Pada era di mana klaim 'bangunan hijau' dapat menentukan akses modal dan reputasi perusahaan, kebutuhan untuk menilai sejauh mana sertifikasi bangunan benar-benar mencerminkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi mendesak. Skema BREEAM UK New Construction sering dipandang sebagai standar emas untuk menilai performa lingkungan dan kenyamanan pengguna. Namun, ketenaran bukanlah bukti kecukupan. Penelitian yang diulas di sini menyajikan analisis sistematik terhadap distribusi bobot dalam BREEAM, menanyakan apakah fokus penilaian tersebut selaras dengan tuntutan ESG yang semakin kompleks. Dengan mengurai bobot kategori dan kredensial yang diberikan pada tiap aspek, studi ini membuka jendela bagi pembaca untuk melihat: apa yang benar-benar diukur, apa yang mendapat prioritas, dan apa yang diabaikan.
Pendekatan penelitian bersifat ilmiah sekaligus pragmatis—bukan sekadar daftar nilai, tetapi pembacaan terhadap cerita di balik angka. Alih-alih menerima skor sebagai akhir dari sebuah narasi keberlanjutan, penulis menelusuri hubungan antara indikator teknis (misalnya efisiensi energi, pengelolaan limbah, kualitas udara dalam ruangan) dan indikator institusional yang lebih abstrak namun krusial (seperti transparansi rantai pasok, kebijakan anti-korupsi, dan perencanaan legacy). Hasil awalnya mengejutkan: distribusi bobot memperlihatkan kecenderungan kuat ke aspek lingkungan dan wellbeing pengguna, sementara governance—yang berfungsi sebagai pengawal integritas jangka panjang—mendapat porsi relatif kecil.
Hal ini penting karena governance bukan sekadar label birokratis; ia adalah rangka yang memastikan data yang dilaporkan dapat dipercaya, intervensi ramah lingkungan dapat dipelihara, dan manfaat sosial benar-benar mengakar. Ketika governance terpinggirkan, risiko greenwashing meningkat—proyek terlihat memenuhi standar di atas kertas tetapi praktik di lapangan tidak mencerminkan klaim tersebut. Demikian pula, ketika aspek pendidikan, transfer keterampilan, dan legacy planning tidak mendapat perhatian memadai, komunitas lokal berisiko tidak menikmati manfaat jangka panjang dari investasi infrastruktur.
Pendahuluan ini juga menempatkan BREEAM dalam konteks keputusan investasi. Untuk investor institusional yang mengandalkan sertifikasi sebagai penilaian risiko non-finansial, kesenjangan dalam penilaian governance merupakan sinyal peringatan. Bagi pengembang, temuan ini menawarkan peta jalan perbaikan: mengejar poin BREEAM tetap relevan, tetapi mengintegrasikan praktik tata kelola dan program sosial yang kuat akan memberi nilai tambah nyata dan mengurangi risiko reputasi.
Penelitian ini penting bukan hanya untuk akademisi—dampaknya langsung menyentuh kebijakan publik, strategi investasi, dan praktik konstruksi di lapangan. Ketika sebuah sertifikasi menjadi rujukan utama, regulasi dan insentif fiskal sering disusun berdasar standar itu; kelalaian dalam menilai governance dapat menghasilkan kebijakan yang nampak progresif namun rentan dieksploitasi. Pada bagian selanjutnya, pembaca akan menemukan uraian rinci tentang bagaimana bobot tiap kategori didistribusikan, contoh konkret kredit yang menonjol, serta analisis risiko yang muncul ketika aspek-aspek kritis dikesampingkan. Resensi ini akan berusaha menjaga keseimbangan antara pengakuan atas kontribusi BREEAM—terutama pada isu lingkungan dan wellbeing—dan kritik konstruktif yang menuntut perluasan fokus ke governance dan legacy.
Inti cerita: apa yang mengejutkan peneliti?
Studi dokumen ini menemukan pola yang jelas dan tajam:
- BREEAM sangat tertumpu pada aspek lingkungan — 54,13% dari bobot penilaian diarahkan pada isu lingkungan.
- Aspek sosial juga cukup besar — 43,16% bobot menyentuh isu sosial (wellbeing, kesehatan & keselamatan paling dominan).
- Tata kelola (governance) relatif terabaikan — hanya 14,8% bobot dan beberapa elemen kunci governance sama sekali tidak tercakup.
Secara naratif: peneliti terkejut bahwa sebuah alat yang dipakai luas sebagai bukti komitmen keberlanjutan masih meninggalkan inti tata kelola yang sering menjadi penentu apakah inisiatif hijau benar-benar berkelanjutan dan transparan.
Mengapa temuan ini bisa mengubah dunia?
Bayangkan perusahaan pengembang yang memasang “label BREEAM” sebagai jaminan keberlanjutan pada portofolio propertinya. Jika penilaian lebih menitikberatkan pada pengurangan emisi dan efisiensi energi sementara mengabaikan rantai pasok, anti-korupsi, dan transfer keterampilan, investor dan publik bisa keliru menilai. Akibatnya:
- Keputusan investasi dapat terdistorsi (investor mengira risiko tata kelola teratasi padahal belum).
- Program keberlanjutan menjadi fragmen (lingkungan baik, tetapi warisan sosial dan praktik etis tidak terjamin).
- Potensi manfaat jangka panjang (mis. penyerapan tenaga kerja lokal, transfer keterampilan, dan pengurangan korupsi) tidak terjadi.
Singkatnya: BREEAM sekarang memberi nilai pada “apa yang mudah diukur” — energi, transport, material — tetapi mengabaikan elemen yang sulit diukur namun krusial untuk kelangsungan dan legitimasi proyek.
Fakta menarik (dalam bullet — ringkas & bisa dikutip)
- Bobot kategori BREEAM New Construction (fully fitted): Management, Health & Wellbeing, Energy, Transport, Water, Materials, Waste, Land use & ecology, Pollution, Innovation (total 100%).
- 54,13% dari bobot assessment mendukung target lingkungan — contohnya pengurangan gas rumah kaca (20,53%), penggunaan energi terbarukan (8,25%), dan pengendalian polusi (8%).
- 43,16% bobot dikaitkan dengan isu sosial; dari semua tema sosial, wellbeing menempati 22,13% (visual, udara dalam ruangan, kenyamanan termal, akustik).
- 14,8% bobot terkait governance, dan banyak aspek governance penting tidak dicakup: strategi & kebijakan organisasi, pencegahan korupsi, pendidikan & keterampilan, legacy planning, dan emergency response planning.
- Beberapa kredit assessment bersifat multidimensional — mis. Man 01 (project brief & design) membantu wellbeing, inklusi, dan keterlibatan pemangku kepentingan sekaligus.
Apa arti angka-angka itu dalam bahasa sehari-hari?
Jika 54,13% dari perhatian penilaian ditempatkan pada lingkungan, bayangkan baterai smartphone yang naik dari 20% ke 74% — artinya, BREEAM sangat fokus untuk "mengisi ulang" performa lingkungan proyek. Namun, tata kelola hanya mendapatkan porsi kecil — seperti memberi pengisi daya cadangan kecil yang mungkin tidak cukup saat terjadi masalah besar.
Analisis kritis: apa yang kurang dan mengapa itu berbahaya
- Governance tertinggal
- Tidak ada penilaian eksplisit pada anti-korupsi, kebijakan etika, atau pengawasan rantai pasok secara menyeluruh.
- Risiko: tanpa governance kuat, hasil lingkungan dan sosial rentan “greenwashing” — proyek terlihat hijau di dokumen, tetapi praktik di lapangan tidak transparan.
- Kekurangan pada isu pendidikan, keterampilan, dan legacy planning
- BREEAM tidak meminta bukti transfer keterampilan kepada tenaga kerja lokal atau rencana legacy (bagaimana infrastruktur memberi manfaat jangka panjang).
- Risiko: pembangunan yang tidak meninggalkan dampak positif berkelanjutan bagi komunitas.
- Ruang darurat dan kesiapsiagaan minim
- Tidak ada kredit yang secara jelas mengukur kemampuan respons darurat atau akses layanan darurat.
- Risiko: pada situasi bencana, proyek yang “hijau” mungkin rentan.
- Ketimpangan antara apa yang terukur dan apa yang penting
- Hal yang mudah diukur (emisi, efisiensi) mendapat bobot besar; hal yang penting tetapi kompleks (etika, transparansi) mendapat sedikit atau nol.
Rekomendasi realistis berdasarkan temuan paper
- Masukkan kredit governance eksplisit: audit rantai pasok, kebijakan anti-korupsi, dan transparansi keuangan sebagai bagian penilaian.
- Kembangkan indikator EDI (equality, diversity, inclusion): mis. rasio keterwakilan kelompok minoritas, gender, dan program keterampilan lokal.
- Tambahkan kriteria legacy & pendidikan: dokumentasi transfer keterampilan, program magang, kunjungan edukasi.
- Buat modul emergency response: jarak ke layanan darurat, waktu respons, dan prosedur keselamatan konstruksi.
Peneliti menyarankan agar revisi BREEAM berikutnya mengadopsi kredit-kredit tersebut agar kerangka menjadi “one-stop shop” bagi perusahaan konstruksi yang ingin men-deliver ESG secara utuh.
Opini ringan tapi realistis
BREEAM telah berperan besar dalam memajukan standar lingkungan bangunan—itu fakta. Namun, mengandalkan BREEAM sebagai pengganti penuh laporan ESG adalah pendekatan yang setengah matang. Tanpa menambal lubang governance dan sosial yang diidentifikasi, label BREEAM berisiko menjadi alat pemasaran lebih dari instrumen transformasi. Jika revisi datang, skema ini bisa berubah dari “label teknis” menjadi “peta jalan perubahan” yang sesungguhnya.
Siapa yang paling terdampak?
- Investor institusional: bisa keliru menilai risiko non-keuangan.
- Developer & kontraktor: perlu memikirkan ulang strategi sertifikasi agar tidak hanya mengejar poin.
- Komunitas lokal: berpotensi kehilangan manfaat jangka panjang (keterampilan, legacy) jika aspek sosial tidak dikuatkan.
- Pembuat kebijakan: harus berhati-hati mengacu pada sertifikasi sebagai bukti terpenuhinya ESG tanpa verifikasi governance.
Kesimpulan & dampak nyata (penutup sesuai instruksi)
Adewumi et al. menunjukkan: BREEAM New Construction efektif sebagai alat untuk menunjukkan komitmen terhadap isu lingkungan dan kesejahteraan pengguna, tetapi kurang memadai bila tujuan Anda adalah membuktikan capaian ESG yang utuh — terutama untuk aspek governance yang sangat menentukan kredibilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Jika rekomendasi paper diadopsi—menambahkan kredit governance, EDI, legacy planning, dan emergency response—maka skema ini berpotensi menjadi platform tunggal yang dapat meningkatkan transparansi, mengurangi risiko reputasi, dan menurunkan biaya operasional proyek.
Jika diterapkan secara sistematis (misalnya mengadopsi revisi yang direkomendasikan pada portofolio pengembang besar dalam lima tahun), temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan risiko finansial terkait tata kelola hingga signifikan — sekaligus menurunkan emisi dan meningkatkan manfaat sosial bagi komunitas setempat
Sumber Artikel:
Adewumi, A. S., Opoku, A., & Dangana, Z. (2024). Sustainability assessment frameworks for delivering environmental, social, and governance (ESG) targets: a case of building research establishment environmental assessment method (BREEAM) UK new construction. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 31(5), 3779-3791.