Sains & Lingkungan
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025
Kebakaran yang Membuka Mata
Saya harus jujur. Saat buku setebal lebih dari 800 halaman berjudul Boreal Forests in the Face of Climate Change mendarat di meja saya, saya mengira ini akan menjadi bacaan teknis yang kering. Penuh data, grafik, dan jargon kehutanan yang hanya bisa dipahami oleh segelintir ahli. Tapi saya salah besar.
Membuka halaman-halaman awal, saya tidak langsung disambut dengan data, melainkan dengan sebuah cerita. Kisah Miguel Montoro Girona, salah satu editor utama buku ini, yang tumbuh besar di sebuah rumah kecil di tengah hutan lindung Spanyol. Baginya, alam bukanlah subjek penelitian, melainkan bagian dari identitasnya. Lalu, pada suatu musim panas, sebuah kebakaran hutan masif melalap hutan di dekat rumahnya. Momen itu menjadi "titik balik" dalam hidupnya, memicu dilema yang mendalam: haruskah ia terjun langsung memadamkan api (intervensi), atau haruskah ia mendedikasikan hidupnya untuk riset jangka panjang demi mencegah kebakaran di masa depan?.
Kisah itu menghantam saya. Dilema Girona adalah metafora sempurna untuk dilema kita semua saat ini. Planet kita sedang "terbakar" oleh perubahan iklim, dan kita dihadapkan pada pilihan antara tindakan reaktif jangka pendek dan strategi transformatif jangka panjang. Buku ini, saya sadari, bukanlah sekadar buku tentang pohon. Ini adalah buku tentang krisis, tentang pilihan, dan yang terpenting, tentang harapan yang berakar pada sains.
Para editor buku ini—semuanya adalah ilmuwan kawakan—memulai karya monumental mereka dengan kisah-kisah pribadi. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa untuk memecahkan masalah ekologis yang paling rumit, kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis data yang dingin. Kita butuh hubungan yang mendalam, bahkan emosional, dengan alam. Dan dari sanalah lahir argumen utama buku ini: pendekatan kita dalam mengelola hutan, yang selama ini dianggap sebagai standar emas, ternyata sudah tidak cukup lagi. Kita berada dalam "momen kritis" yang menuntut sebuah kerangka kerja konseptual yang baru.
Saat Paradigma Lama Tak Lagi Cukup: Selamat Tinggal Pengelolaan Hutan Abad ke-20
Selama puluhan tahun, para pengelola hutan di seluruh dunia, terutama di hutan boreal (sabuk hutan raksasa yang melingkari belahan bumi utara), berpegang pada sebuah prinsip yang disebut Ecosystem-Based Management (EBM). Bayangkan EBM ini seperti mengikuti resep kue yang sudah teruji. Selama bahan-bahannya—iklim, curah hujan, pola musim—stabil dan bisa diprediksi, Anda bisa mengharapkan hasil yang konsisten: hutan yang sehat dan produktif. Pendekatan ini telah menjadi tulang punggung pengelolaan hutan berkelanjutan selama bertahun-tahun.
Masalahnya, seperti yang dijelaskan buku ini dengan sangat gamblang, perubahan iklim telah "mengubah bahan-bahan di dapur kita." Suhu naik, musim kemarau menjadi lebih panjang, dan gangguan alam seperti kebakaran hutan dan wabah serangga menjadi lebih sering dan parah. Resep kue yang dulu andal kini mulai gagal. Hutan yang dikelola dengan cara lama menjadi lebih rentan. Paradigma yang mengasumsikan stabilitas lingkungan kini berhadapan dengan realitas dunia yang dinamis dan tak terduga.
Namun, yang menarik dari buku ini adalah ia tidak serta-merta membuang EBM. Para penulis tidak menyerukan revolusi total, melainkan sebuah evolusi cerdas. Mereka berargumen bahwa EBM bukannya salah, melainkan tidak lengkap. Keterbatasannya adalah asumsi implisit tentang iklim yang stabil. Buku ini adalah upaya untuk "mengevaluasi hasil dari 20 tahun terakhir" dan "memperkenalkan praktik-praktik alternatif". Ini adalah sebuah proses pematangan ilmiah, di mana sebuah ide bagus dibangun dan disempurnakan untuk menghadapi tantangan baru. Kerangka kerja baru yang diusulkan adalah sebuah upgrade, yang menempatkan "perubahan iklim sebagai pendorong utama" dalam setiap keputusan pengelolaan hutan.
Belajar dari Guru Terbaik: Meniru Cara Alam Menyembuhkan Diri
Jadi, jika cara lama tidak lagi cukup, apa solusinya? Jawaban yang ditawarkan buku ini elegan sekaligus radikal: berhenti melawan alam, dan mulailah belajar darinya. Konsep inti yang menjadi benang merah di banyak bab adalah Natural Disturbance Emulation (NDE), atau Emulasi Gangguan Alam.
Idenya sederhana namun kuat. Alih-alih melihat gangguan alam seperti kebakaran atau badai angin sebagai bencana total, kita harus melihatnya sebagai bagian dari siklus kehidupan hutan. Bayangkan kebakaran hutan bukan sebagai perusak, tetapi sebagai "tukang kebun" alam yang terkadang brutal. Api membersihkan semak belukar yang mati, membuka kanopi hutan agar cahaya matahari bisa mencapai dasar hutan, dan menyuburkan tanah dengan abunya, menciptakan kondisi sempurna bagi benih-benih baru untuk tumbuh.
NDE bertanya: bisakah kita, sebagai manusia, meniru "sentuhan" tukang kebun ini? Bisakah praktik penebangan kayu kita dirancang untuk "meniru hasil struktural dari gangguan alam"?. Ini berarti kita tidak lagi hanya berpikir tentang cara mengambil kayu seefisien mungkin, tetapi tentang bagaimana cara kita mengambil kayu dapat sekaligus meremajakan hutan, menciptakan keragaman habitat, dan meningkatkan ketahanannya.
Ini adalah pergeseran dari pendekatan statis ke pendekatan dinamis. Kita tidak lagi bertujuan untuk menjaga hutan dalam satu kondisi "ideal" yang beku dalam waktu, tetapi mengakui bahwa hutan adalah sistem yang terus berubah dan beradaptasi. Seperti yang dijelaskan dalam Bab 18, NDE adalah pendekatan "ideal" untuk restorasi karena ia mencakup gangguan dalam berbagai skala, dari yang besar seperti api hingga yang kecil seperti satu pohon tumbang yang menciptakan celah cahaya di kanopi hutan.
Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Tebang Habis Bukanlah Satu-Satunya Jawaban
Teori memang terdengar indah, tapi apakah praktik ini benar-benar berhasil? Inilah bagian yang paling membuat saya terkesima. Buku ini tidak hanya menawarkan konsep, tetapi juga menyajikan bukti nyata dari eksperimen lapangan berskala masif.
Kisah Dua Eksperimen Raksasa di Hutan Boreal
Di hutan boreal Kanada, para peneliti menjalankan dua eksperimen raksasa bernama MISA dan REPCA. Ini bukan eksperimen di laboratorium kecil, melainkan di "laboratorium hutan" seluas ribuan hektar. Mereka menguji berbagai metode penebangan yang meniru gangguan alam, yang secara umum disebut partial cutting (tebangan parsial). Alih-alih menebang habis (clear-cutting), mereka mencoba teknik seperti shelterwood (menebang secara bertahap, menyisakan sebagian pohon sebagai peneduh bagi anakan baru) dan seed-tree (menyisakan beberapa pohon dewasa sebagai sumber benih alami). Tujuannya adalah untuk melihat apakah metode ini lebih baik daripada tebang habis dalam hal regenerasi, pertumbuhan, dan kesehatan hutan secara keseluruhan.
Angka-Angka yang Mengubah Permainan
Hasilnya, yang dijelaskan secara rinci dalam Bab 16, benar-benar mengubah cara saya memandang industri kehutanan.
🚀 Hasilnya luar biasa: Dalam eksperimen MISA, para peneliti menemukan bahwa perlakuan shelterwood menghasilkan regenerasi (pertumbuhan anakan pohon baru) tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan metode tebang habis konvensional. Tiga kali! Ini bukan perbaikan kecil, ini adalah lompatan kuantum dalam efektivitas regenerasi hutan.
🧠 Inovasinya: Kunci suksesnya ternyata bukan hanya pada cara menebang, tetapi pada kombinasi cerdas. Setelah melakukan tebangan parsial, mereka melakukan scarification—menggaruk atau mengolah lapisan tanah atas. Tindakan sederhana ini secara eksplisit disebut "meniru efek api pada lapisan organik" tanah. Dengan menyingkirkan lapisan lumut dan humus yang tebal, mereka mengekspos tanah mineral di bawahnya, menciptakan media tanam yang sempurna bagi benih-benih pohon cemara untuk berkecambah, persis seperti yang dilakukan api secara alami. Inilah kejeniusan NDE dalam praktik: bukan hanya meniru bentuk hutan pasca-bencana, tetapi merekayasa ulang fungsi ekologis dari bencana itu sendiri.
💡 Pelajaran: Namun, ini bukanlah solusi satu ukuran untuk semua. Eksperimen REPCA memberikan pelajaran berharga lainnya. Di beberapa lokasi di mana lapisan tanah organiknya sangat tebal (lebih dari 17 cm), metode tebangan parsial justru gagal. Pohon-pohon yang tersisa lebih rentan tumbang dan pertumbuhan hutan baru terhambat. Ini adalah pengingat penting bahwa manajemen yang terinspirasi dari alam menuntut pemahaman yang lebih dalam dan kontekstual. Kita tidak bisa hanya menerapkan satu aturan untuk semua; kita harus membaca kondisi lanskap dan beradaptasi.
Dari Hutan ke Ruang Kerja: Pelajaran Resiliensi untuk Kehidupan Kita
Mungkin Anda berpikir, "Ini menarik, tapi apa hubungannya dengan saya? Saya bukan seorang rimbawan." Di sinilah buku ini melampaui batas-batas ekologi dan menawarkan wawasan yang berlaku universal.
Bab 28 memperkenalkan konsep melihat hutan sebagai sebuah functional complex network (jaringan kompleks fungsional). Bayangkan hutan bukan sebagai kumpulan pohon individu, tetapi sebagai sebuah kota yang hidup. Beberapa pohon besar dan tua adalah "hub" utama—seperti stasiun kereta pusat—yang terhubung ke banyak area. Pohon-pohon lain mungkin lebih kecil, seperti "jalan kecil", tetapi bisa jadi sangat penting karena menjadi satu-satunya jalur yang menghubungkan dua "lingkungan" yang terpisah.
Dalam teori jaringan, ada sebuah metrik bernama betweenness centrality (sentralitas perantara). Metrik ini mengukur seberapa sering sebuah titik (dalam hal ini, sepetak hutan) berada di jalur terpendek antara dua titik lainnya. Yang mengejutkan adalah, sebuah petak hutan kecil bisa memiliki sentralitas yang sangat tinggi jika ia berfungsi sebagai jembatan kritis dalam jaringan. Kehilangan "jembatan" ini, meskipun ukurannya kecil, dapat memecah belah seluruh lanskap dan merusak ketahanannya secara keseluruhan.
Analogi ini sangat kuat jika kita terapkan pada organisasi atau tim kerja. Seringkali kita fokus pada "pohon-pohon besar"—para pemimpin senior atau anggota tim bintang. Tetapi terkadang, orang yang paling krusial bagi ketahanan tim adalah individu yang mungkin tidak terlihat menonjol, tetapi berfungsi sebagai jembatan informasi dan kolaborasi antar departemen atau kelompok. Kehilangan orang ini dapat menciptakan silo dan mengganggu aliran kerja, meskipun para "bintang" masih ada di tempatnya.
Prinsip-prinsip ini, tentang membangun sistem yang tangguh dan adaptif dengan memahami koneksi tersembunyi, adalah inti dari banyak strategi pengembangan profesional modern. Memahami cara kerja jaringan dan meningkatkan peran sentral kita di dalamnya adalah keterampilan krusial, seperti yang diajarkan dalam kursus-kursus di(https://www.diklatkerja.com). Buku ini mengajarkan saya bahwa resiliensi, baik di hutan maupun di kantor, tidak datang dari kekuatan individu yang terisolasi, tetapi dari kekuatan dan keragaman koneksi di antara mereka.
Sebuah Panggilan untuk Menjadi Penjaga, Bukan Sekadar Pengguna
Pada akhirnya, Boreal Forests in the Face of Climate Change adalah sebuah peta jalan. Peta jalan untuk beralih dari paradigma manajemen yang berfokus pada ekstraksi sumber daya ke paradigma yang berfokus pada pembangunan resiliensi. Pesannya jelas: di dunia yang terus berubah, kemampuan untuk beradaptasi dan pulih dari guncangan adalah aset yang paling berharga.
Meski temuannya luar biasa dan berpotensi mengubah industri, Boreal Forests in the Face of Climate Change adalah karya akademis yang padat. Bahasanya teknis dan strukturnya monumental. Harapan saya, tulisan seperti ini bisa menjadi jembatan bagi lebih banyak orang untuk mengakses gagasannya yang krusial, karena pesan ini terlalu penting untuk hanya tersimpan di kalangan ilmuwan.
Buku ini ditutup dengan semangat yang sama seperti saat dibuka: dengan sebuah panggilan yang penuh harapan. Di halaman dedikasinya, para editor menulis: "Manusia itu tangguh. Dengan sains, solidaritas, dan kreativitas, kita bisa beradaptasi. Kita bisa menjadi perubahan!".
Setelah membaca buku ini, saya tidak lagi melihat hutan hanya sebagai kumpulan pohon. Saya melihatnya sebagai jaringan yang kompleks, sebuah sistem yang hidup, dan seorang guru yang mengajarkan pelajaran mendalam tentang ketahanan. Buku ini mendorong kita semua untuk melihat sistem di sekitar kita—baik itu hutan di belakang rumah, perusahaan tempat kita bekerja, atau komunitas tempat kita tinggal—dan bertanya: "Bagaimana kita bisa membuatnya lebih tangguh?"
Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca buku aslinya dan lihat sendiri datanya. Ini bukan sekadar buku tentang pohon, tapi tentang masa depan kita bersama.
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025
Pemandangan jalan berlubang, aspal retak, atau bahu jalan yang terkikis sudah menjadi keluhan klasik di banyak daerah di Indonesia. Setiap tahun, pemerintah daerah berjibaku mengalokasikan anggaran untuk menambal, melapisi ulang, dan memperbaiki infrastruktur vital ini. Namun, tak jarang, jalan yang baru diperbaiki kembali rusak dalam hitungan bulan, memicu pertanyaan abadi: mengapa jalan kita cepat sekali rusak?
Bagi sebagian besar masyarakat, jawabannya mungkin terdengar sederhana: kualitas konstruksi yang buruk atau beban kendaraan yang berlebihan. Namun, sebuah penelitian mendalam yang dilakukan di sembilan ruas jalan strategis di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, mengungkap sebuah kebenaran yang lebih kompleks. Masalahnya bukan sekadar soal campuran aspal atau jumlah truk yang melintas, melainkan berakar pada cara kita berpikir dan menghitung biaya pemeliharaan itu sendiri.1
Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Riset Rekayasa Sipil oleh para peneliti dari Universitas Sebelas Maret ini membongkar sebuah dilema yang dihadapi ratusan pemerintah kabupaten/kota di seluruh negeri. Dilema ini adalah pertarungan antara kebiasaan lama dalam merencanakan anggaran dan tuntutan baru untuk pengelolaan aset yang lebih cerdas dan berkelanjutan. Di tengah dilema ini, sebuah sistem baru yang didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) hadir sebagai penantang, menjanjikan sebuah revolusi dalam cara pemerintah daerah menjaga urat nadi perekonomian mereka: jalan raya.
Dua "Otak" di Balik Perhitungan Biaya: Membedah Metode Lama dan Pendatang Baru
Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu mengenal dua "otak" atau sistem yang menjadi pusat dari penelitian ini: LCCA dan KRMS. Keduanya adalah program komputer yang dirancang untuk membantu pemerintah menghitung berapa banyak uang yang harus disiapkan untuk pemeliharaan jalan. Namun, filosofi di balik keduanya sangat berbeda.
Yang pertama adalah LCCA, atau Life Cycle Cost Analysis. Ini adalah metode yang sudah mapan dan banyak digunakan. LCCA bisa diibaratkan seorang akuntan veteran yang sangat teliti. Fokus utamanya adalah menghitung biaya paling ekonomis untuk sebuah perkerasan jalan selama seluruh masa layannya. LCCA akan menganalisis kondisi aspal, menghitung tingkat kerusakan menggunakan indeks standar seperti Pavement Condition Index (PCI), lalu memberikan rekomendasi biaya perbaikan yang paling efisien dari segi finansial.1 Ia sangat baik dalam menjawab pertanyaan: "Berapa biaya termurah untuk menjaga aspal ini tetap berfungsi?"
Kemudian, hadirlah sang pendatang baru: KRMS, atau Kabupaten Road Management System. Sistem ini merupakan program rintisan dari Kementerian PU yang mulai diuji coba sejak 2016. Jika LCCA adalah seorang akuntan, maka KRMS adalah seorang manajer aset modern yang berpikir holistik. KRMS tidak hanya melihat aspal. Ia memandang jalan sebagai sebuah ekosistem yang utuh.1
Perbedaan fundamentalnya terletak pada data yang dimasukkan. LCCA berfokus pada apa yang disebut on pavement, yaitu segala kerusakan yang terjadi di permukaan perkerasan jalan itu sendiri. Sebaliknya, KRMS meminta data yang jauh lebih komprehensif. Ia tidak hanya menanyakan kondisi aspal (on pavement), tetapi juga kondisi off pavement—segala sesuatu yang ada di sekitar jalan. Ini mencakup rambu lalu lintas yang pudar, trotoar yang retak, saluran drainase yang tersumbat, hingga kondisi bahu jalan.1
Dengan kata lain, LCCA melakukan "pemeriksaan tekanan darah" pada jalan, sementara KRMS melakukan "pemeriksaan kesehatan menyeluruh" atau medical check-up. KRMS memahami bahwa saluran drainase yang buruk (off pavement) pada akhirnya akan menyebabkan genangan air yang merusak aspal (on pavement). Dengan melihat gambaran besar ini, KRMS tidak lagi sekadar menghitung biaya, tetapi mulai mengelola sebuah aset publik secara strategis. Pertanyaan yang dijawabnya pun lebih kompleks: "Bagaimana kondisi total seluruh aset jalan kita, dan bagaimana kita bisa mengelolanya secara proaktif untuk lima tahun ke depan?"
Uji Tanding di Sembilan Ruas Jalan Takalar: Siapa Lebih Akurat?
Setiap inovasi, sebagus apa pun konsepnya, harus membuktikan nilainya di dunia nyata. Pemerintah daerah, dengan anggaran yang terbatas, tentu akan ragu mengadopsi sistem baru jika hasilnya tidak bisa diandalkan. Inilah inti dari penelitian di Takalar: mengadu akurasi antara si veteran LCCA dan si pendatang baru KRMS.
Tim peneliti turun langsung ke sembilan ruas jalan vital di Kecamatan Polombangkeng Utara dan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Ruas-ruas ini, dengan panjang bervariasi dari 3,24 km hingga 67,3 km, menjadi laboratorium lapangan mereka.1 Dengan cermat, mereka menyurvei setiap jengkal jalan, mencatat setiap jenis kerusakan, mulai dari retak buaya di aspal hingga kondisi rambu lalu lintas. Semua data mentah ini kemudian dimasukkan ke dalam kedua sistem. LCCA menerima data kerusakan perkerasan, sementara KRMS menerima data yang lebih lengkap, termasuk kondisi bangunan pelengkap jalan.
Setelah semua data diolah, hasilnya cukup mengejutkan. Meskipun KRMS mempertimbangkan lebih banyak variabel—yang secara teori seharusnya menghasilkan biaya lebih tinggi—total estimasi anggaran yang dikeluarkan oleh kedua program ternyata secara statistik hampir identik.
Dalam bahasa teknis, para peneliti menggunakan uji statistik yang disebut Uji-t untuk membandingkan kedua hasil. Hasilnya menunjukkan nilai t-hitung sebesar -0,631. Angka ini mungkin tidak berarti banyak bagi orang awam, tetapi bagi para statistikawan, ini adalah penemuan kunci. Angka tersebut berada jauh di dalam rentang toleransi statistik yang diterima, yaitu antara -2,306 hingga 2,306. Kesimpulannya tegas: secara ilmiah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara total Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang dihasilkan oleh KRMS dan LCCA.1
Penemuan ini bukan sekadar data statistik yang membosankan. Ini adalah sebuah validasi krusial. Ini adalah "lampu hijau" bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Pesannya jelas: Anda dapat beralih ke sistem KRMS yang lebih canggih dan komprehensif tanpa perlu khawatir bahwa estimasi anggarannya akan meleset atau tidak akurat dibandingkan dengan metode yang selama ini Anda percaya. KRMS terbukti sama andalnya dalam memberikan angka akhir, tetapi seperti yang akan kita lihat, ia menawarkan keunggulan yang jauh melampaui sekadar angka.
Keunggulan yang Tak Terlihat: Bagaimana KRMS Melihat Apa yang Terlewatkan
Setelah membuktikan keandalannya, keunggulan sejati KRMS mulai terungkap. Keunggulan ini tidak terletak pada angka total biaya, melainkan pada kedalaman informasi dan kemampuan perencanaan strategis yang ditawarkannya.
Pertama, kemampuannya untuk berpikir dalam rentang waktu. Berbeda dengan LCCA yang cenderung memberikan satu angka total biaya untuk satu siklus perbaikan, KRMS dirancang untuk memecah proyeksi pemeliharaan ke dalam rencana lima tahun ke depan.1 Ini adalah sebuah terobosan bagi perencanaan anggaran daerah.
Sebagai contoh, alih-alih hanya menyajikan tabel angka, penelitian ini menunjukkan bagaimana KRMS bekerja secara naratif. Untuk ruas jalan Maradekaya-Lantang, sistem ini tidak hanya memberikan total biaya. Ia menyusun sebuah peta jalan finansial: alokasi dana terbesar sekitar Rp 30,7 juta di tahun pertama untuk perbaikan besar, yang kemudian diikuti oleh biaya pemeliharaan rutin yang jauh lebih kecil, turun secara bertahap hingga hanya Rp 1,8 juta di tahun kelima.1 Kemampuan ini memungkinkan dinas terkait untuk merencanakan anggaran multi-tahun secara lebih akurat, menghindari lonjakan anggaran yang mendadak dan memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien.
Kedua, KRMS berfungsi sebagai "memori institusional". Salah satu kelemahan terbesar dalam birokrasi adalah hilangnya data dan pengetahuan ketika terjadi pergantian pejabat atau staf. Perencanaan yang sudah disusun bisa jadi harus dimulai dari nol lagi. KRMS mengatasi masalah ini secara fundamental. Sistem ini dirancang sebagai "database jalan kabupaten" yang hidup, yang dapat terus diperbarui dari tahun ke tahun.1 Setiap survei baru, setiap perbaikan yang dilakukan, semuanya tercatat dalam satu sistem terpusat. Sebaliknya, LCCA lebih bersifat sebagai alat analisis sekali pakai; ia menganalisis kondisi saat ini dan memberikan rekomendasi, tetapi tidak dirancang untuk menyimpan dan membangun riwayat data dari waktu ke waktu.
Dengan KRMS, pemerintah daerah tidak lagi memulai dari nol setiap tahun. Mereka membangun sebuah basis data aset yang semakin kaya dan akurat, memungkinkan pengambilan keputusan yang didasarkan pada bukti dan tren historis, bukan sekadar perkiraan atau ingatan. Ini mengubah pemeliharaan jalan dari sekadar kegiatan tahunan menjadi sebuah proses manajemen aset yang berkelanjutan dan berbasis data.
Bukan Harga Semen, Tapi Volume Kendaraan: Ancaman Sebenarnya bagi Aspal Kita
Mungkin penemuan paling dramatis dari penelitian ini datang dari analisis sensitivitas. Di sini, para peneliti mengajukan pertanyaan "bagaimana jika?". Mereka mensimulasikan dua skenario mimpi buruk yang sering menghantui para perencana anggaran: lonjakan harga bahan bangunan dan ledakan volume lalu lintas.
Skenario pertama menguji apa yang terjadi jika harga material seperti semen dan aspal tiba-tiba melonjak sebesar 20%. Ini adalah kekhawatiran yang sangat umum. Namun, hasil simulasi menunjukkan sesuatu yang melegakan. Meskipun biaya total meningkat, dampaknya ternyata tidak signifikan. Proyek pemeliharaan jalan masih dianggap sangat layak secara finansial. Dengan kata lain, kenaikan harga bahan bangunan adalah tantangan yang bisa dikelola.1
Namun, gambaran berubah total saat skenario kedua diuji: kenaikan Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) sebesar 20%. Simulasi ini mencerminkan apa yang terjadi ketika sebuah daerah mengalami pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan berdirinya pabrik baru, pusat perbelanjaan, atau kawasan perumahan yang menambah ratusan atau ribuan kendaraan baru ke jalan setiap hari. Di sini, sistem membunyikan alarm bahaya. Kelayakan finansial proyek pemeliharaan anjlok secara drastis. Indikator kelayakan investasi seperti Internal Rate of Return (IRR) untuk LCCA turun dari 57,32% dalam kondisi normal menjadi hanya 26,57%.1
Ini adalah sebuah penyingkapan penting: ancaman terbesar dan paling tersembunyi bagi anggaran pemeliharaan jalan bukanlah harga semen, melainkan keberhasilan ekonomi daerah itu sendiri. Paradoksnya, aktivitas ekonomi yang dirancang untuk didukung oleh jalan raya justru menjadi faktor perusak utamanya.
Dan di sinilah KRMS menunjukkan keunggulan prediktifnya. Penelitian ini menemukan bahwa Program KRMS lebih sensitif daripada LCCA terhadap perubahan volume lalu lintas.1 Pada awalnya, "lebih sensitif" mungkin terdengar seperti kelemahan. Namun, dalam konteks perencanaan, ini adalah sebuah kekuatan luar biasa. Karena lebih peka, KRMS berfungsi sebagai sistem peringatan dini yang lebih baik.
Bayangkan seorang bupati sedang mempertimbangkan izin untuk sebuah kawasan industri baru. Dengan LCCA, proyeksi dampak terhadap anggaran pemeliharaan jalan mungkin terlihat moderat. Namun, dengan KRMS, yang lebih sensitif terhadap lonjakan LHR, sistem akan memberikan gambaran yang lebih tajam dan mungkin lebih mengkhawatirkan tentang biaya infrastruktur jangka panjang yang harus ditanggung oleh APBD. Informasi ini sangat berharga. Ini memungkinkan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih cerdas, seperti mewajibkan pengembang untuk berkontribusi pada dana pemeliharaan infrastruktur sebagai syarat izin. KRMS mengubah percakapan dari "berapa biaya perbaikan jalan?" menjadi "apa biaya infrastruktur jangka panjang dari pembangunan ekonomi kita?".
Arah Baru Pengelolaan Jalan Daerah: Dari Kalkulator Biaya Menuju Sistem Manajemen Cerdas
Studi kasus di Kabupaten Takalar ini lebih dari sekadar perbandingan dua perangkat lunak. Ini adalah cerminan dari pergeseran paradigma yang perlu terjadi dalam pengelolaan infrastruktur di Indonesia. Era di mana pemeliharaan jalan hanya dianggap sebagai kegiatan "tambal sulam" tahunan sudah harus berakhir.
Penelitian ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa alat seperti KRMS bukanlah sekadar penyempurnaan teknis, melainkan sebuah langkah evolusioner menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Dengan kemampuannya yang holistik, perencanaan lima tahun, fungsi sebagai database terpusat, dan sensitivitas prediktif terhadap tekanan nyata seperti pertumbuhan lalu lintas, KRMS memberdayakan pemerintah daerah untuk bertransformasi. Dari sekadar menjadi "pembayar tagihan" perbaikan jalan, mereka bisa menjadi "manajer aset" yang proaktif dan strategis.
Di era otonomi daerah, kemampuan untuk mengelola aset paling vital secara mandiri dan cerdas adalah kunci keberhasilan. Jalan yang baik bukan hanya soal aspal yang mulus, tetapi juga tentang anggaran publik yang sehat, perencanaan yang visioner, dan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan. Seperti yang disimpulkan oleh para peneliti, sistem seperti KRMS harus digunakan tidak hanya untuk menghitung kerusakan, tetapi sebagai fondasi untuk "inventarisasi dan penilaian kondisi jalan secara keseluruhan".1
Kisah dari sembilan ruas jalan di Takalar ini, pada akhirnya, adalah sebuah cetak biru. Sebuah peta jalan bagi ratusan kabupaten dan kota lain di Indonesia untuk beralih dari sekadar menggunakan kalkulator biaya menjadi mengadopsi sebuah sistem manajemen yang cerdas, demi jalan yang lebih awet dan anggaran daerah yang lebih selamat.
Sumber Artikel:
Wahyudi, W., Pramesti, F. P., & Setyawan, B. (2021). Estimasi Pemeliharaan Jalan Daerah Berdasarkan Program KRMS (Kabupaten Road Management System) Dan LCCA (Life Cycle Cost Analysis). Jurnal Riset Rekayasa Sipil, 5(1), 74-78.
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025
Ilusi Jalan Sempurna di Jantung Sumatera
Bagi jutaan pengemudi dan pelaku bisnis di Indonesia, tolok ukur kemajuan infrastruktur seringkali sederhana: jalan yang lebar dan aspal yang mulus. Logika dasarnya pun terasa tak terbantahkan—jika jalan lebih baik, perjalanan pasti lebih cepat. Namun, sebuah studi mendalam terhadap program pemeliharaan jalan nasional di Sumatera Selatan antara 2015 hingga 2019 membongkar sebuah paradoks yang membingungkan, menantang asumsi dasar kita tentang apa arti sesungguhnya dari sebuah infrastruktur yang efektif.
Kisah ini berlatar di salah satu koridor ekonomi terpenting Indonesia, Sumatera Selatan. Sebagai bagian dari agenda besar nasional dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Marga meluncurkan Rencana Strategis 2015-2019.1 Tujuannya jelas: meningkatkan konektivitas, memperlancar arus logistik, dan pada akhirnya mengakselerasi denyut nadi perekonomian regional. Selama lima tahun, investasi besar digelontorkan, dan hasilnya terlihat kasat mata. Jalan-jalan yang dulu sempit kini menjadi lebih lebar. Permukaan yang dulu bergelombang kini mulus bak permadani.
Namun, di tengah euforia kemajuan fisik tersebut, sebuah anomali muncul. Para pengemudi truk logistik, bus antarprovinsi, dan pengguna jalan lainnya merasakan kejanggalan. Meskipun kondisi jalan membaik secara drastis, waktu yang mereka habiskan di perjalanan tidak kunjung berkurang signifikan. Kecepatan rata-rata kendaraan seolah membentur dinding tak kasat mata. Studi yang dilakukan oleh Rizky Ardhiarini dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III ini menyoroti sebuah kegagalan tersembunyi di balik keberhasilan yang tampak di permukaan, sebuah pelajaran mahal yang relevansinya melampaui batas provinsi Sumatera Selatan dan menyentuh jantung kebijakan infrastruktur nasional.1
Mengubah Arah: Revolusi Senyap dalam Perencanaan Infrastruktur
Untuk memahami betapa mengejutkannya temuan ini, kita perlu melihat kecanggihan di balik layar perencanaan program tersebut. Proyek ini bukan sekadar program tambal sulam jalan berlubang. Ini adalah manifestasi dari pergeseran paradigma fundamental dalam tata kelola infrastruktur di Indonesia—sebuah transisi dari pendekatan "pemadam kebakaran" yang reaktif menuju model "arsitek strategis" yang preventif.1
Selama bertahun-tahun, pemeliharaan jalan seringkali bersifat reaktif; anggaran untuk tahun berjalan dialokasikan berdasarkan kerusakan yang sudah terjadi pada tahun yang sama, menciptakan kesan penanganan yang selalu terlambat.1 Rencana Strategis 2015-2019 berusaha mendobrak siklus ini. Para perencana tidak lagi hanya bertanya, "Jalan mana yang paling rusak hari ini?" Mereka mulai mengajukan pertanyaan yang jauh lebih cerdas: "Jalan mana yang paling penting untuk masa depan ekonomi kita, dan bagaimana kita menjaganya agar tetap dalam kondisi prima?"
Untuk menjawabnya, mereka menggunakan sebuah metode analisis canggih yang disebut Multi-criteria Analysis (MCA). Bayangkan ini sebagai sebuah sistem penilaian super-komputer yang tidak hanya melihat satu faktor, tetapi menimbang puluhan variabel secara bersamaan untuk menentukan prioritas.1 Analisis ini dibagi menjadi dua kategori besar:
Dengan menggabungkan kedua skor ini, pemerintah dapat memetakan kebutuhan pemeliharaan dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memastikan setiap rupiah anggaran dialokasikan untuk dampak maksimal. Justru karena perencanaan yang begitu canggih dan holistik inilah, kegagalan program dalam mencapai target utamanya menjadi sebuah misteri yang menuntut untuk dipecahkan. Ini bukan kegagalan karena perencanaan yang buruk; ini adalah kegagalan yang terjadi meskipun perencanaannya sangat baik, yang mengindikasikan adanya masalah yang lebih fundamental dalam strategi itu sendiri.
Kemenangan di Atas Aspal: Rapor Kinerja yang Membanggakan
Jika dilihat dari metrik-metrik fisik, program lima tahun di Sumatera Selatan adalah sebuah kesuksesan besar. Data menunjukkan pencapaian yang luar biasa, melampaui target di berbagai aspek kunci. Ini membuktikan bahwa dari sisi eksekusi, para pelaksana di lapangan mampu menerjemahkan rencana strategis menjadi hasil nyata yang bisa dirasakan langsung oleh pengguna jalan.1
Pada akhir 2019, sebuah pencapaian monumental terwujud: 100% jalan nasional di Sumatera Selatan telah memenuhi standar lebar minimum 7 meter.1 Ini setara dengan mengubah seluruh arteri utama di provinsi tersebut menjadi koridor dua lajur yang memadai, sebuah fondasi krusial untuk kelancaran logistik dan pertumbuhan ekonomi. Kapasitas jalan telah ditingkatkan secara merata di seluruh jaringan.
Lebih dari itu, tingkat kemulusan jalan meroket secara dramatis. Jika pada 2014 hanya sekitar 56% jalan yang masuk kategori sangat mulus dengan nilai , angka ini melonjak hingga 90,37% pada 2019.1 Bagi pengemudi, ini berarti sebuah lompatan kualitas pengalaman berkendara. Guncangan dan getaran yang dulu menjadi momok, yang tidak hanya merusak kenyamanan tetapi juga mempercepat keausan kendaraan, kini sebagian besar telah hilang.
Kondisi "kesehatan" aspal juga menunjukkan perbaikan luar biasa. Studi mencatat bahwa lebih dari 97% jaringan jalan mencapai skor Surface Distress Index (SDI) di bawah 50, sebuah ambang batas yang menandakan permukaan yang solid dan minim kerusakan struktural.1 Ini adalah bukti keberhasilan program pemeliharaan preventif; kerusakan kecil berhasil ditangani sebelum berkembang menjadi masalah besar yang membutuhkan perbaikan mahal.
Yang paling penting, jalan-jalan yang telah diperbaiki ini terbukti mampu menampung arus lalu lintas dengan sangat baik. Hampir 98% ruas jalan memiliki rasio volume kendaraan terhadap kapasitas (V/C ratio) di bawah 0,75, sebuah indikator lalu lintas yang sangat lancar dan jauh dari ambang batas kemacetan.1 Dengan kata lain, jalan-jalan ini lebar, mulus, sehat, dan tidak macet. Di atas kertas, ini adalah resep sempurna untuk sebuah perjalanan yang cepat dan efisien.
Anomali di Kilometer 100: Ketika Angka Tak Bisa Berbohong
Namun, di balik rapor yang gemilang itu, tersembunyi sebuah anomali yang membingungkan. Data kinerja yang sesungguhnya—yaitu seberapa cepat barang dan orang bisa berpindah dari titik A ke titik B—menceritakan kisah yang sama sekali berbeda. Inilah yang disebut oleh peneliti sebagai "kondisi antagonis": metrik fisik menunjukkan keberhasilan, tetapi metrik performa menunjukkan kegagalan.1
Meskipun jalan lebih lebar dan lebih mulus, kendaraan tidak melaju lebih cepat. Target ambisius untuk mengembalikan fungsi jalan nasional sebagai arteri primer dengan kecepatan rata-rata di atas 60 km/jam ternyata jauh dari jangkauan. Pada 2019, hanya 18,50% dari total panjang jalan yang berhasil mencapai standar kecepatan ideal ini.1 Ini adalah sebuah kesenjangan besar antara potensi dan realitas. Jalan yang secara teknis mampu mengakomodasi kecepatan tinggi ternyata tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Dampak dari kelambatan ini terasa langsung pada waktu tempuh, yang merupakan metrik paling krusial bagi efisiensi logistik dan ekonomi. Rencana strategis menargetkan waktu tempuh di bawah 1,6 jam per 100 kilometer. Namun, setelah lima tahun program berjalan, target ini hanya tercapai di 17,32% ruas jalan.1 Angka ini, yang bahkan lebih rendah dari pencapaian target kecepatan, menandakan bahwa tujuan utama untuk mempercepat konektivitas secara fundamental telah gagal. Padahal, studi lain menunjukkan Indonesia sudah tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia dalam hal waktu tempuh, di mana setiap jam keterlambatan adalah biaya ekonomi yang nyata.1
Kegagalan ini semakin membingungkan karena tidak disebabkan oleh kemacetan. Seperti yang telah ditunjukkan, hampir seluruh jaringan jalan memiliki lalu lintas yang lancar. Misterinya semakin dalam: jika jalan sudah lebar, mulus, dan tidak macet, apa yang menahan laju kendaraan? Jawabannya ternyata terletak pada sebuah faktor yang selama ini terabaikan dalam program pemeliharaan.
Menemukan Sang Biang Keladi: Musuh Tak Kasat Mata Bernama 'Geometri Jalan'
Studi ini dengan tegas menunjuk satu biang keladi utama di balik paradoks ini: geometri jalan yang di bawah standar (substandard road geometric).1 Ini adalah musuh tak kasat mata yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan lapisan aspal baru atau pelebaran jalan beberapa meter. Geometri jalan adalah tentang desain fundamental dari sebuah ruas jalan—DNA-nya.
Bagi masyarakat awam, istilah "geometri jalan" mungkin terdengar teknis, tetapi dampaknya sangat terasa dalam pengalaman berkendara sehari-hari. Bayangkan sebuah jalan yang aspalnya mulus sempurna, tetapi memiliki serangkaian tikungan setajam siku yang memaksa truk kontainer terpanjang sekalipun untuk melambat hingga nyaris merangkak. Atau sebuah tanjakan curam yang membuat kendaraan berat kehilangan momentum, menciptakan antrean panjang di belakangnya meskipun jalan di depannya kosong. Inilah musuh tak kasat mata itu: desain jalan warisan masa lalu yang tidak lagi sesuai untuk volume, bobot, dan kecepatan lalu lintas modern.1
Program pemeliharaan 2015-2019, meskipun canggih, ternyata memiliki titik buta yang fatal. Analisis menunjukkan bahwa program ini didominasi oleh kegiatan pemeliharaan rutin. Pada 2015, sekitar 95,86% penanganan adalah pemeliharaan rutin, dan angka ini melonjak hingga mendekati 100% dari tahun 2016 hingga 2019.1 Jenis-jenis pekerjaan ini, seperti pemeliharaan minor, preventif, dan periodik, dirancang untuk menjaga dan memelihara kondisi permukaan jalan yang ada (preservation). Mereka sangat efektif untuk membuat jalan tetap mulus, tetapi sama sekali tidak berdaya untuk mengubah desain dasarnya. Meluruskan tikungan tajam atau melandaikan tanjakan curam membutuhkan intervensi yang jauh lebih besar, seperti rekonstruksi atau pembangunan jalan baru (misalnya, bypass atau flyover), yang porsinya sangat minim dalam program ini.1
Kegagalan ini mengungkap sebuah pelajaran krusial dalam kebijakan infrastruktur: kita bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk memoles permukaan, tetapi jika kerangka dasarnya cacat, manfaat yang dihasilkan akan sangat terbatas. Ini seperti memasang mesin Formula 1 pada sasis mobil kota; tenaganya besar, tetapi tidak akan pernah bisa melaju kencang karena desain fundamentalnya tidak mendukung.
Sebuah Kritik Membangun: Pelajaran Mahal untuk Proyek Strategis Nasional
Temuan ini bukanlah sebuah dakwaan terhadap para insinyur di lapangan yang telah bekerja keras mewujudkan jalan yang lebih baik. Sebaliknya, ini adalah sebuah kritik membangun terhadap kerangka strategis yang mereka operasikan. Data menunjukkan bahwa para pelaksana program sangat efektif dalam mencapai target yang diberikan kepada mereka: melebarkan jalan dan menjaga IRI tetap rendah. Kegagalan ini bukan terletak pada level implementasi, melainkan pada level strategi.1
Rencana Strategis 2015-2019, dalam upayanya untuk menghasilkan perbaikan yang cepat dan terukur di seluruh jaringan yang luas, kemungkinan besar terlalu fokus pada metrik-metrik permukaan yang mudah dicapai, seperti lebar dan kemulusan. Metrik ini penting, tetapi ternyata tidak cukup. Program ini kurang mengalokasikan sumber daya untuk pekerjaan yang lebih kompleks, lebih mahal, dan lebih disruptif secara politis, yaitu modernisasi geometri jalan.1
Kecenderungan untuk memilih perbaikan inkremental (pemeliharaan rutin) daripada perubahan transformasional (rekonstruksi geometri) adalah sebuah jebakan yang seringkali ditemui dalam birokrasi pekerjaan umum di seluruh dunia. Lebih mudah secara politik dan anggaran untuk melaporkan "ratusan kilometer jalan telah dipelihara" daripada "lima kilometer tikungan berbahaya telah diluruskan". Namun, seperti yang ditunjukkan oleh studi ini, pendekatan yang lebih mudah tidak selalu memberikan hasil yang lebih baik.
Penulis studi ini menyarankan bahwa program pengelolaan jaringan jalan di masa depan harus berpikir lebih besar. Solusi untuk masalah ini tidak lagi cukup dengan pemeliharaan rutin, tetapi harus mencakup opsi-opsi seperti pembangunan flyover, underpass, atau bypass untuk mengatasi titik-titik simpul kemacetan geometris.1 Ini adalah pergeseran dari sekadar merawat aset yang ada menjadi mendesain ulang jaringan untuk kinerja masa depan.
Proyeksi ke Depan: Dampak Nyata bagi Peta Ekonomi Indonesia
Temuan dari Sumatera Selatan ini bukan sekadar catatan teknis; ini adalah sebuah peringatan dan peta jalan bagi masa depan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pelajaran yang didapat dari paradoks "jalan mulus, perjalanan lambat" ini memiliki implikasi yang sangat luas bagi setiap Proyek Strategis Nasional yang sedang dan akan berjalan.
Jika pelajaran ini diabaikan, Indonesia berisiko terus menghabiskan triliunan rupiah untuk menciptakan "ilusi kemajuan"—jalan-jalan yang indah dipandang dan nyaman dilintasi, namun secara fundamental tetap lambat dan tidak efisien. Ini akan mengunci inefisiensi dalam rantai pasok nasional, membebani biaya logistik, dan pada akhirnya menghambat daya saing ekonomi bangsa di panggung global.
Namun, jika diterapkan, wawasan dari studi ini bisa merevolusi cara kita merencanakan dan mengevaluasi infrastruktur. Dengan mengintegrasikan perbaikan dan modernisasi geometri sebagai komponen wajib dalam setiap program peningkatan jalan, Indonesia tidak hanya akan membangun jalan, tetapi membangun konektivitas sejati. Pemerintah harus mulai mengukur keberhasilan bukan dari berapa kilometer aspal yang dihampar, tetapi dari berapa jam waktu perjalanan yang berhasil dipangkas.
Dampaknya akan sangat nyata dan terukur. Jika diterapkan secara nasional, pendekatan baru ini berpotensi memangkas biaya logistik secara signifikan, menghemat jutaan jam kerja produktif yang hilang di perjalanan, mengurangi konsumsi bahan bakar, dan pada akhirnya, mengakselerasi denyut nadi perekonomian bangsa secara berkelanjutan dalam dekade mendatang.
Sumber Artikel:
Banjir Semarang
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 14 Oktober 2025
Ecodrainage di Semarang: Solusi Hijau Tangkal Banjir Perkotaan
Ketika Kota Butuh Lebih Dari Sekadar Saluran Air
Di tengah laju urbanisasi dan berkurangnya ruang terbuka hijau, kota-kota Indonesia menghadapi satu musuh bersama: berkumpul dan banjir. Di Kota Semarang, salah satu wilayah yang mulai menunjukkan langkah progresif adalah Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen. Melalui kajian mendalam oleh Nisaul Kamila dan tim dari Universitas Diponegoro, pendekatan baru bernama ecodrainage ditawarkan sebagai alternatif dari sistem drainase konvensional yang selama ini terbukti kurang efektif.
Apa Itu Ecodrainage?
Ecodrainage atau drainase berwawasan lingkungan adalah sistem pengelolaan air hujan yang menekankan peresapan udara alami ke dalam tanah. Tujuannya bukan hanya mengalirkan udara ke saluran, melainkan meminimalkan limpasan permukaan, menjaga muka air tanah, serta menghindari berkumpulnya di wilayah hulu dan banjir di wilayah hilir.
Konsep ini menyadari bahwa air hujan bukan untuk dibuang, tetapi untuk dikelola sebagai aset ekologis. Dengan ekodrainase, udara tidak langsung masuk ke saluran beton, tetapi terlebih dahulu ditampung, diresapkan, atau ditahan agar tidak berbaring di sistem pembuangan kota.
Masalah Drainase di Jatisari: Nyata dan Mendesak
Wilayah Jatisari merupakan kawasan hulu yang sedang berkembang pesat, termasuk perumahan Bukit Jatisari dan BSB City. Masalah klasik muncul:
Dampaknya, setiap hujan lebat, tak terhindarkan. Lebih buruk lagi, hilangnya lahan resapan memperbesar risiko banjir di daerah hilir yang menerima aliran limpasan.
Studi Kasus: Menakar Ecodrainage dalam Angka
Penelitian ini menyajikan hitungan teknis tentang potensi efisiensi Ecodrainage dalam meresapkan air hujan sebelum mengalir ke saluran. Dengan curah hujan rata-rata 138,34 mm/jam, debit udara yang masuk ke sistem drainase Jatisari mencapai 8,643 m³/s.
Setelah penerapan berbagai metode ecodrainage, hasilnya cukup signifikan. Total udara yang bisa diserap sistem peresapan mencapai 4,419 m³/s , sedangkan udara yang benar-benar mengalir ke saluran hanya tersisa 4,224 m³/s . Artinya, lebih dari 50% air hujan dapat ditahan dan dikelola secara lokal sebuah prestasi besar untuk wilayah perkotaan.
Teknologi Hijau yang Diterapkan
Evaluasi Kritis: Apa Tantangannya?
1. Skala Implementasi
Jumlah lubang biopori idealnya mencapai 43.900 lubang, namun keterbatasan lahan dan peran serta warga membuat target itu sulit tercapai. Perlunya kebijakan dan insentif dari pemerintah kota untuk menggerakkan masyarakat.
2. Pemeliharaan
Bangunan peresapan memerlukan perawatan berkala agar tidak tersumbat lumpur atau sampah. Tanpa kesadaran warga dan dukungan operasional, sistem ini bisa kehilangan fungsinya dalam hitungan bulan.
3. Kontaminasi
Salah satu catatan penting adalah mencampurnya air limbah domestik ke sistem peresapan, terutama di danau buatan. Jika tidak ditangani, ecodrainage justru bisa mencemari tanah dan air tanah.
Dibandingkan dengan Kota Lain
Bandingkan Jatisari dengan Jakarta, yang menggunakan sistem polder dan kolam retensi besar namun masih mengandalkan pembuangan udara sebagai solusi. Sementara di Jerman dan Belanda, pengelolaan air perkotaan dilakukan dengan prinsip menahan, meresap, dan menguapkan udara setempat sebanyak mungkin.
Jatisari mencoba menggabungkan keduanya: teknologi sederhana (biopori, rorak) namun dengan perhitungan teknis yang cermat. Jika tidak berguna, ini bisa menjadi model untuk daerah perkotaan padat yang memiliki keterbatasan lahan.
Dampak Lebih Luas: Lingkungan, Sosial, Ekonomi
Rekomendasi Penulis
Penutup: Menuju Kota yang Menyerap Air, Bukan Menyebarkannya
Proyek ecodrainage di Jatisari bukan sekadar eksperimen akademik. Ia adalah gambaran bagaimana kota bisa kembali berdamai dengan air. Di era perubahan iklim dan urbanisasi yang brutal, konsep seperti ini bukan hanya relevan namun mendesak untuk diterapkan secara lebih luas.
Alih-alih terus membangun saluran beton yang lebih besar, mengapa tidak menumbuhkan tanah yang lebih ramah udara? Jatisari sudah membuktikannya. Tinggal bagaimana kita meniru dan mengembangkannya.
Referensi
Kamila, N., Wardhana, IW, & Sutrisno, E. (2016). Perencanaan sistem drainase berwawasan lingkungan (Ecodrainage) di Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan , 22(2), 63–72.
Banjir Perkotaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 14 Oktober 2025
Pendahuluan: Ketika Kota Tak Lagi Menyerap Air
Sejak tahun 2015, banjir telah merenggut 4.701 jiwa dan menelan kerugian ekonomi hampir 73 miliar dolar AS di Tiongkok, sementara hanya 64 dari 654 kota yang memiliki kerangka hukum Sponge City.
Pada 20 Juli 2021, kota Zhengzhou diguyur hujan ekstrem sebesar 201,9 mm hanya dalam satu jam. Peristiwa ini memperkirakan lebih dari 300 orang dan menyebabkan kerugian ekonomi langsung mencapai 40,9 miliar yuan. Tragedi ini menyadarkan dunia bahwa infrastruktur drainase konvensional tidak lagi mampu menghadapi perubahan iklim. Kota-kota di Tiongkok pun mulai beralih pada konsep Sponge City Program (SCP) sebagai solusi perkotaan untuk memulihkan siklus udara dan meredam banjir.
Dalam ulasan ini, kami membedah secara kritis hasil studi Chen Zeng dan kolega (2023), yang menelusuri sejauh mana program ini efektif setelah delapan tahun dijalankan. Artikel ini tidak hanya memuat isi jurnal, tetapi berisi interpretasi, kasus nyata, serta rekomendasi agar SCP benar-benar bisa menyerap tantangan masa depan.
Mengapa Sponge City Dibutuhkan?
SCP lahir dari krisis yang nyata. Lebih dari 98 persen kota besar di Tiongkok pernah mengalami penampungan besar. Banjir bukan hanya persoalan infrastruktur, tapi juga kesehatan masyarakat. Studi menunjukkan bahwa banjir memicu peningkatan penyakit menular seperti diare dan leptospirosis, bahkan di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Kerugian ekonominya pun masif. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata kerugian akibat banjir di Tiongkok melampaui 10 miliar dolar AS per tahun. Ironisnya, angka tertinggi justru muncul setelah program Sponge City resmi diluncurkan pada tahun 2015.
SCP mengadopsi pendekatan pembangunan berdampak rendah (low-impact development ), seperti penggunaan taman hujan, atap hijau, dan paving berpori untuk menyerap dan menyimpan air hujan alih-alih langsung membuangnya ke saluran kota.
Apa Kata Penelitian?
Chen Zeng dkk. menggunakan pendekatan dokumenter interpretatif, menganalisis lebih dari 190 sumber literatur, baik dari jurnal internasional maupun sumber domestik Tiongkok. Mereka juga memanfaatkan data dari National Disaster Reduction Center dan visualisasi spasial menggunakan ArcGIS untuk menilai efektivitas SCP dalam mengurangi risiko banjir.
Metode ini kuat secara literatur, namun memiliki keterbatasan dalam menggali kondisi lapangan secara langsung karena tidak melibatkan wawancara mendalam dengan pengelola kota atau warga yang terdampak.
Temuan Utama: Antara Harapan dan Realitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun konsep Sponge City diterima secara luas, realisasinya masih terbatas. Kurang dari 10 persen kota di Tiongkok telah menetapkan peraturan lokal terkait implementasi SCP. Bahkan di kawasan utara yang kering, pengembangan infrastruktur penyerap udara sangat minim meskipun tren hujan ekstrem meningkat di wilayah tersebut.
Contoh yang paling mencolok adalah Zhengzhou, kota yang menggelontorkan 58,4 miliar yuan untuk membangun infrastruktur SCP. Namun, saat hujan ekstrem Juli 2021 datang, kota itu tetap lumpuh. Ini menandakan bahwa kapasitas desain sistem tidak cukup untuk menangani skenario cuaca yang semakin ekstrem.
Di sisi lain, tidak adanya undang-undang nasional yang mengatur SCP membuat pelaksanaannya sangat bergantung pada inisiatif lokal. Berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki Undang-Undang Air Bersih, Tiongkok belum memiliki kerangka hukum tunggal yang mengatur semua aspek pembangunan dan pemeliharaan sponsor kota.
Belajar dari Zhengzhou: Ketika Spons Tak Lagi Menyerap
Zhengzhou menjadi studi kasus yang penting. Di kota ini, curah hujan ekstrem melebihi batas desain infrastruktur SCP. Sistem kereta bawah tanah terendam, dan ratusan orang terjebak di dalamnya. Lebih dari 300 nyawa melayang, sebagian besar karena keterlambatan dalam peringatan dini dan kurangnya prosedur pertolongan.
Pelajaran dari peristiwa ini jelas: desain SCP harus mempertimbangkan kemungkinan kejadian cuaca ekstrem yang lebih langka, misalnya yang terjadi sekali dalam seribu tahun, bukan hanya sekali dalam seratus. Lebih jauh lagi, tidak cukup hanya membangun elemen hijau, tetapi juga harus memastikan sistem peringatan dan manajemen risiko berjalan dengan baik.
Bagaimana Negara Lain Mengelola Banjir Kota?
Beberapa negara memiliki pendekatan serupa dengan SCP, tetapi dengan fondasi regulasi dan teknis yang lebih kuat. Di Amerika Serikat, penggunaan pendekatan pembangunan berdampak rendah dilindungi oleh undang-undang air bersih dan didukung oleh insentif fiskal. Inggris menggunakan pendekatan sistem drainase perkotaan berkelanjutan (SUDS) yang tekanan integrasi antara udara dan tata ruang kota. Australia memiliki strategi desain perkotaan ramah air (WSUD) yang menggabungkan air hujan, air limbah, dan konservasi sumber daya.
Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman mereka adalah pentingnya integrasi hukum dan kelembagaan, serta penguatan data pemantauan sebagai dasar pengambilan keputusan adaptif.
Kendala Utama Sponge City di Tiongkok
Masalah utama terletak pada fragmentasi fiskal dan kelembagaan. Pendanaan SCP sering kali berasal dari anggaran lokal, menyebabkan ketimpangan antara kota besar dan kecil. Selain itu, pemeliharaan elemen hijau seperti taman hujan dan sumur resapan memerlukan keahlian teknis yang belum merata di seluruh kota.
Tidak adanya sistem pemantauan nasional yang terintegrasi membuat evaluasi kinerja antar kota menjadi sulit. Bahkan warga sendiri sering kali belum menyadari manfaat ruang terbuka hijau yang "basah", dan justru mengeluh ketika taman kota tergenang air karena dianggap tidak nyaman.
Rekomendasi Strategis: Agar Spons Tak Mengering
Pertama, Tiongkok perlu menetapkan kerangka hukum nasional untuk SCP. Aturan ini harus mencakup standar layanan minimum dan penyesuaian terhadap proyeksi perubahan iklim, misalnya menggunakan skenario IPCC untuk merancang kapasitas sistem hingga tahun 2080.
Kedua, perlu diterapkannya insentif fiskal, seperti tarif air yang lebih rendah bagi bangunan yang mengadopsi atap hijau atau teknologi penampung air hujan. Ini bisa menumbuhkan partisipasi sektor swasta.
Ketiga, integrasi teknologi pertukaran seperti sensor IoT dan digital twin kota sangat penting. Dengan ini, kota dapat memantau kelembaban tanah secara real-time dan melakukan simulasi evakuasi sebelum musim hujan tiba.
Keempat, pendekatan sosial harus diperkuat. Keterlibatan masyarakat dalam mengelola taman hujan atau fasilitas SCP lainnya penting agar warga merasa memiliki dan ikut merawat.
Terakhir, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dampak SCP terhadap kesehatan masyarakat, ekonomi sirkular udara, serta perubahan perilaku masyarakat dalam menghadapi risiko banjir.
Kesimpulan: Kota yang Menyerap atau Tenggelam?
Delapan tahun sejak dimulai, Sponge City masih menjadi konsep yang menjanjikan namun belum sepenuhnya terbukti ampuh. Evaluasi Chen Zeng dan rekannya menyatakan bahwa infrastruktur saja tidak cukup. Regulasi nasional, edukasi masyarakat, pemantauan yang transparan, dan kapasitas institusi lokal harus berjalan beriringan.
Zhengzhou adalah contoh nyata bahwa pembangunan fisik tanpa kesiapan sosial dan kelembagaan dapat berakhir pada tragedi. Kota masa depan harus mampu tidak hanya menyerap udara, tetapi juga menyerap kompleksitas perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi yang menyertainya.
Jika tidak, kota sponsor hanyalah nama tanpa fungsi basah oleh ambisi, tetapi kering dalam aksi.
Referensi
Chen, Z., Aboagye, EM, Li, H., & Che, S. (2023). Komentar dan rekomendasi tentang Sponge City—solusi Tiongkok untuk mencegah risiko banjir . Heliyon, 9, e12745.
Banjir Jakarta
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 14 Oktober 2025
Transformasi prakiraan Cuaca dari Informasi ke Aksi
Ketika Jakarta diterpa hujan lebat, berita tentang banjir dan ribuan warga terdampak nyaris menjadi rutinitas musiman. Meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara rutin merilis prakiraan cuaca, sering kali informasi tersebut gagal diterjemahkan menjadi tindakan nyata di lapangan. Di sini Impact-Based Forecast (IBF) menawarkan sebuah pendekatan revolusioner: alih-alih sekedar menceritakan bahwa "akan hujan", IBF menyampaikan "apa dampaknya" dan "apa yang harus dilakukan".
Penelitian Younggy HM Hutabarat yang dimuat dalam Jurnal Widya Climago (2020) merupakan salah satu tonggak awal pengembangan sistem IBF di Indonesia. Fokusnya adalah Jakarta, kota megapolitan yang setiap musim hujan selalu menghadapi risiko banjir dengan skala yang kompleks dan variatif.
Mengapa Prakiraan Berbasis Dampak Penting bagi Jakarta?
Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga wilayah dengan tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Sekitar 40% dari total wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Selain itu, topografi yang datar, aliran 13 sungai, dan pesatnya pembangunan membantu daya resap tanah dan memperbesar potensi banjir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa lebih dari 95% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi: banjir, longsor, dan badai. Di Jakarta sendiri, pada tahun 2015–2019, terjadi lebih dari 100 kejadian banjir yang menimpa hampir 100.000 warga. Fakta ini menunjukkan bahwa hanya mengandalkan prakiraan konvensional tidak cukup. Masyarakat membutuhkan informasi yang bisa langsung diterjemahkan menjadi tindakan preventif .
Dari ramalan Konvensional ke Sistem Berbasis Dampak
prakiraan cuaca biasanya menyebutkan intensitas hujan, kecepatan angin, atau suhu udara. Namun, masyarakat umum apalagi di wilayah tropis seperti Indonesia sering mengabaikannya karena informasi ini terasa terlalu teknis dan tidak relevan secara langsung.
Model Impact-Based Forecast mengubah pendekatan tersebut. Informasi cuaca kini dikaitkan dengan:
Melalui matriks ini, informasi prakiraan tidak lagi hanya disampaikan sebagai kemungkinan hujan, tetapi juga risiko yang ditimbulkan dan langkah antisipatif yang harus dilakukan.
Pendekatan Penelitian: Data, Model, dan Matriks Risiko
Penelitian ini menggunakan tiga sumber utama:
Dengan kombinasi ketiganya, peneliti melakukan analisis komposit atas lima parameter cuaca yang dianggap berpengaruh terhadap banjir:
Temuan Utama: Ketika Hujan Bukan Lagi Satu-satunya Penentu
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah bahwa hujan meskipun menjadi penyebab utama banjir ternyata bukan satu-satunya indikator paling andal dalam model GFS . Model ini justru menunjukkan prediksi yang lebih stabil dan akurat untuk parameter lain seperti kelembapan dan suhu udara.
Hasil Utama:
Artinya, model GFS lebih baik dalam menggambarkan kondisi atmosfer seperti kelembapan dan energi konvektif daripada hujan langsung. Hal ini membuka kemungkinan untuk menggunakan kombinasi variabel sebagai prekursor banjir yang lebih efektif daripada hanya mengandalkan hujan saja.
Dampak Praktis: Integrasi IBF dalam Kebijakan dan Sistem Peringatan
Informasi dari IBF tidak hanya bersifat teknis, tetapi diarahkan untuk bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemangku kepentingan. Dalam IBF, setiap kombinasi antara tingkat dampak dan probabilitas kejadian akan menghasilkan peringatan berwarna :
Misalnya, meskipun curah hujan diprediksi kemungkinannya rendah, namun bila dampaknya parah (parah), sistem tetap dapat mengeluarkan peringatan oranye atau merah. Inilah yang membedakan IBF dari sistem prakiraan biasa— risiko yang ditentukan bukan hanya dari kemungkinan kejadian, tapi juga besarnya dampak yang bisa terjadi.
Inovasi yang Disarankan: Aplikasi Mobile IBF
Dalam penutup studinya, Hutabarat mengusulkan agar hasil prakiraan IBF disampaikan dalam aplikasi mobile . Ini bukan sekadar ide visual, tetapi usulan strategi agar masyarakat bisa menerima peringatan berbasis dampak langsung di ponsel pintar mereka. Dengan demikian, tindakan preventif bisa dilakukan lebih cepat, bahkan sebelum banjir terjadi.
Aplikasi semacam ini idealnya memuat:
Perbandingan Internasional: Belajar dari Karibia hingga Bangladesh
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mulai mengadopsi IBF. Studi internasional menunjukkan hasil yang serupa:
Dari sini dapat disimpulkan bahwa keberhasilan IBF sangat bergantung pada:
Kritik dan Saran Pengembangan
Penelitian ini menjadi pionir penting, namun ada beberapa hal yang bisa menjadi perhatian untuk pengembangan selanjutnya:
Kesimpulan: Prakiraan Cuaca yang Menggerakkan Tindakan
Prakiraan Berbasis Dampak bukan sekadar evolusi dari sistem informasi cuaca, tapi revolusi dalam mitigasi bencana . Jakarta sebagai kota dengan kompleksitas perkotaan dan risiko hidrometeorologi tinggi memerlukan pendekatan seperti ini untuk menanggulangi dampak banjir yang semakin tidak terduga akibat perubahan iklim.
Penelitian Younggy HM Hutabarat berhasil mengangkat potensi IBF secara ilmiah dan praktis, sekaligus membuka ruang untuk pengembangan sistem prediksi yang lebih cerdas, tanggap, dan proaktif. Jika prakiraan cuaca bisa diterjemahkan menjadi keputusan yang cepat dan tepat, maka kita telah melangkah satu langkah lebih dekat menuju kota yang benar-benar tangguh menghadapi bencana.
Referensi
Hutabarat, YHM (2020). Pengembangan sistem informasi prakiraan cuaca berbasis dampak menggunakan model prakiraan cuaca numerik untuk wilayah Jakarta. Jurnal Widya Climago, 2 (2), 56–68.