Jalan Mulus, Perjalanan Lambat: Studi Ini Membongkar Paradoks Tersembunyi di Balik Proyek Infrastruktur Nasional – dan Ini Pelajaran Pentingnya

Dipublikasikan oleh Hansel

14 Oktober 2025, 10.36

unsplash.com

Ilusi Jalan Sempurna di Jantung Sumatera

Bagi jutaan pengemudi dan pelaku bisnis di Indonesia, tolok ukur kemajuan infrastruktur seringkali sederhana: jalan yang lebar dan aspal yang mulus. Logika dasarnya pun terasa tak terbantahkan—jika jalan lebih baik, perjalanan pasti lebih cepat. Namun, sebuah studi mendalam terhadap program pemeliharaan jalan nasional di Sumatera Selatan antara 2015 hingga 2019 membongkar sebuah paradoks yang membingungkan, menantang asumsi dasar kita tentang apa arti sesungguhnya dari sebuah infrastruktur yang efektif.

Kisah ini berlatar di salah satu koridor ekonomi terpenting Indonesia, Sumatera Selatan. Sebagai bagian dari agenda besar nasional dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Marga meluncurkan Rencana Strategis 2015-2019.1 Tujuannya jelas: meningkatkan konektivitas, memperlancar arus logistik, dan pada akhirnya mengakselerasi denyut nadi perekonomian regional. Selama lima tahun, investasi besar digelontorkan, dan hasilnya terlihat kasat mata. Jalan-jalan yang dulu sempit kini menjadi lebih lebar. Permukaan yang dulu bergelombang kini mulus bak permadani.

Namun, di tengah euforia kemajuan fisik tersebut, sebuah anomali muncul. Para pengemudi truk logistik, bus antarprovinsi, dan pengguna jalan lainnya merasakan kejanggalan. Meskipun kondisi jalan membaik secara drastis, waktu yang mereka habiskan di perjalanan tidak kunjung berkurang signifikan. Kecepatan rata-rata kendaraan seolah membentur dinding tak kasat mata. Studi yang dilakukan oleh Rizky Ardhiarini dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III ini menyoroti sebuah kegagalan tersembunyi di balik keberhasilan yang tampak di permukaan, sebuah pelajaran mahal yang relevansinya melampaui batas provinsi Sumatera Selatan dan menyentuh jantung kebijakan infrastruktur nasional.1

 

Mengubah Arah: Revolusi Senyap dalam Perencanaan Infrastruktur

Untuk memahami betapa mengejutkannya temuan ini, kita perlu melihat kecanggihan di balik layar perencanaan program tersebut. Proyek ini bukan sekadar program tambal sulam jalan berlubang. Ini adalah manifestasi dari pergeseran paradigma fundamental dalam tata kelola infrastruktur di Indonesia—sebuah transisi dari pendekatan "pemadam kebakaran" yang reaktif menuju model "arsitek strategis" yang preventif.1

Selama bertahun-tahun, pemeliharaan jalan seringkali bersifat reaktif; anggaran untuk tahun berjalan dialokasikan berdasarkan kerusakan yang sudah terjadi pada tahun yang sama, menciptakan kesan penanganan yang selalu terlambat.1 Rencana Strategis 2015-2019 berusaha mendobrak siklus ini. Para perencana tidak lagi hanya bertanya, "Jalan mana yang paling rusak hari ini?" Mereka mulai mengajukan pertanyaan yang jauh lebih cerdas: "Jalan mana yang paling penting untuk masa depan ekonomi kita, dan bagaimana kita menjaganya agar tetap dalam kondisi prima?"

Untuk menjawabnya, mereka menggunakan sebuah metode analisis canggih yang disebut Multi-criteria Analysis (MCA). Bayangkan ini sebagai sebuah sistem penilaian super-komputer yang tidak hanya melihat satu faktor, tetapi menimbang puluhan variabel secara bersamaan untuk menentukan prioritas.1 Analisis ini dibagi menjadi dua kategori besar:

  • Kondisi Teknis Jalan: Di sini, para insinyur mengukur kesehatan fisik jalan secara mendetail. Mereka tidak hanya melihat lubang, tetapi juga menggunakan indikator presisi seperti International Roughness Index (IRI) untuk mengukur tingkat kemulusan permukaan jalan, dan Surface Distress Index (SDI) untuk mendeteksi retakan-retakan halus yang menjadi cikal bakal kerusakan. Selain itu, mereka juga menganalisis data kinerja lalu lintas, seperti volume harian, rasio kepadatan (V/C ratio), dan kecepatan rata-rata kendaraan.1
  • Tingkat Kepentingan Wilayah: Inilah bagian yang revolusioner. Sebuah jalan yang mulus di daerah terpencil mungkin tidak sepenting jalan yang sedikit bergelombang tetapi menghubungkan pusat industri ke pelabuhan utama. MCA memasukkan faktor-faktor strategis ini ke dalam perhitungan. Apakah jalan tersebut mendukung Kawasan Strategis Nasional (KSN)? Apakah ia merupakan bagian dari koridor ekonomi atau Sistem Logistik Nasional (Sislognas)? Apakah ia melayani kawasan pariwisata (KSPN) atau pusat industri pertambangan?.1

Dengan menggabungkan kedua skor ini, pemerintah dapat memetakan kebutuhan pemeliharaan dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memastikan setiap rupiah anggaran dialokasikan untuk dampak maksimal. Justru karena perencanaan yang begitu canggih dan holistik inilah, kegagalan program dalam mencapai target utamanya menjadi sebuah misteri yang menuntut untuk dipecahkan. Ini bukan kegagalan karena perencanaan yang buruk; ini adalah kegagalan yang terjadi meskipun perencanaannya sangat baik, yang mengindikasikan adanya masalah yang lebih fundamental dalam strategi itu sendiri.

 

Kemenangan di Atas Aspal: Rapor Kinerja yang Membanggakan

Jika dilihat dari metrik-metrik fisik, program lima tahun di Sumatera Selatan adalah sebuah kesuksesan besar. Data menunjukkan pencapaian yang luar biasa, melampaui target di berbagai aspek kunci. Ini membuktikan bahwa dari sisi eksekusi, para pelaksana di lapangan mampu menerjemahkan rencana strategis menjadi hasil nyata yang bisa dirasakan langsung oleh pengguna jalan.1

Pada akhir 2019, sebuah pencapaian monumental terwujud: 100% jalan nasional di Sumatera Selatan telah memenuhi standar lebar minimum 7 meter.1 Ini setara dengan mengubah seluruh arteri utama di provinsi tersebut menjadi koridor dua lajur yang memadai, sebuah fondasi krusial untuk kelancaran logistik dan pertumbuhan ekonomi. Kapasitas jalan telah ditingkatkan secara merata di seluruh jaringan.

Lebih dari itu, tingkat kemulusan jalan meroket secara dramatis. Jika pada 2014 hanya sekitar 56% jalan yang masuk kategori sangat mulus dengan nilai , angka ini melonjak hingga 90,37% pada 2019.1 Bagi pengemudi, ini berarti sebuah lompatan kualitas pengalaman berkendara. Guncangan dan getaran yang dulu menjadi momok, yang tidak hanya merusak kenyamanan tetapi juga mempercepat keausan kendaraan, kini sebagian besar telah hilang.

Kondisi "kesehatan" aspal juga menunjukkan perbaikan luar biasa. Studi mencatat bahwa lebih dari 97% jaringan jalan mencapai skor Surface Distress Index (SDI) di bawah 50, sebuah ambang batas yang menandakan permukaan yang solid dan minim kerusakan struktural.1 Ini adalah bukti keberhasilan program pemeliharaan preventif; kerusakan kecil berhasil ditangani sebelum berkembang menjadi masalah besar yang membutuhkan perbaikan mahal.

Yang paling penting, jalan-jalan yang telah diperbaiki ini terbukti mampu menampung arus lalu lintas dengan sangat baik. Hampir 98% ruas jalan memiliki rasio volume kendaraan terhadap kapasitas (V/C ratio) di bawah 0,75, sebuah indikator lalu lintas yang sangat lancar dan jauh dari ambang batas kemacetan.1 Dengan kata lain, jalan-jalan ini lebar, mulus, sehat, dan tidak macet. Di atas kertas, ini adalah resep sempurna untuk sebuah perjalanan yang cepat dan efisien.

 

Anomali di Kilometer 100: Ketika Angka Tak Bisa Berbohong

Namun, di balik rapor yang gemilang itu, tersembunyi sebuah anomali yang membingungkan. Data kinerja yang sesungguhnya—yaitu seberapa cepat barang dan orang bisa berpindah dari titik A ke titik B—menceritakan kisah yang sama sekali berbeda. Inilah yang disebut oleh peneliti sebagai "kondisi antagonis": metrik fisik menunjukkan keberhasilan, tetapi metrik performa menunjukkan kegagalan.1

Meskipun jalan lebih lebar dan lebih mulus, kendaraan tidak melaju lebih cepat. Target ambisius untuk mengembalikan fungsi jalan nasional sebagai arteri primer dengan kecepatan rata-rata di atas 60 km/jam ternyata jauh dari jangkauan. Pada 2019, hanya 18,50% dari total panjang jalan yang berhasil mencapai standar kecepatan ideal ini.1 Ini adalah sebuah kesenjangan besar antara potensi dan realitas. Jalan yang secara teknis mampu mengakomodasi kecepatan tinggi ternyata tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Dampak dari kelambatan ini terasa langsung pada waktu tempuh, yang merupakan metrik paling krusial bagi efisiensi logistik dan ekonomi. Rencana strategis menargetkan waktu tempuh di bawah 1,6 jam per 100 kilometer. Namun, setelah lima tahun program berjalan, target ini hanya tercapai di 17,32% ruas jalan.1 Angka ini, yang bahkan lebih rendah dari pencapaian target kecepatan, menandakan bahwa tujuan utama untuk mempercepat konektivitas secara fundamental telah gagal. Padahal, studi lain menunjukkan Indonesia sudah tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia dalam hal waktu tempuh, di mana setiap jam keterlambatan adalah biaya ekonomi yang nyata.1

Kegagalan ini semakin membingungkan karena tidak disebabkan oleh kemacetan. Seperti yang telah ditunjukkan, hampir seluruh jaringan jalan memiliki lalu lintas yang lancar. Misterinya semakin dalam: jika jalan sudah lebar, mulus, dan tidak macet, apa yang menahan laju kendaraan? Jawabannya ternyata terletak pada sebuah faktor yang selama ini terabaikan dalam program pemeliharaan.

 

Menemukan Sang Biang Keladi: Musuh Tak Kasat Mata Bernama 'Geometri Jalan'

Studi ini dengan tegas menunjuk satu biang keladi utama di balik paradoks ini: geometri jalan yang di bawah standar (substandard road geometric).1 Ini adalah musuh tak kasat mata yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan lapisan aspal baru atau pelebaran jalan beberapa meter. Geometri jalan adalah tentang desain fundamental dari sebuah ruas jalan—DNA-nya.

Bagi masyarakat awam, istilah "geometri jalan" mungkin terdengar teknis, tetapi dampaknya sangat terasa dalam pengalaman berkendara sehari-hari. Bayangkan sebuah jalan yang aspalnya mulus sempurna, tetapi memiliki serangkaian tikungan setajam siku yang memaksa truk kontainer terpanjang sekalipun untuk melambat hingga nyaris merangkak. Atau sebuah tanjakan curam yang membuat kendaraan berat kehilangan momentum, menciptakan antrean panjang di belakangnya meskipun jalan di depannya kosong. Inilah musuh tak kasat mata itu: desain jalan warisan masa lalu yang tidak lagi sesuai untuk volume, bobot, dan kecepatan lalu lintas modern.1

Program pemeliharaan 2015-2019, meskipun canggih, ternyata memiliki titik buta yang fatal. Analisis menunjukkan bahwa program ini didominasi oleh kegiatan pemeliharaan rutin. Pada 2015, sekitar 95,86% penanganan adalah pemeliharaan rutin, dan angka ini melonjak hingga mendekati 100% dari tahun 2016 hingga 2019.1 Jenis-jenis pekerjaan ini, seperti pemeliharaan minor, preventif, dan periodik, dirancang untuk menjaga dan memelihara kondisi permukaan jalan yang ada (preservation). Mereka sangat efektif untuk membuat jalan tetap mulus, tetapi sama sekali tidak berdaya untuk mengubah desain dasarnya. Meluruskan tikungan tajam atau melandaikan tanjakan curam membutuhkan intervensi yang jauh lebih besar, seperti rekonstruksi atau pembangunan jalan baru (misalnya, bypass atau flyover), yang porsinya sangat minim dalam program ini.1

Kegagalan ini mengungkap sebuah pelajaran krusial dalam kebijakan infrastruktur: kita bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk memoles permukaan, tetapi jika kerangka dasarnya cacat, manfaat yang dihasilkan akan sangat terbatas. Ini seperti memasang mesin Formula 1 pada sasis mobil kota; tenaganya besar, tetapi tidak akan pernah bisa melaju kencang karena desain fundamentalnya tidak mendukung.

 

Sebuah Kritik Membangun: Pelajaran Mahal untuk Proyek Strategis Nasional

Temuan ini bukanlah sebuah dakwaan terhadap para insinyur di lapangan yang telah bekerja keras mewujudkan jalan yang lebih baik. Sebaliknya, ini adalah sebuah kritik membangun terhadap kerangka strategis yang mereka operasikan. Data menunjukkan bahwa para pelaksana program sangat efektif dalam mencapai target yang diberikan kepada mereka: melebarkan jalan dan menjaga IRI tetap rendah. Kegagalan ini bukan terletak pada level implementasi, melainkan pada level strategi.1

Rencana Strategis 2015-2019, dalam upayanya untuk menghasilkan perbaikan yang cepat dan terukur di seluruh jaringan yang luas, kemungkinan besar terlalu fokus pada metrik-metrik permukaan yang mudah dicapai, seperti lebar dan kemulusan. Metrik ini penting, tetapi ternyata tidak cukup. Program ini kurang mengalokasikan sumber daya untuk pekerjaan yang lebih kompleks, lebih mahal, dan lebih disruptif secara politis, yaitu modernisasi geometri jalan.1

Kecenderungan untuk memilih perbaikan inkremental (pemeliharaan rutin) daripada perubahan transformasional (rekonstruksi geometri) adalah sebuah jebakan yang seringkali ditemui dalam birokrasi pekerjaan umum di seluruh dunia. Lebih mudah secara politik dan anggaran untuk melaporkan "ratusan kilometer jalan telah dipelihara" daripada "lima kilometer tikungan berbahaya telah diluruskan". Namun, seperti yang ditunjukkan oleh studi ini, pendekatan yang lebih mudah tidak selalu memberikan hasil yang lebih baik.

Penulis studi ini menyarankan bahwa program pengelolaan jaringan jalan di masa depan harus berpikir lebih besar. Solusi untuk masalah ini tidak lagi cukup dengan pemeliharaan rutin, tetapi harus mencakup opsi-opsi seperti pembangunan flyover, underpass, atau bypass untuk mengatasi titik-titik simpul kemacetan geometris.1 Ini adalah pergeseran dari sekadar merawat aset yang ada menjadi mendesain ulang jaringan untuk kinerja masa depan.

 

Proyeksi ke Depan: Dampak Nyata bagi Peta Ekonomi Indonesia

Temuan dari Sumatera Selatan ini bukan sekadar catatan teknis; ini adalah sebuah peringatan dan peta jalan bagi masa depan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pelajaran yang didapat dari paradoks "jalan mulus, perjalanan lambat" ini memiliki implikasi yang sangat luas bagi setiap Proyek Strategis Nasional yang sedang dan akan berjalan.

Jika pelajaran ini diabaikan, Indonesia berisiko terus menghabiskan triliunan rupiah untuk menciptakan "ilusi kemajuan"—jalan-jalan yang indah dipandang dan nyaman dilintasi, namun secara fundamental tetap lambat dan tidak efisien. Ini akan mengunci inefisiensi dalam rantai pasok nasional, membebani biaya logistik, dan pada akhirnya menghambat daya saing ekonomi bangsa di panggung global.

Namun, jika diterapkan, wawasan dari studi ini bisa merevolusi cara kita merencanakan dan mengevaluasi infrastruktur. Dengan mengintegrasikan perbaikan dan modernisasi geometri sebagai komponen wajib dalam setiap program peningkatan jalan, Indonesia tidak hanya akan membangun jalan, tetapi membangun konektivitas sejati. Pemerintah harus mulai mengukur keberhasilan bukan dari berapa kilometer aspal yang dihampar, tetapi dari berapa jam waktu perjalanan yang berhasil dipangkas.

Dampaknya akan sangat nyata dan terukur. Jika diterapkan secara nasional, pendekatan baru ini berpotensi memangkas biaya logistik secara signifikan, menghemat jutaan jam kerja produktif yang hilang di perjalanan, mengurangi konsumsi bahan bakar, dan pada akhirnya, mengakselerasi denyut nadi perekonomian bangsa secara berkelanjutan dalam dekade mendatang.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.22146/jcef.26583