Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Diplomasi Air sebagai Kunci Masa Depan Sumber Daya Global
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan persaingan lintas sektor, diplomasi air kini menjadi salah satu instrumen strategis dalam tata kelola sumber daya global. Paper “A State-of-the-Art Review of Water Diplomacy” karya Zareie dkk. (2021) menawarkan tinjauan komprehensif mengenai konsep, tantangan, dan solusi diplomasi air di tingkat lokal dan transboundary (lintas negara), sekaligus menyoroti relevansi pendekatan inovatif ini dalam mencegah konflik dan mendorong kerjasama berkelanjutan.
Artikel ini mengulas isi utama paper tersebut secara kritis, mengaitkan dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan perbandingan dengan literatur lain, agar lebih mudah dipahami dan relevan untuk pembaca luas.
Konsep Dasar: Air sebagai Sumber Daya Vital dan Kompleksitas Diplomasi
Air: Sumber Daya Terbatas, Kebutuhan Tak Terbatas
Air menempati posisi sentral dalam sistem sosial, ekonomi, dan ekologi. Meski 80% permukaan bumi tertutup air, hanya 1% yang layak dikonsumsi manusia. Menurut UNESCO, sekitar 20% populasi dunia tidak memiliki akses air minum yang aman, dan hampir 60% diprediksi akan mengalami kelangkaan air pada 2025 jika tren konsumsi saat ini berlanjut1.
Kebutuhan air tidak hanya untuk konsumsi domestik (8% dari total air tawar), tetapi juga industri (59% di negara maju, 8% di negara berkembang), dan pertanian—yang menyerap sekitar 70-75% air tawar global. Untuk menghasilkan 1 kg gandum dibutuhkan 1.000 liter air, sementara 1 kg daging sapi memerlukan hingga 43.000 liter air. Dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, tekanan terhadap air semakin besar, memperbesar potensi konflik antar sektor dan negara1.
Studi Kasus Konflik dan Kerjasama Air Lintas Negara
1. Sungai Euphrates-Tigris: Konflik dan Ketidakpastian
Sungai Euphrates dan Tigris melintasi Turki, Suriah, dan Irak, dengan Turki menyumbang 90% aliran sungai utama. Sejak 1960-an, pembangunan bendungan dan irigasi unilateral oleh Turki menimbulkan ketegangan dengan Suriah dan Irak, yang bergantung pada aliran air untuk pertanian dan kebutuhan domestik. Meski upaya kerjasama dilakukan sejak 2000-an, hingga kini belum tercapai kesepakatan formal yang mengikat1.
Angka Kunci:
2. Sungai Nil: Kerjasama dan Tantangan Baru
Basin Sungai Nil melibatkan 11 negara, dengan inisiatif Nile Basin Initiative (NBI) sejak 1999 yang berhasil meningkatkan kepercayaan dan kerjasama teknis. Namun, sejak 2007, perbedaan kepentingan antara negara hulu (Ethiopia) dan hilir (Mesir, Sudan) membuat negosiasi buntu, terutama terkait pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD)1.
Angka Kunci:
3. Sungai Helmand: Diplomasi Mandek di Asia Tengah
Konflik antara Afghanistan dan Iran atas Sungai Helmand dan Harirud telah berlangsung sejak 1870-an. Pada 1973, kedua negara sepakat Afghanistan mengalirkan 22 m³/s ke Iran, namun perjanjian ini tidak sepenuhnya dijalankan akibat perubahan politik di kedua negara1.
Dimensi Baru: Virtual Water dan Perdagangan Global
Konsep virtual water—air yang “terkandung” dalam produk pangan atau industri yang diperdagangkan antar negara—menjadi solusi inovatif untuk mengatasi kelangkaan air. Negara-negara Timur Tengah, misalnya, mengimpor produk pangan yang banyak membutuhkan air (seperti gandum, jagung) untuk menghemat air domestik. Volume perdagangan virtual water global naik dari 403 km³ (1965) menjadi 1.415 km³ (2010), dengan pertumbuhan rata-rata 2,7% per tahun1.
Studi Kasus:
Hukum Internasional dan Tata Kelola Air Lintas Negara
Kerangka Hukum: Dari Harmon Doctrine ke Helsinki Rules
Dua doktrin utama:
Helsinki Rules (1966) dan Konvensi PBB 1997 menjadi tonggak penting, menekankan penggunaan yang adil dan wajar, serta prinsip no-harm1.
Studi Kasus: European Water Framework Directive (WFD)
Uni Eropa sukses menerapkan WFD yang menekankan pengelolaan berbasis basin, kualitas air, dan partisipasi publik. Di Jerman, WFD berhasil meningkatkan perencanaan dan kualitas air sungai lintas negara1.
Manajemen Terpadu dan Diplomasi Air: Kunci Keberhasilan
Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi pendekatan utama, dengan bukti nyata penghematan air hingga 21,5% di lokasi yang menerapkan IWRM1. Namun, tantangan terbesar adalah kompleksitas institusi, perbedaan kapasitas negara, dan minimnya kerangka kerjasama di negara berkembang.
Perbandingan: Negara Maju vs Berkembang
Faktor Penyebab Konflik dan Solusi Diplomasi Air
Penyebab Konflik:
Solusi Diplomasi Air:
Analisis Kritis dan Opini
Kekuatan Paper:
Kritik dan Tantangan:
Perbandingan dengan Literatur Lain:
Penelitian Wolf et al. (2005) dan Susskind & Islam (2012) menekankan pentingnya trust-building dan data sharing sebagai prasyarat kerjasama. Paper ini sudah menyinggung, namun belum mendalami mekanisme trust-building lintas negara.
Tren Global: Diplomasi Air di Era Perubahan Iklim
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Diplomasi Air sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Diplomasi air bukan sekadar alat negosiasi, tetapi fondasi penting bagi pembangunan berkelanjutan, perdamaian, dan ketahanan pangan di era global. Dengan mengintegrasikan sains, hukum, ekonomi, dan diplomasi, serta belajar dari studi kasus lintas negara, dunia dapat menghindari “perang air” dan beralih ke era kerjasama yang saling menguntungkan. Paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dan mengembangkan diplomasi air di masa depan.
Sumber Artikel
A state-of-the-art review of water diplomacy, Soheila Zareie, Omid Bozorg-Haddad, Hugo A. Loáiciga, Environment, Development and Sustainability, 23(2):2337–2357, 2021.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Air, Diplomasi, dan Pentingnya Analisis Kekuatan
Diplomasi air lintas negara telah lama menjadi isu strategis di dunia yang semakin bergejolak akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekonomi yang meningkat. Namun, satu aspek yang sering terabaikan dalam literatur maupun praktik diplomasi air adalah peran kekuatan (power)—baik yang bersifat struktural, material, maupun ideasional—dalam membentuk hasil negosiasi dan pola interaksi antarnegara. Paper “Power in Water Diplomacy” oleh Sumit Vij, Jeroen Warner, dan Anamika Barua (Water International, 2020) mengajak pembaca untuk menelaah ulang bagaimana kekuatan, dalam berbagai bentuknya, menjadi faktor penentu dalam diplomasi air lintas batas, sekaligus membuka ruang bagi pendekatan yang lebih realistis dan adaptif dalam pengelolaan sumber daya air bersama1.
Artikel ini akan mengulas secara kritis isi paper tersebut, memperkaya dengan studi kasus nyata, angka-angka relevan, serta membandingkan dengan tren dan literatur global terkini. Dengan gaya bahasa populer dan struktur SEO-friendly, resensi ini diharapkan mampu menjangkau pembaca luas dan memberikan nilai tambah bagi diskursus diplomasi air di era kontemporer.
Mengapa Kekuatan Penting dalam Diplomasi Air?
Air bukan sekadar sumber daya ekonomi atau lingkungan, melainkan juga sumber kekuatan politik, simbol budaya, dan bahkan alat negosiasi strategis. Paper ini menyoroti bahwa hampir semua interaksi lintas batas terkait air—baik konflik maupun kerja sama—selalu dipengaruhi oleh dinamika kekuatan antaraktor, baik negara maupun non-negara12.
Tiga Wajah Air dalam Diplomasi:
Perbedaan persepsi ini membuat diplomasi air menjadi sangat kompleks dan penuh nuansa kekuatan, baik yang tampak (hard power) maupun yang tersembunyi (soft power)1.
Studi Kasus: Asimetri Kekuatan di Sungai Brahmaputra dan Mekong
1. Sungai Brahmaputra: Status Quo dan Non-decision Making
Salah satu studi kasus utama dalam paper ini adalah interaksi antara India, Bangladesh, dan China di basin Sungai Brahmaputra. India sebagai negara hulu memiliki posisi geografis yang kuat, mampu mengontrol aliran air melalui pembangunan bendungan dan infrastruktur lainnya. Namun, alih-alih menggunakan kekuatan ini secara agresif, India justru memilih mempertahankan status quo, karena menyadari adanya “kerentanan hegemonik”—yakni potensi backlash politik dan diplomatik jika bertindak sepihak12.
Bangladesh, di sisi lain, memilih strategi “wait and see” sambil memperkuat kapasitas teknis dan diplomasi, menunggu momentum yang tepat untuk negosiasi lebih lanjut. Situasi ini menciptakan apa yang disebut sebagai “non-decision making”—di mana tidak adanya keputusan besar justru merupakan hasil dari kalkulasi kekuatan dan kepentingan masing-masing pihak.
Angka Kunci:
2. Sungai Mekong: Paradigma Baru Diplomasi China
Studi lain menyoroti perubahan pendekatan China di Sungai Mekong. Sebagai negara hulu, China secara tradisional memiliki kekuatan besar, namun dalam beberapa tahun terakhir mulai menginisiasi kerjasama multilateral melalui Mekong-Lancang Cooperation (MLC), didorong oleh kepentingan geopolitik (Belt and Road Initiative) dan tekanan dari negara-negara hilir seperti Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam1.
Angka Kunci:
Dimensi Kekuatan dalam Diplomasi Air: Lebih dari Sekadar Geografi
Paper ini menekankan bahwa kekuatan dalam diplomasi air tidak hanya soal posisi geografis (hulu vs hilir), tetapi juga mencakup:
Studi tentang Sungai Rhine di Eropa, misalnya, menunjukkan bahwa negara hilir seperti Belanda dapat memanfaatkan kekuatan institusional dan ekonomi untuk menegosiasikan hak navigasi dan lingkungan, meski secara geografis kurang menguntungkan1.
Studi Kasus Lain: Peran Aktor Non-Negara dan Track II Diplomacy
Paper ini juga mengangkat peran penting aktor non-negara dalam diplomasi air, terutama ketika diplomasi formal (Track I) menemui jalan buntu. Contoh nyata adalah inisiatif Ecopeace di Jordan River Basin, yang berhasil membangun kapasitas desalinasi dan pertukaran energi antara Israel, Yordania, dan Palestina melalui diplomasi informal (Track II)1.
Di Columbia River Basin (AS-Kanada), keterlibatan LSM, universitas, dan komunitas lokal dalam proses negosiasi terbukti meningkatkan transparansi dan kualitas keputusan, meski secara hukum tidak wajib dilibatkan13.
Dinamika “Non-decision Making” dan Status Quo: Ketika Tidak Ada Keputusan Adalah Keputusan
Salah satu kontribusi utama paper ini adalah pengenalan konsep “non-decision making” dalam diplomasi air lintas batas. Dalam banyak kasus, negara-negara memilih untuk tidak mengambil keputusan besar demi menjaga stabilitas atau melindungi kepentingan domestik. Hal ini terlihat jelas di basin Brahmaputra dan kawasan Amerika Tengah, di mana status quo dijaga melalui kombinasi kekuatan material dan ideasional, serta pengaruh aktor eksternal seperti Uni Eropa1.
Kritik dan Analisis: Kekuatan, Kepercayaan, dan Tantangan Masa Depan
A. Kelebihan Paper
B. Tantangan dan Kritik
Tren Global: Dari Power Politics ke Water Diplomacy Kolaboratif
Literatur dan praktik terbaru menunjukkan pergeseran dari paradigma power politics menuju diplomasi air yang lebih kolaboratif dan inklusif, dengan menekankan:
Rekomendasi untuk Diplomasi Air Masa Depan
Menata Ulang Diplomasi Air di Era Ketidakpastian
“Power in Water Diplomacy” menawarkan lensa baru untuk memahami diplomasi air lintas negara: bukan sekadar soal kerjasama atau konflik, tetapi tentang bagaimana kekuatan—dalam berbagai bentuknya—membentuk, menghambat, atau justru membuka peluang bagi solusi inovatif dan damai. Dengan belajar dari berbagai studi kasus dan mengadopsi pendekatan yang lebih realistis, diplomasi air dapat menjadi katalis perdamaian dan pembangunan berkelanjutan, asalkan kekuatan diakui, dikelola, dan diarahkan untuk kepentingan bersama.
Sumber Artikel
Power in water diplomacy, Sumit Vij, Jeroen Warner & Anamika Barua, Water International, 45:4, 249-253, DOI: 10.1080/02508060.2020.1778833.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Krisis Air Global dan Tantangan Pembiayaan
Air adalah fondasi kehidupan, ekonomi, dan ketahanan ekosistem. Namun, dunia kini menghadapi krisis air yang semakin akut—baik kelebihan, kekurangan, maupun polusi air—yang diperparah oleh perubahan iklim. Menurut laporan World Bank, pada 2030 dunia diproyeksikan mengalami kekurangan air sebesar 40% dari kebutuhan, sementara lebih dari 2,3 miliar orang belum memiliki akses air minum aman dan 3,6 miliar tidak memiliki sanitasi layak. Krisis ini menyebabkan kerugian ekonomi global hingga US$470 miliar per tahun, dan pada 2050 kerugian akibat banjir dan kekeringan bisa mencapai US$5,6 triliun1.
Di tengah urgensi tersebut, investasi di sektor air masih jauh dari memadai. Hanya sekitar 0,44% PDB global dialokasikan untuk air, jauh dari kebutuhan US$6,7 triliun pada 2030 dan US$22,6 triliun pada 2050. Laporan “Scaling Up Finance for Water: A World Bank Strategic Framework and Roadmap for Action” (Khemka, Lopez, Jensen, 2023) menjadi rujukan strategis dalam menjawab tantangan pembiayaan air secara global, khususnya mendorong keterlibatan sektor swasta dan inovasi keuangan.
Latar Belakang: Mengapa Pembiayaan Air Tertinggal?
Hambatan Utama
Kerangka Strategis: Empat Pilar Utama World Bank
World Bank menawarkan empat arah strategis untuk mengatasi gap pembiayaan air:
1. Membangun Enabling Environment
2. Mobilisasi Keahlian dan Modal Swasta
3. Diversifikasi Solusi Pembiayaan
4. Meningkatkan Resiliensi Iklim
Roadmap 10 Langkah Menuju Sektor Air yang Terpadu dan Layak Investasi
World Bank merumuskan roadmap 10 langkah yang dapat disesuaikan dengan konteks tiap negara:
Studi Kasus: Inovasi Pembiayaan Air di Berbagai Negara
1. Angola Bita Water Project
2. Jordan AS Samra Wastewater Project
3. Metro Manila Wastewater Management
4. Vietnam Clean Water Bond
5. Indonesia National Urban Water Supply Program
Analisis Angka dan Dampak Global
Tantangan dan Kritik
Kelemahan Utama
Kritik dan Saran
Relevansi dengan Tren Global dan Industri
Rekomendasi: Jalan Menuju Sektor Air yang Berkelanjutan
Menuju Masa Depan Air yang Aman dan Layak Investasi
Laporan World Bank ini menegaskan bahwa krisis air adalah tantangan global yang hanya bisa diatasi melalui kolaborasi lintas sektor, inovasi pembiayaan, dan reformasi tata kelola. Dengan roadmap strategis dan studi kasus nyata, laporan ini menjadi panduan penting bagi negara berkembang dan maju untuk menutup gap investasi air, memperkuat ketahanan iklim, dan memastikan air sebagai hak dasar dan motor pertumbuhan ekonomi. Masa depan sektor air ada di tangan mereka yang berani berinovasi, berkolaborasi, dan berinvestasi secara berkelanjutan.
Sumber Artikel
Khemka, Rochi, Patricia Lopez, and Olivia Jensen. 2023. Scaling up Finance for Water: A World Bank Strategic Framework and Roadmap for Action. Washington, DC: World Bank.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Krisis Air di Kawasan Indus dan Kompleksitas Politik
Air adalah kebutuhan dasar kehidupan yang sangat vital bagi manusia dan ekosistem. Namun, pengelolaan air yang efektif menjadi tantangan besar, terutama di kawasan sungai lintas batas seperti Indus River Basin yang dibagi antara Pakistan dan India. Kedua negara ini menghadapi krisis air yang parah, dengan jutaan warga terdampak kekurangan air bersih dan polusi. Paper “Pakistan, India and the Indus River Basin” oleh Muquadas Ilyas (2023) mengkaji secara mendalam bagaimana konflik politik, manajemen air yang lemah, dan ketegangan geopolitik memperburuk krisis ini.
Latar Belakang: Pentingnya Indus River Basin
Konflik Politik dan Dampaknya pada Manajemen Air
Ketegangan Sejarah
Indus Waters Treaty (IWT) 1960
Manajemen Air: Kelemahan dan Tantangan di Pakistan dan India
Informasi dan Data Manajemen
Polusi Air
Konservasi Air
Studi Kasus: Baghlihar Dam dan Dampaknya
Pelajaran dari Pengelolaan Sungai Lintas Negara Lain
Opini dan Rekomendasi
Opini
Rekomendasi
Menuju Pengelolaan Air yang Adil dan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa krisis air di Indus River Basin bukan hanya akibat faktor alam, tetapi juga kegagalan manajemen dan konflik politik yang berkepanjangan antara Pakistan dan India. Pengelolaan air yang efektif memerlukan data akurat, penegakan hukum yang kuat, konservasi, dan kerjasama lintas batas yang konstruktif. Pembelajaran dari sungai lintas negara lain dapat menjadi inspirasi untuk memperbaiki mekanisme yang ada. Dengan upaya bersama dan reformasi, kedua negara dapat mengatasi krisis air yang mengancam jutaan jiwa dan stabilitas regional.
Sumber Artikel
Muquadas Ilyas. Pakistan, India and the Indus River Basin. Master’s Thesis, City College of New York, 2023.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Mengapa Hydro-Economic Modeling (HEM) Kian Penting?
Pengelolaan sumber daya air menghadapi tantangan yang semakin kompleks akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan tekanan ekonomi yang meningkat. Hydro-Economic Modeling (HEM) muncul sebagai pendekatan integratif yang menggabungkan aspek biophysical, ekonomi, dan sosial untuk mendukung pengambilan keputusan dalam pengelolaan air yang berkelanjutan dan adaptif. Paper oleh J. Pablo Ortiz-Partida dkk. (2023) mereview perkembangan terkini aplikasi HEM, menyoroti kategori utama aplikasi, teknik pemodelan, serta tantangan yang masih dihadapi dan potensi inovasi ke depan.
Kerangka dan Metodologi Review
Penulis melakukan tinjauan literatur sistematis terhadap 169 artikel peer-reviewed yang dipublikasikan antara 2009 hingga Juli 2020, dengan fokus pada lima kategori utama aplikasi HEM:
Metode pemilihan artikel menggunakan kata kunci primer dan sekunder terkait ekonomi air, perubahan iklim, dan pengelolaan sumber daya. Analisis mendalam dilakukan terhadap teknik pemodelan, skala spasial dan temporal, variabel yang digunakan, serta implikasi kebijakan.
Teknik Pemodelan dan Karakteristik HEM
Optimasi vs Simulasi
Skala Spasial dan Temporal
Variabel yang Diperhitungkan
Aplikasi Utama HEM dan Studi Kasus Penting
1. Dampak Perubahan Iklim dan Adaptasi
HEM digunakan untuk mengevaluasi dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air dan sektor terkait. Misalnya, model di California menunjukkan bahwa pengelolaan air tanah dapat menjadi buffer penting selama kekeringan, mengurangi dampak ekonomi (Foster et al., 2017). Studi di Mediterania menyoroti perlunya kebijakan adaptasi berbasis skenario ekstrem untuk mengurangi kerugian di sektor pertanian (Escriva-Bou et al., 2017).
2. Manajemen Nexus Air-Pangan-Energi-Ekosistem
HEM membantu mengoptimalkan alokasi air antara irigasi, pembangkit listrik, dan kebutuhan lingkungan. Contoh di Sungai Mekong dan Amu Darya menunjukkan bahwa pengelolaan terintegrasi dapat meningkatkan produksi energi dan pertanian tanpa mengorbankan ekosistem (Jalilov et al., 2016; Do et al., 2020). Di wilayah kering seperti Afrika, pengelolaan air tanah yang berkelanjutan sangat krusial untuk ketahanan pangan (Gohar et al., 2019).
3. Integrasi dengan Model Sektor Lain
Penggabungan HEM dengan model iklim, agronomi, dan ekonomi memungkinkan analisis yang lebih holistik. Misalnya, penggabungan model agronomi dengan HEM di Murray-Darling Basin, Australia, membantu mengidentifikasi jenis tanaman yang lebih tahan iklim ekstrem (Qureshi et al., 2013). Model multi-agen juga digunakan untuk menggambarkan perilaku pengguna air dan interaksi sosial-ekonomi (Yang et al., 2009).
4. Kebijakan Pasar Air dan Harga
HEM digunakan untuk merancang kebijakan harga air yang efisien dan adil, serta menilai potensi pasar air dalam mengatasi kelangkaan. Studi di Valencia, Spanyol, mengembangkan tarif air berbasis kelangkaan yang meningkatkan efisiensi penggunaan (Lopez-Nicolas et al., 2018). Di California, pasar air membantu mengurangi kerugian pertanian hingga 7% selama kekeringan (Jiang dan Grafton, 2012).
5. Pengelolaan Ketidakpastian dan Risiko
Model stochastic dan optimasi dinamis semakin banyak digunakan untuk mengatasi ketidakpastian iklim dan pasar. Misalnya, model reservoir multi-dam di Spanyol mengadopsi stochastic dual dynamic programming untuk mengoptimalkan operasi di bawah variabilitas aliran (Macian-Sorribes et al., 2017). Pengelolaan risiko juga penting dalam pengoperasian pembangkit listrik hidro dan penilaian dampak bencana (Foster et al., 2015).
Kelemahan dan Tantangan HEM Saat Ini
Nilai Tambah dan Tren Masa Depan
Studi Kasus dan Angka Penting
HEM sebagai Alat Strategis Pengelolaan Air Masa Depan
Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kemajuan dan tantangan hydro-economic modeling dalam konteks pengelolaan sumber daya air global. HEM telah berkembang dari alat evaluasi proyek menjadi sistem pendukung keputusan yang mengintegrasikan aspek hidrologi, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, agar HEM dapat benar-benar efektif, perlu ada peningkatan dalam representasi ekosistem, integrasi data sosial, peningkatan resolusi model, dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan pertumbuhan permintaan air, HEM menawarkan kerangka kerja yang adaptif dan holistik untuk merancang kebijakan dan investasi yang berkelanjutan. Ke depan, pengembangan model yang lebih operasional dan inklusif akan menjadi kunci untuk meningkatkan ketahanan air dan kesejahteraan masyarakat secara global.
Sumber Artikel
J. Pablo Ortiz-Partida, Angel Santiago Fernandez-Bou, Mahesh Maskey, José M. Rodríguez-Flores, Josué Medellín-Azuara, Samuel Sandoval-Solis, Tatiana Ermolieva, Zoe Kanavas, Reetik Kumar Sahu, Yoshihide Wada, Taher Kahil. Hydro-Economic Modeling of Water Resources Management Challenges: Current Applications and Future Directions. Water Economics and Policy, Vol. 9, No. 1 (2023) 2340003.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Ketahanan Air sebagai Pilar Keamanan Nasional
Dalam beberapa dekade terakhir, krisis air telah menjadi isu strategis yang menempati peringkat teratas dalam risiko global menurut World Economic Forum. Air tidak hanya menopang kesehatan manusia dan ekosistem, tetapi juga menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, dan stabilitas sosial. Peter J. Crawford dalam disertasi doktoralnya, “A Critique of Water Security in Australia, China and Japan” (2020), melakukan analisis mendalam terhadap bagaimana tiga negara kunci di Asia-Pasifik—Australia, China, dan Jepang—mengelola ketahanan air melalui kebijakan, program, proyek besar, dan instrumen hukum.
Artikel ini akan merangkum, mengkritisi, dan mengaitkan temuan Crawford dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi berbasis data. Fokus utama adalah membedah tantangan, capaian, dan pembelajaran dari ketiga negara, serta relevansinya bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa.
Kerangka Analisis: Empat Domain dan Empat Faktor Penentu Ketahanan Air
Crawford membangun kerangka evaluasi yang solid, menggabungkan empat domain ketahanan air (negara, kesejahteraan manusia, lingkungan, dan pengguna konsumtif) dengan empat faktor penentu utama:
Pendekatan ini memastikan analisis yang konsisten dan komparatif antarnegara, serta mengidentifikasi hambatan sistemik dan peluang reformasi.
Studi Kasus 1: Australia—Antara Inovasi dan Fragmentasi
Tantangan Utama
Kebijakan dan Kerangka Hukum
Studi Kasus: Murray-Darling Basin
Kelebihan dan Kritik
Studi Kasus 2: China—Antara Megaproyek dan Krisis Keseimbangan
Tantangan Utama
Kebijakan dan Reformasi
Studi Kasus: SNWDP
Kelebihan dan Kritik
Studi Kasus 3: Jepang—Stabilitas Tinggi, Ancaman Baru
Tantangan Utama
Kebijakan dan Tata Kelola
Studi Kasus: Penanganan Banjir dan Infrastruktur
Kelebihan dan Kritik
Analisis Komparatif: Apa yang Bisa Dipelajari?
Tren Global dan Relevansi
Kritik, Opini, dan Rekomendasi
Kritik Utama
Opini dan Saran
Menuju Ketahanan Air Abad ke-21
Disertasi Crawford menegaskan bahwa ketahanan air adalah bagian tak terpisahkan dari keamanan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Australia, China, dan Jepang menawarkan pelajaran berharga—baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan—dalam mengelola sumber daya air di tengah tekanan populasi, ekonomi, dan perubahan iklim. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, dapat mengambil inspirasi dari inovasi, memperbaiki kelemahan, dan menghindari jebakan fragmentasi serta politisasi yang berlebihan.
Ketahanan air masa depan menuntut keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan komitmen pada keberlanjutan ekosistem. Hanya dengan pendekatan integratif dan adaptif, negara-negara dapat memastikan air tetap menjadi sumber kehidupan, bukan sumber konflik.
Sumber Artikel
Peter J Crawford. A Critique of Water Security in Australia, China and Japan. University of New England, 2020.