Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Kompetensi Sebagai Tulang Punggung Kesuksesan Proyek
Di tengah geliat pembangunan nasional yang terus melaju, sektor konstruksi menjadi penopang utama roda ekonomi Indonesia. Namun, keberhasilan sebuah proyek tidak hanya ditentukan oleh aspek perencanaan dan penganggaran, tetapi juga oleh satu elemen krusial yang sering terabaikan: kompetensi tenaga kerja. Artikel ilmiah karya Palensi Bastangka, Lusiana, dan Rafie membongkar hubungan langsung antara kompetensi tenaga kerja dan kinerja di lapangan, dengan studi kasus pada proyek pembangunan mall dan layanan publik Kapuas Indah, Pontianak.
Penelitian ini sangat relevan dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan populasi mencapai 273,8 juta jiwa pada tahun 2023. Angka tersebut menjadi potensi sekaligus tantangan besar dalam penyediaan tenaga kerja konstruksi yang kompeten dan berkinerja tinggi.
Kompetensi Tenaga Kerja: Bukan Sekadar Skill, Tapi Kombinasi 3 Pilar
Apa Itu Kompetensi Tenaga Kerja?
Menurut Sudiapta (2015), kompetensi tenaga kerja mencakup:
Pengetahuan (Knowledge): Pemahaman teknis dan teoritis terkait pekerjaan.
Keterampilan (Skill): Kemampuan teknis-operasional yang diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman.
Perilaku (Attitude): Sikap kerja, kedisiplinan, dan etos yang mencerminkan profesionalisme.
Kombinasi ketiga unsur ini akan menentukan apakah seorang pekerja hanya "mengisi posisi" atau benar-benar menjadi kontributor produktif dalam proyek.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Statistik Kuat dan Studi Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Sebanyak 68 responden yang bekerja pada proyek konstruksi di Pontianak diambil sebagai sampel. Alat analisis yang digunakan mencakup:
Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji Normalitas
Relative Importance Index (RII)
Uji Statistik Deskriptif dan Uji F (ANOVA)
Data diolah dengan perangkat lunak SPSS 26.
Temuan Utama: Kompetensi Mempengaruhi Kinerja Secara Signifikan
Validitas dan Reliabilitas: Instrumen Terbukti Kuat
Semua indikator kompetensi tenaga kerja terbukti valid dengan nilai r hitung > 0,2012 dan reliabel dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,913. Artinya, alat ukur dalam penelitian ini sangat terpercaya dan konsisten.
Statistik Deskriptif: Rata-Rata Tinggi, Tapi Ada Gap
Dari skala 1–5, rata-rata indikator kompetensi berada di kisaran tinggi, dengan nilai rata-rata tertinggi adalah:
4,254: “Mengikuti segala aturan proyek”
4,238: “Kemampuan bekerja dalam kelompok”
4,111: “Semangat tinggi”
Namun indikator “kemampuan khusus sesuai bidang” justru mendapat nilai terendah, yakni 3,921—menunjukkan bahwa meski sikap dan etos kerja tinggi, kemampuan teknis spesifik masih kurang.
Studi Kasus: Apa yang Terjadi di Lapangan?
Dalam proyek pembangunan mall Kapuas Indah, ditemukan bahwa:
Tim lapangan bekerja cepat dan disiplin.
Namun ketika ditugaskan melakukan pekerjaan struktural khusus, hanya sebagian kecil yang bisa melaksanakan tanpa supervisi ketat.
Hal ini sejalan dengan temuan bahwa pekerja unggul dalam disiplin, tapi belum tentu mahir dalam keterampilan teknis spesifik.
Uji F: Kompetensi dan Kinerja Punya Hubungan Signifikan
Hasil uji F menunjukkan bahwa:
F hitung = 34,346
F tabel = 2,370
Karena F hitung > F tabel, maka secara statistik dapat disimpulkan bahwa kompetensi tenaga kerja secara signifikan memengaruhi kinerja pekerja konstruksi.
Analisis Tambahan: Membaca Arah Industri Konstruksi ke Depan
Realita Industri
Banyak kontraktor saat ini lebih mengutamakan pekerja yang memiliki keterampilan praktis dan attitude positif dibanding sekadar ijazah. Kompetensi yang rendah sering berujung pada:
Rework: Mengulang pekerjaan akibat kesalahan teknis.
Keterlambatan proyek
Overbudget
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian oleh Sudipta (2015) dan Almira (2017) juga menunjukkan bahwa soft skill seperti komunikasi, kedisiplinan, dan kerja tim sangat memengaruhi produktivitas proyek. Di sisi lain, laporan McKinsey (2022) menyatakan bahwa pekerja yang memiliki kombinasi soft & hard skill produktivitasnya bisa meningkat hingga 23%.
Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan?
Pelatihan Soft Skill Reguler
Komunikasi, teamwor, dan kepatuhan pada SOP perlu menjadi bagian dari pelatihan wajib.
Penyusunan Kurikulum Pelatihan Berbasis RII
RII bisa menjadi panduan untuk menyusun modul pelatihan berdasarkan faktor kompetensi yang paling berpengaruh.
Uji Kompetensi Berkala
Tidak cukup hanya sekali. Kompetensi harus diuji secara periodik dengan standar yang adaptif terhadap perkembangan teknologi konstruksi.
Digitalisasi Monitoring Kinerja
Menggunakan aplikasi mobile untuk menilai kinerja harian secara kuantitatif bisa menjadi terobosan baru.
Kritik dan Rekomendasi Penelitian
Kelebihan:
Menggunakan metode statistik lengkap dan kuat.
Data berasal dari proyek nyata, bukan asumsi laboratorium.
Keterbatasan:
Hanya mengambil 68 responden dari satu proyek.
Tidak menjelaskan latar belakang pendidikan atau jenjang pengalaman pekerja secara terperinci.
Rekomendasi:
Penelitian lanjutan bisa menambahkan dimensi seperti pendidikan terakhir, pengalaman kerja, dan usia untuk analisis lebih tajam.
Penutup: Kompetensi adalah Investasi, Bukan Pengeluaran
Penelitian ini membuktikan secara statistik dan praktis bahwa kompetensi tenaga kerja bukan hanya faktor pelengkap, tapi inti dari produktivitas proyek konstruksi. Perusahaan yang ingin sukses dalam jangka panjang harus menganggap pelatihan dan pengembangan tenaga kerja sebagai investasi strategis, bukan biaya operasional.
Dengan demikian, jalan menuju proyek berkualitas tinggi, tepat waktu, dan efisien dimulai dari kualitas manusianya.
Sumber Referensi
Palensi Bastangka, Lusiana, dan Rafie. (2023). Analisis Pengaruh Kompetensi Tenaga Kerja terhadap Kinerja Pekerja. Jurnal Teknik Sipil Universitas Tanjungpura.
Tersedia di: https://doi.org/10.31227/osf.io/ku3kgh
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Tenaga Kerja Indonesia di Era MEA
Sejak diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015, kawasan Asia Tenggara menghadapi integrasi ekonomi yang lebih dalam. Salah satu implikasi langsung dari kebijakan ini adalah bebasnya pergerakan tenaga kerja profesional antarnegara ASEAN, termasuk di sektor jasa konstruksi dan properti. Artikel karya Muhammad Aris Ichwanto, Isnandar, dan Mohammad Mustofa An’syorie mencoba membedah bagaimana kesiapan Indonesia dalam menyiapkan tenaga kerja profesional yang mampu bersaing dalam lanskap kompetitif ini.
Mengacu pada fakta bahwa hanya sekitar 5% dari 7,2 juta tenaga kerja konstruksi di Indonesia yang telah tersertifikasi pada tahun 2015, menjadi jelas bahwa urgensi peningkatan kualitas SDM di sektor ini bukan sekadar kebutuhan, tapi keharusan nasional. Sertifikasi kompetensi bukan hanya legalitas kerja, tapi juga instrumen penting untuk melindungi pekerjaan lokal dari serbuan tenaga kerja asing yang lebih siap secara profesional.
Standar Kompetensi dan Sertifikasi: Pilar Profesionalisme Konstruksi
Sistem Sertifikasi Nasional: SKT dan SKA
Indonesia telah memiliki kerangka standar nasional melalui SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang mengatur keahlian berdasarkan jabatan dan bidang pekerjaan. Sertifikasi terdiri dari:
SKT (Sertifikat Keterampilan): Diperuntukkan bagi tenaga terampil (lulusan SMK/SMA).
SKA (Sertifikat Keahlian): Diperuntukkan bagi tenaga ahli (lulusan D3–S1), dengan syarat pengalaman kerja antara 1–6 tahun tergantung tingkatannya.
Kedua jenis sertifikat ini dikeluarkan oleh LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) melalui uji teori dan praktik. Namun, rendahnya angka sertifikasi menunjukkan bahwa sistem ini masih belum terimplementasi secara luas dan merata.
MEA dan MRA: Tantangan Kualitas SDM yang Sesungguhnya
Apa Itu Mutual Recognition Arrangement (MRA)?
MRA merupakan kesepakatan antarnegara ASEAN untuk saling mengakui standar dan sertifikasi profesional di berbagai sektor, termasuk konstruksi dan arsitektur. MRA memudahkan profesional tersertifikasi untuk bekerja lintas negara, namun juga menciptakan persaingan ketat antar tenaga kerja ASEAN.
Terdapat dua sertifikasi regional yang disoroti:
ASEAN Chartered Professional Engineering (ACPE)
ASEAN Architect (AA)
Hingga 2015, Indonesia telah mencatatkan 569 insinyur dan 84 arsitek yang memiliki sertifikat ASEAN—jumlah tertinggi dibanding negara ASEAN lainnya. Namun, jika dibandingkan dengan potensi tenaga kerja Indonesia, angka ini tetap tergolong rendah.
Studi Kasus: Mengapa Indonesia Tertinggal?
Rendahnya Kualifikasi dan Sertifikasi
Menurut BPSDM PUPR, hanya 5% tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi. Sementara negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura telah menyiapkan roadmap pengembangan tenaga kerja jauh sebelumnya. Keterlambatan ini disebabkan oleh:
Kurangnya sinergi antara dunia pendidikan, industri, dan pemerintah.
Minimnya pemahaman pekerja terhadap pentingnya sertifikasi.
Tidak meratanya infrastruktur pelatihan kerja, khususnya di daerah.
Contoh Kasus Nyata
Di proyek infrastruktur besar seperti tol Trans Sumatera atau pelabuhan Patimban, banyak tenaga kerja lokal yang kalah bersaing dengan kontraktor asing karena tidak memiliki sertifikat kompetensi. Akibatnya, posisi-posisi strategis justru diisi oleh tenaga kerja luar.
Strategi Kolaboratif: Sinergi Tiga Pilar Pembangun SDM
Artikel ini menyajikan strategi yang disebut “Sinergi Kelembagaan” antara tiga entitas:
1. Pemerintah sebagai Regulator
Merumuskan regulasi wajib sertifikasi.
Memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang melibatkan tenaga kerja tersertifikasi.
2. Dunia Pendidikan sebagai Pusat Pembinaan
Menyesuaikan kurikulum agar inline dengan kebutuhan industri.
Menyediakan fasilitas praktik dan laboratorium sesuai standar kerja nyata.
3. Dunia Industri sebagai Pengguna
Memberikan program magang terstruktur.
Berpartisipasi aktif dalam uji sertifikasi dan pelatihan.
Kolaborasi ini juga didukung skema seperti program magang industri, pusat inkubasi keterampilan, dan insentif pajak untuk perusahaan mitra.
Kritik dan Opini Tambahan: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Tantangan yang Belum Terselesaikan
Meskipun kerangka kerja sudah ada, pelaksanaannya masih tambal sulam. Tantangan yang perlu dijawab:
Disparitas wilayah: Pelatihan dan sertifikasi banyak terpusat di kota besar.
Kurangnya insentif individu: Banyak tenaga kerja tidak termotivasi karena biaya sertifikasi yang tinggi
Kualitas instruktur: Beberapa lembaga pelatihan tidak memiliki pengajar bersertifikat internasional.
Benchmark ke Negara Lain
Singapura, misalnya, telah lama menerapkan model SkillsFuture, yang memberikan kredit pelatihan kepada warga negara untuk pelatihan sepanjang hayat. Indonesia bisa mengadopsi model serupa untuk memperluas akses terhadap pelatihan dan sertifikasi.
Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan?
Mendorong kebijakan wajib sertifikasi untuk semua pekerja konstruksi formal.
Mengembangkan sistem subsidi pelatihan dan sertifikasi, khususnya untuk UMKM konstruksi.
Menjadikan dunia usaha sebagai co-creator kurikulum dan tidak hanya sebagai pengguna lulusan.
Membangun sistem digital tracking untuk memonitor tenaga kerja tersertifikasi secara nasional.
Kesimpulan: SDM Unggul sebagai Pilar Kedaulatan Ekonomi
Artikel ini menekankan bahwa kesiapan tenaga kerja profesional di sektor jasa konstruksi bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga soal strategi nasional untuk menjaga kedaulatan ekonomi di tengah kompetisi MEA. Sertifikasi, pelatihan, dan sinergi kelembagaan adalah elemen kunci untuk menjawab tantangan regional ini.
Sumber Referensi
Muhammad Aris Ichwanto, Isnandar, dan Mohammad Mustofa An’syorie. (2022). Penyiapan Tenaga Kerja Profesional di Bidang Jasa Konstruksi dan Properti pada Masa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Jurnal Bangunan, Vol. 27 No. 1, hlm. 31–38.
[DOI dan akses jurnal tersedia di laman resmi Jurnal Bangunan Universitas Negeri Malang]
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Harus Berubah? Realitas Design-Bid-Build yang Kaku dan Kompetitif
Sistem pengadaan proyek konstruksi tradisional seperti Design-Bid-Build (DBB) telah menjadi tulang punggung pembangunan di banyak negara, termasuk Indonesia. Meski terstruktur dan legalitasnya sudah mapan, sistem ini mengandalkan kompetisi antar pihak sejak awal hingga akhir proyek. Hal ini menciptakan fragmentasi, ketidakpercayaan, dan hambatan kolaborasi.
Masalah utama dari sistem DBB adalah:
Hubungan yang berbasis kompetisi, bukan kolaborasi.
Minimnya koordinasi antara perancang dan pelaksana.
Rentan terhadap konflik saat desain harus disesuaikan di lapangan.
Menurut studi ini, kondisi tersebut diperparah saat proyek menghadapi tantangan besar seperti pandemi COVID-19, perubahan desain mendadak, keterlambatan pasokan material, atau keputusan manajerial yang lambat.
Apa Solusinya? Menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang Kolaboratif
Perubahan Paradigma: Dari Kompetisi ke Kooperasi
Penelitian ini mengusulkan agar proyek DBB dapat meningkatkan kualitas “partnering”—atau hubungan kerja sama—menuju standar IPD, meskipun kontrak formal tetap berbasis DBB. Artinya, kolaborasi bisa dibangun tanpa mengubah sistem hukum atau bentuk kontrak.
Integrated Project Delivery (IPD) sendiri adalah sistem pengadaan yang berbasis kolaborasi mendalam sejak tahap paling awal proyek. IPD menuntut semua pihak—pemilik, kontraktor, perancang, dan pemasok—bekerja dalam satu kontrak multipihak, berbagi risiko dan keuntungan, serta berkontribusi sejak desain belum dimulai.
Metodologi Penelitian: Studi Proyek dan Pendekatan Delphi
Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan:
Studi tiga proyek DBB di Indonesia bernilai di atas Rp 10 miliar.
Diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan 14 pakar (akademisi, kontraktor, konsultan).
Delphi Method untuk mencapai konsensus dalam rekomendasi strategi partnering.
Hasilnya menghasilkan model perubahan bertahap dari pola persaingan menuju kolaborasi.
Tingkatan Partnering: Dari Kompetisi ke Koalesensi
Studi Kasus: 3 Proyek DBB Indonesia dan Analisis Keterlambatan
Fakta Lapangan
Dari ketiga proyek yang diteliti:
Semuanya mengalami keterlambatan signifikan.
Penyebab utama: perubahan desain (rework), keterbatasan SDM, keterlambatan material, dan keputusan lambat oleh pemilik proyek.
Data grafik menunjukkan penyimpangan standar tinggi dari rencana awal (lihat Gambar 6 & 7 dalam artikel), menandakan kinerja buruk.
Strategi Perubahan: Dari DBB Kompetitif ke DBB Kolaboratif
Model Perubahan yang Direkomendasikan
Tanpa mengubah format kontrak DBB, hubungan kerja bisa ditransformasikan sebagai berikut:
Pemilik proyek menunjuk desainer berdasarkan visi bersama, bukan hanya harga terendah.
Kontraktor dilibatkan sejak tahap desain, tidak hanya setelah perencanaan selesai.
Subkontraktor dipilih berdasarkan hubungan jangka panjang, bukan hanya lewat tender lepas.
Bagi hasil keuntungan dan skema risiko bersama diperkenalkan sejak awal.
Model ini bertujuan meniru kualitas hubungan dalam IPD, walau tetap berada dalam kerangka hukum DBB.
Dampak Praktis: Manfaat Nyata Kolaborasi
Penelitian ini menegaskan bahwa transformasi menuju kolaborasi bukan sekadar konsep ideal. Berdasarkan berbagai referensi studi sebelumnya:
Produktivitas pekerja naik 10%.
Biaya proyek turun hingga 10%.
Jadwal proyek lebih tepat waktu (hingga 100% sesuai rencana).
Pekerjaan berulang (rework) turun 50%.
Hubungan kerja jangka panjang terbentuk
Kritik dan Tantangan Implementasi di Indonesia
Kendala Utama:
IPD belum dikenal luas dalam sistem pengadaan pemerintah.
Masih dominan paradigma tender harga terendah.
Budaya kerja yang terbiasa kompetisi, bukan kolaborasi.
Risiko tuduhan “pilih kasih” jika pemilik proyek menunjuk mitra tanpa tender.
Namun, justru karena tantangan inilah pendekatan “DBB kolaboratif” menjadi solusi pragmatis: tanpa melanggar aturan formal, tapi tetap mengadopsi semangat IPD.
Rekomendasi Strategis
Revisi standar pengadaan proyek pemerintah untuk memungkinkan pendekatan kolaboratif.
Sosialisasi konsep IPD ke pelaku industri dan regulator.
Pilot project IPD terbatas di proyek-proyek strategis untuk uji coba.
Bangun sistem evaluasi berbasis kinerja jangka panjang, bukan hanya capaian fisik.
Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Berkelanjutan Ada pada Kolaborasi
Penelitian ini menyampaikan pesan kuat: untuk mencapai kinerja proyek yang optimal—baik dari sisi waktu, biaya, kualitas, maupun kesinambungan—diperlukan pergeseran paradigma dari persaingan ke kolaborasi. Meski sistem pengadaan belum berubah, cara kita membangun hubungan kerja bisa ditingkatkan.
DBB tidak harus dibuang, tapi harus dikembangkan. Melalui pendekatan strategis, nilai-nilai IPD bisa diadopsi, sehingga menciptakan proyek infrastruktur yang efisien, harmonis, dan berkelanjutan di masa depan.
Sumber:
Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., dkk. (2024). Design Bid Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242.
Tautan resmi: https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Kinerja Proyek Infrastruktur Irigasi Perlu Diperbarui?
Dalam era pembangunan berkelanjutan, ketahanan pangan menjadi isu utama yang tak bisa dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur pendukung seperti jaringan irigasi. Di Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mengalokasikan anggaran besar untuk sektor ini. Pada tahun 2016 misalnya, dari total anggaran sebesar Rp 103,8 triliun, sekitar Rp 29,7 triliun ditujukan khusus untuk bidang Sumber Daya Air.
Namun, besarnya anggaran tidak serta-merta menjamin keberhasilan proyek. Evaluasi kinerja masih dominan pada serapan anggaran dan pencapaian fisik. Pendekatan ini mengabaikan kontribusi dan kepuasan para stakeholder lain seperti petani, kontraktor, konsultan, dan bahkan pemerintah daerah. Oleh karena itu, pendekatan baru yang lebih holistik sangat dibutuhkan—dan di sinilah metode Performance Prism masuk sebagai solusi.
Apa Itu Performance Prism?
Performance Prism adalah model pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh Neely & Adams (2000). Berbeda dari model Balanced Scorecard atau IPMS, Performance Prism menilai organisasi dari lima sisi yang saling terhubung:
Stakeholder Satisfaction
Apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh stakeholder?
Stakeholder Contribution
Apa kontribusi stakeholder terhadap organisasi?
Strategies
Strategi apa yang digunakan untuk memenuhi harapan stakeholder?
Processes
Proses apa yang dibutuhkan untuk menjalankan strategi tersebut?
Capabilities
Apa saja kapabilitas organisasi untuk mendukung proses dan strategi?
Model ini mengakui bahwa semua pihak memiliki ekspektasi dan kontribusi terhadap keberhasilan proyek, bukan hanya pengguna jasa utama.
Studi Kasus: Infrastruktur Irigasi Nasional
Masalah dalam Pengukuran Kinerja Proyek Saat Ini
Fokus berlebihan pada indikator output (anggaran & fisik).
Tidak mengintegrasikan peran serta kebutuhan stakeholder.
Tidak mencerminkan kualitas layanan dan dampak jangka panjang.
Untuk menjawab tantangan tersebut, penelitian ini menerapkan kerangka Performance Prism untuk proyek infrastruktur jaringan irigasi.
Metode Penelitian
Jenis: Kualitatif deskriptif.
Teknik: Observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur.
Responden: Stakeholder kunci proyek, seperti Kementerian PUPR, kontraktor, konsultan perencana/pengawas, auditor, petani, dan pemerintah daerah.
Hasil Utama: 15 Tujuan Bersama dan Ratusan KPI Teridentifikasi
Tujuan Bersama (Objective) Proyek
Penelitian mengidentifikasi 15 tujuan utama yang mewakili keinginan dan kebutuhan stakeholder, di antaranya:
Transparansi dan akuntabilitas anggaran.
Perencanaan matang sesuai tujuan proyek.
Pengadaan/lelang yang jujur dan kompetitif.
Pelaksanaan tepat waktu dan ramah lingkungan.
Kualitas dan kuantitas pekerjaan sesuai standar.
Efisiensi pengelolaan sumber daya.
Fungsionalitas hasil konstruksi.
Keselamatan dan kesejahteraan tenaga kerja.
Komunikasi dan koordinasi antar pihak.
Penyelesaian masalah proyek secara tuntas.
Monitoring dan pengawasan yang objektif.
Dokumentasi dan administrasi tertib.
Pemeliharaan infrastruktur berkelanjutan.
Ketepatan waktu pembayaran.
Pemberian manfaat riil kepada masyarakat.
Komponen Indikator Kinerja: Lebih Komprehensif dan Relevan
Indikator Tahap Perencanaan & Pelelangan
Keselarasan desain dengan tujuan nasional dan kondisi lapangan.
Efisiensi dan kemudahan implementasi.
Ketepatan prosedur lelang dan dokumentasi.
Indikator Tahap Pelaksanaan
Biaya, kualitas, dan kuantitas pekerjaan.
Pengelolaan sumber daya manusia dan material.
Aspek keselamatan kerja dan dampak lingkungan.
Efektivitas komunikasi dan pemecahan masalah.
Output fungsional proyek dan keterlibatan masyarakat.
Indikator Tahap Pemeliharaan
Konsistensi kualitas fisik pasca-konstruksi.
Efektivitas anggaran pemeliharaan.
KPI tersebut dapat digunakan untuk menyusun laporan berkala yang lebih bermakna dibanding sekadar persentase realisasi fisik.
Nilai Tambah: Apa Kelebihan Performance Prism?
Dibanding Balanced Scorecard:
Balanced Scorecard hanya berfokus pada shareholder dan customer.
Performance Prism memperluas cakupan hingga petani dan auditor.
Dibanding IPMS:
IPMS cenderung langsung menetapkan KPI tanpa mengaitkannya dengan strategi dan kapabilitas.
Performance Prism memastikan hubungan logis antara tujuan → strategi → proses → kapabilitas → KPI
Implikasi Praktis: Membuka Jalan untuk Evaluasi Proyek yang Lebih Cerdas
Bagi Pemerintah:
Menyediakan alat ukur yang mencerminkan keberhasilan jangka panjang, bukan sekadar pencapaian anggaran.
Bagi Kontraktor dan Konsultan:
Memperjelas ekspektasi dan kontribusi mereka dalam proyek.
Meningkatkan akuntabilitas kerja dan reputasi.
Bagi Petani dan Masyarakat Lokal:
Mendorong inklusi sosial dan ekonomi.
Menjamin bahwa hasil proyek benar-benar memberikan manfaat.
Kritik Konstruktif terhadap Penelitian
Kelebihan:
Pendekatan holistik dan partisipatif.
Penyusunan indikator berdasarkan data lapangan.
Memungkinkan personalisasi KPI berdasarkan jenis proyek.
Keterbatasan:
Tidak ada uji coba lapangan untuk melihat efektivitas KPI secara real-time.
Masih bersifat teoritis, perlu penerapan di proyek nyata.
Kurangnya kuantifikasi untuk validasi indikator numerik.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Uji lapangan KPI pada proyek irigasi aktif agar indikator bisa diuji dampaknya terhadap efisiensi dan kepuasan stakeholder.
Penggunaan software berbasis dashboard untuk memantau KPI secara real-time.
Perluasan penggunaan model ini ke sektor lain, seperti proyek sanitasi, transportasi, dan pembangunan kota.
Kesimpulan: Menuju Sistem Evaluasi Proyek yang Lebih Bermakna
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan Performance Prism sangat efektif dalam menciptakan sistem pengukuran kinerja yang inklusif dan strategis. Dengan mempertimbangkan harapan dan kontribusi semua stakeholder, evaluasi proyek tidak lagi bersifat sempit dan birokratis, melainkan menjadi instrumen manajemen yang visioner.
Di tengah tuntutan pembangunan berkelanjutan dan tata kelola yang lebih transparan, pendekatan seperti ini menjadi keniscayaan—bukan sekadar alternatif.
Sumber:
Aditya, Nofi. (2017). Identifikasi Indikator Kinerja Proyek Infrastruktur Jaringan Irigasi dengan Metode Performance Prism. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Identifikasi Pemangku Kepentingan Itu Penting?
Dalam proyek konstruksi, terutama di sektor swasta, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kecepatan atau efisiensi biaya, melainkan juga oleh seberapa baik seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dikenali dan dikelola sejak awal. Sayangnya, tahap paling awal ini—stakeholder identification (SI)—sering diabaikan atau dilakukan secara sempit, yang akhirnya berdampak pada konflik, keterlambatan, bahkan kegagalan proyek.
Studi oleh Olatunde et al. (2021) memetakan secara empiris metode-metode yang digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan dalam proyek bangunan yang dikembangkan oleh organisasi swasta di Nigeria bagian barat daya. Hasil riset ini tidak hanya membuka mata tentang bagaimana praktik lapangan terjadi, tetapi juga memberikan pelajaran universal yang dapat diterapkan di berbagai konteks industri dan geografis.
Metodologi Studi: Menyaring Pengalaman Nyata dari Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dua tahap. Dari 106 profesional proyek, terpilih 30 manajer proyek yang telah menjalani proses manajemen pemangku kepentingan secara terstruktur antara tahun 2008 hingga 2017. Mereka diminta mengevaluasi 13 metode SI berdasarkan tingkat penggunaannya, dengan skala 1 (sangat jarang digunakan) hingga 5 (sangat sering digunakan).
Analisis data dilakukan menggunakan Mean Score (MS) dan ANOVA untuk menguji perbedaan persepsi antar metode pengadaan proyek: tradisional, manajemen kontrak, dan design–build.
Temuan Kunci: Dominasi Brainstorming, Minim Partisipasi Publik.
Metode yang Jarang Digunakan
Sebaliknya, metode-metode berikut hampir tidak digunakan:
Public hearing (MS: 0.57)
Delphi method (MS: 0.80)
Kuesioner (MS: 0.87)
Fakta ini menunjukkan rendahnya partisipasi publik dan metode ilmiah dalam proses identifikasi stakeholder. Padahal, keterlibatan aktif dari kelompok eksternal dapat membantu menghindari konflik di masa depan.
Studi Kasus: Kegagalan Identifikasi Stakeholder di Proyek Jembatan China–Hong Kong
Sebagai ilustrasi nyata pentingnya SI yang komprehensif, penulis merujuk pada proyek jembatan laut yang menghubungkan Zhuhai, Hong Kong, dan Makau. Proyek ini tertunda selama 12 bulan akibat gugatan hukum dari kelompok lingkungan hidup yang tidak diidentifikasi sejak awal. Keterlambatan ini merugikan jutaan dolar dan menunjukkan bahwa mengabaikan stakeholder "non-teknis" seperti LSM bisa sangat mahal.
Keterkaitan antara Metode SI dan Kinerja Proyek
Temuan riset menunjukkan bahwa kurangnya variasi dan kedalaman metode SI berkontribusi pada identifikasi yang tidak menyeluruh. Hal ini dapat menyebabkan:
Terlewatnya stakeholder penting
Meningkatnya risiko konflik di tengah proyek
Terhambatnya komunikasi dua arah
Ketidakpuasan masyarakat sekitar proyek
Menariknya, ANOVA menunjukkan bahwa 84,62% metode SI tidak terpengaruh oleh jenis metode pengadaan proyek. Artinya, pola pikir dan budaya manajer proyek lebih dominan ketimbang sistem kontrak yang digunakan.
Kritik dan Opini: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Kelemahan Penelitian:
Sampel terbatas: Hanya mencakup proyek-proyek swasta di Nigeria bagian barat daya, sehingga generalisasi hasil perlu hati-hati.
Fokus pada persepsi: Tidak membandingkan persepsi SI dengan kinerja proyek secara langsung.
Minim triangulasi: Tidak ada pembuktian silang dari stakeholder yang diidentifikasi—apakah memang mereka benar-benar berpengaruh?
Rekomendasi dari Penulis:
Gunakan metode partisipatif seperti public hearing atau Delphi method untuk cakupan stakeholder yang lebih luas.
Tingkatkan dokumentasi dan rekam jejak stakeholder melalui database atau software manajemen proyek.
Sisihkan anggaran khusus untuk identifikasi stakeholder, karena dampaknya sangat besar terhadap hasil akhir proyek.
Perbandingan dengan Studi Global
Temuan ini sejalan dengan Aapaoja & Haapasalo (2014) yang menekankan pentingnya framework sistematis dalam SI. Namun, banyak studi sebelumnya hanya teoretis. Penelitian ini menjadi langkah maju karena secara empiris mengukur frekuensi penggunaan metode SI di lapangan.
Dibandingkan dengan studi di negara maju, proyek di Nigeria tampak masih mengandalkan intuisi dan diskusi informal. Padahal, pendekatan berbasis data dan partisipasi publik sudah menjadi standar di Eropa dan Amerika Utara.
Relevansi Global: Mengapa Dunia Harus Peduli?
Metode identifikasi stakeholder yang lemah tidak hanya menjadi masalah di Nigeria, tetapi juga di banyak negara berkembang. Dengan semakin tingginya tuntutan terhadap transparansi, keberlanjutan, dan tanggung jawab sosial, setiap proyek harus mampu memetakan dan mengelola ekspektasi semua pihak yang terdampak.
Tiga pelajaran penting dari studi ini yang berlaku universal:
Jangan hanya mengandalkan brainstorming internal.
Libatkan masyarakat sekitar sejak tahap awal.
Gunakan pendekatan ilmiah dan partisipatif secara bersamaan.
Kesimpulan: Menuju Stakeholder Engagement yang Lebih Cerdas
Studi ini menunjukkan bahwa proyek konstruksi swasta di Nigeria cenderung menggunakan metode identifikasi stakeholder yang terbatas, dengan dominasi pendekatan internal seperti brainstorming dan wawancara pakar. Minimnya keterlibatan publik dan metode ilmiah menyebabkan kemungkinan besar terjadinya blind spots yang berdampak negatif terhadap kinerja proyek.
Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi pendekatan SI yang lebih inklusif, partisipatif, dan berbasis data. Investasi di tahap awal ini bukanlah beban, melainkan fondasi menuju keberhasilan proyek secara menyeluruh.
Sumber:
Olatunde, N.A., Awodele, I.A., & Odeyinka, H.A. (2021). Stakeholder identification methods used in private organisations’ projects in Nigeria. Frontiers in Engineering and Built Environment, 1(2), 217–229.
DOI: 10.1108/FEBE-05-2021-0023
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Design–Build sebagai Paradigma Baru dalam Infrastruktur
Dalam lanskap konstruksi modern yang semakin kompleks dan menuntut efisiensi tinggi, metode pengadaan Design–Build (DB) muncul sebagai alternatif menarik dibanding pendekatan tradisional. DB menggabungkan fungsi perancangan dan pelaksanaan konstruksi dalam satu kontrak, yang diharapkan bisa menyederhanakan koordinasi dan mempercepat waktu penyelesaian. Namun, apakah benar DB membawa keberhasilan proyek infrastruktur secara menyeluruh?
Paper berjudul “The Impacts of Design–Build Procurement on Infrastructure Project Success” yang diterbitkan oleh Journal of Engineering, Project, and Production Management (Vol. 14, No. 3, 2024) menyajikan kajian komprehensif tentang bagaimana sistem DB mempengaruhi kinerja proyek, berdasarkan persepsi para profesional industri. Artikel ini tidak hanya menyajikan data empirik, tetapi juga membuka ruang refleksi atas praktik DB di dunia nyata.
Metodologi Penelitian: Survei pada Praktisi Proyek Infrastruktur
Penelitian ini berbasis survei kuantitatif yang disebarkan kepada para pelaku proyek infrastruktur di sektor publik dan swasta. Sebanyak 67 responden memberikan pandangan mereka terkait tujuh dimensi keberhasilan proyek, yaitu:
Kinerja Biaya
Kinerja Waktu
Kualitas
Kepuasan Pemilik
Kepuasan Kontraktor
Hubungan Tim
Kinerja Keseluruhan Proyek
Teknik analisis yang digunakan adalah Exploratory Factor Analysis (EFA) dan Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM), yang memungkinkan identifikasi pengaruh laten dan hubungan antar variabel.
Temuan Utama: DB Meningkatkan Kolaborasi dan Kepuasan Tim
Peningkatan Kolaborasi & Hubungan Tim
Salah satu kontribusi terbesar metode DB adalah peningkatan kualitas hubungan antar pihak dalam proyek. Karena perancang dan pelaksana tergabung dalam satu kontrak, koordinasi menjadi lebih cair dan minim konflik. Hal ini mendukung terciptanya budaya kerja yang lebih kooperatif dan solutif, terutama dalam mengatasi perubahan desain selama pelaksanaan.
Contoh nyata dapat dilihat pada proyek infrastruktur besar seperti North Tarrant Express di Texas, AS, di mana sistem DB digunakan untuk mempercepat pembangunan jalan tol sepanjang 13 mil. Proyek ini berhasil diselesaikan lebih cepat dari jadwal dan berada dalam batas anggaran berkat sinergi erat antar tim desain dan konstruksi.
Efisiensi Waktu dan Biaya
Penelitian ini menemukan bahwa metode DB memiliki korelasi kuat dengan peningkatan efisiensi waktu dan kinerja biaya. Hal ini didukung oleh hasil PLS-SEM yang menunjukkan pengaruh positif signifikan dari DB terhadap kedua aspek tersebut.
Sebagai perbandingan, proyek tradisional dengan sistem Design–Bid–Build (DBB) seringkali mengalami keterlambatan akibat ketidaksesuaian antara desain dan pelaksanaan. Dalam sistem DB, potensi konflik tersebut dapat diminimalisir sejak awal karena integrasi fungsi desain dan konstruksi.
Kepuasan Pemilik dan Kontraktor
DB juga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap kepuasan pemilik dan kontraktor. Pemilik proyek merasa lebih puas karena proyek selesai lebih cepat dan sesuai ekspektasi biaya, sementara kontraktor mendapat fleksibilitas lebih dalam merancang solusi yang ekonomis dan mudah dieksekusi.
Dimensi Lain: Tantangan Tersembunyi dalam Sistem DB
Meskipun banyak keuntungan, metode DB bukan tanpa kelemahan. Penelitian ini juga mengungkap beberapa tantangan yang masih membayangi penerapannya.
Potensi Penurunan Kualitas
Salah satu kekhawatiran terbesar dalam sistem DB adalah potensi kompromi terhadap kualitas. Karena tanggung jawab desain dan konstruksi berada di tangan satu entitas, ada risiko bahwa pelaksana memilih solusi desain yang lebih ekonomis namun kurang optimal secara teknis.
Dalam studi ini, dimensi quality performance memang mendapatkan skor positif, namun tidak sekuat dimensi waktu dan biaya. Artinya, meskipun tidak ditemukan penurunan signifikan, kekhawatiran akan kompromi kualitas tetap perlu diperhatikan, khususnya dalam proyek-proyek berisiko tinggi seperti jembatan, bendungan, atau fasilitas publik vital.
Ketergantungan pada Kompetensi Kontraktor
Sistem DB sangat mengandalkan kemampuan dan integritas kontraktor. Jika kontraktor tidak memiliki kapasitas desain yang mumpuni, maka hasil akhir proyek dapat terancam. Hal ini menjadi perhatian khusus dalam pasar negara berkembang, di mana sumber daya manusia dan lembaga desain-kontraktor yang terintegrasi masih terbatas.
Implikasi Praktis: Apakah DB Cocok untuk Semua Proyek?
Cocok untuk Proyek Cepat dan Kompleks
DB sangat cocok diterapkan pada proyek yang menuntut kecepatan, fleksibilitas desain, dan integrasi sistem tinggi. Misalnya:
Proyek transportasi massal (kereta cepat, MRT)
Fasilitas militer atau kesehatan darurat
Pembangunan kawasan industri atau infrastruktur pelabuhan
Kurang Ideal untuk Proyek Berbasis Regulasi Ketat
Namun, DB kurang sesuai untuk proyek dengan batasan regulasi ketat atau proses desain yang sangat spesifik dan harus melalui persetujuan publik. Misalnya proyek konservasi, bangunan cagar budaya, atau proyek pemerintah dengan tender terbuka yang menuntut transparansi tinggi dalam pemisahan peran desain dan konstruksi.
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian ini sejalan dengan temuan dari Chan et al. (2010) yang menunjukkan bahwa DB meningkatkan waktu penyelesaian proyek sebesar rata-rata 15% dibanding DBB. Namun, studi ini lebih maju karena menambahkan dimensi hubungan tim dan kepuasan sebagai indikator keberhasilan yang jarang dikaji sebelumnya.
Selain itu, pendekatan menggunakan PLS-SEM memberikan keunggulan dalam mengidentifikasi hubungan kausal secara statistik, sesuatu yang tidak banyak dilakukan dalam studi DB lainnya.
Kritik & Rekomendasi
Kritik:
Sampel terbatas: Survei hanya melibatkan 67 responden, yang mungkin belum cukup merepresentasikan populasi profesional konstruksi global.
Dominasi persepsi subjektif: Penelitian bergantung pada persepsi individu, bukan data performa aktual dari proyek.
Rekomendasi:
Studi lanjutan sebaiknya menggunakan data proyek nyata (misal laporan keuangan, waktu penyelesaian, dan hasil audit).
Perlu dibangun sistem pengukuran kualitas desain yang lebih objektif untuk mengevaluasi apakah DB benar-benar menjaga standar teknis yang diharapkan.
Penutup: DB adalah Masa Depan, Tapi Butuh Kehati-hatian
Sistem Design–Build jelas memberikan keuntungan nyata dalam hal efisiensi dan hubungan kerja, serta berkontribusi terhadap keberhasilan proyek infrastruktur. Namun, penerapan sistem ini tetap harus mempertimbangkan konteks proyek, kesiapan sumber daya, dan risiko kualitas.
Integrasi tidak boleh menjadi alasan pengabaian mutu. Keberhasilan sejati metode DB terletak pada bagaimana aktor-aktor proyek mampu menjaga keseimbangan antara efisiensi dan akuntabilitas teknis.
Sumber
Paper asli dapat diakses melalui jurnal resmi:
The Impacts of Design–Build Procurement on Infrastructure Project Success
Journal of Engineering, Project, and Production Management, Vol. 14, No. 3, 2024, pp. 160–173.
https://doi.org/10.32738/JEPPM.20240806.0003