Melampaui 'Teh dan Medali': Menyingkap Disonansi dalam Konstruksi Banjir dan Risiko oleh Otoritas Pengelola di Inggris

Dipublikasikan oleh Raihan

18 November 2025, 16.54

Artikel oleh Mehring, Geoghegan, Cloke, dan Clark (2022), "Going home for tea and medals: how members of the flood risk management authorities in England construct flooding and flood risk management," mengisi kesenjangan penting dalam literatur manajemen risiko banjir. Penelitian ini secara kritis menyelidiki perbedaan cara para anggota otoritas manajemen risiko banjir (FRMA) di Inggris memahami dan mendefinisikan "banjir" dan "manajemen risiko banjir" (FRM), menemukan bahwa perbedaan konstruksi ini secara signifikan menghambat efektivitas kemitraan dan komunikasi dengan komunitas yang berisiko banjir.

Metode yang digunakan adalah analisis tematik dari 30 wawancara semi-terstruktur dengan anggota dari tiga FRMA utama: Environment Agency (13 responden), Lead Local Flood Authorities (LLFA, 9 responden), dan Water Companies (8 responden). Wawancara ini dilakukan antara Desember 2018 hingga Juni 2019, periode yang mencakup peristiwa banjir seperti Badai Ciara dan Dennis. Dengan total 17 tema payung dan 142 sub-tema, studi ini memberikan pandangan yang mendalam tentang kompleksitas pemahaman kelembagaan.

Jalur Logis Temuan Penelitian

Perjalanan temuan diawali dengan identifikasi pergeseran paradigma FRM di Inggris, dari pertahanan banjir (defending productive land from water) menjadi manajemen risiko banjir (flood risk management) yang berfokus pada keselamatan masyarakat, yang pada akhirnya menanamkan konsep ketahanan (resilience). Namun, artikel ini menunjukkan bahwa konstruksi istilah-istilah kunci, terutama "banjir" dan "FRM," sangat kompleks dan seringkali terjadi disonansi antara pemahaman individu dan kelembagaan.

Konstruksi "Banjir": Fokus 'In-the-Moment'

Penelitian ini menemukan bahwa konstruksi "banjir" oleh FRMA sering kali didominasi oleh dampak yang terjadi 'in-the-moment'—yaitu, peristiwa fisik segera dan akibat langsungnya. Otoritas mengakui bahwa banjir itu "menghancurkan" dan memahami dampak langsung seperti kebutuhan untuk mencuci dan mandi segera setelah banjir.

Namun, pemahaman ini bersifat "satu dimensi" karena kurang menghargai dampak manusia jangka panjang—yaitu, komponen emosional dan psikologis. Meskipun beberapa wawancara mencerminkan apresiasi terhadap dampak kesehatan mental (seperti perilaku pemantauan cuaca kompulsif atau kecemasan saat meninggalkan rumah) , perilaku ini sering dianggap sebagai "irasional" atau "mal-adaptif" oleh otoritas. Mereka gagal memahami bahwa perilaku ini mungkin merupakan mekanisme koping individu untuk mendapatkan kembali sedikit kontrol atas situasi yang tidak terkendali.

  • Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kurangnya pengalaman langsung (lived experience) dan pemahaman yang tidak lengkap tentang dampak jangka panjang. Bagi responden yang pernah mengunjungi rumah yang kebanjiran, konstruksi banjir mereka berubah dari sekadar fenomena hidrolik (air surut, lampu biru padam) menjadi proses yang baru "dimulai" bagi korban banjir, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru: intervensi berbasis pengalaman di antara personel FRMA.

Konstruksi "Manajemen Risiko Banjir": Hambatan dan Fragmentasi

Konstruksi FRM lebih individual, dipengaruhi oleh pengalaman kerja responden dan peran organisasi mereka. Tiga faktor utama menjadi pusat konstruksi FRM:

  1. Fokus pada Keahlian Teknis ("The Experts"): Meskipun ada dorongan untuk pendekatan yang lebih terpadu, FRM masih sering dibentuk di sekitar keahlian teknis otoritas, mengingatkan pada paradigma teknokratis lama. Ini menciptakan hierarki pengetahuan dan seringkali mengarah pada pengecualian pengetahuan lokal yang vital. Seringkali, apa yang disebut "konsultasi" sebenarnya berarti "menginformasikan" komunitas tentang apa yang akan dilakukan oleh otoritas ahli.
  2. Peran Pendanaan: Hampir semua FRMA merasa bahwa konstruksi FRM mereka sangat dibatasi atau terhalang oleh kurangnya pendanaan. Hal ini dapat menyebabkan "pengabaian" masalah antara organisasi untuk menghindari biaya, memicu konflik, dan mendorong pendekatan yang sangat hati-hati dalam mengelola ekspektasi komunitas.
  3. Fragmentasi Tanggung Jawab: Terlepas dari tujuan Floods and Water Management Act 2010 untuk menyederhanakan FRM, sebagian besar responden melihat kebijakan tersebut menciptakan kompleksitas tambahan melalui fragmentasi tanggung jawab berdasarkan sumber banjir. Hal ini menghasilkan situasi di mana masalah banjir dapat "lolos dari jaring" dan komunitas mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab, memungkinkan "pengabaian" masalah dari satu agensi ke agensi lain.
  4. Ketahanan (Resilience) yang Tidak Jelas: Meskipun "ketahanan" adalah tema kunci dalam kebijakan FRM saat ini, konstruksinya di antara FRMA sangat cair dan beragam, seringkali hanya dikaitkan dengan satu dimensi (misalnya, ketahanan tingkat properti) atau bahkan hanya sebagai nama tim. Kurangnya konsensus global tentang apa itu ketahanan membuat konsep penting ini menjadi "sewenang-wenang" dan "tidak berarti apa-apa bagi orang-orang".

Perbedaan Konstruksi Antar Otoritas

Studi ini menemukan perbedaan yang jelas dalam penekanan tematik antara FRMA:

  • Environment Agency: Lebih menekankan pada praktik FRM, kebutuhan akan pendekatan holistik, dan dampak kurangnya pendanaan. Mereka memiliki prevalensi yang lebih rendah dalam membahas dampak manusia jangka panjang. Agensi ini memiliki penggunaan kata resilience yang paling banyak.
  • LLFA: Lebih berfokus pada dampak manusia, keterlibatan, kemitraan, dan komunikasi. Kedekatan peran mereka dengan konstituen lokal menumbuhkan fokus komunitas yang lebih besar.
  • Water Companies: Konstruksi mereka dibingkai oleh persyaratan bisnis, peran sebagai "bad guys" yang dipersepsikan memiliki banyak uang, dan kebutuhan untuk menjaga "pelanggan" tetap senang. Mereka sering menggunakan keterlibatan untuk tujuan mendidik pelanggan tentang "banjir yang disebabkan sendiri" (self-inflicted flooding).

Perbedaan-perbedaan ini berkontribusi pada fragmentasi tanggung jawab, di mana kemitraan menjadi sulit ketika setiap otoritas memiliki konstruksi yang berbeda tentang apa itu "FRM yang baik" (misalnya, rekayasa versus pengelolaan banjir alami/kolaborasi).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Artikel ini menawarkan kontribusi penting yang melampaui deskripsi semata tentang konstruksi banjir.

  1. Mengkritik Batasan Konstruksi In-the-Moment: Kontribusi yang paling penting adalah demonstrasi empiris bahwa fokus kelembagaan pada dampak fisik 'in-the-moment' secara sistematis mengecualikan, salah memahami, atau bahkan memandang rendah dampak psikologis dan sosial jangka panjang dari banjir. Ini menegaskan bahwa FRM Inggris secara operasional masih beroperasi di bawah pemahaman yang tidak memadai tentang realitas yang dialami oleh komunitas, meskipun ada pergeseran kebijakan menuju ketahanan.
  2. Menghubungkan Konstruksi dengan Inefisiensi Kebijakan: Studi ini secara eksplisit menghubungkan disonansi dalam konstruksi (terutama mengenai pendanaan dan keahlian) dengan kegagalan implementasi Floods and Water Management Act 2010 dalam menyederhanakan FRM. Ini memberikan bukti kualitatif bahwa kerangka kerja legislatif yang terfragmentasi diperburuk oleh interpretasi yang berbeda dari para aktor kunci.
  3. Menggarisbawahi Ambivalensi Ketahanan: Penelitian ini menunjukkan bahwa "ketahanan" berisiko menjadi kata kunci yang sewenang-wenang dan tidak berarti dalam praktik FRM, karena konstruksinya yang berbeda-beda di kalangan otoritas. Hal ini mendesak komunitas akademik untuk mengembangkan konstruksi ketahanan yang lebih jelas dan dapat dioperasionalkan untuk konteks FRM.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama penelitian ini adalah sifat datanya yang kualitatif, yang kaya akan konteks tetapi tidak dapat digeneralisasikan secara statistik. Wawancara dilakukan di latar belakang konsultasi Strategi FRM Nasional yang baru, yang mungkin telah memengaruhi pernyataan responden. Selain itu, fokus pada pandangan otoritas menyisakan pertanyaan terbuka yang perlu dijawab oleh riset di masa depan:

  1. Mekanisme Transisi Kognitif: Bagaimana persisnya pengalaman langsung dan visceral (seperti mengunjungi rumah yang kebanjiran) memicu perubahan konstruksi banjir dari yang hidrolik menjadi yang lebih manusiawi, dan bagaimana proses ini dapat diinstitusionalisasikan untuk semua anggota FRMA?.
  2. Pengukuran Disonansi: Bisakah tingkat disonansi antara pandangan FRMA dan komunitas banjir diukur secara kuantitatif, misalnya menggunakan survei skala besar yang mengukur perbedaan dalam penilaian kepentingan berbagai dampak banjir?
  3. Pendanaan dan Kolaborasi: Apakah ada praktik pendanaan tertentu di FRMA (mungkin di tingkat LLFA) yang berhasil mengatasi fragmentasi tanggung jawab dan memfasilitasi kerja sama yang tidak berbasis biaya/keuntungan?
  4. Resilience yang Operasional: Bagaimana konsep "ketahanan" yang kompleks dapat diubah menjadi kerangka kerja yang terpadu dan bermakna yang dapat digunakan bersama oleh Environment Agency, LLFA, dan Water Companies untuk mencapai tujuan kebijakan yang sama?.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

1. Uji Coba Intervensi Empati Berbasis Pengalaman

  • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa pengalaman pribadi atau menyaksikan secara langsung dapat mengubah konstruksi banjir anggota otoritas dari fokus hidrolik menjadi fokus manusia. Pemahaman yang lebih bernuansa memungkinkan komunikasi yang lebih baik.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus merancang studi intervensi (seperti uji coba terkontrol) yang mewajibkan kunjungan dan refleksi terstruktur pasca-banjir bagi personel FRMA. Variabel yang diukur harus mencakup "indeks konstruksi manusiawi banjir" (mengukur apresiasi terhadap dampak PTSD, kecemasan, dan finansial jangka panjang) yang diuji sebelum dan sesudah intervensi.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memvalidasi hipotesis bahwa empati yang diinduksi secara kelembagaan dapat menutup kesenjangan antara pandangan FRMA dan komunitas.

2. Analisis Konten Regulasi dan Komunikasi Publik Terhadap Konstruksi 'Ketahanan'

  • Justifikasi Ilmiah: Kata 'resilience' digunakan secara beragam dan sewenang-wenang oleh FRMA, yang merusak konsep inti kebijakan. Ini perlu diatasi untuk menghadapi dampak perubahan iklim.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan analisis konten komparatif (kuantitatif dan kualitatif) dari dokumen kebijakan (misalnya, rencana strategis Environment Agency, laporan LLFA, dan laporan OFWAT) menggunakan alat pemrosesan bahasa alami (NLP). Variabel utamanya adalah konteks penggunaan istilah 'resilience' (misalnya, apakah mengacu pada ketahanan properti, ketahanan kelembagaan, atau ketahanan sosial-psikologis) untuk mengungkap tingkat konsensus dan koherensi semantik.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengidentifikasi di mana letak ketidakkonsistenan kelembagaan dan memberikan dasar untuk definisi operasional tunggal.

3. Studi Komparatif Kemitraan Bottom-Up dan Top-Down

  • Justifikasi Ilmiah: Otoritas mengakui bahwa pendekatan top-down perlu dialihkan ke model bottom-up yang lebih beresonansi dengan komunitas. LLFA, yang lebih dekat dengan konstituen, menunjukkan fokus kemitraan yang lebih besar.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Studi kasus berganda (multiple-case study) yang membandingkan proyek FRM yang dipimpin oleh LLFA (lebih bottom-up) dengan proyek Environment Agency (lebih top-down). Variabel yang diukur adalah "indeks keterlibatan yang berarti" (seperti tingkat inkorporasi pengetahuan lokal dalam desain, dan hasil yang dirasakan oleh komunitas) dan "koefisien kepuasan kemitraan" antara otoritas.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini akan menghasilkan kerangka kerja praktik terbaik untuk kemitraan yang dapat direplikasi.

4. Pemodelan Sistem Fragmentasi Tanggung Jawab dalam Interaksi Komunitas

  • Justifikasi Ilmiah: Fragmentasi tanggung jawab menciptakan "silo" dan memungkinkan agensi untuk saling "mengabaikan" masalah, yang merupakan sumber utama frustrasi bagi komunitas.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Gunakan metodologi System Dynamics atau Social Network Analysis untuk memetakan bagaimana kasus banjir tunggal bergerak antar FRMA (EA, LLFA, Water Companies). Variabel yang diselidiki adalah "waktu tunggu resolusi kasus" dan "jumlah transfer kasus antar agensi" sebagai proxy untuk inefisiensi.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Pemodelan ini dapat secara visual dan kuantitatif mengidentifikasi titik macet (bottlenecks) dalam sistem tata kelola dan mengusulkan mekanisme kepemilikan masalah tunggal.

5. Analisis Kontribusi Pengetahuan Lokal dalam Mengatasi Keterbatasan Pendanaan

  • Justifikasi Ilmiah: Kurangnya pendanaan membatasi pekerjaan FRMA. Pengetahuan lokal sering dikesampingkan karena fokus teknokratis.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan penelitian kualitatif-kuantitatif yang mendokumentasikan proyek-proyek manajemen risiko banjir berbiaya rendah (misalnya, tindakan pengelolaan banjir alami yang dipimpin masyarakat). Variabel utamanya adalah "nilai moneter dari pengetahuan lokal" (mengukur biaya proyek yang dihindari atau penghematan yang diidentifikasi melalui masukan komunitas, seperti identifikasi saluran pembuangan yang tersumbat atau pola aliran yang tidak terpetakan).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan justifikasi berbasis bukti bagi FRMA untuk mengalokasikan sumber daya untuk keterlibatan yang berarti, bukan hanya sebagai biaya, tetapi sebagai mekanisme penghematan biaya.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Department for Environment, Food & Rural Affairs (Defra), Environment Agency, dan perwakilan dari National Flood Forum untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan temuan kualitatif ini menjadi perubahan kebijakan yang terukur.

Sertakan tautan DOI resmi sebagai acuan utama: Baca paper aslinya di sini