Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Mengapa Keselamatan di Konstruksi adalah Masalah Hidup dan Mati yang Terlupakan
Ketika kita membicarakan industri konstruksi, yang terlintas di benak banyak orang adalah gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, infrastruktur megah, atau jalan raya yang menghubungkan kota. Industri ini adalah motor penggerak ekonomi global, yang pada tahun 2017 menyumbang lebih dari USD 10 triliun untuk Produk Domestik Bruto (PDB) global, dengan kontribusi sebesar USD 892 miliar di Amerika Serikat (AS) saja.1 Kekuatan ekonomi ini sangat bergantung pada lebih dari 7 juta pekerja yang bekerja di dalamnya di AS.1
Namun, di balik kontribusi ekonomi yang masif, tersembunyi sebuah kenyataan yang suram dan sering kali terabaikan: konstruksi adalah salah satu industri paling berbahaya di dunia, dengan angka cedera dan kematian yang sangat tinggi.1 Angka-angka ini tidak hanya mencolok, tetapi juga mengejutkan. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa satu dari setiap lima kematian pekerja di AS terjadi di sektor konstruksi.1 Rata-rata, seorang pekerja konstruksi 5.5 kali lebih mungkin mengalami kecelakaan fatal di tempat kerja dibandingkan pekerja di industri lain.1 Pada tahun 2019 saja, 1.061 pekerja meninggal di industri ini, angka tertinggi sejak 2007.1
Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin; ini adalah cerita nyata tentang nyawa yang hilang, keluarga yang hancur, dan kerugian ekonomi yang tak terhitung. Selama ini, banyak yang meyakini bahwa kecelakaan di lokasi proyek utamanya disebabkan oleh kesalahan atau salah perhitungan dari para pekerja lapangan. Namun, pandangan ini mulai bergeser. Sejumlah peneliti dan profesional industri kini meyakini bahwa tingginya angka kecelakaan sering kali disebabkan oleh perencanaan dan kontrol keselamatan yang buruk, yang merupakan tanggung jawab utama dari tim manajemen dan personel keselamatan.1 Keberadaan personel keselamatan penuh waktu di lokasi proyek dapat meningkatkan kemungkinan kinerja keselamatan hingga 229%.1 Ini menyoroti sebuah realitas baru: masalah keselamatan di industri konstruksi bukan hanya soal perilaku individu, tetapi juga soal sistem, dan inti dari sistem itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk mengelolanya.
Celah Berbahaya: Mengapa Panduan Kualifikasi Selama Ini Tidak Ada?
Meskipun peran personel keselamatan sangat krusial, sebuah celah berbahaya terungkap: selama ini, tidak ada panduan standar atau bahkan konsensus yang jelas di antara para pemangku kepentingan industri di AS mengenai kualifikasi yang diinginkan untuk personel keselamatan konstruksi.1 Kurangnya pedoman ini telah menciptakan disparitas yang substansial dan berpotensi mematikan dalam kualifikasi para profesional ini.1 Ini berarti, seleksi individu untuk posisi keselamatan sering kali terabaikan, atau didasarkan pada kriteria yang tidak seragam di seluruh industri.1
Tentu saja, ada beberapa panduan umum yang tersedia, seperti "The Employer's Guide to Hiring a Safety Professional" dari American Society of Safety Professionals (ASSP).1 Namun, panduan ini tidak secara spesifik dirancang untuk industri konstruksi.1 Makalah penelitian yang diterbitkan di jurnal
Buildings ini secara tegas menunjukkan bahwa kualifikasi yang direkomendasikan untuk "industri umum"—yaitu semua industri selain pertanian, konstruksi, dan maritim—tidak sepenuhnya relevan dengan industri konstruksi.1
Sebagai contoh, panduan umum tersebut merekomendasikan sertifikasi seperti Certified Loss Control Specialist (CLCS) atau Certified Fire Protection Specialist (CFPS) untuk profesional keselamatan.1 Namun, penelitian ini mencatat bahwa sertifikasi-sertifikasi ini jarang sekali dimiliki oleh profesional keselamatan yang bekerja di industri konstruksi.1 Perbedaan-perbedaan ini sangat penting karena industri konstruksi memiliki keunikan tersendiri, termasuk jumlah pekerja imigran yang tinggi, perbedaan geografis, dan jenis bahaya yang spesifik.1 Dengan kata lain, pedoman umum tidak dapat menjadi solusi yang memadai untuk masalah yang sangat spesifik dan kompleks ini.
Oleh karena itu, penelitian ini muncul untuk mengisi kekosongan pengetahuan tersebut, dengan tujuan tunggal untuk mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan—dari segi pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi—khusus untuk personel keselamatan di industri konstruksi AS.1 Ini adalah langkah kritis untuk menciptakan standar yang relevan dan dapat diterapkan, yang pada akhirnya dapat memperbaiki kinerja keselamatan di seluruh industri.
Menggali Kebenaran dari Ahlinya: Kisah di Balik Metode Delphi
Untuk mencapai tujuannya, studi ini menggunakan sebuah metodologi yang kokoh dan teruji, yaitu metode Delphi.1 Metode Delphi adalah teknik survei multi-putaran yang kolaboratif, dirancang untuk mengumpulkan umpan balik dari sekelompok pakar di bidang tertentu untuk mencapai konsensus.1 Metodologi ini dipilih karena dianggap andal untuk mengumpulkan wawasan dari para ahli dan telah berhasil digunakan dalam berbagai penelitian di bidang konstruksi sebelumnya.1
Laporan ini menyoroti sebuah proses yang teliti dan ketat dalam memilih panel ahli. Berbeda dengan klaim yang beredar bahwa proses seleksi tidak dijelaskan secara rinci, makalah ini justru menguraikan langkah demi langkahnya secara cermat.1 Pertama, tim peneliti mengidentifikasi daftar awal lebih dari 40 individu yang diyakini sebagai ahli keselamatan potensial, berdasarkan keanggotaan mereka di asosiasi dan komite ternama seperti American Society of Safety Professionals (ASSP) dan ASCE CI Construction Safety Committee.1
Langkah kedua adalah proses penyaringan yang sangat ketat. Dari 18 individu yang bersedia berpartisipasi, mereka dievaluasi menggunakan sistem poin objektif yang diadopsi dari studi sebelumnya.1 Sistem ini memberikan poin berdasarkan pendidikan, pengalaman (1 poin per tahun), sertifikasi profesional (3 poin per sertifikat), dan keterlibatan dalam komite atau publikasi ilmiah.1 Untuk memastikan panelis benar-benar ahli, tim peneliti menetapkan standar yang konservatif: skor minimum 15 poin, pengalaman profesional minimal 10 tahun, dan pendidikan minimal setingkat gelar sarjana.1
Dari proses seleksi yang ketat ini, hanya 15 individu yang berhasil memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dan diakui sebagai subjek ahli untuk studi ini.1 Kredibilitas temuan studi ini sangat bergantung pada kredibilitas panelisnya. Dengan pengalaman profesional rata-rata 14 tahun dan latar belakang pendidikan yang solid, panel ini bukan hanya kumpulan opini, melainkan representasi dari akumulasi pengetahuan praktis dan teoretis yang mendalam di industri.1 Proses seleksi yang transparan dan ketat ini secara fundamental meningkatkan validitas dan keandalan temuan studi ini.
Tiga Pilar Kunci: Membentuk Profesional Keselamatan Ideal
Hasil dari proses Delphi yang melibatkan para pakar ini menghasilkan sebuah kerangka kerja yang sangat dibutuhkan untuk kualifikasi personel keselamatan konstruksi. Temuan ini diuraikan untuk tiga posisi keselamatan yang umum ditemukan di lapangan: Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety), Profesional Keselamatan (Safety Professional), dan Manajer Keselamatan (Safety Manager).1
Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety)
Untuk posisi tingkat awal, konsensus yang tinggi tercapai. Panelis sepakat bahwa kualifikasi yang diinginkan adalah ijazah sekolah menengah atas sebagai pendidikan minimum, ditambah dengan pengalaman profesional 1-3 tahun.1 Menariknya, para ahli juga sepakat bahwa tidak ada sertifikasi wajib untuk posisi ini, meskipun beberapa panelis menyarankan kursus OSHA 500 atau pelatihan OSHA 10 jam sebagai nilai tambah.1
Profesional Keselamatan (Safety Professional)
Untuk posisi ini, para ahli merekomendasikan kualifikasi yang lebih tinggi.1 Kualifikasi yang paling diinginkan adalah gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun), dengan pengalaman profesional minimum 3-5 tahun.1 Dalam hal sertifikasi, dua per tiga panelis menyarankan sertifikasi Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP) sebagai kualifikasi yang diinginkan.1
Manajer Keselamatan (Safety Manager)
Sebagai pimpinan dalam urusan keselamatan, kualifikasi yang diinginkan untuk manajer keselamatan tentu lebih tinggi lagi. Temuan menunjukkan bahwa gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun) adalah pendidikan yang paling diinginkan.1 Panelis merekomendasikan pengalaman profesional minimum 5 tahun atau lebih.1 Dalam hal sertifikasi, ada konsensus kuat untuk memiliki sertifikasi CHST atau Certified Safety Professional (CSP).1
Secara keseluruhan, temuan dari studi ini dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini, yang menyajikan panduan yang jelas bagi para pemangku kepentingan industri.
Dalam dunia konstruksi, kualifikasi personel keselamatan ditentukan berdasarkan jenjang posisi yang mereka emban. Untuk staf keselamatan tingkat awal, persyaratan utamanya relatif sederhana, yaitu lulusan sekolah menengah atas dengan pengalaman kerja antara satu hingga tiga tahun. Pada level ini tidak ada kewajiban sertifikasi khusus, sehingga fokus lebih pada pengalaman praktis di lapangan.
Sementara itu, untuk posisi profesional keselamatan, standar yang diinginkan lebih tinggi. Kandidat ideal setidaknya memiliki gelar sarjana empat tahun, ditambah pengalaman kerja tiga hingga lima tahun di bidang keselamatan. Selain itu, mereka juga diharapkan memiliki sertifikasi khusus seperti Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP).
Adapun pada jenjang tertinggi, yaitu manajer keselamatan, kualifikasi yang diperlukan semakin menuntut. Seorang manajer keselamatan minimal harus memiliki gelar sarjana empat tahun dengan pengalaman kerja lima tahun atau lebih di bidang terkait. Sertifikasi profesional juga menjadi prasyarat penting, dengan kualifikasi seperti CHST atau Certified Safety Professional (CSP) sebagai standar utama yang menunjukkan penguasaan dan kredibilitas dalam manajemen keselamatan konstruksi.
Penting untuk dicatat bahwa para ahli juga menyoroti fleksibilitas dari kualifikasi ini. Sebanyak 93.34% panelis menyatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari bidang terkait konstruksi, seperti teknik sipil, manajemen konstruksi, atau teknik lingkungan.1 Demikian pula, 86.67% dari mereka setuju bahwa pengalaman bisa datang dari industri konstruksi secara umum, tidak harus spesifik di bidang keselamatan.1 Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa seorang profesional yang memiliki pengalaman luas di bidang konstruksi, misalnya sebagai insinyur sipil atau manajer proyek, dapat beralih ke peran keselamatan dengan modal pengetahuan yang sangat berharga.
Lebih dari Sekadar 'Kewajiban': Mengapa Rekomendasi Ini Begitu Bernuansa?
Salah satu aspek yang paling menarik dan mengungkapkan kedalaman pemikiran di balik penelitian ini adalah pergeseran terminologi dari "kualifikasi yang diperlukan" (required) menjadi "kualifikasi yang diinginkan" (desired). Perubahan ini bukanlah hal sepele; ia adalah cerminan dari dinamika yang kompleks antara standar akademis yang ideal dan realitas pragmatis di lapangan. Laporan ini secara spesifik menguraikan kisah di balik perubahan tersebut, yang mana tidak sepenuhnya diungkapkan oleh ringkasan eksternal.1
Pada putaran kedua survei, ketika peneliti menyajikan temuan awal yang menggunakan istilah "diperlukan", terjadi ketidaksepakatan yang signifikan di antara panelis.1 Sebanyak 53.85% panelis tidak setuju dengan kata tersebut untuk posisi Profesional dan Manajer Keselamatan.1 Mereka memberikan umpan balik yang sangat kritis, berargumen bahwa kata "diperlukan" terlalu kaku dan "menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk industri".1
Seorang panelis secara khusus menyatakan, "Tiga atau empat huruf setelah nama Anda tidak berarti banyak di lapangan jika Anda tidak memiliki pengalaman yang dibutuhkan".1 Dia menambahkan bahwa perusahaan yang hanya merekrut berdasarkan sertifikasi tertentu mungkin hanya mendapatkan orang yang "pintar secara teori" tetapi tidak memiliki pemahaman praktis tentang pekerjaan di lokasi proyek.1 Panelis lain menyoroti bahwa standar yang terlalu tinggi dapat "menyingkirkan cukup banyak profesional keselamatan hebat yang sudah ada" di industri, yang memiliki pengalaman luas tetapi mungkin tidak memiliki gelar formal.1
Para peneliti mendengarkan umpan balik ini dengan cermat. Mereka menyadari bahwa tujuan studi bukanlah untuk menciptakan hambatan birokrasi, tetapi untuk memberikan panduan yang realistis dan dapat diimplementasikan. Oleh karena itu, mereka menyesuaikan terminologi menjadi "direkomendasikan" (recommended) pada putaran ketiga survei, yang kemudian divalidasi ulang menjadi "diinginkan" (desired) setelah proses validasi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan industri.1 Perubahan ini secara dramatis meningkatkan tingkat konsensus di antara para ahli, mencapai 84.62% untuk posisi Profesional Keselamatan dan 92.31% untuk posisi Manajer Keselamatan.1
Keputusan untuk mengubah istilah ini menunjukkan sebuah kompromi yang bernuansa dan sangat penting. Ini adalah cerita di balik data yang menunjukkan bahwa penelitian ini tidak hanya didasarkan pada teori, tetapi juga berakar kuat pada kebijaksanaan praktis dari para profesional yang bekerja di garis depan. Kerangka kerja yang dihasilkan bukanlah sebuah aturan kaku yang harus diikuti, melainkan sebuah panduan yang fleksibel dan beradaptasi dengan realitas industri.
Dampak Nyata dan Tantangan di Depan: Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Aman
Dengan menyediakan panduan yang spesifik dan berbasis konsensus untuk kualifikasi personel keselamatan, studi ini telah memberikan kontribusi signifikan, baik secara teoretis maupun praktis.1 Secara teoretis, studi ini mengisi celah pengetahuan yang telah lama ada, melengkapi literatur yang ada yang cenderung berfokus pada industri umum.1 Secara praktis, studi ini memberikan peta jalan yang jelas bagi pemangku kepentingan industri, seperti kontraktor umum dan perusahaan, untuk memilih personel keselamatan yang benar-benar berkualitas untuk proyek-proyek mereka.1
Jika panduan ini diterapkan secara luas, dampaknya bisa sangat nyata dan transformatif. Peningkatan dalam seleksi personel keselamatan yang berkualitas diharapkan dapat secara langsung meningkatkan kinerja keselamatan di tempat kerja, mengurangi insiden, dan pada akhirnya, berkontribusi pada penurunan angka cedera dan kematian.1 Lebih dari itu, studi ini menunjukkan bahwa investasi dalam kualifikasi personel keselamatan dapat membawa manfaat finansial. Organisasi yang memprioritaskan keselamatan dan merekrut profesional yang berkualitas cenderung memiliki citra dan reputasi yang lebih baik, menarik pekerja terampil, dan mengurangi biaya yang terkait dengan kecelakaan, seperti klaim kompensasi pekerja.1 Jika diterapkan secara efektif, temuan ini dapat mengurangi biaya operasional dan menyelamatkan nyawa dalam kurun waktu lima tahun.
Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada keterbatasan yang perlu diakui.1 Pertama, studi ini sangat bergantung pada persepsi para panelis ahli, yang dapat menimbulkan bias dan subjektivitas.1 Meskipun tim peneliti telah melakukan upaya mitigasi melalui proses seleksi yang ketat dan studi validasi, pandangan dari para pekerja lini depan mungkin berbeda.1 Kedua, temuan ini secara spesifik berfokus pada industri konstruksi AS dan mungkin tidak dapat digeneralisasi sepenuhnya ke negara lain yang memiliki karakteristik unik, seperti perbedaan regulasi dan budaya kerja.1
Pada akhirnya, studi ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah aturan yang tidak bisa diubah. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai kerangka kerja yang kuat untuk pengambilan keputusan, menawarkan saran-saran yang didukung oleh konsensus para ahli. Para pembuat keputusan di industri konstruksi harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas, berkonsultasi dengan para ahli, dan mengadaptasi panduan ini sesuai dengan kebutuhan spesifik proyek dan organisasi mereka. Temuan ini adalah titik awal yang penting, sebuah fondasi yang dapat disempurnakan seiring berjalannya waktu dan munculnya informasi baru.
Kesimpulan: Fondasi Baru untuk Keselamatan
Industri konstruksi adalah pilar ekonomi yang vital, namun juga salah satu tempat kerja paling berbahaya di dunia. Selama ini, kurangnya pedoman yang jelas tentang kualifikasi personel keselamatan telah menciptakan celah berbahaya yang berkontribusi pada tingginya angka kecelakaan. Penelitian yang inovatif ini berhasil mengisi kekosongan tersebut dengan menggunakan metode Delphi yang melibatkan panelis ahli yang sangat berkualitas.
Dengan menemukan kualifikasi yang diinginkan untuk tiga posisi keselamatan—dari tingkat awal hingga manajer—studi ini memberikan sebuah fondasi baru yang solid bagi industri. Yang paling penting, studi ini menunjukkan bahwa kualifikasi yang efektif haruslah merupakan perpaduan antara pendidikan formal, pengalaman praktis yang substansial, dan sertifikasi yang relevan. Kesediaan peneliti untuk mengubah istilah "diperlukan" menjadi "diinginkan" juga menunjukkan sebuah pemahaman yang mendalam bahwa pengalaman di lapangan adalah aset yang tak ternilai, sebuah kebijaksanaan yang tidak dapat diukur hanya dengan gelar atau sertifikat.
Jika panduan ini diimplementasikan, industri konstruksi memiliki kesempatan nyata untuk menjadi lebih aman, lebih efisien, dan pada akhirnya, lebih manusiawi. Ini adalah langkah besar menuju masa depan di mana setiap pekerja konstruksi dapat kembali ke rumah dengan selamat pada akhir hari.
Sumber Artikel:
Karakhan, A. A., & Al-Bayati, A. J. (2023). Identification of desired qualifications for construction safety personnel in the United States. Buildings, 13(5), 1237.
Reformasi Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Menilai Diagnosis Sistem & Kapabilitas Individu
Menilai bukan sekadar mengambil snapshot keadaan; ini adalah proses analitis yang menautkan data kuantitatif, wawancara pemangku kepentingan, dan evaluasi proses untuk menghasilkan diagnosis yang bisa langsung diterjemahkan ke tindakan. OECD menyarankan dua dimensi komplementer: assessment tingkat sistem (institusional, legal, fiskal) dan assessment kapabilitas individu (kompetensi teknis dan non-teknis). Kedua dimensi ini harus berjalan paralel karena masalah pada level institusi seringkali memancar ke kapabilitas individu — dan sebaliknya.
1) Assessment Sistem — apa saja yang harus dicari?
Assessment sistem memetakan enabler: kerangka hukum pengadaan, keberadaan otoritas pusat (central purchasing body), alokasi anggaran untuk fungsi pengadaan, akses ke data e-procurement, dan mekanisme akuntabilitas/anti-korupsi. Alat resmi seperti MAPS Supplementary Module on Professionalisation menyediakan 10 indikator utama dan 21 sub-indikator; ini bukan sekadar daftar — ia memandu evaluator untuk menilai kualitas enabler, bukan hanya keberadaannya. Misalnya, ada perbedaan besar antara “ada peraturan sertifikasi” dan “peraturan sertifikasi yang dijalankan dan terkait pada jalur karier nyata”.
Langkah praktis untuk assessment sistem:
2) Assessment Kapabilitas Individu — mengukur orang di balik proses
Assessment kapabilitas tidak cukup hanya menanyakan pendidikan; ia harus mengukur kompetensi yang relevan: pemahaman regulasi, kemampuan menyusun spesifikasi teknis, evaluasi tender berbasis MEAT, manajemen kontrak, serta kompetensi non-teknis seperti negosiasi dan etika. ProcurCompEU (atau adaptasinya) merekomendasikan matriks kompetensi dengan level penguasaan—ini memudahkan diagnosis gap dan merancang kurikulum.
Metode evaluasi kapabilitas efektif:
Kenapa data ini krusial?
Tanpa baseline yang kuat, program pelatihan menjadi tembakan di kegelapan: Anda mungkin mengirim ribuan pejabat ke kursus umum, tetapi inti gap (mis. kemampuan evaluasi tender yang adil) tetap tidak tertangani. Dengan diagnosis, alokasi sumber daya menjadi efisien—fokus pada kompetensi yang paling ‘value-adding’. OECD menekankan bahwa diagnosis harus menghasilkan actionable recommendations—mis. jumlah personel yang perlu sertifikasi pada tahun pertama, target persen sender yang harus dikelola oleh staf bersertifikat, dan alokasi anggaran pelatihan sebagai persen dari total belanja pengadaan.
Indikator yang direkomendasikan untuk dipantau sejak assessment awal:
Risiko jika assessment dilewatkan atau setengah-setengah:
Contoh kasus singkat dari dokumen:
Peru, dalam pilot MAPS, mengidentifikasi “red flags” di beberapa sub-indikator—kekurangan pendanaan untuk pusat pelatihan dan ketiadaan mekanisme sanksi—yang jika tidak diatasi akan menghambat implementasi program profesionalisasi meski modul pelatihan tersedia. Hal ini menegaskan perlunya diagnosis holistik yang menggabungkan aspek fiskal, institusional, dan kapabilitas individu.
Output akhir assessment:
Sebuah diagnostic report yang memuat: peta gap (sistem & kapabilitas), daftar prioritas (short/medium/long term), target KPI (mis. 30% personel bersertifikat dalam 3 tahun), estimasi anggaran, dan rekomendasi institusional (who does what). Dokumen ini adalah blueprint yang akan digunakan di tahap strategi — tanpa blueprint yang jelas, langkah berikutnya rawan gagal.
Strategi Desain Peta Jalan, Politik Publik, & KPI
Strategi adalah penghubung antara diagnosis dan aksi nyata. Di sini teknokrasi bertemu politik: tanpa legitimasi politik, peta jalan yang baik tidak akan mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. OECD menegaskan bahwa strategi profesionalisasi harus berupa dokumen yang operasional—memiliki target kuantitatif, mekanisme pendanaan, RACI (who-does-what), jadwal implementasi, dan skema monitoring. Lithuania sering ditampilkan sebagai contoh karena menyusun action plan multi-tahun yang rinci dan terikat pada indikator performa.
Elemen wajib dalam strategi yang efektif:
Mengelola aspek politik (policy buy-in):
Strategi tanpa dukungan politik mudah kandas. Kunci mendapat buy-in: tunjuk “quick wins” yang menunjukkan manfaat awal (mis. pilot di satu kementerian yang berhasil menurunkan cost overrun 10% dalam 12 bulan), gunakan data dari assessment sebagai alat negosiasi anggaran, dan libatkan pemimpin birokrasi sejak awal (bukan sekadar konsultasi). RACI sederhana membantu membagi kewenangan: siapa yang membuat kebijakan, siapa yang menjalankan, siapa yang memantau.
Desain jalur karier & mekanisme insentif dalam strategi:
Tanpa jalur karier yang jelas, sertifikasi akan kehilangan daya tarik. Strategi harus menautkan level kompetensi ke grade jabatan, skema promosi, dan skema remunerasi (atau setidaknya non-financial incentives seperti pengakuan formal). OECD merekomendasikan model bertahap: tahun 1 fokus pada sertifikasi inti; tahun 2 integrasikan sertifikasi ke proses rekrutmen/promosi; tahun 3 evaluasi dampak pada outcome pengadaan.
Perencanaan risiko & mitigasinya:
Strategi yang matang memuat analisis risiko: kekurangan pendanaan, rotasi staf tinggi, resistensi birokrasi, atau ketergantungan proyek pada donor. Untuk setiap risiko harus ada mitigasi: mis. alokasikan anggaran baseline untuk 3 tahun pertama; buat retention scheme bagi staf bersertifikat; memulai pilot bertahap untuk membangun bukti.
Desain M&E terintegrasi:
Strategi wajib mencantumkan rencana monitoring (quarterly reporting) dan evaluasi independen (mid-term dan endline). KPI harus measurable dan linked ke outcome: bukan hanya “jumlah orang tersertifikasi” tetapi “persentase tender yang dikelola oleh personel bersertifikat” dan “pengurangan rata-rata keterlambatan proyek”. Integrasi antara data personel (HR) dan data pengadaan (e-procurement) sangat penting untuk analisis cross-cutting.
Desain pembiayaan yang realistis:
Strategi harus menyediakan skenario pembiayaan: conservative, moderate, dan ambitious—masing-masing dengan trade-offs. OECD menegaskan bahwa sebagian intervensi (modul e-learning) murah dan scalable, tetapi mentoring on-the-job dan pembangunan centre of excellence memerlukan biaya signifikan. Oleh karena itu, strategi perlu memprioritaskan intervensi berdampak tinggi yang feasible secara fiskal dalam 1–3 tahun pertama.
Stakeholder engagement yang operasional:
Libatkan universitas, asosiasi penyedia, dan CSO dalam perancangan agar kurikulum relevan dan penerapan sertifikasi tidak memunculkan hambatan pasar. OECD merekomendasikan forum multi-stakeholder reguler untuk review implementasi strategi—ini mengurangi risiko kebijakan yang terisolasi.
Output strategi yang ideal:
Sebuah dokumen action plan 3–5 tahun yang memuat: tabel kegiatan (what), penanggung jawab (who), timeline (when), sumber daya (budget), KPI (how measured), dan risiko/mitigasi. Lithuania dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa dokumen dengan tingkat detail ini memudahkan implementasi karena memudahkan alokasi anggaran dan pengawasan.
Implementasi Model Kompetensi, Sertifikasi, Pelatihan Praktis, & Scaling
Implementasi adalah saat ujian: apakah diagnosis dan strategi berhasil diterjemahkan menjadi perubahan nyata di lapangan? OECD memetakan elemen inti implementasi: adaptasi model kompetensi, pembuatan skema sertifikasi, desain paket pelatihan yang menekankan praktik, pembangunan mekanisme mentoring/on-the-job, dan pengembangan pusat kompetensi.
Adaptasi model kompetensi (from framework to job profiles):
Kerangka umum seperti ProcurCompEU harus diadaptasi ke konteks nasional: sederhanakan 30 kompetensi menjadi kelompok yang relevan untuk job profiles lokal (buyer, contract manager, head of procurement). Level penguasaan harus jelas—mis. Level 1 (operational), Level 2 (supervisory), Level 3 (strategic). Matriks ini akan menjadi dasar untuk rekrutmen, penilaian kinerja, dan kurikulum.
Sertifikasi: desain yang meaningful
Sertifikasi harus memiliki aspek assessment yang ketat: ujian teori, assessment portofolio, dan assessment praktek. Skema sertifikasi hanya efektif bila terkait dengan insentif karier (promosi, eligibility untuk posisi tertentu). OECD menekankan pentingnya independensi proses sertifikasi untuk menjaga kredibilitas—mis. lembaga sertifikasi yang terakreditasi atau bipartite governance antara pemerintah dan asosiasi profesi.
Pelatihan praktis & mentoring
Pelatihan harus lebih dari ceramah: case study lokal, simulasi tender, exercise evaluasi MEAT, dan tugas on-the-job dengan mentor. Mentoring adalah kunci untuk transfer learning—pakar senior mendampingi junior selama siklus tender sehingga teori diterjemahkan ke praktik. Contoh praktik baik: program graduate di New Zealand yang menggabungkan rotasi tugas dan mentor senior untuk regenerasi talenta.
Scaling dan digitalisasi
E-learning modul mempercepat akses, namun harus dipadu dengan modul praktek regional. Untuk scaling, bangun repository materi, bank soal sertifikasi, dan platform pelaporan M&E. Integrasi data HR dengan e-procurement mempercepat analisis dampak—mis. melihat korelasi antara sertifikasi dan outcome tender di level kementerian.
Pengukuran keberhasilan implementasi (KPI operasional & outcome):
Risiko implementasi & mitigasi operasional:
Sustainability: memastikan program hidup setelah fase awal
Jaga agar academy atau centre tidak hanya proyek berdurasi donor; integrasikan biaya operasional ke dalam anggaran rutin kementerian yang relevan, dan buat revenue stream (mis. fee for certification bagi sektor swasta) jika sesuai. Kolaborasi dengan universitas juga membantu sustainability melalui program studi dan penelitian bersama.
Uang Bukan Segalanya, Tetapi Harus Realistis
Laporan merinci mekanisme insentif finansial dan non-finansial: jalur karier yang jelas, kenaikan gaji terikat kompetensi, award nasional/regional, dan penghargaan kinerja. Contoh Kanada merekomendasikan skema promosi yang transparan sedangkan Scotland mengembangkan program “Procurement People of Tomorrow” untuk regenerasi talenta.
Analisis mendalam:
Kolaborasi dengan Knowledge Centres — Jembatan ke Pendidikan dan Riset
Laporan menekankan peran universitas, lembaga riset, dan think-tanks: mereka membantu menyusun kurikulum, menilik aspek riset (innovation procurement, circular procurement), dan menciptakan pipeline tenaga muda (graduate programmes). Banyak negara menempatkan pusat kompetensi bersama untuk menyebarkan praktik baik dan modul pelatihan.
Analisis mendalam:
Monitoring & Evaluasi — Jangan Lupakan Pengukuran Dampak
M&E harus built-in: indikator kualitatif (tingkat kepuasan pelatihan, adopsi MEAT criteria) dan kuantitatif (jumlah sertifikat, persentase tender yang dikelola oleh personel bersertifikat, pengurangan cost overruns). OECD merekomendasikan M&E berkala dan penggunaan KPI spesifik dalam action plan (contoh: Lithuania).
Analisis mendalam:
Risiko dan Keterbatasan — Kritikan Realistis
Laporan kuat tapi juga menunjukkan batasan: data survey sebagian besar sampai 2020; dinamika pasca-COVID dan digitalisasi mempercepat perubahan sehingga beberapa temuan perlu pembaruan. Selain itu, ada risiko birokratisasi: sertifikasi yang dibuat “paper-based” tanpa jalur karier dan anggaran berarti menambah beban administrasi tanpa dampak nyata. Peru, misalnya, masih menandai masalah pendanaan dan ketiadaan mekanisme sanksi sebagai hambatan besar meski sudah melakukan assessment.
Rekomendasi Operasional (ringkas & praktis)
Dampak Nyata dalam Lima Tahun
Jika pemerintah menerapkan rangkaian tindakan ini secara sistematis — diagnosis menyeluruh (MAPS), strategi bertarget (action plan dengan KPI), dan implementasi yang menautkan kompetensi ke jalur karier — OECD menunjukkan bahwa potensi perbaikan adalah nyata dan terukur: profesionalisasi dapat mengurangi pembengkakan biaya proyek, memperkecil keterlambatan, dan meningkatkan akses pasar bagi UMKM. Secara pragmatis, bila tindakan terfokus dijalankan penuh selama 3–5 tahun (termasuk M&E berkala), negara dapat melihat peningkatan kualitas pelaksanaan proyek dan penghematan biaya operasional yang signifikan — yang dalam banyak kasus akan terasa pada siklus anggaran tahunan ke-3 hingga ke-5. (Dokumen mendokumentasikan contoh-contoh tindakan dan hasil awal dari pilot di negara-negara seperti Peru, Lithuania, dan Chile).
Sumber Artikel:
OECD, 2023, Professionalising the Public Procurement Workforce
Logistik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Menjelajahi Jantung Industri yang Kurang Dipahami
Logistik dalam industri konstruksi di Inggris, sektor yang secara fundamental membentuk lingkungan binaan kita, sering kali luput dari perhatian. Namun, sebuah laporan mendalam dari Heriot-Watt University, University of Westminster, dan University of Cambridge, membuka tabir kompleksitas dan tantangan yang dihadapi sektor ini. Laporan setebal 172 halaman ini bukanlah sekadar tumpukan data, melainkan sebuah narasi komprehensif yang mengungkapkan bagaimana rantai pasokan, transportasi, dan praktik kerja di industri ini memiliki dampak sosial dan lingkungan yang signifikan. Laporan ini memberikan analisis mendalam tentang struktur industri, masalah produktivitas yang berlarut-larut, dan dampak negatif yang ditimbulkannya, sekaligus menawarkan serangkaian solusi inovatif yang bisa mengubah wajah industri ini di masa depan.
Laporan ini menunjukkan bahwa meskipun industri konstruksi menyumbang sekitar 6,5% dari output ekonomi Inggris, jejak karbonnya jauh lebih besar, menyumbang 10-11% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) negara tersebut. Hal ini mengejutkan para peneliti, sebab ini menempatkan sektor konstruksi sejajar dengan industri-industri berat lain yang sering menjadi sorotan. Terlebih lagi, 86% dari emisi CO2 dalam rantai pasokan konstruksi berasal dari manufaktur material dan produk, menunjukkan bahwa upaya dekarbonisasi tidak bisa hanya berfokus pada lokasi proyek saja. Di sini, peran inovasi dalam material, seperti semen rendah karbon, menjadi krusial.
Siapa yang paling terdampak oleh temuan ini? Pertama, adalah masyarakat umum. Kemacetan, polusi udara, kebisingan, dan risiko keselamatan jalan yang meningkat akibat lalu lintas truk konstruksi adalah realitas sehari-hari, terutama di area perkotaan. Kemudian, ada para pekerja konstruksi sendiri. Industri ini, yang memiliki tingkat fatalitas tertinggi kedua setelah pertanian, dihadapkan pada masalah fragmentasi tenaga kerja, upah rendah untuk pekerja manual, dan kondisi kerja yang tidak aman. Penelitian ini juga menyoroti bagaimana keterlambatan pembayaran dan sengketa kontrak merugikan kontraktor kecil, yang pada gilirannya mengancam stabilitas seluruh rantai pasokan.
Mengapa temuan ini penting hari ini? Karena Inggris sedang dalam mode "Build Back Better" dengan rencana investasi besar-besaran untuk infrastruktur dan perumahan. Tanpa reformasi mendalam, proyek-proyek ini tidak hanya akan gagal memenuhi target keberlanjutan pemerintah, tetapi juga dapat memperburuk masalah-masalah sosial dan lingkungan yang sudah ada. Laporan ini berfungsi sebagai panggilan untuk bertindak, mendesak semua pemangku kepentingan—dari pemerintah hingga kontraktor dan pemasok—untuk berpikir ulang tentang cara mereka bekerja.
Problematika Logistik yang Terfragmentasi
Salah satu temuan paling menonjol dari laporan ini adalah sifat industri yang sangat terfragmentasi. Bayangkan sebuah piramida yang terdiri dari ribuan perusahaan kecil dan pekerja mandiri. Di puncaknya, ada kontraktor utama (Tier One) yang menjalin kontrak langsung dengan klien, tetapi sebagian besar pekerjaan—mencakup 75-90% kebutuhan tenaga kerja—disubkontrakkan ke kontraktor lapis kedua dan ketiga. Kondisi ini menciptakan celah informasi, kurangnya koordinasi, dan hubungan yang sering kali bersifat antagonis alih-alih kolaboratif. Ini adalah kondisi yang disukai para peneliti: setiap proyek unik, yang berarti setiap pelajaran dari proyek sebelumnya hampir mustahil untuk diterapkan pada proyek berikutnya.
Data kuantitatif mendukung argumen ini. Pada tahun 2019, 91% perusahaan konstruksi di Inggris memiliki 7 karyawan atau kurang. Sebesar 40% tenaga kerja adalah pekerja mandiri, tiga kali lipat rata-rata nasional. Laporan ini juga mengilustrasikan fragmen industri dari perspektif keluaran nilai (GVA), di mana kontraktor aktivitas khusus menyumbang hampir separuh (48%) dari total output industri. Angka-angka ini tidak hanya menjelaskan mengapa inovasi dan produktivitas stagnan, tetapi juga mengapa insiden keselamatan kerja dan keterlambatan proyek sering terjadi.
Rantai pasokan material dan produk juga menghadapi masalah serupa. Pemasok agregat, semen, dan beton di Inggris didominasi oleh lima perusahaan besar yang secara vertikal terintegrasi, yang menyumbang 70-90% pasar. Namun, dalam rantai pasokan produk-produk lain seperti kayu, kaca, atau plastik, ada ribuan pemain yang berbeda. Kurangnya koordinasi antara produsen, pemasok, dan kontraktor di lokasi proyek menyebabkan inefisiensi, pemborosan material, dan waktu tunggu yang tidak perlu.
Mengapa Produktivitas Menjadi Mitos dan Sengketa Kontrak Jadi Tren?
Laporan ini menggambarkan bagaimana produktivitas di industri konstruksi Inggris, yang diukur dari output per unit input, praktis tidak berubah sejak tahun 1994. Sebaliknya, industri manufaktur dan jasa telah mengalami peningkatan produktivitas lebih dari 50% dalam periode yang sama. Kesenjangan ini mencolok, dan alasannya kembali pada struktur industri yang terfragmentasi.
Data lain yang tak kalah suram menunjukkan bahwa rata-rata sengketa kontrak di Inggris antara tahun 2015-2019 menelan biaya $25,7 juta dan berlangsung selama 11 bulan. Angka ini luar biasa, dan legalitas untuk menyelesaikan sengketa ini menghabiskan 1,6% dari total pengeluaran industri untuk barang dan jasa. Sebagai perbandingan, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor ini hanya 1,6% dari total investasi R&D swasta, padahal konstruksi menyumbang 6,5% dari ekonomi Inggris. Prioritas yang salah ini secara efektif menghambat pertumbuhan dan inovasi.
Solusi Jangka Panjang: Mengubah Paradigma
Laporan ini tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan jalan ke depan. Solusi-solusi yang diusulkan berpusat pada kolaborasi, inovasi, dan keberlanjutan. Beberapa rekomendasi paling menarik meliputi:
Kesimpulan: Jalan Menuju Industri yang Lebih Cerdas dan Bertanggung Jawab
Laporan ini adalah dokumen yang penting bagi masa depan industri konstruksi di Inggris. Dengan analisis yang detail, penelitian ini dengan tegas menunjukkan bahwa masalah-masalah yang ada—mulai dari stagnasi produktivitas, sengketa, hingga dampak lingkungan—berakar pada struktur industri yang kuno dan terfragmentasi.
Namun, laporan ini juga menyediakan peta jalan yang jelas untuk perubahan. Dengan berinvestasi pada teknologi dan praktik kerja yang lebih cerdas, seperti off-site manufacturing dan manajemen logistik yang terpusat, industri dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampaknya. Jika semua pihak—pemerintah, klien, kontraktor, dan pemasok—bekerja sama, mereka dapat mengubah citra industri ini dari "industri yang keras dan kotor" menjadi pemimpin dalam inovasi, keselamatan, dan keberlanjutan. Ini bukan hanya tentang membangun lebih banyak; ini tentang membangun lebih baik.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya proyek hingga 8% dan emisi CO2 dari lalu lintas konstruksi hingga 10% dalam waktu lima tahun. Ini akan menjadi lompatan besar yang tidak hanya menguntungkan industri, tetapi juga masyarakat dan lingkungan.
Sumber Artikel:
Piecyk, M., Allen, J., & Woodburn, A. (2021). Construction Logistics.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Proyek konstruksi bukan sekadar urutan pekerjaan teknis—mereka adalah sistem kompleks yang melibatkan ratusan orang, multipel kontrak, pasokan material, jadwal yang saling terkait, dan risiko yang terus berubah. Dalam kondisi seperti itu, dokumen-dokumen standar mutu bisa saja terlihat sebagai “buku aturan” yang jauh dari realitas lapangan. Namun studi doktoral Mahmoud Aburas mencoba mematahkan anggapan itu dengan menempatkan ISO 9001 bukan sebagai simbol formalitas, tetapi sebagai kerangka kerja yang bila diadaptasi dan dihidupkan dapat menjadi pengungkit nyata bagi keberhasilan proyek.
Penelitian ini berangkat dari pertanyaan praktis: faktor mana yang benar-benar menentukan berhasil tidaknya implementasi ISO 9001 di proyek konstruksi Inggris? Dengan mencampurkan analisis literatur, survei kuantitatif, dan wawancara kualitatif, Aburas menyusun peta tindakan yang terdiri dari tujuh faktor utama dan 77 komponen operasional—bukan sekadar daftar prinsip, melainkan panduan langkah demi langkah untuk praktik sehari-hari. Temuan ini penting karena menempatkan perhatian pada bagaimana ISO dijalankan, bukan hanya apakah organisasi memilikinya.
Ada dua aspek yang membuat studi ini layak mendapat perhatian luas. Pertama, ia menggunakan pendekatan triangulasi: survei terhadap ratusan praktisi memberikan gambaran statistik; analisis statistik menunjukkan korelasi dan pola; wawancara mendalam kemudian memberikan konteks naratif yang menjelaskan mengapa pola itu muncul. Kedua, temuan yang muncul tidak selalu sejalan dengan harapan normatif standar—contoh paling menonjol adalah posisi evidence-based decision-making yang ternyata tidak dominan dalam praktik proyek, meski secara teoretis menjadi salah satu prinsip utama ISO 9001:2015. Ini bukan klaim remeh: ia memaksa pembaca—praktisi maupun regulator—untuk mempertanyakan bagaimana bukti dan pengalaman bercampur dalam pengambilan keputusan di lapangan.
Dalam praktik, proyek konstruksi menghadapi masalah yang nyata: perubahan desain di fase akhir, ketergantungan pada subkontraktor yang berbeda standar kerja, dan tekanan biaya yang membuat keputusan cepat menjadi lebih lazim daripada penelaahan panjang berbasis data. Dari sudut pandang ini, ISO 9001 yang berhasil bukan hanya soal memenuhi checklist audit; ia harus menjadi mekanisme manajemen perubahan, komunikasi antar-pemangku kepentingan, dan pembelajaran berkelanjutan. Aburas menunjukkan, melalui angka dan narasi, bahwa manajemen perubahan, keterlibatan tenaga kerja, dan kepemimpinan menjadi penentu utama apakah standar mutu itu "hidup" atau tetap menjadi dokumen prosedural.
Pendahuluan ini menekankan satu hal: relevansi studi bukan hanya akademis, melainkan sangat aplikatif. Jika diimplementasikan dengan konsistensi dan adaptasi lokal, rekomendasi penelitian dapat mengurangi klaim purna proyek, menekan waktu penyelesaian, dan memperbaiki arus kas para pelaksana. Lebih jauh lagi, temuan ini membuka ruang bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan revisi pendekatan regulasi mutu—misalnya, memberi ruang bagi manajemen perubahan sebagai prinsip mutu formal—serta memberi sinyal pada manajer proyek bahwa menggabungkan pengalaman lapangan dengan dokumentasi bukti adalah jalan tengah yang harus dijalin, bukan dikedepankan salah satunya saja.
Mengapa temuan ini penting sekarang?
Proyek konstruksi itu seperti orkestra besar yang dimainkan di lingkungan yang selalu berubah: desain direvisi, cuaca mengguncang jadwal, subkontraktor datang dari kultur kerja berbeda—semua faktor ini membuat kualitas mudah tergelincir dan biaya melonjak. Aburas menempatkan ISO 9001 bukan sebagai dokumen semata, melainkan sebagai sistem manajerial yang harus “hidup” di lapangan. Dengan menggabungkan tinjauan literatur, survei kuantitatif, dan wawancara validasi, ia menghadirkan gambaran yang cukup komprehensif tentang apa yang benar-benar bekerja dalam konteks proyek konstruksi Inggris.
Metodologi singkat (mengapa kita bisa percaya)
Studi ini menggunakan pendekatan triangulasi:
Triangulasi ini menambah bobot—angka memberi arah, wawancara memberi alasan dan nuansa. Itu sebabnya temuan layak menjadi bahan kebijakan praktik.
Temuan inti: 7 faktor yang harus diperhatikan
Aburas merangkum tujuh faktor yang muncul konsisten dari literatur, survei, dan wawancara:
Secara total, penelitian ini merinci 77 komponen operasional yang mengikat tujuh faktor tersebut — langkah demi langkah yang bisa diadaptasi oleh organisasi proyek.
1) Change management — 9 komponen.
2) Client focus — 8 komponen.
3) Engagement of people — 9 komponen.
4) Leadership — 12 komponen.
(Catatan: beberapa komponen yang muncul di survei seperti “empower employees”, “reduce environmental impact”, dan “promote high-quality processes” mendapatkan penilaian rendah di beberapa responden sehingga tidak semua versi survei masuk daftar final—tetapi poin inti kepemimpinan di atas adalah yang tervalidasi).
5) Process approach — 14 komponen.
6) Relationship management — 11 komponen.
7) Skills & training — 5 komponen.
8) Continuous improvement — 8 komponen.
Fakta-fakta yang perlu disebarluaskan (bullet points)
Cerita di balik angka: temuan yang mengejutkan
Hal yang benar-benar membuka diskusi luas adalah penolakan terhadap evidence-based decision-making—padahal ini adalah salah satu Quality Management Principles ISO 9001:2015. Wawancara mengungkap alasan praktis: banyak keputusan lapangan diambil berdasarkan pengalaman manajer yang “memutuskan cepat” di kondisi tertekan; bukti formal sering muncul setelah keputusan itu dibuat. Beberapa partisipan menyatakan, secara ringkas: “evidence is good, but experience usually takes the overriding factor”. Ini memunculkan dilema: apakah ISO harus mengakomodasi dinamika pengambilan keputusan yang didorong pengalaman tanpa mengabaikan pentingnya data?
Siapa yang paling terdampak — dan bagaimana implementasi mengubah permainan?
Kritik realistis — apa yang perlu diperhatikan
Tidak ada studi sempurna. Beberapa batasan penting:
Rekomendasi praktis untuk manajer proyek (langkah demi langkah)
Dampak nyata jika temuan ini diterapkan
Jika organisasi proyek menerapkan ketujuh faktor beserta 77 komponen secara konsisten—dengan adaptasi lokal—dampaknya bukan sekadar perbaikan administratif. Dari pengurangan klaim purna proyek hingga penurunan penundaan, studi ini memperkirakan bahwa implementasi terstruktur dapat memangkas biaya operasional proyek dan menurunkan frekuensi rework dalam jangka menengah. Secara ringkas: Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional proyek secara signifikan dalam waktu lima tahun.
Penutup
Mahmoud Aburas tidak hanya menyajikan daftar prinsip—ia memberi peta tindakan yang konkret untuk konteks proyek konstruksi yang kompleks. Studi ini menegaskan pentingnya kepemimpinan, keterlibatan tim, kepuasan klien, proses yang terstruktur, hubungan yang sehat antar-pihak, perbaikan berkelanjutan—dan menempatkan manajemen perubahan di barisan depan kebijakan mutu. Di saat yang sama, penolakan terhadap evidence-based decision-making membuka diskusi kritis: bagaimana menyelaraskan intuisi pengalaman lapangan dengan praktik berbasis bukti? Jawabannya akan menentukan apakah ISO 9001 berubah menjadi alat transformasi nyata atau tetap menjadi dokumen prosedural semata.
Sumber Artikel:
Aburas, M. (2020). Critical success factors for implementing ISO 9001 in UK construction projects. University of Salford (United Kingdom).
Analisis Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Sebuah Karpet Merah Menuju Indonesia Maju 2045
Di tengah tantangan global dan domestik, termasuk dampak ekonomi yang signifikan dari pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur adalah pekerjaan besar yang ibarat menggelar "karpet merah" menuju Indonesia maju 2045. Visi besar ini tidak hanya soal membangun jalan atau gedung, tetapi juga soal menumbuhkan peradaban dan meningkatkan daya saing bangsa. Namun, sebelum bisa melangkah maju, ada pekerjaan rumah mendesak yang harus diselesaikan: menyederhanakan birokrasi dan menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.1
Materi penelitian mengungkapkan bahwa Indonesia dihadapkan pada ketidakseimbangan yang mengkhawatirkan: setiap tahun, tersedia hanya 2,5 juta lapangan kerja, sementara 7 juta orang mencari pekerjaan. Pandemi COVID-19 semakin memperparah angka pengangguran yang sudah tinggi, dengan jutaan pekerja terdampak PHK atau dirumahkan.1 Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6% per tahun, sebuah angka yang membutuhkan investasi baru sebesar Rp 4.800 triliun.1 Angka ini bukan hanya target ekonomi, melainkan juga sebuah misi untuk menampung 2 juta pekerja baru setiap tahunnya. Undang-Undang Cipta Kerja, yang digarap dengan metode
Omnibus Law, hadir sebagai jawaban fundamental untuk melakukan reformasi struktural, menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih, dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di sinilah peran vital sektor jasa konstruksi—sebagai tulang punggung pembangunan infrastruktur—mulai dirombak secara mendasar.1
Mengurai Benang Kusut: Mengapa Peraturan Jasa Konstruksi Harus Dirombak?
Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, sektor jasa konstruksi menghadapi tantangan regulasi yang kompleks dan birokrasi yang membelit. Kondisi ini menjadi salah satu alasan utama mengapa peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business atau EoDB) Indonesia masih berada di posisi ke-73 secara global, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (ke-12), Thailand (ke-21), dan bahkan Vietnam (ke-70).1
Kerumitan ini bukanlah sekadar angka. Di balik peringkat yang rendah itu, terdapat fakta yang mengejutkan: 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang seringkali tumpang tindih, menciptakan inefisiensi birokrasi yang menjadi masalah utama bagi para pelaku usaha.1 Kondisi ini secara langsung menghambat laju investasi. Investor—baik domestik maupun asing—cenderung menghindari negara dengan proses perizinan yang rumit dan tidak pasti. Alih-alih mengalihkan fokus pada inovasi dan pengembangan usaha, energi pelaku industri justru terkuras habis untuk mengurus perizinan yang berbelit-belit.
Pemerintah memahami bahwa kerumitan regulasi ini menjadi hambatan utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Oleh karena itu, pendekatan omnibus law dalam UU Cipta Kerja bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Tujuannya adalah untuk memangkas ribuan aturan yang tidak relevan dan menyinkronkan regulasi yang tersebar di berbagai sektor, termasuk jasa konstruksi, dalam satu payung hukum yang terintegrasi. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta ekosistem investasi yang lebih menarik, sekaligus memuluskan jalan bagi terciptanya lapangan kerja baru.1
Lompatan Revolusioner dalam Perizinan: Dari Biaya dan Waktu, Menuju Kemudahan dan Verifikasi
Perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU Cipta Kerja bagi sektor jasa konstruksi adalah revolusi dalam sistem perizinan. Sebelumnya, proses perizinan usaha terasa sangat membebani. Pelaku usaha memerlukan Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah/kota, serta Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Kompetensi Ahli (SKA), dan Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK) dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).1 Proses yang terfragmentasi ini tidak hanya memakan waktu lebih dari 20 hari, tetapi juga berpotensi menciptakan praktik pungutan liar dan ketidaktransparanan.1
Kini, semuanya disederhanakan secara dramatis. UU Cipta Kerja mengubah pendekatan perizinan dari yang berbasis izin menjadi berbasis risiko (Risk Based Approach). Persyaratan berusaha kini hanya terdiri dari SBU, Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK), dan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang seluruhnya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS).1
Lompatan ini bisa digambarkan seperti menaikkan efisiensi waktu secara signifikan. Jika dahulu mengurus IUJK bisa memakan waktu hingga 5 hari kerja dan penerbitan SBU/SKK membutuhkan waktu lebih dari 20 hari, kini semuanya menjadi jauh lebih cepat.1 Untuk izin usaha, pelaku kini bisa mendapatkan NIB secara daring, sementara penerbitan SBU dan SKK hanya membutuhkan waktu maksimal 15 hari. Kemudahan ini menjadi pengungkit utama dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) karena secara langsung mengurangi hambatan birokrasi, menghemat biaya, dan membebaskan pelaku usaha untuk lebih fokus pada pengembangan bisnis.1
Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, dokumen perizinan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha konstruksi meliputi Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Keahlian (SKA), serta Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK). Setelah UU Cipta Kerja, dokumen-dokumen tersebut disederhanakan menjadi Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Badan Usaha (SBU), dan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
Dalam hal penerbitan, dahulu IUJK diterbitkan oleh pemerintah daerah atau kota, sementara SBU, SKA, dan SKTK diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Pasca UU Cipta Kerja, penerbitan NIB, SBU, dan SKK dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi, sehingga peran penerbitan bergeser dari level daerah ke level pusat dengan mekanisme daring.
Proses pengajuan perizinan juga berubah signifikan. Sebelumnya pengajuan IUJK berjalan terpisah dari registrasi SBU dan SKA sehingga proses administrasi cenderung terfragmentasi. Setelah reformasi melalui UU Cipta Kerja, semua perizinan diajukan lewat satu pintu OSS yang terintegrasi dengan sistem registrasi SBU dan SKK, sehingga prosedur lebih tersentralisasi dan terhubung.
Perbandingan waktu penyelesaian memperlihatkan percepatan di beberapa aspek: sebelum UU Cipta Kerja, penerbitan IUJK membutuhkan waktu sekitar 5 hari kerja, sedangkan penerbitan SBU dan SKTK sering memakan waktu lebih dari 20 hari kerja. Setelah perubahan regulasi, izin usaha berupa NIB dapat diperoleh secara langsung melalui layanan daring, sementara penerbitan SBU dan SKK dibatasi maksimal 15 hari kerja.
Dari sisi biaya dan kewajiban administrasi, sebelumnya registrasi untuk persubklasifikasi dilakukan secara periodik dan dikenakan biaya. Dalam skema baru pasca UU Cipta Kerja, pemilik SBU dan SKK hanya diwajibkan menyampaikan laporan kegiatan usaha tahunan dan tidak lagi dikenakan biaya untuk pendaftaran tersebut, sehingga beban finansial administratif pada titik registrasi berkurang.
Secara keseluruhan, transformasi ini menandai pergeseran dari proses perizinan yang terfragmentasi, lama, dan berbiaya ke sistem yang lebih terintegrasi, lebih cepat dalam beberapa prosedur, dan mengurangi biaya pendaftaran formal, sekaligus memusatkan penerbitan pada mekanisme OSS di tingkat pusat.
Reformasi Kelembagaan: Mengapa LPJK Kini Berada di Bawah Pemerintah?
Selain perizinan, UU Cipta Kerja juga membawa perubahan fundamental pada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Dari lembaga independen dan mandiri yang diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 1999, LPJK bertransformasi menjadi lembaga non-struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).1
Perubahan ini, seperti yang diungkapkan oleh materi, membawa "harapan baru" bagi reformasi tata kelola jasa konstruksi.1 Dengan posisi baru ini, LPJK akan fokus pada pengembangan industri, seperti akreditasi asosiasi dan pembinaan profesional.1 Di satu sisi, langkah ini merupakan upaya strategis pemerintah untuk memiliki kendali langsung dan mengefisiensikan pembinaan industri. Sinkronisasi kebijakan dan percepatan pengambilan keputusan diharapkan dapat tercapai. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga memunculkan tantangan nyata. Status LPJK sebagai lembaga pemerintah bisa saja berisiko mengurangi dinamisme dan independensi yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat jasa konstruksi. Proses transisi yang melibatkan pembentukan tim penyelenggara dan penetapan aturan baru—yang harus selesai paling lambat akhir Desember 2021—membutuhkan koordinasi yang sangat ketat.1
Keputusan untuk menempatkan LPJK di bawah kendali pemerintah adalah taruhan besar. Pemerintah mengambil peran langsung yang sebelumnya diserahkan kepada masyarakat industri. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa pembinaan jasa konstruksi selaras dengan tujuan besar pembangunan nasional dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Langkah ini mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak lagi melihat sektor ini sebagai entitas yang bisa berjalan sendiri, tetapi sebagai mitra kunci yang harus terintegrasi penuh dalam ekosistem kebijakan strategis nasional.1
Era Big Data Konstruksi: Teknologi sebagai Jantung Transparansi
Tujuan besar UU Cipta Kerja—yaitu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas—tidak akan tercapai tanpa dukungan teknologi. Di sinilah peran krusial Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) dan aplikasi pendukungnya, Sistem Informasi Pengalaman (SIMPAN), yang dikelola oleh Kementerian PUPR.1
SIMPAN secara spesifik dirancang untuk mengatasi masalah bottleneck yang selama ini terjadi dalam pengadaan barang dan jasa. Dahulu, setiap kali sebuah perusahaan mengikuti lelang, mereka harus menyerahkan dokumen pengalaman yang sama secara berulang-ulang.1 Proses ini tidak hanya menghabiskan waktu dan tenaga, tetapi juga menjadi celah bagi praktik manipulasi. Dengan SIMPAN, proses evaluasi kini jauh lebih efisien. Aplikasi ini menyatukan data pengalaman dari berbagai sumber, seperti Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan Sistem Informasi Konstruksi Indonesia (SIKI), untuk membentuk sebuah pangkalan data terintegrasi.1
Ini adalah langkah fundamental dari tata kelola yang berbasis dokumen menjadi tata kelola yang berbasis data. Pencatatan pengalaman badan usaha dan tenaga kerja tidak hanya mempermudah evaluasi tender, tetapi juga memungkinkan terbentuknya big data rantai pasok konstruksi yang dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision making tools).1 Analisis data yang komprehensif ini memungkinkan pemerintah dan pelaku industri merumuskan kebijakan yang lebih akurat dan tepat sasaran, misalnya dalam memprediksi ketersediaan material dan peralatan konstruksi atau mengidentifikasi tren profesionalisme penyedia jasa.
SIJK itu sendiri, seperti yang dijelaskan dalam materi, bukanlah sekadar satu aplikasi tunggal. Ia adalah sebuah ekosistem besar yang mengadopsi konsep data warehouse dan interoperabilitas.1 Konsep ini mirip dengan "super apps" yang mengintegrasikan berbagai layanan, di mana data dari setiap layanan dikumpulkan dan dianalisis secara terpusat untuk menghasilkan wawasan baru yang tidak bisa didapatkan jika data dilihat secara terpisah. Dengan demikian, teknologi menjadi jantung dari reformasi ini, memastikan bahwa setiap proses—dari perizinan hingga pengadaan—berjalan lebih transparan, efisien, dan akuntabel, secara langsung menekan potensi penyimpangan dan pungutan liar.1
Mengangkat Derajat Tenaga Kerja: Dari Sekadar Kertas, Menuju Kompetensi Nyata
Percepatan pembangunan infrastruktur tidak akan berhasil tanpa sumber daya manusia yang kompeten. Namun, sektor konstruksi Indonesia dihadapkan pada sebuah ironi: dari 8,5 juta tenaga kerja, hanya sekitar 8% saja yang memiliki sertifikat kompetensi.1 Situasi ini diperparah dengan praktik-praktik tak bertanggung jawab, seperti "jual beli sertifikat," di mana seseorang bisa mendapatkan sertifikat tanpa melalui proses uji kompetensi yang sesuai. Banyak pemilik sertifikat yang hanya menjadikannya sebagai pelengkap administrasi, tanpa menyadari tanggung jawab yang melekat di dalamnya.1
UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya secara tegas mengatasi masalah ini. Pemerintah kini menetapkan sanksi yang jelas bagi pelanggar, baik bagi tenaga kerja yang tidak bersertifikat, pengguna jasa yang mempekerjakan tenaga kerja tanpa sertifikat, maupun lembaga yang tidak melaksanakan uji kompetensi sesuai ketentuan.1 Hal yang paling menarik adalah penekanan pada proses uji kompetensi yang ketat, yang mencakup uji tulis, uji praktik/observasi lapangan, dan/atau wawancara, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2021.1
Lebih dari itu, PP Nomor 14 Tahun 2021 juga membatasi jumlah sertifikat yang bisa dimiliki oleh seorang tenaga kerja konstruksi. Kebijakan ini secara langsung menyasar praktik "palugada" (apa lu mau, gue ada) yang selama ini merusak kredibilitas profesi.1 Dengan pembatasan ini, pemerintah mendorong setiap tenaga kerja untuk menjadi spesialis di bidangnya, memastikan bahwa sertifikat yang dimiliki benar-benar mencerminkan kompetensi nyata yang teruji. Ini adalah langkah krusial untuk meningkatkan kualitas dan keamanan infrastruktur, meminimalkan potensi kegagalan bangunan, dan membangun kepercayaan publik serta investor bahwa setiap proyek strategis nasional dikerjakan oleh para profesional yang benar-benar ahli.1
Kesimpulan: Menuju Titik Balik Sejarah Infrastruktur Indonesia
Revolusi regulasi di sektor jasa konstruksi melalui Undang-Undang Cipta Kerja menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah pembangunan Indonesia. Dari kerumitan regulasi yang menghambat investasi, kini kita beralih ke sistem perizinan yang disederhanakan melalui satu pintu daring. Dari kelembagaan yang terfragmentasi, kini kita melihat LPJK sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan strategis pembangunan nasional. Dari tata kelola yang berbasis dokumen, kini kita melangkah menuju era big data yang menjanjikan transparansi dan akuntabilitas. Dan dari masalah sertifikasi yang meragukan, kini kita kembali pada penekanan kompetensi nyata dan profesionalisme.1
Jika diterapkan secara optimal, reformasi ini berpotensi besar untuk mendorong daya saing jasa konstruksi nasional, menarik investasi asing dan domestik, serta mempercepat pembangunan infrastruktur strategis. Langkah-langkah ini, secara kolektif, bisa secara substansial mengurangi biaya operasional dan birokrasi, yang berpotensi menurunkan biaya pembangunan proyek secara keseluruhan sambil tetap menjamin kualitas dan keamanan. Pada akhirnya, reformasi ini adalah pondasi fundamental untuk mewujudkan cita-cita bangsa menjadi negara unggul dan berdaya saing global.1
Sumber Artikel:
Aprilia Gayatri dan Aulia Lintang Amurwaizzani, Pengaturan Jasa Konstruksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Pada era di mana klaim 'bangunan hijau' dapat menentukan akses modal dan reputasi perusahaan, kebutuhan untuk menilai sejauh mana sertifikasi bangunan benar-benar mencerminkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi mendesak. Skema BREEAM UK New Construction sering dipandang sebagai standar emas untuk menilai performa lingkungan dan kenyamanan pengguna. Namun, ketenaran bukanlah bukti kecukupan. Penelitian yang diulas di sini menyajikan analisis sistematik terhadap distribusi bobot dalam BREEAM, menanyakan apakah fokus penilaian tersebut selaras dengan tuntutan ESG yang semakin kompleks. Dengan mengurai bobot kategori dan kredensial yang diberikan pada tiap aspek, studi ini membuka jendela bagi pembaca untuk melihat: apa yang benar-benar diukur, apa yang mendapat prioritas, dan apa yang diabaikan.
Pendekatan penelitian bersifat ilmiah sekaligus pragmatis—bukan sekadar daftar nilai, tetapi pembacaan terhadap cerita di balik angka. Alih-alih menerima skor sebagai akhir dari sebuah narasi keberlanjutan, penulis menelusuri hubungan antara indikator teknis (misalnya efisiensi energi, pengelolaan limbah, kualitas udara dalam ruangan) dan indikator institusional yang lebih abstrak namun krusial (seperti transparansi rantai pasok, kebijakan anti-korupsi, dan perencanaan legacy). Hasil awalnya mengejutkan: distribusi bobot memperlihatkan kecenderungan kuat ke aspek lingkungan dan wellbeing pengguna, sementara governance—yang berfungsi sebagai pengawal integritas jangka panjang—mendapat porsi relatif kecil.
Hal ini penting karena governance bukan sekadar label birokratis; ia adalah rangka yang memastikan data yang dilaporkan dapat dipercaya, intervensi ramah lingkungan dapat dipelihara, dan manfaat sosial benar-benar mengakar. Ketika governance terpinggirkan, risiko greenwashing meningkat—proyek terlihat memenuhi standar di atas kertas tetapi praktik di lapangan tidak mencerminkan klaim tersebut. Demikian pula, ketika aspek pendidikan, transfer keterampilan, dan legacy planning tidak mendapat perhatian memadai, komunitas lokal berisiko tidak menikmati manfaat jangka panjang dari investasi infrastruktur.
Pendahuluan ini juga menempatkan BREEAM dalam konteks keputusan investasi. Untuk investor institusional yang mengandalkan sertifikasi sebagai penilaian risiko non-finansial, kesenjangan dalam penilaian governance merupakan sinyal peringatan. Bagi pengembang, temuan ini menawarkan peta jalan perbaikan: mengejar poin BREEAM tetap relevan, tetapi mengintegrasikan praktik tata kelola dan program sosial yang kuat akan memberi nilai tambah nyata dan mengurangi risiko reputasi.
Penelitian ini penting bukan hanya untuk akademisi—dampaknya langsung menyentuh kebijakan publik, strategi investasi, dan praktik konstruksi di lapangan. Ketika sebuah sertifikasi menjadi rujukan utama, regulasi dan insentif fiskal sering disusun berdasar standar itu; kelalaian dalam menilai governance dapat menghasilkan kebijakan yang nampak progresif namun rentan dieksploitasi. Pada bagian selanjutnya, pembaca akan menemukan uraian rinci tentang bagaimana bobot tiap kategori didistribusikan, contoh konkret kredit yang menonjol, serta analisis risiko yang muncul ketika aspek-aspek kritis dikesampingkan. Resensi ini akan berusaha menjaga keseimbangan antara pengakuan atas kontribusi BREEAM—terutama pada isu lingkungan dan wellbeing—dan kritik konstruktif yang menuntut perluasan fokus ke governance dan legacy.
Inti cerita: apa yang mengejutkan peneliti?
Studi dokumen ini menemukan pola yang jelas dan tajam:
Secara naratif: peneliti terkejut bahwa sebuah alat yang dipakai luas sebagai bukti komitmen keberlanjutan masih meninggalkan inti tata kelola yang sering menjadi penentu apakah inisiatif hijau benar-benar berkelanjutan dan transparan.
Mengapa temuan ini bisa mengubah dunia?
Bayangkan perusahaan pengembang yang memasang “label BREEAM” sebagai jaminan keberlanjutan pada portofolio propertinya. Jika penilaian lebih menitikberatkan pada pengurangan emisi dan efisiensi energi sementara mengabaikan rantai pasok, anti-korupsi, dan transfer keterampilan, investor dan publik bisa keliru menilai. Akibatnya:
Singkatnya: BREEAM sekarang memberi nilai pada “apa yang mudah diukur” — energi, transport, material — tetapi mengabaikan elemen yang sulit diukur namun krusial untuk kelangsungan dan legitimasi proyek.
Fakta menarik (dalam bullet — ringkas & bisa dikutip)
Apa arti angka-angka itu dalam bahasa sehari-hari?
Jika 54,13% dari perhatian penilaian ditempatkan pada lingkungan, bayangkan baterai smartphone yang naik dari 20% ke 74% — artinya, BREEAM sangat fokus untuk "mengisi ulang" performa lingkungan proyek. Namun, tata kelola hanya mendapatkan porsi kecil — seperti memberi pengisi daya cadangan kecil yang mungkin tidak cukup saat terjadi masalah besar.
Analisis kritis: apa yang kurang dan mengapa itu berbahaya
Rekomendasi realistis berdasarkan temuan paper
Peneliti menyarankan agar revisi BREEAM berikutnya mengadopsi kredit-kredit tersebut agar kerangka menjadi “one-stop shop” bagi perusahaan konstruksi yang ingin men-deliver ESG secara utuh.
Opini ringan tapi realistis
BREEAM telah berperan besar dalam memajukan standar lingkungan bangunan—itu fakta. Namun, mengandalkan BREEAM sebagai pengganti penuh laporan ESG adalah pendekatan yang setengah matang. Tanpa menambal lubang governance dan sosial yang diidentifikasi, label BREEAM berisiko menjadi alat pemasaran lebih dari instrumen transformasi. Jika revisi datang, skema ini bisa berubah dari “label teknis” menjadi “peta jalan perubahan” yang sesungguhnya.
Siapa yang paling terdampak?
Kesimpulan & dampak nyata (penutup sesuai instruksi)
Adewumi et al. menunjukkan: BREEAM New Construction efektif sebagai alat untuk menunjukkan komitmen terhadap isu lingkungan dan kesejahteraan pengguna, tetapi kurang memadai bila tujuan Anda adalah membuktikan capaian ESG yang utuh — terutama untuk aspek governance yang sangat menentukan kredibilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Jika rekomendasi paper diadopsi—menambahkan kredit governance, EDI, legacy planning, dan emergency response—maka skema ini berpotensi menjadi platform tunggal yang dapat meningkatkan transparansi, mengurangi risiko reputasi, dan menurunkan biaya operasional proyek.
Jika diterapkan secara sistematis (misalnya mengadopsi revisi yang direkomendasikan pada portofolio pengembang besar dalam lima tahun), temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan risiko finansial terkait tata kelola hingga signifikan — sekaligus menurunkan emisi dan meningkatkan manfaat sosial bagi komunitas setempat
Sumber Artikel:
Adewumi, A. S., Opoku, A., & Dangana, Z. (2024). Sustainability assessment frameworks for delivering environmental, social, and governance (ESG) targets: a case of building research establishment environmental assessment method (BREEAM) UK new construction. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 31(5), 3779-3791.