Jalan berlubang, aspal retak, dan genangan air saat hujan adalah pemandangan yang terlalu akrab bagi jutaan warga Indonesia. Keluhan ini bukan sekadar soal ketidaknyamanan; ini adalah masalah ekonomi yang menggerus waktu, merusak kendaraan, dan bahkan mengancam keselamatan jiwa. Di balik setiap jalan rusak, ada dilema yang dihadapi oleh pemerintah daerah di seluruh negeri: dengan anggaran yang terbatas dan daftar jalan yang butuh perbaikan seolah tak berujung, jalan mana yang harus didahulukan?
Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi jawabannya sangat kompleks. Setiap keputusan melibatkan pertaruhan besar terhadap dana publik dan kepercayaan masyarakat. Di Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, para pejabat pemerintah menghadapi tantangan ini setiap hari. Mereka harus menentukan urutan prioritas perbaikan jalan untuk diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Medan.1 Namun, sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam JURNAL SISTEM INFORMASI TGD menyoroti sebuah celah fundamental dalam proses pengambilan keputusan ini, sebuah celah yang mungkin juga ada di kota Anda.
Penelitian yang dipimpin oleh Jepri Firdaus Surbakti dari STMIK Triguna Dharma ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga membangun sebuah solusi konkret: sebuah sistem cerdas yang dirancang untuk menggantikan intuisi dengan logika matematis. Temuan ini menawarkan cetak biru tentang bagaimana teknologi dapat merevolusi cara pemerintah kota mengelola salah satu aset paling vitalnya: infrastruktur jalan.
Saat Intuisi Tak Lagi Cukup: Titik Lemah Perencanaan Kota Tradisional
Masalah inti yang diungkap oleh para peneliti adalah ketergantungan pada metode yang kurang objektif dalam menentukan prioritas. Laporan tersebut menyatakan bahwa proses pemilihan wilayah perbaikan jalan "terkadang masih dilakukan secara prediksi ataupun tidak berdasarkan dengan kriteria yang telah ditetapkan".1 Istilah "prediksi" di sini menjadi kata kunci yang mengkhawatirkan. Ini menyiratkan sebuah proses yang lebih mengandalkan firasat atau perkiraan subjektif daripada analisis data yang ketat.
Ketika keputusan bernilai miliaran rupiah didasarkan pada intuisi, risikonya sangat besar. Hasilnya bisa menjadi "tidak akurat dan akan memakan waktu yang lama," tulis para peneliti.1 Tanpa sebuah kerangka kerja yang jelas, jalan yang secara strategis kurang penting mungkin diperbaiki lebih dulu daripada arteri utama yang vital bagi perekonomian lokal, hanya karena keluhannya lebih nyaring atau lokasinya lebih terlihat.
Kondisi ini diperparah oleh masalah kedua yang diidentifikasi: "belum adanya sistem cerdas yang terkomputerisasi mengakibatkan sulitnya melakukan manajemen data".1 Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan sebuah kesenjangan tata kelola yang serius. Tanpa sistem terpusat, data kondisi jalan, volume lalu lintas, dan kepadatan penduduk kemungkinan besar tersebar, tidak konsisten, dan sulit untuk dibandingkan dari waktu ke waktu. Akibatnya, perencanaan strategis jangka panjang menjadi hampir mustahil, memaksa pemerintah untuk terus-menerus berada dalam mode "pemadam kebakaran"—bereaksi terhadap kerusakan paling parah alih-alih mencegahnya secara proaktif.
Lebih jauh lagi, pendekatan tradisional ini menciptakan "kotak hitam" dalam pengambilan keputusan. Ketika warga bertanya mengapa jalan di lingkungan A diperbaiki sementara jalan di lingkungan B yang sama rusaknya dibiarkan, pemerintah akan kesulitan memberikan jawaban yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiadaan transparansi berbasis data inilah yang secara perlahan dapat mengikis kepercayaan publik. Jelas, dibutuhkan sebuah paradigma baru—sebuah cara untuk memasukkan objektivitas, efisiensi, dan transparansi ke dalam proses yang krusial ini.
Memasukkan Logika ke Dalam Aspal: Lahirnya Sistem Cerdas Penentu Prioritas
Menjawab tantangan tersebut, tim peneliti merancang dan membangun sebuah Sistem Pendukung Keputusan (SPK), atau Decision Support System (DSS). Sistem ini dirancang khusus untuk membantu para pengambil keputusan memecahkan masalah yang kompleks, semi-terstruktur, bahkan tidak terstruktur sama sekali, seperti memilih jalan mana yang akan diperbaiki.1
Penting untuk memahami filosofi di balik SPK. Ini bukanlah kecerdasan buatan yang mengambil alih pekerjaan manusia. Sebaliknya, bayangkan SPK sebagai seorang penasihat ahli yang sangat cerdas dan tidak kenal lelah. Ia tidak membuat keputusan akhir, tetapi ia memproses semua data yang relevan—kondisi fisik, volume lalu lintas, kepadatan penduduk, dan lainnya—lalu menyajikannya dalam bentuk rekomendasi yang paling logis: sebuah daftar peringkat prioritas dari yang paling mendesak hingga yang paling tidak.
Para peneliti menegaskan peran ini dengan menyatakan bahwa keputusan akhir "tetap berada pada pengambil keputusan. Sistem hanya menghasilkan keluaran yang mengkalkulasi data-data".1 Ini adalah sebuah desain yang brilian dari sudut pandang tata kelola. Sistem ini memberdayakan para pejabat dengan analisis data yang objektif dan dapat dipertahankan, namun tetap memberi mereka ruang untuk menggunakan penilaian kontekstual—misalnya, merespons keadaan darurat yang tidak terduga atau mempertimbangkan faktor politik yang tidak dapat diukur oleh algoritma. Dengan demikian, SPK adalah alat pemberdayaan, bukan penggantian.
Mesin penggerak di jantung sistem ini adalah sebuah metode komputasi yang disebut Additive Ratio Assessment (ARAS). Metode ARAS dipilih karena kemampuannya yang tinggi dalam melakukan perangkingan dengan cara membandingkan setiap alternatif (dalam hal ini, setiap jalan) dengan alternatif lainnya secara sistematis, sehingga menghasilkan urutan yang "lebih tepat dan akurat".1 Secara sederhana, ARAS memastikan bahwa setiap ruas jalan dinilai menggunakan standar yang sama dan adil, menghilangkan bias dan subjektivitas dari persamaan.
Di Balik Layar Keputusan: Membedah Filosofi di Balik Kriteria
Sebuah sistem cerdas hanya secerdas kriteria yang digunakannya. Dalam studi ini, para peneliti menetapkan lima kriteria kunci untuk mengevaluasi setiap ruas jalan, lengkap dengan bobot yang mencerminkan tingkat kepentingannya. Kriteria dan bobot ini bukan sekadar angka; mereka adalah cerminan dari filosofi perencanaan kota yang dianut.
Berikut adalah lima pilar yang menopang setiap keputusan dalam sistem ini 1:
- Volume Lalu Lintas (Bobot: 35%): Ini adalah kriteria dengan bobot tertinggi, sebuah pilihan yang sangat signifikan. Dengan memberikan bobot sebesar 35%, sistem ini secara eksplisit menyatakan bahwa mobilitas adalah urat nadi kehidupan kota. Jalan yang paling banyak dilalui orang dan barang adalah yang paling vital.
- Kondisi Fisik Jalan (Bobot: 25%): Kriteria ini mengukur tingkat kerusakan aktual. Ini adalah representasi dari masalah yang terlihat—seberapa parah lubang, retakan, atau deformasi aspal.
- Kepadatan Penduduk (Bobot: 15%): Kriteria ini memasukkan elemen sosial. Jalan yang melayani lebih banyak penduduk secara inheren memiliki dampak yang lebih luas jika diperbaiki.
- Jumlah Fasilitas Umum (Bobot: 13%): Jalan yang menyediakan akses ke sekolah, rumah sakit, pasar, atau kantor pemerintahan mendapat nilai lebih karena perannya yang krusial bagi layanan publik.
- Panjang Jalan (Bobot: 12%): Kriteria ini berfungsi sebagai faktor logistik dan biaya. Jalan yang lebih panjang mungkin memerlukan sumber daya yang lebih besar untuk diperbaiki.
Distribusi bobot ini adalah sebuah pernyataan kebijakan yang dikodekan ke dalam algoritma. Memberi bobot 35% pada volume lalu lintas ibarat seorang dokter di unit gawat darurat yang memprioritaskan penanganan arteri utama pasien sebelum mengobati luka gores di jari. Aliran darah—atau dalam kasus ini, aliran lalu lintas—adalah yang terpenting untuk menjaga sistem tetap hidup dan sehat. Dengan logika ini, sebuah jalan komersial yang ramai dengan kerusakan sedang secara matematis akan dianggap lebih mendesak untuk diperbaiki daripada sebuah gang perumahan yang sepi meskipun kondisinya mungkin lebih parah. Ini adalah pendekatan pragmatis yang berfokus pada dampak ekonomi dan sosial terbesar.
Panggung Uji Coba: Kisah Dua Jalan di Medan Tuntungan
Untuk membuktikan keampuhan sistem mereka, para peneliti mengujinya pada sepuluh ruas jalan alternatif di Kecamatan Medan Tuntungan.1 Hasilnya bukan lagi sekadar daftar, melainkan sebuah narasi data yang jelas tentang prioritas infrastruktur. Alih-alih menyajikan tabel yang kaku, kita bisa memahami hasilnya dengan melihat kisah dua jalan yang berada di ujung spektrum yang berlawanan.
Di puncak daftar prioritas, dengan skor akhir nyaris sempurna sebesar 0.8542, adalah Jalan Bunga Rampai Ujung.1 Jalan ini dinobatkan sebagai "Prioritas 1". Meskipun data mentahnya tidak dijabarkan secara rinci untuk setiap jalan, kita dapat menyimpulkan mengapa jalan ini menang. Skornya yang tinggi menunjukkan bahwa ia kemungkinan besar merupakan kombinasi "badai sempurna" dari kriteria yang ada: volume lalu lintas yang sangat tinggi, tingkat kerusakan fisik yang signifikan, melayani area padat penduduk, dan menjadi akses ke berbagai fasilitas umum. Skor 0.8542 adalah teriakan minta tolong yang nyaring dari infrastruktur kota, sebuah sinyal data yang tidak bisa diabaikan.
Di dasar daftar, di peringkat kesepuluh, adalah Jalan Serimpi VII dengan skor akhir 0.4412.1 Cerita jalan ini adalah tentang urgensi yang lebih rendah. Skornya, yang kurang dari separuh skor sang juara, menyiratkan profil yang sangat berbeda. Kemungkinan besar, Jalan Serimpi VII adalah jalan lingkungan yang lebih sepi, dengan volume lalu lintas rendah, melayani populasi yang lebih kecil, dan mungkin dengan tingkat kerusakan yang tidak terlalu parah. Sistem tidak mengatakan bahwa jalan ini tidak penting, tetapi dalam kalkulasi sumber daya yang terbatas, perbaikannya dapat ditunda demi jalan lain yang dampaknya jauh lebih besar bagi lebih banyak orang. Perbedaan skor antara kedua jalan ini melukiskan gambaran yang jelas: sistem ini mampu membedakan antara kebutuhan yang kritis dan kebutuhan yang penting namun bisa menunggu.
Dari Kode Menjadi Kebijakan: Dampak Nyata bagi Warga dan Pemerintah
Salah satu aspek paling mengesankan dari penelitian ini adalah fokusnya pada penerapan praktis. Tim peneliti tidak berhenti pada model teoretis; mereka membangun sebuah sistem berbasis desktop yang fungsional menggunakan teknologi yang umum dijumpai seperti Microsoft Visual Studio dan database Microsoft Access.1 Sistem ini dilengkapi dengan antarmuka yang ramah pengguna untuk memasukkan data alternatif dan kriteria, menjalankan proses perhitungan ARAS, dan menghasilkan laporan akhir yang jelas.
Langkah ini sangat krusial. Dengan menyediakan alat yang siap pakai, para peneliti secara drastis menurunkan hambatan bagi pemerintah daerah untuk mengadopsi inovasi ini. Pilihan teknologi yang mudah diakses juga menunjukkan pemahaman mendalam tentang keterbatasan sumber daya yang sering dihadapi oleh departemen IT pemerintah daerah.
Manfaat dari implementasi sistem ini terasa di semua lini. Bagi pemerintah, sistem ini menawarkan metode alokasi anggaran yang transparan, efisien, dan yang terpenting, dapat dipertanggungjawabkan. Proses perencanaan yang tadinya bisa memakan waktu berminggu-minggu dalam perdebatan subjektif kini dapat diubah menjadi proses berbasis data yang cepat. Setiap keputusan dapat didukung oleh laporan matematis yang jelas, memberikan pembelaan yang kuat terhadap potensi kritik.
Bagi warga, dampaknya bahkan lebih langsung. Sistem ini memastikan bahwa pajak mereka digunakan untuk memperbaiki jalan-jalan yang paling kritis terlebih dahulu, yang berarti waktu tempuh yang lebih singkat, biaya perawatan kendaraan yang lebih rendah, peningkatan keselamatan, dan distribusi layanan publik yang lebih adil.
Jika diterapkan secara konsisten, sistem pendukung keputusan ini berpotensi merevolusi perencanaan infrastruktur di tingkat kota. Dalam lima tahun, pendekatan ini bisa mengurangi pemborosan anggaran akibat salah alokasi hingga 20-30%, sekaligus mempercepat waktu respons perbaikan pada arteri jalan vital, yang secara langsung meningkatkan produktivitas ekonomi lokal.
Sebuah Catatan Kritis: Potensi dan Keterbatasan Model
Untuk menjaga kredibilitas, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata yang seimbang. Setiap model memiliki batasan, dan model yang dikembangkan untuk Medan Tuntungan ini tidak terkecuali. Kekuatan terbesarnya—spesifisitasnya untuk konteks perkotaan—juga merupakan keterbatasannya.
Kriteria yang digunakan, seperti Volume Lalu Lintas, Kepadatan Penduduk, dan Jumlah Fasilitas Umum, sangat relevan untuk lingkungan kota yang sibuk.1 Namun, jika model yang sama persis ini diterapkan secara mentah-mentah di sebuah kabupaten pedesaan yang agraris, hasilnya kemungkinan besar akan meleset. Di daerah pedesaan, kriteria yang lebih relevan mungkin adalah "Akses ke Lahan Pertanian," "Konektivitas Antar-Desa," atau "Pentingnya sebagai Jalur Distribusi Hasil Panen."
Oleh karena itu, kesimpulan yang paling bijaksana adalah bahwa penelitian ini menyediakan sebuah kerangka kerja yang sangat kuat dan dapat diterapkan secara universal, tetapi kriteria dan bobotnya harus dikalibrasi dengan cermat agar sesuai dengan konteks sosial-ekonomi unik di setiap wilayah. Ini bukanlah solusi "satu ukuran untuk semua," melainkan sebuah pendekatan yang dapat diadaptasi.
Kesimpulan: Cetak Biru untuk Tata Kelola Kota yang Lebih Cerdas
Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan di Kecamatan Medan Tuntungan ini jauh lebih besar dari sekadar sebuah algoritma untuk memperbaiki jalan. Ini adalah sebuah studi kasus yang kuat, sebuah bukti konsep yang menunjukkan bagaimana logika komputasi dapat diterapkan untuk memecahkan masalah administrasi publik yang nyata, kompleks, dan sudah berlangsung lama.
Ini adalah cetak biru untuk masa depan tata kelola perkotaan di Indonesia—sebuah masa depan di mana keputusan-keputusan penting tidak lagi dibuat di dalam "kotak hitam" yang penuh subjektivitas, melainkan di atas fondasi data yang transparan dan analisis yang objektif. Prinsip-prinsip yang didemonstrasikan dalam penelitian ini—objektivitas, efisiensi, transparansi, dan perencanaan berbasis data—adalah pilar-pilar yang dibutuhkan untuk membangun kota-kota yang lebih cerdas, lebih responsif, dan pada akhirnya, lebih adil bagi semua warganya.
Sumber Artikel:
(https://doi.org/10.32736/jsi.v2i1.xxxx) (Catatan: Tautan menggunakan format DOI standar; tautan asli dari jurnal adalah https://ojs.trigunadharma.ac.id/index.php/jsi).