Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Pada era di mana klaim 'bangunan hijau' dapat menentukan akses modal dan reputasi perusahaan, kebutuhan untuk menilai sejauh mana sertifikasi bangunan benar-benar mencerminkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi mendesak. Skema BREEAM UK New Construction sering dipandang sebagai standar emas untuk menilai performa lingkungan dan kenyamanan pengguna. Namun, ketenaran bukanlah bukti kecukupan. Penelitian yang diulas di sini menyajikan analisis sistematik terhadap distribusi bobot dalam BREEAM, menanyakan apakah fokus penilaian tersebut selaras dengan tuntutan ESG yang semakin kompleks. Dengan mengurai bobot kategori dan kredensial yang diberikan pada tiap aspek, studi ini membuka jendela bagi pembaca untuk melihat: apa yang benar-benar diukur, apa yang mendapat prioritas, dan apa yang diabaikan.
Pendekatan penelitian bersifat ilmiah sekaligus pragmatis—bukan sekadar daftar nilai, tetapi pembacaan terhadap cerita di balik angka. Alih-alih menerima skor sebagai akhir dari sebuah narasi keberlanjutan, penulis menelusuri hubungan antara indikator teknis (misalnya efisiensi energi, pengelolaan limbah, kualitas udara dalam ruangan) dan indikator institusional yang lebih abstrak namun krusial (seperti transparansi rantai pasok, kebijakan anti-korupsi, dan perencanaan legacy). Hasil awalnya mengejutkan: distribusi bobot memperlihatkan kecenderungan kuat ke aspek lingkungan dan wellbeing pengguna, sementara governance—yang berfungsi sebagai pengawal integritas jangka panjang—mendapat porsi relatif kecil.
Hal ini penting karena governance bukan sekadar label birokratis; ia adalah rangka yang memastikan data yang dilaporkan dapat dipercaya, intervensi ramah lingkungan dapat dipelihara, dan manfaat sosial benar-benar mengakar. Ketika governance terpinggirkan, risiko greenwashing meningkat—proyek terlihat memenuhi standar di atas kertas tetapi praktik di lapangan tidak mencerminkan klaim tersebut. Demikian pula, ketika aspek pendidikan, transfer keterampilan, dan legacy planning tidak mendapat perhatian memadai, komunitas lokal berisiko tidak menikmati manfaat jangka panjang dari investasi infrastruktur.
Pendahuluan ini juga menempatkan BREEAM dalam konteks keputusan investasi. Untuk investor institusional yang mengandalkan sertifikasi sebagai penilaian risiko non-finansial, kesenjangan dalam penilaian governance merupakan sinyal peringatan. Bagi pengembang, temuan ini menawarkan peta jalan perbaikan: mengejar poin BREEAM tetap relevan, tetapi mengintegrasikan praktik tata kelola dan program sosial yang kuat akan memberi nilai tambah nyata dan mengurangi risiko reputasi.
Penelitian ini penting bukan hanya untuk akademisi—dampaknya langsung menyentuh kebijakan publik, strategi investasi, dan praktik konstruksi di lapangan. Ketika sebuah sertifikasi menjadi rujukan utama, regulasi dan insentif fiskal sering disusun berdasar standar itu; kelalaian dalam menilai governance dapat menghasilkan kebijakan yang nampak progresif namun rentan dieksploitasi. Pada bagian selanjutnya, pembaca akan menemukan uraian rinci tentang bagaimana bobot tiap kategori didistribusikan, contoh konkret kredit yang menonjol, serta analisis risiko yang muncul ketika aspek-aspek kritis dikesampingkan. Resensi ini akan berusaha menjaga keseimbangan antara pengakuan atas kontribusi BREEAM—terutama pada isu lingkungan dan wellbeing—dan kritik konstruktif yang menuntut perluasan fokus ke governance dan legacy.
Inti cerita: apa yang mengejutkan peneliti?
Studi dokumen ini menemukan pola yang jelas dan tajam:
Secara naratif: peneliti terkejut bahwa sebuah alat yang dipakai luas sebagai bukti komitmen keberlanjutan masih meninggalkan inti tata kelola yang sering menjadi penentu apakah inisiatif hijau benar-benar berkelanjutan dan transparan.
Mengapa temuan ini bisa mengubah dunia?
Bayangkan perusahaan pengembang yang memasang “label BREEAM” sebagai jaminan keberlanjutan pada portofolio propertinya. Jika penilaian lebih menitikberatkan pada pengurangan emisi dan efisiensi energi sementara mengabaikan rantai pasok, anti-korupsi, dan transfer keterampilan, investor dan publik bisa keliru menilai. Akibatnya:
Singkatnya: BREEAM sekarang memberi nilai pada “apa yang mudah diukur” — energi, transport, material — tetapi mengabaikan elemen yang sulit diukur namun krusial untuk kelangsungan dan legitimasi proyek.
Fakta menarik (dalam bullet — ringkas & bisa dikutip)
Apa arti angka-angka itu dalam bahasa sehari-hari?
Jika 54,13% dari perhatian penilaian ditempatkan pada lingkungan, bayangkan baterai smartphone yang naik dari 20% ke 74% — artinya, BREEAM sangat fokus untuk "mengisi ulang" performa lingkungan proyek. Namun, tata kelola hanya mendapatkan porsi kecil — seperti memberi pengisi daya cadangan kecil yang mungkin tidak cukup saat terjadi masalah besar.
Analisis kritis: apa yang kurang dan mengapa itu berbahaya
Rekomendasi realistis berdasarkan temuan paper
Peneliti menyarankan agar revisi BREEAM berikutnya mengadopsi kredit-kredit tersebut agar kerangka menjadi “one-stop shop” bagi perusahaan konstruksi yang ingin men-deliver ESG secara utuh.
Opini ringan tapi realistis
BREEAM telah berperan besar dalam memajukan standar lingkungan bangunan—itu fakta. Namun, mengandalkan BREEAM sebagai pengganti penuh laporan ESG adalah pendekatan yang setengah matang. Tanpa menambal lubang governance dan sosial yang diidentifikasi, label BREEAM berisiko menjadi alat pemasaran lebih dari instrumen transformasi. Jika revisi datang, skema ini bisa berubah dari “label teknis” menjadi “peta jalan perubahan” yang sesungguhnya.
Siapa yang paling terdampak?
Kesimpulan & dampak nyata (penutup sesuai instruksi)
Adewumi et al. menunjukkan: BREEAM New Construction efektif sebagai alat untuk menunjukkan komitmen terhadap isu lingkungan dan kesejahteraan pengguna, tetapi kurang memadai bila tujuan Anda adalah membuktikan capaian ESG yang utuh — terutama untuk aspek governance yang sangat menentukan kredibilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Jika rekomendasi paper diadopsi—menambahkan kredit governance, EDI, legacy planning, dan emergency response—maka skema ini berpotensi menjadi platform tunggal yang dapat meningkatkan transparansi, mengurangi risiko reputasi, dan menurunkan biaya operasional proyek.
Jika diterapkan secara sistematis (misalnya mengadopsi revisi yang direkomendasikan pada portofolio pengembang besar dalam lima tahun), temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan risiko finansial terkait tata kelola hingga signifikan — sekaligus menurunkan emisi dan meningkatkan manfaat sosial bagi komunitas setempat
Sumber Artikel:
Adewumi, A. S., Opoku, A., & Dangana, Z. (2024). Sustainability assessment frameworks for delivering environmental, social, and governance (ESG) targets: a case of building research establishment environmental assessment method (BREEAM) UK new construction. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 31(5), 3779-3791.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Industri konstruksi Australia, serupa dengan tren global, telah lama terperangkap dalam masalah produktivitas yang buruk dan margin keuntungan yang stagnan atau menurun. Tesis karya Meiqiong Zhong yang berjudul, "Improving productivity of Australian construction firms," berangkat dari permasalahan kronis ini. Penulis mengidentifikasi bahwa meskipun banyak faktor telah diusulkan sebagai penyebab, solusi yang ada sering kali dianggap tidak memadai atau kurang memiliki kredibilitas untuk diadopsi secara luas oleh para praktisi. Akibatnya, para pelaku industri merasa kewalahan oleh banyaknya informasi dan mendambakan panduan yang lebih terfokus pada faktor-faktor paling krusial yang dapat memberikan dampak terbesar dengan sumber daya yang terbatas.
Dengan latar belakang ini, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan tersebut dengan menyelidiki secara empiris determinan utama dari kinerja produktivitas proyek konstruksi dan langkah-langkah perbaikannya dari perspektif industri Australia. Untuk mencapai tujuan ini, tiga pertanyaan penelitian fundamental dirumuskan:
(1) Apa saja determinan utama kinerja produktivitas proyek konstruksi?
(2) Hubungan kausal, mediasi, dan moderasi seperti apa yang ada di antara determinan-determinan tersebut, dan bagaimana mereka berinteraksi untuk mempengaruhi hasil produktivitas?
(3) Langkah-langkah apa yang ada untuk meningkatkan hasil produktivitas di industri konstruksi Australia?
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode survei deskriptif yang dilaksanakan dalam dua tahap utama. Tahap pertama, yang bersifat kualitatif, melibatkan tinjauan literatur naratif yang mendalam untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan variabel-variabel potensial yang mempengaruhi produktivitas ke dalam tema-tema atau konstruk teoretis. Tahap kedua, yang bersifat kuantitatif, menggunakan konstruk yang dihasilkan dari tahap pertama untuk merancang kuesioner daring yang disebar kepada para profesional industri—khususnya konsultan dan kontraktor—yang merupakan anggota dari Australian Institute of Quantity Surveyors (AIQS) dan Master Builders Australia (MBA).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik statistik yang canggih, yaitu Principal Component Analysis (PCA) dan Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Penggunaan PLS-SEM memungkinkan peneliti untuk tidak hanya mengidentifikasi korelasi, tetapi juga untuk menguji hubungan kausal, mediasi, dan interaksi yang kompleks antar konstruk yang telah diidentifikasi.
Kebaruan dari karya ini terletak pada rigor metodologisnya dalam membangun dan memvalidasi sebuah model kausal yang terintegrasi. Alih-alih hanya menyajikan daftar faktor yang tidak terhubung, penelitian ini secara eksplisit memodelkan bagaimana berbagai kompetensi internal perusahaan berinteraksi secara dinamis untuk menghasilkan kinerja produktivitas, memberikan sebuah kerangka kerja berbasis bukti yang spesifik untuk konteks Australia.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif menghasilkan sebuah model yang menjelaskan bahwa kinerja produktivitas (Productivity Performance - Pp) sebuah perusahaan konstruksi ditopang oleh kekuatan di tiga area utama:
Kapasitas & Kapabilitas (Capacity & Capability - CC): Mencakup sumber daya inti perusahaan seperti tenaga kerja yang berpengalaman dan berkualitas, akses ke pendanaan, dan kemampuan untuk mengadopsi teknologi baru seperti manufaktur off-site.
Manajemen Proyek (Project Management - PM): Meliputi kompetensi dalam mengelola sumber daya proyek, koordinasi tim, manajemen risiko, dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan.
Manajemen Kontraktual & Keuangan (Contractual and Financial Management - CFM): Berfokus pada kemampuan untuk menjaga arus kas yang sehat, mengontrol biaya, mengelola klaim secara efektif, dan memanfaatkan teknologi digital untuk otomatisasi alur kerja.
Puncak dari temuan penelitian ini adalah hubungan kausal yang kompleks antar ketiga konstruk tersebut. Hasil analisis PLS-SEM menunjukkan bahwa meskipun Kapasitas & Kapabilitas (CC) memiliki hubungan sebab-akibat langsung dengan Kinerja Produktivitas (Pp), hubungan ini tidak terpengaruh oleh ukuran perusahaan. Namun, temuan yang paling signifikan dan mengejutkan adalah bahwa
kinerja yang optimal dan signifikan hanya tercapai melalui pengaruh mediasi dari interaksi antara kompetensi PM dan CFM. Dengan kata lain, baik PM maupun CFM secara individual tidak cukup kuat untuk menjadi mediator yang signifikan. Hanya ketika kedua fungsi manajemen ini bekerja secara sinergis, barulah kapasitas dan kapabilitas inti perusahaan (CC) dapat diterjemahkan secara efektif menjadi hasil produktivitas yang unggul.
Secara lebih spesifik, analisis mengidentifikasi lima indikator paling berpengaruh secara berurutan: alur kerja yang didukung teknologi digital dan pelacakan proyek real-time, tenaga kerja berpengalaman, kontrak relasional, perencanaan jaminan kualitas yang kuat, serta supervisi dan koordinasi proyek yang efektif.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitiannya. Ruang lingkup studi terbatas pada perusahaan konstruksi di Australia, khususnya anggota dari dua asosiasi industri, sehingga generalisasi harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, pembatasan akibat pandemi COVID-19 menghalangi pelaksanaan wawancara kualitatif yang awalnya direncanakan, yang mungkin dapat memberikan wawasan yang lebih dalam. Ukuran sampel yang dapat digunakan (285 responden), meskipun cukup untuk analisis PLS-SEM, berada di bawah ambang batas yang ideal untuk representasi penuh, sehingga temuan perlu diinterpretasikan dengan kehati-hatian.
Sebagai refleksi kritis, temuan mengejutkan mengenai efek mediasi interaktif antara PM dan CFM merupakan kontribusi statistik yang kuat, namun penelitian ini, karena sifat kuantitatifnya, tidak dapat sepenuhnya menjelaskan "mengapa" sinergi ini begitu krusial. Diperlukan investigasi kualitatif lebih lanjut untuk membongkar mekanisme di balik interaksi ini di tingkat operasional.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan ini menawarkan wawasan yang sangat berharga bagi para pemimpin perusahaan konstruksi. Pesan utamanya jelas: berinvestasi pada kapasitas inti (seperti merekrut talenta terbaik atau membeli teknologi baru) tidaklah cukup. Investasi tersebut hanya akan memberikan hasil maksimal jika didukung oleh sistem manajemen proyek dan manajemen keuangan/kontraktual yang tidak hanya kuat secara individual, tetapi juga terintegrasi dan bekerja secara sinergis. Ke-29 indikator yang diidentifikasi dalam studi ini dapat berfungsi sebagai daftar periksa praktis untuk audit internal dan perbaikan proses.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalur yang menarik. Ada kebutuhan mendesak untuk penelitian kualitatif guna mengeksplorasi secara mendalam mengapa interaksi antara PM dan CFM menjadi katalisator yang begitu kuat untuk produktivitas. Selain itu, mereplikasi studi ini dengan sampel yang lebih besar dan lebih beragam—mencakup perusahaan besar dan pemangku kepentingan lain seperti desainer dan pengembang—akan sangat bermanfaat untuk menguji kekokohan model ini. Studi komparatif di negara lain juga dapat memberikan wawasan tentang apakah dinamika sinergis ini bersifat universal atau spesifik konteks.
Sumber
Zhong, M. (2022). Improving productivity of Australian construction firms. Master of Philosophy Thesis, Bond University.
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah masalah fundamental yang menghambat produktivitas industri konstruksi: inefisiensi kronis dalam proses logistik. Kegagalan dalam mengelola aliran material—yang termanifestasi dalam bentuk keterlambatan, pemborosan, dan pembengkakan biaya—telah mendorong perusahaan kontraktor utama untuk mengadopsi teknologi digital sebagai solusi. Meskipun potensi teknologi digital untuk meningkatkan komunikasi, otomatisasi, dan analisis data telah diakui secara luas, proses adopsinya di lingkungan konstruksi yang terfragmentasi dan berbasis proyek sering kali bersifat sporadis dan tidak terstruktur.
Kerangka teoretis yang dibangun oleh Gholami menyoroti adanya kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) yang signifikan: riset yang ada cenderung berfokus pada adopsi dari perspektif perusahaan (firm-level), sementara dinamika di level proyek (project-level)—di mana teknologi sebenarnya diuji dan digunakan—kurang mendapat perhatian. Hal ini menjadi krusial karena sifat proses adopsi yang tidak pasti dan berkesinambungan sering kali berbenturan dengan sifat proyek konstruksi yang berjangka waktu terbatas.
Dengan berlandaskan pada teori adopsi teknologi (investigasi, keputusan, implementasi) dan manajemen rantai pasokan, penelitian ini merumuskan tiga pertanyaan penelitian esensial:
(1) Apa saja pendorong dan penghalang adopsi teknologi digital di level proyek?
(2) Apa saja efeknya terhadap proses logistik? dan
(3) Apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari proses adopsi tersebut?
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif yang mendalam, yang dilaksanakan sebagai bagian dari proyek riset yang lebih besar bertajuk "The Connected Construction Site". Penelitian ini secara spesifik menginvestigasi serangkaian uji coba percontohan (pilot tests) dari berbagai teknologi digital dalam proyek-proyek konstruksi yang sedang berjalan di Swedia. Pendekatan ini memungkinkan pengumpulan data empiris yang kaya dari konteks dunia nyata. Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi metode, termasuk wawancara terstruktur dengan para pemangku kepentingan, kelompok diskusi terfokus (focus groups), dan observasi langsung yang disertai pengukuran kuantitatif (misalnya, jumlah panggilan telepon, waktu tunggu truk, dan jumlah langkah manajer stok per hari). Data kualitatif dari wawancara kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan analisis tematik dengan bantuan perangkat lunak NVivo. Untuk menjaga validitas, temuan-temuan dikirimkan kembali kepada para partisipan untuk divalidasi.
Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya yang tajam pada perspektif level proyek, sebuah sudut pandang yang secara eksplisit diidentifikasi sebagai celah dalam literatur yang ada. Dengan membumikan analisisnya pada uji coba percontohan yang nyata, penelitian ini berhasil melampaui diskusi teoretis dan menyajikan wawasan yang praktis dan dapat ditindaklanjuti mengenai dinamika adopsi teknologi dalam organisasi temporer seperti proyek konstruksi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif menghasilkan serangkaian temuan yang secara langsung menjawab ketiga pertanyaan penelitian.
Pendorong dan Penghalang (RQ1): Ditemukan bahwa adopsi teknologi di level proyek didorong oleh kebutuhan operasional yang konkret, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori utama: fungsi kontrol (kebutuhan akses informasi kuantitas material), visibilitas (mengetahui lokasi material yang akurat), konektivitas (menghubungkan rencana pengiriman, produksi, dan tata letak), serta koordinasi. Di sisi lain, implementasi terhambat oleh serangkaian tantangan yang signifikan, termasuk kualitas teknis yang rendah dan kompleksitas teknologi, sifat temporer dari proyek dan rantai pasokannya, otoritas manajer proyek yang dapat menghambat perubahan, serta lambatnya penerimaan di antara mitra kerja yang lebih tradisional.
Efek terhadap Proses Logistik (RQ2): Implementasi teknologi digital terbukti menghasilkan dampak positif yang terukur. Efek-efek ini mencakup perancangan ulang proses order-to-delivery dan logistik di lokasi, peningkatan efisiensi, koordinasi, lingkungan kerja, dan keselamatan, serta penurunan pemborosan waktu dan material. Salah satu temuan konseptual yang paling menarik adalah bagaimana inovasi digital (seperti kontainer pengiriman pintar) memungkinkan terjadinya decoupling—di mana lokasi konstruksi secara fisik dipisahkan dari rantai pasokan, namun secara digital tetap terintegrasi melalui sistem informasi. Hal ini memberikan fleksibilitas operasional sambil meminimalkan gangguan.
Pelajaran yang Dipetik (RQ3): Penelitian ini mengidentifikasi sebelas pelajaran penting yang dikategorikan ke dalam tiga kelompok: konteks, prasyarat, dan kendala. Temuan kunci di sini adalah bahwa proses adopsi di lapangan bersifat iteratif, di mana pelajaran yang didapat dari uji coba percontohan secara langsung membentuk keputusan implementasi akhir. Namun, ditemukan pula sebuah masalah sistemik yang persisten:
kurangnya konsistensi dalam menerapkan teknologi yang sudah terbukti berhasil dari satu proyek ke proyek berikutnya. Adopsi sering kali bersifat ad hoc, didorong oleh inisiatif manajer proyek individual untuk memecahkan masalah lokal, dan ada kegagalan dalam mentransfer pengetahuan dan pelajaran yang didapat dari level proyek ke level perusahaan untuk adopsi skala besar.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan penelitiannya. Sifat studi kasus membatasi generalisasi temuan ke konteks yang lebih luas, dan diperlukan lebih banyak studi pembandingan (benchmarking) di proyek-proyek lain. Selain itu, terdapat potensi bias seleksi, karena semua partisipan berasal dari Swedia dan merupakan sukarelawan yang menunjukkan ambisi dan proaktivitas yang tinggi dalam menguji teknologi baru, yang mungkin tidak merepresentasikan industri konstruksi secara keseluruhan yang cenderung lebih resisten terhadap perubahan.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Terlepas dari keterbatasannya, tesis ini memberikan kontribusi signifikan dengan mengisi kesenjangan pengetahuan mengenai adopsi teknologi dari perspektif level proyek. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan empat rekomendasi konkret yang ditujukan bagi perusahaan kontraktor utama untuk mengatasi masalah adopsi yang bersifat ad hoc dan tidak konsisten.
Untuk penelitian di masa depan, penulis secara eksplisit menyarankan perlunya analisis dan validasi lebih lanjut terhadap keempat rekomendasi yang telah dirumuskan. Dengan menyediakan wawasan berbasis empiris mengenai dinamika di lapangan, karya ini meletakkan fondasi yang kuat bagi studi-studi selanjutnya yang bertujuan untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam mendorong transformasi digital yang sistematis dan berskala besar di industri konstruksi.
Sumber
Gholami, Y. (2023). Investigating Adoption of Digital Technologies in Construction Projects. Linköping Studies in Science and Technology, Thesis No. 1954. Linköping University. https://doi.org/10.3384/9789180750257
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah paradoks yang mendefinisikan industri konstruksi modern: di satu sisi, ia merupakan salah satu sektor paling berbahaya di dunia, dengan risiko dinamis (misalnya, tabrakan) dan statis (misalnya, paparan debu dan bahan kimia) yang melekat. Di sisi lain, meskipun berada di tengah era inovasi digital yang menawarkan berbagai alat canggih—seperti Kecerdasan Buatan (AI),
Building Information Modeling (BIM), Virtual Reality (VR), dan teknologi sensor—industri ini secara luas dipersepsikan sebagai tradisional dan lamban dalam mengadopsi perubahan.
Masalah inti yang diidentifikasi oleh penulis adalah adanya kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) yang signifikan. Sebagian besar riset mengenai alat keselamatan digital telah dilakukan dalam lingkungan penelitian yang terkontrol atau proyek percontohan, sementara pengetahuan mengenai implementasinya di lingkungan lokasi konstruksi yang otentik dan kompleks masih sangat kurang. Dengan berlandaskan pada
Technology Acceptance Model (TAM) sebagai kerangka teoretis, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan mengidentifikasi berbagai teknologi dan alat digital yang relevan dalam konteks Swedia, serta untuk memperluas pemahaman mengenai sikap dan perilaku yang ada terhadap implementasi alat-alat tersebut dalam manajemen keselamatan konstruksi.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mengeksplorasi dimensi manusiawi dari adopsi teknologi, penulis mengadopsi metode penelitian kualitatif yang kuat. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur dan kerja lapangan (fieldwork), yang memungkinkan penggalian wawasan yang kaya dan bernuansa dari berbagai pemangku kepentingan di industri konstruksi Swedia. Partisipan wawancara mencakup beragam peran, mulai dari pemimpin inovasi di perusahaan konstruksi besar, manajer dan pelatih keselamatan, CEO, manajer proyek, hingga desainer BIM/CAD. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan analisis tematik.
Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya yang tajam untuk bergerak melampaui studi kelayakan teknis dan menyelami kompleksitas implementasi di dunia nyata. Dengan secara eksplisit menargetkan "sikap dan perilaku" di lingkungan konstruksi yang otentik, penelitian ini memberikan kontribusi unik dalam memahami mengapa adopsi teknologi keselamatan yang menjanjikan sering kali terhambat oleh faktor-faktor manusia dan organisasi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis tematik terhadap data wawancara dan observasi lapangan menghasilkan serangkaian temuan yang saling terkait, yang melukiskan gambaran kompleks tentang keadaan adopsi teknologi keselamatan saat ini.
Struktur Industri sebagai Penghalang Inheren: Ditemukan bahwa sifat industri konstruksi yang berbasis proyek dan tradisional menjadi tantangan fundamental. Setiap proyek konstruksi berfungsi seperti "perusahaannya sendiri", yang secara signifikan menghambat transfer pengetahuan (knowledge transfer) dari satu proyek ke proyek berikutnya. Akibatnya, banyak tim harus "memulai dari awal lagi" di setiap proyek baru, dan pelajaran berharga mengenai implementasi teknologi sering kali hilang. Terdapat pula kesenjangan digital yang jelas antara fase perencanaan dan produksi; sementara alat digital seperti BIM umum digunakan pada tahap desain, tahap konstruksi di lapangan sebagian besar masih bersifat analog, mengandalkan "pena, kertas, dan gambar cetak".
Sikap yang Ambivalen: Sikap para profesional terhadap teknologi baru bersifat ambivalen. Di satu sisi, ada antusiasme dan pandangan positif yang luas mengenai potensi alat digital untuk meningkatkan keselamatan. Namun, di sisi lain, ada juga skeptisisme dan "ketakutan akan hal yang tidak diketahui". Seorang manajer proyek bahkan secara terang-terangan menyatakan, "Saya takut pada AI," yang mencerminkan kekhawatiran mengenai sisi negatif dari implementasi yang belum sepenuhnya dipahami. Ada juga keraguan apakah para pekerja di lapangan, yang sering kali lebih tradisional, akan berhasil mengadopsi alat-alat baru tersebut.
Perilaku dan Budaya Organisasi: Penelitian ini mengungkap beberapa perilaku disfungsional yang menghambat kemajuan. Salah satu yang paling menonjol adalah budaya "saling menyalahkan" (blame game), di mana manajemen puncak cenderung menyalahkan pekerja di lapangan atas insiden keselamatan, alih-alih melihat masalah secara sistemik. Terdapat pula kontradiksi antara retorika manajemen puncak tentang pentingnya keselamatan dengan tindakan nyata mereka. Di tingkat pekerja, ditemukan bahwa motivasi untuk mengikuti aturan keselamatan sering kali bukan didasari oleh kesadaran akan keselamatan diri, melainkan untuk "tidak tertangkap" oleh pengawas, sebuah perilaku yang didorong oleh tekanan waktu yang ketat.
Hambatan Sistemik dan Prosedural: Kurangnya standardisasi menjadi masalah yang berulang. Hal ini tidak hanya berlaku pada proses kerja, tetapi juga pada kebijakan keselamatan itu sendiri. Ditemukan adanya kebingungan di kalangan pekerja karena perusahaan yang berbeda memiliki aturan yang berbeda—bahkan terkadang bertentangan—mengenai penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Selain itu, kurangnya pemahaman dan pelatihan mengenai cara menggunakan alat-alat baru secara efektif dapat menyebabkan demotivasi dan ketidakpercayaan, yang pada akhirnya menghambat adopsi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah studi kualitatif yang berfokus pada konteks Swedia, generalisasi temuan ke negara atau budaya industri lain harus dilakukan dengan hati-hati. Ketergantungan pada data wawancara, meskipun memberikan kedalaman, juga berarti bahwa temuan ini didasarkan pada persepsi dan pengalaman subjektif dari sekelompok individu yang terbatas.
Secara kritis, meskipun tesis ini berhasil mengidentifikasi adanya budaya "saling menyalahkan", analisis yang lebih dalam mengenai struktur kekuasaan organisasi dan insentif ekonomi (misalnya, bagaimana klausul kontrak dan model tender mempengaruhi prioritas keselamatan) dapat memperkaya pemahaman tentang akar penyebab perilaku tersebut.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, penelitian ini menegaskan bahwa implementasi teknologi yang sukses membutuhkan lebih dari sekadar alat yang canggih; ia menuntut adanya kebijakan yang jelas dan konsisten, investasi dalam pendidikan dan pelatihan, komunikasi yang lebih baik antar semua pemangku kepentingan, dan yang terpenting, pergeseran budaya dari reaktivitas dan saling menyalahkan menuju proaktivitas dan tanggung jawab bersama.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Studi kasus longitudinal yang melacak proses implementasi satu alat digital spesifik dari awal hingga akhir proyek dapat memberikan data empiris tentang bagaimana sikap dan perilaku berubah seiring waktu. Penelitian kuantitatif pada skala yang lebih besar dapat digunakan untuk menguji hubungan antara variabel budaya organisasi tertentu (misalnya, tingkat kepercayaan psikologis) dengan metrik adopsi teknologi dan tingkat kecelakaan. Terakhir, penelitian intervensi yang merancang dan menguji program untuk meningkatkan transfer pengetahuan antar proyek akan sangat berharga untuk mengatasi salah satu masalah paling mendasar yang diidentifikasi dalam studi ini.
Sumber
Matti, M., & Jahan Anwar Zahid, M. S. E. (2024). Perspectives on Implementation of Digital Tools and Technologies within Construction Safety Management: An Interview Study. Master of Science thesis, KTH Royal Institute of Technology.
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada pengakuan bahwa kolaborasi merupakan keterampilan esensial yang dituntut di hampir semua bidang profesional, sebuah kebutuhan yang semakin dipertegas oleh meningkatnya tren kerja jarak jauh. Lingkungan pembelajaran daring, dengan segala kemajuan teknologinya, menawarkan platform yang ideal untuk membina kompetensi ini. Sejumlah kerangka teoretis yang mapan—seperti
Computer Supported Collaborative Learning (CSCL), Community of Inquiry (CoI), dan Tiga Jenis Interaksi Moore—telah lama menjadi landasan untuk memahami berbagai aspek dari pembelajaran kolaboratif daring. Namun, tinjauan-tinjauan literatur yang ada sebelumnya cenderung berfokus pada aspek-aspek yang spesifik dan terfragmentasi.
Masalah inti yang diidentifikasi oleh Oyarzun dan Martin adalah kurangnya sebuah tinjauan holistik yang mengintegrasikan berbagai elemen krusial dari OLC ke dalam satu kerangka kerja yang utuh. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penulis mengajukan sebuah kerangka kerja OLC yang komprehensif, yang mencakup empat pilar: teknologi kolaboratif, desain, fasilitasi, dan hasil. Dengan menggunakan kerangka ini, tujuan utama dari studi ini adalah untuk melakukan tinjauan literatur sistematis terhadap penelitian OLC yang dipublikasikan selama satu dekade (2012-2021), guna mengidentifikasi pola publikasi, tren partisipan dan konteks, serta metodologi penelitian yang dominan.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mencapai tujuannya, penelitian ini mengadopsi metodologi Tinjauan Literatur Sistematis (Systematic Literature Review - SLR) yang ketat, dengan berpedoman pada protokol PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Proses ini melibatkan dua putaran pencarian kata kunci yang luas di berbagai basis data untuk menangkap semua jenis kolaborasi yang terjadi dalam konteks pembelajaran daring. Setelah melalui proses penyaringan yang sistematis, sebanyak 63 artikel penelitian orisinal dari jurnal-jurnal peer-reviewed yang dipublikasikan antara tahun 2012 dan 2021 dipilih untuk dianalisis secara mendalam.
Analisis data dilakukan secara kolaboratif menggunakan spreadsheet Google, dengan menerapkan proses pengkodean deduktif (berdasarkan penelitian sebelumnya) dan induktif (mengadaptasi kode selama proses analisis). Kebaruan dari karya ini terletak pada pendekatannya yang luas dan terintegrasi. Alih-alih hanya berfokus pada satu dimensi OLC, penelitian ini secara unik mensintesis temuan-temuan dari berbagai aspek—mulai dari pilihan teknologi hingga hasil afektif—ke dalam satu kerangka kerja yang koheren, sehingga menyajikan sebuah "peta" komprehensif dari lanskap penelitian OLC selama dekade terakhir.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis terhadap 63 artikel terpilih menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan gambaran jelas mengenai tren dalam penelitian OLC.
Konteks dan Demografi Penelitian: Ditemukan bahwa sebagian besar penelitian OLC dilakukan dalam konteks pendidikan tinggi dan dalam disiplin ilmu Pendidikan (30,2%). Secara geografis, penelitian yang dilakukan di
Amerika Serikat (39,7%) mendominasi literatur yang ditinjau. Dari segi metodologi, ketiga pendekatan utama—kuantitatif, kualitatif, dan metode campuran—digunakan dalam proporsi yang hampir seimbang.
Teknologi Kolaboratif: Teknologi yang paling umum digunakan untuk memfasilitasi OLC adalah Learning Management Systems (LMS), papan diskusi, alat tulis kolaboratif, dan alat sinkron (misalnya, konferensi video). Temuan ini menggarisbawahi peran sentral LMS sebagai tulang punggung kursus daring, yang sering kali sudah terintegrasi dengan fungsionalitas seperti papan diskusi. Penggunaan alat sinkron yang luas juga menunjukkan pentingnya interaksi
real-time dalam memfasilitasi kolaborasi.
Desain Kolaborasi: Metode kolaboratif yang paling dominan adalah proyek kelompok (59,2%) dan diskusi (25,0%). Ukuran kelompok yang paling umum adalah
kelompok kecil, yang biasanya terdiri dari dua hingga lima mahasiswa. Dalam hal pembentukan kelompok, strategi yang paling sering digunakan adalah
penugasan acak (random assignment), diikuti oleh pembentukan berdasarkan kriteria tertentu dan pembentukan oleh mahasiswa sendiri.
Fasilitasi Kolaborasi: Peran instruktur dalam OLC sangat multifaset. Temuan menunjukkan bahwa instruktur paling sering mengambil peran sebagai perancang (designer) aktivitas kolaboratif, fasilitator proses, pendukung (supporter), dan evaluator hasil kerja. Hal ini menegaskan bahwa fasilitasi yang efektif melampaui sekadar pemberian tugas, tetapi juga melibatkan desain yang cermat dan dukungan aktif selama proses berlangsung.
Hasil Kolaborasi (Peluang dan Tantangan):
Peluang: Tiga peluang teratas yang paling sering disebut dari implementasi OLC adalah peningkatan pembelajaran (16,22%), pengembangan keterampilan komunikasi dan kolaborasi (14,86%), dan pembangunan hubungan antar pembelajar.
Tantangan: Tantangan yang paling sering muncul adalah waktu (misalnya, kesulitan koordinasi jadwal), masalah teknis, serta kecemasan, ketakutan, atau stres yang dialami oleh pembelajar.
Fokus Hasil: Sebagian besar penelitian yang ditinjau berfokus pada hasil kognitif dan afektif, dengan fokus yang lebih sedikit pada hasil perilaku.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Dominasi penelitian dari Amerika Serikat mungkin disebabkan oleh bias karena para peneliti berbasis di AS dan hanya menganalisis artikel berbahasa Inggris, yang membatasi generalisasi temuan ke konteks global.
Sebagai refleksi kritis, meskipun pendekatan yang luas dari tinjauan ini merupakan kekuatan utamanya, hal ini mungkin datang dengan mengorbankan kedalaman analisis pada setiap elemen. Studi ini berhasil memetakan "apa" yang diteliti dalam OLC, namun mungkin tidak sepenuhnya menangkap nuansa "mengapa" tren-tren ini muncul atau "seberapa efektif" kombinasi teknologi, desain, dan fasilitasi yang berbeda dalam mencapai hasil pembelajaran yang spesifik.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan dari tinjauan ini memiliki implikasi langsung bagi para instruktur dan desainer instruksional daring, dengan menyoroti teknologi dan metode desain yang paling umum digunakan serta tantangan yang perlu diantisipasi.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara implisit dan eksplisit menyarankan beberapa arah. Terdapat kebutuhan yang jelas untuk lebih banyak penelitian OLC di luar konteks AS dan di luar disiplin ilmu Pendidikan untuk memperluas pemahaman. Selain itu, penulis menyoroti perlunya
standardisasi terminologi terkait OLC untuk membantu para peneliti menemukan riset yang relevan dengan lebih mudah. Sebagai refleksi akhir, dengan menyediakan sebuah kerangka kerja yang holistik dan peta lanskap penelitian yang komprehensif, Oyarzun dan Martin telah meletakkan fondasi yang kuat bagi para peneliti dan praktisi untuk secara lebih sistematis mempelajari dan mengimplementasikan aktivitas kolaborasi daring yang efektif.
Sumber
Oyarzun, B., & Martin, F. (2023). A systematic review of research on online learner collaboration from 2012-21: Collaboration technologies, design, facilitation, and outcomes. Online Learning, 27(1), 71-106. DOI: 10.24059/olj.v27i1.3453
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada realitas ketergantungan masyarakat modern yang semakin meningkat pada teknologi informasi, sebuah tren yang secara fundamental telah membentuk ulang sektor pendidikan melalui adopsi teknologi pembelajaran daring. Dalam ekosistem ini, Learning Management System (LMS) muncul sebagai kerangka kerja sentral, didefinisikan sebagai aplikasi perangkat lunak yang mendukung administrasi, dokumentasi, pelacakan, pelaporan, dan penyampaian kursus pendidikan. Meskipun telah diadopsi secara luas, pemahaman mengenai persepsi para pemangku kepentingan dan, yang lebih penting, kesenjangan fungsional yang melekat pada platform-platform ini masih memerlukan analisis yang lebih dalam.
Dengan latar belakang ini, tujuan utama dari studi ini adalah untuk menyajikan sebuah tinjauan literatur yang komprehensif terhadap artikel-artikel yang dipublikasikan dalam beberapa tahun terakhir yang membahas penggunaan LMS dalam pedagogi pengajaran-pembelajaran. Hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa meskipun persepsi umum terhadap LMS cenderung positif, platform yang ada saat ini memiliki kelemahan fungsional yang signifikan di tingkat administratif yang menghambat efisiensi dan keandalannya.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mencapai tujuannya, penulis mengadopsi metode tinjauan literatur (literature review). Proses metodologisnya melibatkan penyaringan lebih dari 35 publikasi yang relevan dengan topik dari rentang tahun 2018 hingga 2021, yang kemudian diseleksi secara cermat menjadi 10 artikel inti yang dinilai paling sesuai dengan cakupan penelitian. Analisis berfokus pada tujuan, temuan, dan konteks dari masing-masing studi yang terpilih untuk membangun gambaran umum mengenai tren penelitian saat ini.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengumpulan data empiris baru, melainkan pada kontribusinya dalam melakukan sintesis dan, yang lebih penting, mengidentifikasi secara eksplisit "kesenjangan penelitian" (research gap) yang bersifat fungsional dalam sistem LMS. Alih-alih hanya merangkum persepsi pengguna, penelitian ini melangkah lebih jauh untuk mendiagnosis kelemahan-kelemahan spesifik di tingkat sistem yang sering kali menjadi sumber inefisiensi administratif.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Tinjauan terhadap 10 artikel terpilih secara umum mengonfirmasi adanya persepsi positif dan manfaat yang terukur dari penggunaan LMS. Sebagai contoh, studi oleh Lakshmi dkk. (2020) menemukan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki persepsi positif terhadap konsep e-learning, sementara studi oleh Angelino dkk. (2021) menunjukkan bahwa keterlibatan mahasiswa cenderung meningkat melalui partisipasi dalam aktivitas di platform Moodle.
Namun, temuan yang paling signifikan dari penelitian ini adalah identifikasi tiga kesenjangan fungsional utama yang ada pada banyak platform LMS:
Kurangnya Kontrol Versi (Lack of Version Control): Ditemukan bahwa banyak sistem LMS tidak memiliki fitur kontrol versi yang kuat untuk konten pelatihan. Hal ini menciptakan dua masalah besar: (a) peningkatan risiko kesalahan manusia, yang membuat konten tidak dapat diandalkan, dan (b) tidak adanya otomatisasi untuk proses peninjauan versi, yang menyebabkan inefisiensi signifikan bagi staf administrasi.
Ketergantungan pada Persetujuan Manual (Managerial and Administration Consent): Proses persetujuan manajerial dan administratif sering kali harus dilakukan secara fisik di luar sistem karena tidak adanya alur kerja pengesahan elektronik yang terintegrasi. Hal ini tidak hanya meningkatkan beban kerja manual tetapi juga memperbesar margin kesalahan manusia dan mempersulit proses audit.
Absennya Manajemen Pelatihan Berbasis Peran Otomatis (No Automated Role-Based Training Management Features): Banyak LMS tidak memiliki kemampuan untuk mengelompokkan pengguna ke dalam peran-peran otomatis berdasarkan fungsi pekerjaan mereka. Akibatnya, pengembangan, evaluasi, dan penugasan rencana pelatihan individu harus dilakukan secara manual, yang berisiko menimbulkan inkonsistensi dan memastikan bahwa karyawan tidak dilatih secara memadai untuk peran spesifik mereka.
Secara kontekstual, temuan-temuan ini menyoroti bahwa meskipun LMS berhasil sebagai platform penyampaian konten dan interaksi, ia sering kali gagal berfungsi sebagai sistem manajemen yang sesungguhnya, karena kurangnya fitur otomatisasi dan kontrol administratif yang canggih.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penelitian ini tidak secara eksplisit menyatakan keterbatasannya sendiri. Namun, beberapa refleksi kritis dapat diajukan berdasarkan metodologinya. Pertama, proses seleksi yang mereduksi lebih dari 35 artikel menjadi hanya 10 didasarkan pada kriteria "masuk dalam cakupan topik" yang tidak didefinisikan secara jelas, sehingga berpotensi menimbulkan bias seleksi. Kedua, cakupan tinjauan yang relatif sempit (2018-2021) mungkin mengabaikan penelitian-penelitian dasar yang penting yang diterbitkan sebelumnya. Terakhir, kesenjangan fungsional yang diidentifikasi tampaknya lebih berorientasi pada konteks pelatihan korporat atau kepatuhan (compliance), yang mungkin tidak sepenuhnya selaras dengan kebutuhan pedagogis di lingkungan pendidikan tinggi umum.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Implikasi praktis dari temuan ini sangat jelas: perbaikan yang ditawarkan dapat membantu organisasi dalam menanggapi kebutuhan pelatihan yang terus berkembang dengan lebih efektif. Berdasarkan kesenjangan yang teridentifikasi, penelitian di masa depan harus diarahkan pada:
Pengembangan dan Pengujian Fitur Lanjutan: Merancang dan menguji modul LMS yang secara spesifik mengatasi masalah kontrol versi, alur kerja persetujuan otomatis, dan manajemen pelatihan berbasis peran.
Analisis Biaya-Manfaat: Melakukan studi kuantitatif untuk mengukur penghematan waktu dan pengurangan kesalahan yang dihasilkan dari implementasi fitur-fitur administratif canggih ini, guna membangun argumen bisnis yang kuat bagi institusi pendidikan dan vendor LMS.
Studi Komparatif: Melakukan analisis perbandingan antara berbagai platform LMS komersial dan sumber terbuka untuk mengevaluasi sejauh mana mereka telah mengatasi kesenjangan fungsional yang diidentifikasi dalam penelitian ini.
Sebagai refleksi akhir, karya ini berhasil menggeser diskursus dari sekadar adopsi umum menuju persyaratan fungsional yang spesifik, menegaskan bahwa evolusi LMS selanjutnya harus memprioritaskan otomatisasi dan kontrol administratif untuk benar-benar memaksimalkan potensinya.
Sumber
Chatterjee, P., Kundu, A., & Bhattacharyya, C. K. (2022). Learning Management System (LMS) and it's perception among the stakeholder's of educational institutes: A comprehensive review. New Applied Studies in Management, Economics & Accounting, 5(2(18)), 7-13.