MENGAPA MARGA SARI PENTING: KRISIS 9,1 HEKTAR DI JANTUNG BALIKPAPAN
Balikpapan dan Ancaman Urban Slum
Sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Kalimantan Timur, Balikpapan menghadapi tantangan klasik dari proses urbanisasi yang pesat: meningkatnya kebutuhan akan ruang. Tuntutan ruang yang melonjak ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat memicu masalah kesenjangan sosial dan kerentanan lingkungan. Pada tingkat kebijakan nasional, kekhawatiran ini sudah diantisipasi melalui Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menegaskan perlunya keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan wilayah. Regulasi ini, bersama dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010, berfungsi untuk menciptakan ketertiban administrasi dan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam tata kelola ruang.1
Namun, meskipun payung hukum telah tersedia, Balikpapan secara spesifik harus bergulat dengan meluasnya kawasan permukiman yang tidak layak huni atau kumuh. Studi kasus menunjukkan bahwa luasan kawasan kumuh di Kota Balikpapan telah mencapai 9.1 hektare, sebuah angka yang signifikan jika dibandingkan dengan total luas wilayah kota yang mencapai $503,3057\text{ km}^{2}$.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, luasan 9.1 hektare ini setara dengan lebih dari selusin lapangan sepak bola standar internasional yang tersebar di tengah kota, menuntut perhatian segera dari pemerintah daerah agar tidak merusak tata ruang secara keseluruhan.1 Upaya pencegahan meluasnya kawasan kumuh inilah yang kemudian melahirkan Peraturan Daerah Kota Balikpapan No. 5 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan.
Marga Sari: Membangun Kembali dari Abu Bencana
Di tengah upaya penataan tata ruang Balikpapan, Kelurahan Marga Sari muncul sebagai studi kasus yang paling mendesak. Kawasan ini bukan hanya sekadar permukiman padat biasa, melainkan warisan struktural dari bencana kebakaran. Kelurahan Marga Sari menyisakan kondisi yang sangat kumuh pasca kebakaran besar pada tahun 1992, terutama di kawasan RT 29 dan 30. Kondisi ini diperparah oleh minimnya akses jalan dan fasilitas penunjang kehidupan sehari-hari, yang membuat lingkungan tersebut menjadi tidak memadai.1 Bahkan setelah kebakaran kedua pada tahun 2005 yang menimpa RT 1 hingga RT 12, permasalahan ini semakin mendesak.
Pemerintah Kota Balikpapan, didukung oleh Tim Relokasi Permukiman Atas Air, menyadari bahwa penanganan kawasan ini harus dilakukan secara komprehensif. Urgensi kebijakan penataan ruang di Marga Sari ini dapat dilihat sebagai sebuah respons ganda: menanggulangi dampak bencana historis sekaligus mencegah perluasan area kumuh di tengah pertumbuhan kota.1 Program ini menyangkut hajat hidup komunitas yang besar; pada tahun 2014, Kelurahan Marga Sari dihuni oleh 13.099 Jiwa atau sebanyak 4.192 Kepala Keluarga yang tersebar di 32 RT.1 Populasi ini sendiri majemuk, terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Madura, Banjar, Dayak, Bugis, Makassar, Mandar, dan Tionghoa, menuntut solusi penataan hunian yang tidak hanya layak secara fisik, tetapi juga inklusif secara sosial.1
STRATEGI TIGA DIMENSI: MODEL PEMBANGUNAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN
Studi tentang Marga Sari menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Balikpapan secara konseptual telah mengadopsi model administrasi pembangunan yang ideal, berpegangan pada tiga pilar utama yang harus ada dalam pengembangan berkelanjutan: Perencanaan Tata Ruang, Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.1 Model ini merupakan bukti bahwa di tingkat konseptual, tim pelaksana telah memahami prinsip-prinsip penataan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.1
Perencanaan: Tepat Sasaran Melalui Pendekatan Kualitatif
Langkah awal keberhasilan proyek ini terletak pada perencanaan yang digambarkan sebagai "matang".1 Berbeda dengan pendekatan teknokratis yang seringkali terpisah dari realitas lapangan, Tim Relokasi Permukiman Atas Air secara aktif turun langsung ke lokasi penelitian. Mereka menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif mendalam, termasuk wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, untuk mencari permasalahan yang ada di lapangan, bahkan sebelum program dilaksanakan.1
Keterlibatan langsung ini—melalui proses getting in (memasuki lokasi), getting along (membangun kepercayaan), dan logging the data (mengumpulkan data)—memastikan bahwa pengembangan nantinya akan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Marga Sari.1 Pendekatan ini adalah jaminan bahwa perencanaan tidak akan menjadi dokumen mati, melainkan intervensi yang hidup, yang disesuaikan dengan kondisi geologis, topografi, hingga kondisi sosial 4.192 Kepala Keluarga yang terdampak.1
Pelaksanaan: Konsolidasi Lahan Mengurai Kepadatan
Tahap pelaksanaan pemanfaatan ruang merupakan terjemahan dari perencanaan yang telah disusun. Tim Relokasi menerapkan dua strategi utama berdasarkan kebutuhan spesifik wilayah:
- Ressettlement (Pemukiman Kembali): Diterapkan untuk kawasan yang paling parah terdampak kebakaran tahun 1992, yaitu di RT 28, 29, dan 30.
- Rehabilitasi Kebakaran: Dilaksanakan untuk kawasan yang mengalami bencana pada tahun 2005, meliputi RT 1 hingga RT 12.1
Strategi kunci yang diterapkan dalam keseluruhan proses ini adalah Konsolidasi Lahan. Konsolidasi lahan adalah proses krusial untuk menata kembali tata letak kepemilikan dan infrastruktur, mengubah permukiman yang tadinya tumbuh organik dan padat menjadi kawasan yang lebih teratur. Secara keseluruhan, pelaksanaan ini bertujuan agar permukiman yang sudah terbentuk dapat diperbaiki tatanannya tanpa mengabaikan sistem ekologi dan sosial.1
Pengendalian: Menyelamatkan Lingkungan dan Masa Depan
Pilar ketiga—Pengendalian Pemanfaatan Ruang—menunjukkan visi jangka panjang yang sangat maju dalam administrasi pembangunan. Pengendalian ini dirancang sejak awal untuk menjaga kawasan yang sudah ditata dari risiko kembali menjadi kumuh.1
Pengendalian dilakukan tidak hanya dari sisi fisik, yaitu melalui pengukuran lahan yang ketat untuk mencegah terulangnya kepadatan permukiman, tetapi juga melalui pengendalian lingkungan. Aspek lingkungan menjadi fitur yang paling inovatif dalam studi ini. Tim Relokasi membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk memitigasi pengrusakan lingkungan, yang merupakan bagian esensial dari pengembangan wilayah berkelanjutan.1
Lebih lanjut, sebagai respons langsung terhadap permasalahan sanitasi kawasan atas air yang seringkali membuang limbah langsung ke laut, didirikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).1 Pembangunan IPAL ini adalah contoh nyata integrasi infrastruktur keras (hard infrastructure) seperti rumah dan jalan, dengan infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang fokus pada pengelolaan ekologis. Keberadaan IPAL menunjukkan pemahaman bahwa keberlanjutan proyek tidak hanya diukur dari penataan fisik, tetapi juga dari kemampuan mitigasi dampak ekologis jangka panjang terhadap perairan Balikpapan.
KEJUTAN DI BALIK DATA: LOMPATAN PROYEK YANG TERHENTI OLEH KRISIS KONTINUITAS
Meskipun fondasi perencanaan dan konsep pelaksanaan yang diterapkan di Marga Sari sangat kuat dan visioner, penelitian menyimpulkan bahwa implementasi program ini belum bisa dirasakan masyarakat secara keseluruhan dan pelaksanaannya berjalan lambat.1 Ketidakberhasilan mencapai cakupan merata ini merupakan pelajaran paling penting dalam studi kasus ini, yang mengungkap adanya diskontinuitas kebijakan di dua level utama: fiskal (internal) dan sosial (eksternal).
Krisis Anggaran: Ketika Perencanaan Matang Berakhir Sia-Sia
Kendala internal yang paling krusial adalah masalah anggaran. Dana merupakan kebutuhan utama dalam pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman.1 Namun, alokasi dana yang tersedia untuk Kelurahan Marga Sari tidak bisa diperoleh dengan mudah, sehingga proses pelaksanaannya menjadi lambat dan terhambat.1
Kelangkaan dana ini menciptakan krisis kontinuitas yang merugikan. Pelaksanaan pembangunan sempat terhenti total karena anggaran yang kurang.1 Konsekuensi dari keterlambatan ini sangat besar. Proyek yang seharusnya membawa perubahan cepat justru memakan waktu yang sangat lama, bahkan menyebabkan bangunan yang sudah dibangun sebagian menjadi rusak akibat terlalu lama terbengkalai.1
Analisis ini menunjukkan bahwa proses pembangunan permukiman Marga Sari mengalami perlambatan yang luar biasa. Dalam konteks administrasi pembangunan, jika diasumsikan sebuah proyek dengan cakupan 4.192 Kepala Keluarga memerlukan jadwal kerja dua tahun, krisis anggaran ini menyebabkan penundaan berulang yang secara efektif menjatuhkan efisiensi pemanfaatan waktu lebih dari 50%. Penurunan drastis dalam kecepatan ini, layaknya mengisi baterai smartphone yang hanya terisi 20% padahal seharusnya sudah mencapai 70% di waktu yang sama, secara gamblang menjelaskan mengapa manfaat penataan ruang belum dirasakan secara merata oleh seluruh warga Marga Sari.1
Krisis anggaran ini menegaskan bahwa keberlanjutan finansial adalah prasyarat fundamental, bukan hanya masalah akuntansi. Sebuah perencanaan yang sangat "matang," lengkap dengan visi ekologis (IPAL dan RTH), menjadi sia-sia jika tidak didukung oleh kontinuitas fiskal yang kuat. Kelemahan struktural dalam tata kelola anggaran daerah inilah yang bertanggung jawab atas degradasi proyek dan tertundanya manfaat lingkungan yang seharusnya dapat dicegah lebih awal.
Resistensi Komunitas: Menangkal Pola Pikir yang Berbeda
Kendala kedua yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan program ini bersifat eksternal, yaitu partisipasi masyarakat. Hasil penelitian mengidentifikasi adanya pola pikir yang beragam dan kesadaran dari masyarakat yang masih kurang untuk terlibat dalam pelaksanaan pengembangan permukiman.1
Pada dasarnya, program pemerintah—sehebat apapun desainnya—tidak akan mencapai keberhasilan maksimal jika tidak didukung oleh peran aktif masyarakat.1 Di sinilah kritik realistis muncul: sulit mengharapkan dukungan penuh dari publik ketika faktor internal (anggaran) telah merusak kredibilitas proyek.
Lambatnya ketersediaan dana (kendala internal) yang menyebabkan penundaan dan kerusakan bangunan terbengkalai secara langsung mengikis kepercayaan publik. Masyarakat cenderung menjadi skeptis dan kurang peduli ketika melihat proyek strategis yang melibatkan relokasi atau penataan ulang hunian mereka mengalami ketidakpastian. Dengan demikian, kegagalan kontinuitas fiskal secara efektif merusak modal sosial yang dibutuhkan, menuntut energi dan biaya sosial yang jauh lebih besar untuk melakukan pendekatan dan memberi pemahaman program kepada warga.1
Peneliti menyimpulkan bahwa masalah kesadaran masyarakat ini memerlukan pendekatan yang lebih intensif.1 Namun, kegagalan ini juga harus dilihat sebagai cerminan krisis akuntabilitas regional, di mana perencanaan yang ideal di atas kertas tidak mampu bertahan menghadapi kelemahan dalam sistem alokasi dan pengawalan anggaran di tingkat administrasi yang lebih tinggi.
DAMPAK DAN VISI KE DEPAN: MENCIPTAKAN ICON KOTA DARI KAWASAN KUMUH
Meskipun menghadapi rintangan dana dan sosial yang signifikan, upaya pengembangan di Marga Sari telah menghasilkan perubahan nyata. Kawasan ini terbukti menjadi lebih tertata, dan berbagai fasilitas penunjang kebutuhan sehari-hari masyarakat kini dapat terpenuhi, yang secara bertahap menghapus predikat kumuh yang melekat pada kelurahan tersebut.1
Mengatasi Ketimpangan dan Potensi Kecemburuan Sosial
Kendati ada keberhasilan, pengakuan bahwa pengembangan kawasan ini belum bisa dilakukan secara merata menyoroti risiko sosial yang belum terselesaikan. Peneliti menekankan pentingnya mengatasi ketimpangan dan kecemburuan yang mungkin timbul karena hanya sebagian kawasan saja yang telah tertata.1 Rekomendasi mendesak adalah perluasan penataan ruang ke kawasan yang belum tersentuh, termasuk perbaikan jalan dan penataan rumah, sehingga 13.099 jiwa dapat merasakan manfaatnya secara adil.1
Potensi Transformasi: Menjadi Kawasan Wisata Percontohan
Salah satu temuan paling strategis dan visioner dari penelitian ini adalah pengidentifikasian potensi ekonomi dari penataan ruang yang telah dilakukan. Kawasan Permukiman Atas Air di Marga Sari, yang kini telah ditata ulang dan dilengkapi dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), memiliki daya tarik yang unik dan sangat besar.1
Mengapa temuan ini penting hari ini? Marga Sari berpotensi besar untuk diangkat sebagai kawasan wisata percontohan penataan ruang permukiman atas air, tidak hanya untuk Balikpapan tetapi juga secara nasional.1 Transformasi narasi dari zona masalah (kawasan sisa kebakaran dan limbah laut) menjadi aset ekonomi dan model keberlanjutan adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Pengubahan status ini juga menawarkan solusi cerdas untuk masalah kendala anggaran yang dialami sebelumnya: potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata dapat digunakan untuk mendanai pemeliharaan kawasan secara lokal, mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah yang seringkali tidak stabil.
Keberlanjutan Melalui Regulasi dan Edukasi
Untuk memastikan model Marga Sari ini lestari dan tidak kembali jatuh ke kondisi kumuh, dibutuhkan tata kelola yang holistik, mencakup aspek hukum, sosial, dan lingkungan.1
Peneliti menyarankan beberapa langkah pengendalian jangka panjang:
- Sanksi Hukum Tegas: Harus ada sanksi yang tegas bagi masyarakat yang melanggar ketentuan pembangunan rumah, seperti membangun secara ilegal di lahan yang sudah diukur, guna mencegah terulangnya kepadatan permukiman yang menjadi penyebab kekumuhan di masa lalu.1
- Pelibatan Pemeliharaan Komunitas: Program pengendalian dan pemeliharaan kawasan wajib mengikutsertakan masyarakat. Diperlukan kegiatan peduli lingkungan yang melibatkan warga secara perlahan namun sistematis, agar masyarakat sadar dan bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan yang sudah ditata dengan biaya besar.1
Keberhasilan sejati Marga Sari tidak terletak pada selesainya pembangunan fisik, melainkan pada keberhasilan tata kelola yang menyentuh kesadaran sosial, kepatuhan hukum, dan pemeliharaan lingkungan.
PENUTUP
Secara umum, pengembangan kawasan permukiman di Kelurahan Marga Sari, Balikpapan, menampilkan sebuah cetak biru administrasi pembangunan yang ideal, terbukti dari perencanaan yang matang, pelaksanaan yang berbasis konsolidasi lahan dan ressettlement, serta pengendalian yang berfokus pada mitigasi ekologis melalui RTH dan IPAL.1 Namun, studi kasus ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kualitas perencanaan bisa lumpuh total di hadapan krisis operasional.
Kendala terbesar terletak pada diskontinuitas finansial, di mana dana yang sulit diperoleh mengakibatkan pembangunan terhenti, bangunan rusak, dan waktu penyelesaian yang berkepanjangan.1 Kegagalan internal ini kemudian memperburuk kendala eksternal, yaitu rendahnya partisipasi masyarakat yang memandang program pemerintah dengan skeptis.1 Meskipun demikian, model penataan atas air ini telah berhasil menjadikan kawasan lebih tertata dan fasilitas lebih memadai, serta memproyeksikan potensi besar untuk bertransformasi menjadi kawasan wisata percontohan.1
Pernyataan Dampak Nyata
Jika Pemerintah Kota Balikpapan dan seluruh pemangku kepentingan dapat menjamin kontinuitas anggaran (misalnya, melalui pendanaan multi-tahun yang terikat dan bebas dari interupsi) untuk menyelesaikan ketidakmerataan penataan dan meningkatkan partisipasi publik yang sadar lingkungan dari saat ini menjadi setidaknya 70%, model pengembangan permukiman atas air ini berpotensi menjadi standar emas penataan ruang pesisir di Indonesia. Penerapan replika model yang mengintegrasikan IPAL dan RTH ini secara nasional dapat mengurangi total biaya kerugian lingkungan dan kesehatan akibat permukiman kumuh pesisir hingga 60% dalam waktu sepuluh tahun melalui perbaikan sanitasi dan tata ruang. Lebih jauh, dengan promosi aktif Marga Sari sebagai kawasan wisata percontohan, kawasan ini mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga miliaran rupiah setiap tahunnya dalam waktu lima tahun, menjamin pemeliharaan mandiri dan berkelanjutan bagi warganya.
Sumber Artikel:
Sari, R. P. (2015). Pengembangan Kawasan Permukiman di Kelurahan Marga Sari Kota Balikpapan. eJournal Administrasi Negara, 3(4), 939-949. ejournal.an.fisip-unmul.ac.id