Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 10 Mei 2024
Sebagai upaya pertahanan keamanan atas wilayah udara nasional secara mandiri, Pusat Riset Geoinformatika – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan riset geoinformatika. Salah satunya terkait dengan penginderaan jauh optik dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan informasi bagi intelejen.
Data satelit optik dapat digunakan untuk pengenalan obyek sasaran operasi. Seperti contoh melalui data citra dampak dari perang Rusia-Ukraina dan titik serangan pada konflik Gaza dapat terlihat. Demikian yang disampaikan Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Geoinformatika – BRIN, Udhi Catur Nugroho dalam kegiatan Sarasehan Komunitas Intelijen Komando Operasi Udara Nasional (Koopsudnas) di Jakarta pada Rabu (6/3).
“Pemantauan citra satelit dapat difungsikan sebagai data awal sebelum operasi drone dilakukan,” tutur Udhi.
Udhi menyebutkan sarasehan ini diselanggarakan untuk mewujudkan kedaulatan dan keutuhan serta kepentingan lain dari NKRI. Menurutnya dalam perkembangan lingkungan strategis, terdapat kecenderungan potensi ancaman yang semakin kompleks. Hal tersebut sebagaimana disampaikan Pangkoopsudnas Marsdya TNI, Tedi Rizalihadi S.
“Untuk itu, intelijen Koopsudnas diharapkan memiliki kemampuan yang memadai untuk mendeteksi dan mengantisipasi setiap bentuk ancaman, baik yang bersifat potensial maupun nyata,” ucap Udhi.
Sementara itu, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Geoinformatika - BRIN, Joko Widodo menjelaskan terkait penggunaan data citra satelit radar untuk mendukung TNI AU. Selain data radar dapat digunakan untuk mengidentifikasi dampak kerusakan di wilayah pemukiman akibat perang, citra data radar pun dapat melihat zona penurunan tanah atau subsidence yang terjadi di Indonesia.
“Informasi ini dapat bermanfaat bagi TNI dalam menjaga keamanan infrastruktur pertahanan yang sudah dibangun serta dapat digunakan pada perencanaan penempatan alat utama sistem senjata atau alutsista TNI AU,” pungkas Joko.
Disamping itu, para Asisten Kaskoopsudnas juga mengharapkan komunikasi antara Koopsudnas TNI AU dengan Pusat Riset Geoinformatika - BRIN terus berlanjut. Mengingat bahwa riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional diperlukan untuk mendukung kebutuhan di TNI AU. Sebagai informasi kegiatan sarasehan ini dihadiri oleh para pejabat intelijen dari Makoopsudnas maupun Satuan jajaran Koopsudnas.
Sumber: https://brin.go.id/
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024
Kecerdasan Artifisial telah menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam). Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, Anto Satriyo Nugroho mengatakan, berbagai teknologi AI diperlukan untuk riset di bidang Hankam misalnya Computer Vision, Machine Learning (ML), Cyber Security, Natural Language Processing (NLP) dan berbagai teknologi lainnya.
“Intinya teknologi AI membuat sistem lebih cerdas dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,” tegas Anto saat membuka Webinar PRKAKS seri 1 bertajuk Kecerdasan Artifisial dan Aplikasinya di bidang Pertahanan dan Keamanan pada Kamis, (7/3) di Bandung.
Menurut Anto, di Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber terdapat beberapa peneliti yang menekuni kecerdasan artifisial dan penerapannya di bidang Hankam. Ia berpesan bahwa pemanfaatan teknologi Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber harus dibarengi dengan penguasaan teknologi tersebut secara nasional, melalui kegiatan penelitian terhadap teknologi utama dan penggunaannya di berbagai bidang pembangunan yang bertanggung jawab.
Perekayasa Ahli Madya PRKAKS - BRIN, Achmad Farid Wadjdi memberikan reviu terhadap riset berjudul meningkatkan ketahanan siber melalui praktik terbaik Internet of Battlefield Things (IoBT). IoBT merupakan sebutan pengelompokan pengaplikasian Internet of things atau IoT untuk operasi pertempuran modern dan peperangan cerdas. Achmad menuturkan penting untuk memahami terlebih dahulu tentang konsep pertahanan negara yaitu militer dan nirmiliter.
“Jadi ketika bicara IoT itu banyak menyebutkan Internet of Military Things (IoMT) atau Internet of Defense Things (IoMT) dan Internet of Battlefield Things (IoBT) maka kalau kita membahas ini kita akan lebih banyak membahas bagaimana security di militer itu diterapkan,” paparnya.
Eddy Maruli Tua Sianturi, sebagai pemateri kedua pada webinar tersebut menjelaskan tentang konseptualisasi pengukuran Indeks Bela Negara (IBN) sebagai gambaran seberapa penting Konsep Bela Negara perlu diukur untuk rekomendasi operasionalisasi pembinaan Bela Negara yang lebih baik. Eddy berpendapat, pengukuran IBN bukan hanya mengukur rasa bangga warga berupa patriotisme dan nasionalisme tetapi juga mengukur kekuatan niat warga untuk membela negara.
“Pengukuran IBN memungkinkan pendekatan yang lebih luas, mendalam dan responsif terhadap dinamika sosial politik saat ini. Namun penting juga untuk mempertimbangkan tantangan seperti bias data, privasi dan keamanan data dalam konseptualisasi IBN,” tegas Perekayasa Ahli Madya PRKAKS- BRIN tersebut.
Sementara itu, Perekayasa Ahli Madya PRKAKS - BRIN Jemie Muliadi, menyampaikan metode sistem kendali cerdas atau Intelligent Control System dalam penegakan hukum dan kedaulatan Negara. Jemie mengatakan metode tersebut mampu mengatasi sistem non linear yang sulit untuk disederhanakan lalu sistem dengan kopling silang yang sulit dipisahkan dan sistem yang perubahan parameternya signifikan terhadap waktu.
“Metode sistem kendali cerdas memberikan pengendalian yang akurat sesuai sinyal referensi atau input yang diberikan. Metode ini dapat berperan dalam aspek penegakan hukum dan kedaulatan Negara, khususnya pada kondisi yang membutuhkan pergerakan cepat dan penuh ketidakpastian,” pungkasnya.
Sumber: https://brin.go.id/
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024
Luk Ulo atau Luk Ula atau Lukulo adalah sungai yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Sungai yang biasa disebut Kali Lukulo ini mengalir dari utara ke selatan dan melintasi dua kabupaten yaitu Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Wonosobo sepanjang kurang lebih 68,5 Km. Sungai Luk Ulo dikenal sebagai sungai yang memiliki nilai geologi sangat tinggi. Wilayah hulu Sungai Luk Ulo berada di Cagar Alam Geologi Karangsambung.
Melange Luk Ulo di Jawa Tengah, merupakan himpunan/percampuran blok-blok batuan Pra-Tersier. Tertanam dalam matriks batu lempung bersisik yang ditafsirkan sebagai produk subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah Eurasia pada Kapur Akhir hingga Paleosen Awal. Hal ini masih menyimpan misteri dan tantangan untuk terus dilakukan riset yang lebih komprehensif dan detail.
Muhammad Zain Tuakia, Peneliti Ahli Muda dari Pusat Riset Sumber Daya Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan sebuah riset mengenai kondisi tentang pembentukan Mélange Jatisamit. Mélange ini sebagai salah satu unit dari Melange Luk Ulo, yang tersingkap di sepanjang Sungai Cacaban, Kecamatan Karanggayam.
Zain memberikan sebuah update mengenai Formation conditions and new age constraint of the Jatisamit Mélange in the Luk Ulo area, Central Java, Indonesia. Ia memaparkannya dalam Webinar Digdaya (Diskusi Geologi Sumber Daya) #12 yang digelar oleh Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN dengan judul An Update from Luk Ulo, Karangsambung: Tectonic, Geoheritage, and Mineral Deposit, pada Kamis (7/3).
Karakteristik formasi dan umur yang terkait dengan suatu peristiwa tektonik sangat penting untuk menjelaskan asal-usul pembentukan Mélange Luk Ulo.
“Adapun sedimen Paleogen di atasnya berupa formasi Karangsambung dan Totogan, mempunyai karakteristik litologi dan struktur yang serupa. Meliputi struktur blok batuan yang tertanam dalam matriks batulempung bersisik, namun terbentuk melalui proses yang berbeda. Dikenal juga sebagai olistostrome yang masih menyiratkan kompleksitas mengenai asal-usul pembentukannya,” kata Zain.
Lebih lanjut dia menerangkan, pemetaan geologi di lapangan harus terus dilakukan secara detail di seluruh bagian wilayah Luk Ulo yang satuan batuannya tersingkap. “Dari riset ini, kami menyimpulkan, proses percampuran dalam pembentukan Mélange Luk Ulo, Karangsambung, berhubungan dengan peristiwa kolisi lempeng mikro Jawa Timur pada umur Eosen-Oligosen,” ucapnya.
Menurutnya, hal ini didasarkan dari temuan maksimum umur relatif dari pengendapan matriks unit-unit melange menunjukan umur Eosen Tengah sampai Oligosen Awal, yang diperoleh dari himpunan nanofosil karbonatan. Selain itu, maksimum temperatur metamorfisme relatif rendah, diperoleh dari analisis lempung, yaitu illite crystallinity.
“Dalam matriks mélange menyiratkan bahwa sebuah proses percampuran pada kedalaman yang relatif dangkal pada sebuah zona sesar yaitu sesar naik, lebih relevan dalam pembentukan Mélange Luk. Ke depan, penelitian lebih lanjut harus terus dilakukan untuk mengungkapkan misteri yang masih terkandung,” pungkasnya.
Turut menjadi narasumber pada Webinar Digdaya #12 Dr. Chusni Ansori, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN dengan judul paparan The linkage of geological parameters to cultural diversity at Kebumen Geopark dan juga Renaldi Suhendra, Postdoctoral fellow Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN dengan menjelaskan What is the source of placer gold deposits in the Karangsambung area?. (nu/ ed. ns)
Sumber: https://brin.go.id/
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024
Kementerian Agama (Kemenag) menggunakan kriteria baru yang mengacu pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021. Penerapan kriteria baru MABIMS berdampak pada perubahan dalam penghitungan dan penetapan awal bulan Hijriah.
Berdasarkan pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021 kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022. Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Astronomi, Prof Thomas Djamaludin dalam acara Media Lounge Discussion (MELODI) di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Jumat (8/3).
Adanya perubahan kriteria tersebut, berpengaruh terhadap penentuan awal bulan Hijriah. Terutama di Indonesia, yang menggunakan metode hisab dan rukyat. Prof Thomas Djamaludin menuturkan bahwa rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) secara astronomi dinilai setara dalam penentuan awal bulan Hijriah. Sehingga, tidak ada dikotomi antara rukyat dan hisab.
“Metode rukyat hilal diterapkan pada tanggal 29 Hijriah untuk melaksanakan contoh Rasul (ta’abudi). Agar rukyat akurat, arahnya dibantu dengan hasil hisab. Hisab bisa digunakan untuk membuat kalender sampai waktu yang panjang di masa depan. Agar hisab merujuk juga pada contoh Rasul, maka kriterianya dibuat sesuai dengan hasil rukyat jangka panjang, berupa data visibilitas hilal atau imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat),” jelasnya.
Thomas memaparkan bahwa dengan perhitungan ini berpotensi akan ada perbedaan awal puasa pada bulan Ramadhan tahun ini, namun akan ada kesamaan pada awal bulan Syawal. Sehingga awal puasa diperkirakan akan dimulai pada tanggal 12 Maret 2024, dan Idul Fitri atau 1 Syawal 1445 Hijriah akan jatuh bersamaan pada tanggal 10 April 2024.
“Terkait perbedaan yang terjadi lebih karena perbedaan kriteria dan perbedaan otoritas yang belum bisa disatukan, tetapi Kementerian agama dan Majelis Ulama Indonesia terus mengupayakan adanya persamaan. Perbedaan yang ada harus kita hormati namun upaya untuk mencari titik temu harus kita teruskan,” pesan Thomas.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Sub Direktorat Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama, Ismail Fahmi menyampaikan bahwasanya penentuan awal bulan Hijriah dengan kriteria yang baru perhitungannya lebih scientific ketimbang kriteria yang terdahulu. Tetapi kalau ternyata dengan kriteria yang baru ada koreksi, maka Kementerian Agama akan koreksi untuk selanjutnya karena memang untuk kesejahteraan umat.
Namun demikian menurutnya sidang isbat masih tetap diperlukan. Sidang isbat adalah forum bersama, forum musyawarah umat islam dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
“Semoga apa yang dimusyawarahkan bisa menjadi pedoman bagi masyarakat dan juga bisa menjadi ketenangan dalam menjalankan ibadah Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah,” jelas Ismail.
Ia berharap walaupun hasilnya nanti ada perbedaan masyarakat juga harus tetap menjaga keharmonisan.
“Perbedaan itu adalah rahmat, tetapi kalau berbeda saja menjadi rahmat apalagi jika kita bisa bersatu,” pesan Ismail.
Sumber: https://brin.go.id/
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024
Bahasa Saparua merupakan bahasa daerah yang termasuk dalam kategori terancam punah yang dituturkan di Pulau Saparua, Provinsi Maluku. Berdasarkan data Ethnologue, diperkirakan jumlah penutur bahasa telah berkurang hingga 8500 penutur dan saat ini hanya menyisakan sekitar 1500 penutur. Sebagai upaya pendokumentasian bahasa terancam punah tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) menggelar kegiatan webinar bertajuk Dokumentasi Bahasa Saparua, Jumat (8/3).
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara dalam sambutannya menjelaskan bahwa kegiatan ini memiliki keunikan tersendiri. Karena ini merupakan wadah diseminasi riset, saling berbagi pengalaman, dan belajar dari suatu program riset kolaborasi dari Endangeres Languages Documentation Programme (ELDP) Jerman untuk mendokumentasikan bahasa di Saparua.
"Kolaborasinya melibatkan periset BRIN, scholar dari Amerika, dan juga yang paling penting adalah melibatkan masyarakat melalui kolaborasi dengan masyarakat penutur atau masyarakat adat. Dalam kegiatan ini juga tim akan menceritakan pengalamannya secara rinci mengenai tahapan kegiatan riset mulai dari pembuatan proposal," jelasnya.
Peneliti PR PBS BRIN, Khairunnisa memerinci penyebab kepunahan Bahasa Saparua. Di antaranya pengaruh dari masa penjajahan Belanda selama 350 tahun di Maluku yang melakukan Kristenisasi. Hal ini cukup berdampak lantaran Bahasa Saparua dituturkan di desa dengan mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam.
"Terjadinya konflik Maluku di tahun 1998-2001 juga berdampak terhadap kepunahan bahasa Saparua, selain juga pengaruh migrasi, globalisasi, dan juga kebijakan wajib berbahasa Indonesia," urainya.
Secara garis besar, ia menjelaskan upaya preservasi Bahasa Saparua melalui program riset kolaborasi ELDP. Misinya mendorong dokumentasi dan penelitian lapangan, menciptakan sumber pustaka linguistik, ilmu-ilmu sosial, komunitas mengenai bahasa terancam punah, serta membuat koleksi dokumenter yang tersedia secara bebas.
Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti PR PBS BRIN lainnya, Erniati. Ia mengungkapkan berbagai tahapan teknis terkait riset yang akan dilakukan dalam upaya preservasi bahasa. Mulai dari proposal, bentuk dokumentasi, pelatihan dokumentasi bahasa, pengambilan data, pengolahan data, pengarsipan di repository The Endangered Languages Archive (ELAR), dan terakhir adalah publikasi.
Sementara itu, Peneliti dari Bennington College, Leah Pappas mengatakan bahwa masyarakat penutur sering kali tidak menyadari sikap terhadap bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, riset tentang sikap bahasa dalam hal ini Bahasa Saparua merupakan hal yang penting.
"Riset sikap bahasa dapat memberikan gambaran mendalam terhadap kondisi bahasa dan penutur yang mempengaruhi vitalitas bahasa. Di samping itu bahasa adalah milik penutur sehingga sikap mereka sangat mempengaruhi keberlangsungan bahasa," katanya.
Dalam salam penutupnya, Kepala PR PBS BRIN, Katubi menuturkan banyaknya bahasa yang terancam punah khususnya bahasa-bahasa daerah di Papua. "Beberapa tim PR PBS BRIN telah melakukan pendokumentasian bahasa dan sastra di Papua namun karena saking banyaknya hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam 1-2 tahun selesai," tuturnya.
"Kita semua bisa saling berkolaborasi, dari manapun. Memang kerja kolaborasi itu menjadi penting terutama yang saling menopang, saling mendukung kompetensinya," pungkasnya.
Sumber: https://brin.go.id/
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024
Pertanian memiliki peran strategis dalam mendukung ketahanan pangan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan mengatasi tantangan utama yang dihadapi dalam budidaya tanaman pangan, salah satunya adalah hama dan gulma.
“Hama dan gulma merupakan dua faktor utama memberikan dampak negatif terhadap produktivitas tanaman. Hama dapat merusak tanaman, mengurangi hasil panen, bahkan menyebabkan kerugian finansial yang signifikan. Adapun gulma seringkali bersaing dengan tanaman untuk mendapatkan nutrisi, air, dan cahaya matahari sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan kualitas asil panen,” ungkap Puji Lestari selaku Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN saat memberi sambutan webinar Teras TP #1, Kamis (07/03).
Puji menambahkan dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan global, peran periset dalam menjaga ketahanan pangan sangat penting. Butuh komitmen kita bersama untuk menciptakan lingkungan pertanian yang sehat dan berkelanjutan, di mana hama dan gulma tidak lagi menjadi ancaman serius bagi tanaman pangan kita.
Pada kesempatan yang sama, Yudhistira Nugraha selaku Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan (PRTP) mengungkapkan bahwa organisme pengganggu tanaman baik hama, penyakit, maupun gulma merupakan penghambat produksi. Saat ini, intensitas serangan hama semakin hari semakin meningkat karena adanya perubahan iklim.
“Pengendalian hama diharapkan tidak sampai merusak lingkungan. Beberapa alternatif teknologi seperti rekayasa lingkungan, menyediakan musuh alami, atau menggunakan pestisida," ungkap Yudhistira.
Muhammad Yasin Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN memaparkan materinya yang berjudul, Hama Utama Tanaman Jagung dan Pengendaliannya.
“Pada jagung, terdapat tiga hama utama jagung yaitu ulat grayak, hama penggerek batang, dan penggerek tongkol. Ulat grayak adalah serangga asli daerah tropis Amerika Serikat hingga Argentina. Larva ulat grayak dapat menyerang lebih dari 80 spesies tanaman termasuk tanaman jagung, padi sorgum, jewawut, tebu, sayuran, kapas. Penggerek batang jagung, selain jagung juga dapat menyerang tanaman sorgum dan gandum. Selain itu, ada penggerek tongkol jagung yang menjadi hama utama komoditas ini.
“Pengendalian hama terpadu (PHT) pada prinsipnya memadukan komponen-kompenen teknologi pengendalian seperti varietas tahan, waktu tanam, tanam serempak, eradikasi tanaman terinfeksi, pestisida sintetik, pengendalian nabati dan hayati.” imbuhnya.
Narasumber kedua Rohimatun Peneliti Ahli Muda, Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, dengan materi “Insektisida Nabati untuk Pengendalian Hama Tanaman Pangan dan Keamanan Hayatinya”.
Rohimatun menyampaikan, saat ini terlihat adanya peningkatan minat terhadap insektisida nabati yang disebabkan oleh meningkatnya kesadaran mengenai dampak negatif insektisida sintetik, meluasnya penerapan konsep PHT, berkembangnya pertanian organik, upaya pelestarian lingkungan dan perjanjian perdagangan internasional (sanitary and phytosanitary measures) yang membatasi kadar residu pestisida di dalam produk pertanian.
Selain itu, Rohimatun mengatakan bahwa insektisida nabati merupakan bahan kimia yang berasal dari tumbuhan yang dapat mengakibatkan satu atau lebih pengaruh biologi terhadap OPT, baik respon fisiologi seperti pertumbuhan dan perkembangan, maupun tingkah laku seperti aktivitas makan dan peneluran. Syarat penggunaan bahan organik untuk dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah aman terhadap lingkungan dan organisme berguna non target, tidak bersifat antagonis jika dicampur, dan bahan bakunya mudah didapat.
“Beberapa kategori insektisida nabati yaitu sebagai racun syaraf atau neurotoksik Piretrin, racun respirasi Rotenon, penghambat fungsi hormon serangga, penghambat makan, pengusir/repellent, pemikat/attractant, dan pemandul,” ujar Rohimatun.
“Kelebihan insektisida nabati antara lain relatif lebih aman terhadap organisme non target, relatif tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan viabilitas benih. Sedangkan kekurangannya ekstrak dengan pelarut air tidak tahan lama dan mutu bahan baku dipengaruhi oleh jenis tanaman dan lingkungan sehingga perlu standardisasi,” lanjutnya.
Kemudian paparan terakhir disampaikan oleh Askif Pasaribu dari APAC R&D Category Lead, UPL Ltd, dengan materi “Optimizing Food Crop Yield with Weed Management Technology”, dan setelah itu dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin oleh moderator Abdul Fattah Peneliti Ahli Madya, PR Tanaman Pangan, ORPP – BRIN.
Sumber: https://brin.go.id/