Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Harus Berubah? Realitas Design-Bid-Build yang Kaku dan Kompetitif
Sistem pengadaan proyek konstruksi tradisional seperti Design-Bid-Build (DBB) telah menjadi tulang punggung pembangunan di banyak negara, termasuk Indonesia. Meski terstruktur dan legalitasnya sudah mapan, sistem ini mengandalkan kompetisi antar pihak sejak awal hingga akhir proyek. Hal ini menciptakan fragmentasi, ketidakpercayaan, dan hambatan kolaborasi.
Masalah utama dari sistem DBB adalah:
Hubungan yang berbasis kompetisi, bukan kolaborasi.
Minimnya koordinasi antara perancang dan pelaksana.
Rentan terhadap konflik saat desain harus disesuaikan di lapangan.
Menurut studi ini, kondisi tersebut diperparah saat proyek menghadapi tantangan besar seperti pandemi COVID-19, perubahan desain mendadak, keterlambatan pasokan material, atau keputusan manajerial yang lambat.
Apa Solusinya? Menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang Kolaboratif
Perubahan Paradigma: Dari Kompetisi ke Kooperasi
Penelitian ini mengusulkan agar proyek DBB dapat meningkatkan kualitas “partnering”—atau hubungan kerja sama—menuju standar IPD, meskipun kontrak formal tetap berbasis DBB. Artinya, kolaborasi bisa dibangun tanpa mengubah sistem hukum atau bentuk kontrak.
Integrated Project Delivery (IPD) sendiri adalah sistem pengadaan yang berbasis kolaborasi mendalam sejak tahap paling awal proyek. IPD menuntut semua pihak—pemilik, kontraktor, perancang, dan pemasok—bekerja dalam satu kontrak multipihak, berbagi risiko dan keuntungan, serta berkontribusi sejak desain belum dimulai.
Metodologi Penelitian: Studi Proyek dan Pendekatan Delphi
Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan:
Studi tiga proyek DBB di Indonesia bernilai di atas Rp 10 miliar.
Diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan 14 pakar (akademisi, kontraktor, konsultan).
Delphi Method untuk mencapai konsensus dalam rekomendasi strategi partnering.
Hasilnya menghasilkan model perubahan bertahap dari pola persaingan menuju kolaborasi.
Tingkatan Partnering: Dari Kompetisi ke Koalesensi
Studi Kasus: 3 Proyek DBB Indonesia dan Analisis Keterlambatan
Fakta Lapangan
Dari ketiga proyek yang diteliti:
Semuanya mengalami keterlambatan signifikan.
Penyebab utama: perubahan desain (rework), keterbatasan SDM, keterlambatan material, dan keputusan lambat oleh pemilik proyek.
Data grafik menunjukkan penyimpangan standar tinggi dari rencana awal (lihat Gambar 6 & 7 dalam artikel), menandakan kinerja buruk.
Strategi Perubahan: Dari DBB Kompetitif ke DBB Kolaboratif
Model Perubahan yang Direkomendasikan
Tanpa mengubah format kontrak DBB, hubungan kerja bisa ditransformasikan sebagai berikut:
Pemilik proyek menunjuk desainer berdasarkan visi bersama, bukan hanya harga terendah.
Kontraktor dilibatkan sejak tahap desain, tidak hanya setelah perencanaan selesai.
Subkontraktor dipilih berdasarkan hubungan jangka panjang, bukan hanya lewat tender lepas.
Bagi hasil keuntungan dan skema risiko bersama diperkenalkan sejak awal.
Model ini bertujuan meniru kualitas hubungan dalam IPD, walau tetap berada dalam kerangka hukum DBB.
Dampak Praktis: Manfaat Nyata Kolaborasi
Penelitian ini menegaskan bahwa transformasi menuju kolaborasi bukan sekadar konsep ideal. Berdasarkan berbagai referensi studi sebelumnya:
Produktivitas pekerja naik 10%.
Biaya proyek turun hingga 10%.
Jadwal proyek lebih tepat waktu (hingga 100% sesuai rencana).
Pekerjaan berulang (rework) turun 50%.
Hubungan kerja jangka panjang terbentuk
Kritik dan Tantangan Implementasi di Indonesia
Kendala Utama:
IPD belum dikenal luas dalam sistem pengadaan pemerintah.
Masih dominan paradigma tender harga terendah.
Budaya kerja yang terbiasa kompetisi, bukan kolaborasi.
Risiko tuduhan “pilih kasih” jika pemilik proyek menunjuk mitra tanpa tender.
Namun, justru karena tantangan inilah pendekatan “DBB kolaboratif” menjadi solusi pragmatis: tanpa melanggar aturan formal, tapi tetap mengadopsi semangat IPD.
Rekomendasi Strategis
Revisi standar pengadaan proyek pemerintah untuk memungkinkan pendekatan kolaboratif.
Sosialisasi konsep IPD ke pelaku industri dan regulator.
Pilot project IPD terbatas di proyek-proyek strategis untuk uji coba.
Bangun sistem evaluasi berbasis kinerja jangka panjang, bukan hanya capaian fisik.
Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Berkelanjutan Ada pada Kolaborasi
Penelitian ini menyampaikan pesan kuat: untuk mencapai kinerja proyek yang optimal—baik dari sisi waktu, biaya, kualitas, maupun kesinambungan—diperlukan pergeseran paradigma dari persaingan ke kolaborasi. Meski sistem pengadaan belum berubah, cara kita membangun hubungan kerja bisa ditingkatkan.
DBB tidak harus dibuang, tapi harus dikembangkan. Melalui pendekatan strategis, nilai-nilai IPD bisa diadopsi, sehingga menciptakan proyek infrastruktur yang efisien, harmonis, dan berkelanjutan di masa depan.
Sumber:
Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., dkk. (2024). Design Bid Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242.
Tautan resmi: https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Kinerja Proyek Infrastruktur Irigasi Perlu Diperbarui?
Dalam era pembangunan berkelanjutan, ketahanan pangan menjadi isu utama yang tak bisa dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur pendukung seperti jaringan irigasi. Di Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mengalokasikan anggaran besar untuk sektor ini. Pada tahun 2016 misalnya, dari total anggaran sebesar Rp 103,8 triliun, sekitar Rp 29,7 triliun ditujukan khusus untuk bidang Sumber Daya Air.
Namun, besarnya anggaran tidak serta-merta menjamin keberhasilan proyek. Evaluasi kinerja masih dominan pada serapan anggaran dan pencapaian fisik. Pendekatan ini mengabaikan kontribusi dan kepuasan para stakeholder lain seperti petani, kontraktor, konsultan, dan bahkan pemerintah daerah. Oleh karena itu, pendekatan baru yang lebih holistik sangat dibutuhkan—dan di sinilah metode Performance Prism masuk sebagai solusi.
Apa Itu Performance Prism?
Performance Prism adalah model pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh Neely & Adams (2000). Berbeda dari model Balanced Scorecard atau IPMS, Performance Prism menilai organisasi dari lima sisi yang saling terhubung:
Stakeholder Satisfaction
Apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh stakeholder?
Stakeholder Contribution
Apa kontribusi stakeholder terhadap organisasi?
Strategies
Strategi apa yang digunakan untuk memenuhi harapan stakeholder?
Processes
Proses apa yang dibutuhkan untuk menjalankan strategi tersebut?
Capabilities
Apa saja kapabilitas organisasi untuk mendukung proses dan strategi?
Model ini mengakui bahwa semua pihak memiliki ekspektasi dan kontribusi terhadap keberhasilan proyek, bukan hanya pengguna jasa utama.
Studi Kasus: Infrastruktur Irigasi Nasional
Masalah dalam Pengukuran Kinerja Proyek Saat Ini
Fokus berlebihan pada indikator output (anggaran & fisik).
Tidak mengintegrasikan peran serta kebutuhan stakeholder.
Tidak mencerminkan kualitas layanan dan dampak jangka panjang.
Untuk menjawab tantangan tersebut, penelitian ini menerapkan kerangka Performance Prism untuk proyek infrastruktur jaringan irigasi.
Metode Penelitian
Jenis: Kualitatif deskriptif.
Teknik: Observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur.
Responden: Stakeholder kunci proyek, seperti Kementerian PUPR, kontraktor, konsultan perencana/pengawas, auditor, petani, dan pemerintah daerah.
Hasil Utama: 15 Tujuan Bersama dan Ratusan KPI Teridentifikasi
Tujuan Bersama (Objective) Proyek
Penelitian mengidentifikasi 15 tujuan utama yang mewakili keinginan dan kebutuhan stakeholder, di antaranya:
Transparansi dan akuntabilitas anggaran.
Perencanaan matang sesuai tujuan proyek.
Pengadaan/lelang yang jujur dan kompetitif.
Pelaksanaan tepat waktu dan ramah lingkungan.
Kualitas dan kuantitas pekerjaan sesuai standar.
Efisiensi pengelolaan sumber daya.
Fungsionalitas hasil konstruksi.
Keselamatan dan kesejahteraan tenaga kerja.
Komunikasi dan koordinasi antar pihak.
Penyelesaian masalah proyek secara tuntas.
Monitoring dan pengawasan yang objektif.
Dokumentasi dan administrasi tertib.
Pemeliharaan infrastruktur berkelanjutan.
Ketepatan waktu pembayaran.
Pemberian manfaat riil kepada masyarakat.
Komponen Indikator Kinerja: Lebih Komprehensif dan Relevan
Indikator Tahap Perencanaan & Pelelangan
Keselarasan desain dengan tujuan nasional dan kondisi lapangan.
Efisiensi dan kemudahan implementasi.
Ketepatan prosedur lelang dan dokumentasi.
Indikator Tahap Pelaksanaan
Biaya, kualitas, dan kuantitas pekerjaan.
Pengelolaan sumber daya manusia dan material.
Aspek keselamatan kerja dan dampak lingkungan.
Efektivitas komunikasi dan pemecahan masalah.
Output fungsional proyek dan keterlibatan masyarakat.
Indikator Tahap Pemeliharaan
Konsistensi kualitas fisik pasca-konstruksi.
Efektivitas anggaran pemeliharaan.
KPI tersebut dapat digunakan untuk menyusun laporan berkala yang lebih bermakna dibanding sekadar persentase realisasi fisik.
Nilai Tambah: Apa Kelebihan Performance Prism?
Dibanding Balanced Scorecard:
Balanced Scorecard hanya berfokus pada shareholder dan customer.
Performance Prism memperluas cakupan hingga petani dan auditor.
Dibanding IPMS:
IPMS cenderung langsung menetapkan KPI tanpa mengaitkannya dengan strategi dan kapabilitas.
Performance Prism memastikan hubungan logis antara tujuan → strategi → proses → kapabilitas → KPI
Implikasi Praktis: Membuka Jalan untuk Evaluasi Proyek yang Lebih Cerdas
Bagi Pemerintah:
Menyediakan alat ukur yang mencerminkan keberhasilan jangka panjang, bukan sekadar pencapaian anggaran.
Bagi Kontraktor dan Konsultan:
Memperjelas ekspektasi dan kontribusi mereka dalam proyek.
Meningkatkan akuntabilitas kerja dan reputasi.
Bagi Petani dan Masyarakat Lokal:
Mendorong inklusi sosial dan ekonomi.
Menjamin bahwa hasil proyek benar-benar memberikan manfaat.
Kritik Konstruktif terhadap Penelitian
Kelebihan:
Pendekatan holistik dan partisipatif.
Penyusunan indikator berdasarkan data lapangan.
Memungkinkan personalisasi KPI berdasarkan jenis proyek.
Keterbatasan:
Tidak ada uji coba lapangan untuk melihat efektivitas KPI secara real-time.
Masih bersifat teoritis, perlu penerapan di proyek nyata.
Kurangnya kuantifikasi untuk validasi indikator numerik.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Uji lapangan KPI pada proyek irigasi aktif agar indikator bisa diuji dampaknya terhadap efisiensi dan kepuasan stakeholder.
Penggunaan software berbasis dashboard untuk memantau KPI secara real-time.
Perluasan penggunaan model ini ke sektor lain, seperti proyek sanitasi, transportasi, dan pembangunan kota.
Kesimpulan: Menuju Sistem Evaluasi Proyek yang Lebih Bermakna
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan Performance Prism sangat efektif dalam menciptakan sistem pengukuran kinerja yang inklusif dan strategis. Dengan mempertimbangkan harapan dan kontribusi semua stakeholder, evaluasi proyek tidak lagi bersifat sempit dan birokratis, melainkan menjadi instrumen manajemen yang visioner.
Di tengah tuntutan pembangunan berkelanjutan dan tata kelola yang lebih transparan, pendekatan seperti ini menjadi keniscayaan—bukan sekadar alternatif.
Sumber:
Aditya, Nofi. (2017). Identifikasi Indikator Kinerja Proyek Infrastruktur Jaringan Irigasi dengan Metode Performance Prism. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Identifikasi Pemangku Kepentingan Itu Penting?
Dalam proyek konstruksi, terutama di sektor swasta, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kecepatan atau efisiensi biaya, melainkan juga oleh seberapa baik seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dikenali dan dikelola sejak awal. Sayangnya, tahap paling awal ini—stakeholder identification (SI)—sering diabaikan atau dilakukan secara sempit, yang akhirnya berdampak pada konflik, keterlambatan, bahkan kegagalan proyek.
Studi oleh Olatunde et al. (2021) memetakan secara empiris metode-metode yang digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan dalam proyek bangunan yang dikembangkan oleh organisasi swasta di Nigeria bagian barat daya. Hasil riset ini tidak hanya membuka mata tentang bagaimana praktik lapangan terjadi, tetapi juga memberikan pelajaran universal yang dapat diterapkan di berbagai konteks industri dan geografis.
Metodologi Studi: Menyaring Pengalaman Nyata dari Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dua tahap. Dari 106 profesional proyek, terpilih 30 manajer proyek yang telah menjalani proses manajemen pemangku kepentingan secara terstruktur antara tahun 2008 hingga 2017. Mereka diminta mengevaluasi 13 metode SI berdasarkan tingkat penggunaannya, dengan skala 1 (sangat jarang digunakan) hingga 5 (sangat sering digunakan).
Analisis data dilakukan menggunakan Mean Score (MS) dan ANOVA untuk menguji perbedaan persepsi antar metode pengadaan proyek: tradisional, manajemen kontrak, dan design–build.
Temuan Kunci: Dominasi Brainstorming, Minim Partisipasi Publik.
Metode yang Jarang Digunakan
Sebaliknya, metode-metode berikut hampir tidak digunakan:
Public hearing (MS: 0.57)
Delphi method (MS: 0.80)
Kuesioner (MS: 0.87)
Fakta ini menunjukkan rendahnya partisipasi publik dan metode ilmiah dalam proses identifikasi stakeholder. Padahal, keterlibatan aktif dari kelompok eksternal dapat membantu menghindari konflik di masa depan.
Studi Kasus: Kegagalan Identifikasi Stakeholder di Proyek Jembatan China–Hong Kong
Sebagai ilustrasi nyata pentingnya SI yang komprehensif, penulis merujuk pada proyek jembatan laut yang menghubungkan Zhuhai, Hong Kong, dan Makau. Proyek ini tertunda selama 12 bulan akibat gugatan hukum dari kelompok lingkungan hidup yang tidak diidentifikasi sejak awal. Keterlambatan ini merugikan jutaan dolar dan menunjukkan bahwa mengabaikan stakeholder "non-teknis" seperti LSM bisa sangat mahal.
Keterkaitan antara Metode SI dan Kinerja Proyek
Temuan riset menunjukkan bahwa kurangnya variasi dan kedalaman metode SI berkontribusi pada identifikasi yang tidak menyeluruh. Hal ini dapat menyebabkan:
Terlewatnya stakeholder penting
Meningkatnya risiko konflik di tengah proyek
Terhambatnya komunikasi dua arah
Ketidakpuasan masyarakat sekitar proyek
Menariknya, ANOVA menunjukkan bahwa 84,62% metode SI tidak terpengaruh oleh jenis metode pengadaan proyek. Artinya, pola pikir dan budaya manajer proyek lebih dominan ketimbang sistem kontrak yang digunakan.
Kritik dan Opini: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Kelemahan Penelitian:
Sampel terbatas: Hanya mencakup proyek-proyek swasta di Nigeria bagian barat daya, sehingga generalisasi hasil perlu hati-hati.
Fokus pada persepsi: Tidak membandingkan persepsi SI dengan kinerja proyek secara langsung.
Minim triangulasi: Tidak ada pembuktian silang dari stakeholder yang diidentifikasi—apakah memang mereka benar-benar berpengaruh?
Rekomendasi dari Penulis:
Gunakan metode partisipatif seperti public hearing atau Delphi method untuk cakupan stakeholder yang lebih luas.
Tingkatkan dokumentasi dan rekam jejak stakeholder melalui database atau software manajemen proyek.
Sisihkan anggaran khusus untuk identifikasi stakeholder, karena dampaknya sangat besar terhadap hasil akhir proyek.
Perbandingan dengan Studi Global
Temuan ini sejalan dengan Aapaoja & Haapasalo (2014) yang menekankan pentingnya framework sistematis dalam SI. Namun, banyak studi sebelumnya hanya teoretis. Penelitian ini menjadi langkah maju karena secara empiris mengukur frekuensi penggunaan metode SI di lapangan.
Dibandingkan dengan studi di negara maju, proyek di Nigeria tampak masih mengandalkan intuisi dan diskusi informal. Padahal, pendekatan berbasis data dan partisipasi publik sudah menjadi standar di Eropa dan Amerika Utara.
Relevansi Global: Mengapa Dunia Harus Peduli?
Metode identifikasi stakeholder yang lemah tidak hanya menjadi masalah di Nigeria, tetapi juga di banyak negara berkembang. Dengan semakin tingginya tuntutan terhadap transparansi, keberlanjutan, dan tanggung jawab sosial, setiap proyek harus mampu memetakan dan mengelola ekspektasi semua pihak yang terdampak.
Tiga pelajaran penting dari studi ini yang berlaku universal:
Jangan hanya mengandalkan brainstorming internal.
Libatkan masyarakat sekitar sejak tahap awal.
Gunakan pendekatan ilmiah dan partisipatif secara bersamaan.
Kesimpulan: Menuju Stakeholder Engagement yang Lebih Cerdas
Studi ini menunjukkan bahwa proyek konstruksi swasta di Nigeria cenderung menggunakan metode identifikasi stakeholder yang terbatas, dengan dominasi pendekatan internal seperti brainstorming dan wawancara pakar. Minimnya keterlibatan publik dan metode ilmiah menyebabkan kemungkinan besar terjadinya blind spots yang berdampak negatif terhadap kinerja proyek.
Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi pendekatan SI yang lebih inklusif, partisipatif, dan berbasis data. Investasi di tahap awal ini bukanlah beban, melainkan fondasi menuju keberhasilan proyek secara menyeluruh.
Sumber:
Olatunde, N.A., Awodele, I.A., & Odeyinka, H.A. (2021). Stakeholder identification methods used in private organisations’ projects in Nigeria. Frontiers in Engineering and Built Environment, 1(2), 217–229.
DOI: 10.1108/FEBE-05-2021-0023
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Design–Build sebagai Paradigma Baru dalam Infrastruktur
Dalam lanskap konstruksi modern yang semakin kompleks dan menuntut efisiensi tinggi, metode pengadaan Design–Build (DB) muncul sebagai alternatif menarik dibanding pendekatan tradisional. DB menggabungkan fungsi perancangan dan pelaksanaan konstruksi dalam satu kontrak, yang diharapkan bisa menyederhanakan koordinasi dan mempercepat waktu penyelesaian. Namun, apakah benar DB membawa keberhasilan proyek infrastruktur secara menyeluruh?
Paper berjudul “The Impacts of Design–Build Procurement on Infrastructure Project Success” yang diterbitkan oleh Journal of Engineering, Project, and Production Management (Vol. 14, No. 3, 2024) menyajikan kajian komprehensif tentang bagaimana sistem DB mempengaruhi kinerja proyek, berdasarkan persepsi para profesional industri. Artikel ini tidak hanya menyajikan data empirik, tetapi juga membuka ruang refleksi atas praktik DB di dunia nyata.
Metodologi Penelitian: Survei pada Praktisi Proyek Infrastruktur
Penelitian ini berbasis survei kuantitatif yang disebarkan kepada para pelaku proyek infrastruktur di sektor publik dan swasta. Sebanyak 67 responden memberikan pandangan mereka terkait tujuh dimensi keberhasilan proyek, yaitu:
Kinerja Biaya
Kinerja Waktu
Kualitas
Kepuasan Pemilik
Kepuasan Kontraktor
Hubungan Tim
Kinerja Keseluruhan Proyek
Teknik analisis yang digunakan adalah Exploratory Factor Analysis (EFA) dan Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM), yang memungkinkan identifikasi pengaruh laten dan hubungan antar variabel.
Temuan Utama: DB Meningkatkan Kolaborasi dan Kepuasan Tim
Peningkatan Kolaborasi & Hubungan Tim
Salah satu kontribusi terbesar metode DB adalah peningkatan kualitas hubungan antar pihak dalam proyek. Karena perancang dan pelaksana tergabung dalam satu kontrak, koordinasi menjadi lebih cair dan minim konflik. Hal ini mendukung terciptanya budaya kerja yang lebih kooperatif dan solutif, terutama dalam mengatasi perubahan desain selama pelaksanaan.
Contoh nyata dapat dilihat pada proyek infrastruktur besar seperti North Tarrant Express di Texas, AS, di mana sistem DB digunakan untuk mempercepat pembangunan jalan tol sepanjang 13 mil. Proyek ini berhasil diselesaikan lebih cepat dari jadwal dan berada dalam batas anggaran berkat sinergi erat antar tim desain dan konstruksi.
Efisiensi Waktu dan Biaya
Penelitian ini menemukan bahwa metode DB memiliki korelasi kuat dengan peningkatan efisiensi waktu dan kinerja biaya. Hal ini didukung oleh hasil PLS-SEM yang menunjukkan pengaruh positif signifikan dari DB terhadap kedua aspek tersebut.
Sebagai perbandingan, proyek tradisional dengan sistem Design–Bid–Build (DBB) seringkali mengalami keterlambatan akibat ketidaksesuaian antara desain dan pelaksanaan. Dalam sistem DB, potensi konflik tersebut dapat diminimalisir sejak awal karena integrasi fungsi desain dan konstruksi.
Kepuasan Pemilik dan Kontraktor
DB juga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap kepuasan pemilik dan kontraktor. Pemilik proyek merasa lebih puas karena proyek selesai lebih cepat dan sesuai ekspektasi biaya, sementara kontraktor mendapat fleksibilitas lebih dalam merancang solusi yang ekonomis dan mudah dieksekusi.
Dimensi Lain: Tantangan Tersembunyi dalam Sistem DB
Meskipun banyak keuntungan, metode DB bukan tanpa kelemahan. Penelitian ini juga mengungkap beberapa tantangan yang masih membayangi penerapannya.
Potensi Penurunan Kualitas
Salah satu kekhawatiran terbesar dalam sistem DB adalah potensi kompromi terhadap kualitas. Karena tanggung jawab desain dan konstruksi berada di tangan satu entitas, ada risiko bahwa pelaksana memilih solusi desain yang lebih ekonomis namun kurang optimal secara teknis.
Dalam studi ini, dimensi quality performance memang mendapatkan skor positif, namun tidak sekuat dimensi waktu dan biaya. Artinya, meskipun tidak ditemukan penurunan signifikan, kekhawatiran akan kompromi kualitas tetap perlu diperhatikan, khususnya dalam proyek-proyek berisiko tinggi seperti jembatan, bendungan, atau fasilitas publik vital.
Ketergantungan pada Kompetensi Kontraktor
Sistem DB sangat mengandalkan kemampuan dan integritas kontraktor. Jika kontraktor tidak memiliki kapasitas desain yang mumpuni, maka hasil akhir proyek dapat terancam. Hal ini menjadi perhatian khusus dalam pasar negara berkembang, di mana sumber daya manusia dan lembaga desain-kontraktor yang terintegrasi masih terbatas.
Implikasi Praktis: Apakah DB Cocok untuk Semua Proyek?
Cocok untuk Proyek Cepat dan Kompleks
DB sangat cocok diterapkan pada proyek yang menuntut kecepatan, fleksibilitas desain, dan integrasi sistem tinggi. Misalnya:
Proyek transportasi massal (kereta cepat, MRT)
Fasilitas militer atau kesehatan darurat
Pembangunan kawasan industri atau infrastruktur pelabuhan
Kurang Ideal untuk Proyek Berbasis Regulasi Ketat
Namun, DB kurang sesuai untuk proyek dengan batasan regulasi ketat atau proses desain yang sangat spesifik dan harus melalui persetujuan publik. Misalnya proyek konservasi, bangunan cagar budaya, atau proyek pemerintah dengan tender terbuka yang menuntut transparansi tinggi dalam pemisahan peran desain dan konstruksi.
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian ini sejalan dengan temuan dari Chan et al. (2010) yang menunjukkan bahwa DB meningkatkan waktu penyelesaian proyek sebesar rata-rata 15% dibanding DBB. Namun, studi ini lebih maju karena menambahkan dimensi hubungan tim dan kepuasan sebagai indikator keberhasilan yang jarang dikaji sebelumnya.
Selain itu, pendekatan menggunakan PLS-SEM memberikan keunggulan dalam mengidentifikasi hubungan kausal secara statistik, sesuatu yang tidak banyak dilakukan dalam studi DB lainnya.
Kritik & Rekomendasi
Kritik:
Sampel terbatas: Survei hanya melibatkan 67 responden, yang mungkin belum cukup merepresentasikan populasi profesional konstruksi global.
Dominasi persepsi subjektif: Penelitian bergantung pada persepsi individu, bukan data performa aktual dari proyek.
Rekomendasi:
Studi lanjutan sebaiknya menggunakan data proyek nyata (misal laporan keuangan, waktu penyelesaian, dan hasil audit).
Perlu dibangun sistem pengukuran kualitas desain yang lebih objektif untuk mengevaluasi apakah DB benar-benar menjaga standar teknis yang diharapkan.
Penutup: DB adalah Masa Depan, Tapi Butuh Kehati-hatian
Sistem Design–Build jelas memberikan keuntungan nyata dalam hal efisiensi dan hubungan kerja, serta berkontribusi terhadap keberhasilan proyek infrastruktur. Namun, penerapan sistem ini tetap harus mempertimbangkan konteks proyek, kesiapan sumber daya, dan risiko kualitas.
Integrasi tidak boleh menjadi alasan pengabaian mutu. Keberhasilan sejati metode DB terletak pada bagaimana aktor-aktor proyek mampu menjaga keseimbangan antara efisiensi dan akuntabilitas teknis.
Sumber
Paper asli dapat diakses melalui jurnal resmi:
The Impacts of Design–Build Procurement on Infrastructure Project Success
Journal of Engineering, Project, and Production Management, Vol. 14, No. 3, 2024, pp. 160–173.
https://doi.org/10.32738/JEPPM.20240806.0003
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 08 Mei 2025
Pendahuluan: Biaya, Faktor Kritis dalam Proyek Konstruksi
Dalam dunia konstruksi, biaya adalah elemen krusial yang menentukan kelangsungan dan kesuksesan proyek. Di kota Pekanbaru, perkembangan proyek gedung pemerintah kategori kecil menunjukkan peningkatan yang signifikan, namun permasalahan cost overrun atau pembengkakan biaya masih menjadi momok. Paper berjudul "Analisis Faktor Dominan Penyebab Terjadinya Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) pada Proyek Konstruksi Gedung Pemerintah Kategori Kecil di Kota Pekanbaru" oleh Rian Tri Komara Iriana dkk. (2022) mencoba membedah akar permasalahan tersebut secara sistematis.
Metodologi Penelitian: Gabungan Statistik dan Persepsi Praktisi
Penelitian ini berbasis kuantitatif dengan menggunakan instrumen kuesioner yang disebar ke 14 responden dari tujuh kontraktor berbeda di Pekanbaru. Responden dipilih secara purposif, mencakup direktur teknik, manajer proyek, manajer lapangan, hingga kepala proyek. Metode analisis yang digunakan meliputi:
Statistik deskriptif
Uji validitas dan reliabilitas (Cronbach’s Alpha)
Analisis faktor
Uji asumsi klasik (multikolinearitas, autokorelasi, heteroskedastisitas)
Semua analisis dihitung menggunakan perangkat lunak SPSS versi 24 untuk memastikan akurasi.
Hasil Penelitian: Tiga Faktor Dominan Pemicu Cost Overrun
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi tiga faktor utama penyebab pembengkakan biaya:
1. Terlalu Banyak Proyek yang Ditangani Bersamaan (92,0%)
Masalah ini muncul pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Ketika kontraktor mengambil terlalu banyak proyek sekaligus, konsentrasi dan sumber daya menjadi terbagi, sehingga kualitas pengawasan dan pelaksanaan menurun drastis.
2. Kekurangan Tenaga Kerja (86,0%)
Faktor ini terkait dengan bagian koordinasi sumber daya. Dalam konteks proyek kecil, jumlah tenaga kerja yang terbatas berdampak langsung pada keterlambatan dan biaya tambahan akibat lembur atau penggunaan pekerja tidak terampil.
3. Cara Pembayaran yang Tidak Tepat Waktu (63,2%)
Faktor ini berasal dari sistem kontrol. Ketidaklancaran pembayaran dari pemilik proyek ke kontraktor mengganggu arus kas dan memaksa kontraktor mencari pinjaman atau menunda pekerjaan, yang akhirnya menambah biaya operasional.
Model Persamaan Regresi dan Interpretasi
Dari regresi linier berganda diperoleh model:
Y = 4,224 - 0,422X1 + 0,259X2 - 0,399X3
Artinya:
Jika jumlah proyek berlebih berkurang satu unit, pembengkakan biaya naik 0,422 poin.
Jika kekurangan tenaga kerja bertambah satu unit, pembengkakan biaya naik 0,259 poin.
Jika keterlambatan pembayaran berkurang satu unit, pembengkakan biaya naik 0,399 poin.
Hal ini menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam distribusi proyek, serta manajemen SDM dan keuangan.
Studi Kasus dan Relevansi Lapangan
Di lapangan, CV. Anugrah dan CV. Diamond sebagai dua dari tujuh kontraktor responden menunjukkan tren yang serupa: proyek dengan banyak keterlibatan paralel cenderung mengalami deviasi biaya lebih besar. Hal ini didukung laporan dari LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) yang mencatat bahwa 61% proyek kecil seringkali tidak memiliki manajemen proyek formal.
Perbandingan dengan Studi Lain
Temuan ini sejalan dengan penelitian Ervianto (2005) dan Nugroho (2012) yang menyebutkan bahwa manajemen proyek yang buruk dan kekurangan SDM adalah penyebab utama cost overrun. Namun, penelitian ini memberi nilai tambah dengan pendekatan statistik yang solid dan fokus spesifik pada proyek pemerintah berskala kecil di daerah urban.
Kritik dan Saran
Meski analisis regresi menunjukkan bahwa secara parsial dan simultan ketiga variabel tidak signifikan secara statistik (karena Sig > 0,05 dan F hitung < F tabel), nilai praktis dari variabel-variabel ini tetap relevan. Ini menunjukkan bahwa dalam kondisi lapangan yang kompleks, statistik tidak selalu menangkap dinamika sepenuhnya.
Saran Praktis:
Pemerintah sebaiknya membatasi jumlah proyek simultan yang ditangani oleh satu kontraktor.
Kontraktor perlu merancang strategi rekrutmen tenaga kerja yang efisien.
Regulasi mengenai sistem pembayaran proyek pemerintah perlu diperbaiki untuk mencegah keterlambatan transfer dana.
Implikasi untuk Industri dan Pemerintah Daerah
Penelitian ini penting sebagai rujukan bagi:
Dinas PU dalam merancang sistem distribusi proyek
LPSE dan Bappeda dalam evaluasi kinerja kontraktor
Kontraktor lokal untuk meningkatkan kualitas manajemen proyek dan SDM
Penutup: Mencegah Lebih Baik daripada Menambal
Studi ini menegaskan bahwa pembengkakan biaya dalam proyek konstruksi bukanlah keniscayaan, melainkan akibat dari faktor-faktor yang bisa dikendalikan. Dengan pendekatan manajemen yang tepat, pengawasan proyek yang cermat, dan komitmen semua pihak, proyek-proyek kecil di Pekanbaru dapat diselesaikan tepat waktu dan tepat anggaran.
Sumber
Iriana, R.T.K., Sebayang, M., & Yogi, M.R.A. (2022). Analisis Faktor Dominan Penyebab Terjadinya Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) pada Proyek Konstruksi Gedung Pemerintah Kategori Kecil di Kota Pekanbaru. Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sipil, 1(1), 37–43. https://jtrs.ejournal.unri.ac.id/index.php/jtrs/article/view/5