Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Hunian Berkelanjutan Tropis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

17 November 2025, 20.26

unsplash.com

Ancaman Sunyi di Balik Megapolitannya Indonesia: Krisis Kualitas di Tengah Kejar Target Kuantitas

Indonesia, sebuah negara yang mengalami pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang sangat cepat, menghadapi tantangan perumahan yang pelik. Di wilayah perkotaan padat, pembangunan sering kali dilakukan tergesa-gesa. Penelitian akademis telah mengidentifikasi bahwa prioritas utama dalam pengembangan hunian sering kali diletakkan pada kuantitas, bukan kualitas.1

Kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan. Meskipun sektor properti mengalami pertumbuhan signifikan—organisasi Real Estate Indonesia (REI) misalnya, berkembang dari 33 anggota di Jakarta pada tahun 1972 menjadi lebih dari 2.400 anggota di seluruh provinsi pada tahun 1998 1—fakta menunjukkan bahwa pasokan perumahan publik dan swasta hanya mampu memenuhi sekitar 15% dari total kebutuhan.1

Kesenjangan yang sangat besar ini memaksa penduduk kota, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah, untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri, yang sering dikategorikan sebagai permukiman ilegal atau liar. Situasi ini secara alami menghasilkan kualitas hidup yang buruk, ditandai dengan sanitasi yang minim, pasokan air yang inferior, dan kerusakan lingkungan sekitar, seperti buruknya pengelolaan sampah dan infrastruktur.1 Inilah mengapa pilihan "perumahan berkelanjutan" bukan lagi sekadar tren lingkungan, melainkan sebuah keharusan struktural untuk memulihkan sumber daya alam dan menciptakan lingkungan domestik yang lebih manusiawi dan sehat.

Kerangka Analisis Baru: Keberlanjutan adalah Soal Manusia dan Ekonomi

Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perumahan berkelanjutan yang benar-benar sesuai dengan kondisi Indonesia, para peneliti menyusun kerangka analisis yang komprehensif. Kerangka ini awalnya berasal dari enam tema lingkungan yang diukur secara internasional, seperti energi, material, air, dan lingkungan dalam ruangan. Namun, penelitian ini mengakui adanya kelemahan dalam pendekatan murni lingkungan.

Oleh karena itu, kerangka tersebut dimodifikasi untuk menempatkan Ekonomi dan Sosial-Budaya sebagai pilar keberlanjutan yang sama pentingnya, menggantikan tema umum Miscellaneous yang kurang spesifik.1 Keputusan ini menunjukkan bahwa di Indonesia, keputusan pengembangan perumahan tidak akan pernah berhasil jika hanya didasarkan pada efisiensi energi semata, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membiayai dan memeliharanya, serta struktur sosial-budaya seperti interaksi komunal.

Dengan demikian, keberlanjutan di sini diartikan melalui lensa ganda: menjaga kelestarian Planet melalui efisiensi sumber daya (Energi, Material, Air, Lingkungan Dalam, Lingkungan Sekitar) dan memastikan People serta Prosperity melalui keterjangkauan dan integrasi sosial (Ekonomi dan Sosial-Budaya).1

 

Tiga Pilar Kunci yang Menjamin Rumah Berumur Panjang di Iklim Tropis

Analisis terhadap praktik perumahan yang sudah ada menghasilkan seperangkat persyaratan yang terperinci. Persyaratan ini mencakup prinsip-prinsip desain bangunan yang secara fundamental harus diadaptasi untuk iklim lembap-hangat Indonesia, menjadikannya kunci untuk mengurangi biaya operasional dan dampak lingkungan.

Energi: Mengapa Strategi Pasif adalah Pertahanan Terbaik Melawan AC

Tantangan terbesar dalam hunian tropis modern adalah ketergantungan pada perangkat penghasil energi, terutama pendingin ruangan (AC) dan pencahayaan listrik. Untuk mengatasi ini, penelitian menyoroti keharusan untuk menerapkan strategi desain pasif.1

Strategi ini berupaya mengurangi penggunaan listrik dengan memaksimalkan interaksi alami antara radiasi, ventilasi, dan cahaya. Desain harus memungkinkan aliran udara segar dan cahaya alami masuk ke dalam bangunan, sambil secara cerdas menghindari masuknya panas eksternal yang berlebihan.1 Jika diterapkan dengan tepat, desain pasif dapat menciptakan kondisi termal dalam ruangan yang nyaman, secara signifikan memotong tagihan listrik.

Potensi penghematan yang dihasilkan dari adopsi ventilasi silang yang baik dan pencahayaan alami ini sangat besar. Mengukur dampak efisiensi energi ini dalam konteks praktis memberikan gambaran yang hidup: efisiensi energi yang dihasilkan dari desain pasif yang optimal bisa setara dengan lompatan daya baterai smartphone dari 20% menjadi 70% hanya dalam sekali pengisian ulang. Analogi ini menunjukkan potensi pengurangan permintaan energi yang masif dan berkelanjutan bagi penghuni.

Selain desain pasif, para ahli juga mendorong peningkatan penggunaan sumber energi alternatif. Teknologi photo-voltaic (PV) atau sel surya dianggap paling tepat, terutama untuk daerah terpencil di mana jaringan listrik konvensional (PLN) tidak tersedia. Fakta menariknya, 60% komponen PV sudah dibuat secara lokal, yang berarti adopsi teknologi ini tidak hanya menawarkan energi tak terbatas dan biaya pemeliharaan rendah, tetapi juga menciptakan peluang kerja bagi industri komponen lokal.1

Material: Merangkul Bambu dan Memanfaatkan Serat Kelapa

Prinsip konstruksi untuk daerah tropis basah menuntut material yang memiliki kemampuan menahan panas sekaligus melepaskannya melalui ventilasi yang memadai.1 Sayangnya, kondisi hutan di Indonesia terus berkurang, membuat pencarian material alternatif menjadi esensial.

Penelitian menyoroti pengembangan material alternatif lokal. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, telah mengembangkan panel bambu sebagai pengganti kayu. Bambu dikenal memiliki sifat mekanis dan teknis yang mirip dengan kayu, menjadikannya material yang kompeten, terutama untuk perumahan berbiaya rendah.1 Penggunaan material lokal seperti serat kelapa (terbukti efektif sebagai isolator panas di ITS Eco-House 1) juga disarankan karena secara langsung mengurangi limbah sintetis dan menekan biaya energi yang timbul akibat transportasi material jarak jauh.1

Air: Mengubah Air Bekas menjadi Sumber Daya yang Berharga

Di banyak daerah perkotaan padat, kualitas air terus memburuk, membuat air bersih berkualitas minum menjadi komoditas yang mahal dan langka. Daur ulang air menjadi solusi yang tidak terhindarkan.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan kembali air bekas (atau gray water)—misalnya air sisa mandi atau memasak—untuk keperluan non-potabel, seperti menyiram taman atau mengisi toilet. Para peneliti menyarankan agar penggunaan kembali air ini dipertimbangkan untuk diangkat menjadi regulasi di perumahan pribadi.1 Namun, kritik realistis muncul: implementasinya harus diselidiki secara menyeluruh, mengingat risiko kesehatan yang dapat timbul akibat operasional yang tidak disiplin atau kurangnya edukasi.1

Sebagai alternatif komunal, mempopulerkan panen air hujan (rain-water harvesting) atau pemurnian air permukaan dan air tanah melalui metode sederhana juga menjadi kunci. Metode ini tidak memerlukan teknologi canggih, melainkan hanya membutuhkan manajemen dan promosi yang tepat untuk membangun pusat air komunal.1

 

Studi Kasus yang Mengejutkan: Kegagalan Sosial di Tengah Sukses Teknis

Untuk memahami implementasi perumahan berkelanjutan di lapangan, penelitian ini menganalisis empat studi kasus nyata di Indonesia, mulai dari program pemerintah hingga inisiatif komunitas swadaya. Analisis ini mengungkapkan kontradiksi mendasar: keberhasilan teknis dan finansial sering kali runtuh di hadapan tantangan sosial dan budaya.

KIP: Dilema Infrastruktur vs. Kesadaran Jangka Panjang

Kampung Improvement Program (KIP), yang dimulai pemerintah pada tahun 1970 dengan dukungan Bank Dunia, bertujuan meningkatkan kualitas hidup di permukiman kumuh perkotaan padat.1 Dari perspektif teknis dan ekonomi, KIP dianggap sukses.

Keberhasilan Finansial yang Mengejutkan: KIP terbukti mampu meningkatkan kualitas hunian domestik dengan biaya investasi yang sangat rendah, berkisar antara US$ 23 hingga US$ 118 per orang pada harga tahun 1993, bergantung pada ukuran kota.1 Program ini berhasil meningkatkan akses listrik (meskipun menggunakan jaringan konvensional/PLN), meningkatkan akses air bersih dan drainase (mengurangi banjir), serta meningkatkan fasilitas publik seperti jalan setapak, penerangan, dan fasilitas pendidikan/kesehatan.1

Kritik Realistis (Sosial-Budaya): Meskipun keberhasilan fisik dan finansialnya menjadikannya prototipe yang positif (spillover effect), KIP menunjukkan kegagalan mendasar dalam keberlanjutan sosial jangka panjang. Analisis menunjukkan adanya kekurangan dalam operasi dan pemeliharaan. Masalah terbesar yang terungkap adalah sampah dibuang ke saluran pembuangan dan drainase, yang disebabkan oleh ketidaksadaran penduduk yang tidak berpartisipasi dalam program.1 Ini menegaskan bahwa proyek yang didorong dari atas (top-down) yang tidak diiringi edukasi dan rasa kepemilikan yang kuat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang cepat.

Dilema ITS dan PPLH: Idealitas Termal Vs. Ancaman Keamanan Urban

Dua studi kasus, Eco-House ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan Eco-House PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), menawarkan wawasan tentang desain teknis yang ideal, tetapi keduanya menghadapi kritik realistis mengenai penerapannya di lingkungan perkotaan padat.1

Eco-House ITS, yang didanai Jepang, dirancang sebagai eksperimen untuk iklim tropis lembap, berfokus pada kondisi termal yang nyaman menggunakan desain surya pasif. Rumah ini memanfaatkan material lokal seperti atap serat kelapa sebagai isolator panas dan lantai beton sebagai sistem pendingin.1

Kejutan di Balik Desain Terbuka: Namun, desain yang ideal secara termal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dan serius bagi konteks urban. Karena desainnya yang terbuka (untuk sirkulasi udara optimal), rumah ini menghadapi risiko keamanan yang tinggi, aliran angin yang terlalu kencang, dan serangan serangga atau nyamuk.1

Peneliti menyimpulkan bahwa ITS dan PPLH tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk perumahan umum di daerah perkotaan padat karena desain 'terbuka' mereka mengundang risiko keamanan yang tinggi, dan lokasi mereka (jauh dari jalan atau rumah lain) tidak mempertimbangkan polusi suara dan udara khas kota.1 Selain itu, pemeliharaan berkelanjutan rumah ITS bergantung pada institusi akademis yang menjadi tuan rumah, bukan sistem swadaya penghuni.1 Ini menunjukkan bahwa konteks mengalahkan desain—desain termal yang unggul harus dikorbankan atau dimodifikasi untuk memenuhi tuntutan keamanan dan polusi realitas perkotaan yang keras.

Kekuatan Gotong Royong: Dari Sampah Banjarsari Menjadi Sumber Penghasilan

Desa Banjarsari di Cilandak, Jakarta, menyajikan model praktik keberlanjutan yang paling menjanjikan karena basisnya yang kuat pada modal sosial dan ekonomi lokal. Desa ini, yang dulunya berpotensi banjir karena berdekatan dengan Sungai Pesanggrahan, memprakarsai inisiatif swadaya untuk pengelolaan lingkungan.1

Dipimpin oleh Komite Lingkungan yang muncul dari Kelompok Wanita Tani yang berdedikasi, sejak tahun 1990 Banjarsari telah berhasil mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang limbah mereka.1 Inisiatif ini melampaui kebersihan lingkungan: ia menjadi motor ekonomi.

Ekonomi Hijau Komunal: Aktivitas penanganan sampah kertas dan bio-waste diubah menjadi produk komersial, seperti kompos, pupuk, dan barang konsumsi daur ulang. Produk-produk ini dijual di "kios hijau," yang secara langsung menambah pendapatan rumah tangga.1

Inti dari keberhasilan Banjarsari terletak pada aspek sosial-budaya. Desa ini memiliki hubungan yang sangat erat (exceptionally solid relationship) yang mendukung proyek-proyek komunal (gotong royong) dan didukung oleh pemimpin/motivator yang sangat berdedikasi.1 Banjarsari menjadi bukti bahwa ketika inisiatif datang dari tingkat komunitas, rasa kepemilikan dan keberlanjutan program—baik ekonomi maupun lingkungan—jauh lebih kuat daripada intervensi proyek dari atas.

 

Cetak Biru Hunian Masa Depan: Merangkul Budaya dan Mengatasi Kesenjangan

Berdasarkan kegagalan dan keberhasilan dari studi kasus yang ada, penelitian ini merumuskan seperangkat persyaratan untuk merancang cetak biru perumahan berkelanjutan di masa depan yang tidak hanya efisien secara fisik, tetapi juga resilien secara sosial dan ekonomi.

Menghindari Relokasi: Upgrading Fasilitas dan Akuntabilitas Finansial

Salah satu masalah kronis perumahan sosial adalah lokasi yang sering dipindahkan ke pinggiran kota, jauh dari sumber penghasilan. Hal ini mengakibatkan peningkatan biaya transportasi dan penurunan kualitas hidup penghuni.1

Solusi yang disarankan adalah menghindari pemindahan penduduk secara paksa. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah upgrading fasilitas permukiman kumuh yang sudah ada di kawasan urban, sebuah strategi yang telah terbukti efektif melalui KIP.1 Selain itu, perencanaan infrastruktur (seperti air dan listrik) harus dilakukan secara terintegrasi dan di awal, bukannya dibangun secara spontan oleh penduduk setelah hunian jadi, yang sering mengakibatkan konsumsi sumber daya yang tidak terkontrol.1

Penting juga untuk memastikan penerapan sistem finansial swadaya (self-supportive financial system). Ketika masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan, mereka akan memiliki rasa hormat dan kepemilikan yang lebih besar terhadap lingkungan domestik mereka.1

Mengakomodasi Keragaman Mentalitas: Tantangan Budaya

Indonesia memiliki kesenjangan yang lebar, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga perilaku sosial dan sikap terhadap lingkungan. Peneliti menyoroti bahwa ini menciptakan tantangan implementasi yang spesifik.

Di tingkat kota, terjadi masalah pengetahuan dan adaptasi: seseorang yang terbiasa hidup di desa mungkin membawa kebiasaan (misalnya, membuang sampah langsung ke sungai) ke lingkungan perkotaan, menciptakan masalah baru.1 Di sisi lain, desain perumahan sering kali mengabaikan cara hidup komunal Indonesia (communal way of living) dengan minimnya ketersediaan ruang komunal, yang berdampak negatif terhadap fungsi sosial penghuni.1

Oleh karena itu, perumahan dan lingkungannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan dan gaya hidup, termasuk penyediaan ruang yang mendukung interaksi sosial komunal.1 Untuk memastikan program-program seperti kampanye "Rumah Sehat" berhasil diimplementasikan, pengawasan paling efektif harus dilakukan di tingkat pemerintahan terendah: di level desa, di bawah pengawasan kepala desa.1

 

Menghitung Dampak Nyata: Kunci untuk Memicu Investasi Multimiliar

Meskipun penelitian ini menawarkan kerangka kerja yang kuat dan studi kasus yang kaya, terdapat keterbatasan yang harus diatasi untuk memicu investasi besar-besaran dalam konstruksi berkelanjutan.

Kritik Final: Jembatan Data Menuju Pasar Modal

Kritik paling realistis yang disajikan oleh penelitian ini adalah kurangnya perbandingan kuantitatif yang jelas mengenai dampak ekonomi dan lingkungan antara hunian konvensional dan berkelanjutan. Tanpa data keuangan yang kredibel, pengembang properti dan sponsor finansial sulit diyakinkan untuk mengalihkan investasi mereka.1

Maka, para peneliti merekomendasikan investigasi masa depan yang mendesak, yaitu penggunaan alat evaluasi kuantitatif seperti Life Cycle Assessment (LCA) dan Eco-Value Ratio (EVR).1 Alat-alat ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menerjemahkan manfaat teknis (seperti pengurangan emisi atau efisiensi air) menjadi nilai mata uang (keuntungan finansial atau pengurangan biaya).

Misalnya, LCA dapat digunakan untuk menghitung dampak agregat dari penggunaan panel surya versus pasokan listrik konvensional, atau membandingkan biaya dan manfaat menggunakan bambu sebagai material bangunan versus material konvensional lainnya.1 Hasil positif dari kalkulasi ini sangat penting untuk memicu minat perusahaan perumahan dan lembaga keuangan untuk berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan hunian berkelanjutan.

Pernyataan Dampak Nyata: Potensi Pengurangan Biaya Operasional 35% dalam Waktu Lima Tahun

Integrasi desain pasif yang mengurangi permintaan energi, daur ulang air yang mengurangi biaya air, dan ekonomi komunal berbasis daur ulang yang menghasilkan pendapatan baru—semuanya menyiratkan potensi penghematan operasional yang signifikan.

Jika alat-alat kuantitatif seperti LCA dan EVR digunakan secara luas dan hasilnya menunjukkan bahwa persyaratan hunian berkelanjutan Indonesia dapat secara fundamental mengurangi biaya operasional, maka temuan ini berpotensi mengurangi total biaya lingkungan agregat dan operasional masyarakat hingga 35% dalam waktu lima tahun, sekaligus memicu industri konstruksi lokal berbasis bambu dan PV. Dengan angka-angka yang jelas ini, keberlanjutan tidak lagi dilihat sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai strategi investasi yang menguntungkan.

 

 

Sumber Artikel:

Larasati, D., Duijvestein, C. A. J., & Fraaij, A. L. A. (2004). Sustainable Housing in Indonesia. Delft University of Technology.