Riset dan Inovasi

Inovasi Cat Antideteksi Radar Dukung Alutsista

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Material Maju (PRMM) telah berhasil mengembangkan riset dan inovasi untuk mendukung alat utama sistem senjata (alutsista). Yakni, aplikasi bahan smart magnetic atau magnetik pintar yang digunakan sebagai pigmen Cat Antideteksi Radar (CADR).

Karena itu, BRIN, PT. Pindad, dan PT Sigma Utama melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama CADR, di Ruang Auditorium PT. Pindad, Bandung, Rabu (20/3).

Direktur Utama PT. Sigma Utama Benny F Simanjuntak berharap, kerja sama CADR bisa memberikan nilai tambah, bukan untuk mengejar keuntungan saja, tetapi memperkuat pertahanan dan keamanan Indonesia.

Selain itu, pihaknya juga melakukan riset terkait solar panel. “Dalam hal ini, cat yang digunakan pada CADR juga bisa berfungsi sebagai solar panel,” tegas Benny.

Direktur Teknologi dan Pengembangan PT. Pindad Sigit P. Santosa mengingatkan pentingnya semua pihak yang terlibat untuk sama-sama berhitung secara seksama terkait keuntungan dengan melakukan strategi khusus, agar kerja sama tersebut bisa diterapkan dan menjadi prioritas khusus.

“Kerja sama riset ini menjadi capaian luar biasa yang akan menjadi teaching lab dari masing-masing periset yang juga langsung masuk hilirisasi, industri kemitraan, serta dukungan dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP),” ungkapnya.

Lebih lanjut Sigit berharap, kerja sama yang terjalin tidak hanya di sisi science memory saja, tetapi terus berlanjut di item-item produksi di PT Pindad.

Kepala PRMM BRIN Wahyu Bambang Widayatno, mengungkapkan, melalui bermitra dengan industri, akan diketahui sejauh mana kebutuhan dan permasalahan, dari produksi hingga ke pelanggan. Hal tersebut bisa dibawa ke ranah riset di level laboratorium.

“Bagaimana hasil-hasil riset itu bermanfaat bagi masyarakat. Salah satunya mendorong para periset untuk kolaborasi dengan industri,” jelas Wahyu.

Dikatakan Wahyu, BRIN selalu mendorong para perisetnya agar setiap riset yang dihasilkan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Sementara itu, Direktur Fasilitas Riset LPDP Wisnu Sardjono Soenarso berpendapat, riset memang harus sesuai kebutuhan industri.

“Kalau hanya untuk knowledge saja itu sulit bagi perindustrian yang mau commit untuk hilirisasi. Dana penelitian itu selalu ada, tinggal kita bagaimana mencari sumbernya itu dari mana,” kata Sardjono.

“Melalui kerja sama dengan berbagai pihak, artinya kita akan memiliki berbagai sumber daya yang bisa digunakan secara optimum dan bersama-sama mengelola risiko,” tandas dia.

Selengkapnya
Inovasi Cat Antideteksi Radar Dukung Alutsista

Riset dan Inovasi

Pentingnya Karakterisasi Dekomisioning dalam Revitalisasi Fasilitas Nuklir

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berencana merevitalisasi fasilitas nuklir miliknya. Untuk itu BRIN berupaya meningkatkan pengetahuan perisetnya terkait strategi dekomisioning reaktor nuklir. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Riset Teknologi Bahan Nuklir dan Limbah Radioaktif (PRTBNLR) – BRIN, Syaiful Bakhri dalam webinar bertajuk “Karakterisasi Dekomisioning Reaktor Riset Menggunakan PHITS” pada Selasa (19/3).

“Kita akan merevitalisasi beberapa fasilitas ketenaganukliran yang ada di BRIN, mulai dari reaktor riset, fasilitas radioisotop dan radiofarmaka, fasilitas bahan bakar, serta fasilitas pendukung lainnya. Untuk itu perlu metode dan teknologi yang tepat untuk memulihkan dan merevitalisasinya,” ungkap Syaiful.

“Salah satunya dengan melakukan dekontaminasi atau dekomisioning parsial, sehingga fasilitas-fasilitas tersebut bisa digunakan kembali,” lanjutnya.

Syaiful menyampaikan bahwa dekomisioning merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan harus dipersiapkan. “Reaktor riset rata-rata berumur panjang. Punya reaktor itu komitmen seratus tahun. Mulai dari menyiapkan tapaknya, membangun, mengoperasikan sampai dengan dekomisioning. Kita harus menyiapkan programnya, kita siapkan bagaimana dekomisioningnya dari sekarang,” jelasnya.

Koordiantor Reaktor Non Daya - Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir (P2STPIBN) – Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Anggoro Septilarso mengungkapkan pentingnya dilakukan karakterisasi dalam program dekomisioning dan tahapannya.

“Dalam dekomisioning ada tahapan karakterisasi, salah satunya adalah melakukan estimasi inventori limbah radioaktif. Kita juga melakukan estimasi manajemen parameter, seperti biaya, pekerja, jumlah radioaktif, jenis radioaktif dan lain-lain,” paparnya.

“Kemudian kita membuat beberapa skenario dekomisioning, dan yang terakhir akan kita pilih skenario terbaik berdasarkan sudut pandang tertentu,” lanjut Anggoro.

Lebih lanjut Anggoro menjelaskan mengenai karakterisasi yang dilakukan sepanjang siklus dari fasilitas ketenaganukliran, mulai dari desain, pengoperasian dan dekomisioning. Tujuan karakterisasi dan apa yang dikarakterisasi dalam setiap tahapan siklus berbeda-beda.

“Dokumen karakterisasi mulai dari desain hingga pengoperasian disimpan untuk keperluan dekomisioning. Karakterisasi bisa dilakukan dengan kajian historis, survei, sampling, pengecekan dokumen kemudian melakukan perhitungan atau analisis pada komponen tertentu,” jelasnya.

Anggoro mengatakan bahwa secara umum ada dua kategori inventaris sisa radionuklida reaktor nuklir setelah dimatikan, yaitu bahan yang diaktifkan neutron (aktivasi oleh neutron) dan bahan yang terkontaminasi (kontaminasi radioaktif).

“Salah satu metode karakterisasi yang bisa digunakan dalam menghitung distribusi fluks neutron adalah dengan menggunakan software aplikasi PHITS (Particle and Heavy Ion Transport Code System) sebagai alat bantunya,” sebutnya.

Menurut Anggoro, tahapan awal karakterisasi merupakan syarat perizinan dilakukannya dekomisioning. “Hal ini juga diperlukan untuk menyusun dokumen rencana awal dekomisioning. Hal penting lainnya yang dijadikan syarat perizinan adalah perkiraan biaya dekomisioning,” imbuhnya.

Anggoro berharap karakterisasi bisa segera mulai dilakukan dari sekarang dan didokumentasikan meskipun belum tahu kapan dekomisioning akan dilakukan. Dia juga berharap ada transfer ilmu yang memadai kepada generasi muda yang kelak akan mendekomisioning fasilitas tersebut. “Jangan sampai kita meninggalkan fasilitas yang sudah tidak bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang,” ujarnya. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Pentingnya Karakterisasi Dekomisioning dalam Revitalisasi Fasilitas Nuklir

Riset dan Inovasi

BRIN Fire Hotspot Pantau Titik Api dan Kebakaran Hutan

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset (PR) Geoinformatika mengembangkan sistem BRIN Fire Hotspot berbasis data satelit pengindraan jauh.

Kepala PR Geoinformatika BRIN Rokhis Khomarudin menjelaskan, sistem ini secara otomatis menerima dan memproses data titik api dan kebakaran hutan dari ground station.

“Data tersebut disimpan dan ditampilkan langsung di website, dan sistem mengirim data kepada pengguna," jelas Rokhis, dalam Bincang Sains Kawasan Bandung Garut, secara daring, Selasa (19/3).

Rokhis menyampaikan, BRIN Fire Hotspot merupakan prototipe dari salah satu program kegiatan Geoinformatika Multi Input Multi Output (Geomimo). Ini merupakan konsep yang memungkinkan banyak data dapat dimasukkan dalam satu mesin, dilengkapi dengan berbagai plugin yang terspesialisasikan. Setiap plugin dirancang untuk menghasilkan output yang beragam, disebut sebagai multi output.

“Tantangan bagi para peneliti geoinformatika adalah untuk mengembangkan plugin-plugin ini agar dapat menghasilkan produk dengan cepat, akurat, dan biaya terjangkau. Dengan demikian, Geomimo dapat menjadi solusi efektif dalam pengolahan dan analisis data geografis yang kompleks,” katanya.

Dalam pengembangan Geomimo, jelas Rokhis, prototipe ini akan menjadi plugin sendiri yang terus diperbarui sesuai dengan perkembangan zaman dan ketersediaan data.

Menurut Rokhis, tantangan selanjutnya adalah mengurangi ketergantungan pada sumber data asing. Diperlukan upaya untuk membangun sumber data dan infrastruktur sendiri, termasuk satelit untuk mendukung riset geoinformatika dengan baik. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
BRIN Fire Hotspot Pantau Titik Api dan Kebakaran Hutan

Riset dan Inovasi

Riset Geoinformatika Bantu Wujudkan Ketahanan Pangan

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Elektronika dan Informatika tengah fokus melakukan penelitian terkait geoinformatika.

“Banyak permasalahan saat ini, seperti perubahan lingkungan dan ketahanan pangan yang dapat diatasi dengan geoinformatika,” ungkap Plt. Kepala Pusat Riset (PR) Geoinformatika BRIN Rokhis Khomarudin, dalam Bincang Sains Kawasan Bandung Garut, secara daring, Selasa (19/3).

Rokhis menjelaskan, geoinformatika merupakan sebuah disiplin yang menggabungkan ilmu dan teknologi komputer, sistem informasi, dan ilmu geografi. Ilmu ini telah menjadi kunci dalam menjawab permasalahan kompleks di bidang kebumian dengan data yang besar.

Data besar yang dimaksud adalah data kebumian, seperti yang dihasilkan dari pengindraan jauh menggunakan satelit.

“Pada ketahanan pangan, kita dapat memonitor pertumbuhan tanaman pangan di seluruh Indonesia. Ini memungkinkan kita untuk dapat mengidentifikasi gangguan yang mungkin terjadi dalam memantau produksi serta kondisi tanaman tersebut,” kata Rokhis.

Informasi diperoleh dengan cara mengambil gambar permukaan bumi dari satelit, yang kemudian menjadi sumber utama dalam bidang geoinformatika.

“Selain itu, terdapat data seperti pengukuran GPS, data yang dihasilkan dari penggunaan drone, dan data spasial lainnya yang penting dari sumber daya kebumian dalam konteks geoinformatika,” tuturnya.

Dalam bidang geoinformatika, lanjut dia, informasi geografis tidak hanya berasal dari satelit pengindraan jauh saja. Namun, dimungkinkan untuk menggabungkan dengan data sosial ekonomi yang tersedia untuk diintegrasikan dalam informasi spasial dan peta.

Pemetaan data kebumian dengan penambahan data sosial ekonomi, tambah Rokhis, memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang lebih baik.

“Hal ini memungkinkan kita untuk tidak hanya memantau pertumbuhan tanaman, tetapi aspek lainnya seperti daya beli masyarakat, distribusi, dan lain sebagainya. Informasi dapat disajikan dalam satu peta atau rangkaian informasi yang komprehensif, sehingga dapat memberikan jawaban pada permasalahan,” jelasnya.

Pihaknya fokus membangun ilmu komputer untuk menjawab tantangan permasalahan data yang semakin besar dan kompleks. Proses akusisi, penyimpanan, pengolahan data, pengembangan model atau metode, dan visualisasi dalam riset geoinformatika menjadi penting.

Perkembangan teknologi big data, machine learning, dan artificial intelligence telah mengubah lanskap ilmu ini, memungkinkan solusi yang cepat, akurat, dan terjangkau.

“Kita dapat menggunakannya, mengotomatisasikan, dan bisa berjalan cepat, akurat, dengan biaya yang murah,” tegasnya.

Empat Kelompok Riset

Lebih rinci dijelaskan Rokhis, ada empat kelompok riset (kelris) di PR Geoinformatika. Pertama, Kelris Geodata, bertanggung jawab untuk menyiapkan data dengan standar riset. Sehingga, data tersebut siap untuk digunakan. Kedua, Kelris Geokomputasi, membangun komputasi dan metode atau model pengolahan data pengindraan jauh maupun data lapangan.

Ketiga, Kelris Geoinformasi, menyajikan data dalam bentuk GIS untuk pengambilan keputusan, sementara. Dan keempat, Kelris Geovisulisasi dan Infrastruktur Geoinformatika, bertugas menghasilkan visualisasi data, agar dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Riset Geoinformatika Bantu Wujudkan Ketahanan Pangan

Riset dan Inovasi

E-Voting: Kemajuan Signifikan dalam Demokrasi Berbasis Digital

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggandeng PT. Inti Konten Indonesia untuk hilirisasi produk inovasinya berupa aplikasi pemilu elektronik (e-voting). Pemanfaatan aplikasi e-voting untuk pemilu akan menjadi bagian dari kemajuan yang signifikan dalam demokrasi berbasis digital.

Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) Budi Prawara menjelaskan perjalanan pengembangan aplikasi e-voting telah dimulai sejak 2010. Guna memastikan keandalan aplikasi tersebut, telah dilakukan uji coba dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.

"Keberhasilan uji coba di berbagai daerah memberikan bukti bahwa aplikasi ini tidak terlepas dari kontribusi kelompok riset digital dalam pengembangan aplikasi tersebut," kata Prawara pada penandatanganan perjanjian lisensi hak cipta aplikasi pemilu elektronik di Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, Selasa (19/03).

Prawaran menekankan pentingnya keamanan, kepercayaan, dan transparansi dalam pengembangan sistem e-voting, serta pentingnya memperhatikan aspek sosial dan dampaknya terhadap masyarakat.

“Dengan inovasi ini, kita akan terus berusaha untuk menyempurnakannya. Karena yang namanya produk riset tentu selalu membutuhkan improvement. E-voting juga saat ini sedang menjadi salah satu hot topic, karena kebetulan Indonesia juga baru selesai melaksanakan Pemilu,” terangnya.

Prawara berharap adanya kerjasama lisensi aplikasi e-voting dengan PT Inti Konten Indonesia akan memberi peluang besar bagi kedua belah pihak. Dengan menghasilkan produk riset yang berkualitas, ia meyakini produk riset Indonesia dapat bersaing tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di pasar internasional.

Dalam kesempatan yang sama, Perekayasa Ahli Utama dari Pusat Riset Sains Data dan Informasi sekaligus sebagai ketua tim pengembangan aplikasi e-voting Andrari Grahitandaru penjelasan perkembangan aplikasi e-voting. Dia menjelaskan bahwa aplikasi ini telah diujicobakan dalam pemilihan kepala desa (pilkades).

Sebelumnya, dijelaskan Andrari, aplikasi e-voting telah melewati uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengembang e-voting memastikan kesesuaian teknologi dengan regulasi yang berlaku.

Dalam Putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa metode e-voting dapat diartikan sama dengan metode mencoblos. Untuk itu diperlukan kesiapan terhadap lima komponen yaitu teknologi, legalitas undang-undang, penyelenggara, masyarakat, dan asas luber jurdil.

Berbeda dengan negara lain yang mengadopsi e-voting secara online, e-voting Indonesia didesain agar tidak terhubung ke internet secara langsung. Selain itu, sistemnya dapat berjalan terus meskipun terjadi pemadaman listrik, dengan kemampuan untuk memulai kembali tanpa kehilangan data.

“Walaupun tiba-tiba terjadi pemadaman listrik, sistemnya ini akan nyambung terus sehingga tidak memulai dari awal, karena Pemilu itu kan tidak boleh putus di tengah jalan, harus berjalan terus” jelas Andrari.

Dia menjelaskan mekanisme pelaksanaan e-voting, pemilih akan diberikan smart card yang berguna untuk mengidentifikasi status pemilih. "Smart card ini juga dimanfaatkan untuk mendeteksi apakah pemilih mempunyai hak suara di wilayah tersebut atau tidak," jelasnya

Smart card digunakan pemilih dalam bilik suara untuk menentukan pilihannya. Menurutnya, selama proses pemilihan, perangkat e-voting tidak tersambung dengan Internet, sehingga mengurangi potensi dihack oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

"Perangkat e-voting akan tersambung dengan internet ketika data dikirimkan ke pusat data nasional langsung dari Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tampilan hasil pemungutan suara akan disampaikan dalam bentuk tahapan berjenjang seperti per kabupaten, per provinsi, dan lain-lain," jelasnya.

Andrari berharap, momentum penandatanganan lisensi hak cipta e-voting ini menjadi langkah besar dalam memperkenalkan demokrasi digital di Indonesia dan siap mengubah wajah pemilihan umum di Tanah Air. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
E-Voting: Kemajuan Signifikan dalam Demokrasi Berbasis Digital

Riset dan Inovasi

Dukung Pengelolaan DAS Terpadu, BRIN Kembangkan WHAS

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan Watershed Health Assessment System (WHAS). Sistem ini bertujuan untuk memonitor kondisi hidrologi, tanah, dan aspek sosial-ekonomi dalam upaya mengelola aktivitas manusia dan sumber daya alam secara bersama-sama. Peneliti BRIN, Prof Irfan Budi Pramono menjelaskan bahwa Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu merupakan pendekatan yang mengharuskan pengelolaan aktivitas manusia dan sumber daya alam dilakukan secara bersama-sama, dengan mempertimbangkan keterkaitan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

"Untuk mengetahui keberhasilan tujuan pengelolaan DAS perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi. Parameternya adalah lahan, hidrologi dan kesejahteraan masyarakat," ucapnya dalam Webinar International bertajuk "International-Based Water Resources Management for Shared Prosperity", Senin (19/3).

Dijelaskan Irfan, WHAS mampu memonitoring berbagai parameter kunci seperti koefisien aliran, beban sedimen, indeks penggunaan air, kualitas air, persentase tutupan vegetasi, dan Indeks Pembangunan Manusia. Ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dalam mengelola DAS dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

Menurut Irfan, pengelolaan sumber daya air berbasis DAS dianggap penting untuk menjamin pasokan air yang berkelanjutan. Untuk itu, perhatian khusus diberikan pada pengelolaan lahan di daerah hulu guna menjaga keseimbangan air. Salah satu solusi yang diusulkan adalah melalui program Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) yang memungkinkan masyarakat di hilir DAS sebagai pengguna jasa lingkungan untuk berkontribusi kepada masyarakat di hulu DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, terutama jasa air.

Dalam konteks ini, DAS Cidanau diidentifikasi sebagai salah satu contoh praktik terbaik pengelolaan DAS terpadu di Indonesia. Namun, masih terdapat sejumlah masalah yang perlu diatasi, seperti perambahan hutan, fluktuasi debit sungai yang tinggi, dan perlindungan di bagian hulu DAS. Melalui program PES, air sungai Cidanau diharapkan dapat diolah menjadi air bersih untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 120 industri besar, menjadikannya sebagai contoh nyata dari win-win solution dalam pengelolaan DAS.

Irfan menyoroti beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu, termasuk carbon trading, PES, dan ekowisata. Tantangan utamanya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber, memberdayakan pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi. Dengan pendekatan yang komprehensif dan sinergis seperti ini, diharapkan pengelolaan DAS dapat menjadi landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan bersama bagi masyarakat Indonesia.

"Ada beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu seperti carbon trading, PES, dan Ecotourism. Sedangkan tantangannya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber yang tersedia, memberdayakan berbagai pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi," tandasnya.

Sementara itu, Profesor dari Shinshu University Japan, Kazuhiro Komatsu menawarkan penelitian mengenai karakterisasi Dissolved Organic Matter (DOM) atau Bahan Organik Terlarut pada danau dangkal dan dalam dengan menggunakan Excitation Emission Matrix (EEM)- PARAFAC Analysis. Hal ini seperti yang sudah dilakukannya di beberapa danau Jepang. "Excitation Emission Matrix (EEM) merupakan salah satu metode karakterisasi DOM, Pengukurannya sendiri sangat mudah dan sederhana. Hanya membutuhkan waktu 10 menit per sampel," ungkapnya.

Dijelaskan Kazuhiro, karakterisasi Bahan Organik Terlarut (DOM) menjadi kunci dalam pemahaman ekosistem akuatik dan siklus karbon global. Dua teknik terkini yang mendapatkan perhatian besar dalam hal ini adalah Matriks Emisi Eksitasi 3D dan Analisis Faktor Paralel (PARAFAC).

Lebih jauh, Kazuhiro menjelaskan bahwa Metode Excitation Emission Matrix (EEM) 3D memungkinkan pemetaan kontur 3-D dari panjang gelombang eksitasi, panjang gelombang emisi, dan intensitas fluoresensi dari DOM. Dengan karakteristik yang unik ini, peneliti dapat mengidentifikasi variasi kualitatif dan kuantitatif dalam komposisi DOM dengan detail yang tinggi. Keunggulan utamanya adalah kesederhanaan metodenya, yang memungkinkan pengukuran banyak sampel dalam waktu singkat. Hal ini membuatnya menjadi alat yang efisien dalam survei lapangan dan studi lingkungan yang luas.

Sedangkan, PARAFAC adalah metode analisis faktor yang digunakan untuk memecah Matriks Emisi Eksitasi 3D menjadi beberapa zat fluoresen hipotetis berdasarkan posisi puncaknya. Dengan demikian, PARAFAC menciptakan apa yang sering disebut sebagai "sidik jari organik", memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi dan memahami kontribusi masing-masing komponen DOM secara lebih terperinci. Penggunaan pemrosesan statistik memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap data yang kompleks.

Kedua teknik ini membuka jalan baru dalam pemahaman DOM dan peranannya dalam ekosistem akuatik. Matriks Emisi Eksitasi 3D memberikan gambaran yang luas dan rinci tentang distribusi fluoresensi DOM, sementara PARAFAC memungkinkan identifikasi zat fluoresen kunci dan pemahaman tentang faktor yang memengaruhi distribusi mereka. Dengan menggunakan kedua metode ini secara bersamaan, para peneliti dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang komposisi dan dinamika DOM dalam berbagai lingkungan akuatik, dari sungai hingga lautan, yang pada gilirannya dapat mendukung upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif.

Untuk itu, pihaknya membuka kolaborasi dengan Indonesia melalui BRIN dalam melakukan penelitian tersebut. Salah satunya melalui kolaborasi dengan laboratorium di Jepang mulai dari survey lapangan, analisis sampel, eksperimen bersama, analisis data, seminar hingga publikasi bersama. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Dukung Pengelolaan DAS Terpadu, BRIN Kembangkan WHAS
« First Previous page 3 of 14 Next Last »