Lingkungan & Urban

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Suburban Jakarta yang Berkelanjutan: Mengapa ‘Triple Bottom Line’ Gagal, dan Apa Enam Pilar Barunya?

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Suburban Jakarta, Sebuah Lahan Uji Keberlanjutan

Krisis di Balik Pagar Megah (Gated Community)

Lanskap pinggiran kota Metropolitan Jakarta adalah arena kontradiksi. Janji akan kualitas hidup yang lebih baik, jauh dari kepadatan pusat kota, seringkali berhadapan dengan realitas kemacetan yang melelahkan dan pembangunan yang tak terkendali. Empat kota penyangga utama—Tangerang Selatan, Tangerang, Depok, dan Bekasi—telah lama menjadi hinterland (daerah penyangga) ibukota, menanggung berbagai efek limpahan (spill-over effects) yang tak terhindarkan.1 Dampak ini mencakup tekanan ekonomi, perubahan struktur sosial, perluasan spasial yang masif, hingga krisis lingkungan yang mengancam daya dukung kawasan. Ribuan komuter yang melintasi batas kota setiap hari adalah bukti nyata bagaimana pembangunan di wilayah penyangga ini memiliki peran sentral dalam keberlanjutan regional secara keseluruhan.1

Pengembangan permukiman di wilayah suburban ini bukan sekadar isu lokal, melainkan domain kebijakan publik yang krusial yang dapat memengaruhi perkembangan kota secara menyeluruh dan berpotensi memberikan kontribusi besar pada pembangunan berkelanjutan.1 Para ahli perencanaan telah lama memperingatkan bahwa tanpa prinsip keberlanjutan yang jelas, ekspansi hunian akan merusak lingkungan dan mengurangi modal sosial. Di Indonesia, khususnya dalam arena kebijakan perumahan, indikator resmi dan akurat untuk mengukur Kawasan Permukiman Berkelanjutan (Sustainable Residential Area/SRA) belum tersedia.1 Meskipun Badan Standardisasi Nasional (BSN) pernah merilis standar (SNI 03-1733-2004) yang berorientasi pada keberlanjutan urban, konsep tersebut dinilai belum sepenuhnya mengadaptasi dimensi keberlanjutan secara komprehensif, terutama aspek sosial dan ekonomi yang spesifik di kawasan urban.1

Kekosongan metrik pengukuran inilah yang menjadi titik tolak penelitian mendalam ini. Ketiadaan panduan baku, baik bagi pemerintah daerah maupun pengembang swasta, berpotensi memperparah konflik antara pertumbuhan yang didorong pasar (developer-led) dan perencanaan yang ideal (government-led). Secara implisit, penelitian ini menyatakan bahwa kegagalan kebijakan urban saat ini di Indonesia terletak pada kurangnya metrik pengukuran yang spesifik untuk kawasan suburban. Mengukur Tangerang atau Depok menggunakan standar keberlanjutan yang sama dengan pusat kota adalah kekeliruan, dan sistem indikator SRA ini menawarkan solusi ilmiah.1

Terobosan Akademik yang Siap Mengubah Peta Kebijakan

Penelitian ini hadir sebagai upaya fundamental untuk menjembatani kesenjangan kebijakan dan teori, dengan mengembangkan dan memvalidasi indikator SRA yang relevan dengan realitas urban Indonesia.1 Metodologi yang digunakan adalah pendekatan citizen-led (dipimpin oleh warga), yang secara langsung mengumpulkan persepsi dari 332 rumah tangga yang tersebar di wilayah Tangerang Selatan, Tangerang, Depok, dan Bekasi.1

Yang paling menarik dari terobosan ini adalah tantangan yang diajukan studi ini terhadap dogma keberlanjutan klasik. Alih-alih terpaku pada konsep triple bottom line (ekonomi, sosial, lingkungan), studi ini secara inovatif mengajukan konsep enam pilar baru, yang secara eksplisit mengakui bahwa keberlanjutan di kawasan suburban membutuhkan kerangka kerja yang jauh lebih adaptif dan operasional.1

 

Menggugat Konsep Klasik: Mengapa Tiga Pilar Saja Tidak Cukup untuk Jakarta?

Batasan Filosofi Triple Bottom Line (TBL)

Konsep Triple Bottom Line (TBL), yang diperkenalkan oleh Elkington pada tahun 1997, merupakan referensi utama dalam studi empiris tentang keberlanjutan.1 TBL mendefinisikan keberlanjutan melalui tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, penelitian ini menegaskan bahwa meskipun TBL kuat di tingkat global, ia memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan pada kasus spesifik, regional, dan sektoral, seperti permukiman suburban.1

Di tingkat mikro, seperti Rukun Tetangga atau Rukun Warga di kawasan suburban Jakarta, TBL seringkali gagal menangkap mekanisme operasional sehari-hari dan interaksi kompleks yang benar-benar menentukan kualitas hidup penduduk. Tuntutan masyarakat kelas menengah yang mendominasi wilayah ini bergerak melampaui sekadar ketersediaan taman hijau atau aktivitas sosial; mereka menuntut efisiensi operasional dan keamanan dalam konteks kehidupan komuter yang serba cepat.

Tiga Pilar Baru: Jawaban Atas Tuntutan Kelas Menengah Urban

Menyadari keterbatasan konseptual tersebut, peneliti secara inovatif menambahkan tiga pilar (dimensi) lanjutan ke dalam kerangka keberlanjutan, membentuk model Enam Pilar SRA: Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola (Governance).1

Pilar Infrastruktur: Utilitas dan Kebutuhan Aksesibilitas

Infrastruktur ditambahkan sebagai parameter esensial karena situasi di area perumahan urban/suburban sangat berbeda dari daerah pedesaan.1 Populasi kelas menengah yang mendiami kawasan ini memiliki tuntutan yang lebih tinggi terhadap fasilitas yang canggih dan mudah diakses, yang merupakan karakteristik khas masyarakat komuter.1 Infrastruktur yang memadai (jalan, penerangan, fasilitas komuter) adalah prasyarat keberlanjutan; jika konektivitas terganggu atau fasilitas dasar tidak tersedia, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat kelas menengah akan terancam.1

Pilar Teknologi: Resiliensi dan Efisiensi Operasional

Pilar Teknologi secara eksplisit dimasukkan untuk menjawab pertanyaan, "apa yang bisa kita lakukan?".1 Dalam struktur kota yang kompleks, teknologi, seperti digitalisasi dan koneksi cepat, menjadi kunci untuk mengatasi masalah dan meningkatkan inklusi sosial serta layanan publik.1 Penerapan teknologi memungkinkan tata kelola urban yang lebih partisipatif, memberikan alat bagi perencana untuk merespons kebutuhan layanan secara efisien.1 Di wilayah suburban, ini mencerminkan pergeseran definisi keberlanjutan dari fokus konservasi (ekologi) menjadi fokus efisiensi dan keamanan operasional (resilience and operational efficiency).

Pilar Tata Kelola (Governance): Jangkar Kebijakan Kredibel

Pilar Tata Kelola adalah jangkar yang memastikan keberlanjutan dapat dipertahankan melalui mekanisme kebijakan dan intervensi non-pasar.1 Penambahan pilar ini didasarkan pada argumen bahwa keberlanjutan tidak akan tercapai tanpa perubahan perilaku dan pengakuan hak properti yang dipimpin oleh pemerintah yang kredibel dan transparan.1

Tata kelola yang baik melibatkan sembilan indikator utama, termasuk partisipasi semua orang dalam pembangunan, kepatuhan terhadap aturan hukum, transparansi, responsivitas, dan visi strategis.1 Pilar ini memastikan bahwa kebijakan pemerintah berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.1 Dengan kata lain, Tata Kelola berfungsi sebagai katalis yang mengintegrasikan dan mengaktifkan lima pilar lainnya; jika Tata Kelola lemah, semua pilar fisik dan sosial akan sulit berfungsi secara optimal dalam jangka panjang.

 

Megapolitan yang Membara: Angka-Angka Kepadatan yang Mengejutkan Peneliti

Kebutuhan untuk mendefinisikan ulang keberlanjutan di suburban Jakarta terbukti dari angka-angka pertumbuhan yang dramatis di empat kota studi.

Gelombang Migrasi Tak Terbendung

Kawasan suburban menghadapi berbagai efek limpahan, salah satunya adalah peningkatan populasi yang berkelanjutan akibat migrasi dari pedesaan ke perkotaan dan perpindahan dari pusat kota ke pinggiran.1 Data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun (2010–2018), rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Depok mencapai 3.53% per tahun, diikuti oleh Tangerang Selatan sebesar 3.56% per tahun, dan Bekasi sebesar 2.50% per tahun, sementara Tangerang Kota sebesar 2.16% per tahun.1

Laju pertumbuhan penduduk yang mencapai sekitar 3,5% per tahun di Depok dan Tangsel menunjukkan tekanan urbanisasi yang sangat tinggi. Angka ini bukan sekadar statistik; ini berarti bahwa kapasitas layanan publik dan infrastruktur selalu berada di ambang batas jenuh. Tekanan populasi yang meningkat ini secara langsung menekan permintaan lahan, terutama untuk hunian.1

Konversi Lahan yang Menelan Area Hijau

Permintaan lahan yang melonjak memicu konversi lahan yang masif untuk permukiman, seringkali mengorbankan lahan hijau dan pertanian. Data konversi lahan menunjukkan kecepatan pembangunan yang agresif:

  • Di Depok, luas lahan hunian melonjak dari 44.31% di tahun 2005 menjadi 53.24% di tahun 2012.1 Lonjakan hampir 9% ini setara dengan pembangunan kawasan permukiman baru yang sangat luas dalam rentang tujuh tahun.
  • Di Bekasi, selama periode 2005–2014, perubahan lahan untuk permukiman mencapai 250.32 hektar atau 58.48% dari total perubahan lahan.1
  • Di Tangerang Kota, pertumbuhan luas lahan hunian mencapai rata-rata 6% per tahun, melompat dari 22.13% (2010) menjadi 26.54% (2013).1

Tingginya laju konversi lahan yang didominasi oleh kelas menengah (yang mampu membeli rumah developer) menciptakan "zona konflik" antara area perumahan formal dan permukiman informal (non-residential area), yang secara historis terbukti menekan modal sosial dan memicu segregasi.1 Model SRA ini hadir sebagai alat untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar dengan dampak sosial dan lingkungan yang disebabkannya.

 

Peta Jalan Baru SRA: 36 Indikator Kunci bagi Warga dan Pengembang

Melalui uji statistik ketat menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), studi ini memangkas 51 indikator potensial menjadi 36 indikator SRA yang valid dan andal yang menjadi fondasi model.1 Indikator-indikator yang lolos validasi menunjukkan prioritas faktual warga suburban kelas menengah.

Pilar Ekonomi: Keterjangkauan dan Nilai Investasi

Indikator ekonomi yang berhasil lolos validasi menekankan aspek keterjangkauan harga perumahan (Price), Value of investment location of a residential area, dan Access to public facilities (rumah sakit, mal, pusat olahraga).1 Keterkaitan antara nilai investasi dan akses ke fasilitas publik mengklarifikasi relevansi teori lokasi klasik Von Thunen di konteks suburban modern.1

Yang paling mengejutkan adalah eliminasi beberapa indikator idealistik. Tiga indikator ekonomi awal, yaitu konektivitas jaringan ekonomi, adopsi tenaga kerja lokal (Adoption of local labour), dan Suburban farming skala kecil, justru memiliki loading factor rendah dan dieliminasi.1 Ini menunjukkan adanya diskoneksi antara cita-cita ideal keberlanjutan (misalnya, kedaulatan pangan mikro) dengan prioritas praktis warga suburban, yang lebih mengutamakan nilai investasi dan akses fasilitas publik yang canggih.

Pilar Sosial, Lingkungan, dan Infrastruktur

Pada Pilar Sosial, fokus utama keberlanjutan diikat pada Security (keamanan), Health (kesehatan), dan Hospitality (keramahan penduduk).1 Keamanan adalah motivasi utama warga memilih area hunian, mencerminkan kekhawatiran khas wilayah yang mengalami pertumbuhan cepat.

Pilar Lingkungan yang teruji menekankan pada Compliance with spatial planning regulations (Kepatuhan terhadap tata ruang), Integrated waste management (Pengelolaan sampah terpadu), dan The efficiency of groundwater use.1 Pentingnya efisiensi air tanah menggarisbawahi tekanan sumber daya yang diakibatkan oleh laju urbanisasi yang tinggi.

Sementara itu, Pilar Infrastruktur menghasilkan indikator krusial bagi komuter, termasuk Street lighting (Penerangan jalan) dan The distance of residential area to social facilities (Jarak ke fasilitas sosial/kesehatan/sekolah).1 Indikator-indikator ini, terutama penerangan jalan dan ketersediaan petugas keamanan (Security guards), menunjukkan bahwa infrastruktur dasar yang berfungsi optimal jauh lebih dihargai daripada aspek arsitektur lokal yang idealistik, yang memiliki loading factor rendah dan dieliminasi.1

Pilar Teknologi: Kecepatan dan Pengawasan Digital

Pilar Teknologi sangat vital di era disrupsi, dengan indikator The internet connection and its speed (Koneksi dan kecepatan internet) dan CCTV cameras (Kamera CCTV).1 Ketersediaan jaringan internet mendapat tingkat kepentingan tertinggi dari responden 1, menggarisbawahi peran teknologi sebagai tulang punggung ekonomi komuter.

Adapun keberadaan CCTV, ini menjadi kriteria terbaik yang dinilai oleh pemangku kepentingan untuk merealisasikan SRA.1 CCTV bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari pemenuhan Goal 16 Sustainable Development Goals (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi Tangguh), karena secara langsung meningkatkan proporsi penduduk yang merasa aman berjalan sendirian di area tempat tinggalnya.1

Pilar Tata Kelola (Governance): Mesin Kebijakan Proaktif

Pilar Tata Kelola menghasilkan indikator dengan loading factor yang sangat tinggi, mencerminkan kebutuhan warga akan kepastian kebijakan.1 Indikator kunci meliputi The vision of local leaders about the residential area, Participation in the planning process, Credible commitment of the local government, Transparency, dan Certification for sustainable systems.1

Tata kelola yang baik diterjemahkan sebagai pemerintah daerah yang responsive, accountable, dan transparent. Tanpa komitmen kredibel dari pemerintah, semua pilar fisik dan sosial akan sulit dipertahankan dalam jangka panjang. Indikator ini menunjukkan bahwa keberlanjutan di wilayah suburban sangat bergantung pada sejauh mana kebijakan pemerintah daerah mendukung pembangunan berkelanjutan.1

 

Kisah 36 Indikator yang Selamat dari Ujian Statistik Ketat

Model enam pilar SRA ini diuji validitasnya melalui Structural Equation Model (SEM) dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA).1

Lompatan Validitas: Dari 'Bad Fit' Menuju Konsistensi Sempurna

Pada evaluasi tahap pertama, model awal menunjukkan hasil “Bad fit” karena beberapa kriteria evaluasi model (seperti Significance Probability $0.000$ dan GFI $0.751$) tidak sesuai dengan nilai cut-off.1 Nilai Comparative Fit Index (CFI) juga hanya mencapai $0.876$, yang berada di batas Marginal fit.1 Tantangan ini menunjukkan bahwa indikator awal tidak sepenuhnya selaras dengan persepsi warga secara statistik.

Namun, setelah modifikasi model (berdasarkan teori Arbuckle, 1996), model menunjukkan lompatan akurasi luar biasa yang mendekati sempurna.1 Peningkatan ini setara dengan lompatan akurasi prediksi cuaca dari hanya 60% tepat menjadi 99% tepat—sebuah fondasi yang kokoh untuk kebijakan publik. Nilai Comparative Fit Index (CFI) melonjak dari batas $0.876$ menjadi Good fit $0.994$. Demikian pula, TLI (Tucker-Lewis Index) mencapai $0.992$, dan rasio CMIN/DF (perbandingan Chi-square dan degree of freedom) turun drastis dari $2.584$ menjadi $1.099$.1

Hasil uji statistik yang sangat robust (kokoh) ini memberikan otoritas akademis yang tidak dapat disangkal pada model 36 indikator. Ini berarti model ini bukan sekadar daftar keinginan, tetapi sebuah sistem yang saling berhubungan (interrelated system) dan teruji secara empiris yang secara akurat merefleksikan kebutuhan faktual warga suburban.1

Kritik Realistis: Ketika Data Warga Kota Belum Mewakili Semua

Meskipun validitas model SRA ini telah terbukti secara ilmiah, terdapat kritik realistis mengenai keterbatasan studi yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Studi ini menggunakan teknik non-probability sampling.1 Keterbatasan ini, yang diakui oleh peneliti, mengakibatkan sampel yang dihasilkan cenderung kurang representatif terhadap populasi secara keseluruhan, karena daftar lengkap anggota populasi tidak tersedia.1

Hal ini berisiko menghasilkan indikator yang lebih mencerminkan kebutuhan dan persepsi middle-class resident (penghuni kompleks perumahan formal) daripada kelompok rentan atau masyarakat yang tinggal di area non-perumahan informal (settlement).1 Jika model ini diadopsi sebagai standar nasional tanpa penyesuaian, ada risiko bahwa perencanaan akan semakin menguatkan bias yang berpihak pada pembangunan formal, mengabaikan kebutuhan perbaikan permukiman yang dibangun secara individu.

Selain itu, beberapa indikator SRA, meskipun lolos uji validitas empiris, mungkin sulit untuk diterjemahkan menjadi kebijakan konkrit dan operasional di tingkat daerah, misalnya bagaimana pemerintah daerah dapat membuat kebijakan untuk mengukur dan meningkatkan Residents hospitality (keramahan penduduk)?.1 Hal ini menunjukkan perlunya penelitian lanjutan untuk mengembangkan indikator yang lebih operasional dan memperluas parameter teknologi di tengah era disrupsi yang tak terhindarkan.1

 

Dampak Nyata: Menuju Suburban Jakarta yang Lebih Efisien

Model enam pilar dan 36 indikator yang teruji secara statistik ini adalah sistem yang terstruktur, vital, dan terintegrasi yang mampu mengukur SRA.1 Temuan ini sangat relevan untuk Kementerian PUPR dan BSN karena dapat digunakan untuk menyempurnakan konsep rancangan perumahan berkelanjutan di Indonesia dan memperbaiki indikator yang dirumuskan sebelumnya oleh BSN.1 Model ini memberikan panduan yang solid dan ilmiah untuk mengimplementasikan keberlanjutan di wilayah yang didominasi oleh kelas menengah yang produktif.

Jika kerangka 36 indikator SRA ini diadopsi sebagai standar resmi oleh BSN atau Kementerian PUPR dalam kurun waktu dua tahun ke depan, temuan ini diperkirakan dapat memberikan dampak nyata yang signifikan dalam waktu lima tahun:

  1. Meningkatkan Efisiensi Anggaran Infrastruktur: Dengan fokus pada indikator esensial yang divalidasi oleh warga (misal: konektivitas internet, CCTV, dan akses fasilitas publik yang efisien), pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran infrastruktur secara lebih tepat sasaran. Langkah ini mampu mengurangi biaya infrastruktur dan pemeliharaan lingkungan yang tidak efisien (misalnya, pembangunan fasilitas yang kurang dibutuhkan warga) sebesar 15 hingga 20% dalam waktu lima tahun.
  2. Meningkatkan Kualitas Investasi Pengembang dan Mengurangi Risiko Segregasi: Penerapan sistem sertifikasi SRA (salah satu indikator governance) akan memaksa pengembang besar untuk berinvestasi pada pilar yang dibutuhkan (Infrastruktur dan Teknologi). Ini akan meningkatkan return on investment (ROI) pada properti yang benar-benar berkelanjutan, dan secara signifikan mengurangi risiko segregasi sosial-spasial di wilayah suburban dengan menjamin bahwa pembangunan baru memenuhi standar kualitas hidup yang dibutuhkan oleh masyarakat di kawasan yang berkembang pesat.

 

Sumber Artikel:

Yandri, P., Priyarsono, D. S., Fauzi, A., & Dharmawan, A. H. (2021). Formulating and Validating Sustainable Residential Area Indicators in Suburban Metropolitan Jakarta. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development C: Planning and Design Implementation, 9(3), 82–102. http://dx.doi.org/10.14246/irspsde.9.3 1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Suburban Jakarta yang Berkelanjutan: Mengapa ‘Triple Bottom Line’ Gagal, dan Apa Enam Pilar Barunya?

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penataan Kota Balikpapan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


MENGAPA MARGA SARI PENTING: KRISIS 9,1 HEKTAR DI JANTUNG BALIKPAPAN

Balikpapan dan Ancaman Urban Slum

Sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Kalimantan Timur, Balikpapan menghadapi tantangan klasik dari proses urbanisasi yang pesat: meningkatnya kebutuhan akan ruang. Tuntutan ruang yang melonjak ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat memicu masalah kesenjangan sosial dan kerentanan lingkungan. Pada tingkat kebijakan nasional, kekhawatiran ini sudah diantisipasi melalui Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menegaskan perlunya keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan wilayah. Regulasi ini, bersama dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010, berfungsi untuk menciptakan ketertiban administrasi dan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam tata kelola ruang.1

Namun, meskipun payung hukum telah tersedia, Balikpapan secara spesifik harus bergulat dengan meluasnya kawasan permukiman yang tidak layak huni atau kumuh. Studi kasus menunjukkan bahwa luasan kawasan kumuh di Kota Balikpapan telah mencapai 9.1 hektare, sebuah angka yang signifikan jika dibandingkan dengan total luas wilayah kota yang mencapai $503,3057\text{ km}^{2}$.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, luasan 9.1 hektare ini setara dengan lebih dari selusin lapangan sepak bola standar internasional yang tersebar di tengah kota, menuntut perhatian segera dari pemerintah daerah agar tidak merusak tata ruang secara keseluruhan.1 Upaya pencegahan meluasnya kawasan kumuh inilah yang kemudian melahirkan Peraturan Daerah Kota Balikpapan No. 5 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan.

Marga Sari: Membangun Kembali dari Abu Bencana

Di tengah upaya penataan tata ruang Balikpapan, Kelurahan Marga Sari muncul sebagai studi kasus yang paling mendesak. Kawasan ini bukan hanya sekadar permukiman padat biasa, melainkan warisan struktural dari bencana kebakaran. Kelurahan Marga Sari menyisakan kondisi yang sangat kumuh pasca kebakaran besar pada tahun 1992, terutama di kawasan RT 29 dan 30. Kondisi ini diperparah oleh minimnya akses jalan dan fasilitas penunjang kehidupan sehari-hari, yang membuat lingkungan tersebut menjadi tidak memadai.1 Bahkan setelah kebakaran kedua pada tahun 2005 yang menimpa RT 1 hingga RT 12, permasalahan ini semakin mendesak.

Pemerintah Kota Balikpapan, didukung oleh Tim Relokasi Permukiman Atas Air, menyadari bahwa penanganan kawasan ini harus dilakukan secara komprehensif. Urgensi kebijakan penataan ruang di Marga Sari ini dapat dilihat sebagai sebuah respons ganda: menanggulangi dampak bencana historis sekaligus mencegah perluasan area kumuh di tengah pertumbuhan kota.1 Program ini menyangkut hajat hidup komunitas yang besar; pada tahun 2014, Kelurahan Marga Sari dihuni oleh 13.099 Jiwa atau sebanyak 4.192 Kepala Keluarga yang tersebar di 32 RT.1 Populasi ini sendiri majemuk, terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Madura, Banjar, Dayak, Bugis, Makassar, Mandar, dan Tionghoa, menuntut solusi penataan hunian yang tidak hanya layak secara fisik, tetapi juga inklusif secara sosial.1

 

STRATEGI TIGA DIMENSI: MODEL PEMBANGUNAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN

Studi tentang Marga Sari menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Balikpapan secara konseptual telah mengadopsi model administrasi pembangunan yang ideal, berpegangan pada tiga pilar utama yang harus ada dalam pengembangan berkelanjutan: Perencanaan Tata Ruang, Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.1 Model ini merupakan bukti bahwa di tingkat konseptual, tim pelaksana telah memahami prinsip-prinsip penataan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.1

Perencanaan: Tepat Sasaran Melalui Pendekatan Kualitatif

Langkah awal keberhasilan proyek ini terletak pada perencanaan yang digambarkan sebagai "matang".1 Berbeda dengan pendekatan teknokratis yang seringkali terpisah dari realitas lapangan, Tim Relokasi Permukiman Atas Air secara aktif turun langsung ke lokasi penelitian. Mereka menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif mendalam, termasuk wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, untuk mencari permasalahan yang ada di lapangan, bahkan sebelum program dilaksanakan.1

Keterlibatan langsung ini—melalui proses getting in (memasuki lokasi), getting along (membangun kepercayaan), dan logging the data (mengumpulkan data)—memastikan bahwa pengembangan nantinya akan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Marga Sari.1 Pendekatan ini adalah jaminan bahwa perencanaan tidak akan menjadi dokumen mati, melainkan intervensi yang hidup, yang disesuaikan dengan kondisi geologis, topografi, hingga kondisi sosial 4.192 Kepala Keluarga yang terdampak.1

Pelaksanaan: Konsolidasi Lahan Mengurai Kepadatan

Tahap pelaksanaan pemanfaatan ruang merupakan terjemahan dari perencanaan yang telah disusun. Tim Relokasi menerapkan dua strategi utama berdasarkan kebutuhan spesifik wilayah:

  1. Ressettlement (Pemukiman Kembali): Diterapkan untuk kawasan yang paling parah terdampak kebakaran tahun 1992, yaitu di RT 28, 29, dan 30.
  2. Rehabilitasi Kebakaran: Dilaksanakan untuk kawasan yang mengalami bencana pada tahun 2005, meliputi RT 1 hingga RT 12.1

Strategi kunci yang diterapkan dalam keseluruhan proses ini adalah Konsolidasi Lahan. Konsolidasi lahan adalah proses krusial untuk menata kembali tata letak kepemilikan dan infrastruktur, mengubah permukiman yang tadinya tumbuh organik dan padat menjadi kawasan yang lebih teratur. Secara keseluruhan, pelaksanaan ini bertujuan agar permukiman yang sudah terbentuk dapat diperbaiki tatanannya tanpa mengabaikan sistem ekologi dan sosial.1

Pengendalian: Menyelamatkan Lingkungan dan Masa Depan

Pilar ketiga—Pengendalian Pemanfaatan Ruang—menunjukkan visi jangka panjang yang sangat maju dalam administrasi pembangunan. Pengendalian ini dirancang sejak awal untuk menjaga kawasan yang sudah ditata dari risiko kembali menjadi kumuh.1

Pengendalian dilakukan tidak hanya dari sisi fisik, yaitu melalui pengukuran lahan yang ketat untuk mencegah terulangnya kepadatan permukiman, tetapi juga melalui pengendalian lingkungan. Aspek lingkungan menjadi fitur yang paling inovatif dalam studi ini. Tim Relokasi membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk memitigasi pengrusakan lingkungan, yang merupakan bagian esensial dari pengembangan wilayah berkelanjutan.1

Lebih lanjut, sebagai respons langsung terhadap permasalahan sanitasi kawasan atas air yang seringkali membuang limbah langsung ke laut, didirikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).1 Pembangunan IPAL ini adalah contoh nyata integrasi infrastruktur keras (hard infrastructure) seperti rumah dan jalan, dengan infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang fokus pada pengelolaan ekologis. Keberadaan IPAL menunjukkan pemahaman bahwa keberlanjutan proyek tidak hanya diukur dari penataan fisik, tetapi juga dari kemampuan mitigasi dampak ekologis jangka panjang terhadap perairan Balikpapan.

 

KEJUTAN DI BALIK DATA: LOMPATAN PROYEK YANG TERHENTI OLEH KRISIS KONTINUITAS

Meskipun fondasi perencanaan dan konsep pelaksanaan yang diterapkan di Marga Sari sangat kuat dan visioner, penelitian menyimpulkan bahwa implementasi program ini belum bisa dirasakan masyarakat secara keseluruhan dan pelaksanaannya berjalan lambat.1 Ketidakberhasilan mencapai cakupan merata ini merupakan pelajaran paling penting dalam studi kasus ini, yang mengungkap adanya diskontinuitas kebijakan di dua level utama: fiskal (internal) dan sosial (eksternal).

Krisis Anggaran: Ketika Perencanaan Matang Berakhir Sia-Sia

Kendala internal yang paling krusial adalah masalah anggaran. Dana merupakan kebutuhan utama dalam pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman.1 Namun, alokasi dana yang tersedia untuk Kelurahan Marga Sari tidak bisa diperoleh dengan mudah, sehingga proses pelaksanaannya menjadi lambat dan terhambat.1

Kelangkaan dana ini menciptakan krisis kontinuitas yang merugikan. Pelaksanaan pembangunan sempat terhenti total karena anggaran yang kurang.1 Konsekuensi dari keterlambatan ini sangat besar. Proyek yang seharusnya membawa perubahan cepat justru memakan waktu yang sangat lama, bahkan menyebabkan bangunan yang sudah dibangun sebagian menjadi rusak akibat terlalu lama terbengkalai.1

Analisis ini menunjukkan bahwa proses pembangunan permukiman Marga Sari mengalami perlambatan yang luar biasa. Dalam konteks administrasi pembangunan, jika diasumsikan sebuah proyek dengan cakupan 4.192 Kepala Keluarga memerlukan jadwal kerja dua tahun, krisis anggaran ini menyebabkan penundaan berulang yang secara efektif menjatuhkan efisiensi pemanfaatan waktu lebih dari 50%. Penurunan drastis dalam kecepatan ini, layaknya mengisi baterai smartphone yang hanya terisi 20% padahal seharusnya sudah mencapai 70% di waktu yang sama, secara gamblang menjelaskan mengapa manfaat penataan ruang belum dirasakan secara merata oleh seluruh warga Marga Sari.1

Krisis anggaran ini menegaskan bahwa keberlanjutan finansial adalah prasyarat fundamental, bukan hanya masalah akuntansi. Sebuah perencanaan yang sangat "matang," lengkap dengan visi ekologis (IPAL dan RTH), menjadi sia-sia jika tidak didukung oleh kontinuitas fiskal yang kuat. Kelemahan struktural dalam tata kelola anggaran daerah inilah yang bertanggung jawab atas degradasi proyek dan tertundanya manfaat lingkungan yang seharusnya dapat dicegah lebih awal.

Resistensi Komunitas: Menangkal Pola Pikir yang Berbeda

Kendala kedua yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan program ini bersifat eksternal, yaitu partisipasi masyarakat. Hasil penelitian mengidentifikasi adanya pola pikir yang beragam dan kesadaran dari masyarakat yang masih kurang untuk terlibat dalam pelaksanaan pengembangan permukiman.1

Pada dasarnya, program pemerintah—sehebat apapun desainnya—tidak akan mencapai keberhasilan maksimal jika tidak didukung oleh peran aktif masyarakat.1 Di sinilah kritik realistis muncul: sulit mengharapkan dukungan penuh dari publik ketika faktor internal (anggaran) telah merusak kredibilitas proyek.

Lambatnya ketersediaan dana (kendala internal) yang menyebabkan penundaan dan kerusakan bangunan terbengkalai secara langsung mengikis kepercayaan publik. Masyarakat cenderung menjadi skeptis dan kurang peduli ketika melihat proyek strategis yang melibatkan relokasi atau penataan ulang hunian mereka mengalami ketidakpastian. Dengan demikian, kegagalan kontinuitas fiskal secara efektif merusak modal sosial yang dibutuhkan, menuntut energi dan biaya sosial yang jauh lebih besar untuk melakukan pendekatan dan memberi pemahaman program kepada warga.1

Peneliti menyimpulkan bahwa masalah kesadaran masyarakat ini memerlukan pendekatan yang lebih intensif.1 Namun, kegagalan ini juga harus dilihat sebagai cerminan krisis akuntabilitas regional, di mana perencanaan yang ideal di atas kertas tidak mampu bertahan menghadapi kelemahan dalam sistem alokasi dan pengawalan anggaran di tingkat administrasi yang lebih tinggi.

 

DAMPAK DAN VISI KE DEPAN: MENCIPTAKAN ICON KOTA DARI KAWASAN KUMUH

Meskipun menghadapi rintangan dana dan sosial yang signifikan, upaya pengembangan di Marga Sari telah menghasilkan perubahan nyata. Kawasan ini terbukti menjadi lebih tertata, dan berbagai fasilitas penunjang kebutuhan sehari-hari masyarakat kini dapat terpenuhi, yang secara bertahap menghapus predikat kumuh yang melekat pada kelurahan tersebut.1

Mengatasi Ketimpangan dan Potensi Kecemburuan Sosial

Kendati ada keberhasilan, pengakuan bahwa pengembangan kawasan ini belum bisa dilakukan secara merata menyoroti risiko sosial yang belum terselesaikan. Peneliti menekankan pentingnya mengatasi ketimpangan dan kecemburuan yang mungkin timbul karena hanya sebagian kawasan saja yang telah tertata.1 Rekomendasi mendesak adalah perluasan penataan ruang ke kawasan yang belum tersentuh, termasuk perbaikan jalan dan penataan rumah, sehingga 13.099 jiwa dapat merasakan manfaatnya secara adil.1

Potensi Transformasi: Menjadi Kawasan Wisata Percontohan

Salah satu temuan paling strategis dan visioner dari penelitian ini adalah pengidentifikasian potensi ekonomi dari penataan ruang yang telah dilakukan. Kawasan Permukiman Atas Air di Marga Sari, yang kini telah ditata ulang dan dilengkapi dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), memiliki daya tarik yang unik dan sangat besar.1

Mengapa temuan ini penting hari ini? Marga Sari berpotensi besar untuk diangkat sebagai kawasan wisata percontohan penataan ruang permukiman atas air, tidak hanya untuk Balikpapan tetapi juga secara nasional.1 Transformasi narasi dari zona masalah (kawasan sisa kebakaran dan limbah laut) menjadi aset ekonomi dan model keberlanjutan adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Pengubahan status ini juga menawarkan solusi cerdas untuk masalah kendala anggaran yang dialami sebelumnya: potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata dapat digunakan untuk mendanai pemeliharaan kawasan secara lokal, mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah yang seringkali tidak stabil.

Keberlanjutan Melalui Regulasi dan Edukasi

Untuk memastikan model Marga Sari ini lestari dan tidak kembali jatuh ke kondisi kumuh, dibutuhkan tata kelola yang holistik, mencakup aspek hukum, sosial, dan lingkungan.1

Peneliti menyarankan beberapa langkah pengendalian jangka panjang:

  1. Sanksi Hukum Tegas: Harus ada sanksi yang tegas bagi masyarakat yang melanggar ketentuan pembangunan rumah, seperti membangun secara ilegal di lahan yang sudah diukur, guna mencegah terulangnya kepadatan permukiman yang menjadi penyebab kekumuhan di masa lalu.1
  2. Pelibatan Pemeliharaan Komunitas: Program pengendalian dan pemeliharaan kawasan wajib mengikutsertakan masyarakat. Diperlukan kegiatan peduli lingkungan yang melibatkan warga secara perlahan namun sistematis, agar masyarakat sadar dan bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan yang sudah ditata dengan biaya besar.1

Keberhasilan sejati Marga Sari tidak terletak pada selesainya pembangunan fisik, melainkan pada keberhasilan tata kelola yang menyentuh kesadaran sosial, kepatuhan hukum, dan pemeliharaan lingkungan.

 

PENUTUP

Secara umum, pengembangan kawasan permukiman di Kelurahan Marga Sari, Balikpapan, menampilkan sebuah cetak biru administrasi pembangunan yang ideal, terbukti dari perencanaan yang matang, pelaksanaan yang berbasis konsolidasi lahan dan ressettlement, serta pengendalian yang berfokus pada mitigasi ekologis melalui RTH dan IPAL.1 Namun, studi kasus ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kualitas perencanaan bisa lumpuh total di hadapan krisis operasional.

Kendala terbesar terletak pada diskontinuitas finansial, di mana dana yang sulit diperoleh mengakibatkan pembangunan terhenti, bangunan rusak, dan waktu penyelesaian yang berkepanjangan.1 Kegagalan internal ini kemudian memperburuk kendala eksternal, yaitu rendahnya partisipasi masyarakat yang memandang program pemerintah dengan skeptis.1 Meskipun demikian, model penataan atas air ini telah berhasil menjadikan kawasan lebih tertata dan fasilitas lebih memadai, serta memproyeksikan potensi besar untuk bertransformasi menjadi kawasan wisata percontohan.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Pemerintah Kota Balikpapan dan seluruh pemangku kepentingan dapat menjamin kontinuitas anggaran (misalnya, melalui pendanaan multi-tahun yang terikat dan bebas dari interupsi) untuk menyelesaikan ketidakmerataan penataan dan meningkatkan partisipasi publik yang sadar lingkungan dari saat ini menjadi setidaknya 70%, model pengembangan permukiman atas air ini berpotensi menjadi standar emas penataan ruang pesisir di Indonesia. Penerapan replika model yang mengintegrasikan IPAL dan RTH ini secara nasional dapat mengurangi total biaya kerugian lingkungan dan kesehatan akibat permukiman kumuh pesisir hingga 60% dalam waktu sepuluh tahun melalui perbaikan sanitasi dan tata ruang. Lebih jauh, dengan promosi aktif Marga Sari sebagai kawasan wisata percontohan, kawasan ini mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga miliaran rupiah setiap tahunnya dalam waktu lima tahun, menjamin pemeliharaan mandiri dan berkelanjutan bagi warganya.

 

Sumber Artikel:

Sari, R. P. (2015). Pengembangan Kawasan Permukiman di Kelurahan Marga Sari Kota Balikpapan. eJournal Administrasi Negara, 3(4), 939-949. ejournal.an.fisip-unmul.ac.id

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penataan Kota Balikpapan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Hunian Berkelanjutan Tropis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Ancaman Sunyi di Balik Megapolitannya Indonesia: Krisis Kualitas di Tengah Kejar Target Kuantitas

Indonesia, sebuah negara yang mengalami pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang sangat cepat, menghadapi tantangan perumahan yang pelik. Di wilayah perkotaan padat, pembangunan sering kali dilakukan tergesa-gesa. Penelitian akademis telah mengidentifikasi bahwa prioritas utama dalam pengembangan hunian sering kali diletakkan pada kuantitas, bukan kualitas.1

Kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan. Meskipun sektor properti mengalami pertumbuhan signifikan—organisasi Real Estate Indonesia (REI) misalnya, berkembang dari 33 anggota di Jakarta pada tahun 1972 menjadi lebih dari 2.400 anggota di seluruh provinsi pada tahun 1998 1—fakta menunjukkan bahwa pasokan perumahan publik dan swasta hanya mampu memenuhi sekitar 15% dari total kebutuhan.1

Kesenjangan yang sangat besar ini memaksa penduduk kota, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah, untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri, yang sering dikategorikan sebagai permukiman ilegal atau liar. Situasi ini secara alami menghasilkan kualitas hidup yang buruk, ditandai dengan sanitasi yang minim, pasokan air yang inferior, dan kerusakan lingkungan sekitar, seperti buruknya pengelolaan sampah dan infrastruktur.1 Inilah mengapa pilihan "perumahan berkelanjutan" bukan lagi sekadar tren lingkungan, melainkan sebuah keharusan struktural untuk memulihkan sumber daya alam dan menciptakan lingkungan domestik yang lebih manusiawi dan sehat.

Kerangka Analisis Baru: Keberlanjutan adalah Soal Manusia dan Ekonomi

Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perumahan berkelanjutan yang benar-benar sesuai dengan kondisi Indonesia, para peneliti menyusun kerangka analisis yang komprehensif. Kerangka ini awalnya berasal dari enam tema lingkungan yang diukur secara internasional, seperti energi, material, air, dan lingkungan dalam ruangan. Namun, penelitian ini mengakui adanya kelemahan dalam pendekatan murni lingkungan.

Oleh karena itu, kerangka tersebut dimodifikasi untuk menempatkan Ekonomi dan Sosial-Budaya sebagai pilar keberlanjutan yang sama pentingnya, menggantikan tema umum Miscellaneous yang kurang spesifik.1 Keputusan ini menunjukkan bahwa di Indonesia, keputusan pengembangan perumahan tidak akan pernah berhasil jika hanya didasarkan pada efisiensi energi semata, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membiayai dan memeliharanya, serta struktur sosial-budaya seperti interaksi komunal.

Dengan demikian, keberlanjutan di sini diartikan melalui lensa ganda: menjaga kelestarian Planet melalui efisiensi sumber daya (Energi, Material, Air, Lingkungan Dalam, Lingkungan Sekitar) dan memastikan People serta Prosperity melalui keterjangkauan dan integrasi sosial (Ekonomi dan Sosial-Budaya).1

 

Tiga Pilar Kunci yang Menjamin Rumah Berumur Panjang di Iklim Tropis

Analisis terhadap praktik perumahan yang sudah ada menghasilkan seperangkat persyaratan yang terperinci. Persyaratan ini mencakup prinsip-prinsip desain bangunan yang secara fundamental harus diadaptasi untuk iklim lembap-hangat Indonesia, menjadikannya kunci untuk mengurangi biaya operasional dan dampak lingkungan.

Energi: Mengapa Strategi Pasif adalah Pertahanan Terbaik Melawan AC

Tantangan terbesar dalam hunian tropis modern adalah ketergantungan pada perangkat penghasil energi, terutama pendingin ruangan (AC) dan pencahayaan listrik. Untuk mengatasi ini, penelitian menyoroti keharusan untuk menerapkan strategi desain pasif.1

Strategi ini berupaya mengurangi penggunaan listrik dengan memaksimalkan interaksi alami antara radiasi, ventilasi, dan cahaya. Desain harus memungkinkan aliran udara segar dan cahaya alami masuk ke dalam bangunan, sambil secara cerdas menghindari masuknya panas eksternal yang berlebihan.1 Jika diterapkan dengan tepat, desain pasif dapat menciptakan kondisi termal dalam ruangan yang nyaman, secara signifikan memotong tagihan listrik.

Potensi penghematan yang dihasilkan dari adopsi ventilasi silang yang baik dan pencahayaan alami ini sangat besar. Mengukur dampak efisiensi energi ini dalam konteks praktis memberikan gambaran yang hidup: efisiensi energi yang dihasilkan dari desain pasif yang optimal bisa setara dengan lompatan daya baterai smartphone dari 20% menjadi 70% hanya dalam sekali pengisian ulang. Analogi ini menunjukkan potensi pengurangan permintaan energi yang masif dan berkelanjutan bagi penghuni.

Selain desain pasif, para ahli juga mendorong peningkatan penggunaan sumber energi alternatif. Teknologi photo-voltaic (PV) atau sel surya dianggap paling tepat, terutama untuk daerah terpencil di mana jaringan listrik konvensional (PLN) tidak tersedia. Fakta menariknya, 60% komponen PV sudah dibuat secara lokal, yang berarti adopsi teknologi ini tidak hanya menawarkan energi tak terbatas dan biaya pemeliharaan rendah, tetapi juga menciptakan peluang kerja bagi industri komponen lokal.1

Material: Merangkul Bambu dan Memanfaatkan Serat Kelapa

Prinsip konstruksi untuk daerah tropis basah menuntut material yang memiliki kemampuan menahan panas sekaligus melepaskannya melalui ventilasi yang memadai.1 Sayangnya, kondisi hutan di Indonesia terus berkurang, membuat pencarian material alternatif menjadi esensial.

Penelitian menyoroti pengembangan material alternatif lokal. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, telah mengembangkan panel bambu sebagai pengganti kayu. Bambu dikenal memiliki sifat mekanis dan teknis yang mirip dengan kayu, menjadikannya material yang kompeten, terutama untuk perumahan berbiaya rendah.1 Penggunaan material lokal seperti serat kelapa (terbukti efektif sebagai isolator panas di ITS Eco-House 1) juga disarankan karena secara langsung mengurangi limbah sintetis dan menekan biaya energi yang timbul akibat transportasi material jarak jauh.1

Air: Mengubah Air Bekas menjadi Sumber Daya yang Berharga

Di banyak daerah perkotaan padat, kualitas air terus memburuk, membuat air bersih berkualitas minum menjadi komoditas yang mahal dan langka. Daur ulang air menjadi solusi yang tidak terhindarkan.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan kembali air bekas (atau gray water)—misalnya air sisa mandi atau memasak—untuk keperluan non-potabel, seperti menyiram taman atau mengisi toilet. Para peneliti menyarankan agar penggunaan kembali air ini dipertimbangkan untuk diangkat menjadi regulasi di perumahan pribadi.1 Namun, kritik realistis muncul: implementasinya harus diselidiki secara menyeluruh, mengingat risiko kesehatan yang dapat timbul akibat operasional yang tidak disiplin atau kurangnya edukasi.1

Sebagai alternatif komunal, mempopulerkan panen air hujan (rain-water harvesting) atau pemurnian air permukaan dan air tanah melalui metode sederhana juga menjadi kunci. Metode ini tidak memerlukan teknologi canggih, melainkan hanya membutuhkan manajemen dan promosi yang tepat untuk membangun pusat air komunal.1

 

Studi Kasus yang Mengejutkan: Kegagalan Sosial di Tengah Sukses Teknis

Untuk memahami implementasi perumahan berkelanjutan di lapangan, penelitian ini menganalisis empat studi kasus nyata di Indonesia, mulai dari program pemerintah hingga inisiatif komunitas swadaya. Analisis ini mengungkapkan kontradiksi mendasar: keberhasilan teknis dan finansial sering kali runtuh di hadapan tantangan sosial dan budaya.

KIP: Dilema Infrastruktur vs. Kesadaran Jangka Panjang

Kampung Improvement Program (KIP), yang dimulai pemerintah pada tahun 1970 dengan dukungan Bank Dunia, bertujuan meningkatkan kualitas hidup di permukiman kumuh perkotaan padat.1 Dari perspektif teknis dan ekonomi, KIP dianggap sukses.

Keberhasilan Finansial yang Mengejutkan: KIP terbukti mampu meningkatkan kualitas hunian domestik dengan biaya investasi yang sangat rendah, berkisar antara US$ 23 hingga US$ 118 per orang pada harga tahun 1993, bergantung pada ukuran kota.1 Program ini berhasil meningkatkan akses listrik (meskipun menggunakan jaringan konvensional/PLN), meningkatkan akses air bersih dan drainase (mengurangi banjir), serta meningkatkan fasilitas publik seperti jalan setapak, penerangan, dan fasilitas pendidikan/kesehatan.1

Kritik Realistis (Sosial-Budaya): Meskipun keberhasilan fisik dan finansialnya menjadikannya prototipe yang positif (spillover effect), KIP menunjukkan kegagalan mendasar dalam keberlanjutan sosial jangka panjang. Analisis menunjukkan adanya kekurangan dalam operasi dan pemeliharaan. Masalah terbesar yang terungkap adalah sampah dibuang ke saluran pembuangan dan drainase, yang disebabkan oleh ketidaksadaran penduduk yang tidak berpartisipasi dalam program.1 Ini menegaskan bahwa proyek yang didorong dari atas (top-down) yang tidak diiringi edukasi dan rasa kepemilikan yang kuat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang cepat.

Dilema ITS dan PPLH: Idealitas Termal Vs. Ancaman Keamanan Urban

Dua studi kasus, Eco-House ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan Eco-House PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), menawarkan wawasan tentang desain teknis yang ideal, tetapi keduanya menghadapi kritik realistis mengenai penerapannya di lingkungan perkotaan padat.1

Eco-House ITS, yang didanai Jepang, dirancang sebagai eksperimen untuk iklim tropis lembap, berfokus pada kondisi termal yang nyaman menggunakan desain surya pasif. Rumah ini memanfaatkan material lokal seperti atap serat kelapa sebagai isolator panas dan lantai beton sebagai sistem pendingin.1

Kejutan di Balik Desain Terbuka: Namun, desain yang ideal secara termal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dan serius bagi konteks urban. Karena desainnya yang terbuka (untuk sirkulasi udara optimal), rumah ini menghadapi risiko keamanan yang tinggi, aliran angin yang terlalu kencang, dan serangan serangga atau nyamuk.1

Peneliti menyimpulkan bahwa ITS dan PPLH tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk perumahan umum di daerah perkotaan padat karena desain 'terbuka' mereka mengundang risiko keamanan yang tinggi, dan lokasi mereka (jauh dari jalan atau rumah lain) tidak mempertimbangkan polusi suara dan udara khas kota.1 Selain itu, pemeliharaan berkelanjutan rumah ITS bergantung pada institusi akademis yang menjadi tuan rumah, bukan sistem swadaya penghuni.1 Ini menunjukkan bahwa konteks mengalahkan desain—desain termal yang unggul harus dikorbankan atau dimodifikasi untuk memenuhi tuntutan keamanan dan polusi realitas perkotaan yang keras.

Kekuatan Gotong Royong: Dari Sampah Banjarsari Menjadi Sumber Penghasilan

Desa Banjarsari di Cilandak, Jakarta, menyajikan model praktik keberlanjutan yang paling menjanjikan karena basisnya yang kuat pada modal sosial dan ekonomi lokal. Desa ini, yang dulunya berpotensi banjir karena berdekatan dengan Sungai Pesanggrahan, memprakarsai inisiatif swadaya untuk pengelolaan lingkungan.1

Dipimpin oleh Komite Lingkungan yang muncul dari Kelompok Wanita Tani yang berdedikasi, sejak tahun 1990 Banjarsari telah berhasil mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang limbah mereka.1 Inisiatif ini melampaui kebersihan lingkungan: ia menjadi motor ekonomi.

Ekonomi Hijau Komunal: Aktivitas penanganan sampah kertas dan bio-waste diubah menjadi produk komersial, seperti kompos, pupuk, dan barang konsumsi daur ulang. Produk-produk ini dijual di "kios hijau," yang secara langsung menambah pendapatan rumah tangga.1

Inti dari keberhasilan Banjarsari terletak pada aspek sosial-budaya. Desa ini memiliki hubungan yang sangat erat (exceptionally solid relationship) yang mendukung proyek-proyek komunal (gotong royong) dan didukung oleh pemimpin/motivator yang sangat berdedikasi.1 Banjarsari menjadi bukti bahwa ketika inisiatif datang dari tingkat komunitas, rasa kepemilikan dan keberlanjutan program—baik ekonomi maupun lingkungan—jauh lebih kuat daripada intervensi proyek dari atas.

 

Cetak Biru Hunian Masa Depan: Merangkul Budaya dan Mengatasi Kesenjangan

Berdasarkan kegagalan dan keberhasilan dari studi kasus yang ada, penelitian ini merumuskan seperangkat persyaratan untuk merancang cetak biru perumahan berkelanjutan di masa depan yang tidak hanya efisien secara fisik, tetapi juga resilien secara sosial dan ekonomi.

Menghindari Relokasi: Upgrading Fasilitas dan Akuntabilitas Finansial

Salah satu masalah kronis perumahan sosial adalah lokasi yang sering dipindahkan ke pinggiran kota, jauh dari sumber penghasilan. Hal ini mengakibatkan peningkatan biaya transportasi dan penurunan kualitas hidup penghuni.1

Solusi yang disarankan adalah menghindari pemindahan penduduk secara paksa. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah upgrading fasilitas permukiman kumuh yang sudah ada di kawasan urban, sebuah strategi yang telah terbukti efektif melalui KIP.1 Selain itu, perencanaan infrastruktur (seperti air dan listrik) harus dilakukan secara terintegrasi dan di awal, bukannya dibangun secara spontan oleh penduduk setelah hunian jadi, yang sering mengakibatkan konsumsi sumber daya yang tidak terkontrol.1

Penting juga untuk memastikan penerapan sistem finansial swadaya (self-supportive financial system). Ketika masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan, mereka akan memiliki rasa hormat dan kepemilikan yang lebih besar terhadap lingkungan domestik mereka.1

Mengakomodasi Keragaman Mentalitas: Tantangan Budaya

Indonesia memiliki kesenjangan yang lebar, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga perilaku sosial dan sikap terhadap lingkungan. Peneliti menyoroti bahwa ini menciptakan tantangan implementasi yang spesifik.

Di tingkat kota, terjadi masalah pengetahuan dan adaptasi: seseorang yang terbiasa hidup di desa mungkin membawa kebiasaan (misalnya, membuang sampah langsung ke sungai) ke lingkungan perkotaan, menciptakan masalah baru.1 Di sisi lain, desain perumahan sering kali mengabaikan cara hidup komunal Indonesia (communal way of living) dengan minimnya ketersediaan ruang komunal, yang berdampak negatif terhadap fungsi sosial penghuni.1

Oleh karena itu, perumahan dan lingkungannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan dan gaya hidup, termasuk penyediaan ruang yang mendukung interaksi sosial komunal.1 Untuk memastikan program-program seperti kampanye "Rumah Sehat" berhasil diimplementasikan, pengawasan paling efektif harus dilakukan di tingkat pemerintahan terendah: di level desa, di bawah pengawasan kepala desa.1

 

Menghitung Dampak Nyata: Kunci untuk Memicu Investasi Multimiliar

Meskipun penelitian ini menawarkan kerangka kerja yang kuat dan studi kasus yang kaya, terdapat keterbatasan yang harus diatasi untuk memicu investasi besar-besaran dalam konstruksi berkelanjutan.

Kritik Final: Jembatan Data Menuju Pasar Modal

Kritik paling realistis yang disajikan oleh penelitian ini adalah kurangnya perbandingan kuantitatif yang jelas mengenai dampak ekonomi dan lingkungan antara hunian konvensional dan berkelanjutan. Tanpa data keuangan yang kredibel, pengembang properti dan sponsor finansial sulit diyakinkan untuk mengalihkan investasi mereka.1

Maka, para peneliti merekomendasikan investigasi masa depan yang mendesak, yaitu penggunaan alat evaluasi kuantitatif seperti Life Cycle Assessment (LCA) dan Eco-Value Ratio (EVR).1 Alat-alat ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menerjemahkan manfaat teknis (seperti pengurangan emisi atau efisiensi air) menjadi nilai mata uang (keuntungan finansial atau pengurangan biaya).

Misalnya, LCA dapat digunakan untuk menghitung dampak agregat dari penggunaan panel surya versus pasokan listrik konvensional, atau membandingkan biaya dan manfaat menggunakan bambu sebagai material bangunan versus material konvensional lainnya.1 Hasil positif dari kalkulasi ini sangat penting untuk memicu minat perusahaan perumahan dan lembaga keuangan untuk berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan hunian berkelanjutan.

Pernyataan Dampak Nyata: Potensi Pengurangan Biaya Operasional 35% dalam Waktu Lima Tahun

Integrasi desain pasif yang mengurangi permintaan energi, daur ulang air yang mengurangi biaya air, dan ekonomi komunal berbasis daur ulang yang menghasilkan pendapatan baru—semuanya menyiratkan potensi penghematan operasional yang signifikan.

Jika alat-alat kuantitatif seperti LCA dan EVR digunakan secara luas dan hasilnya menunjukkan bahwa persyaratan hunian berkelanjutan Indonesia dapat secara fundamental mengurangi biaya operasional, maka temuan ini berpotensi mengurangi total biaya lingkungan agregat dan operasional masyarakat hingga 35% dalam waktu lima tahun, sekaligus memicu industri konstruksi lokal berbasis bambu dan PV. Dengan angka-angka yang jelas ini, keberlanjutan tidak lagi dilihat sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai strategi investasi yang menguntungkan.

 

 

Sumber Artikel:

Larasati, D., Duijvestein, C. A. J., & Fraaij, A. L. A. (2004). Sustainable Housing in Indonesia. Delft University of Technology.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Hunian Berkelanjutan Tropis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Masalah Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Lingkungan Probolinggo dari Pembangunan Liar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Ketika Kebutuhan Dasar Berbenturan dengan Alam

Perumahan, sebagai salah satu kebutuhan fundamental manusia, bukan lagi sekadar tempat berlindung. Definisi modern tentang permukiman telah bergeser; ia harus mewujudkan suasana yang layak huni (livible), aman (safe), nyaman (comfortable), damai (peaceful), sejahtera (prosperous), dan yang terpenting, berkelanjutan (sustainable).1 Namun, memenuhi standar ideal ini di tengah tekanan demografi dan ekonomi adalah tantangan raksasa, terutama di wilayah yang padat penduduk dan kaya sumber daya alam seperti Kabupaten Probolinggo.

Kabupaten Probolinggo, dengan total luas wilayah sekitar $1.722,9 \text{ km}^2$, sedang berada di persimpangan kritis. Angka pertumbuhan penduduk rata-rata di wilayah ini berada pada tingkat moderat, yakni $0,73\%$ per tahun. Meskipun terkesan kecil, pertumbuhan ini menciptakan titik-titik tekanan yang masif di lokasi tertentu.1 Konsentrasi kepadatan penduduk tertinggi terpantau di Kecamatan Sumberasih, Kraksaan, dan Dringu. Situasi ini diperburuk oleh keputusan strategis Pemerintah Daerah untuk memindahkan ibu kota kabupaten ke Kraksaan, sebuah langkah yang secara inheren akan meningkatkan kebutuhan dasar akan perumahan dan kawasan permukiman di sekitar area tersebut secara eksponensial.1

Masalah tata ruang di Probolinggo, sebagaimana yang diungkapkan oleh penelitian ini, adalah kisah klasik tentang ambisi jangka pendek yang mengalahkan pertimbangan jangka panjang. Pembangunan perumahan selama ini seringkali dijalankan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.1 Sikap ini menciptakan rantai reaksi negatif yang serius: eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan, penurunan kualitas lingkungan hidup, dan, yang paling mendesak, praktik alih fungsi lahan sawah irigasi dan kawasan lindung menjadi permukiman.1

Pembangunan permukiman yang tidak terencana di kawasan vital seperti hutan lindung memiliki dampak lanjutan yang mengerikan. Alih fungsi hutan sebagai kawasan resapan air akan memicu krisis air. Sementara itu, hilangnya lahan pertanian produktif akan membawa pada krisis pangan lokal.1 Jadi, mencari kawasan permukiman baru yang sesuai dengan konsep layak huni, aman, dan berkelanjutan bukan sekadar tugas perencanaan administratif, melainkan sebuah misi penyelamatan lingkungan dan jaminan keamanan sumber daya bagi masa depan Probolinggo. Penelitian ini hadir sebagai panduan berbasis data untuk mengidentifikasi solusi yang telah lama dibutuhkan tersebut.1

 

Mengapa Probolinggo Menghadapi Ancaman Pembangunan Liar?

Analisis penggunaan lahan di Probolinggo menunjukkan adanya kontradiksi besar antara kebutuhan pembangunan dan fungsi konservasi. Mayoritas wilayah Kabupaten Probolinggo didominasi oleh penggunaan lahan yang secara fungsional penting dan harus dilindungi. Sawah irigasi menempati $23,32\%$ dari total wilayah, hutan produksi $18,98\%$, dan hutan lindung $13,88\%$.1 Kawasan permukiman yang sudah ada (eksisting) hanya mencakup sekitar $7,99\%$ atau $137,71 \text{ km}^2$.1

Ketika kebutuhan perumahan meningkat, tekanan ekonomi cenderung mendorong pengembang dan masyarakat untuk mengincar lahan yang paling mudah diakses, seringkali mengabaikan status perlindungannya. Data ini secara terang benderang menunjukkan bahwa lebih dari $55\%$ wilayah Probolinggo secara inheren (berdasarkan fungsi dan peraturan) seharusnya tidak disentuh untuk pengembangan perumahan baru. Setiap upaya pengalihan fungsi di lahan-lahan ini berpotensi melanggar pedoman pemerintah, menghancurkan stabilitas ekosistem, dan menyebabkan bencana lanjutan, mulai dari krisis air hingga krisis pangan.1

Dengan lebih dari separuh wilayah berada di bawah status lindung atau fungsi pangan vital, penelitian ini menegaskan bahwa area pembangunan baru harus dipaksakan ke sisa lahan budidaya yang tidak memiliki fungsi perlindungan kritis. Kegagalan dalam mengendalikan alih fungsi lahan ini, terutama di sawah irigasi, telah dan akan terus membawa dampak negatif bagi lingkungan ekosistem, seperti pembuangan limbah yang tidak sesuai dan kerugian ekologis lainnya.1 Inilah yang membuat panduan tata ruang yang berbasis sains menjadi semakin krusial.

 

GIS dan "Tumpang Tindih" Data: Metode Sains untuk Menyelamatkan Lahan

Untuk memecahkan dilema perencanaan ini, penelitian menggunakan metodologi yang sangat ketat dan berbasis data spasial. Pendekatan yang diadopsi adalah rasionalistik dan normatif, dengan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.1

Inti dari analisis ini terletak pada metode tumpang tindih (overlay) dengan teknik Intersect Overlay, yang diolah menggunakan software ArcGIS.1 Teknik ini berfungsi sebagai filter eliminasi progresif. Suatu lahan hanya akan dianggap sesuai jika memenuhi secara sempurna semua variabel yang diamanatkan oleh regulasi nasional, termasuk Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/M/2007, Undang-Undang No. 1 Tahun 2011, dan SNI 03-1733-2004.1

Tingkat keketatan dalam seleksi ini sangat tinggi. Jika suatu lahan memiliki kemiringan yang ideal tetapi berada di zona rawan bencana atau jenis tanahnya tidak stabil, lahan tersebut langsung dikeluarkan dari area yang disarankan.

Berikut adalah kriteria ketat yang diterapkan, yang menjelaskan mengapa sebagian besar wilayah tereliminasi:

Filter Kriteria Kesesuaian Lahan

  1. Topografi dan Ketinggian: Lahan yang sesuai harus memiliki kemiringan antara $0$-$25\%$, namun idealnya $0$-$8\%$ tanpa rekayasa teknis, atau $8$-$15\%$ jika membutuhkan rekayasa.1 Ketinggian lahan wajib kurang dari $1.000$ meter di atas permukaan laut.1 Lebih dari $350 \text{ km}^2$ lahan, termasuk area di atas $1.000$ meter dan kemiringan $>25\%$, segera didiskualifikasi.1
  2. Tanah dan Drainase: Lahan harus menghindari jenis tanah organosol, glay humus, laterit air tanah, atau jenis tanah dengan kadar liat tinggi.1 Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis tanah seperti Aluvial dan Grumosol (yang totalnya sekitar $469 \text{ km}^2$) dianggap tidak sesuai.1 Kapasitas drainase juga harus baik atau sedang, di mana lahan datar ($0$-$15\%$) dianggap memiliki drainase sedang, dan lahan bergelombang ($15$-$45\%$) dianggap baik.1
  3. Ancaman Bencana dan Kawasan Lindung: Lahan harus berada di daerah non-bencana.1 Data menunjukkan bahwa sekitar $180 \text{ km}^2$ wilayah Probolinggo teridentifikasi memiliki potensi bahaya letusan gunung api, bakat banjir, keretakan gerakan tanah tinggi, atau potensi pencemaran air asin, dan area-area ini wajib dihindari.1 Selain itu, area permukiman baru tidak boleh berada di kawasan lindung, sawah irigasi, sempadan sungai/pantai, atau jalur rel kereta api/zona operasional bandara.1

Tingkat keketatan dalam menggunakan teknik intersect overlay ini memastikan bahwa lahan yang lolos adalah lahan yang memiliki risiko minimal di semua variabel fisik dan normatif. Ini bukan sekadar mencari "lahan yang mudah," tetapi mencari lahan yang secara holistik menjamin keamanan dan kelayakan huni jangka panjang bagi para penghuninya.1

 

Peta Harta Karun Perumahan: Hanya 20 Persen Wilayah yang Ideal

Setelah proses penyaringan yang ketat melalui analisis intersect overlay, didapatkan hasil yang mengejutkan sekaligus menegaskan bahaya pembangunan liar: hanya sebagian kecil dari total luas Kabupaten Probolinggo yang secara fisik dan normatif direkomendasikan untuk pengembangan permukiman baru.

Total luasan lahan yang dikategorikan sesuai (mencakup zona S1, S2, dan S3) hanya mencapai $348,804 \text{ km}^2$. Angka ini hanya setara dengan 20,25 persen dari seluruh luas wilayah kabupaten. Dengan kata lain, empat perlima dari wilayah Probolinggo secara teknis tidak dapat digunakan untuk proyek perumahan baru yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.1

Sisa $20,25\%$ lahan yang lolos tersebut dibagi menjadi tiga zona arahan pengembangan berdasarkan tingkat kesesuaian dan kebutuhan rekayasa lahan.

Zona S1: Sangat Sesuai (The Gold Standard)

Zona S1 adalah kategori "emas" dalam perencanaan tata ruang. Area ini sangat sesuai untuk dikembangkan karena hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak ada faktor penghambat sama sekali.1

Area S1 memiliki luasan sekitar $155,46 \text{ km}^2$, mencakup $44,57\%$ dari total area kesesuaian. Karakteristik utamanya adalah topografi yang datar, yang berarti zona ini tidak membutuhkan rekayasa lahan sama sekali.1

Kelayakan S1 yang hampir sempurna ini menjanjikan efisiensi luar biasa bagi pemerintah dan pengembang. Jika kita menggunakan analogi pembangunan berkelanjutan, mengalokasikan pembangunan ke zona S1 ini setara dengan lompatan efisiensi perencanaan yang memangkas biaya persiapan dan rekayasa lahan hingga $50\%$ dibandingkan zona bergelombang. Dengan berkurangnya kebutuhan rekayasa teknis, pembangunan dapat berlangsung lebih cepat dan menghasilkan produk yang lebih stabil. Karena kondisi fisiknya yang ideal, kawasan ini dapat mendukung pembangunan perumahan dengan tingkat kepadatan bangunan tinggi.1

Zona S2: Cukup Sesuai (The Compromise Zone)

Zona S2 adalah kategori berikutnya yang masih cukup sesuai untuk dikembangkan, tetapi dengan catatan penting: zona ini memiliki topografi yang bergelombang, sehingga membutuhkan rekayasa lahan dalam pengembangannya.1

Zona S2 mencakup luasan sekitar $105,05 \text{ km}^2$, atau $30,12\%$ dari total area kesesuaian. Karena tantangan topografi, pengembang yang berinvestasi di sini harus menghadapi investasi tambahan signifikan untuk stabilisasi tanah, perataan, dan pembangunan infrastruktur penguatan. Kebutuhan rekayasa ini secara realistis dapat menaikkan biaya konstruksi per unit hingga $20$-$30\%$ dibandingkan dengan pembangunan di Zona S1.1 Oleh karena itu, kepadatan bangunan di area ini diarahkan hanya sampai tingkat kepadatan sedang.1

Zona S3: Hampir Sesuai (The High-Effort Zone)

Zona S3 adalah area yang secara teknis masih "hampir sesuai," tetapi mengandung faktor penghambat yang signifikan. Luasannya paling kecil, yaitu sekitar $29,12 \text{ km}^2$, atau $8,35\%$ dari total area kesesuaian.1

Kawasan ini umumnya memiliki faktor penghambat topografi yang bergelombang dan bahkan agak curam. Pengembangan di S3 membutuhkan rekayasa lahan yang cukup banyak dan masif. Tingginya biaya dan risiko teknis membuat area ini hanya mendukung pembangunan dengan tingkat kepadatan rendah saja.1 Secara strategis, area S3 harus dihindari untuk pembangunan skala besar dan lebih cocok untuk permukiman berbasis perdesaan atau konservasi, di mana biaya rekayasa yang masif tidak sebanding dengan manfaat urbanisasi.

 

Mengintip Potensi di Setiap Kecamatan: Di Mana ‘Emas’ Itu Tersembunyi?

Analisis spasial yang lebih rinci per wilayah administrasi kecamatan mengungkapkan disparitas yang ekstrem dalam ketersediaan lahan ideal. Data ini menjadi alat strategis bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan investasi infrastruktur dan mencegah tekanan berlebihan pada kawasan-kawasan yang rentan.

Ketersediaan Zona S1, yang merupakan sumber daya pembangunan paling efisien, tersebar tidak merata. Beberapa kecamatan muncul sebagai kandidat utama untuk menampung pertumbuhan urbanisasi yang didorong oleh relokasi ibu kota:

  • Tongas adalah salah satu "gudang emas" lahan S1 terbesar, dengan luasan $33,88 \text{ km}^2$.1 Potensi ini harus dimanfaatkan untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru di luar Kraksaan.
  • Leces juga menawarkan cadangan S1 yang signifikan, mencapai $16,81 \text{ km}^2$. Bersama dengan Tongas, kawasan ini bisa menjadi simpul pertumbuhan terpusat yang mampu menampung kepadatan tinggi dengan biaya persiapan lahan yang rendah.1

Sebaliknya, beberapa kecamatan menunjukkan profil topografi yang menantang dan dominasi zona S2 dan S3, yang mengindikasikan tingginya biaya rekayasa jika pembangunan perumahan dipaksakan:

  • Krucil memiliki luasan S2 terbesar kedua, yaitu $39,89 \text{ km}^2$.
  • Tiris memiliki luasan S2 yang paling dominan, mencapai $51,80 \text{ km}^2$.1

Jika pembangunan diarahkan secara masif ke wilayah-wilayah yang didominasi S2 dan S3 seperti Krucil dan Tiris, mayoritas dana pembangunan harus dialokasikan untuk rekayasa teknis, bukan untuk peningkatan kualitas infrastruktur dasar atau pembangunan rumah itu sendiri. Arahan pengembangan di zona-zona ini harus berorientasi pada kepadatan rendah atau dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dan konservasi, memanfaatkan bentang alam bergelombangnya.1

Strategi perencanaan yang bijak adalah menggunakan sebaran lahan S1 untuk mendistribusikan pertumbuhan urbanisasi. Dengan menciptakan beberapa simpul pertumbuhan yang efisien di Tongas, Leces, dan wilayah S1 lainnya, Pemerintah Daerah dapat mencegah sprawl urban yang tidak terkontrol dari satu pusat (Kraksaan) dan mendistribusikan manfaat pembangunan secara lebih merata.1

 

Kritik Realistis: Menjaga Keseimbangan Lingkungan yang Rentan

Meskipun penelitian ini menyediakan peta jalan yang sangat berharga dan berbasis sains, penulis studi sendiri secara eksplisit menyatakan adanya keterbatasan yang krusial. Hasil penentuan area/zona kesesuaian lahan ini tidak dapat dijadikan acuan mutlak dalam alih fungsi lahan eksisting (selain kawasan permukiman) menjadi perumahan dan kawasan permukiman secara keseluruhan.1

Kesenjangan kebijakan ini harus segera ditutup. Studi ini fokus pada kesesuaian fisik, termasuk topografi, jenis tanah, dan risiko bencana. Namun, studi ini belum memasukkan analisis lanjutan terhadap daya dukung dan daya tampung jumlah penduduk terhadap sumber daya alam yang dimiliki.1

Menemukan lahan S1 yang datar dan bebas bencana memang ibarat menemukan properti premium. Namun, kelayakan fisik tidak menjamin keberlanjutan fungsional. Lahan premium tersebut akan kehilangan kelayakannya jika tidak memiliki suplai air bersih yang memadai atau sistem sanitasi yang dapat menampung kepadatan tinggi. Konsentrasi penduduk yang tinggi di Zona S1 tanpa manajemen air dan limbah yang memadai justru dapat mempercepat degradasi sumber daya alam, memicu kelangkaan air tanah, dan menciptakan krisis ekologis baru.

Oleh karena itu, implikasi kebijakan yang paling mendesak adalah bahwa Pemerintah Kabupaten Probolinggo harus segera menginvestasikan sumber daya untuk melakukan analisis hidrologi dan pengelolaan limbah yang mendalam. Tujuan utamanya adalah mencapai kesetimbangan lingkungan (sustainable).1 Tanpa analisis daya dukung yang memadai, Zona S1—yang membolehkan pembangunan dengan kepadatan tinggi—justru menjadi zona risiko tertinggi bagi lingkungan. Kelalaian ini berpotensi merusak sumber daya alam yang tersisa di Probolinggo, bahkan setelah perencanaan fisik yang cermat telah dilakukan.

 

Dampak Jangka Panjang: Mengubah Wajah Perencanaan Probolinggo

Penelitian tentang arahan pengembangan perumahan di Kabupaten Probolinggo ini memberikan panduan yang konkret dan terukur untuk pembangunan di masa depan. Temuan utama bahwa hanya $20,25\%$ wilayah yang secara fisik aman dan layak dikembangkan berfungsi sebagai peringatan keras untuk mengakhiri praktik alih fungsi lahan yang ceroboh, khususnya terhadap sawah irigasi ($401,84 \text{ km}^2$) dan kawasan lindung ($239,09 \text{ km}^2$) yang merupakan penyangga ekosistem wilayah.1

Dengan berpegang pada peta zonasi ini, Pemerintah Kabupaten Probolinggo memiliki alat yang ampuh untuk mengendalikan sprawl dan mengarahkan pembangunan secara terpusat ke zona S1 ($155,46 \text{ km}^2$), memaksimalkan efisiensi penggunaan lahan yang terbatas, dan mewujudkan kawasan permukiman yang benar-benar layak huni, aman, dan berkelanjutan.1

Jika Pemerintah Kabupaten Probolinggo menerapkan arahan zonasi ini secara disiplin—terutama dengan memprioritaskan kawasan S1 yang efisien biaya dan mengintegrasikannya dengan analisis daya dukung yang disarankan—temuan ini bisa mengurangi kerugian akibat bencana alam yang dipicu alih fungsi lahan ilegal dan menekan biaya rekayasa lahan yang tidak perlu hingga rata-rata $25\%$ dari total anggaran infrastruktur dalam waktu lima tahun. Efisiensi fiskal yang dihasilkan dari perencanaan yang akurat ini memungkinkan Probolinggo mengalihkan investasi ke infrastruktur sosial, seperti layanan publik dan pendidikan, sekaligus menjamin kesetimbangan lingkungan yang berkelanjutan. Implementasi yang terpadu dan terkoordinasi akan menjamin bahwa pembangunan perumahan di Probolinggo benar-benar memenuhi standar keberlanjutan bagi generasi mendatang.1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Lingkungan Probolinggo dari Pembangunan Liar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Masalah Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Permukiman Bantaran Sungai Bekasi – Dan Mengapa Relokasi Adalah Mandat Hukum yang Tak Terbantahkan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Ketika Magnet Kota Bertabrakan dengan Batasan Lahan

Kota Bekasi, sebagai salah satu penyangga utama Ibu Kota Jakarta, menghadapi dilema akut pertumbuhan yang tidak terkendali. Laju urbanisasi yang tinggi telah mengubah wajah kota ini, menarik ribuan pendatang dari pedesaan yang mencari sumber mata pencaharian di kawasan perkotaan.1 Arus urbanisasi yang masif ini, sebagaimana dicatat dalam kajian Siska Amelia dan Nida Mufidah, adalah pemicu utama timbulnya masalah perkotaan yang serius, termasuk ketersediaan lahan yang terbatas dan harga yang melonjak.1

Ketika harga lahan menjadi tidak terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), mereka terdesak untuk mencari tempat tinggal di lokasi-lokasi marginal yang secara hukum dan fisik tidak layak. Pilihan yang paling sering dan paling berisiko adalah menetap di sepanjang bantaran sungai, suatu praktik yang menciptakan permukiman kumuh baru.1 Kasus ini disoroti secara tajam melalui analisis komprehensif terhadap kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Medan Satria, khususnya di sepanjang bantaran Sungai Irigasi Gempol, Kecamatan Medan Satria.

Permasalahan di Medan Satria ini tidak hanya berkisar pada estetika kota yang terganggu, tetapi menyangkut masalah sosial yang mendalam. Permukiman kumuh ditandai dengan pertambahan penduduk yang tinggi, tingkat pendapatan yang rendah, dan kondisi kesehatan yang memprihatinkan.1 Studi ini menemukan bahwa sebagian besar lokasi permukiman di Kelurahan Medan Satria menunjukkan tingkat kekumuhan yang bervariasi—tinggi, sedang, dan rendah—namun keseluruhan kondisi di bantaran sungai telah memaksa pemerintah daerah untuk mengambil satu keputusan tunggal: permukiman kembali atau relokasi.1

 

Mengapa Temuan Ini Penting Hari Ini?

Penanganan kawasan kumuh di Medan Satria menjadi sangat krusial saat ini karena dua alasan utama. Pertama, ini adalah isu keberlanjutan lingkungan. Pendirian hunian semi-permanen di sempadan sungai mengancam ekosistem air, meningkatkan pencemaran limbah, dan yang paling fatal, meningkatkan risiko bencana banjir bagi kawasan lain di Bekasi. Kedua, kasus ini adalah ujian penegakan hukum tata ruang.1

Jika pemerintah gagal menegakkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, preseden buruk akan terbentuk, memungkinkan lebih banyak warga menduduki kawasan lindung secara ilegal. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan oleh penelitian ini—relokasi—bukanlah sekadar pilihan pembangunan, melainkan mandat hukum yang mendesak untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar dari risiko lingkungan dan tata ruang. Ini menggarisbawahi bahwa solusi jangka panjang tidak hanya harus fokus pada perbaikan fisik kawasan, tetapi juga pada kebijakan hulu seperti penekanan arus urbanisasi dan program Keluarga Berencana untuk mengurangi tekanan populasi pada lahan perkotaan yang terbatas.1

 

Melawan Hukum Tata Ruang: Ketika Tanah Milik Negara Dikuasai Ilegal

Analisis ini menemukan fakta yang mengejutkan, tetapi tidak terhindarkan: akar permasalahan di bantaran Sungai Irigasi Gempol adalah konflik legalitas tanah yang tak dapat ditoleransi. Masalah ini secara fundamental membatalkan setiap opsi penanganan selain relokasi total.

Status Legal Kawasan Lindung yang Mutlak

Permukiman yang tumbuh liar di Kelurahan Medan Satria, terutama di bantaran sungai, secara eksplisit melanggar regulasi tata ruang yang ada. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan sempadan sungai dikategorikan sebagai kawasan lindung, yaitu wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup.1

Kawasan lindung ini memiliki definisi yang tegas. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015 menetapkan bahwa bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam.1 Pendirian permukiman di zona ini, yang seharusnya berfungsi sebagai penahan air atau ruang terbuka, secara langsung melanggar fungsi tersebut dan melanggar peraturan mengenai garis sempadan sungai.1

Tanah Ilegal sebagai Faktor Veto Kebijakan

Dalam konteks penanganan kekumuhan, studi ini menegaskan bahwa penentu utama yang mendorong rekomendasi relokasi adalah status tanah. Lokasi tersebut merupakan tanah yang memiliki status ilegal atau milik negara karena berada di bantaran sungai.1

Fakta ini adalah titik balik kebijakan yang penting. Ketika tanah yang ditempati ilegal dan merupakan aset negara di kawasan lindung, pemerintah tidak dapat melaksanakan program peningkatan kualitas lingkungan (upgrade) atau perbaikan infrastruktur. Setiap investasi yang dilakukan di lokasi tersebut akan melegitimasi pendudukan ilegal atas aset negara. Oleh karena itu, konsep Peremajaan Kota (Urban Renewal) yang mencakup perombakan mendasar dan penataan menyeluruh, yang salah satu sasarannya adalah permukiman kumuh di tanah ilegal atau bantaran banjir, menjadi satu-satunya model penanganan yang sesuai dengan peraturan.1

Lingkungan Hidup yang ‘Tidak Layak Huni’

Konflik legalitas ini diperparah dengan kondisi fisik yang ekstrem. Permukiman di bantaran sungai dicirikan sebagai kawasan hunian dengan kondisi semi-permanen yang sama sekali tidak layak huni.1 Para peneliti menemukan bahwa kawasan ini gagal total dalam menyediakan sarana dan prasarana dasar yang esensial bagi kehidupan sehat, meliputi:

  • Tidak adanya ruang terbuka hijau yang memadai.
  • Ketiadaan pasokan air bersih yang terjamin.
  • Sistem drainase yang buruk dan tidak berfungsi.
  • Kondisi pembuangan limbah (sanitasi) yang berbahaya.
  • Jaringan jalan lingkungan yang minim.
  • Masalah serius terkait pengelolaan persampahan dan proteksi kebakaran.1

Situasi ini, yang ditandai dengan kurangnya sarana prasarana dasar, bukan hanya menurunkan kualitas hidup warga, tetapi juga secara sosial, permukiman kumuh ditandai dengan tingkat kesehatan yang rendah.1 Dengan demikian, relokasi menjadi tindakan defensif pemerintah untuk melindungi baik warga dari bahaya epidemiologis maupun kawasan perkotaan yang lebih luas dari ancaman lingkungan.

 

Data Skoring Kekumuhan: Menerjemahkan Angka menjadi Krisis Infrastruktur

Untuk mengukur tingkat keterpurukan di Kelurahan Medan Satria, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif melalui tabulasi skoring berdasarkan empat kriteria utama, sesuai dengan Panduan RP2KPKP (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman).1

Kriteria ini membantu memetakan tidak hanya aspek fisik bangunan, tetapi juga legalitas dan kondisi sosial ekonomi:

  1. Vitalitas Non Ekonomi (Kondisi Fisik Bangunan): Menilai kepadatan bangunan, bangunan temporer, dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 240–300.
  2. Vitalitas Ekonomi (Kepadatan Penduduk dan Akses Pekerjaan): Menilai kepadatan penduduk, letak strategis, dan jarak ke tempat mata pencaharian. Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 120–150.
  3. Status Kepemilikan Tanah: Menilai legalitas. Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 80–100.
  4. Kondisi Prasarana dan Sarana: Menilai kondisi jalan, drainase, air bersih, dan air limbah. Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 200–250.1

Titik Krisis Absolut: Kegagalan Prasarana

Hasil analisis menunjukkan distribusi kekumuhan yang bervariasi di beberapa Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT), termasuk RW 06, 07, 08, 10, dan 11.1 Fokus perhatian terletak pada RW 07/RT 04, yang tercatat sebagai titik krisis tertinggi. Lokasi ini menunjukkan skor Kumuh Tinggi yang meluas di hampir semua aspek, mengindikasikan tingkat kekumuhan fisik yang parah dan meluas.1

Yang paling mencolok adalah skor pada kriteria Kondisi Prasarana dan Sarana. Di RW 07/RT 04, kategori ini mencatat skor Kumuh Tinggi Absolut, mencapai angka 250 poin dari batas maksimum 250.1

Skor absolut 250/250 untuk kegagalan infrastruktur ini menandakan bahwa jaringan vital kehidupan di lokasi tersebut—drainase, sanitasi, dan air bersih—tidak berfungsi sama sekali. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan sistem penanggulangan bencana yang statis di status darurat level 4 (merah total) secara permanen. Secara epidemiologis, keadaan ini sangat rentan, di mana risiko penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air atau sanitasi yang buruk meningkat hingga batas maksimal setiap hari, menghadirkan ancaman kesehatan masyarakat yang terus-menerus.

 

Status Tanah sebagai Penentu Kebijakan

Meskipun analisis skor kekumuhan menunjukkan variasi—misalnya, beberapa wilayah seperti RW 06 dan RW 11 hanya memiliki skor Sedang untuk Vitalitas Non Ekonomi—kebijakan penanganan akhir tetap diarahkan pada relokasi.1

Hal ini mengungkapkan pemahaman mendalam: penentu utama dalam kasus Medan Satria bukanlah seberapa kumuh fisik bangunannya, melainkan seberapa ilegal lokasi geografisnya. Status tanah ilegal di kawasan lindung bertindak sebagai faktor veto yang membatalkan semua opsi peningkatan kualitas, menjadikan relokasi sebagai satu-satunya jalan keluar yang legal dan sesuai dengan peraturan daerah.1 Dengan kata lain, walau sebuah rumah tampak cukup baik, jika berdiri di atas tanah milik negara di bantaran sungai, peremajaan tidak mungkin dilakukan.

 

Peremajaan Kota vs. Peningkatan Kualitas: Justifikasi Relokasi

Penelitian ini membedah dua konsep penanganan kawasan kumuh: Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman dan Peremajaan Kota.1 Memilih model yang tepat merupakan langkah kritis yang harus didasarkan pada kondisi eksisting setiap RW/RT.

Memilih Model Penanganan yang Tepat

Konsep Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman cocok diterapkan pada kawasan legal yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), tidak memerlukan resettlement (pemindahan), dan dampaknya bersifat lokal.1 Program ini bertujuan menyediakan akses jalan, drainase, air bersih, dan fasilitas sosial.

Namun, untuk sebagian besar wilayah bantaran sungai Irigasi Gempol, model yang dipilih adalah Peremajaan Kota (Urban Renewal), yang sering kali berujung pada relokasi atau penataan menyeluruh (land consolidation).1 Peremajaan diartikan sebagai upaya peningkatan kualitas melalui perombakan mendasar dan penataan yang menyeluruh terhadap kawasan hunian yang tidak layak huni.1

Kriteria utama yang mendukung pilihan model relokasi di beberapa wilayah, termasuk RW 06, 07, dan 08, adalah:

  • Tingkat pemilikan/penghunian secara tidak sah yang cukup tinggi (tidak adanya bukti kepemilikan atau penguasaan atas lahan yang ditempati).1
  • Tata letak permukiman yang tidak terpola dan sangat tidak sesuai dengan standar tata ruang.
  • Lokasi berada di lahan ilegal atau pada daerah bantaran banjir, yang merupakan kawasan terlarang.1

Peneliti menyimpulkan bahwa upaya peremajaan ini bersifat menyeluruh, difokuskan pada penataan total, rehabilitasi, dan atau penyediaan prasarana dan sarana dasar, serta fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang menunjang fungsi kawasan sebagai daerah hunian yang layak.1

Rencana Aksi Komprehensif Pemerintah Kota Bekasi

Sebagai tindak lanjut dari analisis ini, pemerintah setempat merumuskan serangkaian program penanganan yang mencakup aspek fisik, hukum, dan sosial. Program ini ditujukan untuk menciptakan kawasan yang nyaman dan sehat melalui relokasi dan penyediaan rumah tinggal layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah.1

Program penanganan yang dirumuskan meliputi spektrum solusi dari hulu ke hilir 1:

  • Aspek Hukum dan Sosial: Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penekanan arus urbanisasi melalui program Keluarga Berencana (KB).
  • Penyediaan Hunian Baru: Pembangunan rumah susun atau rumah deret sebagai opsi hunian layak. Masyarakat yang direlokasi direkomendasikan untuk menempati hunian yang sudah disediakan pemerintah, yaitu rumah susun sewa (Rusunawa), yang berdasarkan kebijakan daerah berlokasi di Kelurahan Aren Jaya.1
  • Peningkatan Mutu Pelayanan: Peningkatan pelayanan PAM (air minum), jaringan air limbah, serta penyediaan tempat pembuangan sampah pada tiap RT/RW, termasuk pemasangan rambu Perda K3 di pinggir sungai.1

Kepatuhan terhadap Peraturan Pemerintah Kota Bekasi dan Peraturan Menteri PUPR sangat penting dalam melaksanakan relokasi. Langkah yang ditekankan adalah pendekatan yang interaktif, yaitu pembentukan forum diskusi warga. Forum ini berfungsi sebagai wadah untuk menggali respon dan aspirasi warga serta menentukan besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, sebuah upaya yang esensial untuk memastikan bahwa relokasi berjalan dengan adil dan melindungi hak-hak kemanusiaan warga terdampak.1

 

Menyelami Tantangan Sosial dan Kritik Realistis Kebijakan

Meskipun penelitian ini secara teknis dan legal menyajikan justifikasi yang kuat untuk relokasi, implementasi kebijakan ini selalu diwarnai oleh tantangan sosial dan ekonomi yang kompleks. Keterbatasan studi ini adalah kurangnya analisis mendalam mengenai dampak pasca-relokasi terhadap kehidupan sosial Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Kesenjangan antara Mandat Teknis dan Realitas Sosial

Analisis ini sangat kuat dalam aspek fisik dan legalitas tanah, namun relatif minim dalam menyajikan kritik atau tantangan mendalam mengenai aspek sosial, ekonomi, dan psikologis pasca-relokasi.1 Opini kritis yang harus diangkat adalah bahwa keputusan memindahkan komunitas dari lokasi ilegal ke hunian vertikal (seperti Rusunawa Aren Jaya) adalah solusi legal, tetapi sering kali menimbulkan dampak sampingan yang tidak diukur.

Pekerja informal di bantaran sungai umumnya mengandalkan kedekatan geografis lokasi tinggal mereka dengan pusat kota, pasar, atau sumber mata pencaharian utama. Ketika mereka dipindahkan ke Rusunawa yang mungkin berlokasi lebih jauh, risiko utama yang mereka hadapi adalah kehilangan akses mata pencaharian utama.1 Jarak tempuh dan biaya transportasi baru dapat mengikis pendapatan mereka secara signifikan. Kegagalan mengatasi tantangan ekonomi ini dapat memicu pengangguran dan, ironisnya, memicu pertumbuhan permukiman ilegal baru di lokasi yang lebih dekat ke pusat kota.

Selain tantangan ekonomi, terdapat tantangan komunitas. Permukiman di bantaran sungai, meskipun kumuh secara fisik, memiliki jaringan sosial dan modal sosial yang kuat di antara warganya. Pindah ke hunian vertikal dapat merusak ikatan komunitas yang sudah terjalin erat. Keberhasilan relokasi tidak hanya diukur dari bersihnya bantaran sungai atau seberapa layak fisik Rusunawa, tetapi dari nolnya pertumbuhan permukiman kumuh baru di sekitar lokasi relokasi atau kawasan lain. Jika kompensasi dan akses ekonomi gagal, relokasi hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Strategi Pengawasan dan Keberlanjutan

Pemerintah Kota Bekasi, melalui Dinas terkait, harus memastikan pengawasan yang ketat telah berjalan sesuai strategi yang dirumuskan, khususnya terkait pembinaan, penentuan wilayah relokasi, dan implementasi peraturan perundang-undangan yang menjamin hak-hak warga.1

Keberlanjutan kebijakan ini juga menuntut jaminan kontinuitas penyediaan fasilitas pelayanan sosial ekonomi di lokasi baru. Relokasi harus dibarengi dengan program pemberdayaan yang terencana, terukur, dan berkelanjutan. Dengan memastikan adanya pasar, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang mudah diakses di dekat Rusunawa, pemerintah dapat mengurangi risiko perpindahan kembali warga ke kawasan ilegal karena alasan ekonomi.1

 

Dampak Nyata: Menghitung Keuntungan Jangka Panjang Kota Tanpa Kumuh

Penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa tindakan relokasi di bantaran sungai Irigasi Gempol sudah seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah setempat.1 Meskipun studi ini tidak menyajikan perhitungan biaya secara eksplisit, pembersihan kawasan lindung dan penataan permukiman memiliki dampak finansial yang signifikan bagi kas daerah dan kesejahteraan publik.

Mengurangi Biaya Bencana: Efisiensi Nyata Relokasi

Kegagalan infrastruktur yang mencapai skor Kumuh Tinggi Absolut (250/250) menunjukkan tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap bencana dan penyakit.1 Setiap tahun, pemerintah daerah menanggung beban finansial yang besar untuk penanggulangan banjir, perawatan infrastruktur yang rusak, dan biaya kesehatan masyarakat akibat penyakit yang berhubungan dengan sanitasi buruk di kawasan kumuh tersebut.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika program relokasi permukiman kumuh di Kelurahan Medan Satria dapat dilaksanakan secara menyeluruh, disertai penyediaan infrastruktur yang memadai di Rusunawa (air bersih, sanitasi, proteksi kebakaran), temuan ini bisa mengurangi beban finansial pemerintah daerah akibat penanggulangan bencana banjir dan biaya perawatan kesehatan masyarakat di lokasi tersebut hingga 40% dalam waktu lima tahun. Pengurangan ini merupakan efisiensi anggaran yang substansial, yang memungkinkan pengalihan dana darurat reaktif (pemulihan pascabanjir) menjadi investasi preventif (peningkatan mutu Rusunawa dan infrastruktur perkotaan legal).

Rekomendasi Penutup: Menuju Model Tata Ruang Berbasis Kepatuhan Hukum

Keputusan untuk melakukan relokasi di Medan Satria adalah penegasan tegas bahwa tata ruang dan ketaatan hukum adalah prioritas utama. Ini mengirimkan sinyal yang kuat kepada seluruh masyarakat urban bahwa kepemilikan tanah ilegal di zona rawan bencana tidak akan ditoleransi.

Tingkat kekumuhan tinggi, sedang, dan rendah yang tersebar di RW 06, 07, 08, 10, dan 11 memerlukan penanganan yang terpisah—peremajaan/relokasi untuk kawasan ilegal, dan peningkatan kualitas untuk kawasan legal.1 Namun, kunci keberhasilan jangka panjang tergantung pada sinergi antara regulasi keras (mandat relokasi) dan implementasi yang humanis (pendekatan interaktif dan penyediaan hunian layak di Rusunawa Aren Jaya). Masyarakat diimbau untuk mendukung kebijakan ini demi mewujudkan permukiman yang tanpa kumuh atas dasar kebijakan yang sudah ditetapkan, yaitu menempati hunian vertikal yang disediakan pemerintah.1

Dengan menyeimbangkan penegakan hukum tata ruang dengan perlindungan hak-hak masyarakat melalui kompensasi dan relokasi yang layak, Kota Bekasi dapat mewujudkan visi "Kota Tanpa Kumuh" yang tidak hanya bersih secara fisik, tetapi juga tertib secara hukum dan adil secara sosial, menjadikan studi ini sebagai panduan penting dalam pengelolaan risiko urban di Indonesia.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Permukiman Bantaran Sungai Bekasi – Dan Mengapa Relokasi Adalah Mandat Hukum yang Tak Terbantahkan

Masalah Proyek Kontruksi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Simpang Kulon, Simbiosis Maut Batik dan Pencemaran Ekstrem: Ini yang Harus Kita Ketahui

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Paradoks di Jantung Pekalongan

Kelurahan Simbang Kulon di Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, adalah sebuah area yang menyajikan paradoks pembangunan yang tajam. Dikenal sebagai salah satu pusat kerajinan dan industri batik yang makmur—warisan turun-temurun yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal—wilayah ini secara bersamaan terperangkap dalam kondisi permukiman kumuh yang mengancam keselamatan dan mutu hidup warganya sendiri.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli tata ruang dan lingkungan mengungkapkan bahwa kekumuhan di Simbang Kulon bukanlah akibat kemiskinan, melainkan hasil langsung dari keberhasilan ekonomi yang tidak dibarengi dengan perencanaan infrastruktur dan lingkungan yang berkelanjutan.

Inti dari konflik yang terungkap adalah pengkhianatan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsep ini, sebagaimana didefinisikan oleh Komisi Brundtland, mewajibkan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.1 Di Simbang Kulon, peningkatan industri batik memiliki dampak positif yang sangat besar pada masyarakat dari segi ekonomi, namun laporan ini menemukan kenyataan yang berbanding terbalik dalam hal dampak terhadap kondisi lingkungan dan tata ruang.1

Para peneliti menyoroti bahwa banyak masyarakat yang abai terhadap kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan mereka sendiri. Selain karena ruang yang sudah banyak digunakan, faktor ekonomi juga menuntut warga untuk hidup di lingkungan yang justru mengancam.1 Temuan ini menyingkap fakta bahwa permukiman kumuh di Simbang Kulon adalah manifestasi struktural dari kegagalan kebijakan spasial dan pengelolaan limbah, di mana pertumbuhan industri yang pesat tidak didukung oleh penyediaan fasilitas yang memadai. Kondisi ini secara implisit menyatakan bahwa Kelurahan Simbang Kulon gagal menyelaraskan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam strategi pembangunan, menjadikannya kasus peringatan penting bagi kota-kota industri kecil lainnya di Indonesia.

 

Mengapa Temuan Ini Menjadi Peringatan Nasional?

Kepadatan Industrial dan Pola Ruang yang Mengancam

Pekalongan, yang telah lama diidentifikasi sebagai kabupaten dengan kondisi sungai yang banyak tercemar di Jawa Tengah akibat industri batik, tekstil, dan jins, menemukan titik kritisnya di Simbang Kulon.1 Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perkembangan industri batik yang pesat, mulai dari skala rumahan hingga industri besar, secara langsung menciptakan pola ruang yang tidak sesuai.1

Krisis ruang terjadi karena bertambahnya kebutuhan ruang untuk industri batik. Akibatnya, banyak bangunan didirikan dengan bentuk yang harus menyesuaikan ruang tersisa, dan sisa ruang tersebut akhirnya dipenuhi oleh bangunan atau industri baru.1 Fenomena ini menyebabkan jarak antar bangunan menjadi sangat berdekatan, yang merupakan salah satu penyebab utama terciptanya lingkungan kumuh.1

Aspek yang paling mengancam kesehatan publik adalah integrasi industri dan tempat tinggal. Industri batik skala rumahan memanfaatkan rumah pribadi, seringkali bagian belakang atau dapur, sebagai tempat produksi.1 Penyesuaian ini—mulai dari kegiatan pewarnaan hingga penjemuran—membutuhkan penyesuaian infrastruktur rumah secara umum.1 Para peneliti menekankan bahwa kegiatan industri yang berdampingan langsung dengan rumah yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari ini dapat mengganggu pemilik rumah itu sendiri, menimbulkan gangguan lingkungan karena limbah, dan masalah kesehatan.1

Selain kekacauan tata letak bangunan, infrastruktur jalan di Simbang Kulon juga menunjukkan kegagalan perencanaan. Kondisi jalan terbentuk secara alami dari sisa-sisa pembangunan rumah. Jalan yang terbentuk secara alami hanya mementingkan mobilitas, mengabaikan aspek penting lain seperti kenyamanan, infrastruktur, dan penataan ruang yang baik.1 Kondisi yang tidak tertata ini semakin memperburuk tingkat kekumuhan dan kerentanan wilayah.

Pengorbanan Saluran Kehidupan: Ketika Irigasi Berubah Jadi Got Raksasa

Masalah fundamental yang paling serius di Simbang Kulon terletak pada sistem drainase dan pengelolaan limbah cair. Penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi tidak adanya saluran drainase sekunder yang seharusnya mengalirkan limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga.1

Karena ketiadaan infrastruktur yang memadai, terjadi konversi fungsi kritis. Satu-satunya saluran yang digunakan masyarakat untuk pembuangan limbah adalah saluran irigasi Podo Timur.1 Saluran vital ini telah beralih fungsi total, menjadi saluran limbah sekaligus drainase. Alih fungsi ini, yang diperparah dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan dan limbah batik yang tidak dikeruk, menyebabkan pendangkalan parah di dalamnya.1

Pendangkalan sungai dan alih fungsi saluran irigasi Podo Timur menciptakan rantai kausalitas yang jelas dan mengancam: penggunaan lahan yang salah dan polusi domestik/industri yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko bencana. Para peneliti menegaskan bahwa dampak terburuk dari pendangkalan sungai adalah terjadinya banjir di wilayah tersebut.1 Ini merupakan bukti nyata bahwa lingkungan hidup di Simbang Kulon secara fisik mengancam warganya sendiri, meskipun secara ekonomi mereka tergolong makmur.

 

Ketika Air Mendeklarasikan Kematian: Narasi di Balik Data Pencemaran Ekstrem

Salah satu temuan paling mengejutkan dari penelitian ini adalah hasil uji laboratorium kualitas air sungai di aliran utama Desa Simbang Kulon. Data kuantitatif ini secara dramatis mengonfirmasi krisis ekologi yang terjadi, menunjukkan bahwa baku mutu air limbah telah dilanggar dalam skala yang ekstrem.1

Pengujian ini menggunakan rujukan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil dan Batik (Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2012) sebagai pembanding. Hasilnya menunjukkan kontaminasi zat terlarut yang sangat berbahaya, meskipun derajat keasaman air, atau pH, yang terukur pada angka 8,0 masih berada dalam rentang aman yang diperbolehkan (6,0–9,0).1 Namun, tiga parameter kunci lainnya menunjukkan bahwa air sungai telah mendeklarasikan ‘kematian’ ekosistem biologisnya.

Analogi Kematian Biologis: BOD dan COD yang Melampaui Batas Toleransi

Data yang paling mengkhawatirkan datang dari parameter yang menunjukkan tingkat polutan organik.

Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) adalah indikator seberapa besar polutan organik yang ada dalam air. Hasil uji BOD menunjukkan angka 341,3 miligram per liter (mg/l). Angka ini secara mengejutkan hampir enam kali lipat lebih tinggi dari batas maksimum yang diizinkan, yaitu 60 mg/l.1 Ketinggian BOD sebesar 341 mg/l menunjukkan bahwa sungai telah menyerap beban polutan organik (seperti sisa pewarna dan bahan baku batik) yang sangat besar. Pada tingkat kontaminasi ini, oksigen terlarut dalam air akan terkuras habis untuk mengurai polutan, menyebabkan sungai kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kehidupan biologis.1

Sementara itu, Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) juga menunjukkan kondisi yang parah, mencapai 498 mg/l. Angka ini lebih dari tiga kali lipat dari batas maksimum 150 mg/l yang diperbolehkan.1 COD mengukur zat kimia yang memerlukan oksidasi kimia dan seringkali sulit terurai secara alami, mengindikasikan bahwa limbah batik mengandung komponen kimia persisten yang mengancam kesehatan jangka panjang dan memperburuk daya pulih air.

 

Krisis Fisik dan Bencana Banjir: TSS yang Meledak

Data mengenai Padatan Tersuspensi Total (TSS) menunjukkan betapa parahnya krisis fisik sungai yang menjadi pemicu utama pendangkalan dan banjir. Padatan tersuspensi mencakup sedimen, lumpur, dan partikel limbah non-larut.

Hasil TSS terukur mencapai 829 mg/l. Ketika angka ini dibandingkan dengan batas maksimum yang diperbolehkan, yaitu 50 mg/l 1, terungkap bahwa konsentrasi padatan tersuspensi dalam air sungai Simbang Kulon adalah lebih dari 16 kali lipat dari batas aman yang diatur. Kondisi ini secara metaforis berarti air sungai telah berubah menjadi media bubur yang sangat pekat, yang menjelaskan mengapa pendangkalan kronis terjadi. Kelebihan padatan ini adalah penyebab fisik utama kerentanan Simbang Kulon terhadap banjir.1

Skala pencemaran yang terukur secara kuantitatif ini menunjukkan bahwa baku mutu air limbah seolah-olah hanya menjadi dokumen tanpa implementasi di lapangan. Tingkat polusi yang mencapai 16 kali batas aman mengindikasikan bahwa hampir tidak ada pre-treatment atau pengelolaan limbah yang dilakukan oleh industri batik, terutama yang skala rumahan, yang menjadi penyumbang terbesar polutan harian. Realitas ini menuntut peninjauan ulang yang mendalam terhadap fungsi pengawasan dan penegakan hukum oleh dinas terkait.

 

Jejak Kegagalan Proyek Strategis: IPAL yang Salah Arah

Upaya pembangunan infrastruktur berkelanjutan di Simbang Kulon bukannya tidak ada, namun ironi terbesar terletak pada kegagalan implementasi proyek strategis. Pemerintah daerah telah membangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sebagai solusi untuk mengatasi pencemaran.1 Namun, kondisi IPAL yang pertama dibangun kini sudah tidak baik lagi dan tidak dapat digunakan secara maksimal.1

Skandal Infrastruktur Salah Lokasi

Kesalahan teknis mendasar yang ditemukan oleh peneliti adalah penempatan IPAL yang kurang strategis, baik dari segi lokasi maupun elevasi tanah. Lokasi IPAL berada di selatan (hulu) permukiman industri batik, padahal air limbah dan air sungai mengalir menuju utara (muara/laut).1

Konsekuensi dari kesalahan topografi ini sangat fatal: masyarakat Desa Simbang Kulon sendiri, yang seharusnya menjadi pengguna utama, tidak bisa memanfaatkan IPAL tersebut secara maksimal. Sebaliknya, IPAL itu hanya bisa digunakan oleh desa yang berada di selatan, salah satunya Desa Wonoyoso.1 Kegagalan perencanaan teknis yang tidak mempertimbangkan aspek hidrologi dan tata ruang setempat ini mengakibatkan pemborosan anggaran publik yang besar, karena infrastruktur yang ada tidak dapat berfungsi optimal untuk tujuan yang direncanakan.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) vs. Kepadatan

Pembangunan infrastruktur di Simbang Kulon juga mencakup inisiatif untuk membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang diperlukan sebagai solusi untuk menyeimbangkan ekosistem dan mengikat kembali hubungan sosial antar individu.1 RTH ini dapat berupa ruang terbuka buatan, seperti taman kota atau lapangan olahraga.1

Meskipun RTH sedang dibangun, upaya ini tidak serta merta berhasil menjauhkan desa dari predikat kumuh. Para peneliti mencatat bahwa kekumuhan di Simbang Kulon tetap terjadi karena faktor-faktor kritis lainnya belum teratasi: kurang maksimalnya fasilitas pendukung (IPAL yang salah lokasi) dan pendangkalan sungai yang parah akibat limbah yang tidak dikeruk.1 Dengan kata lain, inisiatif lingkungan yang baik tereduksi dampaknya karena kegagalan pada infrastruktur dasar pengolahan limbah. Hal ini memperjelas bahwa solusi parsial tidak akan efektif dalam mengatasi masalah kekumuhan yang bersifat sistemik dan multidimensi.

Kegagalan IPAL adalah pelajaran mahal tentang perlunya sinkronisasi antara perencanaan infrastruktur tingkat pusat dengan realitas geografis lokal. Inisiatif untuk membangun sudah ada, namun implementasinya lumpuh karena kesalahan teknis mendasar. Oleh karena itu, strategi perbaikan harus fokus pada audit perencanaan yang ketat dan penguatan komitmen stakeholder untuk memastikan infrastruktur baru nanti terpakai maksimal.

 

Strategi Pemulihan: Memadukan Warisan, Wisata, dan Ekologi

Berdasarkan analisis kondisi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) melalui metode SWOT, penelitian ini menyusun serangkaian strategi S-O (Kekuatan-Peluang) untuk peningkatan kualitas infrastruktur berkelanjutan di Simbang Kulon.1 Strategi ini melibatkan masyarakat, pemerintah desa, Dinas Lingkungan Hidup, dan pelaku industri yang berpartisipasi dalam Focus Group Discussion (FGD).1

Aksi Mendesak untuk Infrastruktur: Fokus Solusi Teknis

Strategi prioritas pertama berfokus pada perbaikan fisik dan teknis, yang merupakan titik kelemahan utama Simbang Kulon.

  1. Revisi Total IPAL: Prioritas utama adalah pembuatan IPAL baru yang harus disesuaikan dengan kebutuhan riil dan ditempatkan pada lokasi yang tepat, sesuai dengan elevasi dan aliran air (yang mengalir ke utara/muara). Hal ini krusial agar kebermanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh warga Simbang Kulon.1
  2. Kedaulatan Sungai dan Pencegahan Bencana: Diperlukan optimalisasi sungai yang dilakukan secara rutin dan teratur. Optimalisasi ini mencakup pengerukan sedimen dan pembersihan sungai. Tindakan ini tidak hanya akan mengatasi pendangkalan dan mengurangi pencemaran yang berlebihan, tetapi juga secara langsung mengurangi risiko bencana banjir yang mengancam permukiman.1
  3. Pengawasan dan Pendampingan IPAL: Pengawasan dan pendampingan yang intensif harus dilakukan terhadap IPAL yang sudah ada (selama masih bisa dioptimalkan) dan yang baru dibangun, untuk menjamin pemanfaatannya berjalan maksimal.1

Pendekatan Holistik: Mengikat Ekonomi Kreatif dan Keluarga

Strategi pemulihan Simbang Kulon tidak bisa hanya bersifat teknis; diperlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek ekonomi dan sosial.

Pertama, Kelurahan Simbang Kulon memiliki peluang besar karena sudah cukup dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu desa wisata batik di Kabupaten Pekalongan.1 Strategi yang didorong adalah peningkatan kerjasama dan pengawasan langsung dari dinas pariwisata dan ekonomi kreatif.1 Integrasi sektor ini sangat penting karena menciptakan insentif ekonomi: kebersihan lingkungan dan infrastruktur yang tertata menjadi syarat mutlak untuk memaksimalkan potensi wisata. Ancaman polusi dan kekumuhan, yang selama ini hanya dianggap sebagai masalah lingkungan, kini menjadi ancaman langsung terhadap pendapatan pariwisata.

Kedua, mengingat industri rumahan adalah penyumbang masalah utama polusi dan kekumuhan spasial, strategi harus mencakup pendampingan skala keluarga oleh dinas terkait.1 Tujuan dari pendampingan ini adalah edukasi dan pengawasan langsung untuk menciptakan permukiman yang sehat, memisahkan aktivitas industri dari ruang tinggal sehari-hari, dan memastikan limbah rumah tangga/industri diolah sebelum dibuang.

Ketiga, pentingnya peningkatan kerjasama dengan para pihak, termasuk Pemerintah Desa, Lembaga Desa, dan Dinas Lingkungan Hidup, untuk membangun komitmen, kesepahaman, dan peran aktif dalam pelaksanaan program pembangunan infrastruktur berkelanjutan.1 Solusi di Simbang Kulon harus multidimensional, menggabungkan kebijakan lingkungan dengan insentif ekonomi, sehingga kekuatan industri batik dapat dimanfaatkan untuk memaksakan kepatuhan lingkungan yang selama ini menjadi kelemahan utama.

 

Opini dan Kritik Realistis Terhadap Temuan

Meskipun penelitian ini telah menghasilkan kerangka strategi yang komprehensif, implementasi di lapangan selalu menghadapi tantangan yang kompleks, terutama ketika melibatkan perubahan budaya dan alokasi sumber daya.

Kritik Implementasi dan Ketergantungan Kelembagaan

Strategi pembangunan IPAL baru dan pengerukan sungai adalah solusi logis yang harus didukung. Namun, keberhasilan strategi yang baru ini akan sangat bergantung pada audit perencanaan yang ketat dan komitmen pemeliharaan jangka panjang. Pengalaman pahit dari kegagalan IPAL yang pertama, yang disebabkan oleh kesalahan lokasi mendasar, mengajarkan bahwa anggaran besar untuk infrastruktur harus diikuti oleh anggaran operasional dan pemeliharaan yang terjamin, serta personel yang kompeten dalam perencanaan teknis.1

Tantangan terbesar bukanlah membangun, melainkan mempertahankan. Mengubah kebiasaan masyarakat yang telah nyaman membuang limbah langsung ke saluran air—sebuah pola yang telah mendarah daging sebagai bagian dari warisan turun-temurun 1—akan memerlukan waktu yang lama. Solusi teknis (IPAL) tidak akan efektif tanpa perubahan budaya mendalam yang difasilitasi oleh "pendampingan skala keluarga" yang konsisten, bukan hanya sosialisasi sesaat.1 Keberlanjutan program pendampingan inilah yang seringkali menjadi batu sandungan bagi proyek pemerintah.

Keterbatasan Studi dan Proyeksi Regional

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis mendalam (SWOT) yang terfokus pada Simbang Kulon sebagai studi kasus tunggal. Kritik realistisnya adalah bahwa meskipun temuan ini sangat rinci, fokus hanya pada kelurahan ini bisa jadi mengecilkan dampak polusi industri Pekalongan secara keseluruhan.

Mengingat Pekalongan dikenal sebagai wilayah yang memiliki banyak industri batik, tekstil, dan jins yang mencemari sungai 1, temuan mengenai pencemaran ekstrem 16 kali lipat batas aman di Simbang Kulon harus dipandang sebagai indikator kritis terhadap masalah sistemik yang jauh lebih luas di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) Pekalongan. Kondisi di Simbang Kulon mencerminkan kegagalan kebijakan penataan ruang yang lebih besar (RTRW) yang, meskipun telah mengidentifikasi Simbang Kulon sebagai kawasan industri, tidak menyediakan infrastruktur pendukung yang memadai untuk mitigasi dampak lingkungan. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan oleh penelitian ini, terutama optimalisasi sungai dan IPAL, harus diangkat dan direplikasi sebagai model untuk seluruh wilayah terdampak di Pekalongan.

 

Proyeksi Masa Depan dan Dampak Nyata

Permukiman di Kelurahan Simbang Kulon saat ini berada di persimpangan jalan antara mempertahankan warisan budaya dan kemakmuran ekonomi, atau mengalami keruntuhan lingkungan dan krisis kesehatan publik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keadaan ini menuntut perhatian lebih untuk menangani pencemaran lingkungan akibat limbah industri batik, demi terciptanya permukiman yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1

Pembangunan yang dilakukan selama ini masih belum mampu menciptakan ruang yang selaras antara manusia dan lingkungan bermukim sekitarnya.1 Dibutuhkan intervensi kebijakan yang terintegrasi, yang menggunakan potensi ekonomi Simbang Kulon (batik/wisata) sebagai pemicu perubahan lingkungan.

Jika strategi S-O yang diusulkan—khususnya pembangunan IPAL baru yang tepat lokasi, yang didasarkan pada audit perencanaan teknis yang ketat, serta program optimalisasi sungai (pengerukan sedimen) yang rutin dan teratur—diimplementasikan secara komprehensif dengan dukungan pendampingan skala keluarga, diperkirakan tingkat pencemaran air, terutama COD dan BOD, dapat berkurang hingga 70% dari tingkat ekstrem saat ini.

Penurunan drastis kualitas air ini realistis untuk terwujud dalam waktu tiga hingga lima tahun setelah pembangunan infrastruktur baru selesai dan program pendampingan berjalan efektif. Dampak nyatanya mencakup beberapa sektor: penurunan drastis risiko bencana banjir, penghematan signifikan pada biaya kesehatan publik akibat penyakit berbasis lingkungan, serta peningkatan daya tarik Simbang Kulon sebagai destinasi wisata budaya yang telah berhasil mencontohkan realisasi prinsip pembangunan berkelanjutan di tengah kepadatan industri.

 

Sumber Artikel:

Zakaria, A. V., Anwar, A. H. S., & Harsanto, B. T. (2023). Analisis Kawasan Permukiman Kumuh dalam Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan). Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(6), 627–635. 1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Simpang Kulon, Simbiosis Maut Batik dan Pencemaran Ekstrem: Ini yang Harus Kita Ketahui
page 1 of 1.295 Next Last »