (McKenzie dan Ward, 2015) adalah penyaringan data mentah ini. Temuan ini menunjukkan bahwa jumlah properti yang diperkirakan akan terkena dampak dari banjir air tanah saja (bukan hanya berada di area rentan) jauh lebih spesifik, yaitu antara 122.000 dan 289.000 properti.1 Meskipun angka ini lebih kecil, signifikansinya diperkuat oleh temuan kualitatif bahwa banjir air tanah berlangsung lebih lama (seringkali berminggu-minggu atau berbulan-bulan) 1, yang menyebabkan kerugian finansial yang jauh lebih tinggi. Sebuah studi kasus di Hambledon menemukan bahwa kerugian akibat banjir air tanah yang berlangsung lama adalah 240% hingga 360% lebih tinggi daripada yang diperkirakan oleh data kerusakan standar Multi-Coloured Manual (MCM).1
Kompleksitas ini diperparah oleh temuan survei bahwa 72% responden melaporkan banjir air tanah terjadi bersamaan dengan sumber banjir lain (permukaan atau fluvial) 1, yang membuat atribusi risiko, respons darurat, dan klaim asuransi menjadi sangat rumit.
Pertanyaan terbuka terbesar adalah dampak perubahan iklim. Laporan ini secara eksplisit menyatakan bahwa "salah satu kesenjangan bukti terbesar... adalah kurangnya pemahaman tentang bagaimana risiko banjir air tanah akan berubah di masa depan dengan perubahan iklim".1 Kesenjangan ini digarisbawahi oleh data survei, di mana hanya 2% responden (hanya dua individu) yang merasa dapat memperkirakan jumlah properti yang berisiko akibat perubahan iklim di masa depan.1 Ini adalah paradoks inti dari strategi nasional: ambisi FCERM adalah untuk "tempat yang tahan iklim," namun data untuk salah satu komponen risiko utamanya sama sekali tidak ada.
2. Kesenjangan Proses: Tata Kelola dan Keberlanjutan
Pertanyaan terbuka yang mendasar tetap ada mengenai tata kelola: Siapa yang seharusnya memimpin dan mendanai pengelolaan risiko yang tumpang tindih antara yurisdiksi EA dan LLFA?.1 Selain itu, laporan ini mempertanyakan keberlanjutan jangka panjang dari praktik-praktik baik yang ada saat ini. Ketergantungan pada sistem peramalan lokal yang didanai oleh "waktu staf" (bukan anggaran infrastruktur) menunjukkan model yang rapuh yang rentan terhadap pemotongan anggaran atau hilangnya staf kunci.1
3. Kesenjangan Data: Infrastruktur Pencatatan dan Pemetaan
Keterbatasan utama yang mendasari semua kesenjangan lainnya adalah infrastruktur data. Kurangnya "sistem atau proses nasional" untuk pencatatan insiden 1 dan ketergantungan pada peta risiko komersial yang tidak transparan atau peta publik yang sudah ketinggalan zaman 1 menghalangi kemajuan di setiap tahap lainnya.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Sebagai respons langsung terhadap kesenjangan ini, laporan tersebut menguraikan 25 aktivitas kerja di masa depan.1 Lima rekomendasi berikut, yang diidentifikasi dalam Tabel 7.1 sebagai prioritas 'Tinggi', mewakili jalur kritis untuk mengatasi kegagalan sistemik yang teridentifikasi.1
1. Meninjau dan Mengklarifikasi Tata Kelola (Governance)
Laporan ini merekomendasikan penelitian lebih lanjut tentang pengaturan tata kelola saat ini, meninjau literatur informal yang ada, dan merekomendasikan protokol standar.1 Justifikasi untuk ini adalah temuan laporan bahwa ambiguitas peran pasca-FWMA 2010 adalah akar penyebab fragmentasi data dan penilaian risiko.1 Metode baru yang diusulkan adalah analisis operasional tentang bagaimana interaksi antar-RMA harus dikelola, terutama ketika berbagai sumber banjir terjadi secara bersamaan.
2. Meningkatkan Proses Pencatatan Insiden secara Konsisten
Direkomendasikan untuk meningkatkan proses pencatatan insiden agar data dapat dibagikan dan digunakan secara konsisten di seluruh organisasi, didukung oleh pelatihan dan panduan baru.1 Justifikasi ilmiahnya adalah temuan under-reporting (kurang pelaporan) yang sistemik.1 Tanpa data dasar yang andal, mustahil untuk memvalidasi model risiko atau membenarkan skema mitigasi. Metode baru harus mencakup panduan teknis untuk membedakan sumber banjir (termasuk pelaporan "sumber ganda") dan mengevaluasi perluasan sistem lokal yang sukses seperti 'FORT' menjadi alat pelaporan nasional.1
3. Menyediakan Data Spasial Risiko Banjir Air Tanah yang Gratis dan Dapat Diakses (Termasuk Perubahan Iklim)
Rekomendasi prioritas tinggi ketiga adalah menyelidiki opsi untuk menyediakan data spasial risiko banjir air tanah yang tersedia secara bebas, yang secara kritis mencakup skenario perubahan iklim.1 Ini adalah respons langsung terhadap temuan bahwa peta nasional saat ini bersifat "komersial" dan tidak transparan 1, dan bahwa data dampak iklim "tidak ada".1 Metode baru ini akan memerlukan program pemodelan nasional yang didanai publik, serupa dengan peta risiko fluvial EA, yang mengintegrasikan data geologi, telemetri lubang bor, dan (yang paling penting) skenario iklim masa depan.
4. Mengembangkan Panduan Implementasi Skema Mitigasi
Laporan ini merekomendasikan pengembangan panduan tentang cara menerapkan skema mitigasi banjir air tanah, baik di tingkat properti maupun skala yang lebih besar (misalnya, desa atau rebound perkotaan).1 Justifikasi untuk ini adalah temuan "panduan yang sangat terbatas" dan "ketidakpastian khusus" seputar legalitas dan efektivitas pemompaan—opsi mitigasi yang paling umum.1 Panduan baru ini harus mencakup kerangka kerja regulasi yang jelas untuk perizinan dan pembuangan air (untuk mencegah pemindahan risiko) dan metodologi biaya-manfaat baru yang secara khusus memperhitungkan durasi banjir yang panjang dan biaya kerusakan yang lebih tinggi.1
5. Mengembangkan Panduan untuk Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning)
Rekomendasi paling mendesak adalah mengembangkan panduan tentang bagaimana banjir air tanah harus dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang dan manajemen pembangunan, termasuk memperluas panduan SuDS (Sistem Drainase Berkelanjutan).1 Justifikasi ilmiahnya adalah temuan kritis bahwa risiko ini "seringkali sama sekali terlewatkan dalam pengajuan aplikasi perencanaan".1 Ini berarti sistem saat ini secara aktif menciptakan risiko baru. Metode baru ini harus melibatkan kolaborasi dengan kementerian perumahan (MHCLG) untuk mengintegrasikan data risiko air tanah ke dalam Strategic Flood Risk Assessment (SFRA) dan memperbarui panduan SuDS untuk memastikan sistem infiltrasi tidak memperburuk level air tanah setempat.1
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Temuan-temuan dalam laporan FRS19217 ini secara kolektif menunjukkan bahwa pendekatan Inggris saat ini terhadap manajemen risiko banjir air tanah—yang bersifat terfragmentasi, reaktif, dan bergantung pada sistem lokal yang tidak berkelanjutan—tidak memadai untuk tantangan saat ini.1 Lebih penting lagi, sistem ini sama sekali tidak siap untuk tantangan masa depan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, di mana kesenjangan pemahaman terbesar saat ini berada.1 Potensi jangka panjang terletak pada pergeseran strategis dari model saat ini menuju kerangka kerja yang terintegrasi, didanai secara nasional, dan proaktif, di mana risiko air tanah diperlakukan dengan tingkat kepentingan yang sama seperti risiko fluvial dan permukaan.
Implementasi rekomendasi yang diuraikan dalam laporan ini melampaui kapasitas satu lembaga. Ini menuntut upaya terkoordinasi. Penelitian lebih lanjut dan pengembangan panduan baru harus melibatkan kolaborasi erat antara Environment Agency (untuk kepemimpinan strategis dan integrasi sistem nasional), Defra (untuk pendanaan dan arahan kebijakan), dan Lead Local Flood Authorities (LLFAs) (untuk pengumpulan data lokal dan implementasi di lapangan). Selain itu, kemitraan penting dengan Perusahaan Air (Water Companies) (yang mengelola data drainase vital dan aset yang berinteraksi) dan Otoritas Batubara (Coal Authority) (untuk keahlian spesialis dalam rebound air tambang) sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.1