Riset dan Inovasi

Peneliti BRIN Ingatkan Sejumlah Dampak Penurunan Populasi Amfibi

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Menurut laporan Global Amphibian Assessment (GAA1) yang dirilis Daftar Merah IUCN  (International Union for Conservation of Nature) terhadap 8011 jenis amfibi di dunia, amfibi merupakan kelompok vertebrata yang paling terancam secara global. Pembiaran terhadap penurunan populasi amfibi di dunia akan mengakibatkan kepunahan spesies amfibi tertentu yang berdampak bagi manusia. Hal tersebut diungkap oleh Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amir Hamidy. 

Peneliti bidang herpetologi tersebut menambahkan, amfibi dapat mengendalikan populasi serangga. Sehingga kepunahan amfibi akan berdampak pada naiknya populasi serangga yang berpengaruh pada kesehatan manusia dan kegagalan panen pertanian. 

Tak hanya itu, menurut para ahli, perlindungan dan restorasi amfibi juga dapat menjadi solusi terhadap krisis iklim, karena hewan berdarah dingin tersebut membantu menjaga keseimbangan ekosistem di lingkungan tetap sehat.

“Kondisi ini tentu perlu mendapat perhatian. Diperlukan mekanisme untuk penilaian sistematis terhadap risiko kepunahan spesies secara berkala untuk memberikan informasi terkini terkait penentuan prioritas, perencanaan dan pemantauan tindakan konservasi,” ungkap Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN tersebut. 

Faktor penyebab penurunan populasi amfibi

Amir menjelaskan, dalam artikel yang ditulis bersama tim dan dirilis pada jurnal Nature 01 Desember 2023 lalu, ancaman yang terdokumentasi adalah hilangnya jenis dan degradasi habitat. 

Ia menerangkan, penyebab terbesar penurunan populasi global amfibi diakibatkan kerusakan habitat akibat aktifitas pertanian (77% spesies terkena dampak), aktivitas pemanenan kayu dan tanaman (53%), dan pembangunan infrastruktur (40%). Sementara itu dampak perubahan iklim (29%) dan penyakit (29%) juga berkontribusi terhadap tren penurunan populasi amfibi secara global.

“Tercatat, sebelum tahun 2004 penurunan populasi amfibi sekitar 90% disebabkan oleh penyakit dan kehilangan habitat. Namun, saat ini perubahan iklim juga menyebabkan penurunan populasi amfibi,” ungkapnya.

Amir menambahkan, jumlah amfibi punah yang terdokumentasikan terus bertambah, yakni 23 jenis pada tahun 1980, 10 jenis pada tahun 2004, dan 4 jenis punah pada tahun 2022. Sehingga jumlah jenis amfibi yang punah secara global tercatat sebanyak 37 jenis. 

Contoh nyata kepunahan tersebut terjadi pada tahun 1990, yaitu terjadinya penurunan jumlah yang cepat untuk katak jenis Atelopus chiriquiensis dan Taudactylus acutirostris akibat penyakit. Sementara itu, jenis Craugastor myllomyllon dan Pseudoeurycea exspectata terakhir terlihat pada tahun 1970 dan dikabarkan punah akibat ekspansi pertanian.

Tak hanya itu, dalam publikasi ini juga menyebutkan terdapat 8.011 spesies amfibi telah memperbarui statusnya dalam Daftar Merah IUCN. Indeks Daftar Merah IUCN yang diperbarui melaporkan status amfibi memburuk secara global, khususnya salamander. 

“Andai saja Daftar Merah IUCN diperbarui pada skala yang sama pada tahun 1970an seperti saat ini, (maka) kita dapat menelusuri pandemi penyakit amfibi yang melanda 20 tahun sebelum penyakit tersebut menghancurkan populasi mereka,” imbuh Amir. 

Upaya konservasi untuk menyelamatkan amfibi

Dalam artikel tersebut, Amir juga menginformasikan, saat ini konsentrasi terbesar spesies yang terancam berada di Kepulauan Karibia, Mesoamerika, Andes Tropis, pegunungan dan hutan di Kamerun Barat dan Nigeria Timur, Madagaskar, Ghats Barat dan Sri Lanka. 

Tak hanya itu, spesies lainnya yang terdapat di Hutan Atlantik Brasil bagian selatan, Pegunungan Busur Timur Tanzania, Tiongkok tengah dan selatan, dan Pegunungan Annamite bagian selatan Vietnam juga mengalami hal serupa. 

“Untuk mengatasi ancaman tersebut, diperlukan beberapa upaya konservasi tertentu untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap spesies tertentu, khususnya untuk spesies yang diidentifikasi mempunyai risiko serius mengalami penurunan populasi. 

Studi ini juga menyarankan perlunya prioritas konservasi amfibi untuk perlindungan habitat yang efektif, karena akan berkontribusi terhadap jumlah perbaikan terbesar sejak tahun 1980. Upaya konservasi juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan tindakan ex situ terutama untuk 798 spesies terancam punah yang ada di lokasi risiko kepunahan tertinggi. 

“Amfibi tidak seperti hewan lainnya, ia bernapas melalui sebagian kulitnya. Kondisi tersebut menjadikan mereka jauh lebih sensitif terhadap faktor lingkungan, seperti penyakit, polusi, bahan kimia beracun, radiasi ultraviolet, perubahan iklim dan perusakan habitat,” imbuh Amir. 

Untuk menghadapi ancaman eksplotasi lahan dalam bentuk perluasan pertanian dan peternakan perlu dilakukan perlindungan situs penting secara global bagi amfibi, termasuk Situs Alliance for Zero Extinction dan Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama. Upaya ini dilakukan untuk menjaga habitat yang tersisa bagi spesies yang terancam atau terbatas secara geografis.

Sementara itu, untuk menghindari pandemi amfibi global gelombang kedua akibat jamur Batrachochytrium dendrobatidis dan B. salamandrivorans, perlu dikembangkan manajemen penyakit yang praktis. 

“Kemauan politik (political will) dan komitmen dari pihak terkait serta peningkatan investasi juga sangat diperlukan untuk membalikkan tren populasi amfibi yang terus menurun,” ujar Amir. 

Target konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka di masa depan. Defisiensi data (909 spesies) masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepunahan risiko dan kebutuhan konservasinya. 

Secara umum, peningkatan pemantauan populasi di seluruh dunia juga sangat penting untuk tindakan konservasi dan penilaian ulang di masa depan untuk mengatasi krisis kepunahan amfibi yang sedang berlangsung dan implikasinya terhadap krisis keanekaragaman hayati.

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Peneliti BRIN Ingatkan Sejumlah Dampak Penurunan Populasi Amfibi

Riset dan Inovasi

BRIN Kembangkan Riset Model NER dengan Multi Source

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Untuk mendukung pekerjaan di bidang farmasi, kedokteran, biologi, dan ilmu kesehatan, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan sebuah riset mengenai pengembangan model NER (Named Entity Recognition) menggunakan pendekatan multi source.

Slamet Riyanto Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Sains Data dan Informasi BRIN menyampaikan dalam paparannya bahwa latar belakang risetnya ini adalah adanya studi literatur yang dilakukan dalam dokumen ilmiah yang tidak terstruktur, mencakup artikel jurnal, review, abstrak, dan laporan.

“Untuk itu perlu adanya metode otomatis dan komputasi yang diperlukan untuk mengekstrak informasi berharga dari data tidak terstruktur,” jelas Slamet pada Webinar Edisi Ke-2 Pusat Riset Sains Data dan Informasi dengan topik "Peran Sains Data dalam Optimisasi Aktivitas Pertanian", Rabu (20/3).

Dalam mengekstraksi informasi berharga dari berbagai data tidak terstruktur yang tersedia dibantu oleh Information Extraction (IE). NER adalah subtugas IE yang melibatkan pengenalan entitas tertentu dalam teks. “NER dalam biomedis bertujuan untuk mengenali dan mengkarakterisasi entitas khusus, seperti chemical, drug, disease, protein, DNA, RNA, dan gen,” terang Slamet.

Slamet menyebutkan bahwa NER memiliki kemampuan untuk memperoleh wawasan berharga dari teks domain khusus. Hal tersebut memungkinkan berbagai aplikasi seperti menganalisis relevansi statistik entitas tertentu seperti disease. Sayangnya belum ada model yang mampu secara akurat mendeteksi entitas plant dan disease dalam sebuah dokumen.

“Pengenalan entitas tanaman dan penyakit bermanfaat sebagai sarana studi literatur untuk mengungkap manfaat dan dampak buruk tanaman terhadap kesehatan manusia,” terang Slamet. 

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan, lanjut Slamet, riset ini melakukan sebuah pengembangan model NER menggunakan pendekatan multi-source transfer learning. 

“Model yang dihasilkan adalah Plant-Disease Named Entity Recognition (PDNER) yang dilatih menggunakan multisumber dalam domain biomedis dan botani. Diharapkan model PDNER mampu mengenali entitas tanaman dan penyakit dalam dokumen secara akurat,” ucapnya.

Lebih lanjut Slamet menyampaikan, dalam pengembangannya telah menghasilkan metode otomatis dan komputasi, yang dapat membantu pendekatan studi literatur dalam mendeteksi entitas tumbuhan dan penyakit. 

“Preprocessing yang telah dilakukan dan tepat, dapat meningkatkan kinerja model. Sehingga model yang dikembangkan mampu memprediksi entitas pada domain biomedis dan botani secara akurat. Pendekatan multi source transfer learning, dapat membantu mengatasi keterbatasan data berlabel pada target domain,” ungkapnya.

Turut menjadi narasumber dalam webinar ini adalah Taufiq Djatna, Guru Besar Divisi Teknik Sistem dan Industri, Departemen Teknik Industri Pertanian IPB. Ia menyampaikan materinya mengenai The Future of Blockchain in Agriculture. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
BRIN Kembangkan Riset Model NER dengan Multi Source

Riset dan Inovasi

Konsep dan Strategi Pemuliaan Tanaman Kopi Untuk Menghasilkan Varietas Unggul di Indonesia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Kopi adalah komoditas unggulan perkebunan yang menjadi sumber pendapatan petani, menghasilkan devisa serta dapat berkontribusi bagi pembangunan negara. Tahun 2023, Indonesia menempati urutan  ketiga produsen kopi dunia setelah Brazil dan Vietnam, dari data statistik meningkat 1,43%  dibandingkan dengan tahun 2022. 

“Banyaknya  faktor yang mempengaruhi produksi kopi merupakan tantangan tersendiri bagi para periset, baik periset BRIN maupun di luar BRIN (Universitas, Swasta, BUMN). Varietas unggul baru kopi diharapkan mampu berproduksi tinggi dengan cita rasa excellent, beradaptasi terhadap lingkungan abiotik terutama adanya el nino dan la nina yang berdampak pada produksi pertanian,” ungkap Puji Lestari selaku Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN saat memberi sambutan webinar “Sharing Session” pada acara EstCrops_Corner #2, Rabu (20/03) secara virtual.

“Kita diharapkan dapat menyelesaikan masalah pertanian terutama tanaman kopi, agar kebutuhan varietas unggul kopi meningkat menyesuaikan kebutuhan dan minat para stakeholder dalam membangun komoditas perkebunan,” jelasnya. 

"Melihat sejarah kopi Arabika dan Robusta yang sudah ada sejak zaman kolonial belanda,  dan disusul liberika, semuanya membutuhkan sentuhan teknologi. Tidak hanya berbasis konvensional namun juga pendekatan bioteknologi, yang berdampak tidak hanya untuk pemanfaatan, tetapi juga science riset untuk intelektual,” tambah Puji. 

Pada kesempatan yang sama Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan, OR Pertanian dan Pangan, BRIN Setiari Marwanto menjelaskan bahwa Industri kopi di Indonesia telah berkontribusi besar terhadap perolehan devisa negara. Permintaan dalam negeri terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup.

”Industri kopi telah berhasil menyediakan lapangan pekerjaan dengan jumlah yang signifikan dan berkontribusi terhadap pembangunan daerah. Tren positif ini perlu diiringi perbaikan industri kopi secara menyeluruh baik di level on farm maupun out farm, sehingga industri ini bisa eksis tumbuh secara berkelanjutan,” kata Setiari.

“Perlu kita sadari bahwa hal ini tidak mudah, banyak sekali tantangan industri kopi,  mulai dari produktivitas yang belum optimal, penggunaan benih yang tidak terspesifikasi sebagai benih unggul, budidaya yang belum sepenuhnya benar, kendala ketersediaan pupuk, dan ketersediaan lahan hingga fenomena perubahan iklim,” terangnya.

Menurutnya masih banyak yang perlu diperbaiki dari sektor on farm dan out farm agar produktivitas dan kualitas biji kopi juga meningkat, salah satunya adalah aspek pemuliaan.

Narasumber pertama Dani, Peneliti Pusat Riset Tanaman Perkebunan Organisasi Riset Pertanian dan Pangan – BRIN  dengan judul paparan  “Persilangan Buatan Antara Spesies Kopi Robusta dan Arabika,” mengatakan bahwa dampak perubahan iklim,  kenaikan suhu global memberikan dampak yang serius, terutama kopi arabika karena ternyata suhu tinggi memicu perkembangan bunga abnormal atau star flower.

“Hal ini tentunya akan berdampak pada rendahnya produksi kopi karena sebagian besar bunga yang terbentuk tidak berhasil membentuk buah dan biji, namun fenomena ini tidak terlihat pada kerabat diploidnya, yaitu kopi robusta dan liberika. Kami kemudian mencoba untuk menginterograsikan sifat toleran terhadap suhu tinggi dari kopi robusta ke kopi arabika melalui persilangan antar spesies,” ungkapnya.

Persilangan spesies kopi robusta dan arabika secara teoritis dapat dilakukan secara reciprocal menempatkan kopi arabika sebagai tetua betina, maupun sebagai tetua jantan meskipun dinilai lebih berhasil adalah kombinasi arabika dan robusta. Namun demikian ada satu laporan yang menyatakan bahwa di India pernah dilakukan persilangan reciprocal yaitu menyilangkan kopi robusta sebagai tetua betina dan kopi arabika sebagai tetua jantan.  

Ia juga mengatakan bahwa hambatan persilangan antara spesies kopi robusta dan arabika tergolong kuat namun tidak lengkap, hambatan pra-zigotik berkurang karena terdapat irisan periode antesis antar spesies, hambatan pasca-zigotik awal dalam bentuk kerontokan buah muda dan kegagalan endosperma tinggi, terakhir hambatan pasca-zigotik lanjut dalam bentuk triploid block tidak lengkap karena sekaligus diperoleh tipe ploidi diploid dan tetraploid. 

Narasumber kedua Meynarti Sari Dewi Ibrahim, Peneliti dari Pusat Riset Tanaman Perkebunan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan – BRIN dengan materi “Pemanfaatan Teknologi Kultur Jaringan dalam Percepatan Perakitan Varietas Unggul Baru Kopi”, memaparkan ada beberapa peran yang dapat dimainkan oleh kultur jaringan untuk dapat mempercepat perakitan varietas unggul baru kopi dibandingkan dengan konvensional.

“Pertama adalah memperbanyak benih unggul kopi atau disebut perbanyakan in vitro. Kedua, menghasilkan tanaman kopi galur murni dengan menggunakan kultur antera. Ketiga, membantu proses transformasi genetik pada tanaman kopi. Keempat, meningkatkan keragaman genetik tanaman kopi yang terkenal dengan mutasi pada kultur in vitro. Kelima, menyeleksi kultur kopi terhadap sifat yang diinginkan yang kita kenal dengan seleksi in vitro. Keenam,  menyelamatkan embrio atau kultur embrio. Ketujuh, menyimpan koleksi plasma nutfah kopi atau konservasi in vitro. Kedelapan, mendapatkan hibrida somatik dengan fusi protoplas. Terakhir peranan lainnya yang masih berhubungan dengan perakitan VUB,” paparnya.

“Teknologi kultur in vitro dapat digunakan mempercepat pembentukan VUB kopi, caranya adalah dengan meningkatkan keragaman genetik menggunakan mutasi, transformasi genetik, genom editing, fusi protoplas, kultur anter, seleksi in vitro, perbanyakan benih secara in vitro dan konservasi in vitro,” pungkas Meynarti.

Narasumber terakhir Surip Mawardi, Pemulia Kopi dari Ladang Langit Coffee Farm, Hutan Pargompulan, Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara, memaparkan materi berjudul “Status Riset, Peluang dan Tantangan Pemuliaan Tanaman Kopi”.  Dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh moderator Rubiyo, peneliti Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN.

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Konsep dan Strategi Pemuliaan Tanaman Kopi Untuk Menghasilkan Varietas Unggul di Indonesia

Riset dan Inovasi

Akreditasi Komisi Etik Kesehatan BRIN Tunjang Mutu Klirens Etik Kesehatan

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melaksanakan akreditasi Komisi Etik Kesehatan BRIN (KEK-BRIN) yang diselenggarakan oleh Direktorat Tata Kelola Perizinan Riset dan Inovasi dan Otoritas Ilmiah. Kegiatan berlangsung di Kantor Kerja Bersama (KKB) Harsono Wiryosumarto Rawamangun, Jakarta pada 20–22 Maret 2024. Dalam kegiatan ini diundang pula Komite Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI) yang bertugas menjadi Asesor. 

"Selama ini akreditasi dianggap suatu kegiatan yang mengerikan. Padahal pada saat pembentukan, KEPPKN lebih ingin mendengarkan kondisi dan kemampuan dari komisi etik saat ini atau bahkan kami sesama asesor bisa saling belajar sehingga hasil dari akreditasi ini adalah rekomendasi yang baik bukannya temuan,’’ ujar Nur Atik, Ketua Tim Akreditasi tersebut.

Dijelaskannya, ada beberapa latar belakang mengapa asesmen lapangan harus dilaksanakan. Di antaranya adalah penyimpangan pada pelaksanaan penelitian, potensi konflik kepentingan, juga peningkatan jumlah Komisi Etik Penelitian (KEP). Ia juga menguraikan bahwa hal ini sebagai salah satu tugas dari KEPPKN, yakni melakukan akreditasi komite/komisi etik penelitian kesehatan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 tahun 2020, pasal 4.

Tri Sundari, selaku Direktur Tata Kelola Perizinan Riset dan Inovasi dan Otoritas Ilmiah BRIN menjelaskan bahwa dalam Klirens Etik BRIN yang tertuang pada Peraturan BRIN Nomor 22 Tahun 2022, Komisi Etik adalah suatu komisi independen yang berperan penting untuk memastikan dan menjaga keselamatan serta kesejahteraan subjek penelitian. 

Lalu ia menjabarkan, Komisi Etik Kesehatan (KEK) BRIN bertugas dalam menyusun pedoman klirens etik bidang kesehatan, memeriksa, dan mengesahkan keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses riset kesehatan, memberikan keputusan atas permohonan klirens etik, dan memberikan rekomendasi perizinan peneliti pihak asing. ”Saat ini KEK BRIN juga telah melaksanakan kolaborasi dengan beberapa lembaga, seperti Badan POM, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, bahkan dengan Knowledge Partnership Platform Australia-Indonesia (KONEKSI). 

Selanjutnya, Ketua KEK BRIN, Rustika menjelaskan bahwa di BRIN sebenarnya terdapat lebih dari satu Komisi Etik Penelitian. Di antaranya adalah sosial humaniora, kimia, pemeliharaan dan penggunaan hewan, nuklir, dan kesehatan. Lebih spesifik ia menerangkan, berdasarkan data yang masuk jumlah usulan riset tahun 2023, di bidang kesehatan hanya sebesar 11%, sedangkan jumlah pengusul riset dari luar BRIN meningkat dibandingkan dengan tahun 2022. ”Ini membuktikan bahwa kebutuhan untuk adanya KEP terutama di bidang kesehatan sangat dibutuhkan dalam memberikan keputusan atas permohonan klirens etik terutama di bidang kesehatan,” ungkapnya. 

Dalam kegiatan asesmen ini KEPPKN tidak hanya menilai dari segi ketersediaaan data, tetapi juga melaksanakan wawancara kepada pegawai KEK BRIN, serta melaksanakan kunjungan ke kantor. Dalam kunjungan tersebut, Rustika memaparkan alur dan menjelaskan ketersediaan data yang ada di KEK BRIN.

Dalam asesmen yang akan berlangsung selama tiga hari ke depan ini, KEPPKN Kemkes RI dan KEK BRIN berharap diterbitkannya akreditasi. Akreditasi ini yang akan menunjang pekerjaan KEK BRIN dalam memproses permohonan klirens etik, terutama yang terkait dengan bidang kesehatan.

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Akreditasi Komisi Etik Kesehatan BRIN Tunjang Mutu Klirens Etik Kesehatan

Riset dan Inovasi

Periset BRIN Kembangkan Nanopartikel Berbahan Lokal untuk Terapi Kanker Paru

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 15 Mei 2024


Kanker menjadi penyebab kematian kedua tertinggi di dunia. Menurut Agensi Internasional untuk Riset Kanker (IARC WHO) sekitar 9,95 juta jiwa meninggal pada tahun 2020. Di mana kanker paru merupakan jenis kanker dengan angka kematian tertinggi yakni mencapai 1,79 Juta jiwa. 

Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi (PRTPR) dan Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri (PRTRRB) melakukan Riset Pengembangan Nanopartikel Hidroksiapatit-Zirkonium (Zr Dopped HAp) Berbasis Bahan Lokal Indonesia untuk Terapi Fotodinamik Kanker Paru. 

Salah satu tim periset PRTRRB BRIN, Muhamad Basit Febrian menjelaskan bahwa Photodynamic therapy (PDT) sebagai terapi kanker memanfaatkan cytotoxic ROS untuk menghancurkan sel kanker. “Cancer specific photosensitizer (PS) akan terakumulasi pada organ yang terdapat sel kanker. Setelah akumulasi terjadi, penyinaran dilakukan untuk memicu munculnya ROS yang akan menghancurkan sel kanker,” jelasnya. 

Pengembangan metode terapi kanker paru dengan teknik fotodinamik menggunakan material hidroksiapatit dan zirkonium dapat dikembangkan dari bahan baku berupa Zirkonium yang melimpah di Indonesia. 

“Zirkon yang tersebar di Indonesia khususnya yang berada di Kepulauan Bangka-Belitung dan Kalimantan belum banyak digunakan untuk bahan maju bernilai tinggi,” ungkap Peneliti Ahli Utama PRTPR BRIN, Dani Gustaman Syarif, dalam Evaluasi RISPRO Invitasi oleh tim LPDP Kementerian Keuangan di BRIN Kawasan Kerja Bersama (KKB Tamansari), Senin (18/03).

Sementara itu ketersediaan hidroksiapatit juga melimpah di alam, terutama pada biomassa dari tulang hewan. Hidroksiapatit nanopartikel (HAp-N) sebagai material host sangat cocok digunakan untuk doping logam sebagai drug deliver. Penggunaan teknik PDT dengan menggunakan HAp-N dan logam hafnium telah dilakukan pada hewan model kanker paru.

“Hewan model kanker tersebut kemudian diberikan penyinaran dengan sinar gamma pada fasilitas radioterapi. Metode PDT ini terbukti menghambat laju pertumbuhan dan menghancurkan sel tumor paru lebih cepat. Selain hafnium, alternatif material lain yang dapat digunakan adalah zirkonium (Zr),” ungkap Isa yang juga periset PRTRRB saat menjelaskan terkait proses pembuatan hewan model kanker. 

Isa menyebutkan, kombinasi antara zirconium-hidroksiapatit nanopartikel (Zr-HAp nanopartikel) dan radiasi gamma, diharapkan mampu menjadi salah satu metode alternatif pada terapi sel kanker paru yang efektif. 

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa PDT banyak digunakan pada terapi kanker yang terletak  sekitar lapisan kulit, dengan limitasi daya tembus cahaya tampak yang pendek. Penggunaan sinar berdaya tembus tinggi seperti sinar-X atau gamma banyak digunakan pada radioterapi, karena dapat menjangkau organ dalam. Sinar berdaya tembus tinggi mampu memicu efek fotodinamik pada PDT, terutama kanker paru. 

“Pemanfaatan logam zirkonium sebagai substitusi hafnium merupakan golongan unsur yang sama dengan hafnium sehingga memiliki sifat kimia yang mirip. Biokompatibilitasnya yang baik diharapkan memiliki efek terapi yang lebih baik terhadap kanker paru. Penggunaan HAp-Zr bertanda radioaktif untuk studi biodistribusi pada hewan normal dan hewan model kanker dengan teknik nuklir dapat mempercepat pengembangan obat,” jelas Isa.

Dani menambahkan bahwa pada tahun ketiga pengembangan ini didapatkan hasil HApZr yang terbukti memiliki potensi sebagai fotosensitizer untuk terapi fotodinamik pada kanker paru secara in-vitro dan in-vivo. 

“Pada uji toksisitas akut menunjukkan tidak ada kematian dan gejala klinis yang muncul. Namun potensi adanya sifat hepatotoksik perlu menjadi perhatian. Kedepannya perlu dilakukan uji toksisitas sub-akut dan kronis dengan jumlah hewan lebih banyak pada waktu pengujian yang lebih panjang sebagai pra-syarat uji klinis,” tutur Dani.

Di akhir, Kepala PRTPR BRIN, Irawan Sugoro dan Kepala PRTRRB BRIN, Tita Puspitasari berharap agar riset ini dapat memberikan manfaat untuk masyarakat dan adanya masukan serta saran dari tim evaluasi untuk kesempurnaan kegiatan riset kedepannya.

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Periset BRIN Kembangkan Nanopartikel Berbahan Lokal untuk Terapi Kanker Paru

Riset dan Inovasi

Ekopedagogi Solusi Pendidikan di Lingkungan Kritis

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Isu ekopedagogi, sekolah alam, dan sekolah adiwiyata menjadi penting, karena memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memperkenalkan generasi muda pada nilai-nilai keberlanjutan. Syahrul Ramadhan, Ketua Kelompok Riset Asesmen dan Pembelajaran, Pusat Riset Pendidikan (Pusrisdik) mengatakan bahwa dengan melibatkan generasi muda dalam pelestarian lingkungan dan mendorong perubahan perilaku, menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan. 

“Ini sangat relevan mengingat tantangan lingkungan yang semakin kompleks yang dihadapi oleh Indonesia dan dunia secara keseluruhan,” ungkap Syahrul dalam kegiatan Sharing Session yang berlangsung Rabu (20/3) di Kantor BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Gatot Subroto, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Syahrul menyampaikan topik “Potensi dan Tantangan Ecopedagogy, Sekolah Alam, dan Sekolah Adiwiyata di Indonesia” yang menjadi pembahasan kali ini.

Trina Fizzanty, Kepala Pusrisdik BRIN menyebutkan bahwa sharing session ini, merupakan perdana di tahun 2024. “Memang sangat penting karena kita ingin mengangkat isu yang paling menjadi perhatian semua negara tentang aspek lingkungan. Lebih penting lagi, bagaimana pendidikan ini bisa berkontribusi untuk memberikan pemahaman serta literasi yang lebih kuat kepada generasi penerus,” sambung Trina.

Ia lantas menjelaskan hal penting mengenai aspek lingkungan, yaitu perubahan iklim yang kini menjadi perhatian dan bagaimana sektor pendidikan bisa merespon untuk membantu generasi muda memahaminya. Maka pembahasan yang diulas mengenai aspek pedagogy yang ada saat ini apakah sudah cukup memadai untuk bisa memberikan pemahaman yang lebih kuat tentang aspek lingkungan, baik perubahan iklim, sampah plastik, dan polusi. Persoalan tersebut, menurut Trina memungkinkan sebagai poin penting tentang aspek ekopedagogi memberikan kesadaran yang kuat tentang pelestarian lingkungan.

Berto Sitompul, seorang praktisi ekopedagogi dan pendiri Bank Sampah Mengajar menyampaikan paparan berjudul “Urgensi Ekopedagogi (Pendidikan Lingkungan Kritis). Diuraikannya, dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke 4 tentang kualitas pendidikan, yaitu rekontekstualisasi pendidikan berkelanjutan, ia menunjukkan hasil penelitiannya. 

Dijelaskan Berto, walaupun sebagian besar siswa memahami fakta dan menyatakan peduli terhadap isu lingkungan, tetapi mereka tidak menghubungkan fakta itu dengan aksi, dan perilaku mereka. Hal itu disebabkan oleh pendidikan lingkungan secara tradisional masih mengarah pada pendidikan alam. Di samping itu, pendidikan lingkungan juga masih lebih banyak di ruangan kelas tanpa dihubungkan dengan isu lingkungan dan sosial.

Selanjutnya, ia menyampaikan empat sistem pengajaran ekopedagogi. Pertama, pengajaran tentang lingkungan sosial dan alam, yakni menyiapkan teks-teks terkait lingkungan hidup bagi anak-anak. Dengan itu, mereka mampu menyingkapkan isu-isu lingkungan terkini, akar dari isu, serta strategi untuk menanggapi isu, baik secara individu dan kolektif. 

Kedua, pengajaran melalui lingkungan sosial dan alam, yakni menuntun para pelajar kepada kesadaran akan relasi mereka dengan lingkungan, baik sosial maupun alam. Ketiga, pengajaran melalui lingkungan sosial dan alam. Yaitu, mengadaptasi tugas-tugas kelas, latihan menulis, kerja kelompok, pengalaman, perjanjian dengan masyarakat, untuk menjelmakan pengetahuan ke dalam aksi sosial, keadilan lingkungan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Keempat, pengajaran tentang saling keterkaitan antar mahluk yang berkelanjutan.

Kemudian Berto mengatakan, dalam implementasinya, pendidikan berbasis ekopedagogi perlu dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip dan pendekatan secara komprehensif melalui pembelajaran holistik. Hal itu adalah pembelajaran berbasis ekopedagogi pada pengembangan materi yang tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat tekstual, melainkan perlu dikembangkan melalui pendekatan kontekstual. 

Menurutnya, pembelajaran harus berorientasi pada keaktifan dan keterlibatan siswa dalam memecahkan masalah secara kooperatif maupun kolaboratif. Selanjutnya, pembelajaran harus berbasis pada pendekatan interdisipliner dalam rangka memperkayapengetahuan dan pemahaman peserta didik secara komprehensif.

Ia juga menyampaikan, tentang Bank Sampah Mengajar yang sudah memberikan edukasi pentingnya seperti pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Hal itu demi bumi lebih bersih dan mengedepankan praktik nyata ketimbang belajar banyak teori. Aksi ini dilakukan bersama warga sekolah dan masyarakat yang kini sudah berjumlah 10.000 peserta didik dengan pendidik pada dua Provinsi dalam 5 Kabupaten/ kota di sejumlah 33 sekolah.

Lisadiyah Marifataini, peneliti Pusrisdik menyampaikan mengenai eksplorasi riset pendidikan di sekolah alam dengan melihat lebih dekat penyelenggaraan pendidikan di sekolah alam Indonesia. Lisa menyampaikan, untuk mengeksplorasi pendidikan pada sekolah alam, pertama yang harus diketahui adalah pengertian dan konsep tentang sekolah alam. Menurutnya, penyelenggaraan sekolah alam sangat unik dan menarik untuk dikaji, karena berbeda dengan penyelenggaraan sekolah regular formal pada umumnya, baik dilihat dari input, proses, maupun output. 

Lisa lalu lebih menjelaskan lagi tentang penyelenggaraan Sekolah Alam Indonesia di Depok. Ia menguraikan dengan melihat dari segi input yang berbeda yaitu pada pola pikir (maindset) siswa yang umumnya menginginkan adanya kebebasan dalam belajar (belajar merdeka). Juga penyediaan sarana prasarana yang unik, karena bangunannya berbentuk saung sebagai tempat belajar. Input pembiayaan yang unik juga pada peran orangtua yang menjadi sumber pembiayaan utama dalam memenuhi pembelajaran anak. 

Lebih lanjut, Lisa menguraikan, pada aspek proses, keunikan dapat dilihat dari pelaksanaan pembelajarannya yang dilakukan di alam terbuka, dengan dilakukan secara in class dan outing class. Metode pembelajaran yang variarif dan gaya belajarnya yang egaliter, akan memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensinya.

Sedangkan pada aspek output, keunikan terlihat pada lulusannya yang berkarakter, mandiri, memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang bisnis dan wirausaha. Juga sebagian mampu membuka usaha bisnis dan wirausaha. Sebagian lainnya diterima di berbagai perguruan tinggi ternama baik di dalam maupun luar negeri.

Sementara Aldila Rahma yang juga peneliti Pusrisdik memaparkan judul “ Ekoliterasi, dari Visi ke Aksi: Kolaborasi Pengetahuan Tacit, Explicit, dan Empiris untuk Mewujudkan Eco-School Berkelanjutan”. Menurutnya, kemampuan ekoliterasi, yang artinya melek lingkungan, mengacu pada kemampuan untuk memahami posisi manusia dalam lingkungannya. ”Ekoliterasi bertujuan untuk membekali peserta didik dengan keahlian, sikap, dan tindakan agar lebih protektif terhadap lingkungan,” papar Aldila.

Ia kemudian mengungkapkan ada tiga paradigma yang menumbuhkan ekoliterasi, yaitu pendidikan lingkungan, di mana transmisi guru ke siswa. Pendidikan lingkungan ini di mana lingkungan sebagai media pembelajaran sekaligus konservasi lingkungan,” jelasnya.

Selanjutnya, ia juga menerangkan tentang tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang ada dalam pikiran seseorang sesuai dengan pemahaman dan pengalamannya, sehingga sifatnya unik dan khas. Sedangkan explicit knowledge yaitu pengetahuan yang dikumpulkan serta diterjemahkan dalam bentuk dokumen sehingga mudah dipahami orang lain. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Ekopedagogi Solusi Pendidikan di Lingkungan Kritis
« First Previous page 2 of 14 Next Last »