Pemandangan jalan berlubang, aspal retak, atau bahu jalan yang terkikis sudah menjadi keluhan klasik di banyak daerah di Indonesia. Setiap tahun, pemerintah daerah berjibaku mengalokasikan anggaran untuk menambal, melapisi ulang, dan memperbaiki infrastruktur vital ini. Namun, tak jarang, jalan yang baru diperbaiki kembali rusak dalam hitungan bulan, memicu pertanyaan abadi: mengapa jalan kita cepat sekali rusak?
Bagi sebagian besar masyarakat, jawabannya mungkin terdengar sederhana: kualitas konstruksi yang buruk atau beban kendaraan yang berlebihan. Namun, sebuah penelitian mendalam yang dilakukan di sembilan ruas jalan strategis di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, mengungkap sebuah kebenaran yang lebih kompleks. Masalahnya bukan sekadar soal campuran aspal atau jumlah truk yang melintas, melainkan berakar pada cara kita berpikir dan menghitung biaya pemeliharaan itu sendiri.1
Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Riset Rekayasa Sipil oleh para peneliti dari Universitas Sebelas Maret ini membongkar sebuah dilema yang dihadapi ratusan pemerintah kabupaten/kota di seluruh negeri. Dilema ini adalah pertarungan antara kebiasaan lama dalam merencanakan anggaran dan tuntutan baru untuk pengelolaan aset yang lebih cerdas dan berkelanjutan. Di tengah dilema ini, sebuah sistem baru yang didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) hadir sebagai penantang, menjanjikan sebuah revolusi dalam cara pemerintah daerah menjaga urat nadi perekonomian mereka: jalan raya.
Dua "Otak" di Balik Perhitungan Biaya: Membedah Metode Lama dan Pendatang Baru
Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu mengenal dua "otak" atau sistem yang menjadi pusat dari penelitian ini: LCCA dan KRMS. Keduanya adalah program komputer yang dirancang untuk membantu pemerintah menghitung berapa banyak uang yang harus disiapkan untuk pemeliharaan jalan. Namun, filosofi di balik keduanya sangat berbeda.
Yang pertama adalah LCCA, atau Life Cycle Cost Analysis. Ini adalah metode yang sudah mapan dan banyak digunakan. LCCA bisa diibaratkan seorang akuntan veteran yang sangat teliti. Fokus utamanya adalah menghitung biaya paling ekonomis untuk sebuah perkerasan jalan selama seluruh masa layannya. LCCA akan menganalisis kondisi aspal, menghitung tingkat kerusakan menggunakan indeks standar seperti Pavement Condition Index (PCI), lalu memberikan rekomendasi biaya perbaikan yang paling efisien dari segi finansial.1 Ia sangat baik dalam menjawab pertanyaan: "Berapa biaya termurah untuk menjaga aspal ini tetap berfungsi?"
Kemudian, hadirlah sang pendatang baru: KRMS, atau Kabupaten Road Management System. Sistem ini merupakan program rintisan dari Kementerian PU yang mulai diuji coba sejak 2016. Jika LCCA adalah seorang akuntan, maka KRMS adalah seorang manajer aset modern yang berpikir holistik. KRMS tidak hanya melihat aspal. Ia memandang jalan sebagai sebuah ekosistem yang utuh.1
Perbedaan fundamentalnya terletak pada data yang dimasukkan. LCCA berfokus pada apa yang disebut on pavement, yaitu segala kerusakan yang terjadi di permukaan perkerasan jalan itu sendiri. Sebaliknya, KRMS meminta data yang jauh lebih komprehensif. Ia tidak hanya menanyakan kondisi aspal (on pavement), tetapi juga kondisi off pavement—segala sesuatu yang ada di sekitar jalan. Ini mencakup rambu lalu lintas yang pudar, trotoar yang retak, saluran drainase yang tersumbat, hingga kondisi bahu jalan.1
Dengan kata lain, LCCA melakukan "pemeriksaan tekanan darah" pada jalan, sementara KRMS melakukan "pemeriksaan kesehatan menyeluruh" atau medical check-up. KRMS memahami bahwa saluran drainase yang buruk (off pavement) pada akhirnya akan menyebabkan genangan air yang merusak aspal (on pavement). Dengan melihat gambaran besar ini, KRMS tidak lagi sekadar menghitung biaya, tetapi mulai mengelola sebuah aset publik secara strategis. Pertanyaan yang dijawabnya pun lebih kompleks: "Bagaimana kondisi total seluruh aset jalan kita, dan bagaimana kita bisa mengelolanya secara proaktif untuk lima tahun ke depan?"
Uji Tanding di Sembilan Ruas Jalan Takalar: Siapa Lebih Akurat?
Setiap inovasi, sebagus apa pun konsepnya, harus membuktikan nilainya di dunia nyata. Pemerintah daerah, dengan anggaran yang terbatas, tentu akan ragu mengadopsi sistem baru jika hasilnya tidak bisa diandalkan. Inilah inti dari penelitian di Takalar: mengadu akurasi antara si veteran LCCA dan si pendatang baru KRMS.
Tim peneliti turun langsung ke sembilan ruas jalan vital di Kecamatan Polombangkeng Utara dan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Ruas-ruas ini, dengan panjang bervariasi dari 3,24 km hingga 67,3 km, menjadi laboratorium lapangan mereka.1 Dengan cermat, mereka menyurvei setiap jengkal jalan, mencatat setiap jenis kerusakan, mulai dari retak buaya di aspal hingga kondisi rambu lalu lintas. Semua data mentah ini kemudian dimasukkan ke dalam kedua sistem. LCCA menerima data kerusakan perkerasan, sementara KRMS menerima data yang lebih lengkap, termasuk kondisi bangunan pelengkap jalan.
Setelah semua data diolah, hasilnya cukup mengejutkan. Meskipun KRMS mempertimbangkan lebih banyak variabel—yang secara teori seharusnya menghasilkan biaya lebih tinggi—total estimasi anggaran yang dikeluarkan oleh kedua program ternyata secara statistik hampir identik.
Dalam bahasa teknis, para peneliti menggunakan uji statistik yang disebut Uji-t untuk membandingkan kedua hasil. Hasilnya menunjukkan nilai t-hitung sebesar -0,631. Angka ini mungkin tidak berarti banyak bagi orang awam, tetapi bagi para statistikawan, ini adalah penemuan kunci. Angka tersebut berada jauh di dalam rentang toleransi statistik yang diterima, yaitu antara -2,306 hingga 2,306. Kesimpulannya tegas: secara ilmiah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara total Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang dihasilkan oleh KRMS dan LCCA.1
Penemuan ini bukan sekadar data statistik yang membosankan. Ini adalah sebuah validasi krusial. Ini adalah "lampu hijau" bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Pesannya jelas: Anda dapat beralih ke sistem KRMS yang lebih canggih dan komprehensif tanpa perlu khawatir bahwa estimasi anggarannya akan meleset atau tidak akurat dibandingkan dengan metode yang selama ini Anda percaya. KRMS terbukti sama andalnya dalam memberikan angka akhir, tetapi seperti yang akan kita lihat, ia menawarkan keunggulan yang jauh melampaui sekadar angka.
Keunggulan yang Tak Terlihat: Bagaimana KRMS Melihat Apa yang Terlewatkan
Setelah membuktikan keandalannya, keunggulan sejati KRMS mulai terungkap. Keunggulan ini tidak terletak pada angka total biaya, melainkan pada kedalaman informasi dan kemampuan perencanaan strategis yang ditawarkannya.
Pertama, kemampuannya untuk berpikir dalam rentang waktu. Berbeda dengan LCCA yang cenderung memberikan satu angka total biaya untuk satu siklus perbaikan, KRMS dirancang untuk memecah proyeksi pemeliharaan ke dalam rencana lima tahun ke depan.1 Ini adalah sebuah terobosan bagi perencanaan anggaran daerah.
Sebagai contoh, alih-alih hanya menyajikan tabel angka, penelitian ini menunjukkan bagaimana KRMS bekerja secara naratif. Untuk ruas jalan Maradekaya-Lantang, sistem ini tidak hanya memberikan total biaya. Ia menyusun sebuah peta jalan finansial: alokasi dana terbesar sekitar Rp 30,7 juta di tahun pertama untuk perbaikan besar, yang kemudian diikuti oleh biaya pemeliharaan rutin yang jauh lebih kecil, turun secara bertahap hingga hanya Rp 1,8 juta di tahun kelima.1 Kemampuan ini memungkinkan dinas terkait untuk merencanakan anggaran multi-tahun secara lebih akurat, menghindari lonjakan anggaran yang mendadak dan memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien.
Kedua, KRMS berfungsi sebagai "memori institusional". Salah satu kelemahan terbesar dalam birokrasi adalah hilangnya data dan pengetahuan ketika terjadi pergantian pejabat atau staf. Perencanaan yang sudah disusun bisa jadi harus dimulai dari nol lagi. KRMS mengatasi masalah ini secara fundamental. Sistem ini dirancang sebagai "database jalan kabupaten" yang hidup, yang dapat terus diperbarui dari tahun ke tahun.1 Setiap survei baru, setiap perbaikan yang dilakukan, semuanya tercatat dalam satu sistem terpusat. Sebaliknya, LCCA lebih bersifat sebagai alat analisis sekali pakai; ia menganalisis kondisi saat ini dan memberikan rekomendasi, tetapi tidak dirancang untuk menyimpan dan membangun riwayat data dari waktu ke waktu.
Dengan KRMS, pemerintah daerah tidak lagi memulai dari nol setiap tahun. Mereka membangun sebuah basis data aset yang semakin kaya dan akurat, memungkinkan pengambilan keputusan yang didasarkan pada bukti dan tren historis, bukan sekadar perkiraan atau ingatan. Ini mengubah pemeliharaan jalan dari sekadar kegiatan tahunan menjadi sebuah proses manajemen aset yang berkelanjutan dan berbasis data.
Bukan Harga Semen, Tapi Volume Kendaraan: Ancaman Sebenarnya bagi Aspal Kita
Mungkin penemuan paling dramatis dari penelitian ini datang dari analisis sensitivitas. Di sini, para peneliti mengajukan pertanyaan "bagaimana jika?". Mereka mensimulasikan dua skenario mimpi buruk yang sering menghantui para perencana anggaran: lonjakan harga bahan bangunan dan ledakan volume lalu lintas.
Skenario pertama menguji apa yang terjadi jika harga material seperti semen dan aspal tiba-tiba melonjak sebesar 20%. Ini adalah kekhawatiran yang sangat umum. Namun, hasil simulasi menunjukkan sesuatu yang melegakan. Meskipun biaya total meningkat, dampaknya ternyata tidak signifikan. Proyek pemeliharaan jalan masih dianggap sangat layak secara finansial. Dengan kata lain, kenaikan harga bahan bangunan adalah tantangan yang bisa dikelola.1
Namun, gambaran berubah total saat skenario kedua diuji: kenaikan Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) sebesar 20%. Simulasi ini mencerminkan apa yang terjadi ketika sebuah daerah mengalami pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan berdirinya pabrik baru, pusat perbelanjaan, atau kawasan perumahan yang menambah ratusan atau ribuan kendaraan baru ke jalan setiap hari. Di sini, sistem membunyikan alarm bahaya. Kelayakan finansial proyek pemeliharaan anjlok secara drastis. Indikator kelayakan investasi seperti Internal Rate of Return (IRR) untuk LCCA turun dari 57,32% dalam kondisi normal menjadi hanya 26,57%.1
Ini adalah sebuah penyingkapan penting: ancaman terbesar dan paling tersembunyi bagi anggaran pemeliharaan jalan bukanlah harga semen, melainkan keberhasilan ekonomi daerah itu sendiri. Paradoksnya, aktivitas ekonomi yang dirancang untuk didukung oleh jalan raya justru menjadi faktor perusak utamanya.
Dan di sinilah KRMS menunjukkan keunggulan prediktifnya. Penelitian ini menemukan bahwa Program KRMS lebih sensitif daripada LCCA terhadap perubahan volume lalu lintas.1 Pada awalnya, "lebih sensitif" mungkin terdengar seperti kelemahan. Namun, dalam konteks perencanaan, ini adalah sebuah kekuatan luar biasa. Karena lebih peka, KRMS berfungsi sebagai sistem peringatan dini yang lebih baik.
Bayangkan seorang bupati sedang mempertimbangkan izin untuk sebuah kawasan industri baru. Dengan LCCA, proyeksi dampak terhadap anggaran pemeliharaan jalan mungkin terlihat moderat. Namun, dengan KRMS, yang lebih sensitif terhadap lonjakan LHR, sistem akan memberikan gambaran yang lebih tajam dan mungkin lebih mengkhawatirkan tentang biaya infrastruktur jangka panjang yang harus ditanggung oleh APBD. Informasi ini sangat berharga. Ini memungkinkan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih cerdas, seperti mewajibkan pengembang untuk berkontribusi pada dana pemeliharaan infrastruktur sebagai syarat izin. KRMS mengubah percakapan dari "berapa biaya perbaikan jalan?" menjadi "apa biaya infrastruktur jangka panjang dari pembangunan ekonomi kita?".
Arah Baru Pengelolaan Jalan Daerah: Dari Kalkulator Biaya Menuju Sistem Manajemen Cerdas
Studi kasus di Kabupaten Takalar ini lebih dari sekadar perbandingan dua perangkat lunak. Ini adalah cerminan dari pergeseran paradigma yang perlu terjadi dalam pengelolaan infrastruktur di Indonesia. Era di mana pemeliharaan jalan hanya dianggap sebagai kegiatan "tambal sulam" tahunan sudah harus berakhir.
Penelitian ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa alat seperti KRMS bukanlah sekadar penyempurnaan teknis, melainkan sebuah langkah evolusioner menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Dengan kemampuannya yang holistik, perencanaan lima tahun, fungsi sebagai database terpusat, dan sensitivitas prediktif terhadap tekanan nyata seperti pertumbuhan lalu lintas, KRMS memberdayakan pemerintah daerah untuk bertransformasi. Dari sekadar menjadi "pembayar tagihan" perbaikan jalan, mereka bisa menjadi "manajer aset" yang proaktif dan strategis.
Di era otonomi daerah, kemampuan untuk mengelola aset paling vital secara mandiri dan cerdas adalah kunci keberhasilan. Jalan yang baik bukan hanya soal aspal yang mulus, tetapi juga tentang anggaran publik yang sehat, perencanaan yang visioner, dan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan. Seperti yang disimpulkan oleh para peneliti, sistem seperti KRMS harus digunakan tidak hanya untuk menghitung kerusakan, tetapi sebagai fondasi untuk "inventarisasi dan penilaian kondisi jalan secara keseluruhan".1
Kisah dari sembilan ruas jalan di Takalar ini, pada akhirnya, adalah sebuah cetak biru. Sebuah peta jalan bagi ratusan kabupaten dan kota lain di Indonesia untuk beralih dari sekadar menggunakan kalkulator biaya menjadi mengadopsi sebuah sistem manajemen yang cerdas, demi jalan yang lebih awet dan anggaran daerah yang lebih selamat.
Sumber Artikel:
Wahyudi, W., Pramesti, F. P., & Setyawan, B. (2021). Estimasi Pemeliharaan Jalan Daerah Berdasarkan Program KRMS (Kabupaten Road Management System) Dan LCCA (Life Cycle Cost Analysis). Jurnal Riset Rekayasa Sipil, 5(1), 74-78.