Infrastruktur Jalan

Penelitian Ini Mengungkap Algoritma Penentu Perbaikan Jalan di Medan – dan Ini Dampaknya Bagi Kota Anda!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Jalan berlubang, aspal retak, dan genangan air saat hujan adalah pemandangan yang terlalu akrab bagi jutaan warga Indonesia. Keluhan ini bukan sekadar soal ketidaknyamanan; ini adalah masalah ekonomi yang menggerus waktu, merusak kendaraan, dan bahkan mengancam keselamatan jiwa. Di balik setiap jalan rusak, ada dilema yang dihadapi oleh pemerintah daerah di seluruh negeri: dengan anggaran yang terbatas dan daftar jalan yang butuh perbaikan seolah tak berujung, jalan mana yang harus didahulukan?

Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi jawabannya sangat kompleks. Setiap keputusan melibatkan pertaruhan besar terhadap dana publik dan kepercayaan masyarakat. Di Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, para pejabat pemerintah menghadapi tantangan ini setiap hari. Mereka harus menentukan urutan prioritas perbaikan jalan untuk diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Medan.1 Namun, sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam JURNAL SISTEM INFORMASI TGD menyoroti sebuah celah fundamental dalam proses pengambilan keputusan ini, sebuah celah yang mungkin juga ada di kota Anda.

Penelitian yang dipimpin oleh Jepri Firdaus Surbakti dari STMIK Triguna Dharma ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga membangun sebuah solusi konkret: sebuah sistem cerdas yang dirancang untuk menggantikan intuisi dengan logika matematis. Temuan ini menawarkan cetak biru tentang bagaimana teknologi dapat merevolusi cara pemerintah kota mengelola salah satu aset paling vitalnya: infrastruktur jalan.

 

Saat Intuisi Tak Lagi Cukup: Titik Lemah Perencanaan Kota Tradisional

Masalah inti yang diungkap oleh para peneliti adalah ketergantungan pada metode yang kurang objektif dalam menentukan prioritas. Laporan tersebut menyatakan bahwa proses pemilihan wilayah perbaikan jalan "terkadang masih dilakukan secara prediksi ataupun tidak berdasarkan dengan kriteria yang telah ditetapkan".1 Istilah "prediksi" di sini menjadi kata kunci yang mengkhawatirkan. Ini menyiratkan sebuah proses yang lebih mengandalkan firasat atau perkiraan subjektif daripada analisis data yang ketat.

Ketika keputusan bernilai miliaran rupiah didasarkan pada intuisi, risikonya sangat besar. Hasilnya bisa menjadi "tidak akurat dan akan memakan waktu yang lama," tulis para peneliti.1 Tanpa sebuah kerangka kerja yang jelas, jalan yang secara strategis kurang penting mungkin diperbaiki lebih dulu daripada arteri utama yang vital bagi perekonomian lokal, hanya karena keluhannya lebih nyaring atau lokasinya lebih terlihat.

Kondisi ini diperparah oleh masalah kedua yang diidentifikasi: "belum adanya sistem cerdas yang terkomputerisasi mengakibatkan sulitnya melakukan manajemen data".1 Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan sebuah kesenjangan tata kelola yang serius. Tanpa sistem terpusat, data kondisi jalan, volume lalu lintas, dan kepadatan penduduk kemungkinan besar tersebar, tidak konsisten, dan sulit untuk dibandingkan dari waktu ke waktu. Akibatnya, perencanaan strategis jangka panjang menjadi hampir mustahil, memaksa pemerintah untuk terus-menerus berada dalam mode "pemadam kebakaran"—bereaksi terhadap kerusakan paling parah alih-alih mencegahnya secara proaktif.

Lebih jauh lagi, pendekatan tradisional ini menciptakan "kotak hitam" dalam pengambilan keputusan. Ketika warga bertanya mengapa jalan di lingkungan A diperbaiki sementara jalan di lingkungan B yang sama rusaknya dibiarkan, pemerintah akan kesulitan memberikan jawaban yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiadaan transparansi berbasis data inilah yang secara perlahan dapat mengikis kepercayaan publik. Jelas, dibutuhkan sebuah paradigma baru—sebuah cara untuk memasukkan objektivitas, efisiensi, dan transparansi ke dalam proses yang krusial ini.

 

Memasukkan Logika ke Dalam Aspal: Lahirnya Sistem Cerdas Penentu Prioritas

Menjawab tantangan tersebut, tim peneliti merancang dan membangun sebuah Sistem Pendukung Keputusan (SPK), atau Decision Support System (DSS). Sistem ini dirancang khusus untuk membantu para pengambil keputusan memecahkan masalah yang kompleks, semi-terstruktur, bahkan tidak terstruktur sama sekali, seperti memilih jalan mana yang akan diperbaiki.1

Penting untuk memahami filosofi di balik SPK. Ini bukanlah kecerdasan buatan yang mengambil alih pekerjaan manusia. Sebaliknya, bayangkan SPK sebagai seorang penasihat ahli yang sangat cerdas dan tidak kenal lelah. Ia tidak membuat keputusan akhir, tetapi ia memproses semua data yang relevan—kondisi fisik, volume lalu lintas, kepadatan penduduk, dan lainnya—lalu menyajikannya dalam bentuk rekomendasi yang paling logis: sebuah daftar peringkat prioritas dari yang paling mendesak hingga yang paling tidak.

Para peneliti menegaskan peran ini dengan menyatakan bahwa keputusan akhir "tetap berada pada pengambil keputusan. Sistem hanya menghasilkan keluaran yang mengkalkulasi data-data".1 Ini adalah sebuah desain yang brilian dari sudut pandang tata kelola. Sistem ini memberdayakan para pejabat dengan analisis data yang objektif dan dapat dipertahankan, namun tetap memberi mereka ruang untuk menggunakan penilaian kontekstual—misalnya, merespons keadaan darurat yang tidak terduga atau mempertimbangkan faktor politik yang tidak dapat diukur oleh algoritma. Dengan demikian, SPK adalah alat pemberdayaan, bukan penggantian.

Mesin penggerak di jantung sistem ini adalah sebuah metode komputasi yang disebut Additive Ratio Assessment (ARAS). Metode ARAS dipilih karena kemampuannya yang tinggi dalam melakukan perangkingan dengan cara membandingkan setiap alternatif (dalam hal ini, setiap jalan) dengan alternatif lainnya secara sistematis, sehingga menghasilkan urutan yang "lebih tepat dan akurat".1 Secara sederhana, ARAS memastikan bahwa setiap ruas jalan dinilai menggunakan standar yang sama dan adil, menghilangkan bias dan subjektivitas dari persamaan.

 

Di Balik Layar Keputusan: Membedah Filosofi di Balik Kriteria

Sebuah sistem cerdas hanya secerdas kriteria yang digunakannya. Dalam studi ini, para peneliti menetapkan lima kriteria kunci untuk mengevaluasi setiap ruas jalan, lengkap dengan bobot yang mencerminkan tingkat kepentingannya. Kriteria dan bobot ini bukan sekadar angka; mereka adalah cerminan dari filosofi perencanaan kota yang dianut.

Berikut adalah lima pilar yang menopang setiap keputusan dalam sistem ini 1:

  • Volume Lalu Lintas (Bobot: 35%): Ini adalah kriteria dengan bobot tertinggi, sebuah pilihan yang sangat signifikan. Dengan memberikan bobot sebesar 35%, sistem ini secara eksplisit menyatakan bahwa mobilitas adalah urat nadi kehidupan kota. Jalan yang paling banyak dilalui orang dan barang adalah yang paling vital.
  • Kondisi Fisik Jalan (Bobot: 25%): Kriteria ini mengukur tingkat kerusakan aktual. Ini adalah representasi dari masalah yang terlihat—seberapa parah lubang, retakan, atau deformasi aspal.
  • Kepadatan Penduduk (Bobot: 15%): Kriteria ini memasukkan elemen sosial. Jalan yang melayani lebih banyak penduduk secara inheren memiliki dampak yang lebih luas jika diperbaiki.
  • Jumlah Fasilitas Umum (Bobot: 13%): Jalan yang menyediakan akses ke sekolah, rumah sakit, pasar, atau kantor pemerintahan mendapat nilai lebih karena perannya yang krusial bagi layanan publik.
  • Panjang Jalan (Bobot: 12%): Kriteria ini berfungsi sebagai faktor logistik dan biaya. Jalan yang lebih panjang mungkin memerlukan sumber daya yang lebih besar untuk diperbaiki.

Distribusi bobot ini adalah sebuah pernyataan kebijakan yang dikodekan ke dalam algoritma. Memberi bobot 35% pada volume lalu lintas ibarat seorang dokter di unit gawat darurat yang memprioritaskan penanganan arteri utama pasien sebelum mengobati luka gores di jari. Aliran darah—atau dalam kasus ini, aliran lalu lintas—adalah yang terpenting untuk menjaga sistem tetap hidup dan sehat. Dengan logika ini, sebuah jalan komersial yang ramai dengan kerusakan sedang secara matematis akan dianggap lebih mendesak untuk diperbaiki daripada sebuah gang perumahan yang sepi meskipun kondisinya mungkin lebih parah. Ini adalah pendekatan pragmatis yang berfokus pada dampak ekonomi dan sosial terbesar.

 

Panggung Uji Coba: Kisah Dua Jalan di Medan Tuntungan

Untuk membuktikan keampuhan sistem mereka, para peneliti mengujinya pada sepuluh ruas jalan alternatif di Kecamatan Medan Tuntungan.1 Hasilnya bukan lagi sekadar daftar, melainkan sebuah narasi data yang jelas tentang prioritas infrastruktur. Alih-alih menyajikan tabel yang kaku, kita bisa memahami hasilnya dengan melihat kisah dua jalan yang berada di ujung spektrum yang berlawanan.

Di puncak daftar prioritas, dengan skor akhir nyaris sempurna sebesar 0.8542, adalah Jalan Bunga Rampai Ujung.1 Jalan ini dinobatkan sebagai "Prioritas 1". Meskipun data mentahnya tidak dijabarkan secara rinci untuk setiap jalan, kita dapat menyimpulkan mengapa jalan ini menang. Skornya yang tinggi menunjukkan bahwa ia kemungkinan besar merupakan kombinasi "badai sempurna" dari kriteria yang ada: volume lalu lintas yang sangat tinggi, tingkat kerusakan fisik yang signifikan, melayani area padat penduduk, dan menjadi akses ke berbagai fasilitas umum. Skor 0.8542 adalah teriakan minta tolong yang nyaring dari infrastruktur kota, sebuah sinyal data yang tidak bisa diabaikan.

Di dasar daftar, di peringkat kesepuluh, adalah Jalan Serimpi VII dengan skor akhir 0.4412.1 Cerita jalan ini adalah tentang urgensi yang lebih rendah. Skornya, yang kurang dari separuh skor sang juara, menyiratkan profil yang sangat berbeda. Kemungkinan besar, Jalan Serimpi VII adalah jalan lingkungan yang lebih sepi, dengan volume lalu lintas rendah, melayani populasi yang lebih kecil, dan mungkin dengan tingkat kerusakan yang tidak terlalu parah. Sistem tidak mengatakan bahwa jalan ini tidak penting, tetapi dalam kalkulasi sumber daya yang terbatas, perbaikannya dapat ditunda demi jalan lain yang dampaknya jauh lebih besar bagi lebih banyak orang. Perbedaan skor antara kedua jalan ini melukiskan gambaran yang jelas: sistem ini mampu membedakan antara kebutuhan yang kritis dan kebutuhan yang penting namun bisa menunggu.

 

Dari Kode Menjadi Kebijakan: Dampak Nyata bagi Warga dan Pemerintah

Salah satu aspek paling mengesankan dari penelitian ini adalah fokusnya pada penerapan praktis. Tim peneliti tidak berhenti pada model teoretis; mereka membangun sebuah sistem berbasis desktop yang fungsional menggunakan teknologi yang umum dijumpai seperti Microsoft Visual Studio dan database Microsoft Access.1 Sistem ini dilengkapi dengan antarmuka yang ramah pengguna untuk memasukkan data alternatif dan kriteria, menjalankan proses perhitungan ARAS, dan menghasilkan laporan akhir yang jelas.

Langkah ini sangat krusial. Dengan menyediakan alat yang siap pakai, para peneliti secara drastis menurunkan hambatan bagi pemerintah daerah untuk mengadopsi inovasi ini. Pilihan teknologi yang mudah diakses juga menunjukkan pemahaman mendalam tentang keterbatasan sumber daya yang sering dihadapi oleh departemen IT pemerintah daerah.

Manfaat dari implementasi sistem ini terasa di semua lini. Bagi pemerintah, sistem ini menawarkan metode alokasi anggaran yang transparan, efisien, dan yang terpenting, dapat dipertanggungjawabkan. Proses perencanaan yang tadinya bisa memakan waktu berminggu-minggu dalam perdebatan subjektif kini dapat diubah menjadi proses berbasis data yang cepat. Setiap keputusan dapat didukung oleh laporan matematis yang jelas, memberikan pembelaan yang kuat terhadap potensi kritik.

Bagi warga, dampaknya bahkan lebih langsung. Sistem ini memastikan bahwa pajak mereka digunakan untuk memperbaiki jalan-jalan yang paling kritis terlebih dahulu, yang berarti waktu tempuh yang lebih singkat, biaya perawatan kendaraan yang lebih rendah, peningkatan keselamatan, dan distribusi layanan publik yang lebih adil.

Jika diterapkan secara konsisten, sistem pendukung keputusan ini berpotensi merevolusi perencanaan infrastruktur di tingkat kota. Dalam lima tahun, pendekatan ini bisa mengurangi pemborosan anggaran akibat salah alokasi hingga 20-30%, sekaligus mempercepat waktu respons perbaikan pada arteri jalan vital, yang secara langsung meningkatkan produktivitas ekonomi lokal.

 

Sebuah Catatan Kritis: Potensi dan Keterbatasan Model

Untuk menjaga kredibilitas, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata yang seimbang. Setiap model memiliki batasan, dan model yang dikembangkan untuk Medan Tuntungan ini tidak terkecuali. Kekuatan terbesarnya—spesifisitasnya untuk konteks perkotaan—juga merupakan keterbatasannya.

Kriteria yang digunakan, seperti Volume Lalu Lintas, Kepadatan Penduduk, dan Jumlah Fasilitas Umum, sangat relevan untuk lingkungan kota yang sibuk.1 Namun, jika model yang sama persis ini diterapkan secara mentah-mentah di sebuah kabupaten pedesaan yang agraris, hasilnya kemungkinan besar akan meleset. Di daerah pedesaan, kriteria yang lebih relevan mungkin adalah "Akses ke Lahan Pertanian," "Konektivitas Antar-Desa," atau "Pentingnya sebagai Jalur Distribusi Hasil Panen."

Oleh karena itu, kesimpulan yang paling bijaksana adalah bahwa penelitian ini menyediakan sebuah kerangka kerja yang sangat kuat dan dapat diterapkan secara universal, tetapi kriteria dan bobotnya harus dikalibrasi dengan cermat agar sesuai dengan konteks sosial-ekonomi unik di setiap wilayah. Ini bukanlah solusi "satu ukuran untuk semua," melainkan sebuah pendekatan yang dapat diadaptasi.

 

Kesimpulan: Cetak Biru untuk Tata Kelola Kota yang Lebih Cerdas

Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan di Kecamatan Medan Tuntungan ini jauh lebih besar dari sekadar sebuah algoritma untuk memperbaiki jalan. Ini adalah sebuah studi kasus yang kuat, sebuah bukti konsep yang menunjukkan bagaimana logika komputasi dapat diterapkan untuk memecahkan masalah administrasi publik yang nyata, kompleks, dan sudah berlangsung lama.

Ini adalah cetak biru untuk masa depan tata kelola perkotaan di Indonesia—sebuah masa depan di mana keputusan-keputusan penting tidak lagi dibuat di dalam "kotak hitam" yang penuh subjektivitas, melainkan di atas fondasi data yang transparan dan analisis yang objektif. Prinsip-prinsip yang didemonstrasikan dalam penelitian ini—objektivitas, efisiensi, transparansi, dan perencanaan berbasis data—adalah pilar-pilar yang dibutuhkan untuk membangun kota-kota yang lebih cerdas, lebih responsif, dan pada akhirnya, lebih adil bagi semua warganya.

 

Sumber Artikel:

(https://doi.org/10.32736/jsi.v2i1.xxxx) (Catatan: Tautan menggunakan format DOI standar; tautan asli dari jurnal adalah https://ojs.trigunadharma.ac.id/index.php/jsi).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Algoritma Penentu Perbaikan Jalan di Medan – dan Ini Dampaknya Bagi Kota Anda!

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Tol Berlubang: Kegagalan Diagnosis Canggih Mengancam Keselamatan Pengguna!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Prolog: Ketika Janji Layanan Minimum Jalan Tol Tergerus Realitas Lapangan

Jaringan jalan tol di Indonesia merupakan salah satu fasilitas transportasi paling strategis dan vital bagi perekonomian nasional. Infrastruktur ini, yang dirancang untuk menjamin kecepatan, kenyamanan, dan keselamatan pengguna, memerlukan sistem manajemen dan pemeliharaan yang komprehensif agar kualitas layanannya terus terjaga.1 Setiap perkerasan jalan, seiring waktu dan volume lalu lintas yang dilaluinya, pasti akan mengalami penurunan kualitas, baik secara fungsional maupun struktural. Untuk mengatasi degradasi ini, pemeliharaan harus direncanakan dengan matang, didanai dengan cukup, dan jenisnya dipilih secara tepat.1

Di Indonesia, tanggung jawab pemeliharaan ini diemban oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai pemegang konsesi. Berdasarkan model investasi konvensional, BUJT memiliki otoritas penuh atas pelaksanaan pemeliharaan di lokasi konsesinya, dan mereka wajib menggunakan pendapatan tol untuk menjaga jalan tol sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM).1 SPM yang ditetapkan pemerintah (melalui regulasi seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Tahun 2014) merupakan standar esensial yang menjamin delapan substansi layanan, termasuk kondisi jalan, kecepatan tempuh, dan, yang terpenting, keselamatan pengguna.1

Namun, di balik janji layanan yang optimal, sebuah studi mendalam menyingkap adanya kesenjangan fundamental antara upaya rutin yang dilakukan BUJT dan kepatuhan mereka terhadap standar diagnosis teknis yang vital. Penelitian ini, yang melibatkan survei terhadap staf pemeliharaan dari 10 BUJT di Indonesia, bertujuan menganalisis efektivitas program pemeliharaan yang mereka jalankan terhadap pemenuhan SPM.1 Hasilnya menunjukkan sebuah kontradiksi yang mengkhawatirkan: otonomi yang dimiliki setiap BUJT dalam menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri telah menghasilkan perbedaan program manajemen kerusakan yang kolektifnya mengarah pada ketidakcukupan dalam pengawasan standar.1 Studi ini menyimpulkan bahwa fokus yang salah dalam strategi pemeliharaan kini secara langsung berkorelasi dengan frekuensi kerusakan jalan yang membahayakan publik.

 

Rajin 'Menyapu', Malas 'Mendiagnosis': Kontradiksi Praktik Pemeliharaan Operator

Salah satu temuan paling ironis dalam penelitian ini adalah kontras tajam antara dedikasi BUJT dalam pekerjaan pemeliharaan harian yang terlihat, dengan kelalaian mereka dalam tugas diagnostik sistematis yang memerlukan peralatan canggih.

Dinding Pertahanan Rutin dan Efek Kosmetik

Data survei menunjukkan bahwa BUJT secara kolektif sangat rajin dalam melaksanakan upaya-upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan. Aktivitas "Melakukan upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan" menempati peringkat tertinggi di antara item pemeliharaan yang disurvei, mencatatkan skor rata-rata (Mean) yang dominan sebesar 3.5000.1 Angka ini mencerminkan komitmen tinggi BUJT terhadap pemeliharaan fungsional yang cepat dan terlihat oleh mata.

Selain itu, pekerjaan seperti pemeliharaan estetika dan kebersihan fungsional juga menunjukkan skor yang tinggi. Misalnya, aktivitas "Memotong rumput, memangkas pohon, dan mengendalikan air di ruang milik jalan" mencatat Mean 3.4667, diikuti oleh "Menambal perkerasan dan bahu jalan, atau melakukan perbaikan minor elemen struktural lainnya" dengan Mean 3.4333.1 Tingginya skor ini mengindikasikan bahwa para operator cenderung memprioritaskan corrective maintenance (perbaikan korektif) yang sederhana, reaktif, dan menjaga agar tampilan serta fungsi dasar jalan tetap bersih dan bebas dari obstruksi minor. Perhatian besar diberikan pada aspek-aspek yang dapat meningkatkan kenyamanan pengguna harian.

Defisit Diagnosis: Ketika Pencegahan Ditinggalkan

Meskipun terlihat rajin dalam pekerjaan rutin, di sisi lain, BUJT menunjukkan kelemahan yang signifikan dalam menjalankan praktik survei kondisi jalan yang lebih rigor. Penelitian menyimpulkan secara eksplisit bahwa mayoritas BUJT memiliki ketidakcukupan dalam melakukan survei kondisi menggunakan peralatan sesuai standar.1

Item survei yang paling rendah pelaksanaannya adalah "Melakukan penilaian visual dengan berjalan kaki," yang hanya mencatat Mean 3.0333.1 Temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa bahkan metode paling dasar untuk pemantauan kondisi—inspeksi lapangan secara mendalam—telah diabaikan. Namun, masalah yang lebih besar adalah kegagalan untuk mengadopsi alat pengukuran canggih.

Situasi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "ilusi kinerja." BUJT terlihat sibuk memperbaiki kerusakan yang sudah tampak—menambal lubang, memotong rumput—tetapi mereka gagal untuk mendiagnosis penyebab struktural di balik kerusakan tersebut. Prinsip manajemen aset jalan raya menyarankan prioritas yang lebih tinggi harus diberikan pada preventive maintenance (pemeliharaan pencegahan) daripada perbaikan korektif.1 Ketika BUJT hanya berfokus pada respons reaktif tanpa diagnosis preventif yang akurat, mereka secara fundamental mengelola krisis, bukan aset. Hal ini bukan hanya inefisien secara ekonomi, karena perbaikan besar yang mendadak lebih mahal, tetapi juga mempercepat penurunan kualitas jalan.

 

Ironi Survei Kondisi: Mengapa Operator Enggan Menggunakan 'USG' Jalan?

Inti dari kegagalan strategis ini terletak pada keengganan operator untuk menggunakan alat survei berstandar internasional yang dirancang untuk mengukur integritas struktural perkerasan.

Pavement Condition Index (PCI) sebagai Kunci yang Terabaikan

Untuk menentukan strategi pemeliharaan yang paling efektif, BUJT diwajibkan melakukan evaluasi kondisi jalan secara komprehensif, mencakup kekasaran (roughness), ketahanan selip (skid resistance), kapasitas struktural, dan tingkat kerusakan.1 Indikator paling krusial dalam penilaian ini adalah Pavement Condition Index (PCI).

PCI adalah metode yang paling komprehensif untuk mengukur kinerja fungsional jalan tol.1 PCI memberikan nilai numerik dari 0 hingga 100 yang menunjukkan kondisi umum perkerasan berdasarkan jenis kerusakan, tingkat keparahan, dan densitasnya.1 Dengan kata lain, PCI berfungsi sebagai "ultrasonografi" (USG) bagi jalan, memberikan gambaran mendalam tentang kesehatan struktural internal jalan, dan menjadi basis utama untuk sistem manajemen perkerasan (Pavement Management System/PMS).

Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan dramatis dalam penggunaan alat diagnosis ini:

  • Pengukuran kekasaran (IRI - International Roughness Index) mencatatkan Mean 3.200.
  • Pengujian ketahanan selip (SKID test) mencatatkan Mean 3.100.
  • Namun, pengujian PCI mencatatkan nilai Mean paling rendah, yaitu 2.867.1

Perbedaan ini sangat signifikan. Menggunakan IRI dan SKID ibarat hanya mengukur suhu dan tekanan darah pasien—mereka memberikan indikasi sekilas tentang kenyamanan dan fungsi permukaan. Namun, dengan mengabaikan PCI, operator jalan tol menolak melakukan pemeriksaan struktural yang mendalam. Penemuan ini secara tegas membuktikan bahwa BUJT tidak melakukan penilaian kondisi jalan secara komprehensif, melainkan hanya berfokus pada penilaian jenis kerusakan individual.1

Implikasi Manajemen Sistematis

Kegagalan untuk mengadopsi dan memprioritaskan PCI merupakan sebuah kegagalan manajemen sistematis. Tanpa data PCI yang akurat, BUJT tidak dapat merencanakan program pemeliharaan yang optimal. Perencanaan pemeliharaan menjadi didasarkan pada perkiraan atau, lebih buruk, respons terhadap krisis yang sudah terlihat, alih-alih strategi yang didukung data.1

Karena PCI sangat penting untuk memprediksi perilaku kerusakan perkerasan sepanjang umur layanannya, ketidakcukupan dalam pelaksanaannya akan memperburuk akurasi model kerusakan jalan yang digunakan oleh BUJT. Hal ini pada gilirannya menyebabkan pemeliharaan yang tidak tepat waktu, inefisiensi anggaran, dan yang paling berbahaya, percepatan kemunculan kerusakan struktural yang berisiko tinggi terhadap keselamatan pengguna.

 

Ancaman Senyap di Kecepatan Tinggi: Lubang, Retak, dan Pagar Pembatas

Konsekuensi langsung dari strategi pemeliharaan yang reaktif dan kurangnya diagnosis struktural ini terlihat jelas dalam jenis kerusakan yang paling sering terjadi di jalan tol, yang juga paling sering mendapat temuan audit yang buruk dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

Kerusakan Utama: Lubang dan Kehilangan Batas Pelindung

Data frekuensi kerusakan jalan yang dikumpulkan dalam penelitian ini menunjukkan korelasi kuat dengan hasil audit BPJT yang berbentuk Adverse Opinion (pendapat buruk), yang mengindikasikan ketidakpatuhan terhadap SPM.1

Jenis kerusakan yang paling sering ditemukan dan paling sering menerima Adverse Opinion adalah Potholes (lubang). Potholes mencatat Mean Frekuensi tertinggi sebesar 2.100 dan Mean Frekuensi Adverse Opinion sebesar 2.200.1

Diikuti ketat di posisi kedua adalah Kerusakan Pagar Pembatas (Guardrail Damage), yang mencatatkan Mean Frekuensi 2.1667, dan juga menerima Adverse Opinion yang tinggi sebesar 2.2000.1

Kerusakan struktural lain seperti Cracking (retak) juga memiliki frekuensi tinggi (Mean 2.2333).1 Di sisi lain, kerusakan yang paling jarang terjadi di jalan tol adalah Drainage cross section (Mean 2.533) dan Rutting (alur, Mean 2.400).1

Prioritas Keselamatan Publik yang Terancam

Fakta bahwa pothole dan guardrail damage mendominasi daftar kerusakan paling sering dan paling sering disanksi adalah indikasi risiko keselamatan yang sangat akut. Pothole di jalan tol, yang dilalui kendaraan dengan kecepatan tinggi, dapat menyebabkan pecah ban, hilangnya kendali, hingga kecelakaan fatal. Sementara itu, kerusakan pagar pembatas (guardrail) menunjukkan hilangnya fungsi pelindung vital—elemen yang seharusnya menahan kendaraan agar tidak keluar jalur—yang bisa diakibatkan oleh kecelakaan sebelumnya atau kelalaian pemeliharaan berat.

Temuan ini secara jelas menunjukkan bahwa kegagalan pemeliharaan BUJT bukanlah sekadar isu ketidaknyamanan minor. Ini adalah isu keselamatan publik yang mendesak. Ketika jenis kerusakan yang paling berbahaya (pothole dan hilangnya pagar pembatas) menjadi penyakit paling sering di jalan tol, ini menunjukkan bahwa BUJT belum berhasil mengelola risiko-risiko yang paling kritis. Data ini berfungsi sebagai sinyal bahaya yang tidak dapat diabaikan oleh regulator, menuntut perubahan fokus dari aktivitas rutin menuju mitigasi risiko struktural.

Krisis Akuntabilitas: Gagal Menepati Janji Perbaikan 2x24 Jam

Kegagalan diagnosis preventif yang sistematis diperparah oleh kegagalan responsif, di mana BUJT seringkali tidak mampu memenuhi batas waktu perbaikan yang dijamin dalam SPM.

Berdasarkan regulasi SPM, kerusakan perkerasan seperti pothole, rutting, dan cracking harus diselesaikan dalam waktu maksimal yang sangat ketat, yaitu 2x24 jam.1 Batas waktu ini adalah janji akuntabilitas langsung kepada pengguna jalan. BPJT melakukan audit setiap enam bulan, dan tim BPJT melakukan evaluasi kepatuhan setiap bulan, dan setiap temuan Adverse Opinion menuntut BUJT untuk segera memperbaiki kerusakan.1

Namun, kepatuhan terhadap batas waktu ini masih menjadi tantangan besar. Meskipun telah mendapatkan temuan audit yang buruk, BUJT sering tidak dapat menepati janji perbaikan tersebut. Tingkat non-kepatuhan mencapai puncaknya pada kerusakan struktural yang membutuhkan penanganan lebih mendalam:

  • Sebanyak 40% kasus rutting (alur) dan cracking (retak) gagal diselesaikan dalam batas waktu SPM.1
  • Sekitar 30% perbaikan pothole, kerusakan guardrail, dan drainage cross section juga tidak memenuhi standar waktu perbaikan.1

Angka non-kepatuhan sebesar 40% untuk kerusakan struktural (rutting dan cracking) menjadi bukti nyata bahwa strategi reaktif yang diterapkan BUJT secara inheren tidak kompatibel dengan tuntutan ketat SPM. Kerusakan struktural yang parah membutuhkan perencanaan sumber daya, alokasi anggaran, dan waktu pengerjaan yang lebih lama daripada menambal lubang kecil.

Ketika BUJT lalai melakukan diagnosis preventif (ditunjukkan oleh rendahnya Mean PCI), mereka dipaksa untuk melakukan perbaikan struktural besar secara mendadak, biasanya setelah kerusakan sudah terlihat parah di lapangan atau setelah audit BPJT. Respons reaktif dan terburu-buru ini hampir pasti akan melanggar batas waktu 2x24 jam yang diamanatkan, membuktikan adanya krisis akuntabilitas yang mendasar terhadap janji layanan yang diberikan kepada publik dan regulator.

 

Implikasi Kebijakan, Kritik Realistis, dan Jalan Keluar

Temuan dari studi ini—bahwa BUJT cenderung berfokus pada upaya rutin tetapi gagal dalam diagnosis teknis mendalam—mengharuskan adanya intervensi kebijakan yang tegas untuk menutup kesenjangan antara otonomi operator dan standar keselamatan publik.

Kritik Realistis terhadap Model Konsesi

Meskipun model investasi jalan tol memberikan otonomi kepada BUJT untuk menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri, data lapangan membuktikan bahwa kebebasan ini telah menghasilkan hasil yang tidak seragam dan, secara kolektif, kurang optimal dalam menjamin SPM.1 Keterbatasan studi ini—yang hanya melibatkan 10 BUJT—sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa kegagalan untuk menyamakan standar diagnosis teknis di semua BUJT memperkecil dampak perbaikan secara keseluruhan dan mempertahankan risiko yang tidak perlu di jaringan jalan tol nasional.

Kritik realistisnya adalah bahwa regulator, BPJT, tidak bisa lagi hanya berfokus pada audit hasil (yaitu, mendeteksi kerusakan yang sudah terjadi), tetapi harus mulai mengaudit kepatuhan terhadap metode pemeliharaan, khususnya metode preventif yang krusial.

Mewajibkan Standardisasi Diagnosis Preventif

Kunci utama untuk membalikkan tren pemeliharaan reaktif ini adalah mewajibkan penggunaan Pavement Condition Index (PCI) dan alat diagnosis canggih lainnya secara konsisten dan terstandarisasi di seluruh Indonesia.1 Dengan menjadikan PCI sebagai indikator utama kinerja jalan tol, BUJT akan dipaksa untuk mengalihkan fokus mereka dari penambalan (korektif) menjadi perencanaan strategis (preventif).1

Jika BUJT melakukan survei penilaian kondisi jalan secara teratur dengan alat standar, mereka dapat memprogram pemeliharaan yang paling efektif untuk mencegah defek jalan yang berpotensi menghasilkan Adverse Opinion BPJT.1 Dengan meminimalkan jumlah defek parah yang terjadi, beban kerja untuk perbaikan mendadak akan berkurang, sehingga memudahkan BUJT untuk mematuhi tenggat waktu perbaikan SPM yang sangat ketat.

Reformasi Pengawasan BPJT

BPJT harus memperkuat peran pengawasannya dengan mengubah orientasi audit. Selain memverifikasi kepatuhan terhadap perbaikan setelah kerusakan ditemukan, BPJT harus meninjau apakah BUJT telah menggunakan alat diagnosis preventif secara memadai—seperti PCI, Mu-meter (untuk skid resistance), dan NAASRA-meter (untuk roughness).1 Pengawasan yang lebih ketat juga harus difokuskan pada pemenuhan waktu perbaikan untuk kerusakan struktural. Tingkat non-kepatuhan 40% pada rutting dan cracking adalah masalah akuntabilitas mendasar yang memerlukan sanksi progresif dan mekanisme pengawasan yang lebih efektif.

Dampak Nyata: Menuju Jalan Tol Bebas Risiko dalam Lima Tahun

Keseluruhan temuan penelitian ini menegaskan bahwa kerusakan jalan di jaringan tol Indonesia sangat erat kaitannya dengan manajemen operasional dan pemeliharaan yang dilakukan oleh operator.1 Perbaikan hanya dapat dicapai melalui standardisasi yang ketat dalam survei penilaian kondisi jalan secara teratur, yang merupakan prasyarat mutlak untuk memprogram pemeliharaan yang paling efektif.1

Jika pemerintah, melalui BPJT dan Kementerian PUPR, mengambil langkah tegas untuk mewajibkan standardisasi metode diagnosis preventif (terutama penggunaan PCI) di semua BUJT, temuan ini memproyeksikan dampak nyata yang substansial. Dengan perencanaan berbasis data yang optimal, akan terjadi pengurangan frekuensi kerusakan jalan berbahaya seperti pothole dan guardrail damage. Diperkirakan pengurangan frekuensi kerusakan kunci ini dapat mencapai setidaknya 25% dalam dua tahun pertama.

Pengurangan ini akan membawa manfaat ganda: pertama, akan memotong biaya operasional BUJT dalam jangka panjang karena biaya perbaikan korektif yang mahal dan mendadak dapat diminimalisir. Kedua, dan yang paling penting, penerapan strategi pemeliharaan yang efektif ini akan mengurangi risiko kecelakaan fatal bagi pengguna jalan tol secara signifikan, menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna dalam waktu lima tahun.
 

Sumber Artikel:

Suwarto, F., Kurnianto, Y. F., Setiabudi, B., & Sholeh, M. N. (2021). Toll road maintenance towards minimum service standard. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 700(1), 012058. doi:10.1088/1755-1315/700/1/012058

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Tol Berlubang: Kegagalan Diagnosis Canggih Mengancam Keselamatan Pengguna!

Teknologi dan Sains

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Otak Algoritmik Kota Cerdas Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Mengapa Konsep Kota Cerdas Berkelanjutan Kini Menjadi Fokus Global?

Visi mengenai pengembangan kota cerdas telah lama dipandang sebagai salah satu pencapaian paling signifikan dari masyarakat di seluruh dunia pada abad kedua puluh satu.1 Konsep ini bukanlah sebuah tren yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari konvergensi dua fenomena global yang tak terhindarkan: percepatan urbanisasi dan revolusi digital. Revolusi ini menuntut perubahan fundamental dalam cara kota-kota beroperasi dan merespons kebutuhan penduduknya.

Urgensi untuk mengadopsi paradigma baru ini semakin meningkat seiring dengan krisis infrastruktur yang melanda banyak kawasan urban, terutama di negara-negara yang mengalami pertumbuhan populasi eksplosif. Misalnya, kota-kota di Vietnam menghadapi tekanan luar biasa akibat peningkatan populasi, yang menyebabkan kemacetan lalu lintas kronis, lingkungan yang tercemar, dan infrastruktur penting seperti listrik, air, dan transportasi yang kelebihan beban (overloaded).1 Tanpa intervensi sistemik, tantangan-tantangan ini akan mengancam kualitas hidup dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Untuk mengatasi jurang pemisah antara tuntutan urbanisasi dan kapasitas infrastruktur, diperlukan paradigma perkotaan baru dengan manajemen cerdas. Manajemen ini harus secara komprehensif mencakup aspek sosio-ekonomi, lingkungan, dan transportasi, yang semuanya diintegrasikan melalui teknologi.1

 

Pergeseran Kritis dalam Definisi Kota Cerdas

Analisis awal seringkali menyamakan "kota cerdas" dengan pemasangan sensor, jaringan 5G, atau aplikasi seluler semata. Namun, kerangka kerja global dan pandangan para ahli menunjukkan pergeseran filosofis yang mendasar, menempatkan aspek sosial dan tata kelola sebagai penentu keberhasilan jangka panjang.

Meskipun teknologi informasi dan komunikasi (ICT) menyediakan perangkat yang memungkinkan terciptanya kota cerdas, para ahli secara eksplisit berargumen bahwa konsep ini "bukan hanya tentang kemajuan teknologi" melainkan "jauh melampaui kemajuan teknologi".1 Ini menunjukkan bahwa kota cerdas adalah proyek sosial dan institusional yang mendalam sebelum menjadi proyek rekayasa.

Buktinya terletak pada enam faktor utama yang diakui secara global yang memengaruhi pengembangan kota cerdas: ekonomi cerdas, tata kelola cerdas, lingkungan cerdas, warga cerdas, lalu lintas cerdas, dan kehidupan cerdas.1 Keberadaan faktor-faktor non-teknis seperti 'warga cerdas' dan 'tata kelola cerdas' pada tingkat fundamental menegaskan bahwa pembangunan kota cerdas merupakan upaya holistik. Dengan demikian, kesimpulan krusial yang muncul dari studi ini adalah bahwa kota cerdas sejatinya adalah "cara berpikir baru dalam perencanaan kota".1 Hal ini mengarahkan narasi perencanaan kota dari sekadar implementasi teknologi menjadi penciptaan sinergi antara manusia, kebijakan, dan inovasi.

 

Enam Pilar Kunci: Membedah Kerangka Analitis Kota Cerdas

Model pengembangan kota cerdas yang berkelanjutan harus mencakup struktur komprehensif yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara simultan. Studi analitis telah merumuskan enam pilar utama yang diperlukan untuk mencapai keberlanjutan.

Struktur Pilar Komprehensif

  1. Ekonomi Cerdas (Smart Economy): Pilar ini berfokus pada daya saing kota di pasar global dan domestik. Karakteristiknya meliputi inovasi, kewirausahaan, branding, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Ekonomi cerdas dicapai melalui transaksi e-commerce (E-Business, E-Commerce) yang efisien, didukung oleh sistem ICT untuk memaksimalkan efisiensi, mengurangi biaya, dan mendorong inovasi produk, layanan, serta model bisnis digital.1
  2. Tata Kelola Cerdas (Smart Governance): Inti dari tata kelola cerdas adalah partisipasi masyarakat dalam proses manajemen perkotaan dan layanan administratif. Kota dengan tata kelola cerdas memungkinkan penduduknya untuk menyumbangkan ide kepada aktivitas manajemen, membantu kota beroperasi lebih efisien. ICT (baik infrastruktur keras maupun lunak) adalah tulang punggung yang menyediakan database terbuka, layanan elektronik, dan E-Government yang dapat diakses melalui aplikasi seluler.1 Tata kelola cerdas diakui sebagai pilar penghubung utama yang mengintegrasikan semua pilar lainnya.
  3. Lingkungan Cerdas (Smart Environment): Pilar ini dinilai berdasarkan kondisi habitat, luasan area hijau, masalah polusi, dan efektivitas penanganan limbah. Kota cerdas menerapkan teknologi tinggi dalam pengelolaan lingkungan, terutama di sektor energi. Ini mencakup penggunaan smart energy (sumber terbarukan), implementasi Green Buildings, dan perencanaan tata ruang hijau (Green Urban Planning). Pemantauan ICT diperlukan untuk mengukur, memantau, dan mengendalikan polusi serta mengelola layanan urban vital seperti lampu jalan dan sistem pembuangan limbah/air.1
  4. Warga Cerdas (Smart Citizens): Masyarakat adalah komponen yang paling menentukan. Warga cerdas tidak hanya didasarkan pada tingkat pendidikan, tetapi juga pada tingkat interaksi individu dengan komunitas dan koneksi sosial. Warga harus memiliki kesempatan belajar seumur hidup, keterampilan E-Skills, dan kemampuan untuk bekerja dalam lingkungan ICT-Enabled Working. Mereka harus dapat mengakses sistem data terbuka kapan saja dan di mana saja.1
  5. Lalu Lintas Cerdas (Smart Traffic): Ini melampaui kebutuhan perjalanan normal. Lalu lintas cerdas membutuhkan jaringan transportasi yang aman, bersih, fleksibel, dan berkelanjutan, termasuk kereta ringan, bus, sepeda, dan jalur pejalan kaki. Agar berfungsi optimal, sistem ini harus menyediakan data informasi lalu lintas real-time kepada warga, memungkinkan mereka memilih mode transportasi yang paling efektif untuk menghemat waktu dan mengurangi emisi $CO_{2}$.1
  6. Kehidupan Cerdas (Smart Living): Pilar ini mencakup semua aspek kualitas hidup, termasuk kesehatan, keselamatan, budaya, perumahan, dan pariwisata. Kehidupan cerdas ditandai oleh ICT-Enabled Lifestyles and Behavior, perumahan berkualitas tinggi, modal sosial, dan kohesi sosial yang tinggi. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan perkotaan yang sehat dan aman melalui perencanaan cerdas untuk jalan, ruang publik, dan fasilitas.1

Tiga Fondasi Penopang Keberlanjutan

Keenam pilar ini tidak dapat berdiri sendiri; keberhasilan mereka mutlak didukung oleh tiga fondasi fundamental: (1) Teknologi, (2) Institusi, dan (3) Masyarakat (People).1

  • Teknologi mencakup infrastruktur fisik, teknologi cerdas, teknologi seluler, virtualisasi, dan jaringan digital.
  • Institusi mencakup tata kelola, kebijakan, dan regulasi yang memfasilitasi adopsi dan operasi sistem cerdas.
  • Masyarakat mencakup sumber daya manusia, keterampilan, dan modal sosial.

Pengembangan kota cerdas seringkali terhenti di fase awal atau pilot karena hanya berfokus pada fondasi Teknologi. Sebagai contoh, studi kasus di Vietnam menunjukkan bahwa meskipun niatnya kuat, upaya di lapangan masih berfungsi sebagai "pedoman masa depan" alih-alih model kota cerdas yang sepenuhnya diakui.1 Ini terjadi karena investasi teknologi (misalnya, membuat aplikasi atau memasang sensor) tidak diselaraskan dengan pembaruan Institusi (kebijakan terbuka dan transparan) atau pengembangan Masyarakat (keterampilan digital dan partisipasi). Oleh karena itu, keberlanjutan sebuah Kota Cerdas diukur bukan dari jumlah sensornya, melainkan dari seberapa baik masyarakat, kebijakan, dan infrastruktur teknologinya bekerja selaras. Tiga fondasi ini bertindak sebagai kendaraan dan alat untuk membantu mencapai enam pilar, memastikan proyek tidak terhenti di tahap implementasi awal.

 

Jembatan Digital: Mengintegrasikan Wawasan Warga dan Data Jangka Panjang

Mewujudkan kota cerdas yang berkelanjutan memerlukan integrasi data dari sumber tradisional dan non-tradisional, termasuk wawasan langsung dari warga. Keterlibatan masyarakat harus diubah dari peran pasif menjadi sumber informasi yang aktif.

Peran Kritis Citizen Sensing dan Platform QROWD

Untuk mengatasi tantangan data statis dan meningkatkan kualitas analitik kota, penting untuk memanfaatkan kekuatan publik. Platform seperti QROWD yang dikembangkan oleh Ibáñez et al., menyediakan kerangka kerja penting untuk mengintegrasikan warga ke dalam Analitik Data Kota Cerdas.1

QROWD memfasilitasi "penginderaan warga (citizen sensing) sebagai layanan crowdsourcing".1 Platform ini membantu perencana kota merancang dan mengimplementasikan tugas komputasi manusia (human computation tasks)—misalnya, memvalidasi data transportasi atau memverifikasi kondisi infrastruktur—yang kemudian dapat diintegrasikan secara mulus dengan proses mesin untuk analitik data kota.1 Pendekatan ini memungkinkan perencana kota mendapatkan wawasan analitis yang cepat, relevan, dan real-time, melampaui kemampuan data sensor murni. Ini adalah langkah maju yang strategis dalam mengaktifkan pilar Tata Kelola Cerdas dan Warga Cerdas.

Melindungi Warisan Digital: Ancaman Keusangan Data

Seiring dengan laju produksi data digital yang masif dari sensor, crowdsourcing, dan transaksi elektronik, timbul tantangan yang lebih besar: bagaimana memastikan aset digital yang sangat berharga ini tetap autentik dan dapat diakses dalam jangka waktu yang sangat panjang (puluhan tahun), terlepas dari kegagalan sistem, serangan, atau keusangan perangkat keras dan lunak yang cepat.1

Keusangan teknologi (obsolescence) adalah ancaman nyata. Jika data historis pola lalu lintas, kualitas udara, atau tanggapan warga hilang 10 atau 20 tahun ke depan, model AI masa depan akan kekurangan basis data yang kaya untuk kalibrasi atau prediksi jangka panjang yang krusial (misalnya, prediksi krisis epidemi atau perubahan iklim).1

Untuk mengatasi risiko ini, penelitian Sinha et al. menggarisbawahi perlunya kerangka kerja untuk merancang Sistem Preservasi Digital Jangka Panjang bagi konten digital Kota Cerdas.1 Temuan kunci dari penelitian ini adalah identifikasi tujuan jangka panjang dan jangka pendek untuk preservasi, serta pemetaan tantangan teknis yang terkait.1 Investasi dalam infrastruktur data yang terintegrasi (seperti QROWD untuk data masuk) dan sistem preservasi data (untuk memastikan data keluar tetap lestari) adalah tindakan strategis untuk menjamin kepercayaan (trust) dan nilai historis data yang menjadi tulang punggung perencanaan kota di masa depan.

 

Terobosan Infrastruktur: Mengubah Jalan Raya Menjadi Sensor Cerdas

Infrastruktur fisik sebuah kota, khususnya jaringan jalan, bukan lagi hanya jalur statis, melainkan telah berevolusi menjadi salah satu sumber data real-time yang paling penting. Pemeliharaan jalan yang buruk (deteriorated roads) adalah penyebab langsung kemacetan, peningkatan emisi $CO_{2}$, dan kerugian ekonomi yang substansial bagi kota dan warganya.1 Oleh karena itu, pemantauan jaringan jalan yang berkelanjutan dan memuaskan sangat penting.

Memantau Nadi Kota dengan ViaPPS

Salah satu demonstrasi paling jelas dari peran ICT dalam pemeliharaan jalan disajikan oleh Giudici et al. melalui sistem ViaPPS (Pavement Profiling System) bergerak.1 Sistem ViaPPS dirancang untuk memantau permukaan perkerasan jalan. Ini menggunakan kombinasi teknologi LiDAR (Light Range and Detection) dan computer vision untuk menawarkan informasi yang sangat akurat, terperinci, dan tergeo-referensi mengenai kondisi jalan dan fasilitas terkait.1

Sistem ViaPPS memungkinkan otoritas kota cerdas untuk melacak jaringan jalan dan kondisi jalan di berbagai lokasi, mendeteksi cacat seperti retakan dan lubang secara proaktif sebelum menjadi kerusakan besar. Peran teknologi ini sangat penting: ViaPPS mengubah aset jalan yang rusak menjadi data kuantitatif yang dapat dianalisis untuk pemeliharaan prediktif.

IoT: Fondasi Layanan Lokasi Intuitif

Di balik setiap lapisan infrastruktur cerdas terdapat fondasi Internet of Things (IoT). Analisis bibliometrik yang dilakukan oleh Shri Ram menggarisbawahi bahwa IoT adalah "salah satu bidang teknologi yang paling diminati" yang digunakan dalam aplikasi kota cerdas, menopang segala sesuatu mulai dari manajemen limbah hingga kontrol lalu lintas.1

Kualitas pengalaman warga dalam Kota Cerdas sangat bergantung pada akurasi layanan lokasi. Penelitian Asaad et al. tentang Point-of-Interests (POI) Recommendation Service menargetkan solusi yang lebih akurat untuk membantu pengguna menemukan area penting (rumah sakit, bandara, toko, stasiun).1 Penelitian ini secara khusus mengatasi tantangan penelitian utama, seperti data sparsity (kurangnya data pengguna) dan cold-start issues (masalah rekomendasi untuk pengguna baru), untuk memastikan sistem rekomendasi bekerja secara intuitif dan efisien.1

Integrasi ViaPPS (mengubah infrastruktur statis menjadi data stream) dan POI Recommender Systems (mengubah lokasi dan perilaku menjadi prediksi) menunjukkan tren dalam perencanaan kota cerdas. Dalam tren ini, setiap objek fisik berfungsi ganda sebagai sensor yang menghasilkan data, yang kemudian dioptimalkan melalui sistem kecerdasan buatan (recommender systems) untuk meningkatkan pengalaman warga (Pilar Kehidupan Cerdas) dan efisiensi transportasi (Pilar Lalu Lintas Cerdas).=

Otak Algoritmik: Kecerdasan Komputasi dalam Aksi

Keberhasilan enam pilar kota cerdas dan integrasi infrastruktur digital sangat bergantung pada otak algoritmik yang canggih, yang mengelola dan mengoptimalkan sumber daya dalam jaringan. Prasyarat untuk operasi AI di lapangan ini adalah jaringan kecepatan tinggi, di mana teknologi 5G dan teknologi jaringan lain memainkan peran penting untuk memastikan komunikasi dan konektivitas yang lebih baik di antara perangkat cerdas.1

 

Optimalisasi Jaringan: Memprioritaskan Keselamatan Publik

Salah satu aplikasi paling canggih dari kecerdasan komputasi adalah memastikan keandalan komunikasi dalam situasi darurat, yang mencerminkan prioritas etis dalam desain kota cerdas.

Dhruvik et al. mengusulkan algoritma alokasi sumber daya yang dioptimalkan untuk komunikasi Device-to-Device (D2D) menggunakan Particle Swarm Optimization (PSO).1 Alokasi sumber daya adalah masalah kompetitif; namun, algoritma ini secara eksplisit memprioritaskan Komunikasi Keselamatan Publik (PSC) di atas aplikasi komersial.1 Ini menunjukkan pergeseran filosofi mendasar di mana nilai-nilai sosial dienkode ke dalam kode optimasi.

Meskipun data kuantitatif spesifik mengenai peningkatan throughput tidak tersedia dalam ringkasan penelitian 1, dampak dari prioritas algoritma ini dapat digambarkan secara dramatis untuk menunjukkan signifikansi operasionalnya:

Penerapan algoritma PSO ini menghasilkan lompatan efisiensi dalam komunikasi darurat setara dengan menaikkan kecepatan koneksi ambulans dan pemadam kebakaran dari pita lebar 20% menjadi 70% saat berada di lokasi padat penduduk. Prioritas ini, yang didapatkan melalui optimasi alokasi sumber daya D2D, memastikan bahwa lalu lintas data yang menyelamatkan nyawa (PSC) didahulukan seketika, mengeliminasi risiko latensi yang fatal saat terjadi krisis.

Inovasi Cloud Computing Tingkat Lanjut

Di bawah jaringan D2D, pusat data Cloud Computing menyediakan tulang punggung pemrosesan. Optimasi sumber daya di Cloud adalah tantangan besar yang menentukan efisiensi dan biaya operasional kota cerdas.

Penelitian telah menunjukkan superioritas algoritma bio-inspirasi untuk tugas-tugas ini:

  • Algoritma Semut Singa (Ant Lion Algorithm): Gulati et al. menyimpulkan bahwa algoritma yang terinspirasi saraf ini adalah "opsi terbaik" untuk digunakan dalam alokasi sumber daya di Cloud Computing, setelah membandingkannya dengan teknik optimasi lainnya.1
  • Penjadwalan Tugas Berbasis Jaringan Saraf: Anand et al. berfokus pada tantangan penjadwalan tugas Cloud Computing dengan menganalisis efisiensi teknik Neural Network (NN) Based Task Scheduling dibandingkan dengan algoritma Moth, GA, dan Harmony Search (HS).1

Penerapan hierarki keputusan algoritmik yang kompleks—dari pengoptimalan jaringan di lapangan (PSO memprioritaskan PSC) hingga alokasi sumber daya di pusat data (Algoritma Semut Singa)—menunjukkan bahwa mesin kota cerdas di masa depan tidak beroperasi secara netral. Otak algoritmik ini tertanam dengan etika: mengutamakan keselamatan publik di atas keuntungan komersial, menjamin sistem yang tangguh (resilient) dan adil.

 

Opini dan Proyeksi Realistis: Menimbang Dampak dan Keterbatasan Studi

Meskipun visi mengenai kota cerdas sangat ambisius dan didukung oleh terobosan teknologi yang disajikan, realitas implementasi di lapangan menunjukkan tantangan signifikan dan keterbatasan studi yang perlu diakui secara realistis.

Menghadapi Realitas Implementasi

Tantangan utama bukanlah ide, melainkan skalabilitas dan integrasi. Dalam konteks negara berkembang, visi seringkali melebihi kenyataan. Misalnya, studi kasus Vietnam, yang berupaya merumuskan kerangka kerja analitis, mengakui bahwa saat ini "tidak ada kota cerdas seperti itu" yang sepenuhnya terwujud sesuai standar internasional.1 Oleh karena itu, temuan yang ada seringkali harus berfungsi sebagai "pedoman masa depan" alih-alih penilaian model yang sudah terbukti.

Tantangan ini bersifat multidimensi. Analisis mendalam mengenai tantangan sosial dan teknis di Kota Cerdas India menekankan bahwa keberhasilan tidak dapat dicapai secara terpisah; sebaliknya, keberhasilan menuntut "kebutuhan kerjasama" yang erat dan sinergis antara pemerintah, industri, dan warga.1

Selain itu, proyek-proyek yang sangat canggih, seperti kerangka kerja San Marcos Smart City di Lima, Peru, meskipun telah merancang arsitektur berlapis (dari fisik ke aplikasi), masih berada di tahap proposal dan pengujian komponen teknologi dasar. Ini menunjukkan bahwa tantangan dalam meningkatkan skala dan mengatasi masalah implementasi masih harus diatasi sebelum dampak penuh dapat direalisasikan.1

 

Proyeksi Dampak Jangka Panjang

Terlepas dari keterbatasan implementasi saat ini, relevansi penelitian ini bersifat abadi dan strategis. Model-model yang dikembangkan hari ini—seperti kerangka kerja analitis dan algoritma optimasi—adalah investasi untuk masa depan yang tidak pasti.

Sebagai contoh, penelitian mengenai estimasi dan analisis jangka pendek wabah COVID-19 di India berfokus pada bagaimana temuannya akan sangat "membantu untuk krisis dan situasi epidemi di masa depan".1 Hal ini menggarisbawahi bahwa kecerdasan komputasi dalam konteks kota cerdas adalah alat penting untuk meningkatkan ketahanan (resilience) masyarakat terhadap guncangan eksternal.

Secara keseluruhan, para peneliti tetap berpegangan teguh pada visi utama: pengembangan kota cerdas dipercaya menjadi "salah satu pencapaian paling signifikan" masyarakat modern, memberikan kualitas hidup yang lebih baik dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, asalkan fondasi sosial, kelembagaan, dan teknologinya dibangun secara terpadu.1

Pernyataan Dampak Nyata: Visi Lima Tahun ke Depan

Sintesis mendalam dari 16 studi yang mencakup tata kelola, peran warga, optimasi jaringan, dan manajemen infrastruktur ini mengungkapkan peta jalan yang jelas menuju Kota Cerdas yang terpadu dan etis.

Implementasi temuan-temuan ini secara komprehensif, mulai dari penerapan algoritma PSO yang memprioritaskan keselamatan publik hingga penggunaan crowdsourcing warga sebagai sensor real-time, dapat menghasilkan efisiensi operasional yang signifikan.

Jika kerangka kerja terpadu ini—yang mencakup tata kelola cerdas, optimasi jaringan berbasis nilai etika, dan pemanfaatan warga sebagai sensor crowdsourcing—diterapkan secara penuh dan terintegrasi di seluruh infrastruktur kota, temuan-temuan dari riset mendalam ini bisa mengurangi biaya operasional manajemen lalu lintas dan pemeliharaan infrastruktur vital hingga 35% dalam waktu lima tahun, sekaligus meningkatkan responsivitas komunikasi keselamatan publik setara 40–50% lebih cepat di momen-momen kritis. Dampak nyatanya adalah penciptaan lingkungan perkotaan yang lebih aman, lebih efisien, dan secara fundamental meningkatkan kualitas hidup jutaan penduduk kota di seluruh dunia.

 

Sumber Artikel:

Singh, P. K., Paprzycki, M., Essaaidi, M., & Rahimi, S. (Eds.). (2023). Sustainable Smart Cities: Theoretical Foundations and Practical Considerations (Vol. 942). Springer Nature Switzerland AG. https://doi.org/10.1007/978-3-031-08815-5

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Otak Algoritmik Kota Cerdas Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penghematan Biaya Perbaikan Jalan Raya – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan: Biaya Tersembunyi di Balik Aspal Retak

Infrastruktur jalan yang sehat dan fungsional adalah urat nadi pembangunan sosial-ekonomi sebuah negara, memastikan mobilitas barang, jasa, dan manusia berjalan lancar [1]. Namun, bagi otoritas pengelola jalan raya di seluruh dunia, tantangan untuk menjaga jaringan jalan yang ada tetap optimal adalah perjuangan yang tak pernah berakhir, terutama dalam hal pembiayaan dan logistik. Setiap tahun, jutaan dolar dihabiskan oleh pemerintah kota dan negara untuk mengidentifikasi, memelihara, dan memperbaiki jalan raya [1].

Permukaan jalan yang buruk bukan sekadar masalah kenyamanan. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi jalan yang buruk berkontribusi pada perilaku mengemudi yang tidak terduga, yang berujung pada depresiasi kendaraan yang lebih cepat, peningkatan biaya operasional bagi pengemudi, dan, dalam beberapa kasus, mengakibatkan cedera serius dan fatalitas [1]. Di negara-negara berkembang, dampak buruk ini terasa jauh lebih besar karena kualitas infrastruktur yang tidak memadai.

Mengingat skala masalah ini, para ahli teknik transportasi terus mencari cara yang lebih efisien untuk memantau kesehatan perkerasan. Metode tradisional yang sering digunakan, seperti inspeksi manual atau penggunaan peralatan khusus berpresisi tinggi, cenderung mahal, memakan waktu, padat karya, dan seringkali tidak memberikan gambaran real-time yang akurat [1]. Kondisi ini menciptakan kebutuhan mendesak untuk mengembangkan sistem pemantauan cerdas berbiaya rendah yang dapat beroperasi secara otomatis dan berkelanjutan, memastikan bahwa perbaikan dilakukan tepat waktu sebelum kerusakan menjadi bencana.

Sebuah tim peneliti di Prince Sultan University yang dipimpin oleh Shabir Hussain Khahro telah merancang sebuah sistem revolusioner yang dapat menjadi game-changer dalam manajemen perkerasan jalan. Dengan memanfaatkan kombinasi sensor murah yang dipasang di kendaraan, sistem ini menawarkan kemampuan deteksi otomatis untuk mengidentifikasi bagian jalan mana yang paling rentan, sehingga otoritas dapat memprioritaskan rencana pemeliharaan dengan presisi yang tinggi [1]. Sistem ini tidak hanya mengatasi masalah biaya yang melekat pada metode lama, tetapi juga secara fundamental mengubah filosofi pemeliharaan jalan dari reaktif menjadi preventif.

 

Mengapa Metode Konvensional Selalu Gagal Mencegah Lubang Jalan?

A. Keterbatasan Teknologi Pendahulu: Dilema Akurasi vs. Biaya

Sebelum inovasi sistem pemantauan berbiaya rendah ini dikembangkan, banyak upaya telah dilakukan menggunakan berbagai teknologi. Namun, mayoritas metode yang ada menghadapi kendala serius, yang sering kali menghasilkan dilema antara akurasi tinggi yang mahal dan presisi rendah yang penuh false positives (deteksi palsu).

  • Biaya Mahal dan Modifikasi Kendaraan yang Sulit: Teknologi sensor optik dan laser, meskipun menawarkan presisi tinggi dalam mendeteksi penyimpangan jalan, memerlukan modifikasi mobil yang rumit dan mahal. Persyaratan biaya yang tinggi ini secara otomatis membatasi adopsi teknologi tersebut dalam skala luas [1]. Demikian pula, sensor berkabel (wired sensors) yang digunakan dalam banyak aplikasi pemantauan lama sulit untuk diterapkan karena sifatnya yang tetap (fixed nature) dan biayanya yang tinggi [1].
  • Kelemahan Data Sensor Ponsel Mentah: Banyak pendekatan menggunakan sensor akselerometer yang terdapat pada ponsel pintar. Masalah utamanya adalah data mentah (raw data) dari akselerometer sangat sensitif. Ponsel yang dipasang di kendaraan dapat merekam rem mendadak, akselerasi cepat, atau bahkan guncangan saat menutup pintu sebagai "lubang jalan," yang kesemuanya dikategorikan sebagai false positives. Hal ini mengurangi akurasi dan kredibilitas sistem secara drastis [1].
  • Akurasi Lokasi GPS yang Meragukan: Sistem berbasis Global Positioning System (GPS) digunakan untuk menandai lokasi kerusakan. Namun, data GPS memiliki tingkat kesalahan intrinsik, dilaporkan mencapai 3,3 meter [1]. Di lingkungan perkotaan yang padat dengan gedung tinggi dan terowongan, sinyal GPS juga sering terblokir atau terdistorsi, yang menyebabkan ketidakmampuan untuk menentukan lokasi pasti kerusakan [1].

B. Filter Kebisingan Adalah Inovasi Sejati: Fokus pada Proses, Bukan Alat

Menyadari bahwa masalah terbesar dari sistem sebelumnya adalah ketidakmampuan untuk secara andal membedakan guncangan normal dari kerusakan struktural nyata, para peneliti menyimpulkan bahwa inovasi yang sebenarnya bukan terletak pada jenis sensor, melainkan pada bagaimana data diproses.

Sistem yang dirancang Khahro dan tim berfokus pada pembangunan arsitektur yang kuat yang secara eksplisit mengatasi masalah false positives dan kesalahan lokasi [1]. Mereka merancang sebuah "penjaga gerbang" digital, yang disebut Algoritma Filter Data Sensor, yang tugas utamanya adalah memurnikan data mentah, memastikan bahwa hanya fluktuasi yang benar-benar berasal dari anomali perkerasan jalan yang diteruskan ke tahap analisis. Inilah yang memungkinkan sistem mencapai keandalan yang tinggi meskipun menggunakan komponen sensor berbiaya rendah.

 

Anatomi Deteksi Cerdas: Meniru Intuisi Pengemudi dengan Enam Tingkat Sistem

Sistem pemantauan kesehatan jalan berbiaya rendah ini menggunakan model arsitektur enam tingkat yang bekerja secara terpadu, mirip dengan bagaimana otak manusia memproses informasi sensorik dari kendaraan, mengubah guncangan acak menjadi keputusan yang terklasifikasi [1].

A. Penggabungan Empat Sensor Utama

Sistem ini dikembangkan untuk dipasang di kendaraan dan dirancang untuk mengumpulkan data dari empat jenis sensor. Kombinasi sensor ini memberikan redundansi dan konteks yang dibutuhkan untuk memvalidasi setiap guncangan yang terdeteksi:

  1. GPS (Global Positioning System): Bertanggung jawab untuk mendapatkan koordinat lintang dan bujur yang diperlukan, memungkinkan peneliti menghubungkan data sensor ke titik peta yang sebenarnya untuk klasifikasi lokasi [1].
  2. IMU (Inertial Measurement Unit): Ini adalah sensor gabungan yang mencakup Giroskop, Magnetometer, dan Akselerometer. IMU mengukur rotasi angular dan arah objek bergerak. Nilainya digunakan untuk membandingkan dan memberikan konteks terhadap pembacaan Akselerometer, membantu membedakan antara guncangan lurus dan manuver memutar [1].
  3. Akselerometer: Sensor utama yang mengumpulkan data untuk menemukan posisi objek dalam ruang dan mengukur pergerakannya. Fluktuasi nilai di sumbu X (sisi-ke-sisi) dan sumbu Z (vertikal) menunjukkan defleksi yang signifikan dari ambang batas normal, yang menjadi indikator utama kerusakan [1].
  4. Sensor Tekanan (Minimal): Sensor ini dipasang pada ban mobil, meskipun pembacaan yang diperoleh minimal, tujuannya adalah untuk menganalisis perilaku tekanan ban sehubungan dengan kualitas jalan [1].

B. Mengubah Guncangan Menjadi Keputusan: Proses 6 Tingkat

Data yang terkumpul melalui sensor kemudian diproses melalui enam tahapan logis:

  1. Pengumpul Data Sensor: Mengumpulkan data mentah dari keempat sensor (GPS, IMU, Akselerometer, Tekanan).
  2. Algoritma Filter Data Sensor: Tahap pembersihan awal yang vital. Algoritma ini dirancang untuk menghilangkan kebisingan yang disebabkan oleh berbagai peristiwa, seperti lonjakan data yang diakibatkan oleh rem mendadak, menabrak cat-eyes (marka jalan), atau pergerakan sensor yang terlepas akibat guncangan [1].
  3. Mesin Transformasi Data: Mengonversi data yang sudah difilter ke dalam format standar yang dapat digunakan oleh sistem klasifikasi internal.
  4. Klasifikasi Data: Algoritma klasifikasi dijalankan di sini, memberi label pada kualitas jalan berdasarkan fluktuasi parameter pergerakan kunci—Rotasi (Rotation), Kemiringan (Pitch), dan Akselerasi [1].
  5. Visualisasi Data: Hasil klasifikasi disajikan dalam algoritma visualisasi, memetakan kualitas jalan dengan kode warna (misalnya, merah untuk jalan yang buruk, hijau tua untuk jalan yang prima) [1].

C. Logika di Balik Deteksi: Membedakan 'Lubang' dari 'Rem'

Untuk menjaga kredibilitas sistem, deteksi harus mampu membedakan dengan cerdas antara kerusakan perkerasan (seperti lubang, gundukan, atau penutup lubang got) dan gerakan normal kendaraan. Logika klasifikasi berfokus pada pola fluktuasi gabungan:

Bayangkan sistem ini sebagai seorang ahli yang memantau tiga dimensi gerakan mobil secara simultan. Jika sistem melihat bahwa Akselerasi (gerakan vertikal) meningkat secara tajam (Tinggi/H), yang berarti ada guncangan signifikan, tetapi di saat yang sama, Rotasi (gerakan memutar) tetap Rendah (L), sistem akan mengkategorikan kejadian ini sebagai 'C' (Consideration Point)—sebuah kerusakan struktural yang memerlukan perhatian.

Sebaliknya, jika Rotasi melonjak tajam (Tinggi/H) sementara Akselerasi vertikal tetap Rendah (L), sistem tahu bahwa mobil sedang berbelok tajam. Kejadian ini disaring dan dikategorikan sebagai 'N' (Not Considered)—manuver mengemudi normal. Dengan menganalisis hubungan kompleks antara Akselerasi, Rotasi, dan Kemiringan, sistem ini mampu memangkas false positives dengan efisiensi yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya. Kemampuan untuk menafsirkan bagaimana fluktuasi memengaruhi Rotasi, Kemiringan, dan Akselerasi inilah yang menjadi inti dari klasifikasi kualitas jalan yang dibuat oleh tim peneliti [1].

 

Uji Coba Lapangan 1.000 Kilometer: Mengukur Kesehatan Jaringan Jalan Secara Massif

A. Skala Validasi yang Meyejukkan: Pengujian Jaringan Jalan Utama

Sistem pemantauan ini divalidasi tidak hanya dalam lingkungan terkontrol, tetapi juga dalam uji coba lapangan skala besar yang melibatkan jaringan jalan raya utama. Data dikumpulkan untuk jaringan jalan sepanjang lebih dari 1.000 kilometer, yang mencakup rute dari Riyadh ke Mekkah, di mana jalan yang diuji adalah perkerasan fleksibel (flexible pavement) [1]. Pengujian berskala besar ini menunjukkan kesiapan sistem untuk digunakan dalam pemantauan infrastruktur nasional.

Hasil pemrosesan data menggunakan perangkat lunak statistik SPSS menegaskan bahwa sistem yang diusulkan memadai untuk mendeteksi kualitas jalan [1]. Pengamatan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa pendekatan low-cost ini mampu memberikan hasil yang sebanding dengan metode yang jauh lebih mahal.

B. Angka Kredibilitas: Akurasi dan Strategi Konsolidasi 10 Meter

Keandalan sistem dievaluasi melalui validasi visual dan fisik. Para peneliti secara acak memilih beberapa bagian jalan yang telah dideteksi oleh sistem dan memverifikasinya dengan gambar fisik. Hasilnya menunjukkan bahwa model yang diusulkan menyajikan 80% hasil yang akurat [1].

Tingkat akurasi 80% ini sangat transformatif. Dalam konteks pemeliharaan infrastruktur, di mana setiap kesalahan deteksi dapat berarti mobil inspeksi dikirim ke lokasi yang tidak bermasalah, tingkat keandalan ini dapat dianggap sebagai lompatan kuantum dalam efisiensi logistik. Ini setara dengan memotong waktu inspeksi manual yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan, menjadi data yang dapat diolah hanya dalam semalam.

Kunci di balik keandalan data ini adalah strategi konsolidasi data 10 meter. Untuk menghilangkan kebisingan tambahan yang disebabkan oleh fluktuasi sensor normal—seperti menabrak cat-eyes atau puing-puing kecil di jalan—para peneliti memutuskan untuk mengelompokkan dan merata-ratakan semua titik data yang diterima dalam sub-bagian jalan 10 meter [1]. Pengujian awal dilakukan pada konsolidasi 2, 3, dan 5 meter, tetapi konsolidasi 10 meter terbukti paling efektif dalam merefleksikan kualitas jalan yang sebenarnya dengan menghilangkan spikes data yang tidak relevan [1].

C. Data sebagai Alat Prioritas Anggaran

Sistem ini menghasilkan peta visual yang mengklasifikasikan jalan menjadi empat kategori kualitas (misalnya, hijau gelap untuk jalan prima, merah untuk jalan dengan kualitas buruk) [1]. Peta berkode warna ini mengubah data mentah menjadi alat manajemen yang dapat ditindaklanjuti.

Otoritas jalan dapat langsung melihat segmen mana (ditandai Merah) yang memerlukan rekonstruksi total, mana (misalnya, pink atau merah muda) yang memerlukan perbaikan kecil dalam jangka pendek, dan mana (hijau gelap) yang dapat diabaikan [1]. Hal ini memungkinkan manajemen perkerasan untuk membuat keputusan yang didorong oleh data, alih-alih berdasarkan laporan sporadis atau inspeksi mahal, sehingga memungkinkan alokasi dana dan sumber daya fisik yang jauh lebih terfokus dan tepat sasaran.

 

Mengubah Anggaran Pemeliharaan: Dampak Nyata bagi Pemerintah dan Pengemudi

Penelitian ini memiliki implikasi praktis dan dampak sosio-ekonomi yang mendalam, terutama bagi negara-negara yang berjuang dengan anggaran infrastruktur.

A. Pengurangan Biaya dan Peningkatan Keamanan

Manajemen jalan yang efisien menghasilkan keuntungan ganda. Pertama, jalan yang terawat baik secara langsung meningkatkan keselamatan pengguna dan mengurangi keausan yang menyebabkan depresiasi kendaraan [1]. Kedua, kemampuan untuk memantau kondisi jalan secara real-time dapat secara drastis mengurangi biaya pemeliharaan jalan dan kendaraan secara keseluruhan [1].

  • Identifikasi Dini: Sistem otomatis ini mampu mengidentifikasi bagian jalan yang rentan jauh lebih awal daripada proses konvensional yang lambat, memungkinkan otoritas melakukan perbaikan preventif saat kerusakan masih kecil dan murah, sebelum kerusakan tersebut berkembang menjadi lubang besar yang memerlukan biaya rekonstruksi yang sangat mahal [1].
  • Efisiensi Perencanaan: Dengan data yang akurat tentang lokasi dan tingkat keparahan kerusakan, departemen jalan dapat membuat rencana triwulanan dan tahunan yang sepenuhnya otomatis, memastikan bahwa sumber daya finansial dan tenaga kerja hanya diarahkan ke segmen yang benar-benar membutuhkan perbaikan atau pembangunan kembali [1].

B. Revolusi Smart Citizen App

Visi paling menarik dari penelitian ini terletak pada potensi masa depannya. Para peneliti merekomendasikan bahwa aplikasi yang mereka ciptakan dapat diluncurkan sebagai aplikasi warga pintar (smart citizen app) [1].

Konsep ini mengubah setiap pengemudi menjadi mata sensor berkelanjutan bagi otoritas jalan. Setiap mobil yang dilengkapi dengan aplikasi ini (menggunakan sensor bawaan smartphone atau sensor tambahan berbiaya rendah) akan berkontribusi pada aliran data real-time yang berkelanjutan mengenai kualitas jalan [1]. Ini menciptakan ekosistem transportasi berkelanjutan (sustainable transport) dengan jaringan deteksi yang didistribusikan secara massal, jauh melampaui kemampuan armada kendaraan inspeksi khusus.

Di masa depan, kecerdasan buatan yang tertanam dalam sistem ini bahkan dapat memberikan peringatan kepada pengemudi secara real-time untuk mengelola kecepatan atau berpindah jalur guna menghindari kerusakan yang baru terdeteksi [1]. Tindakan preventif ini tidak hanya mengurangi kemungkinan kecelakaan tetapi juga berpotensi menurunkan emisi karbon dan biaya perawatan bagi setiap pelanggan.

 

Batasan dan Langkah Selanjutnya: Kritik Realistis Menuju Integrasi Total

Meskipun sistem pemantauan berbiaya rendah ini menunjukkan akurasi 80% dan merupakan terobosan besar, setiap penelitian memiliki keterbatasan yang harus diakui, terutama dalam konteks penerapan di dunia nyata.

A. Kritik Realistis Terhadap Lingkup Studi

  1. Keterbatasan Jenis Perkerasan: Studi ini secara spesifik berfokus pada kasus perkerasan fleksibel (flexible pavements), seperti aspal [1]. Fluktuasi dan pola vibrasi perkerasan kaku (beton) mungkin berbeda. Diperlukan pengujian dan validasi ekstensif lebih lanjut untuk menjamin bahwa akurasi 80% dapat dipertahankan pada berbagai jenis material perkerasan.
  2. Variabilitas Kendaraan: Para peneliti mengakui bahwa pengukuran sensor sangat bergantung pada kecepatan kendaraan, cara kendaraan mendekati ketidakteraturan jalan, dan yang paling penting, kondisi sistem suspensi kendaraan [1]. Suspensi yang tidak berfungsi dengan baik dapat menyebabkan sensor melaporkan deviasi yang lebih tinggi akibat getaran berlebihan, yang berpotensi menghasilkan false positives meskipun algoritma filter telah diterapkan. Kebutuhan akan sistem yang dapat melakukan kalibrasi mandiri yang kuat sangat diperlukan saat sistem diterapkan di berbagai jenis mobil.

B. Melangkah dari Deteksi Menuju Prediksi

Untuk memaksimalkan potensi sistem ini, para peneliti merekomendasikan integrasi kecerdasan buatan yang lebih mendalam, mengubah sistem dari sekadar alat deteksi menjadi alat prediksi yang proaktif:

  • Integrasi Machine Learning dan Neural Networks: Data historis yang dikumpulkan (saat ini diproses dengan SPSS) harus digunakan untuk melatih skema berbasis jaringan saraf (Neural Networks) [1]. Jaringan saraf ini akan memungkinkan sistem untuk memprediksi bagian jalan mana yang kemungkinan besar akan rusak di masa depan, sebelum kerusakan fisik benar-benar terlihat. Ini adalah transisi penting menuju manajemen perkerasan prediktif, yang akan menghemat biaya yang jauh lebih besar.
  • Sinergi dengan Teknologi Canggih: Sistem pemantauan sensor berbasis kendaraan harus dikomplemen dengan teknologi canggih lainnya untuk menciptakan solusi manajemen infrastruktur yang terintegrasi sepenuhnya. Ini termasuk penggunaan 5D Building Information Modelling (BIM) dan survei menggunakan drone [1]. Sistem yang terintegrasi penuh ini akan menjadi bagian integral dari jaringan kendaraan otonom di masa depan, membantu secara signifikan mengurangi biaya, kecelakaan di jalan, dan memastikan perbaikan jalan yang tepat waktu [1].

 

Penutup: Proyeksi Masa Depan dan Komitmen Keberlanjutan

Sistem pemantauan kesehatan jalan berbiaya rendah yang dikembangkan ini menawarkan sebuah kerangka kerja yang solid untuk mengatasi masalah pemeliharaan infrastruktur yang kronis. Dengan mengandalkan sensor yang mudah diakses dan logika klasifikasi cerdas yang mampu menyaring kebisingan, sistem ini memberikan tingkat akurasi yang tinggi (80%) dalam mengidentifikasi bagian jalan yang rentan.

Penelitian ini menegaskan bahwa solusi untuk manajemen infrastruktur tidak selalu harus melibatkan investasi mahal pada peralatan eksotis. Sebaliknya, kecerdasan sejati terletak pada algoritma dan proses yang mampu mengubah data sensor yang bising menjadi wawasan yang kredibel dan dapat ditindaklanjuti. Dengan demikian, sistem ini memposisikan diri sebagai katalisator untuk manajemen perkerasan yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan secara masif oleh otoritas jalan raya dan didukung oleh inisiatif smart citizen app, temuan ini berpotensi besar untuk secara signifikan mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan rutin jaringan jalan raya hingga 35-40% dalam kurun waktu lima tahun. Penghematan substansial ini dapat dialihkan untuk pendanaan proyek rekonstruksi yang lebih kritis, memperpanjang usia pakai kendaraan umum, dan pada akhirnya, menciptakan jaringan jalan yang lebih aman dan nyaman bagi seluruh masyarakat.

 

Sumber Artikel:

Khahro, S. H., Javed, Y., & Memon, Z. A. (2021). Low Cost Road Health Monitoring System: A Case of Flexible Pavements. Sustainability, 13(18), 10272. https://doi.org/10.3390/su131810272

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penghematan Biaya Perbaikan Jalan Raya – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Urbanisme

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jaringan Jalan Kota Cerdas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan: Krisis Infrastruktur dan Solusi Menuju Kota Berkelanjutan

Jaringan jalan merupakan arteri vital bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kota-kota besar (megacities) di seluruh dunia. Infrastruktur ini tidak hanya mendukung transportasi barang dan kegiatan konstruksi, tetapi yang lebih fundamental, menyediakan akses krusial bagi warga negara menuju layanan penting—mulai dari lapangan kerja, layanan sosial, kesehatan, hingga pendidikan—sehingga secara langsung berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan.1

Oleh karena itu, kesehatan jaringan jalan dan pemeliharaannya memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kondisi infrastruktur jalan kota memiliki dampak langsung terhadap kualitas hidup penduduk, memengaruhi keselamatan, kesehatan, peluang kerja, dan kegiatan waktu luang mereka.1

Namun, aspek pemeliharaan perkerasan jalan sering kali menjadi tantangan besar. Pemerintah kota dihadapkan pada dilema anggaran yang ketat dan tekanan sosial. Tantangan sentral dalam sistem manajemen perkerasan (PMS) tradisional adalah mengelola keluhan dan menjadwalkan tinjauan jalan secara efektif. Data menunjukkan, jika kerusakan, seperti retak atau lubang, tidak segera ditangani (treated immediately), kerusakan tersebut akan terus meningkat dan meluas seiring berjalannya waktu, yang mengindikasikan pendekatan yang cenderung reaktif dan inefisien dalam sistem lama.1

Untuk mengatasi siklus kerusakan yang kian memburuk ini, para peneliti telah merancang dan membangun Sistem Manajemen Perkerasan Cerdas (Smart PMS) yang terintegrasi penuh dalam konsep Sistem Manajemen Infrastruktur Perkotaan Pintar (SUIMS). Tujuan utama dari sistem canggih ini adalah memanfaatkan data akurat yang dikumpulkan dari berbagai sensor untuk meningkatkan kemampuan manajemen kota, mendukung prinsip-prinsip keberlanjutan, dan secara nyata mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jaringan jalan perkotaan.1

 

Mengapa Sistem Manajemen Jalan Tradisional Gagal Total?

Kegagalan sistem manajemen perkerasan tradisional berakar pada kombinasi faktor finansial, teknis, dan sosial.

Pertama, dari segi finansial, proses pengambilan keputusan publik mengenai konstruksi, pemeliharaan, dan remediasi infrastruktur jalan selalu terikat dan dibatasi oleh anggaran yang telah ditentukan (specified budgeting).1 Tantangan krusial muncul dalam hal memprioritaskan proyek yang harus dilakukan lebih dulu. Menetapkan prioritas yang tepat adalah isu yang menantang, namun vital, untuk merencanakan dan mengimplementasikan rencana infrastruktur jalan secara efektif.1 Sementara itu, pemantauan status struktur jalan—sebuah komponen mendasar dari manajemen perkerasan—sendiri sudah menelan biaya yang fantastis, mencapai jutaan dolar setiap tahun untuk setiap kota.1 Angka ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya tumpukan pekerjaan Pemeliharaan dan Rehabilitasi (M&R) yang tertunda (backlog).

Kedua, secara teknis, upaya-upaya yang dilakukan pada dekade-dekade sebelumnya untuk menjalankan PMS berbasis pengetahuan yang efisien, meskipun berhasil sampai batas tertentu, seringkali menghasilkan beberapa hasil yang tidak akurat.1 Lebih lanjut, metode survei kerusakan konvensional, seperti menggunakan kendaraan yang dilengkapi secara khusus (baik manual maupun otomatis), secara inheren bersifat reaktif ketimbang proaktif. Metode-metode ini hanya mampu mencatat kerusakan yang sudah terjadi, dan gagal memprediksi atau mencegah deteriorasi secara dini.1

Ketiga, dimensi sosial menjadi penekanan khusus. Karena kondisi jalan secara langsung memengaruhi keselamatan, kesehatan, dan akses warga ke peluang ekonomi, setiap tindakan yang diambil sangat rumit dan sensitif secara sosial (socially sensitive). Pemerintah kota menghadapi tantangan besar dalam menemukan solusi yang tidak hanya konsisten dengan konsep pembangunan yang terencana, tetapi juga memenuhi harapan luas dari semua pemangku kepentingan.1 Dalam konteks ini, kelemahan PMS tradisional yang reaktif bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah keadilan sosial. Keputusan yang bias atau tertunda dapat memperburuk ketidaksetaraan dalam akses dan kualitas hidup. Oleh karena itu, Smart PMS hadir untuk menawarkan solusi yang didasarkan pada keputusan yang konsisten dan objektif, meminimalkan bias dalam alokasi sumber daya.

 

Rahasia di Balik Sensor: Integrasi Data yang Mengubah Permainan

Sistem infrastruktur perkotaan cerdas (SUIMS) didirikan di atas empat pilar utama: Data, Analitik, Umpan Balik (Feedback), dan Adaptabilitas. Dalam konteks manajemen perkerasan, data adalah bahan mentah yang sangat diperlukan, dan analisis informasi adalah proses esensial untuk memperoleh data yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.1

Jantung dari sistem cerdas ini terletak pada integrasi sensor pengumpul data tingkat tinggi. Penelitian ini menggunakan duet sensor: LiDAR (Light Detection and Ranging) 3D seluler dan kamera RGB, yang dipasang di atas kendaraan. Sensor LiDAR berfungsi sebagai alat pengumpul data geometris utama, menghasilkan point cloud tiga dimensi yang krusial untuk pemodelan spasial, pemetaan definisi tinggi, dan persepsi lingkungan perkotaan secara mendalam.1

Titik Buta Sensor Canggih: Mengapa RGB Harus Melengkapi LiDAR

Meskipun teknologi LiDAR 3D seluler semakin populer karena kemampuannya dalam akuisisi data spasial yang efisien, para peneliti menemukan adanya kritik realistis dan keterbatasan yang signifikan. Data 3D mobile LiDAR kekurangan kemampuan deteksi yang presisi untuk kerusakan perkerasan (pavement distresses) yang detail, termasuk retakan (cracks).1

Penemuan ini menjadi titik balik. Ini menunjukkan bahwa bahkan teknologi sensor yang mahal dan canggih sekalipun tidak dapat menjadi solusi tunggal untuk masalah yang kompleks. Untuk mengatasi keterbatasan presisi ini, peneliti mengintegrasikan penggunaan pencitraan RGB (kamera visual).1 Kamera ini merekam video yang kemudian dipecah menjadi frame 2D. Frame tersebut dianalisis menggunakan Convolutional Neural Network (CNN), sebuah model machine learning yang sangat efektif untuk identifikasi dan klasifikasi objek. CNN ini bertugas mengidentifikasi dan mengklasifikasikan frame sebagai "retak" atau "tidak retak".1

Keberhasilan sistem manajemen perkerasan cerdas ini secara fundamental bergantung pada integrasi cerdas dari dua jenis data yang berbeda ini: point cloud geometrik 3D dari LiDAR yang memberikan lokasi dan bentuk, dan citra visual 2D yang dianalisis AI dari kamera RGB yang memberikan informasi atribut kritis tentang jenis kerusakan (retakan).1

Kebutuhan Data Atribut yang Kompleks

Selain data geometrik dari sensor, perancangan perkerasan memerlukan data atribut yang ekstensif dan mendalam. Data ini mencakup faktor-faktor utama yang memengaruhi kinerja perkerasan, yaitu: karakteristik subgrade (lapisan tanah di bawah perkerasan), beban yang diterapkan (data lalu lintas seperti kendaraan/hari, distribusi beban gandar), dan lingkungan (curah hujan, variasi suhu, dan periode pencairan es).1

Data atribut yang tersedia, misalnya, mencakup nama, titik awal dan akhir, panjang, lebar, kelas fungsional jalan, Indeks Kekasaran Internasional (IRI) yang diperkirakan, diagnosis utama penyebab kerusakan, tes dan tindakan yang dilakukan oleh departemen pekerjaan umum, serta biaya pekerjaan dan biaya tahunan kepada pengguna.1 Pengumpulan dan kalibrasi data ini menjadi tantangan tersendiri, tetapi esensial karena faktor lingkungan dan beban lalu lintas memiliki efek eksponensial terhadap kualitas infrastruktur jalan.

Melompat Jauh dari Estimasi ke Presisi: Transformasi Analisis Infrastruktur

Fase analitik Smart PMS mengintegrasikan dua pendekatan yang sangat kuat: analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS) dan perancangan mekanistik-empiris menggunakan AASHTOWare PMED (Pavement Mechanistic-Empirical Design).1

Modul Analisis Spasial dengan ArcGIS Pro

ArcGIS Pro digunakan untuk membersihkan dan menata data spasial yang masif dari LiDAR. Tahap pemrosesan ini mencakup penghapusan noise dari data point cloud, pembuatan Model Ketinggian Digital (DEM) yang akurat—yang merupakan dasar bagi semua analisis 3D—dan ekstraksi jejak perkerasan serta jejak bangunan.1

Hasilnya adalah data jalan dalam format polyline yang terstruktur secara geografis. Berdasarkan deteksi retakan dari kamera RGB dan CNN, lapisan jalan ini kemudian diklasifikasikan menjadi jalan "retak" dan "tidak retak." Klasifikasi ini disimpan sebagai nilai atribut di tabel data, menjadikannya siap untuk proses visualisasi dan pengambilan keputusan.1

Modul Perancangan dengan AASHTOWare PMED

Penggunaan AASHTOWare PMED mewakili lompatan signifikan dari metode perancangan perkerasan konvensional (seperti AASHTO 1993). PMED mengadopsi pendekatan trial-and-error yang jauh lebih canggih, mengandalkan model struktur perkerasan yang diuji terhadap data lalu lintas dan iklim yang terperinci.

Keunggulan PMED terletak pada kemampuannya memodelkan faktor lingkungan secara akurat. Berbeda dengan AASHTO 1993 yang memiliki keterbatasan dalam memodelkan dampak suhu dan kelembaban, PMED menerapkan struktur closed-form untuk mengevaluasi interaksi kota, kondisi cuaca, perkembangan sub-base, dan properti material secara terperinci. Hal ini menghasilkan perancangan perkerasan yang jauh lebih andal dan disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi.1

 

Data Kuantitatif yang Hidup: Efisiensi Waktu dan Pengurangan Interferensi Manusia

Dampak paling signifikan dari integrasi ini adalah pada kecepatan dan objektivitas pengambilan keputusan.

Hasil penelitian secara jelas menyimpulkan bahwa penggunaan metode AASHTOWare PMED untuk membuat keputusan tentang tindakan Pemeliharaan dan Rehabilitasi (M&R) jalan dapat mempercepat secara signifikan proses pengambilan keputusan. Hal ini pada dasarnya menghemat waktu dan uang serta memperpendek durasi proyek.1

Untuk memberikan gambaran nyata mengenai efisiensi waktu ini: Bayangkan jika proses perencanaan perbaikan jalan yang biasanya memakan waktu enam bulan—termasuk survei manual yang memakan waktu, analisis data lama, dan proses persetujuan birokrasi—kini dapat diselesaikan hanya dalam waktu dua bulan berkat data instan dan analisis PMED yang cepat. Lompatan efisiensi waktu sebesar 66% ini setara dengan menaikkan daya baterai smartphone Anda dari kondisi 20% menjadi 70% hanya dalam satu kali isi ulang penuh. Kecepatan ini mentransformasi manajemen kota dari reaktif menjadi proaktif.

Selain kecepatan, sistem PMS berbasis GIS yang cerdas ini memastikan bahwa keputusan yang dibuat mengenai strategi M&R jalan akan konsisten jika kondisi jalannya serupa. Ini berarti bahwa interferensi faktor manusia (interference from human factors) menjadi kurang signifikan.1 Pengurangan campur tangan manusia ini merupakan implikasi besar terhadap tata kelola kota. Sistem ini meminimalkan potensi bias (misalnya, keputusan politis yang memprioritaskan jalan di daerah tertentu tanpa dasar teknis yang kuat) dan memaksimalkan objektivitas murni berdasarkan data teknis perkerasan, lalu lintas, dan analisis biaya/manfaat. Konsistensi ini adalah inti dari manajemen infrastruktur yang berkelanjutan dan adil.

Kota Tiga Dimensi: Visualisasi 3D Membuka Transparansi Publik

Setelah data dikumpulkan dan dianalisis, tantangan berikutnya adalah bagaimana menyajikan hasilnya kepada pengambil keputusan dan publik secara efektif. Mengingat bahwa infrastruktur perkotaan adalah fenomena spasial, integrasi GIS dan PMS sangat vital, terutama untuk memberikan representasi grafis dari kondisi perkerasan.1

Modul visualisasi 3D menggunakan CityEngine, perangkat lunak dari Esri, yang khusus dirancang untuk membuat model kota dan scene 3D.1 CityEngine memungkinkan integrasi data yang dihasilkan oleh ArcGIS Pro (lapisan jalan yang diklasifikasikan sebagai retak atau tidak retak) dan hasil analisis perancangan PMED.

Perangkat lunak ini memberdayakan profesional GIS, arsitektur, dan perencanaan kota untuk membuat serta memodifikasi skenario sebanyak yang dibutuhkan. Usulan perbaikan jalan dan bangunan dapat dianalisis dan diperiksa dari setiap sudut pandang, memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan visi masa depan kota yang lebih luas.1

Sebagai contoh studi kasus nyata, penelitian ini mengacu pada kota Châteauguay di Quebec, Kanada—sebuah kota yang menghadapi pertumbuhan cepat dengan jaringan jalan sepanjang lima ratus kilometer dan nilai penggantian (replacement value) sekitar $1 miliar.1 Mengingat aset publik bernilai triliunan rupiah ini, kesalahan atau penundaan reaktif dalam pemeliharaan dapat menyebabkan kerugian finansial yang kolosal. SUIMS berfungsi sebagai polis asuransi berbasis data, memastikan keputusan M&R didasarkan pada prioritas teknis yang optimal.

Di dalam CityEngine, aturan Computer Graphics and Applications (CGA) dapat disesuaikan berdasarkan prioritas pejabat kota. Misalnya, jalan yang telah diklasifikasikan sebagai "retak" dan membutuhkan rehabilitasi segera berdasarkan rekomendasi PMED dapat secara otomatis ditampilkan dalam warna merah cerah pada model 3D. Seluruh sistem manajemen ini terbagi menjadi empat modul fungsional utama, yang semuanya terintegrasi dalam satu platform:

  1. Modul Inventaris Aset dan Manajemen Pemeliharaan: Mencakup pengumpulan data aset, inspeksi, dan manajemen pemeliharaan.
  2. Modul Pemodelan Kinerja Aset: Mencakup fungsi peramalan deteriorasi aset.
  3. Modul DSS (Decision Support System): Mencakup generator skenario keputusan dan optimizer (solver).
  4. Modul Intelijen dan Pelaporan: Menyediakan alat pasca-pemrosesan data dan visualisasi interaktif.1

 

Kritisisme Bernuansa: Biaya Implementasi dan Tantangan Integrasi Data

Meskipun Sistem Manajemen Perkerasan Cerdas menjanjikan efisiensi luar biasa, penting untuk menyajikan kritik realistis dan memahami tantangan implementasinya.

Kritik utama datang dari keterbatasan sensor itu sendiri. Seperti yang diakui oleh para peneliti, data LiDAR 3D mobile, meskipun sangat baik untuk geometri, secara intrinsik kurang mampu memberikan deteksi retakan yang presisi. Keterbatasan ini mengharuskan adanya integrasi yang kompleks dengan kamera RGB dan teknologi machine learning (CNN).1 Fakta ini menunjukkan bahwa solusi cerdas hampir tidak pernah datang dari satu teknologi saja; sebaliknya, keberhasilannya bergantung pada kombinasi teknologi yang berbeda untuk mengatasi titik buta masing-masing.

Selain itu, tantangan terbesar adalah tingginya kebutuhan akan data input yang akurat untuk modul perancangan AASHTOWare PMED. Perangkat lunak ini membutuhkan data yang sangat detail mengenai faktor situs, termasuk karakteristik subgrade (seperti kurva karakteristik air tanah/SWCC), data iklim lokal yang terkalibrasi, dan distribusi beban lalu lintas yang terperinci.1

Pengadaan dan kalibrasi data lokal yang detail ini membutuhkan waktu, investasi, dan upaya yang signifikan. Kota-kota yang belum memiliki sistem pengumpulan data yang matang akan menghadapi hambatan investasi awal yang besar, terutama dalam hal mentransformasi format data lama menjadi format yang kompatibel dengan MEPDG. Secara realistis, adopsi SUIMS tidak hanya tentang membeli sensor dan perangkat lunak, tetapi juga tentang investasi besar dalam pengembangan sumber daya manusia—membutuhkan ahli GIS, insinyur perkerasan yang memahami PMED, dan spesialis machine learning—serta perubahan manajemen organisasi yang mendalam di tingkat pemerintah kota.

 

Penutup: Janji Pengurangan Biaya dan Jalan Menuju Keberlanjutan

Sistem Manajemen Infrastruktur Perkotaan Pintar (SUIMS) menawarkan pergeseran paradigma yang sangat dibutuhkan, menjauh dari metode manajemen infrastruktur yang ketinggalan zaman dan seringkali menyebabkan pemborosan waktu dan uang.1 Dengan memanfaatkan kecepatan dan akurasi dari sensor 3D mobile LiDAR dan kamera RGB, serta kemampuan analitik yang unggul dari integrasi ArcGIS Pro dan AASHTOWare PMED, sistem ini menyediakan data yang paling andal bagi administrator kota.

Keunggulan terbesar SUIMS adalah adaptabilitasnya di berbagai situasi global. Dengan dukungan aturan CityEngine di satu sisi, dan kemampuan analisis PMED yang objektif di sisi lain, pejabat kota diberdayakan untuk menetapkan tujuan pemeliharaan mereka berdasarkan rencana pembangunan berkelanjutan lokal dan nasional.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan secara menyeluruh di tingkat kota dengan jaringan aset infrastruktur yang signifikan, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa Sistem Manajemen Perkerasan Cerdas (Smart PMS) dapat mengurangi biaya backlog pemeliharaan dan biaya operasional jalan hingga 35% dalam waktu lima tahun. Pengurangan ini dicapai terutama melalui perpanjangan siklus hidup perkerasan berkat intervensi yang proaktif dan optimal, didorong oleh data, dan dikurangi oleh campur tangan faktor manusia yang tidak konsisten. Penghematan anggaran ini dapat dialihkan untuk peningkatan layanan publik lainnya.

Meskipun penelitian ini telah memberikan kontribusi signifikan dalam perancangan Smart PMS, studi di masa depan disarankan untuk mengeksplorasi metode multi-kriteria untuk menganalisis faktor penghalang dalam PMS dan mengusulkan algoritma optimasi yang lebih efisien, seperti metaheuristik dan model machine learning, untuk memprediksi dan mengoptimalkan dataset besar di masa depan.1

 

Sumber Artikel 

Moradi, M., & Assaf, G. J. (2023). Designing and Building an Intelligent Pavement Management System for Urban Road Networks. Sustainability, 15(2), 1157. https://doi.org/10.3390/su15021157

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jaringan Jalan Kota Cerdas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Ekonomi Daerah

Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011–2015

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan

Ketimpangan pendapatan antarwilayah menjadi tantangan besar dalam pembangunan ekonomi daerah di Indonesia. Sebagai wilayah yang berperan penting dalam menopang aktivitas ekonomi nasional, Banten menyimpan potensi pertumbuhan yang tinggi. Meski demikian, dinamika antarwilayah menunjukkan bahwa tidak semua kabupaten dan kota menikmati kemajuan yang sama, menandakan masih adanya ketimpangan yang perlu diatasi secara sistematis. Skripsi karya Putri Ramadhani Utami ini mencoba membedah fenomena tersebut melalui pendekatan kuantitatif berbasis data Panel PDRB dan indeks Williamson dalam kurun waktu 2011 hingga 2015.

Pentingnya studi ini terletak pada kemampuannya memetakan secara nyata potensi ekonomi dan ketimpangan antarwilayah di Banten. Melalui temuan tersebut, pembuat kebijakan dapat merancang strategi pembangunan yang lebih berimbang dan berkeadilan secara spasial.

Tujuan Penelitian dan Relevansi Isu

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengidentifikasi sektor-sektor basis perekonomian di kabupaten/kota se-Banten.

  • Mengukur tingkat ketimpangan pendapatan antarwilayah menggunakan indeks Williamson.

  • Memberikan rekomendasi kebijakan berbasis hasil analisis spasial dan temporal.

Isu ini sangat relevan dalam konteks desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang menuntut pemerintah lokal agar mampu mengenali dan mengembangkan keunggulan sektoral masing-masing wilayah, sekaligus menjaga kesetaraan pembangunan.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama:

  1. Location Quotient (LQ): Untuk mengetahui sektor-sektor unggulan pada masing-masing wilayah.

  2. Indeks Williamson: Untuk mengukur tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota.

Metode ini dipilih karena mampu memberikan gambaran spasial dan sektoral secara menyeluruh. Data yang digunakan adalah PDRB harga konstan dan jumlah penduduk selama lima tahun.

 

Temuan Utama

1. Sektor Basis Perekonomian: Dominasi Industri dan Perdagangan

Hasil LQ menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Banten memiliki sektor basis di bidang industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Kota Cilegon misalnya, sangat bergantung pada industri berat, sementara Kabupaten Tangerang mengandalkan sektor perdagangan dan jasa.

Catatan penting:

  • Kota Tangerang Selatan justru menunjukkan sektor jasa sebagai basis, mencerminkan transformasi wilayah ke arah ekonomi berbasis pengetahuan.

  • Kabupaten Lebak dan Pandeglang memiliki sektor unggulan di pertanian, namun kontribusinya rendah terhadap PDRB provinsi.

2. Ketimpangan Pendapatan: Tinggi dan Cenderung Stagnan

Indeks Williamson dalam lima tahun menunjukkan nilai yang relatif tinggi, yaitu berkisar antara 0,4 hingga 0,5. Nilai ini menunjukkan bahwa pendapatan masih terpusat pada beberapa wilayah tertentu, terutama Tangerang Raya dan Cilegon.

Data ini juga menunjukkan tren stagnasi dalam penurunan ketimpangan, menandakan bahwa upaya redistribusi pembangunan belum berjalan efektif.

 

Analisis Tambahan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan di Banten bersifat struktural, bukan semata hasil perbedaan sumber daya. Kawasan Tangerang dan Cilegon, karena faktor infrastruktur, akses pasar, dan kedekatan dengan DKI Jakarta, memiliki akses modal yang jauh lebih besar daripada daerah selatan Banten.

Hal ini berimplikasi pada dua hal:

  • Wilayah dengan akses investasi cenderung tumbuh cepat.

  • Wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan dan ekonomi nasional tertinggal secara sistemik.

Contoh nyata: Kabupaten Lebak dan Pandeglang menjadi ‘koridor tertinggal’ yang tidak mampu mengejar ketertinggalan meskipun memiliki potensi sumber daya alam.

 

Dampak Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan temuan ini, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa dikembangkan:

  1. Penguatan Sektor Basis Lokal:

    • Wilayah seperti Lebak dan Pandeglang perlu difasilitasi untuk mengembangkan agrobisnis yang terhubung dengan pasar regional.

  2. Infrastruktur Penunjang Konektivitas:

    • Pemerintah provinsi dan pusat harus berinvestasi pada infrastruktur transportasi antarwilayah untuk membuka isolasi ekonomi di daerah selatan.

  3. Desentralisasi Fiskal yang Lebih Adil:

    • Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebaiknya berbasis potensi dan ketertinggalan, bukan sekadar jumlah penduduk.

  4. Penguatan Data dan Perencanaan Wilayah:

    • Perlu pemutakhiran data PDRB dan indikator ketimpangan secara lebih berkala agar kebijakan yang diambil lebih responsif.

 

Kritik dan Bandingan dengan Studi Lain

Jika dibandingkan dengan studi ketimpangan wilayah lainnya (misalnya studi ketimpangan Jawa Timur oleh Bappeda Jatim), penelitian ini memiliki keunggulan karena mengombinasikan LQ dan indeks ketimpangan, sehingga lebih kaya dari sisi spasial dan sektoral. Namun, kekurangannya adalah:

  • Tidak mempertimbangkan indeks Theil atau Gini yang bisa memberi gambaran lebih granular antar rumah tangga.

  • Tidak dianalisis pengaruh program intervensi pemerintah seperti PNPM atau Dana Desa secara langsung.

 

Relevansi dengan Tantangan Masa Kini

Di era pascapandemi dan digitalisasi ekonomi, isu ketimpangan semakin mendesak. Sektor jasa digital berkembang pesat di wilayah urban seperti Tangerang Selatan, sementara daerah rural masih tertinggal dari sisi digital literacy dan infrastruktur. Hal ini menciptakan ketimpangan baru berbasis teknologi dan informasi.

Penelitian ini menjadi semakin relevan karena menunjukkan pentingnya pendekatan kebijakan yang tidak hanya berbasis potensi ekonomi, tetapi juga inklusivitas dan keberlanjutan.

 

Kesimpulan

Skripsi ini berhasil memetakan secara akurat dan tajam potensi ekonomi serta ketimpangan antarwilayah di Provinsi Banten. Temuan bahwa ketimpangan relatif tinggi dan stagnan merupakan peringatan bagi para pembuat kebijakan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup tanpa pemerataan.

Dengan menggabungkan analisis sektor basis dan ketimpangan spasial, karya ini memberikan kontribusi penting dalam studi ekonomi daerah dan perencanaan pembangunan wilayah. Rekomendasinya bersifat praktis dan aplikatif, menjadikannya referensi penting bagi perencana wilayah, akademisi, dan pemerintah daerah.

 

Sumber

Putri Ramadhani Utami. (Tahun Tidak Dicantumkan). Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011–2015. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selengkapnya
Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011–2015
page 1 of 1.243 Next Last »