Transportasi

Bukan 'Salah Sopir': Mengapa Desain Jalan Pedesaan Adalah Jebakan Maut (Sebuah Ulasan Paper)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 13 November 2025


Kita semua pernah merasakannya. Sensasi tegang saat mengemudi atau berjalan di jalanan pedesaan yang baru diaspal mulus. Aspalnya hitam legam, garis-garisnya putih bersih, mengundang kita untuk melaju kencang. Tapi di kiri dan kanan, kehidupan desa tumpah ruah: anak-anak berlarian, warung-warung kecil, dan para lansia berjalan pelan di tepi jalan.

Setiap kali saya berada di situasi itu, ada perasaan ngeri yang menjalar. Rasanya seperti dua dunia yang seharusnya tidak bertemu, dipaksa bertabrakan oleh selembar aspal. Kita biasanya menyalahkan "sopir gila" yang ngebut atau "pejalan kaki nekat" yang menyeberang sembarangan.

Tapi bagaimana jika... bukan keduanya? Bagaimana jika desain jalan itu sendiri yang membenturkan mereka?

Saya baru saja 'tersesat' selama berjam-jam dalam sebuah paper penelitian oleh Xiaoli Xie, Alexandros Nikitas, dan Hongqi Liu. Penelitian ini meneliti secara mendalam 28 kecelakaan fatal—ya, fatal, yang berarti seseorang kehilangan nyawanya—di persimpangan jalan pedesaan bervolume rendah di Tiongkok Barat Daya.   

Dan apa yang mereka temukan... itu memvalidasi perasaan tegang tadi. Itu memberi data pada kengerian yang kita rasakan secara intuitif.

Ini bukan masalah kecil. Di Tiongkok, pejalan kaki adalah proporsi tertinggi dari semua kematian di jalan raya, mencapai 24,96%. Dan masalahnya semakin parah, terutama di pedesaan. Antara awal 2000-an dan awal 2010-an, tingkat kematian di jalan pedesaan Tiongkok melonjak 131%, sementara di perkotaan 'hanya' naik 31%. Pembangunan jalan baru yang mengilap itu, tampaknya, secara tidak sengaja telah menciptakan jebakan maut.   

Neraka Tersembunyi di Persimpangan 'T'

Para peneliti ini tidak hanya melihat data besar. Mereka melakukan otopsi mendalam pada 28 tragedi spesifik di delapan jalan pedesaan untuk menemukan pola. Dan pola yang mereka temukan sangat jelas dan mengerikan.   

Bayangkan sebuah resep untuk bencana. Inilah bahan-bahannya, berdasarkan temuan mereka:

  • 🚀 Lokasi Tragedi: 75% dari pejalan kaki ini tewas di pertigaan (T-intersections). Bukan persimpangan empat yang rumit, tapi pertigaan sederhana yang mematikan.   

  • 🤯 Desain yang Abai: 82% dari persimpangan fatal tersebut TIDAK MEMILIKI fasilitas pejalan kaki sama sekali. Bukan trotoar yang rusak. Maksudnya, tidak ada. Tidak ada zebra cross, tidak ada trotoar.   

  • 💡 Kecelakaan dalam Gelap: 50% kecelakaan terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup. Dan bagian terburuknya? 100% (NOL PERSEN) dari persimpangan ini memiliki penerangan jalan di atas kepala. Jalanan itu gelap gulita.   

  • 🧠 Korban Paling Rapuh: 56% dari mereka yang tewas adalah kelompok paling rentan di antara kita: anak-anak di bawah 15 tahun atau lansia di atas 65 tahun.   

  • 🚗 Faktor Kendaraan: 61% kendaraan yang terlibat dilaporkan ngebut (melebihi batas kecepatan) pada saat tabrakan.   

  • 🚶 Faktor Manusia (yang Mengejutkan): Ini bagian yang menarik. 0% (NOL) dari pejalan kaki yang tewas ditemukan sedang minum alkohol. Ini membantah stereotip "pejalan kaki mabuk yang ceroboh" yang sering kita dengar dari studi di negara lain. Masalahnya jauh lebih dalam dari itu.   

Resep ini melukiskan gambaran yang suram: seorang anak atau lansia, mencoba menyeberang jalan di pertigaan yang gelap gulita tanpa zebra cross, sementara sebuah kendaraan melaju kencang. Tragedi itu nyaris tak terhindarkan.   

Bukan Sekadar 'Siapa yang Salah', Tapi 'Mengapa Sistemnya Gagal': Memperkenalkan DREAM

Di sinilah penelitian ini menjadi benar-benar brilian. Para peneliti tidak berhenti pada "Oh, 61% ngebut. Salahkan sopirnya." Mereka menggunakan metode yang disebut DREAM (Driving Reliability and Error Analysis Method).   

Bayangkan DREAM ini seperti seorang detektif yang sangat teliti. Dalam penyelidikan kecelakaan biasa, kita menangkap 'pelaku' (sopir atau pejalan kaki) dan menutup kasus. DREAM tidak. DREAM menggeledah apartemen pelaku, mewawancarai teman-temannya, memeriksa latar belakang keluarganya, dan bahkan menyelidiki arsitek gedung tempat kejahatan itu terjadi.

Metode ini tidak hanya bertanya, "Apa kesalahan terakhir yang terjadi?" (Misalnya, 'sopir tidak mengerem'). Metode ini terus bertanya "Kenapa?" sampai ke akarnya. "Kenapa sopir tidak mengerem?" "Karena dia salah menilai situasi." "Kenapa dia salah menilai situasi?" "Karena dia tidak melihat pejalan kaki." "Kenapa dia tidak melihat pejalan kaki?" "Karena jalannya gelap dan desain rambunya tidak memadai."   

DREAM memetakan 'faktor penyebab' langsung (seperti 'salah menilai situasi') ke 'faktor penyebab utama' yang lebih dalam (seperti 'desain rambu yang tidak memadai' atau 'pelatihan yang buruk'). Ini adalah pertama kalinya metode ini digunakan untuk menganalisis kecelakaan kendaraan-pejalan kaki di Tiongkok.   

Mereka mengganti lensa—dari menyalahkan individu, menjadi menginterogasi sistem.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Empat 'Akar Masalah' yang Sebenarnya

Dan apa yang ditemukan 'detektif' DREAM ini? Ternyata, ada empat 'biang keladi' sistemik yang terus muncul dalam 28 kasus fatal tersebut. Empat pilar kegagalan ini adalah alasan sebenarnya mengapa 28 orang itu meninggal.   

Pertama: Desain Jalan yang 'Anti-Manusia'

Ini adalah pilar pertama dan paling fundamental: Infrastruktur keselamatan persimpangan yang kurang.   

Kita sudah lihat datanya: 82% persimpangan tidak punya fasilitas pejalan kaki, 100% tidak punya lampu. Tapi analisis DREAM menunjukkan masalah yang lebih dalam. Faktor Q1: Inadequate information design (desain informasi/rambu yang tidak memadai) adalah "faktor penyebab utama" yang ditemukan di semua pola kecelakaan yang dianalisis (baik itu motor, mobil belok, atau mobil lurus).   

Kenapa ini bisa terjadi? Paper ini menjelaskan sesuatu yang mengejutkan: "Di Tiongkok, tidak ada kerangka kerja manajemen akses untuk jalan pedesaan".   

Dalam bahasa manusiawi: Tidak ada aturan standar yang mengatur bagaimana sebuah jalan raya harus berinteraksi dengan sebuah desa. Akibatnya, jalan raya arteri baru dibangun melewati desa, dan setiap pintu rumah atau gang kecil secara de facto menjadi pertigaan liar tanpa rambu, tanpa lampu, tanpa peringatan. Ini bukan hanya desain yang buruk; ini adalah ketiadaan desain.   

Kedua: 'Ijazah Tembak' dan Pengemudi yang Sebenarnya Tidak Siap

Pilar kedua adalah Pelatihan pengemudi yang tidak memadai.   

Data menunjukkan 61% kendaraan ngebut. Analisis DREAM melacak ini ke akar penyebab seperti F6: Insufficient skills/knowledge (keterampilan/pengetahuan tidak cukup) dan N4: Inadequate training (pelatihan tidak memadai).   

Tapi ini bukan sekadar 'kurang latihan'. Paper ini mengungkap sesuatu yang jauh lebih kelam, mengutip survei lain: 73% pengemudi di salah satu provinsi yang diteliti berlatih kurang dari enam bulan. Lebih buruk lagi, dan ini adalah kutipan langsung dari analisis mereka terhadap studi lain: "beberapa sekolah mengemudi membantu orang berbuat curang dalam ujian atau menjual surat izin mengemudi".   

Ini adalah 'ijazah tembak'. Ini menjelaskan faktor DREAM lain yang muncul: F5: Overestimation of skills (terlalu percaya diri dengan keterampilan). Tentu saja mereka terlalu percaya diri; keterampilan mereka tidak pernah diuji secara nyata. Mereka punya izin, tapi tidak punya kompetensi.   

Membaca ini membuat saya berpikir betapa fundamentalnya sebuah pelatihan yang berkualitas. Kualitas pelatihan adalah garis tipis antara kompetensi dan bencana. Ini berlaku di semua bidang, baik itu mengemudi truk atau mengelola tim. Pentingnya pendidikan dan pelatihan berkelanjutan—seperti yang ditawarkan oleh platform(https://diklatkerja.com) untuk pengembangan profesional—adalah pembeda antara amatir dan ahli. Dalam konteks paper ini, itu adalah pembeda antara hidup dan mati.

Ketiga: Pejalan Kaki yang 'Tak Terlihat' dan Terabaikan

Pilar ketiga adalah Kurangnya edukasi keselamatan pejalan kaki.   

Ingat, 56% korban adalah anak-anak dan lansia , dan 89% tewas saat menyeberang. Analisis DREAM mengidentifikasi faktor utama M1: Inadequate transmission from other road users. Ini adalah jargon akademis untuk: "pejalan kaki tidak memberikan sinyal yang cukup kepada pengemudi."   

Paper ini menjelaskannya lebih lanjut: "Dalam kebanyakan kasus, pejalan kaki menyeberang jalan tanpa melihat dulu...". Mengapa mereka melakukan itu? Karena ini desa mereka. Selama puluhan tahun, mereka selalu menyeberang jalan tanah itu untuk ke warung.   

Tapi sekarang, jalan tanah itu telah di-upgrade menjadi jalan arteri mulus. Perilaku lama ("ini desaku") bertabrakan dengan realitas baru ("ini zona kecepatan tinggi"). Ini adalah kegagalan edukasi untuk mengejar kecepatan pembangunan.

Keempat: Aturan Ada, Tapi Siapa yang Peduli?

Pilar keempat, dan mungkin yang paling sinis, adalah Penegakan hukum lalu lintas yang tidak memadai.   

Ini adalah perekat yang menyatukan semua kegagalan lainnya. Lihat saja faktor DREAM paling dominan untuk pengemudi mobil yang melaju lurus (kasus paling umum, 15 dari 28 kecelakaan): F4: Habitually stretching rules and recommendations (terbiasa melanggar aturan).   

Perhatikan kata kuncinya: terbiasa. Ini bukan "tidak tahu aturan" (itu F6). Ini tahu aturannya, tapi secara terbiasa melanggarnya.

Kenapa? Karena mereka bisa. Paper ini memberikan jawaban yang brutal: "penegakan hukum lalu lintas yang lemah" karena "sumber daya polisi yang terbatas". Paper itu memberi contoh yang absurd: "tidak jarang... tiga atau empat petugas polisi lalu lintas lokal mengawasi sebanyak empat atau lima kota... yang mungkin memiliki total 0,3 juta penduduk".   

Itu adalah tugas yang mustahil. Kebiasaan melanggar aturan (F4) bukanlah kegagalan moral pengemudi; itu adalah respons rasional terhadap sistem di mana kemungkinan ditangkap hampir nol. Ketika penegakan hukum tidak ada, batas kecepatan hanyalah sebuah saran.

Opini Saya: Meski Temuannya Hebat, Ini Agak... Terbatas

Sejujurnya, metodologi DREAM yang digunakan dalam studi ini sangat membuka mata. Ia memaksa kita untuk berhenti mencari satu 'kambing hitam' dan mulai melihat cetak biru sistem yang gagal.   

Meski temuannya hebat, kita harus jujur tentang keterbatasannya. Seperti yang diakui sendiri oleh para penulis, cara analisanya didasarkan pada sampel yang sangat kecil. Hanya 28 kecelakaan.   

Apakah 28 kasus di Tiongkok Barat Daya ini mewakili semua masalah di pedesaan Tiongkok? Sulit untuk dikatakan. Para penulis berargumen bahwa fokus mereka adalah 'kualitas' analisis (kedalaman DREAM), bukan 'kuantitas'. Dan saya setuju. Tapi tetap saja, ini lebih terasa seperti potret yang sangat detail daripada sensus nasional.   

Selain itu, analisanya agak terlalu abstrak untuk pemula. Butuh beberapa kali baca bagi saya untuk memahami bagan-bagan DREAM yang rumit itu. Tapi begitu 'klik', itu mengubah segalanya.   

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bahkan Jika Anda Bukan Perencana Kota)

Jadi, apa yang bisa kita lakukan dengan informasi ini? Saya tidak tinggal di pedesaan Tiongkok. Saya juga bukan insinyur sipil. Tapi paper ini memberi saya tiga pelajaran besar:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Keselamatan bukanlah tanggung jawab individu semata. Paper ini membuktikan bahwa kecelakaan adalah kegagalan sistem—kegagalan desain (infrastruktur), kegagalan pelatihan (sopir), kegagalan edukasi (pejalan kaki), dan kegagalan penegakan (polisi).   

  • 🧠 Inovasinya: Berhenti menyalahkan "sopir gila". Lain kali Anda melihat persimpangan yang terasa berbahaya, tanyakan: "Mengapa jalan ini dirancang seperti ini? Mengapa mobil merasa boleh ngebut di sini?" Metode DREAM mengajarkan kita untuk mencari 'penyebab utama' (Q1, F6, F4), bukan 'gejala' terdekat.   

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak pola pikir yang sudah ada. Kebiasaan melanggar aturan (F4) seringkali dimulai karena aturannya sendiri tidak masuk akal atau, seperti dalam kasus ini, tidak ditegakkan. Ini berlaku di jalan raya, di kantor, atau dalam hidup.   

Jangan Hanya Menjadi Data Statistik

Ke-28 orang dalam penelitian ini—anak-anak, kakek-nenek, orang dewasa—mereka bukan sekadar 'data'. Mereka adalah pengingat yang tragis tentang apa yang terjadi ketika sistem gagal.

Pada akhirnya, kita semua adalah pejalan kaki. Studi ini adalah pengingat yang kuat bahwa kita berhak atas sistem yang dirancang untuk melindungi kita, bukan menjebak kita. Para peneliti merekomendasikan solusi berbiaya rendah dan mudah diterapkan: manajemen akses yang lebih baik, penenangan lalu lintas (seperti polisi tidur yang terstandarisasi), lebih banyak edukasi, dan penegakan hukum yang lebih baik. Semoga ada yang mendengarkan.   

Kalau kamu tertarik dengan analisis mendalam di baliknya, dan ingin melihat sendiri bagan-bagan 'detektif' DREAM itu, coba baca paper aslinya (link di bawah).

(https://doi.org/10.1080/15389588.2017.1387654)

Selengkapnya
Bukan 'Salah Sopir': Mengapa Desain Jalan Pedesaan Adalah Jebakan Maut (Sebuah Ulasan Paper)

teknologi

Saya Hampir Menabrak Pesepeda—Dan Mengapa Mobil "Pintar" Anda Mungkin Akan Melakukan Hal yang Sama

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 13 November 2025


Itu adalah momen yang dialami setiap pengemudi. Jantung Anda serasa berhenti berdetak. Kaki Anda menginjak rem bahkan sebelum otak Anda sadar. Seorang pesepeda, atau pejalan kaki, muncul "entah dari mana" di persimpangan. Anda selamat, mereka selamat, tapi sisa perjalanan Anda dipenuhi adrenalin dan rasa bersalah.

Saya selalu berpikir momen-momen itu adalah kesalahan saya. Kurang perhatian, mungkin?

Tapi pengalaman ini membuat saya terobsesi dengan sebuah pertanyaan: Jika saya nyaris tidak melihat mereka, bagaimana mungkin mobil "pintar" (yang dilengkapi Intelligent Safety Systems atau ISS, seperti Autonomous Emergency Braking atau AEB) bisa lebih baik?

Ternyata, seringnya, mereka tidak lebih baik.

Kita berada dalam paradoks yang aneh. Di satu sisi, data mentah dari tesis PhD yang baru saja saya baca sangat menyedihkan: lebih dari 5.000 pejalan kaki dan 2.000 pesepeda tewas setiap tahun di jalan-jalan Eropa.1 Mereka adalah Vulnerable Road Users (VRUs), dan mereka tewas dalam jumlah besar, terutama dalam "skenario penyeberangan" yang paling umum.1 Di sisi lain, kita memiliki sistem ISS bernilai miliaran dolar yang dipasang di mobil-mobil baru.

Masalahnya, seperti yang diungkapkan oleh tesis tersebut, sistem-sistem ini "masih perlu ditingkatkan agar efektif".1 Dan alasan utamanya? Sebuah "kurangnya pengetahuan tentang perilaku pengemudi".1

Tesis PhD oleh Christian-Nils Boda, "Driver interaction with vulnerable road users" 1, bukanlah sekadar tumpukan kertas akademis. Bagi saya, ini adalah "Batu Rosetta". Dokumen ini menerjemahkan dua bahasa yang sama sekali berbeda:

  1. Bahasa Logika Mobil: "Berdasarkan sensor LiDAR dan kecepatan $X$, tabrakan akan terjadi dalam $Y$ detik."

  2. Bahasa Kekacauan Manusia: "Saya tidak tahu mengapa, tapi saya merasa harus mengerem SEKARANG."

Inilah inti masalahnya: Mobil dan pengemudi tidak setuju tentang kapan harus panik. Kegagalan ISS saat ini bukanlah kegagalan sensorik—kamera dan radar bisa melihat pejalan kaki itu. Ini adalah kegagalan prediktif. Mobil tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh otak manusia di belakang kemudi, sehingga ia tidak tahu kapan harus memperingatkan atau mengintervensi dengan cara yang bisa diterima manusia (masalah "driver acceptance" yang krusial).1 Jika terlalu dini, kita akan mengabaikannya sebagai "gangguan." Jika terlalu lambat, itu tidak ada gunanya.

Tesis ini adalah upaya brilian untuk menemukan "zona goldilocks" yang tepat, yang diatur bukan oleh fisika, tetapi oleh psikologi pengemudi.

Penemuan yang Mengubah Segalanya: Lupakan Waktu Reaksi, Ini Semua tentang "Waktu Kemunculan"

Selama ini, kita terobsesi dengan "waktu reaksi". Kita mengira pengemudi yang "buruk" memiliki reaksi yang lambat.

Tesis Boda (melalui Paper I & II) menghancurkan asumsi ini. Dalam serangkaian eksperimen yang sangat terkontrol, mereka menguji berbagai faktor: kecepatan mobil, kecepatan pejalan kaki, ukuran pejalan kaki, bahkan ada tidaknya zebra cross.1

Hasilnya? Faktor terbesar yang memengaruhi seluruh proses respons pengereman pengemudi bukanlah kecepatan. Itu adalah "waktu kemunculan" (appearance time)—momen ketika VRU pertama kali terlihat oleh pengemudi.1

Sederhananya, "waktu kemunculan" adalah seberapa banyak "peringatan" yang diberikan geometri jalan kepada Anda. Apakah si pesepeda muncul dari balik tikungan buta (waktu kemunculan rendah) atau Anda melihatnya dari jarak 100 meter (waktu kemunculan tinggi)?

Bayangkan jika kamu mengatur waktu kerjamu seperti peneliti di sini.

Jika bos Anda memberi tahu Anda tentang deadline besar (si pesepeda) tiga jam sebelumnya (appearance time tinggi), Anda bereaksi dengan tenang. Anda mungkin melepas kaki dari gas, mungkin mulai mengerem perlahan. Jika bos Anda meneriakkan deadline itu tiga menit sebelumnya (appearance time rendah), Anda panik. Anda membanting rem. Waktu kemunculan adalah segalanya. Itu mengatur tingkat urgensi.

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Faktor "waktu kemunculan" (appearance time) memiliki pengaruh terbesar pada seluruh proses respons pengereman.1

  • 🧠 Inovasinya: Ini menggeser fokus dari "seberapa cepat pengemudi bereaksi" menjadi "seberapa banyak waktu yang dimiliki pengemudi untuk melihat terlebih dahulu".

  • 💡 Pelajaran: Jika mobil otonom ingin aman, ia tidak hanya perlu melihat pesepeda; ia perlu memprediksi kapan manusia akan melihat pesepeda tersebut.

Ini mendefinisikan ulang "keselamatan" sebagai masalah desain informasi dan desain lingkungan (seperti memangkas semak di tikungan), bukan hanya masalah keterampilan pengemudi. Tesis ini secara halus berargumen bahwa pengujian keselamatan (seperti oleh Euro NCAP) seharusnya berfokus pada skenario "waktu kemunculan rendah" ini, karena di situlah perilaku manusia paling ekstrem dan di situlah ISS paling dibutuhkan.1

Apa yang Paling Mengejutkan Saya—Mengapa Anda Mengerem Seperti Maniak di Game Balap, tapi Tidak di Dunia Nyata

Ini adalah bagian favorit saya dari tesis ini. Para peneliti tidak hanya mempercayai simulator komputer. Mereka melakukan hal yang sulit: mereka menjalankan eksperimen yang sama di simulator mengemudi (fixed-base) dan di trek uji dunia nyata dengan mobil sungguhan.1

Mereka membandingkan perilaku pengemudi saat merespons pesepeda yang menyeberang di kedua lingkungan tersebut. Dan apa yang mereka temukan mengguncang pemahaman saya tentang bagaimana kita mengemudi.

Momen 'Klik' yang Sama...

Temuan pertama sangat mengejutkan: Kapan pengemudi mulai mengerem (brake onset) pada dasarnya identik di kedua lingkungan.1

Benar sekali. Baik Anda berada di simulator canggih atau di mobil sungguhan di trek, waktu antara "melihat" pesepeda dan "menyentuh" pedal rem mengikuti pola yang sama persis.1

Mengapa? Tesis ini menyimpulkan bahwa inisiasi pengereman adalah reaksi visual murni.1 Otak Anda melihat "waktu kemunculan" yang rendah dan berkata, "BAHAYA!"—tindakan itu konsisten.

###...Intensitas Pengereman yang Sepenuhnya Berbeda

Di sinilah semuanya menjadi aneh. Setelah kaki mereka menyentuh pedal, perilaku pengemudi "berbeda secara drastis".1

  • Di Trek Uji (Dunia Nyata): Pengemudi mengerem dengan relatif lancar. Mereka merasakan cengkeraman ban, merasakan mobil menukik, dan mengatur tekanan untuk berhenti tepat waktu.

  • Di Simulator (Dunia Virtual): Pengemudi "mengerem lebih keras".1 Profil pengereman mereka agresif, mendadak, dan tidak menentu. Seperti pemain video game pemula.

Mengapa? Jawabannya sangat dalam: "Kurangnya isyarat deselerasi yang realistis".1

Di simulator fixed-base, Anda tidak merasakan G-force yang menekan Anda ke depan. Anda tidak merasakan cengkeraman ban. Tubuh bagian dalam Anda tidak memberi tahu otak Anda bahwa Anda sedang melambat.

Ini membuktikan bahwa pengereman bukanlah satu tindakan. Ini adalah dua proses kognitif yang berbeda:

  1. Proses 1: Pemicu Visual (Reaktif). "Saya melihat pesepeda!" Ini cepat, biner, dan hanya didasarkan pada mata Anda.1

  2. Proses 2: Regulasi Sensorimotor (Loop Umpan Balik). "Seberapa keras saya harus menekan pedal?" Ini adalah proses analog yang lambat, yang secara kritis bergantung pada loop umpan balik terus-menerus antara mata, tubuh bagian dalam (G-force), dan kaki (tekanan pedal).1

Ketika Anda menghilangkan umpan balik fisik (seperti di simulator), "Proses 2" rusak. Otak Anda tidak bisa merasakan deselerasi, jadi ia berteriak, "Saya tidak melambat! Tekan lebih keras!"

Ini adalah wawasan besar bagi siapa saja yang mencoba melatih AI untuk mobil otonom hanya dengan menggunakan simulasi visual. Jika Anda melatih AI Anda di dunia tanpa fisika yang dapat dirasakan, AI itu tidak akan pernah mengerti mengapa pengeremannya membuat penumpang manusia mual.

Menyelam ke Dalam Otak: Memodelkan "Rasa Tidak Nyaman" dan "Akumulasi Bukti"

Tesis ini tidak berhenti pada "kapan" dan "seberapa keras". Ia bertanya "mengapa". Dan ini membawa kita ke model perilaku manusia yang paling canggih.

Bukan Sekadar Angka, Ini soal "Perasaan" (Paper III)

Ini mungkin bagian paling brilian dari tesis ini. Para peneliti tidak hanya mengukur pengereman; mereka mengukur perasaan. Mereka mengembangkan model untuk memprediksi "skor ketidaknyamanan yang dialami" (experienced discomfort score) pengemudi.1

Secara manusiawi, ini adalah cara akademis untuk mengatakan "perasaan 'Oh, sial!' di dalam perut Anda".

Dan mereka menemukan korelasi langsung: Semakin rendah "waktu kemunculan" (appearance time), semakin tinggi "skor ketidaknyamanan" yang dilaporkan.1 Tiba-tiba, kita memiliki model matematis untuk "perasaan Oh, sial!" itu.

Otak Anda sebagai Mesin Penimbang Bukti (Paper IV)

Paper IV melangkah lebih jauh, membangun model komputasi penuh tentang bagaimana otak memutuskan untuk mengerem.1 Model ini didasarkan pada prinsip "akumulasi bukti" (evidence accumulation), yang berasal langsung dari ilmu saraf.1 Otak bukanlah saklar "on/off"; ia adalah mesin penimbang probabilitas.

Bayangkan otak Anda memiliki dua timbangan:

  1. Timbangan 1: "Bukti untuk Mengerem" (Eksitasi). Model ini menggunakan isyarat visual yang disebut "looming".1 Ini adalah tingkat di mana sebuah objek (pesepeda) membesar di bidang pandang Anda. Semakin cepat ia membesar, semakin banyak "bukti" untuk mengerem.

  2. Timbangan 2: "Bukti untuk Tidak Mengerem" (Inhibisi). Model ini menggunakan isyarat yang disebut "projected post-encroachment time" (PET_proj).1 Ini pada dasarnya adalah perhitungan visual yang rumit dari, "Jika saya terus melaju, apakah saya akan melewatinya dengan aman (di belakangnya)?" Jika ya, ini menambahkan "bukti" untuk tidak mengerem.

Pengereman terjadi ketika "Bukti untuk Mengerem" (Looming) secara meyakinkan melebihi "Bukti untuk Tidak Mengerem" (PET_proj).

Ini adalah lompatan besar dari "waktu reaksi" sederhana. Ini menunjukkan bahwa mengemudi yang aman bukanlah refleks, melainkan perhitungan probabilistik bawah sadar yang konstan. Tujuannya sekarang jelas: Peringatan Tabrakan Depan (FCW) seharusnya tidak memberi tahu Anda "Anda akan menabrak." Seharusnya ia memberi tahu Anda, "Tingkat ketidaknyamanan Anda akan menembus atap" (menggunakan model Paper III).

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan (dan Sedikit Kritik Halus Wajib)

Tesis ini luar biasa, tetapi sebagai seorang penulis sains, saya tidak bisa tidak melihat beberapa keterbatasan.

Pertama, kritik halus wajib saya: Meski temuannya hebat, cara analisanya—terutama model komputasi di Paper IV—agak terlalu abstrak untuk pemula. Istilah seperti "projected post-encroachment time" 1 adalah mimpi buruk untuk diterjemahkan. Ini akurat secara teknis, tetapi ada "lembah ketidakjelasan" antara model komputasi ini dan tim desain produk yang perlu menggunakannya.

Kedua, ada asumsi besar dalam model Paper IV: ia mengasumsikan "pengemudi yang perhatian penuh" (fully attentive driver).1 Ini, bagi saya, adalah kelemahan terbesarnya. Di dunia nyata, masalahnya sering kali bukan karena otak gagal menghitung looming; masalahnya adalah otak sedang memeriksa Instagram. Model ini brilian untuk pengemudi yang ideal, tetapi mungkin gagal untuk pengemudi yang nyata dan terdistraksi.

Ketiga, dan ini adalah keterbatasan terbesar (yang diakui oleh penulis sendiri di Bab 9.2) 1: seluruh studi ini memakai kacamata kuda.

Penelitian ini hanya menganalisis pengemudi.

Tetapi interaksi di persimpangan adalah tarian sosial dua arah. Bagaimana dengan kontak mata? Bagaimana dengan si pesepeda yang melambat atau mengangguk? Bagaimana dengan bahasa tubuh?.1 Ini semua adalah "data gelap" sosial yang diabaikan oleh model fisika/visual murni. Ini adalah langkah besar berikutnya yang perlu dipecahkan.

Meskipun demikian, implikasinya sangat besar:

  • Untuk Euro NCAP: Berhentilah menguji hanya pada skenario yang terlihat jelas. Buat skenario "waktu kemunculan rendah" yang sulit. Hadiahi mobil yang memperingatkan pengemudi sebelum tingkat "ketidaknyamanan" mereka menjadi panik.1

  • Untuk Desainer Sistem (ISS/AEB): Berhenti mendesain untuk "waktu-reaksi-ke-tabrakan" yang sederhana. Mulailah mendesain untuk "ambang ketidaknyamanan manusia" [Paper III].

  • Untuk Kita (Para Profesional): Ini adalah pelajaran master dalam human-centric design. Anda tidak dapat mengotomatiskan proses (seperti mengemudi) tanpa terlebih dahulu memahami psikologi mendalam dari orang yang melakukannya. Proses yang Anda desain, baik itu alur kerja perangkat lunak atau sistem keselamatan mobil, harus selaras dengan model mental pengguna.

Memahami model mental dan proses psikologis ini adalah inti dari manajemen proyek dan desain produk yang hebat. Jika Anda ingin belajar lebih banyak tentang bagaimana merancang dan mengelola sistem kompleks yang benar-benar berfungsi untuk manusia, bukan melawan mereka, Anda bisa memulainya dengan kursus manajemen proyek di(https://diklatkerja.com).

Garis Akhir: Mobil Kita Perlu Belajar Merasa Takut (Sedikit Saja)

Apa yang ditunjukkan oleh tesis Boda adalah bahwa ISS di masa depan tidak hanya membutuhkan sensor yang lebih baik. Mereka membutuhkan model psikologis yang lebih baik.

Mobil kita tidak perlu kesadaran, tetapi mereka perlu belajar "merasa tidak nyaman". Mereka perlu memodelkan "perasaan Oh, sial!" itu [Paper III] sehingga mereka dapat membantu kita sebelum kita merasakannya. Kita tidak hanya mengotomatiskan tugas mengemudi; kita sedang dalam proses mengotomatiskan tugas yang jauh lebih sulit: mengelola ketidaknyamanan dan risiko.

Lain kali Anda berada di persimpangan, perhatikan. Perhatikan kapan Anda pertama kali melihat pejalan kaki atau pesepeda itu. Sadarilah seberapa cepat otak Anda menghitung looming vs. pet secara tidak sadar. Itulah momen di mana data terpenting baru saja dibuat.

Kalau kamu tertarik dengan ini, dan benar-benar ingin tahu bedanya simulator dan trek uji (favorit pribadi saya adalah Paper II), coba baca paper aslinya.

(https://doi.org/10.1016/j.aap.2017.11.032)

Selengkapnya
Saya Hampir Menabrak Pesepeda—Dan Mengapa Mobil "Pintar" Anda Mungkin Akan Melakukan Hal yang Sama

Kebijakan Publik

Saya Membaca 124 Halaman Laporan PBB tentang Jalanan di Moldova. Ini Adalah Satu Hal yang Paling Mengejutkan.

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 13 November 2025


Oke, jujur saja. Saya baru saja menghabiskan akhir pekan saya membaca "Laporan Kinerja Keselamatan Jalan Moldova" (RSPR) setebal 124 halaman dari PBB. Saya tahu apa yang Anda pikirkan—itu terdengar seperti cara yang paling tidak menyenangkan untuk menghabiskan waktu luang.   

Tetapi inilah masalahnya: tersembunyi di balik jargon birokrasi seperti "koordinasi horizontal," "kerangka kerja kelembagaan," dan "instrumen hukum yang relevan," ada sebuah drama manusiawi yang mendesak. Laporan ini  pada dasarnya adalah sebuah cerita detektif. Sebuah investigasi forensik tentang mengapa begitu banyak orang meninggal sia-sia di jalanan negara kecil di Eropa Timur ini.   

Membaca dokumen ini rasanya seperti seorang mekanik senior membuka kap mobil yang mogok. Dari luar, Anda hanya melihat mobilnya—jalanan, kemacetan, lalu lintas sehari-hari. Tapi laporan ini membuka kap mesin dan menunjukkan kepada kita semua bagian yang retak, kabel yang putus, dan cairan yang bocor. Dan percayalah, banyak sekali yang bocor.

Inilah statistik yang menjadi "tersangka utama" dan langsung mengejutkan saya: tingkat kematian di jalan raya Moldova adalah dua kali lipat rata-rata Uni Eropa.   

Mungkin Anda berpikir, "Wajar saja, mungkin semua orang di sana punya mobil dan berkendara ugal-ugalan." Tapi di sinilah letak misterinya. Laporan itu juga menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan mobil di Moldova sebenarnya 2,5 kali lebih rendah dari rata-rata Uni Eropa.   

Coba renungkan sejenak. Lebih sedikit mobil, tapi dua kali lipat lebih banyak kematian. Bagaimana bisa?

Jawabannya, seperti yang diungkapkan oleh laporan ini, adalah badai sempurna dari mobil-mobil tua, desain jalan era Soviet, dan—yang paling penting—vakum kepemimpinan yang nyata. Laporan ini  bukan hanya tentang Moldova. Ini adalah studi kasus yang menakjubkan tentang bagaimana sebuah sistem gagal dan apa yang diperlukan untuk memperbaikinya.   

## Biaya Sebenarnya dari 'Sistem yang Retak'

Kita sering berbicara tentang "tragedi manusia" dari sebuah kecelakaan, dan itu sangat nyata. Laporan ini dengan gamblang mencatat 217 kematian dan 2.604 cedera hanya pada tahun 2022. Setiap angka itu adalah sebuah keluarga yang hancur.   

Tetapi para pembuat kebijakan—orang-orang yang memegang kendali anggaran—seringkali baru benar-benar 'mendengarkan' ketika Anda membicarakan uang. Dan angka-angka di laporan ini sangat, sangat mengejutkan.

Menggunakan model perhitungan konservatif (iRAP), laporan ini memperkirakan bahwa kecelakaan di jalan raya merugikan Moldova USD $172,76 juta setiap tahun.   

Itu setara dengan 1,26% dari seluruh PDB mereka. Bayangkan negara Anda mengambil lebih dari 1% dari seluruh output ekonomi tahunannya dan, pada dasarnya, membakarnya di tumpukan rongsokan mobil di pinggir jalan.   

Dan tunggu dulu, itu adalah perkiraan yang rendah. Laporan tersebut mencatat bahwa jika Moldova menggunakan metode perhitungan biaya yang lebih komprehensif seperti yang digunakan di Uni Eropa, kerugian tahunannya bisa mencapai 10,5% dari PDB. Itu bukan lagi kebocoran; itu adalah pendarahan ekonomi yang masif.   

Di sinilah saya menemukan apa yang saya sebut sebagai "perangkap kemiskinan keselamatan". Laporan ini menunjukkan bahwa korban tewas dan cedera paling banyak berasal dari kelompok usia 31-64 tahun —usia kerja paling produktif. Jadi, negara kehilangan pekerja paling vitalnya, yang selanjutnya menekan ekonomi.   

Pada saat yang sama, laporan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pendanaan khusus untuk keselamatan jalan "tidak mencukupi dan tidak berkelanjutan".   

Ini adalah lingkaran setan yang brutal: Moldova tidak punya cukup uang untuk berinvestasi dalam pencegahan (jalan yang lebih aman, penegakan hukum yang lebih baik, ambulans baru) karena mereka menghabiskan begitu banyak uang untuk mengatasi akibat dari kegagalan pencegahan (biaya medis, kehilangan produktivitas, layanan darurat). Mereka terjebak.

## Apa yang Paling Membuat Saya Terkaget: Tiga Bom Waktu di Jalanan Moldova

Saat saya menggali lebih dalam data, saya menemukan tiga "bom waktu" utama yang menjelaskan mengapa tingkat kematian begitu tinggi. Ini bukan hanya satu hal; ini adalah kombinasi mematikan dari faktor-faktor yang saling memperburuk.

### Bom Waktu #1: Armada Mobil Zombie

Ini adalah statistik yang membuat saya ternganga: 70% dari semua mobil penumpang di Moldova berusia lebih dari 15 tahun.   

Tujuh dari sepuluh mobil di jalan berasal dari era sebelum fitur keselamatan modern seperti Electronic Stability Control (ESC) atau kantung udara samping menjadi standar.

Bayangkan jika 70% ponsel di negara Anda adalah Nokia 3310. Tentu, mereka masih bisa menelepon dan mengirim SMS. Tapi Anda tidak bisa menjalankan aplikasi perbankan modern, tidak ada keamanan data biometrik, tidak ada GPS yang layak. Armada mobil Moldova adalah ekuivalen dari itu. Mereka berfungsi, tetapi mereka sama sekali tidak memiliki teknologi perlindungan keselamatan pasif dan aktif yang kita andalkan di mobil-mobil baru.

Sekarang, ambil armada tua itu dan masukkan ke dalam data lain yang saya temukan: tingkat kematian per 100.000 kendaraan di Moldova adalah sekitar 3,5 kali lebih tinggi dari rata-rata Uni Eropa.   

Itu dia. Mobil yang lebih tua secara fundamental kurang aman. Ketika terjadi kesalahan—dan kesalahan pasti terjadi—konsekuensinya jauh lebih fatal.

Laporan ini  tentu saja merekomendasikan untuk memperbaiki ini. Rekomendasi A3.2, misalnya, adalah tentang "sepenuhnya mentransposisikan... kerangka peraturan PBB dan UE" ke dalam undang-undang nasional. Tapi di sinilah letak dilema kebijakan yang sangat berat yang tidak terlalu dibahas oleh laporan ini:   

Bagaimana Anda bisa memberlakukan standar keselamatan abad ke-21 pada armada kendaraan abad ke-20 tanpa secara efektif membuat 70% populasi Anda tidak bisa memiliki mobil? Ini adalah masalah keadilan ekonomi sekaligus masalah keselamatan.

Lebih buruk lagi, laporan tersebut menemukan bahwa proses saat ini untuk menyetujui dan menginspeksi kendaraan adalah 'Wild West'. Dalam tabel yang sangat teknis (Tabel 16), tingkat harmonisasi Moldova dengan standar internasional untuk kendaraan mendapat nilai "Rendah" di hampir semua lini.   

Faktanya, salah satu rekomendasi utama (A3.3) adalah "Menunjuk otoritas nasional yang bertanggung jawab atas persetujuan kendaraan...". Ini menyiratkan bahwa saat ini, tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab.   

### Bom Waktu #2: Warisan 'Jalan Cepat' Era Soviet

Data menunjukkan bahwa penyebab utama dari 51,3% kematian di jalan adalah... kecepatan.   

Reaksi pertama kita adalah menyalahkan "pengemudi gila". Tetapi laporan ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam: ini bukan hanya pengemudi; ini adalah desain jalan yang secara aktif mendorong kecepatan berbahaya.

Ini adalah bagian paling menarik yang saya temukan, yang tersembunyi di bagian "Jalan yang Lebih Aman". Laporan itu mencatat bahwa desain jalan di Moldova "sebagian besar didasarkan pada kerangka kerja teknis Uni Soviet (SNiP dan GOST)" dari 30-40 tahun yang lalu.   

Standar-standar ini, jika Anda memikirkannya, dirancang untuk tujuan yang sangat berbeda: memindahkan alat berat militer dan barang jarak jauh dengan cepat. Jalan-jalan itu lebar, lurus, dan cepat. Mereka tidak pernah benar-benar peduli pada seorang nenek yang mencoba menyeberang jalan untuk membeli roti.

Di sinilah letak tragedinya. Setelah tahun 1990, Moldova mulai "memodernisasi" jalan-jalan ini. Tapi... mereka "memodernisasi" jalan-jalan yang "berjalan melewati desa-desa dan tidak memiliki jalan lingkar".   

Apa hasilnya? Laporan itu menyatakannya dengan gamblang: "modernisasi jalan-jalan ini... telah menyebabkan peningkatan kecepatan operasional kendaraan," yang pada gilirannya "menyebabkan peningkatan jumlah kecelakaan (khususnya, yang melibatkan pejalan kaki)".   

Ini adalah contoh buku teks tentang "niat baik, hasil buruk". Mereka menghabiskan uang untuk "memperbaiki" jalan, yang membuatnya lebih mulus dan cepat, tetapi mereka secara efektif membangun jalan raya berkecepatan tinggi tepat di tengah-tengah lingkungan perumahan.

Mereka tidak memperbaiki jalan; mereka membangun jebakan maut bagi pejalan kaki.

Dan siapa yang membayar harganya? Pejalan kaki. Mereka adalah kelompok korban nomor satu, yang mencakup 37,9% dari semua kematian di jalan raya.   

  • 💡 Pelajaran: "Jalan mulus" tidak sama dengan "jalan bagus." Pelajaran di sini adalah bahwa jalan yang aman adalah jalan yang sesuai dengan konteksnya. Jalan raya pedesaan seharusnya tidak terlihat sama dengan jalan utama di desa. Rekomendasi laporan untuk akhirnya mengadopsi Audit & Inspeksi Keselamatan Jalan (RISM) modern (A2.1, A2.8)  adalah upaya putus asa untuk menghentikan pembangunan "jebakan maut" yang didanai publik ini.   

### Bom Waktu #3: Kapal Tanpa Kapten (Manajemen yang Hilang)

Laporan ini  penuh dengan frasa sopan PBB seperti "perlu koordinasi vertikal dan horizontal yang lebih baik".   

Sebagai seorang peneliti kebijakan, izinkan saya menerjemahkan itu untuk Anda: Tidak ada yang bertanggung jawab.

Bayangkan Anda mengatur tim untuk sebuah proyek besar di kantor. Laporan ini pada dasarnya mengatakan: "Kapten" proyek—Dewan Keselamatan Jalan Nasional (NRSC)—mandatnya berakhir pada tahun 2020. Tidak ada yang terjadi. Dewan itu baru "dihidupkan kembali" pada Mei 2023.   

Selama tiga tahun kritis, tidak ada kapten sama sekali.

Dan bahkan sekarang setelah "dihidupkan kembali," laporan itu dengan datar mencatat bahwa "tidak ada sekretariat permanen" untuk dewan tersebut. Ini adalah "dewan" yang sebagian besar hanya ada di atas kertas.   

Apa yang terjadi jika tidak ada kapten? Tidak ada yang mengendalikan anggaran.

Laporan tersebut menemukan bahwa pendanaan keselamatan jalan "tidak mencukupi dan tidak berkelanjutan," dan anggaran yang ada "tersembunyi" di dalam pos-pos umum kementerian lain. Tidak ada yang tahu persis berapa banyak yang sebenarnya dibelanjakan untuk keselamatan, dan tidak ada satu orang pun yang bertanggung jawab untuk itu.   

  • 🧠 Inovasinya (Yang Sebenarnya Mendasar): Rekomendasi paling penting dalam 124 halaman ini bukanlah tentang batas kecepatan atau sabuk pengaman. Ini adalah Rekomendasi A1.2: "Menghidupkan kembali/memberdayakan Dewan Keselamatan Jalan Nasional (NRSC) sebagai badan utama untuk manajemen keselamatan jalan...".   

Tanpa ini, setiap rekomendasi teknis lainnya dalam laporan itu hanyalah angan-angan. Ini adalah domino pertama yang harus jatuh. Anda tidak dapat memperbaiki mobil jika tidak ada mekanik yang memegang kunci pas.

## Hal-Hal Kecil yang Ternyata Berdampak Besar (Dan Bisa Kita Terapkan Hari Ini)

Di luar masalah sistemik besar seperti armada zombie dan jalanan Soviet, laporan ini  penuh dengan wawasan spesifik yang menunjukkan betapa pentingnya setiap detail kecil dalam rantai keselamatan.   

### Paradoks "Golden Hour": Ambulans Usang dan Polisi yang Tidak Terlatih

Kita semua pernah mendengar tentang "Golden Hour"—waktu kritis satu jam setelah kecelakaan di mana intervensi medis yang cepat dapat menyelamatkan nyawa.

Laporan ini  mencatat bahwa Moldova memiliki sistem modern untuk ini. Mereka punya nomor darurat tunggal 112  dan kru ambulans mereka mengakui prinsip "Golden Hour".   

Lalu di mana masalahnya? Di sinilah sistem itu runtuh berkeping-keping.

Laporan tersebut menemukan fakta yang mencengangkan: 63% dari total armada ambulans di Moldova memiliki "tingkat keausan yang ekstrem".   

Bayangkan Anda mengalami kecelakaan parah. Anda menelepon 112. Dan ambulans yang dikirim untuk menyelamatkan hidup Anda adalah kendaraan rongsokan yang nyaris tidak bisa berjalan. Laporan itu mencatat bahwa armada itu "sangat usang, terutama di daerah pedesaan".   

Ini adalah mata rantai yang putus. Dan ada satu lagi.

Seringkali, petugas polisi adalah yang pertama tiba di tempat kejadian. Laporan itu mencatat bahwa "Sekitar 60% awak polisi dilatih dalam pertolongan pertama". Itu terdengar lumayan... sampai Anda menyadari artinya: ada 40% kemungkinan petugas yang tiba pertama kali sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghentikan pendarahan Anda.   

Rekomendasi laporan untuk "melatih petugas polisi" (A5.4) dan "memodernisasi armada ambulans" (A5.8)  bukanlah birokrasi kecil. Itu adalah perbedaan literal antara hidup dan mati di pinggir jalan.   

### Kebijakan Cerdas (dan Murah): Tidak Semua Pengemudi Sama

Saya sering mengkritik kebijakan "satu ukuran untuk semua", dan saya senang melihat laporan ini  setuju.   

Laporan ini membahas masalah besar mengemudi dalam keadaan mabuk (DUI). Data menunjukkan tren kecelakaan, kematian, dan cedera akibat DUI semuanya meningkat antara 2017 dan 2022.   

Batas legal alkohol dalam darah (BAC) di Moldova saat ini adalah 0,15 mg/l di udara hembusan. Alih-alih hanya menurunkannya untuk semua orang, laporan ini membuat rekomendasi yang sangat cerdas (A4.3): "Membedakan tingkat BAC yang diizinkan" tergantung pada pengemudinya.   

Mereka mengusulkan untuk menurunkannya menjadi nol (0.0 BAC) untuk dua kelompok berisiko tinggi:

  1. Pengemudi pemula (yang belum berpengalaman).

  2. Pengemudi profesional (sopir bus, truk, taksi).

Ini brilian. Ini adalah kebijakan berbasis data yang berbiaya rendah namun berdampak tinggi. Laporan ini  mengakui bahwa risiko tidak terdistribusi secara merata. Seorang pengemudi berusia 18 tahun (bagian dari kelompok usia berisiko tinggi 15-24 tahun ) memiliki profil risiko yang sama sekali berbeda dari seorang komuter berusia 45 tahun. Dan seorang sopir bus memegang puluhan nyawa di tangannya. Ini adalah jenis kebijakan bernuansa yang harus ditiru oleh lebih banyak negara.   

### Akhirnya, Berpikir Seperti Manusia, Bukan Seperti Mobil

Selama beberapa dekade, perencanaan kota di seluruh dunia berpusat pada satu pertanyaan: "Bagaimana kita menggerakkan lebih banyak mobil dengan lebih cepat?"

Moldova tidak berbeda. Laporan ini  mencatat bahwa di ibu kota, Chisinau, mereka telah beroperasi dengan Rencana Tata Ruang Kota tahun 2007 di mana "rencana organisasi transportasi... tidak pernah disetujui". Hasilnya? "Kekacauan" alokasi lahan dan kota yang dibangun untuk mobil, bukan manusia.   

Dan kita tahu siapa yang kalah dalam desain ini.

  • 45% dari semua kecelakaan di perkotaan melibatkan pejalan kaki.   

  • Setengah dari semua kematian di negara itu adalah "pengguna jalan yang rentan" (pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara motor).   

Inilah sebabnya mengapa rekomendasi yang paling penuh harapan dalam keseluruhan laporan ini , bagi saya, adalah (A6.7) "mempromosikan pergeseran paradigma mobilitas".   

Ini adalah bahasa PBB yang sopan untuk "BERHENTI MEMBANGUN KOTA DI SEKITAR MOBIL."

  • 🚀 Hasilnya luar biasa (yang diusulkan): Ini berarti mengadopsi prinsip "Vision Zero" (A6.4), yang menerima bahwa manusia akan membuat kesalahan, jadi sistem jalan harus dirancang untuk memastikan kesalahan itu tidak berakibat fatal. Ini berarti secara agresif menerapkan zona 30 km/jam di dekat sekolah, taman, dan pusat kota—sesuatu yang baru-baru ini mulai mereka lakukan. Ini adalah pengakuan bahwa jalanan perkotaan adalah ruang hidup, bukan hanya saluran transportasi.   

## Kesimpulan Saya: Laporan Ini Bukan Cuma untuk Moldova

Setelah menghabiskan berjam-jam dengan 124 halaman ini , jelas bagi saya bahwa masalah mendasar Moldova bukanlah "pengemudi yang buruk". Masalahnya adalah sistem yang rusak parah yang membuat perilaku buruk menjadi tak terhindarkan dan konsekuensinya menjadi mematikan.   

Dan di sinilah letak kritik halus saya terhadap laporan itu sendiri.

Meskipun temuan laporan ini sangat kuat, cara analisanya disajikan... jujur saja, sangat abstrak dan birokratis. Laporan ini ditulis untuk institusi, bukan untuk manusia. Laporan ini gagal dalam tes penceritaan (storytelling). Saya harus menggali dan menyatukan titik-titik data dari halaman 63 (jalan Soviet), halaman 57 (modernisasi yang salah), dan halaman 34 (kematian pejalan kaki) untuk menemukan 'cerita' tentang bagaimana jalan raya era Soviet membunuh pejalan kaki.

Laporan itu sendiri tidak pernah menceritakan kisah itu secara eksplisit. Ini adalah kelemahan besar dari sebagian besar penulisan kebijakan: laporan ini mendiagnosis masalah dengan cemerlang tetapi gagal mengkomunikasikan urgensi manusianya.

Itulah mengapa laporan ini  penting, bahkan jika Anda tidak akan pernah menginjakkan kaki di Moldova. Ini adalah cermin.   

Ini memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang tempat kita sendiri. Apakah sistem di komunitas Anda dirancang untuk melindungi mobil atau manusia? Siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas keselamatan di lingkungan Anda—apakah ada "kapten" yang nyata, atau hanya sekelompok komite yang "tersembunyi"? Apakah kita berinvestasi dalam pencegahan, atau kita hanya membuang-buang uang untuk menutupi biaya kegagalan yang tragis?

Laporan ini, pada intinya, adalah tentang manajemen sistem yang kompleks. Ini adalah studi kasus masterclass tentang bagaimana data, kebijakan publik, dan manajemen aset (seperti ambulans, jalan raya, dan armada kendaraan) saling bersinggungan. Memperbaikinya membutuhkan lebih dari sekadar niat baik; itu membutuhkan keterampilan manajemen proyek, analisis data, dan kepemimpinan yang nyata.

Jika Anda adalah seorang profesional yang ingin belajar bagaimana mengelola proyek-proyek rumit seperti ini, atau bagaimana menerjemahkan data kompleks menjadi strategi yang dapat ditindaklanjuti untuk memperbaiki sistem yang rusak di organisasi Anda sendiri, Anda harus melihat kursus pengembangan profesional di(https://diklatkerja.com). Mereka berspesialisasi dalam jenis keterampilan dunia nyata yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan berat dalam perbaikan sistemik.

## Baca Sendiri 'Harta Karun' Ini (Jika Anda Berani)

Kalau kamu seorang 'data nerd' seperti saya, atau jika kamu benar-benar peduli tentang bagaimana membuat dunia kita sedikit lebih aman, saya sangat merekomendasikan untuk membaca setidaknya Ringkasan Eksekutif dan bagian Kesimpulan (Bab 5) dari laporan ini.

Ini padat, ini teknis, tapi ini adalah masterclass dalam analisis sistemik. Jangan bilang saya tidak memperingatkan Anda.

(https://doi.org/10.18356/9789213589182)

Selengkapnya
Saya Membaca 124 Halaman Laporan PBB tentang Jalanan di Moldova. Ini Adalah Satu Hal yang Paling Mengejutkan.

Kebijakan Publik

Dampak Sosial Road Pricing: Mengelola Kemacetan dengan Keadilan dan Efisiensi di Kota Modern

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 13 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Laporan International Transport Forum (ITF) tahun 2018 menyoroti road pricing—penetapan tarif penggunaan jalan berdasarkan waktu dan lokasi—sebagai instrumen efektif mengatasi kemacetan. Namun, temuan ini penting karena menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya isu ekonomi atau teknis, melainkan persoalan sosial yang kompleks.

Penerapan road pricing dapat mengubah pola mobilitas, memengaruhi distribusi pendapatan, dan membentuk ulang tata ruang kota. Oleh karena itu, memahami dampak sosial dan ekonomi kebijakan ini sangat penting untuk memastikan bahwa upaya pengelolaan lalu lintas tidak memperlebar kesenjangan sosial. Bagi Indonesia, kebijakan seperti Electronic Road Pricing (ERP) yang direncanakan di Jakarta memerlukan pendekatan berbasis bukti dan keadilan sosial agar efektif dan dapat diterima publik.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penelitian ITF menunjukkan bahwa penerapan road pricing di Stockholm, London, dan Singapura memberikan hasil nyata: kemacetan turun hingga 20–30% dan kualitas udara meningkat. Pendapatan tarif jalan juga digunakan untuk memperluas layanan transportasi publik.

Hambatan utama implementasi:

  • Penolakan publik akibat persepsi tidak adil bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

  • Keterbatasan infrastruktur transportasi publik sebagai alternatif perjalanan.

  • Kurangnya transparansi penggunaan pendapatan tarif jalan.

Peluang besar terbuka melalui integrasi kebijakan ini dengan modernisasi transportasi publik, digitalisasi pembayaran, dan edukasi publik.

Untuk memperkuat kapasitas pembuat kebijakan dalam hal ini, artikel seperti Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik dapat membantu memahami kompleksitas sosial dan ekonomi dalam perencanaan transportasi.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Desain Tarif Berdasarkan Waktu dan Lokasi: Terapkan tarif dinamis pada jam sibuk dan area padat untuk mengatur permintaan, bukan sekadar mengumpulkan pendapatan.

  2. Gunakan Pendapatan untuk Transportasi Publik: Dana hasil road pricing harus dikembalikan ke masyarakat melalui peningkatan layanan bus, MRT, dan fasilitas pejalan kaki.

  3. Perkuat Sistem Evaluasi Sosial: Lakukan social impact assessment (SIA) untuk menilai dampak terhadap kelompok berpenghasilan rendah sebelum dan sesudah implementasi.

  4. Edukasi Publik dan Transparansi Anggaran: Sosialisasi yang terbuka tentang tujuan, manfaat, dan penggunaan dana dapat meningkatkan dukungan masyarakat.

  5. Kombinasikan dengan Insentif Mobilitas Berkelanjutan: Sediakan insentif bagi pengguna kendaraan listrik atau transportasi umum, agar kebijakan lebih inklusif dan pro-lingkungan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan road pricing berisiko gagal bila hanya difokuskan pada aspek finansial dan teknologi tanpa mempertimbangkan keadilan sosial. Potensi kegagalan meliputi dampak regresif terhadap masyarakat miskin, pengelolaan dana yang tidak transparan, dan ketidaksiapan sistem transportasi umum sebagai penopang utama mobilitas.

Untuk menghindari hal ini, kebijakan harus berbasis transparansi, inklusivitas, dan perencanaan lintas sektor.

Penutup

Road pricing adalah inovasi kebijakan yang tidak hanya bertujuan mengurangi kemacetan, tetapi juga mengubah perilaku mobilitas. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada desain sosial-ekonomi yang adil dan dukungan publik yang kuat. Bagi Indonesia, penerapan ERP harus disertai investasi besar pada transportasi umum dan perencanaan yang partisipatif dan berbasis bukti.

Sumber

International Transport Forum (OECD/ITF). (2018). The Social Impacts of Road Pricing: Summary and Conclusions (Roundtable 170). Paris: OECD Publishing.

Selengkapnya
Dampak Sosial Road Pricing: Mengelola Kemacetan dengan Keadilan dan Efisiensi di Kota Modern

Pembangunan Berkelanjutan

Dampak Sosial Pembangunan Infrastruktur Jalan terhadap Komunitas Lokal

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 13 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini menyoroti bahwa pembangunan infrastruktur jalan bukan hanya investasi ekonomi, tetapi juga intervensi sosial yang signifikan. Jalan yang lebih baik dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja, namun juga dapat menimbulkan efek samping seperti perubahan pola sosial, urbanisasi, serta ketimpangan dalam distribusi manfaat.

Dalam konteks kebijakan publik, temuan ini memperkuat urgensi penerapan Social Impact Assessment (SIA) sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek jalan. Kebijakan berbasis bukti ini membantu pemerintah memahami dampak sosial jangka panjang dan memastikan pembangunan berjalan inklusif serta berkelanjutan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penelitian menemukan bahwa proyek jalan dapat menghasilkan berbagai dampak sosial:

  • Dampak positif: peningkatan mobilitas, pertumbuhan ekonomi lokal, dan peluang kerja baru.

  • Dampak negatif: perpindahan penduduk, hilangnya lahan pertanian, dan ketimpangan ekonomi antarwilayah.

Hambatan utama dalam penerapan kebijakan berbasis dampak sosial:

  • Kurangnya kapasitas lembaga dalam melakukan SIA secara sistematis.

  • Minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan proyek.

  • Lemahnya koordinasi antara instansi pembangunan dan lembaga sosial.

Namun, peluang besar muncul melalui penerapan digital social monitoring tools dan partisipasi publik berbasis komunitas dalam pengawasan proyek.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan Social Impact Assessment (SIA) untuk Semua Proyek Jalan: Setiap proyek harus menyertakan analisis sosial yang menilai dampak terhadap masyarakat lokal sejak tahap perencanaan.

  2. Perkuat Keterlibatan Komunitas Lokal: Masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk memastikan manfaat pembangunan dirasakan secara merata.

  3. Integrasikan Aspek Sosial dengan Evaluasi Ekonomi: SIA perlu dikaitkan dengan analisis biaya-manfaat agar kebijakan tidak hanya fokus pada nilai ekonomi.

  4. Gunakan Teknologi untuk Monitoring Dampak Sosial: Sistem digital berbasis data spasial dapat membantu melacak perubahan sosial akibat proyek infrastruktur.

  5. Bangun Kapasitas SDM Pemerintah dan Konsultan Sosial: Artikel seperti Perencanaan Perkotaan: Membangun Masa Depan Kota yang Berkelanjutan dapat memperkuat kompetensi perencana kebijakan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pembangunan jalan sering kali gagal ketika hanya menitikberatkan pada hasil fisik proyek. Risiko yang dapat terjadi antara lain: evaluasi sosial yang bersifat formalitas, minimnya keterlibatan masyarakat menyebabkan resistensi sosial, dan ketimpangan manfaat.

Oleh karena itu, diperlukan integrasi kebijakan yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan (people-centered development).

Penutup

Pembangunan jalan harus dipahami sebagai proyek sosial-ekonomi terpadu. Pendekatan yang menyeimbangkan antara efisiensi ekonomi dan kesejahteraan sosial akan memastikan bahwa setiap kilometer jalan yang dibangun benar-benar memperkuat keadilan sosial, konektivitas, dan kualitas hidup masyarakat.

Sumber

Jones, P., & Lucas, K. (2012). Social Impacts Arising from Road Infrastructure Projects. Journal of Transport Geography, Vol. 25, 2012.

Selengkapnya
Dampak Sosial Pembangunan Infrastruktur Jalan terhadap Komunitas Lokal

Perumahan dan Permukiman

Sirkularitas di Kota Informal: Tinjauan Kritis terhadap Dampak Lingkungan dari Konsolidasi Perumahan di Lima

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah paradoks dalam pembangunan perkotaan di negara-negara berkembang. Permukiman informal (IS)—dicirikan oleh proses pembangunan mandiri, kemiskinan ekstrem, dan ketidakstabilan hukum —merupakan bentuk utama perumahan yang terjangkau. Di kota-kota seperti Lima, hunian ini mengalami proses "konsolidasi" bertahap, bertransformasi dari hunian sementara (misalnya, dari anyaman jerami) menjadi bangunan beton dan bata permanen selama beberapa dekade.   

Meskipun proses konsolidasi ini secara signifikan meningkatkan kelayakhunian (habitability), penelitian ini mengangkat masalah krusial: dampak lingkungan yang terwujud (embodied environmental impacts) dari proses ini meningkat secara eksponensial. Walaupun praktik penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycling) sudah ada karena kelangkaan material, praktik tersebut tidak selaras dengan pertimbangan keberlanjutan jangka panjang. Hipotesis utama dari studi ini adalah bahwa penerapan strategi sirkular—khususnya dekonstruksi selektif dan daur ulang material—pada tahap akhir masa pakai (End-of-Life - EoL) dari hunian yang dibangun sendiri dapat secara signifikan mengurangi dampak lingkungan dibandingkan dengan praktik pembuangan ke TPA (landfilling) konvensional.   

 

Metodologi dan Kebaruan

 

Studi ini mengadopsi metodologi Penilaian Siklus Hidup (Life Cycle Assessment - LCA) kuantitatif dengan pendekatan "cradle-to-grave" (dari awal hingga akhir). Proses metodologisnya melibatkan beberapa langkah kunci:   

  1. Pengembangan Model: Sebuah "model rata-rata perumahan informal" dikembangkan menggunakan Building Information Modeling (BIM) (khususnya Autodesk REVIT) untuk menghasilkan daftar material (Bill of Materials - BOM) yang lengkap.   

  2. Pengumpulan Data Primer: Model BIM ini didasarkan pada data empiris yang dikumpulkan melalui survei dan wawancara terstruktur dengan 24 pemilik rumah di tiga distrik di Lima pada tahun 2020, yang memetakan empat tahap konsolidasi yang berbeda.   

  3. Analisis Skenario: Studi ini mengevaluasi dampak lingkungan dari tiga skenario EoL yang berbeda: S1 (Dekonstruksi Selektif) untuk penggunaan kembali dan daur ulang bernilai tinggi, S2 (Daur Ulang), dan S3 (Landfill/TPA), yang menjadi skenario dasar.   

  4. Simulasi: Analisis LCA dilakukan menggunakan perangkat lunak GaBi dengan basis data Ecoinvent v3.8. Pendekatan "beban yang dihindari" (avoided burden) digunakan untuk memberikan "kredit" lingkungan pada material yang didaur ulang.   

Kebaruan dari karya ini terletak pada kuantifikasi rigor dari proses yang seringkali dianggap tidak terstruktur. Dengan menerapkan LCA dan BIM pada perumahan informal, penelitian ini memberikan data konkret mengenai dampak lingkungan dari proses konsolidasi dan potensi nyata dari ekonomi sirkular di konteks Global South.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis LCA menghasilkan serangkaian temuan yang jelas mengenai di mana dan bagaimana dampak lingkungan terjadi.

  1. Konsolidasi Meningkatkan Dampak: Temuan utama mengonfirmasi bahwa setiap tahap konsolidasi—beralih dari material ringan ke material permanen seperti batu bata tanah liat bakar, beton, dan baja—menyebabkan "peningkatan signifikan dalam dampak lingkungan terwujud".   

  2. Sumber Emisi: Mayoritas dampak di semua skenario terjadi selama fase awal siklus hidup, yaitu pengadaan material dan manufaktur. Secara spesifik, rakitan beton dan bata menyumbang 93% dari total penggunaan sumber daya fosil.   

  3. Potensi Strategi Sirkular: Temuan paling signifikan adalah potensi transformatif dari strategi EoL. Dibandingkan dengan skenario dasar TPA (S3), skenario S1 (Dekonstruksi Selektif) mengurangi emisi GHG sebesar 60%, dan skenario S2 (Daur Ulang) menguranginya sebesar 30%.   

  4. Trade-off Kelayakhunian vs. Dampak: Studi ini secara kritis menyoroti adanya trade-off. Tahap-tahap awal perumahan informal memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah karena penggunaan material yang ringan dan sementara. Namun, hunian ini sering kali gagal memenuhi standar dasar daya tahan, keamanan, dan kenyamanan. Sebaliknya, fase konsolidasi selanjutnya berhasil meningkatkan kelayakhunian, tetapi dengan biaya lingkungan yang sangat tinggi.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini. Pertama, keterbatasan pengambilan sampel; model ini didasarkan pada 24 kasus di tiga distrik, yang mungkin tidak mewakili semua tipologi permukiman informal di Lima atau Amerika Latin, sehingga membatasi generalisasi temuan.   

Kedua, dan yang paling penting, studi ini secara eksplisit menyatakan bahwa penilaian kelayakhunian (habitability) dan ekonomi berada di luar cakupan. Ini berarti bahwa trade-off krusial antara kinerja lingkungan, kualitas hunian, dan efektivitas biaya—faktor-faktor yang sangat penting bagi penduduk berpenghasilan rendah—tidak dianalisis.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, temuan ini memberikan peta jalan yang jelas bagi pembuat kebijakan. Untuk mewujudkan potensi pengurangan emisi ini, diperlukan intervensi yang ditargetkan. Rekomendasi utama meliputi:

  1. Memprioritaskan penciptaan pusat pemulihan dan daur ulang material lokal.   

  2. Mendorong insentif finansial dan regulasi, seperti keringanan pajak, subsidi yang ditargetkan, dan program sertifikasi sukarela untuk perumahan informal yang berkelanjutan.   

  3. Pemerintah dapat mempromosikan fasilitas yang bertindak sebagai pusat terpusat untuk menyimpan dan menyortir material bekas guna memfasilitasi praktik dekonstruksi selektif.   

Untuk penelitian di masa depan, langkah berikutnya yang paling logis adalah mengatasi keterbatasan utama studi ini: yaitu, untuk menyelidiki trade-off antara kinerja lingkungan, kualitas hunian, dan efektivitas biaya.   

Sumber

Sarmiento-Pastor, J., Lira-Chirif, A., Rondinel-Oviedo, D. R., Keena, N., Dyson, A., Raugei, M., & Acevedo-De-los-Ríos, A. (2025). Implications of circular strategies on energy, water, and GHG emissions in informal housing in Lima. Energy & Buildings, 344, 115949.    

Selengkapnya
Sirkularitas di Kota Informal: Tinjauan Kritis terhadap Dampak Lingkungan dari Konsolidasi Perumahan di Lima
page 1 of 1.288 Next Last »