Membedah Ketahanan Air Nasional: Studi Komparatif Australia, China, dan Jepang dalam Menghadapi Krisis Air Abad ke-21

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

20 Juni 2025, 06.32

pixabay.com

Ketahanan Air sebagai Pilar Keamanan Nasional

Dalam beberapa dekade terakhir, krisis air telah menjadi isu strategis yang menempati peringkat teratas dalam risiko global menurut World Economic Forum. Air tidak hanya menopang kesehatan manusia dan ekosistem, tetapi juga menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, dan stabilitas sosial. Peter J. Crawford dalam disertasi doktoralnya, “A Critique of Water Security in Australia, China and Japan” (2020), melakukan analisis mendalam terhadap bagaimana tiga negara kunci di Asia-Pasifik—Australia, China, dan Jepang—mengelola ketahanan air melalui kebijakan, program, proyek besar, dan instrumen hukum.

Artikel ini akan merangkum, mengkritisi, dan mengaitkan temuan Crawford dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi berbasis data. Fokus utama adalah membedah tantangan, capaian, dan pembelajaran dari ketiga negara, serta relevansinya bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa.

Kerangka Analisis: Empat Domain dan Empat Faktor Penentu Ketahanan Air

Crawford membangun kerangka evaluasi yang solid, menggabungkan empat domain ketahanan air (negara, kesejahteraan manusia, lingkungan, dan pengguna konsumtif) dengan empat faktor penentu utama:

  • Pengaruh politik
  • Tata kelola
  • Manajemen terintegrasi
  • Dampak perubahan iklim

Pendekatan ini memastikan analisis yang konsisten dan komparatif antarnegara, serta mengidentifikasi hambatan sistemik dan peluang reformasi.

Studi Kasus 1: Australia—Antara Inovasi dan Fragmentasi

Tantangan Utama

  • Australia hanya menerima 1% air tawar dunia, dengan iklim sangat variabel: dari banjir hingga kekeringan ekstrem.
  • Murray-Darling Basin (MDB) adalah “food bowl” Australia, namun mengalami over-allocated water rights, degradasi lingkungan, dan konflik antarnegara bagian.
  • Konsumsi air nasional tahun 2016–2017: sekitar 16.500 gigaliter; 60% untuk pertanian, 23% rumah tangga, 8% pertambangan/manufaktur, 9–10% lingkungan.

Kebijakan dan Kerangka Hukum

  • National Water Initiative (NWI): Sejak 2004, mendorong harmonisasi perencanaan air, pemisahan hak tanah dan air, perlindungan lingkungan, dan pasar air.
  • Statutory Water Plans: Seluruh area penggunaan intensif kini memiliki rencana air berbasis hukum.
  • Water Markets: Hak air dapat diperdagangkan, namun tetap di bawah kendali negara bagian.

Studi Kasus: Murray-Darling Basin

  • Mendukung 41% nilai pertanian nasional, 2,1 juta penduduk, dan 1,4 juta penerima air minum di luar basin.
  • Pemerintah federal mengucurkan AUD 10 miliar untuk modernisasi irigasi dan buy-back hak air demi lingkungan.
  • Namun, implementasi seringkali “opportunistic” (beli air di mana mudah, bukan di titik tekanan sistem), bukan berbasis strategi ekosistem.
  • Hanya 9% rencana air memenuhi standar monitoring dan evaluasi nasional (NWC 2014a).
  • Konflik antara kebutuhan konsumtif (petani, industri) dan lingkungan masih tinggi; politisasi dan lemahnya enforcement memperburuk situasi.

Kelebihan dan Kritik

  • Kelebihan: Transparansi data, evaluasi independen (NWC, APC), inovasi pasar air.
  • Kritik: Fragmentasi kewenangan antarnegara bagian, lemahnya perlindungan lingkungan, kurangnya integrasi pengelolaan permukaan dan air tanah, serta adaptasi iklim yang masih lambat.

Studi Kasus 2: China—Antara Megaproyek dan Krisis Keseimbangan

Tantangan Utama

  • China menghadapi krisis air akut di kawasan utara (kekeringan), sementara selatan sering banjir.
  • Polusi air masif: 60% air tanah di kota besar tidak layak konsumsi; sungai utama sangat tercemar.
  • Ketergantungan pada megaproyek: South-to-North Water Diversion Project (SNWDP), Three Gorges Dam, dan proyek-proyek rekayasa besar lain.

Kebijakan dan Reformasi

  • River Basin Management: 7 komisi sungai utama, namun seringkali tumpang tindih dengan pemerintah daerah.
  • Market-Oriented Reforms: Uji coba tarif air progresif, water rights trading, dan insentif efisiensi.
  • Penguatan Hukum: Water Law (2002, revisi 2016), namun enforcement masih lemah.

Studi Kasus: SNWDP

  • Proyek transfer air terbesar dunia, menyalurkan >44 miliar m³ air/tahun dari selatan ke utara.
  • Biaya sosial-ekologis besar: relokasi >300.000 orang, perubahan ekosistem, dan ketergantungan pada infrastruktur.
  • Hasil: sebagian kebutuhan kota besar (Beijing, Tianjin) terpenuhi, namun polusi di sumber air tetap tinggi.

Kelebihan dan Kritik

  • Kelebihan: Kecepatan eksekusi proyek, investasi besar pada infrastruktur, dan upaya reformasi pasar air.
  • Kritik: Fragmentasi kelembagaan, lemahnya koordinasi pusat-daerah, fokus pada supply-side (menambah pasokan) daripada demand-side (efisiensi dan konservasi), serta kurangnya perlindungan ekosistem.

Studi Kasus 3: Jepang—Stabilitas Tinggi, Ancaman Baru

Tantangan Utama

  • Jepang relatif berhasil dalam penyediaan air bersih dan sanitasi, namun menghadapi risiko baru: populasi menua, urbanisasi, dan perubahan iklim (banjir ekstrem, kekeringan lokal).
  • Infrastruktur air sangat maju, namun banyak yang sudah tua dan butuh investasi besar untuk peremajaan.

Kebijakan dan Tata Kelola

  • Legal Framework: Waterworks Law, River Law, dan peraturan ketat tentang kualitas air.
  • Integrated River Basin Management: Pendekatan holistik pada pengelolaan sungai, termasuk mitigasi banjir, konservasi, dan partisipasi masyarakat.
  • Partisipasi Lokal: Banyak inisiatif berbasis komunitas (watershed groups, user associations) diakui pemerintah.

Studi Kasus: Penanganan Banjir dan Infrastruktur

  • Investasi besar pada infrastruktur anti-banjir (bendungan, kanal bawah tanah).
  • Namun, perubahan iklim menyebabkan banjir ekstrem yang menantang kapasitas sistem lama.
  • Penurunan populasi menyebabkan overcapacity di beberapa sistem air, sementara kota besar tetap menghadapi tekanan.

Kelebihan dan Kritik

  • Kelebihan: Tata kelola terintegrasi, partisipasi publik, kualitas air tinggi.
  • Kritik: Biaya perawatan infrastruktur tinggi, rigiditas birokrasi, dan tantangan adaptasi terhadap perubahan iklim ekstrem.

Analisis Komparatif: Apa yang Bisa Dipelajari?

Tren Global dan Relevansi

  • Fragmentasi tata kelola adalah masalah universal, baik di negara federal (Australia), terpusat (China), maupun maju (Jepang).
  • Politik dan kepentingan ekonomi sering mengalahkan sains dan ekologi dalam pengambilan keputusan air.
  • Ketahanan air kini harus diintegrasikan dengan ketahanan pangan, energi, dan iklim (nexus approach).
  • Inovasi kelembagaan (misal, pasar air di Australia, river basin management di Jepang, pilot water trading di China) adalah kunci, namun perlu penguatan enforcement dan adaptasi.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kritik Utama

  • Ketiga negara cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi, seringkali mengorbankan ekosistem dan keberlanjutan jangka panjang.
  • Reformasi kelembagaan dan tata kelola air sering terhambat kepentingan politik, fragmentasi, dan resistensi perubahan.
  • Monitoring, evaluasi, dan adaptasi kebijakan masih lemah, terutama dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin ekstrem.

Opini dan Saran

  1. Prioritaskan Perlindungan Ekosistem: Kesehatan sistem air adalah prasyarat ketahanan ekonomi dan sosial.
  2. Perkuat Tata Kelola Terintegrasi: Gabungkan pengelolaan permukaan, air tanah, dan ekosistem dalam satu kerangka adaptif.
  3. Dorong Partisipasi Publik: Libatkan komunitas lokal, pengguna air, dan masyarakat adat dalam perencanaan dan monitoring.
  4. Inovasi dan Teknologi: Investasi pada teknologi monitoring real-time, AI untuk prediksi, dan sistem adaptasi berbasis data.
  5. Reformasi Politik dan Hukum: Kurangi fragmentasi, perkuat enforcement, dan pastikan transparansi serta akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.

Menuju Ketahanan Air Abad ke-21

Disertasi Crawford menegaskan bahwa ketahanan air adalah bagian tak terpisahkan dari keamanan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Australia, China, dan Jepang menawarkan pelajaran berharga—baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan—dalam mengelola sumber daya air di tengah tekanan populasi, ekonomi, dan perubahan iklim. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, dapat mengambil inspirasi dari inovasi, memperbaiki kelemahan, dan menghindari jebakan fragmentasi serta politisasi yang berlebihan.

Ketahanan air masa depan menuntut keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan komitmen pada keberlanjutan ekosistem. Hanya dengan pendekatan integratif dan adaptif, negara-negara dapat memastikan air tetap menjadi sumber kehidupan, bukan sumber konflik.

Sumber Artikel 

Peter J Crawford. A Critique of Water Security in Australia, China and Japan. University of New England, 2020.