Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Urgensi Perencanaan Air di DAS Lintas Negara
Sungai Nil adalah sumber kehidupan bagi lebih dari 300 juta orang di Afrika Timur dan Utara, melintasi 11 negara dengan latar belakang ekonomi, iklim, dan kepentingan politik yang sangat beragam. Ketergantungan tinggi pada air Sungai Nil, terutama di Mesir dan Kenya, diperparah oleh pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, serta dinamika pembangunan ekonomi yang pesat. Dalam konteks inilah, paper “Forecasting water consumption on transboundary water resources for water resource management using the feed-forward neural network: a case study of the Nile River in Egypt and Kenya” karya Anne Wambui Mumbi dkk. (2022) menjadi sangat relevan sebagai rujukan ilmiah dan kebijakan untuk merancang masa depan pengelolaan air lintas negara yang lebih adaptif dan berbasis data123.
Latar Belakang: Kompleksitas Pengelolaan Air Sungai Nil
Tantangan Transboundary Water Management
Tren Global
Metodologi: Prediksi Konsumsi Air dengan Deep Learning
Model dan Data
Skema Skenario
Evaluasi Model
Hasil dan Analisis: Konsumsi Air Masa Depan di Mesir dan Kenya
Skenario 1: Prediksi Berdasarkan Tren Historis
Kenya
Mesir
Skenario 2: Dampak Pertumbuhan Ekonomi Ekstrem (GDP Doubled)
Kenya
Mesir
Diskusi Kritis: Implikasi, Kelebihan, dan Keterbatasan
Implikasi Kebijakan
Kelebihan Studi
Keterbatasan dan Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Industri
Rekomendasi dan Saran Praktis
Menuju Tata Kelola Air Lintas Negara yang Adaptif
Studi ini menegaskan pentingnya prediksi konsumsi air berbasis AI untuk mendukung tata kelola air lintas negara yang lebih responsif dan berkelanjutan. Dengan proyeksi kenaikan konsumsi air di Kenya dan tren fluktuatif di Mesir, kedua negara (dan seluruh DAS Nil) harus segera beradaptasi dengan strategi pengelolaan air yang lebih efisien, kolaboratif, dan berbasis data. Model FFNN terbukti unggul dalam memetakan tren jangka panjang, namun tetap perlu dilengkapi dengan data yang lebih kaya dan integrasi kebijakan nyata untuk hasil yang optimal.
Sumber Artikel
Anne Wambui Mumbi, Fengting Li, Jean Pierre Bavumiragira, Fangnon Firmin Fangninou. Forecasting water consumption on transboundary water resources for water resource management using the feed-forward neural network: a case study of the Nile River in Egypt and Kenya. Marine and Freshwater Research 73(3): 292–306. 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Pentingnya Inovasi Tata Kelola Air di Tiongkok
Pertumbuhan ekonomi pesat di Tiongkok selama beberapa dekade terakhir telah membawa dampak besar pada lingkungan, khususnya kualitas air sungai yang menjadi sumber utama kehidupan dan ekonomi. Salah satu tantangan terbesar adalah polusi air di sungai lintas provinsi, di mana kepentingan ekonomi dan ekologi sering kali berbenturan antara wilayah hulu dan hilir. Paper “Measuring the incremental impact of Payments for Watershed Services on water quality in a transboundary river basin in China” oleh Zeng, Brouwer, Wang, dan Chen (2021) menjadi tonggak penting dalam mengevaluasi efektivitas skema kompensasi ekologi (PWS) untuk mengatasi masalah ini, khususnya di Sungai Xin’an yang melintasi provinsi Anhui dan Zhejiang12.
Artikel ini akan membedah pendekatan, hasil, serta relevansi kebijakan PWS di Xin’an, mengaitkannya dengan tren pengelolaan air lintas wilayah di Tiongkok dan dunia, serta memberikan analisis kritis dan saran ke depan.
Latar Belakang: Mengapa Sungai Xin’an Jadi Studi Kasus Penting?
Profil Sungai Xin’an
Ketimpangan Ekonomi dan Tekanan Pembangunan
Skema Payments for Watershed Services (PWS): Konsep dan Implementasi
Apa Itu PWS?
Skema PWS di Xin’an: Tahapan dan Mekanisme
Inovasi dan Tantangan Teknis
Metodologi Evaluasi: Synthetic Control Method (SCM)
Mengapa SCM?
Studi Kasus: Huangshan vs. Synthetic Huangshan
Hasil dan Analisis: Dampak Nyata PWS pada Kualitas Air
Tren Polusi Sebelum dan Sesudah PWS
Robustness Test
Diskusi Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Pembelajaran
Kelebihan PWS Xin’an
Tantangan dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi Kebijakan dan Tren Masa Depan
Relevansi untuk Tiongkok dan Global
Saran dan Rekomendasi
PWS Xin’an sebagai Laboratorium Tata Kelola Air Modern
Studi Zeng dkk. membuktikan bahwa skema Payments for Watershed Services lintas provinsi dapat memberikan dampak tambahan yang signifikan terhadap penurunan polusi air, bahkan di tengah tren nasional yang sudah membaik. Keberhasilan ini dicapai melalui insentif finansial yang jelas, monitoring bersama, dan kerangka tata kelola yang adaptif. Namun, tantangan data, partisipasi masyarakat, dan cakupan polusi non-industri masih menjadi PR besar ke depan.
Bagi negara-negara lain yang menghadapi konflik hulu-hilir, model Xin’an menawarkan pelajaran penting: kolaborasi, insentif ekonomi, dan evaluasi berbasis data adalah kunci menuju tata kelola air yang berkelanjutan dan adil.
Sumber Artikel
Zeng, Q., Brouwer, R., Wang, Y., & Chen, L. (2021). Measuring the incremental impact of Payments for Watershed Services on water quality in a transboundary river basin in China. Ecosystem Services, 51, 1-11. Article 101355.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Mengapa Alokasi Air yang Adil Itu Mendesak?
Air adalah sumber daya vital yang semakin langka dan menjadi sumber konflik di banyak negara, terutama di Afrika Selatan yang dikenal sebagai negara dengan distribusi air yang sangat timpang akibat warisan kolonialisme dan apartheid. Artikel “Principles and legal tools for equitable water resource allocation: prioritization in South Africa” karya Barbara van Koppen dkk. (2024) membedah bagaimana strategi nasional dan instrumen hukum di Afrika Selatan berupaya mengatasi ketimpangan akses air, dengan studi kasus konkret di Sabie Sub Catchment, Inkomati–Usuthu Catchment Management Agency (IUCMA)12.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global menuju keadilan sosial dan lingkungan, serta menjadi rujukan penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa. Resensi ini akan mengupas isi paper, mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas, serta memberikan analisis kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.
Konteks Sejarah: Dari Apartheid Menuju Keadilan Air
Warisan Ketidakadilan
Pada masa apartheid, 87% lahan dan sumber air dikuasai minoritas kulit putih, sementara mayoritas kulit hitam dipaksa tinggal di “homelands” yang hanya mencakup 13% wilayah negara, tanpa hak formal atas air bahkan untuk kebutuhan dasar12. Hingga kini, ketimpangan tersebut masih terasa: data tahun 2021 menunjukkan 7% pengguna air terbesar (umumnya perusahaan agribisnis dan industri) menguasai 83% total volume air terdaftar (1.383,67 juta m³/tahun), sementara 30% pengguna terkecil hanya mengakses 0,01% dari total volume12.
Reformasi Hukum dan Strategi Nasional
Pasca 1994, Afrika Selatan mengadopsi Konstitusi baru dan National Water Act (1998) yang menempatkan negara sebagai “custodian” semua sumber daya air, dengan prinsip keadilan sosial dan lingkungan sebagai fondasi123. National Water Resource Strategy (NWRS-2) menegaskan tiga tujuan utama:
Prinsip Prioritisasi: Siapa yang Didahulukan?
Urutan Prioritas Alokasi Air
NWRS-2 menetapkan urutan prioritas sebagai berikut123:
Prinsip ini menuntut negara untuk memastikan kebutuhan dasar manusia dan lingkungan selalu dipenuhi terlebih dahulu, bahkan ketika sumber air sangat terbatas.
Studi Kasus: Sabie Sub Catchment, Inkomati–Usuthu
Gambaran Ketimpangan
Sabie Sub Catchment adalah salah satu wilayah paling timpang di Afrika Selatan. Dari 2.213 pengguna air terdaftar, hanya 7% yang menguasai 83% air. Dari seluruh pengguna dengan hak lama (existing lawful use/ELU) sebelum 1998, 97% adalah laki-laki kulit putih. Pada periode 2015–2020, 180 aplikasi penggunaan air baru (baik General Authorization maupun lisensi) mengakses 197 juta m³/tahun, dengan 66% didominasi laki-laki kulit putih dan hanya 33% oleh laki-laki kulit hitam. Perempuan hanya 1% dari total pengguna terdaftar12.
Sementara itu, mayoritas masyarakat pedesaan tidak terdaftar sama sekali karena mereka hanya menggunakan air dalam skala kecil (Schedule One), yang secara hukum tidak wajib didaftarkan. Namun, volume agregat mereka sangat kecil dan sering diabaikan dalam perencanaan12.
Inovasi Operasionalisasi: Tiga Pilar Utama
1. Redefinisi The Reserve: Hak Dasar Air untuk Semua
Masalah Lama
Sebelumnya, Basic Human Needs Reserve hanya diartikan sebagai 25 liter per kapita per hari (lpcd) untuk kebutuhan domestik, sementara kebutuhan produktif (irigasi kecil, ternak, usaha mikro) diabaikan. Volume ini seringkali kurang dari 1% total aliran sungai, dan hanya dihitung untuk masyarakat yang belum terlayani infrastruktur air publik, sehingga banyak yang terpinggirkan12.
Solusi Baru
Draft Water Allocation Plan Sabie mengusulkan redefinisi Reserve sebagai hak minimum prioritas tinggi untuk kebutuhan domestik dan produktif, sesuai Pasal 27 Konstitusi (“hak atas air dan pangan yang cukup”)12. Dengan demikian, Schedule One (penggunaan subsisten) diangkat statusnya menjadi hak konstitusional, bukan sekadar pengecualian administratif.
Studi Kasus Angka
Di Sabie, volume Basic Human Needs Reserve yang dihitung pemerintah umumnya <1% dari total aliran sungai, kecuali satu wilayah di dekat Kruger National Park yang mencapai 10%12. Namun, kebutuhan domestik dan produktif masyarakat sebenarnya jauh melebihi angka ini, terutama di musim kemarau.
2. Pengakuan Hak Adat atas Air (Customary Water Tenure)
Tantangan Legal Pluralism
Di “homelands”, sistem hak air adat masih hidup, di mana komunitas berbagi dan mengatur air secara kolektif berdasarkan norma lokal. Namun, selama ini hak-hak ini dipandang “ilegal” atau “tidak formal” oleh negara dan sering dikesampingkan saat terjadi konflik dengan pengguna air besar (perkebunan, perusahaan, taman nasional)124.
Inovasi Sabie
Draft Water Allocation Plan mengusulkan pengakuan formal hak air adat, dengan negara sebagai pemegang lisensi kolektif untuk melindungi kepentingan komunitas saat “sharing out” air dengan pihak luar (misal, perkebunan hutan komersial di hulu atau taman nasional di hilir)12. Ini berarti, ketika terjadi persaingan air, hak masyarakat adat diutamakan dibanding pengguna besar yang selama ini dominan.
Studi Kasus Praktik
Contoh nyata: Komite Sungai di Tanzania (Komakech, 2021) menunjukkan keberhasilan “sharing out” air antarkomunitas secara adil, diakui oleh otoritas negara tanpa harus menghapus sistem adat4. Di Sabie, pengakuan ini akan memperkuat posisi masyarakat adat dalam negosiasi dengan pengguna air besar.
3. General Authorizations: Mengatasi Diskriminasi Administratif
Masalah Perizinan
Sistem lisensi air di Afrika Selatan sangat birokratis dan mahal, sehingga tidak terjangkau oleh petani kecil, perempuan, atau kelompok rentan. Akibatnya, mereka sering “dikriminalisasi” hanya karena menggunakan air untuk kebutuhan dasar dan produktif125.
Solusi Sabie
Sabie Sub Catchment mengusulkan penggunaan General Authorizations untuk kelompok kecil-menengah, sehingga mereka tidak perlu melalui proses lisensi yang rumit, cukup dengan registrasi sederhana. Dari 180 aplikasi penggunaan air 2015–2019, lebih dari separuh direkomendasikan menggunakan General Authorization12.
Tantangan dan Kritik
1. “Green Apartheid”: Konflik Hak Lingkungan vs Sosial
Penetapan Ecological Reserve seringkali dimanfaatkan oleh taman nasional dan industri wisata elit untuk mengklaim prioritas aliran air “pristine”, padahal mereka juga menggunakan air untuk kebutuhan domestik, kolam renang, dan turis. Sementara masyarakat adat di hulu justru diminta membatasi penggunaan air mereka, bahkan untuk kebutuhan dasar12. Ironisnya, satu rumah di kawasan elit bisa punya kolam renang, sementara 100 orang di desa berbagi satu keran umum.
2. Ketidakpastian Data dan Monitoring
Penentuan volume Reserve (baik ekologis maupun kebutuhan dasar) masih sering didasarkan pada model yang tidak akurat, sehingga keputusan alokasi bisa sangat arbitrer. Monitoring dan penegakan hukum juga masih lemah, terutama di wilayah pedesaan dan “homelands”12.
3. Kendala Infrastruktur dan Sosialisasi
Banyak air yang sudah “di-set aside” untuk kelompok rentan tidak bisa dimanfaatkan karena tidak ada akses lahan, infrastruktur, atau informasi bagi calon penerima manfaat5. Ini menunjukkan bahwa reformasi hukum harus diiringi investasi pada infrastruktur dan edukasi.
Perbandingan dan Relevansi Global
Prinsip prioritisasi dan pengakuan hak air adat di Afrika Selatan sangat relevan untuk negara-negara berkembang lain yang menghadapi dualisme formal-informal dalam tata kelola air, misal di Asia Selatan, Amerika Latin, dan sebagian besar Afrika Sub-Sahara124. Pengalaman Tanzania dalam mengakui komite sungai antarkomunitas sebagai bagian dari sistem nasional adalah contoh positif yang bisa diadopsi4.
Kesimpulan: Menuju Keadilan Air yang Inklusif
Paper ini menawarkan kerangka kerja yang konkret dan actionable untuk mewujudkan keadilan air di negara dengan sejarah ketimpangan ekstrem. Tiga inovasi utama—redefinisi Reserve, pengakuan hak air adat, dan General Authorizations—mampu memperkuat posisi kelompok rentan dan mendorong distribusi air yang lebih adil. Namun, tantangan implementasi (data, monitoring, infrastruktur) masih besar dan membutuhkan komitmen lintas sektor.
Nilai Tambah dan Saran
Sumber Asli Artikel
Barbara van Koppen, Patience Mukuyu, Tumai Murombo, Inga Jacobs-Mata, Jennifer Molwantwa, John Dini, Tendai Sawunyama, Barbara Schreiner & Sipho Skosana (2024) Principles and legal tools for equitable water resource allocation: prioritization in South Africa, International Journal of Water Resources Development, 40:4, 555-577, DOI: 10.1080/07900627.2023.2290522
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air, Diplomasi, dan Pentingnya Paradigma Baru
Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di kawasan Asia Selatan yang padat penduduk dan rentan perubahan iklim. Sungai Ganges, yang mengalir dari Himalaya melintasi India dan Bangladesh, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta orang, sekaligus sumber konflik dan potensi kerja sama. Paper karya Sajid Karim ini menawarkan perspektif baru: alih-alih sekadar membagi volume air, kedua negara didorong untuk berbagi manfaat (benefit-sharing) yang lebih luas, mulai dari ekonomi, ekologi, hingga sosial12.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana pendekatan tradisional berbasis kuantitas air semakin tidak memadai menghadapi tekanan populasi, perubahan iklim, dan dinamika politik domestik. Dengan menyoroti studi kasus Ganges dan membandingkannya dengan praktik benefit-sharing di sungai internasional lain, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air lintas negara.
Latar Belakang: Mengapa Benefit-sharing Diperlukan?
Tantangan Klasik: Konflik dan Keterbatasan Perjanjian Lama
Realitas Baru: Tekanan Populasi, Iklim, dan Politik
Konsep Benefit-sharing: Dari Bagi Air ke Bagi Manfaat
Definisi dan Kerangka Analisis
Benefit-sharing adalah proses berbagi manfaat ekonomi, ekologi, sosial, dan politik yang dihasilkan dari pengelolaan sungai bersama, bukan sekadar membagi volume air12. Sadoff & Grey (2002) membagi manfaat menjadi empat tipe:
Studi Kasus: Ganges Basin dan Potensi Benefit-sharing
1. Navigasi dan Transportasi Air
2. Proyek Bendungan Multipurpose
3. Pengelolaan Bersama Sundarbans
Bagaimana Mewujudkan Benefit-sharing? Rekomendasi Kebijakan
1. Perubahan Paradigma dan Kebijakan
2. Penguatan Kelembagaan
3. Keterlibatan Pihak Ketiga dan Diplomasi Multi-level
4. Mekanisme Resolusi Konflik
Studi Banding: Praktik Benefit-sharing di Sungai Internasional Lain
Tantangan dan Keterbatasan Pendekatan Benefit-sharing
Analisis Kritis dan Opini
Nilai Tambah Paper
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Menuju Kerja Sama Air yang Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa masa depan kerja sama air lintas negara, khususnya di Ganges Basin, sangat bergantung pada kemauan untuk beralih dari paradigma “bagi air” ke “bagi manfaat”. Dengan mengoptimalkan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial, serta memperkuat kelembagaan dan transparansi, Bangladesh, India, dan Nepal dapat menciptakan win-win solution yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim dan dinamika politik123.
Rekomendasi utama:
Sumber Artikel
Sajid Karim. Transboundary Water Cooperation between Bangladesh and India in the Ganges River Basin: Exploring a Benefit-sharing Approach. Master thesis in Sustainable Development at Uppsala University, No. 2020/63, 48 pp, 30 ECTS/hp.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air, Ketahanan Pangan, dan Tantangan Global
Kelangkaan air kini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan di abad ke-21. Laporan FAO “Coping with Water Scarcity: An Action Framework for Agriculture and Food Security” (2012) menjadi rujukan penting dalam memahami dinamika, penyebab, dan solusi multidimensi untuk mengatasi krisis air, khususnya di sektor pertanian yang menyerap 70% air tawar dunia. Artikel ini tidak hanya membedah konsep dan indikator kelangkaan air, tetapi juga menawarkan kerangka aksi, studi kasus nyata, serta prinsip-prinsip kebijakan yang relevan dengan tren global seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan transformasi pola konsumsi pangan1.
Definisi dan Dimensi Kelangkaan Air: Lebih dari Sekadar Jumlah
Tiga Pilar Kelangkaan Air
Indikator dan Ukuran
Penyebab Utama Kelangkaan Air: Kombinasi Alam dan Ulah Manusia
Faktor Alam
Faktor Antropogenik
Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Berbagai Negara
1. India: Revolusi Irigasi dan Krisis Air Tanah
2. Australia: Perdagangan Hak Air dan Adaptasi Iklim
3. Mesir: Daur Ulang Air dan Efisiensi Irigasi
4. Sub-Sahara Afrika: Kelangkaan Ekonomi dan Potensi Rainfed Agriculture
Kerangka Konseptual: Dari Supply Enhancement ke Demand Management
Evolusi Strategi
Opsi Kebijakan
Inovasi dan Praktik Terbaik: Studi Lapangan
A. Participatory Groundwater Management di Andhra Pradesh, India
B. Water Trading di Australia
C. Water Footprint dan Virtual Water
Analisis Kritis: Tantangan, Peluang, dan Rekomendasi
Kelebihan Laporan FAO
Keterbatasan dan Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain
Prinsip-Prinsip Aksi: Panduan Kebijakan Masa Depan
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Menuju Ketahanan Air dan Pangan yang Berkelanjutan
Laporan FAO ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan respons lintas sektor, lintas skala, dan lintas disiplin. Tidak ada solusi instan atau universal; setiap negara dan wilayah harus merancang strategi adaptif berbasis data, kolaborasi, dan inovasi. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip aksi yang fleksibel dan kontekstual, dunia dapat memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi risiko krisis air di masa depan1.
Sumber Artikel
Coping with water scarcity: An action framework for agriculture and food security. FAO Water Reports 38, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 2012.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Krisis Air Lintas Negara dan Pentingnya Model Alokasi yang Adil
Isu alokasi air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan paling krusial di era perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara. Sungai Lancang–Mekong, yang mengalir dari Tiongkok hingga Vietnam, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta penduduk di enam negara. Namun, perbedaan kepentingan, tingkat pembangunan, dan kekuatan politik sering memicu konflik dan ketidakpuasan dalam pembagian air. Paper karya Fang Li dkk. (2020) menawarkan pendekatan baru melalui model negosiasi Nash asimetris berbasis kepuasan, yang bertujuan menciptakan skema alokasi air yang lebih adil, stabil, dan dapat diterima oleh semua negara di kawasan ini1.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kebutuhan akan tata kelola air lintas negara yang adil semakin mendesak. Dengan menggabungkan teori negosiasi, hukum internasional, dan studi kasus nyata di Sungai Lancang–Mekong, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air, baik di tingkat regional maupun internasional.
Latar Belakang: Kompleksitas Alokasi Air Lintas Batas
Fakta dan Angka Kunci
Tantangan Utama
Kerangka Teoritis: Model Nash Asimetris dan Perspektif Kepuasan
Mengapa Nash Asimetris?
Model Nash asimetris dipilih karena mampu merepresentasikan realitas negosiasi antarnegara yang tidak setara dalam kekuatan ekonomi, politik, dan geografis. Model ini mengakomodasi:
Indikator dan Data Kunci
Model ini menggunakan 11 indikator utama, meliputi konsumsi air, permintaan listrik, pertumbuhan penduduk, tutupan hutan, kontribusi runoff, luas DAS, panjang sungai, populasi, air per kapita, produktivitas air, dan PDB per kapita. Data diambil dari berbagai sumber internasional dan nasional, termasuk TFDD, TWAP, dan World Bank1.
Studi Kasus: Alokasi Air di Sungai Lancang–Mekong
Profil Negara-Negara DAS
Proses Negosiasi dan Simulasi Model
Hasil Utama
Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Implikasi Kebijakan
Kelebihan Model
Keterbatasan
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan
1. Tata Kelola Air Lintas Negara yang Inklusif
2. Penyesuaian Alokasi Dinamis
3. Inovasi Model Negosiasi
4. Penguatan Partisipasi Publik dan Stakeholder
Studi Banding: Praktik Global dan Relevansi Industri
Menuju Alokasi Air Lintas Negara yang Adil dan Berkelanjutan
Paper Fang Li dkk. (2020) menegaskan bahwa alokasi air lintas negara yang adil hanya dapat dicapai melalui negosiasi berbasis kepuasan, yang mengakomodasi perbedaan kekuatan, kebutuhan, dan efisiensi antarnegara. Model Nash asimetris yang diusulkan terbukti mampu meningkatkan stabilitas, kepuasan, dan potensi diterimanya skema alokasi air di Sungai Lancang–Mekong. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini, negara-negara di DAS Lancang–Mekong dan kawasan lain dapat memperkuat ketahanan air, mengurangi risiko konflik, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi utama:
Sumber Artikel
Fang Li, Feng-ping Wu, Liu-xin Chen, Yue Zhao, Xiang-nan Chen, Zhi-ying Shao. Fair and Reasonable Allocation of Trans-Boundary Water Resources Based on an Asymmetric Nash Negotiation Model from the Satisfaction Perspective: A Case Study for the Lancang–Mekong River Bain. International Journal of Environmental Research and Public Health, 2020, 17(20): 7638.