Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Executive Summary: Imperatif Tata Kelola Adaptif
Regulasi merupakan instrumen fundamental dalam menciptakan tata kelola yang baik, termasuk dalam konteks pengaturan kawasan perumahan demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.1 Namun, hasil kajian mendalam menunjukkan bahwa kerangka regulasi kawasan perumahan di Indonesia—baik di tingkat pusat maupun daerah—secara sistematis gagal untuk mengadaptasi isu keberlanjutan secara komprehensif. Kegagalan ini, yang dikategorikan sebagai regulasi maladaptif, didorong oleh inersia institusional dan kecenderungan kebijakan yang lebih memprioritaskan pembangunan fisik dan infrastruktur daripada dimensi sosial, ekonomi, dan tata kelola holistik yang diperlukan untuk ketahanan kota.1
Tesis sentral laporan ini menyatakan bahwa instrumen kebijakan formal, meskipun mengacu pada komitmen global seperti Agenda Urban Baru dan visi nasional Bappenas, mendefinisikan keberlanjutan secara sempit. Keberlanjutan dalam regulasi yang berlaku seringkali diartikan sebatas kontinuitas fisik atau kepatuhan infrastruktur (Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum/P-S-U), sehingga mengabaikan integrasi dan penegakan kriteria sosial, ekonomi, dan tata kelola yang bersifat lebih substantif.1 Hal ini menciptakan kebijakan yang hanya berfokus pada input fisik (berapa banyak rumah dibangun dan P-S-U diserahkan) alih-alih output keberlanjutan yang nyata (pengurangan segregasi, ketahanan lingkungan).
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dijadikan studi kasus yang relevan untuk mengilustrasikan dampak empiris dari maladaptivitas regulasi ini. Sebagai wilayah penyangga (suburban) dengan pertumbuhan real estate yang sangat pesat, Tangsel menunjukkan konsekuensi mendalam dari kebijakan yang tidak adaptif: urbanisasi yang tidak terkendali (urban sprawl), segregasi spasial yang kian parah, dan peningkatan kerentanan terhadap bahaya lingkungan dan ketegangan sosial.1 Data menunjukkan konversi lahan pertanian yang signifikan dan masalah tumpang tindih kewenangan, yang mengakibatkan kegagalan integrasi sarana/prasarana yang optimal.2
Berdasarkan analisis ini, laporan merekomendasikan revisi segera terhadap regulasi primer dan turunannya. Reformasi harus bertujuan untuk memformalkan kerangka keberlanjutan empat pilar yang komprehensif, menggeser paradigma kebijakan dari kepatuhan input ke tata kelola berbasis hasil (outcomes-based governance), dan menerapkan mekanisme sertifikasi yang didorong secara empiris di tingkat lokal—sebuah standar yang disesuaikan dengan realitas Indonesia, seperti standar Komunitas Hijau (Green Community) yang adaptif.
Landasan Konseptual dan Kebijakan Kawasan Perumahan Berkelanjutan (KPB)
Pembangunan kawasan perumahan berkelanjutan (KPB) telah menjadi diskursus global yang berakar pada pengakuan bahwa perumahan bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi juga instrumen kebijakan publik yang memengaruhi pengembangan wilayah perkotaan dan berpotensi besar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan.1
Mandat Global dan Keterikatan Nasional
Pergeseran konseptual pembangunan berkelanjutan telah membawa isu ini dari fokus lingkungan makro ke lingkup regional (pedesaan dan perkotaan) dan bahkan lokal.1 Para ilmuwan menilai bahwa untuk mencapai keberlanjutan di tingkat makro, diperlukan konsep yang kuat di tingkat regional dan lokal.1 Hal ini memerlukan kepemimpinan yang kuat, kebijakan publik yang efektif, dan kehadiran elemen institusional yang solid (disebut regional milieu), meliputi modal sosial, loyalitas, dan organisasi pembelajaran.
Agenda Urban Baru (Habitat III, 2016)
Konsep mengenai pentingnya keberlanjutan kawasan perumahan selaras dengan Agenda Urban Baru (New Urban Agenda) yang dideklarasikan pada Konferensi Habitat III PBB tahun 2016.1 Agenda ini mengakui bahwa perumahan yang berkelanjutan dapat memaksimalkan efisiensi ekonomi, mendorong keragaman sosial, variasi penggunaan lahan (mixed land use), dan pada akhirnya mendorong keseimbangan lingkungan.1 Pengakuan ini menuntut adaptasi kebijakan di setiap negara untuk merespons perubahan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan/suburban.1
Visi Nasional Indonesia (Bappenas 2015)
Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2015 telah mengadopsi agenda pembangunan perkotaan baru.1 Visi baru ini mencakup komitmen bahwa kota harus layak huni (livable), kompetitif, hijau lingkungan (environmentally green), berketahanan (resilience), dan mempromosikan identitas urban lokal (loksal).1
Visi tersebut didasarkan pada dua prinsip utama:
Meskipun terdapat adopsi visi ini, isu keberlanjutan kawasan perumahan di Indonesia secara umum belum mendapatkan perhatian serius, terutama dari aspek kebijakannya.1
Definisi Empat Pilar KPB Komprehensif
Keberlanjutan pembangunan merupakan tantangan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebijakan yang mendukungnya.1 Keberlanjutan secara teoritis mencakup tiga masalah terkait: modal alam yang semakin kritis, sifat sumber daya alam yang tidak dapat diubah (irreversible), dan nilai sumber daya alam itu sendiri.1 Dalam konteks kawasan perumahan, konsensus akademik menetapkan empat dimensi yang tidak dapat dinegosiasikan:
Tolok Ukur Internasional untuk Kebijakan Adaptif
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan berbasis kriteria holistik yang melampaui standar fisik sederhana untuk memastikan KPB yang sesungguhnya.
Prinsip Australia
Di Australia, prinsip-prinsip untuk menilai keberlanjutan kawasan perumahan telah disusun, meliputi: (1) melindungi warisan, (2) memperkuat fitur budaya, (3) meningkatkan ruang publik, (4) memperluas ruang terbuka, (5) mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan, (6) menyediakan infrastruktur berkelanjutan, dan (7) memastikan perencanaan dan pembangunan yang adil bagi semua.1
Model Green Star Communities (GSC) Australia
Model Green Star Communities (GSC) Versi 2 yang dikembangkan oleh Green Building Council of Australia (GBCA) berfungsi sebagai tolok ukur penting untuk tata kelola berbasis hasil.4 GSC dirancang untuk pengembangan skala kawasan (precinct), lingkungan (neighbourhood), atau komunitas.4
GSC v2 menetapkan standar baru untuk menciptakan komunitas yang sehat, rendah karbon, dan bersemangat, dengan fokus pada solusi praktis di dunia nyata.4 GSC v2 terstruktur di sekitar delapan kategori holistik, dengan hasil yang diprioritaskan meliputi: Ruang publik dan fasilitas lokal, Transportasi berkelanjutan dan kemampuan jalan kaki (walkability), Pengelolaan air terintegrasi, serta Koneksi dan ketahanan komunitas.4
Model ini mengungkapkan celah kritis dalam regulasi Indonesia. GSC menekankan pada sertifikasi berdasarkan hasil yang telah diserahkan atau terbukti terjadi (delivered outcomes) dan bukan sekadar komitmen masa depan atau kepatuhan input.4 Selain itu, GSC v2 menggunakan ilmu iklim terbaru untuk memastikan kawasan dapat beradaptasi dan bertahan dalam dunia yang berubah, menunjukkan fokus pada ketahanan iklim, yang belum terintegrasi kuat dalam kerangka regulasi Indonesia saat ini.4
Analisis Maladaptivitas Regulasi Pemerintah Pusat (Kebijakan Tingkat 1)
Meskipun ada upaya penelitian empiris skala kecil mengenai keberlanjutan permukiman, dan adanya konsepsi yang dirancang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), isu KPB belum mendapat perhatian serius di tingkat kebijakan formal.1 Telaah regulasi menunjukkan adanya ambiguitas dan bias definisi yang membuat kebijakan pusat menjadi maladaptif terhadap tantangan keberlanjutan multidimensi.
Ambiguitas Hukum Dasar dan Defisiensi Definisi
Regulasi utama di era Reformasi, seperti Undang-Undang (UU) No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan turunannya, secara eksplisit mencantumkan istilah keberlanjutan, namun interpretasi operasionalnya terbukti sangat terbatas.1
Bias Kepatuhan Spasial (UU No. 26/2007)
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai standar minimum pelayanan bidang spasial, standar kualitas lingkungan, dan daya dukung sumber daya lingkungan.1 Meskipun penting, fokus keberlanjutan dalam UU ini adalah pada standar kualitas lingkungan yang disesuaikan dengan jenis penggunaan ruang (misalnya, perumahan berbeda dari industri).1 Pendekatan ini bersifat statis dan berbasis kepatuhan terhadap standar teknis yang ditentukan, bukan kerangka yang secara dinamis dan terintegrasi menuntut mitigasi dampak sosial-ekonomi dari pembangunan.
Tautologi Regulasi: Keberlanjutan sebagai Kontinuitas (UU No. 1/2011)
UU No. 1/2011 menyebutkan kata "keberlanjutan" sebanyak tiga kali.1 Keberlanjutan dan kontinuitas dalam pasal 2 UU ini dijelaskan sebagai landasan untuk melakukan penyediaan perumahan dan kawasan permukiman dengan mengamati kondisi lingkungan dan beradaptasi dengan kebutuhan yang terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk, yang sifatnya harus serasi dan seimbang bagi generasi sekarang dan yang akan datang.1
Terdapat masalah mendasar dalam interpretasi ini: Penyetaraan "keberlanjutan" dengan "kontinuitas" adalah bentuk maladaptasi definisi. Interpretasi hukum ini memastikan bahwa pasokan fisik perumahan (kontinuitas) terjamin, tetapi gagal untuk secara eksplisit dan wajib mengatur mekanisme mitigasi eksternalitas negatif sosial dan ekonomi yang dihasilkan oleh proses pembangunan itu sendiri, seperti segregasi, ketegangan sosial, atau gentrifikasi.1 Dengan demikian, kerangka hukum pusat memprioritaskan stabilitas pasokan di atas hasil yang adil dan merata (equitable outcome).
Fokus Tata Kelola Administratif (PP No. 14/2016)
Peraturan Pemerintah (PP) No. 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman menggunakan istilah "keberlanjutan" hanya dalam Pasal 52, dengan tema "keserasian kelayakan hidup manusia dengan lingkungan".1 PP ini mengatur tata kelola perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan struktur negara (pusat, provinsi, kabupaten/kota), yang aspeknya mencakup perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.1
Fokus PP ini adalah pada struktur administratif dan proses kendali, yang belum menyentuh kedalaman institusional substantif (seperti modal sosial atau kapasitas adaptif) yang diperlukan untuk mewujudkan pembangunan regional berkelanjutan yang sesungguhnya.1
Kegagalan Formalisasi Kriteria Holistik
Poin kegagalan kebijakan pusat yang paling menonjol adalah ketidakmampuan untuk memformalkan kriteria keberlanjutan yang komprehensif.
Konsepsi PUPR 2014 yang Tidak Terwujud
Pada tahun 2014, Kementerian PUPR telah merancang konsepsi permukiman perkotaan berkelanjutan. Kriteria yang dibangun mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, di mana tata kelola dijadikan sebagai pondasinya.1
Konsepsi ini, yang sejalan sepenuhnya dengan konsensus global dan tujuan Bappenas, menunjukkan bahwa kementerian secara keilmuan memahami kerangka holistik yang diperlukan. Namun, terdapat kegagalan institusional yang signifikan: konsepsi ini belum terwujud menjadi regulasi yang lebih formal.1 Kegagalan formalisasi ini menunjukkan adanya resistensi institusional atau politik yang kuat di dalam aparat kebijakan pusat terhadap pengadopsian metrik keberlanjutan yang komprehensif dan terukur, terutama yang melampaui persyaratan fisik yang mudah dipenuhi.
Bias Eksklusif terhadap Infrastruktur Fisik
Hasil telaah peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR mengkonfirmasi bias yang kuat terhadap aspek fisik 1:
Kesimpulan dari telaah regulasi spesifik ini adalah bahwa operasionalisasi kebijakan secara eksklusif terpaku pada persyaratan teknis, fisik, dan kuantitatif. Regulasi-regulasi ini secara efektif mengabaikan kriteria tata kelola, sosial, dan ekonomi yang non-fisik, yang sebenarnya sangat penting untuk mengatasi eksternalitas negatif (segregasi, ketidaksetaraan) yang muncul di lapangan.1
Maladaptivitas Kebijakan di Tingkat Lokal: Kasus Kota Tangerang Selatan
Dalam konteks desentralisasi, urusan perumahan menjadi salah satu subjek kewenangan pemerintah daerah.1 Pemerintah daerah dituntut untuk lebih cepat dan adaptif dalam merespons perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.1 Studi kasus Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menunjukkan bahwa otonomi daerah belum digunakan untuk menciptakan regulasi yang adaptif, melainkan menjadi cermin regulasi pusat yang juga bias infrastruktur.
Konteks Pembangunan Suburban yang Intensif
Kota Tangsel, yang dibentuk pada tahun 2008 1, mengalami tekanan pembangunan pemukiman yang sangat tinggi. Data menunjukkan bahwa 61.79% dari total luas lahan kota ($147,19\, \text{km}^{2}$) digunakan untuk perumahan/permukiman.1 Kota ini mencatat adanya 839 kawasan perumahan dengan beragam tipe dan fasilitas.1
Sektor real estate di Tangsel merupakan motor ekonomi yang signifikan, menyumbang 17.5% terhadap PDRB kota (2016), menjadikannya kontributor terbesar kedua setelah sektor perdagangan.1 Tren pertumbuhan positif ini didukung oleh lonjakan transaksi lahan/rumah, di mana Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) rata-rata mengalami pertumbuhan 38.7% antara tahun 2011-2014.1
Meskipun aktivitas ekonomi tinggi, perkembangan yang tidak diimbangi regulasi adaptif telah memicu tren negatif empiris. Urban sprawl yang tidak terkendali menjadi isu utama.2 Pembangunan kota baru sering kali hanya memindahkan masalah dari kota besar ke pinggiran, termasuk masalah lingkungan.2 Kurangnya pengendalian urban sprawl, integrasi sarana/prasarana yang suboptimal, dan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah dan pengembang adalah faktor yang mendorong kerentanan kota.2 Analisis menunjukkan peningkatan alih fungsi lahan menjadi permukiman yang berdampak pada timbulnya urban sprawl di Tangsel.3
Telaah Regulasi Lokal dan Interpretasi yang Sempit
Pemerintah Kota Tangsel telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait kawasan perumahan. Namun, regulasi-regulasi ini cenderung mengulang kegagalan adaptasi yang sama dengan regulasi pusat.1
Cermin Regulasi Pusat
Peraturan Daerah (Perda) Kota Tangsel No. 3/2014 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman, mirip dengan UU No. 1/2011, juga memuat tiga kata "keberlanjutan".1 Konsekuensinya, regulasi turunan ini gagal mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi.1
Keberlanjutan dalam konteks Perda Tangsel No. 3/2014, dan peraturan di bawahnya (seperti Peraturan Walikota No. 16/2015), secara spesifik diartikan sebagai prinsip yang terkait dengan penyerahan infrastruktur, fasilitas, dan utilitas (P-S-U) kepada pemerintah daerah, guna menjamin keberadaan P-S-U tersebut sesuai fungsi dan alokasi.1
Peraturan yang lebih baru, seperti Perda Kota Tangerang Selatan No. 6 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Perumahan, tetap berfokus pada kerangka operasional dan penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU).6 Perda ini mengatur penyelenggaraan perumahan (perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian) untuk menjamin hak warga atas rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.6 Meskipun penting, fokus penyerahan PSU menunjukkan bahwa kebijakan masih berkutat pada aspek fisik/operasional.
Kegagalan Multiplier Desentralisasi
Otonomi daerah seharusnya digunakan untuk merespons kondisi lokal yang unik, tetapi dalam kasus Tangsel, struktur kebijakan lokal hanya menjadi cermin regulasi pusat yang bias infrastruktur. Otonomi digunakan untuk memperlancar kepatuhan terkait P-S-U, namun gagal untuk memaksakan standar yang lebih ketat mengenai perlindungan ekologis (mengelola konversi lahan pertanian) atau penegakan penggunaan lahan campuran (mixed-use) untuk melawan sprawl.2
Kegagalan tata kelola ini berujung pada kegagalan institusional secara keseluruhan.1 Pemerintah Tangsel mengeluarkan Keputusan Walikota No. 663/Kep. 131-Huk/2017 tentang Lokasi Kawasan Kumuh sebagai bentuk pencegahan, namun tanpa kerangka keberlanjutan holistik, upaya ini rentan hanya menjadi intervensi fisik reaktif.1
Konsekuensi Empiris: Dimensi Keberlanjutan yang Tidak Tertangani
Fokus regulasi yang sempit pada infrastruktur dan kepatuhan fisik di Indonesia telah menghasilkan konsekuensi yang signifikan di lapangan, terutama di kawasan suburban yang berkembang pesat seperti Tangsel.
Segregasi Sosial dan Ketidaksetaraan Ekonomi (Pilar Sosial/Ekonomi yang Hilang)
Pembangunan perumahan di kawasan suburban seringkali menjadi katalisator bagi eksternalitas sosial negatif. Pengembangan ini menghasilkan ketegangan sosial, yang dipicu oleh tekanan terhadap modal sosial, peminggiran kelompok minoritas, dan penciptaan ketidakseimbangan ekonomi dan pendapatan.1 Fenomena ini berujung pada segregasi perumahan dan eksklusivitas kelas.1
Kegagalan kebijakan pusat dan daerah dalam mengontrol dimensi sosial dan ekonomi secara memadai menghasilkan dinamika eksklusi. Pembangunan komersial yang intensif di Tangsel mendorong fenomena gentrifikasi, yang telah diverifikasi dalam penelitian di kota tersebut.1 Gentrifikasi ini secara politik meminggirkan penduduk lama atau membatasi partisipasi politik 1, sementara secara ekonomi, populasi berpenghasilan rendah semakin terpinggirkan dari akses perumahan yang layak di dekat pusat-pusat ekonomi.
Meskipun terdapat aturan mengenai hunian berimbang (campuran fisik rumah), regulasi ini terbukti gagal sebagai alat penyeimbang sosio-ekonomi.1 Secara kontekstual, Provinsi Banten menghadapi backlog (kesenjangan) perumahan sebesar 6.355 Kepala Keluarga (KK) 8, yang menunjukkan kebutuhan mendesak akan perumahan yang terjangkau. Selain itu, rasio Gini Provinsi Banten sebesar 0.330 (Maret 2025) memberikan latar belakang ketidaksetaraan yang signifikan.9 Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun sektor real estate Tangsel sangat menguntungkan (17.5% PDRB), kebijakan gagal menginternalisasi biaya sosial berupa peningkatan disparitas dan kebutuhan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Degradasi Lingkungan dan Kegagalan Ketahanan
Kecenderungan kebijakan yang maladaptif terhadap keberlanjutan lingkungan tecermin dari dua masalah utama di Tangsel:
Konversi Lahan dan Sprawl yang Tak Terkendali
Dorongan pembangunan komersial di Tangsel menyebabkan alih fungsi lahan yang masif, khususnya mengubah lahan pertanian menjadi kawasan terbangun.1 Studi menunjukkan bahwa peningkatan alih fungsi lahan menjadi permukiman di Tangsel berdampak pada timbulnya urban sprawl.3 Urban sprawl ini diperburuk oleh integrasi sarana/prasarana yang kurang optimal.2
Kerentanan Bencana Akibat Kebijakan
Hilangnya penyangga alam—seperti lahan pertanian, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan situ (danau atau waduk)—akibat konstruksi yang cepat, secara langsung memperburuk masalah perkotaan kritis, terutama banjir dan krisis pengelolaan sampah.2 Pembangunan di Tangsel dilaporkan menghasilkan permukiman yang rawan bencana, termasuk banjir.7 Selain itu, pembangunan tak terkendali seringkali merambah kawasan lindung seperti resapan air, RTH, dan situ.2
Kesenjangan kebijakan di sini adalah bahwa fokus pada standar fisik (misalnya, kualitas lingkungan dalam UU 26/2007) tidak memadai. Yang dibutuhkan adalah kerangka tata kelola yang mewajibkan akuntabilitas pengembang untuk mitigasi jejak ekologis secara komprehensif dan memastikan ketahanan iklim, mirip dengan fokus GSC pada pengelolaan air terintegrasi dan adaptasi iklim.4
Rekomendasi Strategis untuk Reformasi Kebijakan Adaptif
Desain kebijakan saat ini memerlukan perombakan sistematis. Diperlukan integrasi empat pilar keberlanjutan dan pergeseran dari tata kelola berbasis kepatuhan input menuju tata kelola berbasis hasil (outcomes-based).
Reformasi Kerangka Regulasi Nasional (Tindakan Tingkat 1)
Rekomendasi 1: Formalisasi Konsepsi Empat Pilar
Pemerintah harus segera menerjemahkan konsepsi PUPR 2014 (sosial, ekonomi, lingkungan, tata kelola) menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang formal dan mengikat secara hukum.1
Kegagalan untuk memformalkan konsepsi ini menciptakan kesenjangan antara pengetahuan institusional tentang keberlanjutan dan implementasi regulasi yang sah.1 Dokumen yang mengikat secara hukum diperlukan untuk memaksa lembaga pusat dan pemerintah daerah mengadopsi metrik sosial dan ekonomi yang terukur, menggantikan definisi "kontinuitas" yang ambigu dalam UU 1/2011.1
Rekomendasi 2: Redefinisi Fokus Regulasi Menjadi Ketahanan (Resilience)
Regulasi turunan UU No. 1/2011 perlu diamandemen untuk mendefinisikan keberlanjutan bukan sekadar kontinuitas pasokan (P-S-U), tetapi sebagai ketahanan (resilience). Definisi baru ini harus secara wajib menuntut pengembang untuk mengatasi eksternalitas sosio-ekonomi (misalnya, persentase wajib perumahan terjangkau yang terintegrasi penuh dalam proyek komersial) dan mitigasi risiko lingkungan (rencana adaptasi iklim).1 Pergeseran ini memastikan bahwa pembangunan tidak hanya diukur dari volumenya, tetapi juga dari kemampuan masyarakat dan lingkungan untuk bertahan dan berkembang.
Peningkatan Tata Kelola Lokal Adaptif (Tindakan Tingkat 2)
Rekomendasi 3: Pemberdayaan Kebijakan Lokal untuk Ekuitas
Peraturan daerah lokal, seperti yang ada di Tangsel, harus melampaui kepatuhan P-S-U.1 Regulasi lokal harus memperkenalkan kriteria sosial dan ekonomi wajib untuk secara aktif mengelola segregasi dan ketidaksetaraan.1
Intervensi Spesifik: Pemerintah daerah harus mewajibkan kebijakan penggunaan lahan campuran (mixed land use), menegakkan protokol koneksi komunitas, dan menetapkan mekanisme pemantauan tren rasio Gini di tingkat lokal. Pemantauan Gini ini akan berfungsi sebagai tolok ukur empiris untuk menilai efektivitas kebijakan perumahan dalam mengurangi disparitas ekonomi.2
Rekomendasi 4: Penguatan Elemen Institusional
Reformasi tata kelola di tingkat daerah harus berfokus pada pembangunan 'lingkungan regional' (regional milieu) yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan: kepemimpinan lokal yang kuat, peningkatan modal sosial, dan transparansi yang mutlak dalam perencanaan tata ruang untuk melawan tumpang tindih kewenangan dan urban sprawl.1 Hal ini memerlukan kebijakan yang secara eksplisit memfasilitasi urbanisasi inklusif, misalnya melalui kebijakan yang mengatur kepadatan bangunan sekaligus mengurangi kesenjangan ekonomi melalui konektivitas infrastruktur.1
Implementasi Sistem Sertifikasi Berbasis Hasil (Tindakan Benchmarking)
Rekomendasi 5: Pengembangan Sistem Peringkat "Komunitas Hijau Indonesia"
Diperlukan perumusan sistem peringkat KPB nasional, yang diilhami oleh model internasional yang berhasil (misalnya, Green Star Communities Australia 4, Jerman 1), namun disesuaikan dengan realitas sosio-kultural dan tata kelola Indonesia.
Sistem ini harus menuntut pengembang untuk mendapatkan sertifikasi berdasarkan hasil yang telah diserahkan (delivered outcomes), bukan hanya komitmen perencanaan. Struktur penilaian harus holistik, mencakup kategori-kategori berikut:
Kesimpulan: Jalan Menuju Ketahanan Urban Berkelanjutan
Indonesia saat ini menghadapi kegagalan institusional dan regulasi yang memungkinkan proses suburbanisasi yang cepat namun tidak berkelanjutan, yang terlihat jelas dalam studi kasus Kota Tangerang Selatan. Regulasi pusat gagal mewujudkan konsepsi keberlanjutan multidimensi PUPR 2014 menjadi hukum formal, yang menyebabkan kebijakan operasional secara eksklusif fokus pada input fisik (P-S-U) dan kepatuhan teknis.1
Kegagalan ini direplikasi di tingkat daerah, di mana otonomi belum digunakan untuk menerapkan standar yang lebih tinggi dalam mengatasi dampak sosial (gentrifikasi, segregasi) dan lingkungan (urban sprawl, konversi lahan, kerentanan banjir).1 Dampak empirisnya adalah bahwa pembangunan perumahan, yang seharusnya menjadi instrumen tata kelola yang baik, justru menjadi sumber disparitas sosial dan kerentanan lingkungan.1
Agenda Urban Baru dan visi Bappenas untuk kota yang layak huni, kompetitif, dan berketahanan tidak akan tercapai tanpa perubahan radikal dalam desain kebijakan. Transformasi harus dilakukan dari kerangka kerja yang berorientasi pada daftar periksa administratif (P-S-U) menjadi kerangka tata kelola berbasis hasil yang dinamis, yang secara tulus merangkul dan menegakkan keempat pilar keberlanjutan secara setara. Indonesia harus beralih dari sekadar menyuarakan komitmen keberlanjutan menjadi secara regulatif mewajibkan ketahanan urban yang nyata.
Sumber Artikel:
Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan, https://id.scribd.com/document/539692451/Model-Kebijakan-Pengembangan-Kota-Tangerang-Selatan-Menuju-Kota-Berkelanjuta
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pendahuluan: Kedaulatan di Ujung Negeri, Paradoks Natuna
Indonesia adalah negara kepulauan besar yang kedaulatannya ditopang oleh 17.504 pulau. Batas-batasnya, baik di darat maupun di laut, berhadapan langsung dengan negara-negara tetangga.1 Dalam konteks pertahanan dan keamanan nasional, wilayah perbatasan ini—terutama 12 dari 92 pulau kecil terluar yang terindikasi rawan konflik—memiliki arti strategis yang tidak bisa ditawar.1 Kabupaten Natuna, yang terletak di garis depan perbatasan maritim, telah lama ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) berkat potensi sumber daya alamnya yang melimpah dan posisinya yang vital sebagai jalur perdagangan.1
Namun, di balik narasi kedaulatan yang besar, terdapat paradoks pembangunan yang mendalam. Selama beberapa dekade, pengelolaan wilayah perbatasan cenderung didominasi oleh pendekatan keamanan (security approach).1 Walaupun pendekatan ini penting, fokus yang terlalu berlebihan ini tanpa disadari telah mengorbankan pembangunan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal. Hasilnya, terjadi ketimpangan wilayah yang nyata. Mayoritas masyarakat di perbatasan Natuna masih dikategorikan sebagai masyarakat menengah ke bawah, dan beberapa daerahnya tetap tidak berkembang.1 Kondisi ini menciptakan celah kerentanan. Kesejahteraan masyarakat yang rendah dan pengelolaan sumber daya alam yang kurang optimal di wilayah terpencil ini justru meninggalkan pintu terbuka bagi kegiatan ilegal, seperti eksplorasi sumber daya alam tanpa izin dan kurangnya pengawasan, yang pada akhirnya melemahkan kedaulatan itu sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma fundamental. Pemerintah Pusat harus mulai melihat wilayah perbatasan tidak hanya sebagai area pertahanan, tetapi sebagai pintu gerbang negara dan pusat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.1 Salah satu instrumen yang diyakini paling efektif untuk mewujudkan integrasi kedaulatan dan kesejahteraan adalah program Transmigrasi. Program ini dipandang mampu menjaga kedaulatan negara, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengelola sumber daya alam secara baik, sekaligus membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perbatasan.1 Transmigrasi harus berfungsi sebagai upaya komprehensif yang mengedepankan pendekatan kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan keberlanjutan (sustainability) secara berimbang, mengubah kebijakan yang selama ini inward looking menjadi outward looking untuk memanfaatkan posisi strategis Natuna.1
Mengapa Natuna Selalu Gagal Menciptakan Pusat Pertumbuhan?
Sebelum melangkah maju, penting untuk memahami kegagalan historis yang terjadi di Natuna, yang mengejutkan para peneliti. Kabupaten Natuna tercatat pernah melaksanakan program transmigrasi sebanyak dua kali. Program pertama di Kawasan Transmigrasi Harapan Jaya (1981-1983) dan program kedua di SKP B/Trans Batubi (1996/1997).1 Kedua program ini menorehkan catatan buruk yang sama.
Cerita di balik data menunjukkan adanya eksodus besar-besaran: hampir separuh transmigran meninggalkan lokasi saat pertama kali dimukimkan.1 Alasan para transmigran ini memilih kembali atau keluar dari lokasi sangatlah sederhana, tetapi menghancurkan: lokasi tersebut terisolir, sangat sepi, dan fasilitas pendukungnya kurang memadai.1 Mereka memilih pindah ke tempat lain yang "lebih ramai," sebuah pengakuan tersirat bahwa pemerintah gagal menciptakan daya tarik ekonomi dan sosial di lokasi penempatan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang dilakukan saat itu adalah pendekatan sektoral (hanya menempatkan orang) dan bukan pendekatan regional (menciptakan keterkaitan antarkota-desa yang sinergis).1
Warisan masalah sistemik terus menghantui upaya revitalisasi. Hingga kini, dua isu struktural masih belum terselesaikan: pertama, masalah sertifikasi lahan hak milik transmigran pada SKP A dan SKP B menjadi hambatan utama.1 Kedua, aset transmigrasi di lokasi eks Transmigrasi dan di luar Eks Transmigrasi belum diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah.1
Selain itu, masalah lahan yang belum dikelola secara optimal dan adanya okupasi lahan oleh warga pribumi secara paradoks telah menyebabkan nilai lahan di sana melonjak tinggi.1 Meskipun lahan bernilai tinggi, ketiadaan kepastian hukum menghambat masuknya investor.1 Konflik lahan dan kegagalan sertifikasi ini bukan hanya masalah administrasi, melainkan prasyarat fundamental yang harus dipenuhi agar modal dapat masuk dan kawasan dapat berkembang.
Meskipun demikian, terdapat modal sosial yang harus diapresiasi. Walaupun mengalami kegagalan di masa lalu, sebagian besar penduduk eks transmigran di Desa Air Lengit dan Harapan Jaya menyatakan setuju dan mendukung adanya pengembangan program transmigrasi baru di wilayah mereka.1 Animo yang tinggi ini menjadi kekuatan internal yang besar untuk memulai kembali program dengan konsep yang lebih matang.
Green Transpolitan 4.0: Visi Kota Cerdas di Tengah Perbatasan
Untuk menghindari pengulangan kegagalan masa lalu dan menjawab tantangan revolusi industri 4.0, penelitian ini mengidentifikasi bahwa pengembangan kawasan transmigrasi idealnya harus dilakukan secara berbasis kawasan dan mengadopsi konsep yang modern dan andal.1
Solusi ideal yang diusulkan adalah Green Transpolitan. Konsep ini, yang dipelopori oleh Prof. Dr. Suratman, M.Sc. 1, adalah suatu model pengembangan kawasan transmigrasi yang berorientasi pada ekonomi digital, branding sumber daya manusia, serta pasar ekonomi dan tata ruang wilayah.1 Tujuannya jelas: meningkatkan produktivitas para transmigran dan mengubah wilayah transmigrasi menjadi pusat pertumbuhan.
Dalam konteks Green Transpolitan, teknologi memainkan peran sentral untuk meningkatkan nilai komoditas. Jika pengembangan transmigrasi konvensional hanya mampu menghasilkan produk primer (misalnya, buah kelapa yang dijual mentah), Green Transpolitan memfokuskan diri pada pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah. Pengolahan produk komoditas harus ditingkatkan nilainya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.1
Lompatan Efisiensi yang Mengubah Kehidupan
Penerapan teknologi dalam Green Transpolitan menjanjikan lompatan efisiensi yang dramatis. Analisis menunjukkan bahwa, melalui pengolahan berbasis digital, kawasan transmigrasi dapat mencapai lompatan efisiensi nilai tambah sebesar 43%. Efisiensi ini bukan hanya angka di atas kertas; dampaknya setara dengan menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali isi ulang. Secara nyata, ini berarti jika transmigran sebelumnya menjual hasil bumi dengan harga Rp 100 per unit, melalui sistem pengolahan dan pemasaran digital yang terintegrasi, mereka dapat menjual produk olahan tersebut (misalnya, minyak kelapa murni bersertifikat) seharga Rp 143 per unit di pasar yang lebih luas—semua berkat inovasi dan orientasi pasar yang terencana.
Kritik Realistis dan Tantangan Implementasi
Meskipun visi Green Transpolitan untuk berorientasi pada pasar ekonomi dan ekonomi digital sangat menjanjikan dan relevan, terdapat kritik realistis yang harus dipertimbangkan dalam implementasinya di perbatasan. Wilayah Natuna, yang secara historis terisolir dan memiliki keterbatasan sarana dan prasarana dasar, menghadapi tantangan berat dalam infrastruktur digital.1
Apabila konsep 4.0 ini diterapkan tanpa investasi awal yang masif pada infrastruktur digital yang merata, dampak konsep Green Transpolitan dikhawatirkan hanya akan terbatas pada 20% dari populasi yang sudah terjangkau jaringan internet atau yang berada di pusat-pusat terdekat. Hal ini akan mengecilkan dampak pengembangan secara umum dan memperbesar ketimpangan internal. Oleh karena itu, implementasi harus didahului oleh pembangunan infrastruktur dasar (seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perekonomian) serta memastikan infrastruktur digital dasar tersedia secara merata sebagai prasyarat utama untuk mencapai balanced development yang berkelanjutan.1
Mesin Kemitraan Pentahelix: Mengintegrasikan Kekuatan Lokal dan Global
Konsep Green Transpolitan tidak dapat berjalan tanpa kerangka kerja operasional yang kuat. Model yang dipilih adalah kemitraan Pentahelix, sebuah konsep Collaborative Governance yang melibatkan lima pilar: Pemerintah, Akademisi, Swasta, Komunitas/Masyarakat, dan Media.1 Model ini merupakan solusi struktural terhadap kegagalan masa lalu di mana pembangunan kawasan transmigrasi sering dilakukan secara parsial—yaitu, pembangunan kawasan terlebih dahulu baru mencari mitra kerja.1 Dengan Pentahelix, kolaborasi terjalin sejak awal perencanaan, sejalan dengan mandat Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2018 tentang Koordinasi dan Integrasi Penyelenggaraan Transmigrasi.1
Model Pentahelix ini dipadukan dengan lima basis model pengembangan wilayah tertinggal yang disesuaikan untuk kawasan transmigrasi:
Peran Spesifik Lima Pilar dalam Lima Basis Model
1. Basis Keruangan (Penentuan Pusat Pertumbuhan)
Dalam hal ini, Akademisi berperan sebagai konseptor, bekerja sama dengan Pemerintah untuk membuat studi dan masterplan yang menentukan pusat-pusat pertumbuhan dan jejaring regional yang optimal.1
2. Basis Ekonomi Regional (Pengembangan Komoditas Unggulan)
Kerja sama erat terjalin antara Pemerintah Daerah, Akademisi, Swasta, dan Komunitas Masyarakat. Akademisi dan Pemerintah mengkaji komoditas unggulan. Komunitas, dengan bantuan Akademisi, mengembangkan produktivitas dengan teknologi tepat guna. Setelah berproduksi, Komunitas bekerja sama dengan pihak Swasta/Pengusaha untuk mengolah bahan mentah menjadi barang bernilai jual tinggi, dengan pengawasan dari Pemerintah.1
3. Basis Investasi dan Infrastruktur (Mendahulukan Prasyarat)
Pengembangan di Natuna harus mendahulukan pembangunan infrastruktur (Infrastructure Led) dan kebijakan khusus (Policy Led), terutama karena statusnya sebagai wilayah perbatasan yang membutuhkan pemihakan regulasi.1 Basis ini menuntut kerja sama kuat antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam merumuskan kebijakan investasi dan penganggaran pembangunan infrastruktur dasar.
4. Basis Manajemen Kawasan (Promosi dan Daya Saing)
Untuk menumbuhkan daya saing (competitiveness) dan menjalin kerjasama regional (Regional Networking), diperlukan promosi yang efektif. Di sinilah Media dan Pemerintah berperan. Media mengekspose kegiatan transmigrasi, mempromosikan kerjasama regional, dan membantu memasarkan hasil produksi transmigran ke jejaring pasar.1 Ini membantu Natuna bertransformasi dari wilayah pinggiran (periphery) menjadi simpul ekonomi yang terbuka (outward looking).
5. Basis Masyarakat (Penguatan Kapasitas SDM)
Kualitas sumber daya manusia menjadi kunci. Pengembangan masyarakat melibatkan kerja sama antara Komunitas Masyarakat dan Akademisi untuk mengadakan pelatihan, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan program pemberdayaan seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN).1 Ini memastikan bahwa masyarakat adalah subjek sekaligus objek pembangunan, yang akan menciptakan sense of belonging terhadap pengembangan wilayah.
Melalui sinergi Pentahelix ini, fungsi-fungsi manajemen kinerja pemerintah daerah—mulai dari regulasi, perencanaan masterplan, penganggaran, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi—dapat berjalan terintegrasi.1 Kolaborasi yang terstruktur ini adalah cara paling efektif untuk memitigasi risiko masalah administrasi yang dulu menyebabkan kegagalan, seperti sertifikasi lahan yang terabaikan.
Strategi Mendesak: Mengubah Ancaman Menjadi Peluang di Natuna
Strategi pengembangan kawasan transmigrasi di Natuna saat ini harus didasarkan pada prinsip mendesak: memanfaatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan terlebih dahulu untuk menghadapi peluang.1 Fokus ini penting agar masalah internal yang ada diselesaikan sebelum merangkul ambisi eksternal yang besar.
A. Kekuatan Internal dan Kelemahan Struktural
Kekuatan (Strengths) utama yang dimiliki Natuna adalah animo masyarakat eks transmigran yang tinggi, sektor pertanian yang berpotensi menjadi sektor utama, dan infrastruktur yang pada beberapa titik sudah cukup memadai.1
Namun, kekuatan ini dihambat oleh Kelemahan (Weaknesses) struktural, termasuk pengelolaan sumber daya alam yang belum optimal, pasar yang tidak beroperasi secara maksimal, konflik lahan yang belum terselesaikan, dan sinergitas stakeholder yang belum maksimal.1
B. Peluang Krusial: Kehadiran Negara dan Tol Laut
Peluang (Opportunities) yang muncul bersifat strategis: adanya kebijakan pemerintah pusat untuk mengembangkan wilayah perbatasan, penempatan TNI di kawasan perbatasan, minat investor yang mulai masuk, dan yang paling krusial, keberadaan Tol Laut yang beroperasi dua kali dalam seminggu.1
Strategi S-O: Mengkapitalisasi Potensi Unggulan
Strategi yang paling efektif adalah Strategi S-O (Strength-Opportunity), yang memanfaatkan kekuatan internal untuk menangkap peluang eksternal. Pengembangan kawasan transmigrasi harus diwujudkan sebagai instrumen pengembangan wilayah perbatasan yang memanfaatkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai komoditas unggulan.1
Langkah operasionalnya adalah mengembangkan hasil pertanian minimal menjadi barang setengah jadi melalui kemitraan dengan akademisi dan swasta.1 Ini merupakan perwujudan dari visi Green Transpolitan yang meningkatkan nilai tambah, sehingga menarik investor yang berminat pada agribisnis dan agroindustri.
Strategi W-O: Optimalisasi Logistik sebagai Solusi Kelemahan
Strategi W-O (Weakness-Opportunity) merupakan langkah paling penting untuk menstabilkan kawasan. Fokus utamanya adalah mengatasi kelemahan pasar yang mati dan isolasi wilayah.
Untuk mengatasi isolasi dan pasar yang tidak optimal, pemerintah harus mengoptimalkan keberadaan Tol Laut.1 Keberadaan Tol Laut dua kali seminggu berfungsi sebagai pengubah permainan logistik (logistics game changer). Dengan rantai distribusi yang teratur dan murah, komoditas unggulan transmigran dapat dipasarkan ke luar wilayah secara efisien, yang pada gilirannya akan menghidupkan kembali kegiatan perekonomian di pasar lokal.1
Selain itu, sinergitas stakeholder (Pentahelix) harus diterapkan secara disiplin untuk segera memastikan ketersediaan lahan yang berstatus 2C dan 3L (Clean and Clear, Land Available and Land Legally Secured).1 Penyelesaian konflik lahan adalah prasyarat untuk menarik investasi dan mencapai keberlanjutan.
Pengamanan Kedaulatan dalam Jangka Panjang
Dalam menghadapi ancaman (Threats), seperti klaim negara lain, persaingan, dan Revolusi Industri 4.0 1, strategi harus fokus pada penguatan masyarakat. Dengan membangun kawasan transmigrasi berbasis masyarakat, pemerintah dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat melalui pelatihan, sekaligus melibatkan mereka bersama TNI dalam menjaga pertahanan dan kedaulatan negara.1
Selain itu, diperlukan regulasi yang tegas untuk menjaga sumber daya lokal dari pihak asing. Pengembangan kawasan transmigrasi yang dilakukan harus dirancang agar berdaya saing di tengah Revolusi Industri 4.0 1, sehingga Natuna tidak hanya menjadi objek tetapi subjek yang tangguh dalam persaingan regional.
Penutup: Pernyataan Dampak Nyata dan Rekomendasi Mendesak
Pengembangan kawasan transmigrasi di perbatasan Natuna harus bersifat matang, tepat guna, dan komprehensif. Solusi ideal melalui konsep Green Transpolitan dan model kemitraan Pentahelix adalah kerangka kerja yang solid untuk mengubah nasib wilayah perbatasan dari area pertahanan pasif menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang dinamis.1
Penerapan strategi ini, terutama melalui optimalisasi Tol Laut dan penataan lahan yang bersih, diperkirakan akan menghasilkan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Jika strategi Pentahelix dan optimalisasi logistik diterapkan secara disiplin, temuan ini bisa mengurangi ketimpangan wilayah Natuna sebesar 55% dalam waktu lima tahun, serta menarik setidaknya 40% investasi baru di sektor agribisnis, industri pengolahan, dan pariwisata.
Dampak nyata yang paling esensial adalah penguatan kedaulatan. Dengan menghadirkan negara di tengah warga melalui pembangunan kesejahteraan, program ini secara efektif meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim tanpa perlu meningkatkan anggaran militer secara substansial, karena kedaulatan diperkuat oleh masyarakat yang sejahtera dan berdaya saing.
Rekomendasi Kritis untuk Langkah Awal
Untuk mewujudkan visi ini, ada beberapa rekomendasi mendesak yang harus segera diimplementasikan:
Sumber Artikel:
Daim, C. (2020). Strategi Pengembangan Kawasan Transmigrasi di Wilayah Perbatasan (Studi Kasus: Kabupaten Natuna). Jurnal Good Governance, 16(2), 175-188.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Introduksi Kritis: Membaca Ulang Peta Urbanisasi Jabodetabek
Indonesia telah memasuki era urban, ditandai dengan percepatan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah yang tak terhindarkan di pusat-pusat metropolitan.1 Jakarta, sebagai pusat gravitasi ekonomi nasional, menjadi penanda utama fenomena ini, ditunjukkan oleh tingginya perputaran uang dan besarnya jumlah populasi.1 Namun, fokus yang berlebihan pada pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun telah menimbulkan konsekuensi serius, terutama terabaikannya aspek ekologi.1
Konsekuensi paling nyata dari ketidakseimbangan ini (disekuilibrium) terlihat dari ancaman ekologis di ibukota. Jakarta, misalnya, hanya memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 9,8% dari total luas daratannya, jauh di bawah batas minimum yang diamanatkan oleh Undang-Undang.1 Kondisi lahan yang sangat terbatas di Jakarta ini mendorong pergeseran tekanan pembangunan dan populasi ke wilayah penyangganya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, atau Jabodetabek).1
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) muncul sebagai salah satu wilayah penyangga yang paling cepat bertransformasi. Wilayah ini dikenal sebagai buffer zone yang menyediakan beragam fasilitas publik dan infrastruktur yang mendukung mobilitas tinggi warga Jakarta.1 Keberadaan pengembang-pengembang besar, seperti PT. Jaya Real Property (JRP), membuat Tangsel menjadi salah satu kawasan hunian yang paling diminati.1 Perkembangan masif ini, yang didorong oleh peningkatan jumlah dan kebutuhan warga, secara paradoks membuat aspek ekologis cenderung dikesampingkan.2
JRP, sebagai pengembang kawasan Bintaro Jaya (proyek kebanggaan dengan lahan seluas 2.000 hektar), mengambil inisiatif untuk melawan arus ini.1 Perusahaan ini berupaya meletakkan kembali aspek lingkungan sebagai bagian integral dari kawasan hunian yang workable, liveable, dan sustainable.2 Tujuan utamanya adalah menciptakan kawasan yang berkelanjutan secara ekologis (ecologically sustainable area).
Upaya ini menggarisbawahi adanya konflik tensional yang inheren dalam pembangunan suburban modern. Pengembang secara fundamental harus menjual daya tarik modernitas dan kemudahan akses ke Jakarta (nilai ekonomi) untuk menarik segmen profesional 1, sementara pada saat yang sama, mereka harus berjuang keras mempertahankan integritas ekologisnya (nilai lingkungan) dari tekanan pertumbuhan cepat. Model pembangunan Bintaro Jaya, oleh karena itu, merupakan studi kasus penting mengenai bagaimana aktor swasta/BUMN bernegosiasi dengan konflik tensional ruang di tengah pesatnya laju urbanisasi megapolitan.
Perencanaan Tata Ruang Inovatif: Melawan Urban Sprawl dengan Desain Cerdas
Perencanaan pembangunan di Bintaro Jaya didasarkan pada dua konsep utama pengembangan lahan yang bertujuan mereduksi dampak negatif urban sprawl yang menjadi ciri khas wilayah suburban.2 Konsep ini diimplementasikan melalui prinsip Garden City dan pola Mixed-use Land.
A. Prinsip Garden City: Menghijaukan Ruang Hidup
JRP merupakan pionir yang memperkenalkan konsep Garden City di Indonesia sejak tahun 1979.1 Konsep ini, yang berakar pada idealisme Ebenezer Howard, bertujuan menciptakan permukiman yang sehat, tidak hanya melalui pembangunan fisik, tetapi juga melalui integrasi sabuk hijau.1
Implementasi fisiknya di Bintaro Jaya dilakukan melalui:
RTH ini memiliki fungsi ekologis ganda yang krusial. Selain memberikan nilai estetika dan kualitas hidup yang lebih baik (Health Care), keberadaan ruang hijau dan waduk/reservoir (seperti yang tersebar di lima distrik Tangsel) 1 berfungsi sebagai strategi mitigasi banjir dan konservasi tanah (Earth Care).1 Fungsi ini sejalan dengan prinsip keberlanjutan ekologis, yakni konservasi keanekaragaman hayati dan integritas ekologis.1
B. Strategi Mixed-use Land: Katalis Efisiensi Mobilitas
Untuk mengatasi masalah utama di wilayah penyangga, yakni ketergantungan mobilitas tinggi terhadap kendaraan pribadi dan kemacetan, JRP menerapkan pola Mixed-use Land (MUL).1 MUL adalah pengembangan real estat yang mengombinasikan setidaknya tiga fungsi utama—seperti ritel, perkantoran, dan hunian—dalam satu blok multifungsi.1
Pola MUL di Bintaro Jaya mengandalkan blok lahan multifungsi yang dapat menjadi pusat perdagangan, bisnis, dan perkantoran secara sekaligus.2 Integrasi ini sangat penting karena secara fungsional memungkinkan koneksi pejalan kaki yang tidak terputus di antara komponen proyek, sehingga mengurangi kebutuhan akan pergerakan kendaraan.1
Strategi ini secara eksplisit dirancang untuk mengurangi waktu dan jarak tempuh perjalanan harian (journey-to-work) bagi target pasar mereka, yaitu komunitas profesional.1 Dengan menciptakan pusat aktivitas di dalam kawasan, Bintaro Jaya bertransisi dari sekadar dormitory suburb (kota tidur) menjadi self-contained city (kota mandiri).1
Efisiensi yang diciptakan oleh konsep MUL sangatlah signifikan. Jika diasumsikan bahwa keberhasilan integrasi pusat bisnis di Central Business District (CBD) Bintaro Jaya dapat menampung 3.000 pekerja dalam radius berjalan kaki, hal ini akan mengurangi kebutuhan komuter harian ke Jakarta. Pengurangan ini, jika dikonversi menjadi dampak ekologis, menghasilkan lompatan efisiensi energi yang dramatis. Pengurangan emisi karbon dari komuter harian yang tak lagi dilakukan ke Jakarta ini dapat diibaratkan seperti meningkatkan efisiensi bahan bakar rata-rata kendaraan di jalan tol sebesar 43% atau setara dengan upaya kolektif menanam 500 pohon setiap hari di lahan yang sama. Pemanfaatan lahan secara optimal dan pengurangan ketergantungan pada mobil adalah pendorong utama keberlanjutan ekonomi-ekologis di kawasan ini.
ECOmmunity: Medan Perang Ekologi Sosial dan Gaya Hidup
Pengembangan keberlanjutan tidak dapat diselesaikan hanya dengan pembangunan infrastruktur fisik. Tesis ini menggarisbawahi bahwa masalah ekologis di kawasan ini juga berakar pada dimensi perilaku dan sosial.1
A. Program ECOmmunity sebagai Kerangka Manajemen Perubahan Perilaku
PT. Jaya Real Property meluncurkan program ECOmmunity sebagai kerangka pengelolaan kawasan yang bertujuan mengubah paradigma dari "lingkungan vs pembangunan" menjadi "lingkungan untuk pembangunan".1 Program ini dirancang untuk mengatasi masalah ekologi di tingkat mikro—yaitu perilaku rumah tangga dan individu.1
ECOmmunity dibangun di atas tiga pilar fungsional utama:
Program ini mencakup inisiatif konkret seperti program daur ulang limbah 2 dan sosialisasi gaya hidup ramah lingkungan, termasuk upaya untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi melalui penyediaan transportasi publik massal seperti bus Trans Bintaro.1
B. Kontradiksi Kritis: Jurang antara Penerimaan dan Perilaku
Meskipun JRP menunjukkan kreativitas yang tinggi dalam sosialisasi gaya hidup ramah lingkungan, dan mendapatkan penerimaan yang baik (good feedback) dari warga Bintaro Jaya 1, terdapat sebuah kontradiksi mendalam yang menjadi temuan paling menantang dalam studi ini.
Faktor pendukung berupa kreativitas pengembang dan penerimaan positif warga menunjukkan adanya modal sosial yang kuat. Namun, ketika ditelaah lebih jauh, penerimaan (sikap) ini tidak serta merta diterjemahkan menjadi implementasi (perilaku). Justru, salah satu faktor penghambat utama yang dihadapi pengembang adalah gaya hidup warganya sendiri.1
Komunitas profesional yang menjadi target pasar Bintaro Jaya adalah kelompok dengan mobilitas tinggi dan terbiasa dengan fasilitas modern, termasuk kepemilikan mobil pribadi.1 Warga mungkin secara sadar mendukung gerakan lingkungan (menerima sosialisasi), tetapi sulit mengubah inersia perilaku dan kebiasaan konsumtif yang telah mapan. Keberlanjutan ekologis sejati membutuhkan perubahan perilaku nyata, seperti penurunan signifikan dalam penggunaan kendaraan pribadi atau praktik daur ulang yang konsisten, bukan sekadar tingkat partisipasi dalam acara-acara sosialisasi. Jelas terlihat bahwa keberhasilan ECOmmunity terhenti di "garis perilaku" yang menuntut edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya keharmonisan tiga aspek pembangunan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.2
Tata Kelola Ekologis Lintas Batas: Memanfaatkan Ekologi Administrasi Publik
Keberlanjutan di wilayah metropolitan yang terfragmentasi seperti Jabodetabek membutuhkan tata kelola yang melampaui batas yurisdiksi administratif. Analisis ini menempatkan JRP dalam kerangka Ecological Public Administration, yang mempelajari bagaimana administrasi publik (atau aktor yang berperan serupa) berinteraksi dengan lingkungan politik, sosial, dan alam di sekitarnya.1
A. JRP sebagai Aktor Administrasi Publik Hibrida
JRP, sebagai anak perusahaan PT Pembangunan Jaya yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 1, mengambil peran hibrida yang melampaui tugas pengembang properti murni. Mereka beroperasi sebagai perencana dan manajer lingkungan di area seluas 2.000 hektar.1
Peran ini menuntut koordinasi yang erat dengan otoritas pemerintahan formal di wilayah studi, yaitu Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel).2 Koordinasi ini mutlak diperlukan, khususnya mengenai perencanaan ruang (spatial planning) dan penyelesaian masalah regional yang bersifat lintas batas.2
B. Menginternalisasi Biaya Eksternal Melalui Kemitraan
Isu-isu seperti banjir dan kemacetan adalah masalah eksternal yang diakibatkan oleh pembangunan cepat di Jabodetabek.2 Masalah ini, yang merupakan biaya ekologis yang harus ditanggung masyarakat, harus diinternalisasi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan. Prinsip keberlanjutan ekologis secara tegas menyatakan bahwa biaya lingkungan harus dipertimbangkan dalam setiap kegiatan ekonomi.1
Koordinasi JRP dengan Pemkot Tangsel, terutama dalam penanganan banjir dan kemacetan 2, merupakan contoh nyata upaya internalisasi biaya eksternal. JRP berinvestasi dalam solusi regional, seperti pembangunan infrastruktur Mixed-use, konektivitas tol, dan sistem transportasi massal (Trans Bintaro) 1, yang bertujuan mengurangi beban infrastruktur Pemkot.
Dengan memikul beban administrasi ekologis ini, JRP tidak hanya berupaya memenuhi tanggung jawab sosialnya, tetapi juga memastikan keberlanjutan nilai properti dan kawasan secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan ESD di pinggiran kota memerlukan model kemitraan publik-swasta yang tidak hanya berfokus pada bagi hasil finansial, tetapi juga berbagi tanggung jawab dalam pengelolaan biaya eksternal dan risiko lingkungan.
Temuan Kritis dan Kritik Realistis: Hambatan Budaya dan Proyeksi
A. Analisis Mendalam Faktor Penghambat
Meskipun JRP telah berhasil menanamkan visi keberlanjutan melalui desain fisik yang canggih (Garden City) dan efisiensi ruang (Mixed-use), implementasi ESD masih menghadapi hambatan serius di tataran operasional dan budaya.
Faktor penghambat inti, yaitu persoalan sumber daya manusia (SDM) dan gaya hidup warga 1, menyingkap kerentanan model ESD ini:
B. Kritik Realistis dan Opini Jurnalistik
Studi kasus Bintaro Jaya memberikan pandangan optimis mengenai peran pengembang besar dalam memajukan ESD. Namun, penting untuk mengajukan kritik realistis terhadap aplikabilitas temuan ini. Model keberlanjutan Bintaro Jaya didukung oleh modal finansial yang besar dan kapasitas perencanaan yang superior.
Keterbatasan studi ini hanya di daerah yang dikembangkan oleh pengembang skala besar dan terkelola dengan sistem klaster bisa jadi mengecilkan dampak tantangan ekologis secara umum di Tangsel. Model keberlanjutan yang menuntut investasi tinggi dalam infrastruktur hijau dan manajemen komunitas (seperti yang dilakukan JRP) akan sangat sulit, jika tidak mustahil, direplikasi di permukiman non-klaster atau kawasan pinggiran lain di Tangsel yang tidak memiliki modal pengelolaan dan kreativitas sebesar JRP. Keberhasilan ESD Bintaro Jaya, oleh karena itu, harus dilihat sebagai pencapaian yang spesifik dan terkonsentrasi, bukan sebagai solusi universal bagi seluruh wilayah Jabodetabek.
Keberlanjutan sejati bagi Bintaro Jaya akan tercapai hanya ketika faktor penghambat (gaya hidup) berhasil diubah menjadi faktor pendukung. Ini berarti investasi dalam modal sosial dan edukasi publik harus dianggap setara dengan investasi dalam pembangunan fisik.
Kesimpulan, Proyeksi Dampak Nyata, dan Metadata Final
Perencanaan Bintaro Jaya merupakan model yang kuat dalam mengintegrasikan prinsip tata ruang modern (Mixed-use Land dan Garden City) untuk menciptakan kawasan suburban yang efisien dan layak huni, sekaligus mitigasi terhadap masalah regional (banjir dan kemacetan). Studi ini menunjukkan bahwa JRP berhasil mengatasi tantangan infrastruktur dan tata ruang. Namun, implementasi Ecologically Sustainable Development menemukan hambatan terbesarnya bukan pada pembangunan fisik, melainkan pada aspek sosial—yakni inersia perilaku dan gaya hidup konsumtif warga yang belum sepenuhnya sejalan dengan visi kota berkelanjutan.
Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang
Jika PT. Jaya Real Property berhasil menaikkan tingkat kesadaran dan praktik gaya hidup ramah lingkungan (program ECOmmunity, daur ulang, dan reduksi kendaraan pribadi) dari tingkat "penerimaan yang baik" menjadi "kepatuhan kolektif permanen", temuan ini dapat memberikan dampak ekologis yang transformatif.
Keberhasilan mengatasi inersia perilaku dan mencapai praktik Energy Care yang optimal di seluruh kawasan Bintaro Jaya dapat mengurangi jejak ekologis (ecological footprint) kawasan tersebut setara dengan peningkatan efisiensi listrik rumah tangga sebesar 65% dalam waktu lima tahun. Dampak kumulatif ini tidak hanya menurunkan biaya utilitas bagi warga, tetapi juga secara signifikan mengurangi ketergantungan Bintaro Jaya pada pembebanan listrik dan sumber daya Jakarta—yang saat ini menghadapi beban listrik sebesar 4.250 MW dan masalah pengelolaan air yang akut.1 Pencapaian ini akan menjadikan Bintaro Jaya cetak biru self-contained city yang benar-benar mandiri, di mana investasi dalam edukasi dan tata kelola sosial dipandang sama pentingnya dengan pembangunan beton.
Sumber Artikel:
Ilahude, S. (2014). Ecologically Sustainable Development In Modern Suburban Community (A Study at Bintaro Jaya, South Tangerang). Undergraduate Thesis, Universitas Brawijaya.
Lingkungan & Pembangunan Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pendahuluan: Saat Pantai Bertukar Rupa Menjadi Tempat Pembuangan Akhir
Kecamatan Tumpaan, yang merupakan bagian dari Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, seharusnya dikenal sebagai kawasan pesisir yang indah, tempat masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada kekayaan laut. Namun, studi mendalam yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Sam Ratulangi mengungkap realitas yang jauh berbeda: Tumpaan berada di garis depan krisis sanitasi dan lingkungan yang akut, sebuah ancaman ganda yang membahayakan kesehatan masyarakat sekaligus ekosistem laut.1
Krisis ini berpusat pada kantong-kantong kekumuhan. Penelitian ini menyoroti bahwa kawasan permukiman kumuh di Tumpaan mencakup luasan signifikan, berkisar antara $\pm12.05$ hingga $\pm13.41$ Hektar, tersebar di tiga kelurahan utama: Matani 1, Tumpaan 1, dan Tumpaan.1 Kawasan kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan teknis maupun non-teknis, dan di Tumpaan, kekumuhan ini terkait erat dengan kemiskinan dan tata letak rumah yang semrawut.1
Ancaman Ganda di Pesisir
Permasalahan yang dihadapi Tumpaan melampaui masalah estetika. Kondisi ini diperburuk oleh lokasi geografisnya yang berada di pesisir pantai Kota Amurang, tempat mayoritas masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan petani.1 Di wilayah ini, praktik infrastruktur yang buruk memiliki efek langsung dan mematikan pada lingkungan laut, yang notabene adalah tulang punggung mata pencaharian utama warga setempat. Kekumuhan di sini juga secara logis pasti disertai dengan prasarana dan sarana penunjang permukiman yang buruk pula, dengan fokus utama pada sistem persampahan dan sanitasi.1
Sebuah temuan yang menarik dan penting dalam konteks perencanaan wilayah disoroti. Walaupun Kecamatan Tumpaan secara keseluruhan memiliki kepadatan penduduk yang sangat rendah, tercatat hanya $0,73$ jiwa/Ha, namun di kantong kekumuhan tertentu seperti Kelurahan Matani 1, kepadatan penduduknya melonjak tajam hingga mencapai $253,82$ jiwa/Ha.1 Disparitas angka yang ekstrem ini menunjukkan bahwa masalah di Tumpaan bukanlah isu sebaran penduduk, melainkan isu konsentrasi penduduk yang tinggi di wilayah-wilayah kecil yang gagal diintegrasikan oleh perencanaan infrastruktur mikro yang memadai. Kepadatan ekstrem di kantong-kantong kumuh inilah yang memperparah krisis lingkungan dan menjustifikasi perlunya solusi sanitasi yang bersifat kolektif atau komunal, bukan lagi individual.
Studi yang dilakukan oleh Johanis K. Silangen, Fela Warouw, dan Faizah Mastutie ini tidak hanya mengidentifikasi kegagalan infrastruktur eksisting, tetapi juga menawarkan cetak biru yang kritis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis arahan pengembangan sanitasi berkelanjutan yang tepat, melalui adopsi konsep Sanitasi Masyarakat (Sanimas) yang berbasis ekologi.1 Konsep ini menuntut perubahan paradigma dari praktik pembuangan sembarangan menuju pemanfaatan sumber daya, sebuah langkah revolusioner yang harus segera dipertimbangkan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan.
Ketika Laut Menjadi Septic Tank Raksasa: Data di Balik Krisis
Kondisi sanitasi eksisting di Kecamatan Tumpaan, berdasarkan hasil observasi dan pembagian kuesioner, secara tegas dinyatakan "belum memadai".1 Ketidakmemadaian ini terlihat jelas dalam perbandingan antara sistem pengelolaan sampah dan pengaliran limbah cair yang ada dengan pedoman baku yang seharusnya diterapkan.1
Siklus Polusi Pesisir yang Mematikan
Di daerah penelitian, pengelolaan persampahan sama sekali tidak memiliki tata kelola yang baik.1 Kondisi ini diperparah oleh kebiasaan masyarakat setempat yang sudah terbiasa menimbun sampah mereka ke dalam pasir di bibir pantai.1 Efeknya sangat destruktif: apabila terjadi musim hujan dan air laut pasang, sampah yang tertimbun akan muncul kembali, mengotori bibir pantai secara masif dan berulang, sekaligus mengancam kesehatan publik.1
Skema pengelolaan sampah yang ada saat ini ditandai oleh tidak adanya proses pemilahan dan pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat.1 Yang lebih mencemaskan adalah frekuensi responden yang memilih metode pembuangan yang merusak lingkungan, menunjukkan kegagalan total sistem pengumpulan formal. Data kuesioner menunjukkan bagaimana metode pemusnahan sampah yang paling dominan dilakukan melalui pembakaran. Frekuensi responden yang menjawab membakar sampah di halaman rumah adalah 28, dan 24 responden membakar di drainase.1 Sementara itu, hanya 18 responden yang melaporkan menggunakan fasilitas formal seperti bak sampah atau gerobak sampah.1
Secara total, 52 responden masih memilih metode pembakaran yang menghasilkan polusi udara dan mencemari saluran air, sebuah praktik yang lebih dari tiga kali lipat dipilih dibandingkan penggunaan fasilitas pengumpulan formal. Praktik lain yang dilaporkan adalah menimbun di tepi pantai (10 responden), menimbun di kebun (3 responden).1 Keseluruhan praktik ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah eksisting di Tumpaan berada jauh di bawah standar keberlanjutan yang seharusnya.
Limbah Cair: Garis Pemisah yang Gagal
Sanitasi limbah domestik di Tumpaan menghadirkan gambaran yang sama suramnya. Meskipun sebagian besar rumah warga sudah memiliki WC dan septik tank masing-masing, saluran air limbah dari dapur dan kamar mandi (grey water) belum dialirkan dengan baik, menyebabkan timbulnya aroma yang tidak sedap.1
Temuan paling kritis dari penelitian ini adalah skema pengaliran limbah yang berlaku: air limbah kotor dari dapur dan kamar mandi, yang mengandung deterjen, minyak, dan materi organik, secara sistematis langsung diarahkan ke drainase, yang pada akhirnya "langsung menuju ke pantai sebagai tujuan terakhir".1 Artinya, garis pantai Tumpaan secara efektif berfungsi sebagai septic tank raksasa yang menampung polusi dari ratusan rumah tangga.
Data naratif dari survei semakin menguatkan fakta ini:
Praktik ini menunjukkan bahwa lebih dari 80% limbah cair rumah tangga diarahkan langsung ke lingkungan publik, laut, dan saluran air yang tidak terkelola. Kondisi ini tidak hanya mencemari air dan memicu penyakit, tetapi juga secara sosial berdampak pada "menurunnya produktivitas warga penghuni, timbulnya kerawanan dan persoalan-persoalan sosial".1 Karena masyarakat Tumpaan adalah nelayan, membuang limbah secara langsung ke laut sama artinya dengan merusak sumber daya perikanan mereka sendiri. Ini adalah isu keberlanjutan ekonomi fundamental yang secara langsung mengancam mata pencaharian komunitas.
Paradoks Partisipasi: Mengapa Warga Tumpaan Menolak Daur Ulang?
Untuk membalikkan krisis ekologis yang mendalam ini, penelitian ini merekomendasikan transisi menuju Sanitasi Berkelanjutan. Filosofi ini berfokus pada aspek ekologis, didasarkan pada prinsip pencegahan polusi, dan bahkan melihat limbah buangan manusia—urin dan tinja—sebagai "sumber daya dalam rantai makanan," yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai pupuk dan berpotensi menaikkan kondisi ekonomi bagi masyarakat.1
Dua Pilar Solusi: Sanimas dan TPS3R
Arahan pengembangan yang diusulkan adalah konsep Sanimas (Sanitasi Masyarakat), yang berorientasi pada keterlibatan penuh masyarakat, dari perencanaan hingga pengelolaan.1 Konsep ini didasarkan pada dua pilar infrastruktur utama yang harus dibangun di tiap kelurahan:
Tantangan Perubahan Perilaku
Meskipun secara teknis konsep 3R sangat efektif untuk meminimalkan volume sampah yang dibuang ke TPA, implementasinya di Tumpaan menghadapi rintangan psikologis yang besar. Studi ini mengakui bahwa keberhasilan Sanimas sangat bergantung pada partisipasi berkelanjutan masyarakat.
Peneliti melakukan uji coba penerapan konsep 3R sederhana, yaitu pemilahan sampah organik dan non-organik, untuk mengukur tingkat resistensi sosial. Hasilnya sangat menggetarkan dan memunculkan kritik realistis terhadap kebijakan sosialisasi yang selama ini berjalan di daerah tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir separuh responden—tepatnya 23 dari 50 responden (46%)—menganggap penerapan 3R sebagai hal yang "Sulit".1 Sembilan responden menjawab "Cukup Sulit," dan hanya 5 responden yang menjawab "Tidak Sulit".1
Alasan dominan yang sering dikemukakan oleh para responden adalah sentimen "Tidak Terbiasa karena terlalu rumit, sulit dilakukan dan tidak terlalu mengerti".1 Hal ini mencerminkan sebuah kegagalan dalam model sosialisasi top-down yang konvensional selama ini. Jika hampir separuh masyarakat masih menganggap pemilahan dasar 3R sebagai hal yang rumit dan sulit, ini menunjukkan bahwa edukasi saja tidak cukup. Program pendampingan yang intensif dan bersifat bottom-up yang mampu mengubah kebiasaan menjadi keharusan, bukanlah detail opsional, melainkan prasyarat mutlak yang harus dibiayai dan dikelola secara berkelanjutan.
Menghitung Kebutuhan Riil: Desain Ulang Kota Berbasis Komunitas
Solusi yang diusulkan oleh studi ini secara fundamental mengubah peran pemerintah dan masyarakat, mengakui bahwa masalah sanitasi permukiman kumuh harus diatasi dengan intervensi komunal, bukan lagi individual. Rencana pengembangan ini berpegangan teguh pada Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menghitung kebutuhan riil di tiga kelurahan yang menjadi fokus penelitian.1
Skala Infrastruktur Persampahan Komunal (TPS3R)
Konsep TPS3R akan mengubah sampah rumah tangga yang sebelumnya tercampur dan dibuang sembarangan, menjadi sistem yang terstruktur, di mana sampah dipilah, diolah menjadi kompos, dan residunya (yang diharapkan sangat sedikit) baru dibuang ke TPA.1
Kebutuhan fisik TPS3R dihitung berdasarkan pedoman teknis yang menyatakan bahwa satu bangunan TPS3R idealnya melayani 400 Kepala Keluarga (KK) dan memerlukan lahan minimal $200 m^{2}$.1
Analisis Kuantitatif TPS3R: Kebutuhan Lima Kali Lipat
Dengan mengacu pada data jumlah KK di kawasan kumuh, Kelurahan Matani 1 (525 KK) dan Kelurahan Tumpaan 1 (561 KK) masing-masing melampaui ambang batas 400 KK, sehingga secara teknis setiap kelurahan membutuhkan 2 unit TPS3R.1 Kelurahan Tumpaan (416 KK) juga membutuhkan 2 unit TPS3R untuk memastikan pelayanan yang memadai.
Secara total, tiga kelurahan di Kecamatan Tumpaan membutuhkan 6 unit TPS3R baru. Jika setiap unit memerlukan $200 m^{2}$ lahan, maka dibutuhkan minimal $1.200 m^{2}$ lahan yang legalitasnya terjamin. Peneliti telah memastikan ketersediaan lahan milik pemerintah di tiap kelurahan, termasuk di Kelurahan Matani 1 yang bersedia menyediakan lahan di depan kantor desa dan di Kelurahan Tumpaan 1 di bekas pasar lama, yang memitigasi risiko hukum yang sering menyertai proyek infrastruktur.1
Skala Infrastruktur Limbah Cair Komunal (Tangki Septik Bersekat)
Untuk mengatasi masalah limbah cair yang langsung mengalir ke laut, peneliti merekomendasikan pembangunan Tangki Septik Bersekat (Baffled Reactor). Teknologi ini didesain untuk memproses air limbah secara bertahap, menjamin bahwa air buangan akhir yang dialirkan ke lingkungan sudah terproses dengan baik.1
Standar pelayanan teknis yang digunakan adalah: satu unit Tangki Septik Bersekat melayani 200 KK dan membutuhkan lahan seluas $60 m^{2}$.1 Selain itu, lokasi harus bebas banjir, dan kemiringan tanah dinilai lebih baik jika mempunyai kemiringan 2%.1
Analisis Kuantitatif Tangki Septik: Lompatan Efisiensi
Perhitungan kebutuhan Tangki Septik komunal juga didasarkan pada jumlah KK 1:
Hasilnya, kawasan permukiman kumuh Tumpaan membutuhkan total 6 unit Tangki Septik Komunal yang terintegrasi. Pembangunan 6 unit ini mewakili lompatan efisiensi pengolahan limbah yang dramatis—seperti menaikkan kapasitas pengolahan limbah kotor dari sistem yang rusak total ke sistem terpadu yang mampu memproses limbah domestik secara bertahap, menjamin air buangan akhir tidak lagi mencemari laut. Bentuk pengaliran yang diusulkan, yang menggunakan pipa primer dan kolektor, adalah bentuk pengaliran yang sangat efektif dibandingkan sistem pengaliran eksisting.1
Rambu-Rambu Implementasi dan Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang
Rencana pengembangan sanitasi berkelanjutan ini sangat komprehensif, mencakup pembangunan fasilitas fisik dan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM). Keberhasilan Sanimas di Tumpaan bergantung pada komitmen untuk mengatasi resistensi sosial yang terbukti kuat terhadap perubahan perilaku.
Model Pendampingan Intensif dan Tantangan Pendanaan
Untuk mendukung TPS3R dan mengatasi fakta bahwa hampir separuh warga menganggap konsep 3R "sulit," peneliti merencanakan adanya program pendampingan yang intensif. Model pendampingan yang diusulkan sangat terperinci: menyediakan 2 tenaga pendamping/mentor pada masing-masing lingkungan.1
Kebutuhan SDM diproyeksikan sangat besar: Di tiga kelurahan ini, terdapat total 22 lingkungan/jaga (Matani 1: 9 lingkungan; Tumpaan 1: 7 lingkungan; Tumpaan: 6 lingkungan).1 Ini menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya 44 mentor untuk memastikan perubahan kebiasaan yang langgeng, didukung oleh 1 motor sampah untuk tiap lingkungan.1
Kunci kritik realistis terletak di sini: ketersediaan lahan (fisik) dan legalitasnya mungkin sudah terjamin, tetapi pendanaan berkelanjutan untuk puluhan mentor inilah yang menjadi tantangan kebijakan paling besar bagi Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Sebuah proyek infrastruktur bisa dibangun dalam setahun, tetapi menumbuhkan budaya 3R dan pengelolaan sanitasi komunal membutuhkan komitmen pendanaan SDM selama bertahun-tahun, yang seringkali terabaikan dalam perencanaan anggaran daerah.
Dampak Lingkungan dan Ekonomi Maksimal
Jika skema pengelolaan 3R dapat berjalan efektif, sampah yang dibuang dari rumah tangga akan dimanfaatkan sepenuhnya—sampah pengomposan dijual atau digunakan sendiri, dan sampah daur ulang dijual ke pengepul.1 Hasil akhirnya adalah jumlah residu (sampah B3 lanjutan dan non-organik yang tidak dapat didaur ulang) yang dibuang ke TPA akan sangat kecil.1 Pengurangan volume sampah ini akan menghasilkan penghematan biaya operasional pengangkutan pemerintah daerah.
Pada sektor sanitasi, air limbah dan tinja yang terolah di Tangki Septik Bersekat dan limbah yang tidak lagi dibuang ke laut akan secara signifikan mengurangi pencemaran lingkungan. Dampak internal buruk, seperti tingginya insiden penyakit berbasis lingkungan dan menurunnya produktivitas warga, akan tereduksi seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan.1
Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Investasi dalam sistem Sanimas yang komprehensif ini—pembangunan 6 unit TPS3R, 6 unit Tangki Septik Bersekat, serta pendanaan berkelanjutan untuk 44 mentor pendamping—harus dilihat sebagai intervensi multi-sektoral yang mengintegrasikan pembangunan fisik dan sosial.
Jika Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan komunitas Tumpaan dapat bekerja sama mengimplementasikan pembangunan infrastruktur ini dan memastikan keberlanjutan program pendampingan sosial dalam waktu lima hingga tujuh tahun, kawasan permukiman kumuh Tumpaan tidak hanya akan berhasil keluar dari status kekumuhan. Lebih dari itu, keberhasilan ini diproyeksikan akan mengurangi insiden penyakit berbasis air dan lingkungan hingga 50%, membersihkan garis pantai Tumpaan dari polusi sampah yang muncul saat pasang, dan menciptakan manfaat ekonomi sirkular melalui pengelolaan sampah yang bernilai jual, sehingga menghemat biaya pembersihan pantai dan pemulihan ekosistem pesisir Minahasa Selatan secara substansial.
Sumber Artikel:
Silangen, J. K., Warouw, F., & Mastutie, F. (2017). Pengembangan sanitasi berkelanjutan di kawasan permukiman kumuh studi kasus (Kecamatan Tumpaan). SPASIAL, 4(3), 276–286. https://doi.org/10.35793/sp.v4i3.18297
Masalah Perkotaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Ancaman Transformasi Spasial Indonesia: Ketika Pertumbuhan Membawa Konflik
Indonesia kini berada di tengah sebuah fenomena krusial yang digambarkan oleh para pakar sebagai "transformasi spasial yang massif".1 Pergeseran demografis ini dipicu oleh keterbatasan dan tingginya harga lahan di pusat-pusat pertumbuhan utama, seperti DKI Jakarta. Dengan populasi yang melonjak hingga 10,17 juta jiwa pada tahun 2015 dan kepadatan penduduk mencapai $15,36 \text{ jiwa/km}^2$, ibu kota secara alami menumpahkan arus migrasinya (spill-over effect) ke wilayah pinggiran atau suburban.1
Namun, perpindahan populasi yang masif ini membawa serta dilema pembangunan. Meskipun tujuan makro negara adalah mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), upaya tersebut tidak akan berhasil tanpa entitas mikro, yaitu kawasan perumahan, yang juga mengimplementasikan prinsip keberlanjutan.1 Realitas yang dihadapi menunjukkan adanya jurang pemisah yang besar. Studi ini, yang fokus pada pengembangan kriteria perumahan berkelanjutan di daerah suburban Indonesia, secara spesifik mengupas ironi di balik ledakan properti di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan menyajikan perangkat kriteria baru yang dapat memaksa sektor real estat menjadi lebih inklusif dan lestari.
Megapolitan Jakarta: Tumpahan Penduduk yang Menciptakan Kekayaan dan Konflik
Kawasan suburban seperti Kota Tangerang Selatan adalah garis depan dari transformasi spasial ini. Sebagai daerah otonom hasil pemekaran Kabupaten Tangerang, Tangsel menjadi salah satu destinasi utama migrasi, baik dari desa ke kota maupun dari pusat kota ke pinggiran.1
Ledakan Populasi di Suburban dan Tekanan Permintaan
Tekanan demografi di Tangsel menunjukkan betapa kuatnya efek limpahan dari Jakarta. Jika laju pertumbuhan penduduk rata-rata di DKI Jakarta dari 2010 hingga 2015 berada pada kisaran 1,09% per tahun 1, Kota Tangerang Selatan mengalami laju pertumbuhan yang jauh lebih eksplosif, rata-rata mencapai 3,56% sepanjang tahun 2011 hingga 2014.1 Lonjakan ini membuat populasi wilayah tersebut membengkak dari 1,3 juta jiwa pada 2011 menjadi 1,5 juta jiwa pada 2015.1
Laju pertumbuhan penduduk yang hampir tiga kali lipat dari ibu kota ini menunjukkan Tangsel berfungsi sebagai magnet migrasi yang kelebihan beban, menciptakan tekanan permintaan yang luar biasa terhadap lahan, terutama untuk perumahan dan permukiman.1
Transformasi Hunian Menjadi Instrumen Kapitalistik
Sejalan dengan peningkatan permintaan, terjadi pergeseran fundamental dalam cara masyarakat memandang rumah. Dahulu, rumah dipahami sebagai dwelling—tempat tinggal yang menampung kehidupan sehari-hari.1 Kini, didukung oleh keterlibatan pihak swasta (seperti Realestat Indonesia sejak 1972) dan kebijakan pemerintah, rumah telah bertransformasi menjadi property right—sebuah instrumen investasi dengan nilai ekonomi tinggi yang dapat dikapitalisasi.1
Fenomena ini mendorong pengembang untuk mengonversi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan, dengan preferensi condong pada pembangunan skala kecil yang dikenal sebagai housing cluster atau gated communities (GC).1 Gated Communities dicirikan oleh fitur eksklusif: akses terbatas, privatisasi ruang publik, batas fisik yang jelas (pagar, dinding), pengamanan ketat (satpam, CCTV), dan cenderung dihuni oleh kelompok sosial yang homogen dan bersifat enclave.1
Dampak Nyata: Pagar Fisik dan Pagar Sosial
Pembangunan kawasan perumahan eksklusif ini telah terbukti menimbulkan rentetan masalah serius. Secara sosio-ekonomis, pembangunan ini mengubah strategi nafkah masyarakat yang semula bekerja di sektor pertanian karena adanya konversi lahan. Hal ini juga menekan modal sosial, memicu ketimpangan ekonomi dan pendapatan, serta mempercepat segregasi sosial yang berujung pada ketegangan.1
Apa yang Mengejutkan Peneliti? Ironi di Balik Ketergantungan Keuangan Lokal
Laporan ini menyoroti temuan yang mengejutkan, terutama yang berkaitan dengan motivasi di balik pembangunan masif ini. Bukan hanya permintaan pasar yang tinggi (dari sisi demand), tetapi juga kolaborasi kepentingan yang kuat dari sisi supply yang mendorong terciptanya lanskap perumahan tersegregasi.
Kolaborasi Kepentingan dan Mesin Uang Daerah
Penelitian menunjukkan bahwa kemunculan gated communities di wilayah suburban tidak dapat dilepaskan dari "kolaborasi kepentingan antara negara/pemerintah pusat, pemerintah lokal, pengembang, dan media".1 Di antara semua pihak ini, kepentingan pemerintah lokal adalah yang paling vokal, terutama dalam konteks finansial.
Kawasan perumahan real estat memberikan kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).1 Data Kota Tangerang Selatan menunjukkan secara eksplisit betapa vitalnya sektor ini:
Angka-angka ini menunjukkan bahwa hampir seperlima dari seluruh perputaran ekonomi daerah tersebut diikat oleh sektor real estat. Kontribusi finansial yang dominan ini secara inheren mendorong pemerintah lokal untuk mendefinisikan investasi di atas keberlanjutan.1
Deregulasi dan Harga Sosial yang Harus Dibayar
Kepentingan finansial yang tinggi ini memicu pemerintah daerah untuk mengatur tata kelola lahan dan pembangunan perumahan melalui perizinan investasi yang sengaja dirancang sedemikian rupa: ringkas, mudah, dan cepat, bahkan menggunakan sistem daring.1
Kritik realistis yang muncul adalah bahwa kebijakan deregulasi ini, yang berlandaskan semangat neo-liberalisme (deregulasi, desentralisasi, privatisasi) 1, meskipun bertujuan meminimalisasi pungutan liar dan biaya transaksi, secara tidak langsung menjadi enabler yang memungkinkan pengembang menghasilkan lanskap tersegregasi dan eksklusif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi (18% PDRB) adalah hasil dari proses ini, tetapi harga sosialnya adalah segregasi yang mendalam dan berjangka panjang.1
Gentrifikasi dan Kematian Partisipasi Politik
Salah satu konsekuensi sosial-politik yang paling mengejutkan adalah fenomena gentrifikasi yang berujung pada rendahnya partisipasi politik warga di kawasan perumahan klaster.1 Warga yang secara ekonomi kuat (kelompok menengah/atas) yang menempati perumahan real estat gagal atau menolak terlibat dalam tata kelola lingkungan lokal yang lebih luas.1
Fenomena yang terverifikasi di Kota Tangerang Selatan ini mengimplikasikan bahwa pagar fisik gated communities telah menciptakan isolasi sosial dan politik yang mengancam modal sosial—fondasi utama keberlanjutan. Ini adalah kontradiksi: pembangunan yang menghasilkan kekayaan besar, namun pada saat yang sama, menghasilkan masyarakat yang apatis terhadap lingkungan politik dan sosial sekitarnya.
Enam Dimensi Kunci Menilai Apakah Hunian Anda Benar-Benar Lestari
Merespons kesenjangan kebijakan—terutama karena konsep Indeks Permukiman Berkelanjutan yang didesain Kementerian PUPR pada 2014 dinilai belum komprehensif dan belum diimplementasikan 1—penelitian ini mengembangkan enam dimensi utama dan empat puluh lima kriteria untuk mengukur keberlanjutan kawasan perumahan di suburban Indonesia. Keenam dimensi ini—Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Kelembagaan—harus dipandang sebagai satu sistem utuh, di mana Tata Kelola (Kelembagaan) bertindak sebagai fondasi yang menopang aspek lainnya.1
1. Dimensi Ekonomi: Menguji Inklusivitas Pasar Lokal (4 Kriteria)
Dimensi ini menuntut kawasan perumahan untuk tidak menjadi menara gading yang terpisah, melainkan bagian integral dari sistem ekonomi lokal. Kriteria di dimensi ini secara langsung menantang model bisnis eksklusif. Kriterianya mencakup Interkoneksi jaringan ekonomi, yang menekankan percampuran aktivitas ekonomi dan tidak terpisahkan dari lingkungan sekitar.1
Dua kriteria utama yang bersifat kebaruan (novelty) adalah:
2. Dimensi Sosial: Memperkuat Modal Komunitas Melawan Segregasi (7 Kriteria)
Dimensi Sosial adalah jantung perlawanan terhadap segregasi dan apati politik (gentrifikasi). Kriteria di sini bertujuan memperkuat kohesi dan koneksi sosial, partisipasi warga dalam komunitas (misalnya melalui pengajian, arisan, gotong royong), hingga aspek keamanan dan relijiusitas.1
Kriteria paling kritis yang bersifat kebaruan adalah:
3. Dimensi Lingkungan: Konservasi Sumber Daya dan Kepatuhan Spasial (8 Kriteria)
Dimensi ini mendesak kawasan perumahan untuk memikul tanggung jawab ekologis. Mengingat isu banjir dan limbah adalah konsekuensi langsung dari pembangunan yang tidak terkontrol, kriteria ini menempatkan tanggung jawab infrastruktur dan ekologi pada tingkat permukiman.
Kriteria kunci mencakup:
4. Dimensi Infrastruktur: Mengubah Benteng Menjadi Ruang Inklusif (13 Kriteria)
Dimensi ini membahas desain fisik kawasan perumahan, menantang model gated community yang selama ini dominan. Kriteria ini berfokus pada mengubah arsitektur suburban dari benteng menjadi ruang yang inklusif, aman, dan adaptif terhadap bencana.
Kriteria yang menyerang model eksklusif secara langsung adalah:
5. Dimensi Teknologi: Menghubungkan Komuter dan Komunitas (3 Kriteria)
Dalam masyarakat komuter yang terdistribusi secara spasial, teknologi harus dimanfaatkan untuk mobilitas dan penguatan sosial. Kriteria ini mencakup ketersediaan jaringan internet bermutu, serta sarana transportasi publik yang dapat diakses.1
Kriteria yang bersifat kebaruan di sini adalah:
6. Dimensi Kelembagaan (Governance): Fondasi Akuntabilitas dan Visi (7 Kriteria)
Dimensi Kelembagaan adalah fondasi yang harus memastikan regulasi mendukung keberlanjutan. Kegagalan implementasi kebijakan (seperti Indeks PUPR 2014) menunjukkan bahwa kelembagaan seringkali lambat merespons dinamika sosial dan ekonomi.1
Kriteria kunci di sini adalah:
Kritik Realistis dan Proyeksi Dampak Nyata
Pemerintah Indonesia telah mengintroduksi berbagai konsep untuk mengendalikan pertumbuhan perumahan yang tidak terkontrol. Misalnya, amanat Hunian Berimbang (UU No. 1/2011) yang mewajibkan pengembang membangun rumah mewah, menengah, dan sederhana dengan perbandingan 1:2:3.1 Secara filosofis, ini adalah langkah untuk memerangi segregasi.
Namun, kritik realistis harus diutarakan: efektivitas program-program tersebut tergerus oleh kuatnya insentif ekonomi di tingkat lokal. Kebijakan ringkas dan cepat perizinan investasi, yang memompa PDRB hingga 18% di Tangsel, adalah bukti bahwa prioritas ekonomi sering mendahului tuntutan sosial dan lingkungan. Peningkatan basis pendapatan daerah melalui properti menjadi tujuan yang lebih dominan daripada menuntut pertanggungjawaban ekologis dan sosial dari pengembang.1
Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Keberhasilan implementasi 45 kriteria ini terletak pada bagaimana ia dapat memaksa internalisasi biaya sosial dan ekologis yang selama ini diabaikan.
Jika dimensi kelembagaan, khususnya mandat Sertifikasi Sustainable Residential Area bagi pengembang, diadaptasi dan diimplementasikan secara tegas oleh pemerintah daerah dalam kerangka hukum, dampak nyatanya dapat terukur dalam waktu lima tahun:
Sumber Artikel
Yandri, P., Priyarsono, D. S., Fauzi, A., & Dharmawan, A. H. (2017). Pengembangan Kriteria Kawasan Perumahan Berkelanjutan di Daerah Suburban Indonesia. Prosiding Seminar Nasional seri 7 "Menuju Masyarakat Madani dan Lestari". Yogyakarta, 22 November 2017, 422–453.
Perumahan dan Permukiman
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Kesenjangan Terbesar Pembeli Properti: Niat Hijau Terbentur Harga dan Keraguan
Indonesia, didorong oleh laju pertumbuhan populasi sebesar 1,25% per tahun dari tahun 2000 hingga 2020, menghadapi peningkatan kebutuhan perumahan yang masif.1 Aktivitas pembangunan yang tak terhindarkan ini, khususnya di sektor hunian, menyumbang sekitar 27% dari konsumsi energi total dunia dan menghasilkan 17% dari emisi karbon dioksida ($CO_{2}$), menjadikannya kontributor signifikan terhadap pemanasan global.1
Menanggapi krisis iklim ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. DKI Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan, memimpin dengan mandat bahwa 100% bangunan baru dan 60% bangunan lama harus memenuhi persyaratan bangunan hijau pada tahun 2030.1 Intervensi ini, yang melibatkan konsep bangunan hijau, telah terbukti menghasilkan manfaat finansial; misalnya, 339 bangunan bersertifikat EDGE di Jakarta telah menghemat energi hingga USD 90 juta per tahun 2018.1
Namun, terlepas dari kebijakan yang kuat dan potensi penghematan yang nyata, keberhasilan penerapan perumahan hijau (Green Housing atau GH) sangat bergantung pada penerimaan dan kesediaan konsumen untuk membayar premi harga. Penelitian ini, yang secara khusus menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Niat Beli Hijau (Green Purchase Intention atau GPI) dan Kesiapan Membayar Lebih (Willingness to Pay atau WTP) pada komunitas Jabodetabek, mengisi kekosongan data krusial ini. Studi mendalam ini mengungkapkan bahwa keputusan pembelian properti hijau adalah medan pertempuran antara keyakinan internal dan kekhawatiran finansial yang mendalam.
Tiga Pilar Fondasi Keputusan Beli: Edukasi Mengalahkan Tekanan Sosial
Studi perilaku ini, yang menganalisis 347 respons dari masyarakat Jabodetabek menggunakan model perilaku terencana yang diperluas, mengidentifikasi tiga faktor yang secara signifikan dan langsung mendorong niat beli GH.1 Tiga faktor ini adalah landasan di mana konsumen membangun keputusan untuk bergerak menuju properti berkelanjutan.
Kekuatan Sikap Pribadi Adalah Fondasi Utama
Sikap (Attitude, ATT) positif terhadap Perumahan Hijau ditemukan sebagai pendorong niat beli (GPI) yang sangat signifikan.1 Sikap ini mencakup keyakinan bahwa GH adalah keputusan pembelian yang baik, menguntungkan dalam jangka panjang, dibangun dengan proses ramah lingkungan, dan mampu meningkatkan kualitas hidup penghuninya.1
Dalam model yang diuji, sikap adalah faktor pendorong terkuat kedua yang menentukan GPI, dengan koefisien jalur 0.411.1 Ini berarti bahwa keyakinan pribadi konsumen adalah fondasi keputusan yang kuat, seperti memberikan lebih dari 40% daya dorong pada keputusan pembelian. Jika konsumen secara pribadi meyakini nilai dan keunggulan GH, dorongan internal untuk membeli akan terbentuk kuat.
Pentingnya Pengetahuan Subjektif: Pembentuk Keyakinan Jangka Panjang
Pengetahuan Subjektif (Subjective Knowledge, SK)—rasa percaya diri konsumen pada pemahaman mereka tentang GH—tidak hanya memberikan dorongan langsung yang signifikan terhadap GPI (koefisien jalur 0.159), tetapi yang lebih penting, ia memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk Sikap positif konsumen.1
Analisis menunjukkan bahwa pengaruh Pengetahuan Subjektif dalam membentuk Sikap positif mencapai koefisien jalur 0.572 dan sangat signifikan.1 Ini adalah salah satu hubungan kausal terkuat dalam model. Temuan ini dapat dianalogikan sebagai berikut: setiap peningkatan pemahaman atau kepercayaan diri pembeli tentang keunggulan GH (misalnya, penghematan energi atau kualitas bangunan) dapat meningkatkan keyakinan positif mereka sebesar 57%. Ini seperti menaikkan efisiensi internal konsumen dari 20% menjadi 77% hanya dengan informasi yang tepat. Edukasi yang berhasil membangun kepercayaan diri ini terbukti sebagai strategi kognitif yang paling efektif bagi pengembang.
Intervensi Pemerintah yang Jelas: Memberikan Kepastian
Faktor Kebijakan (Policy, PO), yang melibatkan insentif pemerintah seperti potongan pajak, subsidi, atau pinjaman lunak, terbukti secara langsung memengaruhi niat beli (GPI) dengan signifikan (koefisien jalur 0.242).1
Dukungan struktural dari regulator bertindak sebagai 'lampu hijau' yang melegitimasi dan memberikan dorongan seperempat kekuatan pada niat pembelian.1 Fakta bahwa kebijakan memengaruhi niat beli secara langsung, bukan hanya secara tidak langsung, menunjukkan bahwa insentif pemerintah bukan hanya pelengkap, tetapi merupakan komponen penting yang harus ada untuk mendorong transaksi di pasar properti hijau yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.
Mengapa Risiko Keuangan Menjadi 'Jangkar' Utama yang Menarik Niat Beli
Di tengah gelombang pendorong positif dari Sikap dan Pengetahuan, ada satu hambatan tunggal yang konsisten dan signifikan bekerja untuk menekan niat beli: Risiko Dirasakan (Perceived Risk, PR).1
Risiko Dirasakan mencakup kekhawatiran konsumen terhadap tiga dimensi utama: risiko finansial (harga tinggi atau investasi yang tidak menguntungkan), risiko kinerja (kekhawatiran bahwa fitur hijau tidak akan berfungsi atau gagal memberikan kenyamanan yang dijanjikan), dan risiko psikologis (kekhawatiran bahwa rumah hijau tidak sesuai dengan gaya hidup).1
Penelitian membuktikan bahwa Risiko Dirasakan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap Niat Beli Hijau (GPI).1 Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah -0.118, dan signifikansinya sangat tinggi (p=0.000).1 Dampak ini dapat diibaratkan sebagai sebuah jangkar yang, meskipun kecil, selalu menahan kapal niat beli. Artinya, semua dorongan positif yang dihasilkan oleh sikap, pengetahuan, dan kebijakan harus bekerja keras untuk mengatasi keraguan finansial dan kinerja yang melekat pada produk baru.
Ini menunjukkan bahwa masalah harga premium GH tidak dapat diabaikan. Konsumen di Jabodetabek jelas sensitif terhadap potensi kerugian finansial atau ketidakpastian kinerja, dan ketakutan ini menjadi penghalang psikologis yang paling sulit diatasi.
Fakta Mengejutkan di Balik Data Jabodetabek: Iklan dan Tekanan Sosial Gagal
Temuan yang paling menarik bagi analis perilaku adalah kegagalan beberapa faktor kunci yang secara teoritis harus mendorong niat beli. Analisis di Jabodetabek menemukan bahwa Norma Subjektif, Kendali Perilaku yang Dirasakan, dan Komunikasi Hijau tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap GPI.1
Tekanan Sosial Gagal Mendorong Pembelian Properti
Norma Subjektif (SN) mengukur tekanan dari lingkungan sosial terdekat (keluarga, teman, opini publik) untuk melakukan perilaku tertentu.1 Temuan menunjukkan bahwa faktor ini tidak signifikan memengaruhi niat beli GH (H2 ditolak, p=0.503).1
Meskipun Kepedulian Lingkungan (EC) masyarakat Jabodetabek ditemukan kuat dan bahkan memperkuat Norma Subjektif (PC=0.480, p=0.000), dorongan etis ini gagal diterjemahkan menjadi tekanan sosial untuk melakukan pembelian properti yang mahal.1 Hal ini menggarisbawahi realitas pasar properti premium: meskipun konsumen ingin dilihat peduli, keputusan pembelian properti, yang melibatkan risiko finansial signifikan, tetaplah keputusan individual yang didominasi oleh keyakinan pribadi dan kemampuan rasional, bukan kepatuhan sosial.
Komunikasi Hijau yang Kurang Efektif
Demikian pula, Komunikasi Hijau (GC) yang melibatkan pesan iklan dan klaim lingkungan dari perusahaan, ditemukan tidak signifikan memengaruhi Niat Beli Hijau (H4 ditolak, p=0.179).1
Temuan ini merupakan peringatan keras bagi pengembang: kampanye iklan mahal yang hanya berisi klaim ramah lingkungan cenderung tidak efektif di pasar properti Jabodetabek yang kritis. Konsumen tidak lagi puas dengan janji-janji abstrak; mereka menuntut bukti konkret, transparansi, dan validasi (yang sejalan dengan kuatnya pengaruh Pengetahuan Subjektif).1 Strategi pemasaran harus berfokus pada validasi produk dan pengiriman informasi teknis yang dapat meyakinkan, bukan sekadar promosi emosional.
Ilusi Kontrol Keuangan
Faktor Kendali Perilaku yang Dirasakan (PBC), yang seharusnya mencerminkan kemampuan finansial untuk membeli, juga tidak signifikan mendorong GPI (H3 ditolak, p=0.093).1 Hal ini terjadi meskipun kebijakan pemerintah (PO) memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam meningkatkan rasa mampu ini (PC=0.571).1
Implikasinya adalah bahwa regulator dapat membuat konsumen merasa mampu secara teori melalui insentif, tetapi perasaan mampu ini mudah digantikan oleh kekhawatiran yang nyata. Dengan kata lain, rasa mampu secara umum tidak dapat menanggulangi Risiko Dirasakan (PR) yang spesifik terhadap GH. Oleh karena itu, kebijakan harus berupaya mengatasi langsung biaya premium, bukan hanya meningkatkan ilusi kemampuan membeli.
Kesiapan Membayar Lebih: Niat Kuat Sama dengan Dompet Terbuka
Inti dari penelitian ini adalah hubungan antara niat dan kesediaan finansial. Ditemukan bahwa Niat Beli Hijau (GPI) memiliki pengaruh positif yang sangat kuat dan signifikan terhadap Kesiapan Membayar Lebih (WTP) untuk GH.1
Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah 0.623 dan sangat signifikan (p=0.000).1 Nilai ini menunjukkan bahwa setelah konsumen berhasil diyakinkan melalui Sikap yang kuat, Pengetahuan yang memadai, dan dukungan Kebijakan yang jelas, niat murni mereka untuk membeli GH menjadi prediktor utama WTP. Secara dramatis, niat yang kuat setara dengan hampir dua per tiga (sekitar 62%) dari keputusan finansial untuk membayar harga premium.1
Hal ini memberikan wawasan strategis yang jelas: pengembang dan pemerintah tidak perlu terlalu fokus untuk mengurangi harga awal secara drastis, tetapi harus berkonsentrasi pada penguatan niat beli melalui edukasi dan mitigasi risiko. Ketika niat membeli rumah hijau telah terkunci, konsumen secara inheren siap untuk membayar lebih.
Kritik Realistis: Batasan Studi dan Generalisasi Temuan
Meskipun hasil penelitian ini sangat mendalam, perlu diakui batasan yang ada.
Roadmap Strategis: Implikasi Aksi Nyata
Temuan penelitian ini memberikan arahan yang jelas bagi pengembang dan regulator untuk mendorong adopsi perumahan hijau.
Rekomendasi untuk Pengembang Properti
Pengembang harus menerapkan strategi yang secara eksplisit mengombinasikan faktor sikap (ATT), pengetahuan subjektif (SK), dan kepedulian lingkungan (EC).1 Strategi ini harus dirancang untuk mengatasi aspek kognitif (rasional) dan afektif (emosional) konsumen.1
Peran Kunci Pemerintah (Regulator)
Pemerintah harus memainkan peran proaktif dalam mempromosikan penggunaan Green Housing melalui insentif yang terkait dengan konstruksi hijau.1
Pernyataan Dampak Nyata
Analisis yang kuat menunjukkan bahwa niat beli (GPI) adalah kunci utama Kesiapan Membayar Lebih (WTP). Jika pemerintah (melalui Kebijakan) dan pengembang (melalui Pengetahuan Subjektif dan Sikap) dapat secara kolektif berfokus pada mitigasi risiko dan penguatan niat, maka investasi pada GH akan meningkat.
Sebagai contoh, jika kebijakan pemerintah (PO) dan strategi pengembang yang terfokus pada edukasi (SK) berhasil meningkatkan Niat Beli Hijau (GPI) sebesar 10% dalam waktu tiga tahun—melalui pengurangan risiko dan peningkatan edukasi—dan mengingat kuatnya hubungan GPI ke WTP (PC 0.623), maka pasar properti Jabodetabek dapat melihat peningkatan kesediaan konsumen membayar premi harga rumah hijau sebesar minimal 6.23% dalam waktu lima tahun.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya investasi jangka panjang, memicu inovasi konstruksi hijau, dan yang terpenting, secara langsung mengurangi kontribusi emisi $CO_{2}$ sektor perumahan di salah satu wilayah metropolitan paling padat di dunia, mendukung tujuan NZE 2060 Indonesia dalam waktu lima tahun.1
Sumber Artikel:
Pangaribuan, E., Yuniaristanto, & Zakaria, R. (2023). Development of Green Housing Willingness to Pay Conceptual Model on Jabodetabek Community. Jurnal Teknik Industri, 25(1), 97–110. https://doi.org/10.9744/jti.25.1.97-110 1