Pertanian

Teknologi Pencitraan pada Layanan Kesehatan Hewan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Februari 2025


Era digital 4.0 menuntut manusia untuk terus berkembang dan hidup berdampingan dengan teknologi di berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan hewan. Hal ini mendorong manusia untuk menciptakan langkah strategi dan inovasi untuk peningkatan pelayanan kesehatan hewan. RSHP Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB University telah mengembangkan layanan kesehatan hewan baru yang berbasiskan teknologi pencitraan. Teknologi pencitraan merupakan salah satu teknik yang dapat melihat bagian organ tubuh tanpa harus melakukan pembedahan atau sifatnya non invasif, misalnya penggunaan untuk melihat jantung, bayang-bayang hati, usus, dan organ tubuh lainnya.

Beberapa contoh teknologi pencitraan yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan hewan adalah Rontgen atau X-ray yang memanfaatkan energi radiasi sinar-X, USG yang memanfaatkan gelombang suara frekuensi tinggi dan CT Scan dimana penggunaannya adalah dengan memasukan hewan ke alat CT Scan yang berbentuk seperti tabung. Teknologi CT Scan juga menggunakan energi radiasi sinar-X seperti pada rontgen. Sementara itu, Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Prof Drh Deni Noviana, PhD, DAiCVIM menjelaskan bahwa, “Teknologi pencitraan sangat bermanfaat untuk  mendiagnosis penyakit, peneguhan diagnosis dan perkembangan kesembuhan suatu pengobatan.” Ujarnya, Jumat (22/1).

Saat pemeriksaan pertama, biasanya dokter hewan akan memberikan dugaan penyakit pada hewan. Diagnosis dapat diteguhkan atau dipastikan dengan memanfaatkan teknologi pencitraan. Selain itu, teknologi pencitraan dapat dimanfaatkan untuk proses implantasi seperti pengamatan saat implantasi yaitu pengamatan organ dalam tubuh hewan apakah berfungsi dengan baik atau tidak, dan pengamatan pasca implantasi.

Sementara itu, IPB University terus mengembangkan teknologi pencitraan untuk peningkatan pelayanan kesehatan hewan yang prima dan menyesuaikan perkembangan dan kemajuan IPTEKS. Saat ini IPB University sudah memiliki alat rontgen, USG 2,3, dan 4 dimensi, USG warna, serta fluoroskopi. Alat-alat tersebut biasa digunakan  pada hewan besar, seperti Badak. Teknologi pencitraan tersebut sering digunakan untuk melihat bagaimana perkembangan organ reproduksi, sel telur, dan perkembangan anak. Selain itu juga sering digunakan untuk melihat bagaimana reproduksi mamalia laut seperti dugong dan lumba-lumba. Beberapa kasus penyakit yang paling banyak ditemukan dengan menggunakan USG pada kucing dan anjing adalah gangguan hepatobilier, gangguan sistem kardiovaskular, dan gangguan sistem reproduksi dan perkemihan.

Terdapat pelayanan Kardiologi Center Service (Pusat Pelayanan Jantung Hewan) yang didalamnya terdapat layanan kesehatan USG dan X-ray. Kedua layanan tersebut memiliki perbedaan manfaat yang digunakan untuk mengindikasi penyakit pada hewan. USG digunakan untuk melihat keadaan semua organ dalam hewan yang dapat memberikan gambaran struktur anatomi jantung secara langsung tanpa memasukkan alat ke dalam tubuh dan tanpa menyebabkan kerusakan kulit atau rongga tubuh. Namun, teknologi USG tidak dapat melihat kondisi tulang hewan yang cukup keras karena memiliki matriks kolagen  sebesar 85-90% dari protein tulang, protein non kolagen dan kalsium. Pemeriksaan tulang dan lubang pada paru-paru dapat dilakukan menggunakan teknologi X-ray. Prof Drh Deni Noviana, PhD, DAiCVIM juga menuturkan bahwa hampir semua organ bisa dicitrakan dengan teknologi pencitraan.

Selain beberapa layanan di atas, RSHP FKH IPB University juga mengembangkan layanan DIC (Diagnosis Imagine Center), pelayanan ini sangat efektif dan efisien karena pasien cukup melakukan rontgen di klinik terdekat kemudian gambar hasil rontgen dikirim dan akan dianalisa diagnosisnya oleh spesialis di RSHP FKH IPB University. Perlu diperhatikan dalam hal pengambilan gambar sehingga diagnosis dapat dilakukan secara tepat. RSHP FKH IPB University juga mengembangkan layanan Telemedicine yaitu konsultasi masalah kesehatan hewan dengan menggunakan teknologi komunikasi jarak jauh. Telemedicine  dapat dilakukan secara interaktif melalui voice call maupun video call.

Penggunaan teknologi pencitraan tidak boleh digunakan secara sembarangan dan  harus dilakukan dengan arif dan bijaksana yang aman baik bagi hewan, manusia dan lingkungan. Penggunaan teknologi ini telah diatur dan diawasi oleh BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) dengan melakukan pengawasan terhadap instalasi nuklir, kebocoran radiasi, orang yang menggunakan alat serta kalibrasi alat. Sementara itu, BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) bertugas untuk mengadakan pelatihan dan menerbitkan SIM (Surat Izin Menggunakan). FKH IPB University mempunyai dua orang petugas proteksi radiasi (PPR). RSHP FKH IPB University aktif dalam menyebarluaskan informasi terkait fasilitas dan layanan melalui website, facebook, instagram dan youtube(Himasiera).

Pelatihan yang berkaitan:
1. CPD Online Diagnostik Ultrasonografi Jantung pada Anjing dan Kucing (Basic) 06 Februari 2021
2. Workshop Elektrokardiografi pada Anjing dan Kucing (Basic) 17 Februari 2021
3. Workshop Diagnostik Ultrasonografi Jantung pada Hewan Kecil (Basic) 18 Maret 2021
4. CPD Online Diagnostik Ultrasonografi Abdomen pada Hewan Kecil (Basic) 29 Mei 2021
5. Workshop Diagnostik Ultrasonografi Abdomen pada Hewan Kecil (Basic) 10 Juni 2021
6. Diagnostik Ultrasonografi Abdomen pada Hewan Kecil (Intermediate) 29 – 30 Juni 2021
7. Diagnostik Radiografi Thorak pada Hewan Kecil (Basic) 30 – 31 Juli 2021
8. Diagnostik Radiografi Abdomen pada Hewan Kecil (Basic) 17 – 18 September 2021
9. Paramedis: Tata Laksana Pengambilan Radiografi 29 – 30 September 2021

Sumber: https://blog.ipbtraining.com/

Selengkapnya
Teknologi Pencitraan pada Layanan Kesehatan Hewan

Pertanian

Kementan Dorong Penguatan Industri Peternakan Berbasis Teknologi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Februari 2025


Kementerian Pertanian mendorong berkembangnya industri peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia, sehingga nantinya akan berdampak terhadap peningkatan PDB peternakan pada khususnya dan pertanian pada umumnya. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementan, Nasrullah saat mewakili Wakil Menteri Pertanian usai membuka pameran The 6th International Livestock, Dairy, Meat Processing and Aquaculture Exposition (ILDEX) Indonesia 2023 di di ICE BSD Tangerang pada hari ini Rabu (20/09).

Ia menyampaikan bisnis di bidang peternakan dan kesehatan hewan memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan seiring dengan kebutuhan masyarakat akan pangan terutama protein hewani. “Melalui penerapan inovasi teknologi dapat menghasilkan produk yang lebih efisien sehingga menciptakan iklim usaha peternakan yang sehat dan kompetitif.” terangnya.

Lanjutnya untuk mencapai penerapan teknologi tersebut salah satunya adalah dengan tersedianya modal dan investasi. Pemerintah melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah merealisasikan kredit bagi pengembangan usaha pertanian sebesar Rp. 113,43 T kepada 2,74 juta debitur pada tahun 2022. Namun demikian pengembangan skala usaha tersebut masih perlu didukung oleh investasi PMDN dan PMA.

“Kementan terus mendorong investasi sub sektor peternakan, terutama untuk bidang pembibitan dan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditi peternakan”terangnya.

Lanjutnya lagi Ia menuturkan bahwa secara umum Indonesia sudah menuju swasembada protein hewani, bahkan telah mampu ekspor. Kinerja ekspor subsektor peternakan pada periode Januari – Juli* Tahun 2023 (angka sementara) tercatat senilai USD 790,7 juta setara Rp. 11.8 T dengan pertumbuhan nilai ekspor meningkat sebesar 9,26% dan pertumbuhan volume ekspor meningkat 17,28% dibandingkan periode yang sama Tahun 2022.

“Ekspor komoditas peternakan kita seperti: sarang burung walet, madu, pakan ternak, telur tetas, DOC, daging ayam olahan, kambing, domba dan obat hewan telah berhasil menembus lebih dari 98 negara tujuan.“ terangnya.

Menurutnya, Ini membuktikan bahwa industri peternakan memiliki potensi untuk terus berkembang. Hal ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pencapaian nilai ekspor subsektor peternakan tahun 2022 mencapai Rp. 17,7 T mengalami peningkatan sebesar 13,5% dibandingkan tahun 2021. “Capaian ekspor subsektor peternakan di Indonesia terus bergerak positif.” ucapnya.

Penyelenggaraan Pameran ILDEX 2023

Kementerian Pertanian mengapresiasi penyelenggaraan ILDEX yang berlangsung selama 3 hari ini, sebagai salah satu bentuk pameran peternakan berskala international di Indonesia, mampu melakukan promosi berbagai produk dan kemajuan teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan menjadi ajang bertemunya stakeholder peternakan baik dari dalam maupun luar negeri, untuk melakukan transaksi bisnis.

“Oleh karena itu melalui penyelenggaraan ILDEX, diharapkan dapat menjadi stimulasi bagi perkembangan dunia usaha peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia.” harapnya.

Sementara itu, Marketing Director Permata Kreasi Media, Ruri Sarasono mengatakan, ILDEX, selain sebagai ajaran promosi, pameran ini juga menjadi edukasi bagi perkembangan ilmu, teknologi, dan produk peternakan serta kesehatan hewan dari hasil pengembangan riset teknologi yang dilakukan di Tanah Air.

“Tahun ini ILDEX Indonesia mencatatkan lebih dari 250 exhibitor dari 25 negara, dan ditargetkan akan dihadiri kurang lebih 10.000 pengunjung, sehingga memberikan peluang untuk membicarakan bisnis dalam ajang ini. “ ungkapnya.

Sumber: https://ditjenpkh.pertanian.go.id/

Selengkapnya
Kementan Dorong Penguatan Industri Peternakan Berbasis Teknologi

Pertanian

IoT dan Smart Livestock Farming untuk Tingkatkan Efisiensi Usaha Peternakan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Upaya peningkatan produktivitas dan mutu produk peternakan dilandasi oleh bebera hal. Diantaranya perubahan iklim global, penurunan lahan pertanian/peternakan, dan tuntutan gaya hidup akan konsumsi produk peternakan berkualitas. Serta jumlah penduduk yang meningkat tiap tahun, secara otomatis akan menaikkan permintaan pangan produk peternakan. Seperti daging ayam, daging sapi, susu, dan telur.

Disisi lain kondisi tersebut menjadi tantangan yang melahirkan permasalahan dan kendala bagi para peternak dan industri peternakan. Yakni ketidakmampuan mencapai keseimbangan pembiayaan antara biaya input, biaya operasional produksi, dan rendahnya harga jual produk. Persaingan begitu kuat antar peternak mandiri dan perusahaan peternakan untuk mempertahankan usaha dengan meningkatkan efisiensi. Sedangkan yang tidak mampu maka akan merugi dan bangkrut.

Oleh karenanya diperlukan penerapan IoT (Internet of Thing) dengan memanfaatkan sistem internet dan perangkat lain dalam manajemen usaha peternakan. Agar dapat meningkatkan efisiensi usaha, menghindari terjadinya defisit anggaran/ pembiayaan, dan mampu mempertahankan usaha yang dikelola.

Model ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras terdiri dari sensor untuk koleksi data di lapangan atau menggunakan kamera, perangkat input data, pengirim data ke pusat data, pusat data dan pemroses data, output data yang bisa diakses di PC, laptop atau di hand phone (HP) (Gambar 1).

Gambar 1. Sistem IoT dalam peternakan sapi potong

Sumber: BNAMERICAS, (2016)

Gambar diatas mengilustrasikan sistem kerja IoT dalam Smart Beef cattle management. Pada ternak sapi dilengkapi dengan dua macam perangkat yaitu sensor yang mencatat kondisi sapi dan perangkat untuk identitas sapi (misalnya chip untuk nomor sapi). Pada sensor dilengkapi pengirim pesan data dan indentiitas sapi, yang dapat diterima oleh GPRS, diteruskan ke sistem internet (cloud) yang kemudian bisa diterima oleh laptop atau HP (misalnya sistem Android) melalui online.

Sedangkan perangkat lunak (software) dipergunakan untuk menangkap dan mengolah data denga output sesuai dengan kebutuhan, misalnya jumlah, rata-rata, rangking, rentang waktu, dsb sehingga keputusan bisa diambil secara cepat dan akurat.

Data yang diinputkan ke sistem sesuai kebutuhan dan tujuan manajemen peternakan. Misalnya, untuk sistem manajemen peternakan secara lengkap perlu melibatkan data dasar: bangsa tenak, jenis kelamin, umur, pakan dan manajemen pakan. Sedangkan data yang akan dianalisis bisa meliputi status nutrisi ternak, body condition score (BCS), status reproduksi, keberhasilan perkawinan, bobot lahir, bobot sapih, pertumbuhan, konformasi tubuh, warna tubuh, dan status kesehatan.

Gambar 2. Ilustrasi pemantauan kondisi ternak domba yang digembalakan di padang rumput

Sumber:  (James, 2020)

Selanjutnya pada gambar 2 merupakan contoh ilustrasi peternakan domba yang dilepas di pandang gembalaan (pasture) dikontrol keberadaannya, kondisinya, dan kesehatannya menggunakan sensor gerah, interaksi, dan aktivitasnya. Hasil pembacaan sensor aktivitas yang dilengkapi dengan perangkap penyimpan sementara dan pengirim (transmitter) dikirimkan ke penerima atau receiver untuk diteruskan ke server untuk disimpan atau dibaca langsung oleh perangkat komputer atau laptop atau HP. Maka di perangkat pembaca inilah kita melakukan analisis dan pemantauan terhadap ternak, sehingga kita bisa menentukan langkah-langkah strategis terhadap perlakuan apa yang harus diberikan kepada individu ternak.

Many of the challenges to the welfare of animal in the world – including a lack of supervision, provision of feed, risk of predation, and long-distance transport to slaughter – arise from the constraints imposed by the harsh climatic and geographic conditions in which they are often reared,” (James, 2020)

Ruang lingkup penggunaan IoT dalam smart farming

Smat farming bidang peternakan ialah penerapan semua teknologi atau kreasi untuk meningkatkan efisiensi dan efekstivitas usaha, sehingga diperoleh pendapatan dan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penerapan teknologi atau kreasi baru.

IoT merupkan teknologi pendukung utama dalam penerapan smart farming bidang peternakan yang sangat membantu dalam pemantauan, dokumentasi dan analisis data. Maka keputusan dan tindakan dapat segera diambil tanpa harus menunggu pengumpulan data oleh petugas, kemudian tabulasi dan analisis data yang memakan waktu sangat panjang dan memerlukan tenaga ekstra yang cukup melelahkan.

Kemudahan yang didapat setelah menerapkan IoT pada peternakan sapi perah menurut Phil Dawsey,( 2017) dari Perusahaan  Precision Ag Biotech UB antara lain :

  1. Monitoring dan rekording reproduksi ternak, (mengetahui fase estrus indukan untuk menjadwalkan perkawinan, serta mendeteksi waktu menjelang melahirkan). Dengan diketahui stuatus reproduksi dan penangannya peternak akan mendapat kepastian efisiensi reproduksi dan akan dapat meningkatkan pendapatan peternak;
  2. Pemantauan tingkah laku makan pada ternak. Dengan menggunakan IoT peternak bisa memantau dari jarak jauh menggunakan aplikasi yang sudah diinstal pada HP atau komputer bagaimana keaktifan ternak makan, bagaimana kondisi pakan, sehingga dengan mudah bisa segera ditangani apabila pakan ternak habis atau ada ternak yang kurang aktif makan;
  3. Memantau kesehatan ternak. IoT juga memungkinkan untuk memantau dari jarak jauh mengenai kondisi kesehatan ternak berdasarkan ciri-ciri fisik atau fisiologis ternak. Dalam waktu yang bersamaan (real time) peternak dapat mengetahui secara langsung kondisi kesehatan umum setiap ternak, sehingga dapat segera melakukan penanganan dan pemeriksaan lanjut;
  4. Pemantauan produksi susu. Produksi susu yang merupakan produk utama harian dari peternakan sapi perah dapat direkord setiap hari dan dianalisis datanya secara otomatis oleh sistem ini, sehingga peternak dapat memantau kenormalan produksi susu masing-masing individu ternak;
  5. Tracking lokasi ternak. IoT juga dapat dirancang untuk melakukan pelacakan posisi ternak sescara individu sehingga dapat dengan mudah melakukan perlakuan bagi ternak yang memerlukan penanganan, misalnya ternak yang akan melahirkan, ternak berahi, ternak yang mengalami gangguan kesehatan, dsb.

Gambar 3. Penerapan IoT untuk mengontrol produksi susu pada sapi perah

Sumber: Libelium, (2019)

Penggunaan IoT dalam praktek smart dairy farming memberikan layanan pengumpulan informasi yang akurasinya mencapai 92 – 97 % mengenai kondisi lingkungan seperti suhu lingkungan, kelembangan, tekanan udara, kondisi sapi dan beberapa parameter lain ternya mampu meningkatkan produksi susu sampai 18 persen. Ini merupakan lonjakan efisiensi usaha yang sangat bermakna sehingga dapat mendukung optimalisasi dan keberlanjutan usaha Libelium, (2019).

Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB) merupakan salah satu lembaga yang pertama dalam menerapkan teknologi IoT dalam Smart Poultry Farming sistem kandang tertutup (closed house) untuk ayam petelur. Yangmana merupakan kerjasama hibah dari PT. Charoen Pokphan Indonesia.

IoT ini diterapkan untuk mengontrol suhu dan klimat mikro kandang, mengontrol produksi telur, data telur, tingkah laku konsumsi pakan, keadaan pakan yang tersedia, ayam sakit, ayam kanibal, kondisi ayam dalam kandang secara keseluruhan, rekording, dokumentasi dan analisis data secara waktu nyata atau real time, yang semuanya dapat dipantau menggunakan HP operator.

Dengan penerapan teknologi IoT dalam manajemen peternakan, maka berbagai keuntungan bisa diperoleh seperti meringankan beban kerja, mempecepat pemantauan, pengambilan keputusan serta sistem data, dimana sistem data ini umumnya merupakan masalah sangat besar untuk budaya peternakan di Indonesia. Berbagai efisiensi diperoleh dengan smart farming peternakan ini, sehingga diaharapkan akan mampu meningkatkan efisiensi usaha dan keuntungan yang diperoleh peternak.

Sumber: https://fapet.ub.ac.id/

Selengkapnya
IoT dan Smart Livestock Farming untuk Tingkatkan Efisiensi Usaha Peternakan

Pertanian

Platform Dengan Teknologi Terkini di Bidang Peternakan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Industry 4.0. mengubah semua sektor industri termasuk bidang peternakan. Internet of things-IoT, big data, machine learning, artificial intelligence-AI, robot, dan sharing economy adalah wajah baru industri saat ini. Melalui Obrolan Peternakan (OPERA) seri #2 pada 12 Juni 2020, Fakultas Peternakan (Fapet) UGM memaparkan beberapa platform yang memanfaatkan teknologi terkini untuk mengoptimalkan usaha peternakan.

Galuh Adi Insani, S.Pt., M.Sc., dosen Fapet UGM sekaligus Chief Marketing Officer BroilerX mengatakan, dalam hal sumber daya alam dan sumber daya genetik, Indonesia lebih kaya dibandingkan dengan Singapura. Namun, Singapura lebih unggul karena menguasai Internet of Things, big data, dan sebagainya.

Galuh memaparkan, aplikasi BroilerX yang dikembangkannya dengan memperhatikan bahwa performance ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Namun, interaksi antara genetik dan lingkungan sering dilupakan orang karena adanya ketimpangan/kesulitan. Sebagai contoh, ada faktor penghambat dalam pemeliharaan ayam, yaitu stress. Seberapapun besar input, hasilnya tetap tidak baik karena ayam mengalami stress.

Berdasarkan hal tersebut, BroilerX menghadirkan solusi berupa Internet of Things yang dapat membaca kondisi lingkungan kemudian diproses di machine learning.  Mesin-mesin yang terkoneksi akan menyesuaikan apa yang diinginkan oleh ternak sehingga ternak akan memberikan hasil yang optimal.

Dalu Nuzlul Kirom, S.T., pemilik TERNAKNESIA mengatakan, TERNAKNESIA adalah platform pengembangan usaha peternakan yang terdiri atas investasi, pemasaran (market), dan fundraising yang berhubungan dengan pangan.

“TERNAKNESIA memaparkan peran teknologi dalam mendukung business process dalam peternakan yang dikembangkan melalui teknologi, mulai dari investasi, pendampingan peternak, hingga penjualan produk peternakan,” ujar Dalu

Dalu menambahkan, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana plafform ini berperan penting dalam memutus rantai pemasaran sehingga peternak dan pembeli tidak dirugikan. Upaya ini dilakukan melalui pembentukan komunitas pembeli (community buyer), sehingga dapat membantu dalam hal distribusi dan tentunya memberikan harga yang kompetitif baik untuk produsen dan konsumen.

“Ide yang menarik lain dari platform ini adalah membuat pasar ternak online melalui aplikasi sobat ternak, sehingga pembeli ternak dan peternak dapat saling berhubungan melalui media online. Selain itu, TERNAKNESIA membuat Ternaknesia 2.0, yaitu blueprint untuk traceability product yang memastikan produk peternak halal dan dari pakan yang diberikan hingga proses penyembelihan yang baik sesuai syariat.

Ray Rezky Ananda, S.Pt., pemilik BANTUTERNAK, mengungkapkan bahwa BANTUTERNAK merupakan platform investasi digital yang bertujuan untuk melakukan pemberdayaan peternak. Latar belakang inisiasi BANTUTERNAK adalah kondisi populasi peternak di Indonesia yang setiap tahun mengalami penurunan, sedangkan konsumsi protein hewani terus meningkat.

“Hal ini menjadi kekhawatiran kami karena Indonesia bisa kekurangan bahan pangan dan tentu akan mengandalkan impor. Oleh sebab itu, BANTUTERNAK lahir sebagai mitra ternak untuk desiminasi teknologi dan pengetahuan kepada peternak,” ujar Ray.

Ray menambahkan, BANTUTERNAK membantu memberdayakan peternak sehingga usaha yang dijalankan mendapat keuntungan. Teknologi menghubungkan antara peternak dengan investor, serta memberikan pembelajaran dan pemantauan kepada peternak supaya usaha yang dijalankan dapat sesuai dengan Standard Operational Procedure untuk mencapai target produksi. Saat ini, BANTUTERNAK telah bekerja sama dengan ribuan peternak di berbagai daerah di Indonesia. Peternak diberikan pendampingan dari pembelian bibit, pakan konsentrat, kesehatan ternak, dan penjualan ternak.

Sumber: https://fapet.ugm.ac.id/

Selengkapnya
Platform Dengan Teknologi Terkini di Bidang Peternakan

Pertanian

Ransfer Embrio (TE) salah satu bentuk Kemajuan Teknologi Reproduksi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Kegiatan yang dilakukan mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Gelombang XXXVIII di Eks. Laboratorium Kebidanan Divisi Reproduksi Veteriner, salah satunya yaitu praktik pelaksanaan Transfer Embrio pada sapi dummy yang ada di Laboratorium. Kegiatan dilaksanakan oleh kelompok 1C yang berjumlah 8 orang, diantaranya yaitu Rekha Flora Supiah, Figa Pramarta Risambada, Theresa Nadia Angelina, Melanie Aulia Ashfiyah, Anneisya Surya Anjani, Aini Mardhiah, Siti Choirin Nisa, dan M. Sbastian Pratama dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Imam Mustofa, drh., M. Kes.

Transfer Embrio (TE) merupakan bioteknologi reproduksi kedua setelah Insseminasi Buatan (IB). kegiatan TE dimulai dari produksi, distribusi/penyebaran, dan transfer embrio. Embrio sebagai hasil pembuahan sel telur yang unggul dan dibuahi dengan sperma dari pejantan yang juga memiliki mutu genetik unggul. Menurut beberapa ahli, yang dimaksudkan dengan transfer embrio adalah suatu metode buatan dalam perkawinan dengan cara membentuk embrio dari seekor betina induk unggul yang disebut donor, kemudian dipanen dan ditrasnferkan ke dalam saluran reproduksi induk betina lainnya dalam spesies yang sama yang disebut resipien.

Melalui teknologi TE bukan hanya potensi pejantan saja yang dioptimalkan, melaikan potesi dari betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal. Hasil dari betina unggul ini ternyata secara alamiah hanya menghasilkan satu atau dua bibit unggul dalam jangka waktu sembilan bulan kelahrtan. Tetapi dengan teknik TE bisa menghasilkan lebih dari dua embrio yang di panen. Melalui teknik TE, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hayan menghasilkan embrio–embrio yang selanjutnya untuk dititpkan pada resipien yang tidak harus genetik unggul tetapi mempunyai alat reproduksi yang normal hingga dapat memelihara anak sampai tahap partus.

Beragam cara untuk mengembangkan peternakan sapi potong dan sapi perah dilakukan antara lain lewat perbaikan kualitas genetik. Namun, langkah tersebut seringkali terhambat karena sulitnya memperoleh anakan kualitas unggul. Salah satu kendala adalah hambatan perbanyakan betina kualitas unggul. Secara alami, seekor induk hanya mampu menghasilkan satu ekor anak dalam setahun atau rata-rata hanya mampu menghasilkan anak yang berkualitas kurang dari 8 ekor sepanjang hidupnya. Separuh anak biasanya pejantan.

Menghadapi kendala tersebut, teknologi Transfer Embrio (TE) bisa menjadi solusi. TE ialah suatu proses panen (flushing) embrio dari uterus sapi donor yang telah dilakukan superovulasi dan memindahkannya ke uterus sapi resipien (penerima) dengan menggunakan metode, peralatan dan waktu tertentu. Teknologi ini merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB) yang paling sering diterapkan pada ternak sapi. Program TE melalui beberapa tahapan, yaitu pemilihan sapi donor dan resipien, sinkronisasi birahi, superovulasi, inseminasi, koleksi embrio, penanganan dan evaluasi embrio, transfer embrio ke resipien sampai pada pemeriksaan kebuntingan dan kelahiran.

TE memiliki kelebihan dibandingkan IB. Hanya diperlukan waktu satu generasi (9 bulan) untuk menghasilkan bibit murni (pure breed) lewat TE. Sementara, target yang sama memerlukan waktu 15 tahun jika dilakukan lewat proses IB. Aplikasi TE dapat memberikan peningkatan perkembangan ternak bibit unggul baik dari sisi pejantan maupun sisi betina. Selain itu, TE juga mengurangi biaya transportasi penyebaran bibit unggul serta mengurangi resiko penyebaran penyakit menular. Teknologi ini merupakan dasar bioteknologi dalam mendukung rekayasa embrio yang lebih tinggi dibidang reproduksi ternak.

TE memiliki manfaat ganda karena selain dapat diperoleh keturunan sifat dari kedua induknya juga dapat memperpendek calving interval sehingga perbaikan mutu genetik ternak lebih cepat diperoleh. Diawal tahun 1990-an, Puslit Bioteknologi – LIPI bekerjasama dengan Peternakan Tri S Tapos telah berhasil mengembangkan penelitian dan mengaplikasikan teknologi TE pada sapi potong dan sapi perah. Sejak tahun 1995 embrio beku sapi perah mulai disebar ke peternak di Bogor, Lembang dan Garut dalam program bantuan Bapak Presiden (Banpres). Tahun 1997 dimulai program membuat sapi unggul jenis “Brangus” khususnya daerah Indonesia Timur (Lombok, NTB), setelah itu aplikasi TE berkembang secara meluas di Sulawesi dan Sumatera.

Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30–50 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar 5−10 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer atau dibekukan. Dengan demikian, seekor sapi donor dapat menghasilkan keturunan lebih dari 25 ekor per tahun. TE memungkinkan rekayasa hingga mendapatkan anakan kembar identik dalam jumlah banyak ataupun melalui cloning.

Sumber: https://fkh.unair.ac.id/

Selengkapnya
Ransfer Embrio (TE) salah satu bentuk Kemajuan Teknologi Reproduksi

Pertanian

Di Balik Layar Praktik Dokter Hewan: Memahami Profesi dan Tantangannya

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Dokter hewan (disebut juga medik veteriner) adalah sebuah profesi medis yang mempraktikkan ilmu kedokteran hewan. Seorang dokter hewan telah menyelesaikan pendidikan profesi secara formal dan disumpah untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya. Selain bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan, dokter hewan juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan hewan serta dalam kesehatan masyarakat veteriner.

Bidang pekerjaan

Seorang dokter hewan teregistrasi dapat membuka layanan medis dan bekerja sebagai praktisi. Dokter hewan praktisi biasanya lebih memfokuskan diri pada satu kelompok hewan tertentu, seperti hewan kesayangan yang dipelihara di rumah, misalnya anjing, kucing, dan kelinci. Seorang praktisi hewan kesayangan dapat berkarier di tempat praktik mandiri, klinik, dan rumah sakit hewan, maupun di tempat penampungan hewan. Sebagian dokter hewan lain memilih untuk menangani kesehatan hewan ternak, baik ternak mamalia seperti sapi, kambing, domba, kuda, dan babi, maupun unggas seperti ayam pedaging dan ayam petelur. Ada pula dokter hewan konservasi yang menangani satwa liar dan akuatik.

Ditinjau dari lingkup sektor ekonomi, dokter hewan dapat bekerja pada sektor privat dengan membuka layanan praktik mandiri, bekerja sama dengan rekan sejawat, atau pada perusahaan swasta, baik melalui pelayanan jasa medis ataupun konsultasi. Sebagian dokter hewan lain bekerja pada sektor publik atau pemerintahan yang menyelenggarakan layanan veteriner, lembaga penelitian, konservasi, pembibitan, produksi dan reproduksi hewan, serta lembaga sertifikasi seperti karantina hewan. Selain itu, organisasi nirlaba, yang biasanya merupakan lembaga konservasi, juga merekrut dokter hewan.

Tantangan pekerjaan

Dokter hewan berisiko mengalami luka fisik yang disebabkan oleh hewan yang ditanganinya. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1988 menyebutkan bahwa 64,6% dari dokter hewan pernah mengalami luka berat akibat hewan; tangan, lengan, dan kepala menjadi area yang paling umum terluka, sementara sapi, anjing, dan kuda menjadi hewan yang paling umum menyebabkan luka. Dokter hewan juga dapat tertular penyakit zoonotik dari hewan-hewan yang ditanganinya. Tantangan pekerjaan dokter hewan juga perihal pemerataan, bahwa belum setiap wilayah memiliki dokter hewan. Beban kerja dan cakupan wilayah yang luas menjadikan pekerjaan dokter hewan rawan mengalami kelebihan beban kerja maupun meninggal dunia. Terdapat dokter hewan yang dituntut secara hukum oleh kliennya karena ketidapuasan pelayanan. Selain itu, layanan dokter hewan swasta berbayar belum tersosialisasi secara luas.

Kompetensi

Setelah lulus pendidikan dan dilantik menjadi dokter hewan, seseorang wajib memiliki sejumlah kompetensi. Terdapat beberapa kompetensi minimum yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Secara garis besar, kompetensi-kompetensi tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi dasar dan kompetensi lanjutan.

Kompetensi dasar—yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kecakapan minimum yang diperlukan oleh seorang dokter hewan untuk mendapatkan izin dari konsil kedokteran hewan—dibagi menjadi dua kelompok: kompetensi umum dan kompetensi spesifik. Kompetensi umum dokter hewan mencakup ilmu veteriner dasar, ilmu veteriner klinis, dan produksi hewan, sementara kompetensi spesifik terdiri atas 11 aspek, yaitu:

  • Epidemiologi — menerapkan epidemiologi deskriptif untuk mengendalikan penyakit dan berpartisipasi dalam penyelidikan epidemiologi jika terjadi kasus penyakit yang wajib dilaporkan;
  • Penyakit hewan lintas batas — mengidentifikasi penyakit hewan lintas batas dan patogen yang diasosiasikan dengannya, memahami distribusinya secara global, pengambilan dan penanganan sampelnya, penggunaan alat diagnostik dan terapeutik yang tepat, implikasi peraturan dan pelaporannya, serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Zoonosis (termasuk penyakit yang ditularkan melalui makanan) — mengidentifikasi zoonosis dan penyakit bawaan makanan serta patogen yang diasosiasikan dengannya; memahami penggunaan alat diagnostik dan terapeutik, implikasinya terhadap kesehatan manusia, pelaporannya, serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Penyakit infeksius baru dan muncul kembali — memahami penyakit infeksius baru dan penyakit infeksius yang muncul kembali, mendeteksi tanda klinis dan melaporkannya ke otoritas veteriner, memahami hipotesis kemunculannya, dan tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Program pencegahan dan pengendalian penyakit — memahami program baku yang telah ditetapkan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, zoonosis, atau penyakit infeksi baru dan muncul kembali; cara mengidentifikasi hewan untuk ketertelusuran dan pengawasan oleh otoritas veteriner; memahami dan berpartisipasi dalam pelaksanaan rencana darurat untuk mengendalikan penyakit lintas batas, termasuk membunuh hewan secara manusiawi; berpartisipasi dalam kampanye vaksinasi reguler dan darurat, serta program uji-dan-potong/terapi, sistem deteksi dini, penyakit hewan yang wajib dilaporkan; serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Higiene makanan — memahami praktik keamanan pangan di peternakan, inspeksi pemotongan hewan, termasuk pemeriksaan pra- dan pascamati, serta penyembelihan yang manusiawi; integrasi antara pengendalian kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, termasuk peran dokter hewan dengan dokter, praktisi kesehatan masyarakat, dan analis risiko;
  • Produk-produk veteriner — memahami penggunaan produk-produk veteriner dengan tepat, termasuk pencatatannya; konsep waktu henti obat untuk mencegah residu pada produk hewan yang akan dikonsumsi manusia; mekanisme perkembangan resistansi obat; hubungan penggunaan antibiotik pada hewan pangan dan berkembangnya resistansi antibiotik pada manusia; penggunaan obat-obatan dan bahan-bahan biologis dengan tepat untuk memastikan keamanan rantai pangan dan lingkungan; serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Kesejahteraan hewan — memahami kesejahteraan hewan dan tanggung jawab pemilik, dokter hewan, dan orang lain yang menangani hewan; mengidentifikasi masalah kesejahteraan hewan dan berpartisipasi dalam tindakan perbaikannya; memahami informasi terbaru tentang pengaturan kesejahteraan hewan dalam lingkup lokal, nasional, dan internasional, termasuk dalam produksi hewan, transportasi hewan, dan pemotongan hewan untuk konsumsi dan eliminasi untuk mengendalikan penyakit;
  • Legislasi dan etika veteriner — memahami peraturan tentang veteriner dan profesi kedokteran hewan di tingkat lokal, provinsi, nasional, dan regional, serta tempat untuk mencari informasi terbaru; menerapkan standar tinggi dalam etika profesi dokter hewan dalam keseharian; serta kepemimpinan dalam masyarakat dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perawatan hewan;
  • Prosedur sertifikasi umum — memeriksa dan memantau individu hewan atau kelompok hewan untuk menerbitkan sertifikat bebas dari penyakit atau kondisi tertentu berdasarkan prosedur baku; serta mengisi dan menandatangani sertifikat kesehatan sesuai dengan aturan nasional;
  • Kemampuan komunikasi — mengomunikasikan informasi teknis dengan cara yang dapat dipahami masyarakat umum; dan berkomunikasi secara efektif dengan rekan tenaga kesehatan profesional untuk saling bertukar informasi ilmiah dan teknis, serta pengalaman praktis.

Jenis kompetensi kedua adalah kompetensi lanjutan, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kecakapan minimum yang diperlukan oleh seorang dokter hewan untuk bekerja sebagai otoritas veteriner. Jenis kompetensi ini terdiri atas delapan aspek, yaitu

  • Organisasi layanan veteriner (sistem kesehatan hewan nasional) — memahami penyelenggaraan layanan veteriner sebagai barang publik global; organisasi layanan veteriner pada negara atau wilayahnya (tingkat pusat dan daerah), fungsi dan kewenangan layanan veteriner pada negara atau wilayahnya; interaksi layanan veteriner nasional di negaranya berinteraksi dengan layanan veteriner di negara lain dan dengan mitra internasional; hubungan antara dokter hewan swasta dan pemerintah dalam memberikan layanan veteriner di negaranya; pentingnya evaluasi layanan veteriner sebagaimana yang diatur dalam Jalur Kinerja Layanan Veteriner oleh WOAH; serta pemahaman tentang otoritas veteriner dan badan hukum veteriner (konsil kedokteran hewan).
  • Prosedur inspeksi dan sertifikasi — memahami proses yang digunakan untuk menilai status kesehatan hewan dan keamanan produk hewan untuk tujuan transportasi atau ekspor; proses pemeriksaan berbasis risiko terhadap hewan sebelum dan sesudah kematiannya serta pemeriksaan produk hewan; serta penerbitan sertifikat kesehatan.
  • Manajemen penyakit menular — memahami pengelolaan spesimen serta penggunaan alat diagnostik dan terapeutik yang tepat; menelusuri sumber dan sebaran suatu penyakit; memantau dan melakukan surveilans awal penyakit, termasuk mengomunikasikan informasi epidemiologis kepada praktisi kesehatan masyarakat lainnya; serta memahami metode untuk mengidentifikasi dan melacak hewan; mengendalikan perpindahan hewan, produk hewan, peralatan, dan manusia; karantina tempat atau area terinfeksi dan berisiko terinfeksi; membunuh hewan terinfeksi atau terpapar secara manusiawi; memusnahkan bangkai yang terinfeksi dengan cara yang benar; mendisinfeksi atau menghancurkan bahan terkontaminasi; serta zonasi dan kompartementalisasi;
  • Higiene makanan — memahami pelaksanaan berbasis risiko untuk pemeriksaan pada pemotongan hewan, termasuk prakematian, pascakematian, penyembelihan yang manusiawi, dan pengolahan yang higienis; program pengujian residu; sanitasi di usaha pengolahan makanan, penyimpanan produk olahan hewan yang benar, keamanan penyimpanan dan penyiapan makanan di rumah, serta kesehatan dan kebersihan semua orang yang terlibat dalam rantai makanan, mulai dari peternakan hingga meja makan.
  • Aplikasi analisis risiko — memahami bagaimana penerapan analisis risiko untuk menilai risiko penyakit hewan dan residu obat hewan, termasuk impor hewan dan produk hewan serta aktivitas layanan veteriner lain yang terkait; penggunaan analisis risiko untuk memastikan layanan veteriner dapat melindungi kesehatan hewan dan manusia; serta konsep analisis risiko yang mencakup identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko.
  • Penelitian — memahami pentingnya penelitian translasional dan interdisipliner untuk memajukan pengetahuan kedokteran hewan di bidang yang relevan dengan penyelenggaraan layanan veteriner nasional (misalnya zoonosis, penyakit lintas batas, penyakit infeksius yang muncul kembali, epidemiologi, kesejahteraan hewan, obat-obatan hewan, dan bahan biologis) sehingga generasi mendatang lebih siap untuk menjamin kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, dan kesehatan ekosistem.
  • Kerangka kerja perdagangan internasional — memahami Perjanjian tentang Penerapan Tindakan Sanitari dan Fitosanitari (Perjanjian SPS) dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO); peran dan tanggung jawab organisasi penetap standar WTO, seperti WOAH dan Komisi Codex Alimentarius (CAC) dalam mengembangkan peraturan berbasis ilmu pengetahuan terkini yang mengatur perdagangan internasional untuk hewan dan produk hewan; potensi dampak penyakit lintas batas, termasuk zoonosis, terhadap perdagangan internasional, serta proses sertifikasi kesehatan untuk menjamin mutu dan keutuhan komoditas ekspor; serta mekanisme pengendalian impor dan proses sertifikasi terkait dengan perlindungan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, dan kesehatan ekosistem di negara pengimpor.
  • Administrasi dan manajemen — memahami praktik administrasi dan manajemen yang baik; pentingnya keterampilan komunikasi interpersonal yang baik, yang mencakup pengetahuan terhadap diri sendiri dan pengetahuan tentang orang lain; pentingnya komunikasi yang efektif (kesadaran dan advokasi masyarakat); serta penguasaan setidaknya satu bahasa resmi WOAH.

Dalam budaya populer

Dokter hewan telah banyak dijadikan topik budaya populer, seperti film dan serial televisi. Berikut ini beberapa di antaranya:

  • Acara televisi realitas yang menampilkan dokter hewan:
    • Bondi Vet, serial televisi faktual Australia. Acara ini menampilkan kehidupan Chris Brown, dokter hewan di Bondi Junction Veterinary Hospital.
    • Dr Oakley, Yukon Vet, tentang seorang dokter hewan di Yukon, Kanada dan dua putrinya yang membantunya.
    • The Incredible Dr. Pol, acara realitas tentang seorang dokter hewan AS yang diproduksi oleh National Geographic Wild, saluran Disney. Acara ini menampilkan kehidupan Dr. Jan Pol dan Pol Veterinarian Service di Michigan.
    • Emergency Vets dan E-Vet Interns (1998–2002), sebuah acara televisi AS yang difilmkan di Alameda East Veterinary Hospital di Denver, Colorado.
    • Rookie Vets (2005), yang menampilkan mahasiswa di Massey University di Selandia Baru.
    • Vet School Confidential (2001), yang menampilkan mahasiswa di Michigan State University College of Veterinary Medicine di AS.
    • Vets in Practice (1997–2002), sebuah serial di Inggris.
  • Karya fiksi yang menampilkan dokter hewan sebagai protagonis utama antara lain:
    • Seri buku James Herriot yang berisi cerita fiksi tentang karirnya sebagai dokter hewan hewan ternak di Inggris, yang diadaptasi menjadi serial televisi BBC All Creatures Great and Small.
    • The Three Lives of Thomasina (1963), tentang Andrew MacDhui, seorang dokter hewan di sebuah desa di Skotlandia.
    • Seri buku anak-anak Doctor Dolittle yang telah beberapa kali diadaptasi menjadi film, yaitu Doctor Dolittle (1967), Dr. Dolittle (1998), Dr. Dolittle 2 (2001), dan Dolittle (2020).
    • Film Beethoven (1992), yang menampilkan dokter hewan jahat Dr. Herman Varnick.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Di Balik Layar Praktik Dokter Hewan: Memahami Profesi dan Tantangannya
« First Previous page 14 of 27 Next Last »