Pertanian

Apa itu Hewan Pemamah Biak?

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Hewan pemamah biak (ordo Artiodactyla atau hewan berkuku genap, terutama dari subordo Ruminantia) adalah sekumpulan hewan pemakan tumbuhan (herbivor) yang mencerna makanannya dalam dua langkah: pertama dengan menelan bahan mentah, kemudian mengeluarkan makanan yang sudah setengah dicerna dari perutnya dan mengunyahnya lagi. Lambung hewan-hewan ini tidak hanya memiliki satu ruang (monogastrik) tetapi lebih dari satu ruang (poligastrik, harafiah: berperut banyak).

Hewan pemamah biak secara teknis dalam ilmu peternakan serta zoologi dikenal sebagai ruminansia. Hewan-hewan ini mendapat keuntungan karena pencernaannya menjadi sangat efisien dalam menyerap nutrisi yang terkandung dalam makanan, dengan dibantu mikroorganisme di dalam perut-perut pencernanya.

Semua hewan yang termasuk subordo Ruminantia memamah biak, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, jerapah, bison, rusa, kancil, dan antelop. Ruminansia yang bukan tergolong subordo Ruminantia misalnya unta dan llama. Kuda, walaupun bukan poligastrik, memiliki modifikasi pencernaan yang efisien pula.

Organ pencernaan

Hewan ruminansia memiliki adaptasi fisiologi berupa gigi dan lambung. Gigi hewan ruminansia memiliki bentuk yang khusus menyesuaikan makanannya. Gigi-gigi tersebut terdiri atas gigi taring (canin), gigi seri (incisor), gigi geraham (molar dan premolar). Gigi seri dan gigi taring ruminansia berfungsi untuk mencabut dan mengigit rumput. Sementara gigi gerahamnya memiliki email gigi yang tajam dan besar untuk mengunyah rumput. Gigi seri hewan ini berbentuk kapak. Sementara itu, gigi gerahamnya berbentuk datar dan lebar dengan rahang yang bergerak menyamping saat menggiling makanan secara mekanik.

Tak seperti mamalia pemakan daging, lambung hewan ruminansia memiliki empat bagian lambung yang terdiri dari omasum, abomasum, retikulum, dan rumen. Ukuran ruangan tersebut berbeda-beda sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%.

Proses pencernaan

Makanan hewan pemamah biak adalah rumput yang kaya akan serat selulosa. Makanan tersebut dikunyah kasar dalam mulut dengan bantuan ludah. Kemudian, makanan tersebut melewati esofagus. Esofagus hewan ruminansia berukuran pendek. Fungsi esofagus hanya mengantar makanan dari mulut menuju lambung. Kemudian, makanan tersebut disimpan pada rumen. Rumen sendiri memiliki fungsi sebagai gudang penyimpanan makanan sementara. Saat rumen terisi cukup makanan, hewan tersebut akan beristirahat. Pada rumen terdapat bakteri dan protozoa. Organisme kecil tersebut menghasilkan berbagai macam enzim seperti hidrolase, amilase, oligosakrase, dan glikosidase yang berfungsi mengurai polisakarida. Selain itu, terdapat juga enzim selulase yang mengurai selulosa, enzim proteolitik yang mengurai protein, serta enzim pencerna lemak.

Setelah dicerna dalam rumen, makanan tersebut diaduk-aduk di dalam retikulum dengan bantuan enzim pencernaan yang dihasilkan oleh bakteri. Pengadukan makanan tersebut dibantu secara mekanis oleh otot dinding retikulum. Setelah proses pengadukan terbentuklah gumpalan-gumpalan kasar (bolus). Kemudian, gumpalan tersebut didorong kembali menuju mulut untuk dikunyah kedua kalinya dengan lebih halus lagi.

Setelah dikunyah kedua kalinya, makanan tersebut menuju omasum melewati rumen dan retikulum. Pada omasum terdapat kelenjar yang menghasilkan enzim. Enzim tersebut membantu proses penghalusan bolus. Setelah bolus bertekstur lebih halus dari sebelumnya, terjadi proses penyerapan air sehingga kadar air dalam gumpalan makanan tersebut berkurang. Gumpalan halus tersebut akan diteruskan ke abomasum.

Abomasum merupakan perut yang sebenarnya karena proses pencernaan pada bagian ini terjadi secara mekanis dan kimiawi dengan bantuan enzim-enzim pencernaan dan asam klorida. Pada bagian abomasum, proses pencernaan yang terjadi mirip dengan pencernaan hewan mamalia lainnya seperti terdapat enzim pepsin yang mengubah protein menjadi asam amino. Asam klorida (HCl) berfungsi mengaktifkan pepsinogen yang dikeluarkan oleh dinding abomasum. Selain itu, HCl berfungsi sebagai desinfektan. Selanjutnya, makan akan didorong ke usus halus. Pada bagian ini terjadi penyerapan sari-sari makanan yang akan diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Sisa-sisa makanan yang tidak dapat diserap akan dikeluarkan melalui anus.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Apa itu Hewan Pemamah Biak?

Pertanian

Percobaan pada Hewan: Tikus Putih Sering Digunakan untuk Uji Coba Hewan?

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Percobaan pada hewan (bahasa Inggris: animal testing) merupakan kegiatan yang melibatkan hewan sebagai objek dari percobaan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan uji coba hewan antara lain eksperimen pada hewan, penelitian pada hewan, uji coba in-vivo dan vivisection. Uji coba hewan dilakukan pada penelitian dasar dan terapan (biomedis), pengujian obat-obatan, pengujian zat-zat biologis, serta bertujuan sebagai sarana pendidikan. Hewan yang dapat dijadikan sebagai objek pengujian adalah hewan yang bebas dari mikroorganisme patogen, memiliki reaksi imunitas yang baik, kepekaan pada suatu penyakit, dan performa atau anatomi tubuh hewan percobaan dikaitkan dengan sistem genetiknya. Hewan yang banyak digunakan pada percobaan ialah mencit (Mus musculus) sekitar 40%, tikus putih (Rattus norvegicus), kelinci (Oryclolagus cunucilus), hamster, dan primata.

Terdapat konsep 3Rs yaitu replacement (penggantian), reduction (pengurangan), dan refinement (perbaikan) sebagai parameter penggunaan hewan dalam penelitian. Uji coba pada hewan perlu dilakukan sesuai etik antara lain cara memperoleh hewan percobaan, transportasi, perkandangan, kondisi lingkungan, makanan, perawatan, pengawasan oleh dokter hewan, dan teknik pelaksanaan uji coba dengan anastesi agar tidak menimbulkan rasa nyeri.

Tujuan

Berikut ini adalah beberapa tujuan dari dilakukannya animal testing yaitu sebagai berikut:

  1. Memastikan bahwa bahan baku yang digunakan dalam suatu produk benar-benar aman.
  2. Memastikan bahwa senyawa-senyawa yang digunakan dalam suatu produk tidak mempunyai efek fisiologis yang negatif terhadap jaringan tubuh manusia.
  3. Memastikan keamanan produk kosmetik yang digunakan.
  4. Mengetahui fototoksisitas (iritasi yang berhubungan dengan cahaya, biasanya terjadi setelah kulit dikenai cukup cahaya) bahan baku maupun produk terhadap kulit.
  5. Mengetahui potensi iritasi bahan baku atau produk terhadap kulit dan mata.
  6. Mengetahui komedogenitas kemampuan untuk merangsang tumbuhnya jerawat dan gangguan lain) pada kulit.

Teknis

Biasanya hewan yang digunakan pada animal testing merupakan hewan utuh atau hanya bagian tertentu dari tubuh hewan tersebut. Namun demikian, tidak jarang juga hewan hidup sehat digunakan sebagai objek penderita. Berikut ini adalah salah satu contoh langkah-langkah animal testing untuk mengetahui potensi bahan atau produk dalam menimbulkan komedo/jerawat (comedogemity):

  1. Hewan yang digunakan dalam pengujian tersebut yaitu kelinci.
  2. Bahan atau produk yang akan diteliti diaplikasikan pada salah satu telinga kelinci sebanyak setengah mililiter. Sedangkan telinga lainnya sebagai kontrol.
  3. Uji coba ini dilakukan selama 5 hari dalam 1 minggu dan dilakukan selama 2 minggu berturut-turut.
  4. Setelah itu dilakukan observasi berdasarkan gejala yang muncul pada objek penelitian.

Larangan pengadaan

Meskipun uji coba hewan ini memiliki tujuan yang baik berupa memastikan bahwa produk yang diproduksi dari suatu industri aman bagi kulit, tetapi beberapa negara melarang hal tersebut. Animal testing dianggap menjadi salah satu metode pengujian yang bertentangan dengan bioetika. Mereka mendorong supaya lembaga-lembaga penelitian menemukan metode pengujian yang lebih ramah dan beretika.

Pihak yang banyak menentang uji coba hewan yaitu Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa. Seperti dimaklumi, uji coba hewan menggunakan hewan sebagai objek penderitanya.Tak jarang hewan yang digunakan dalam penelitian tersebut dibunuh guna menghindari interaksi terhadap hewan lainnya. Hewan-hewan yang biasanya digunakan dalam animal testing yaitu hewan-hewan pengerat seperti tikus, kelinci, dan marmut. Hewan-hewan tersebut diperoleh dari pembiakan atau penangkaran. Selain hewan pengerat, hewan-hewan dari kelompok karnivora dan primata juga sering digunakan dalam animal testing. Hewan golongan ini pada umumny amasih banyak yang diperoleh dari alam liar.

Ada beberapa alasan para penggiat LSM lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa melarang uji coba hewan untuk menguji keamanan produk:

  1. Hewan-hewan yang tidak bersalah harus menanggung efek samping penggunaan dosis bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kosmetik pada animall testing.
  2. Hewan-hewan yang digunakan pada animal testing terkadang diperlakukan secara tidak layak. Bahkan tidak jarang juga kebutuhan nutrisi mereka diabaikan atau kurang diperhatikan.
  3. Bahan-bahan yang dinyatakan lolos melalui uji coba ini terkadang memberikan efek yang berbeda apabila diaplikasikan kepada manusia. Jadi, bahan yang dinyatakan aman pada saat animal testing belum tentu aman digunakan pada manusia, begitu pula sebaliknya.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Percobaan pada Hewan: Tikus Putih Sering Digunakan untuk Uji Coba Hewan?

Pertanian

Perternak Sapi Konvensial vs Perternak Sapi Modern

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024


Peternakan sapi telah menjadi kegiatan yang dilakukan oleh manusia selama ribuan tahun. Di berbagai bagian dunia, sapi digunakan sebagai sumber makanan, tenaga kerja, dan bahan bakar. Di Indonesia, sapi merupakan sumber utama protein hewani yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kemajuan zaman, peternakan sapi telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan teknologi. Saat ini, terdapat dua jenis peternakan sapi yang berbeda, yakni peternakan sapi konvensional dan peternakan sapi modern. Dalam artikel ini, akan dibahas perbedaan antara kedua jenis peternakan sapi tersebut serta kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Bagian I: Peternakan Sapi Konvensional

Peternakan sapi konvensional merupakan bentuk peternakan sapi yang mengandalkan metode-metode tradisional dalam proses budidaya. Di Indonesia, peternakan sapi konvensional masih umum ditemui, terutama di daerah pedesaan. Berikut adalah beberapa karakteristik dari peternakan sapi konvensional:

  • Penggunaan lahan alami

Peternakan sapi konvensional biasanya memanfaatkan lahan alami sebagai tempat pemeliharaan sapi. Sapi dibiarkan bebas berkeliaran di padang rumput atau hutan untuk mencari makanan sendiri. Ini merupakan perbedaan dengan peternakan sapi modern yang menggunakan kandang atau ladang sebagai tempat pemeliharaan sapi.

  • Penggunaan pakan alami

Sapi yang dipelihara dalam peternakan sapi konvensional diberi makanan alami berupa rumput, daun, atau kulit kayu sebagai pakan utama mereka. Mereka dibiarkan mencari makan sendiri di sekitar peternakan atau di lahan yang disediakan oleh peternak.

  • Tidak adanya penggunaan teknologi

Peternakan sapi konvensional biasanya tidak mengadopsi teknologi modern seperti mesin pengaduk pakan, peralatan pengontrol suhu, atau teknologi lainnya yang dapat mempercepat dan memudahkan proses budidaya sapi.

1. Kelebihan Peternakan Sapi Konvensional

  • Biaya yang lebih rendah

Peternakan sapi tradisional memiliki biaya yang lebih murah daripada peternakan sapi modern. Hal ini dikarenakan peternakan sapi tradisional tidak memerlukan peralatan dan teknologi modern untuk mengelola peternakan.

  • Makanan yang lebih sehat

Sapi yang dirawat di peternakan sapi tradisional diberikan pakan alami seperti rumput, daun, atau kulit kayu. Jenis pakan alami ini dianggap lebih sehat bagi sapi maupun manusia.

  • Lebih ramah lingkungan

Peternakan sapi tradisional menghindari penggunaan teknologi modern yang berlebihan sehingga lebih memperhatikan lingkungan. Sapi diberikan kebebasan untuk mencari makan sendiri di sekitar peternakan dan membutuhkan sedikit lahan.

2. Kekurangan Peternakan Sapi Konvensional

  • Produksi yang rendah

Peternakan sapi tradisional umumnya menghasilkan produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan peternakan sapi modern. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan teknologi modern yang kurang serta kurangnya perawatan yang optimal terhadap sapi.

  • Kualitas yang tidak konsisten

Sapi yang dirawat di peternakan sapi tradisional memiliki kualitas yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti jenis pakan yang diberikan dan kurangnya perawatan yang optimal.

  • Berisiko terhadap kesehatan sapi dan manusia

Peternakan sapi tradisional seringkali kurang memenuhi standar sanitasi dan kesehatan yang memadai. Hal ini meningkatkan risiko sapi dan manusia terkena penyakit dan infeksi.

Bagian II: Peternakan Sapi Modern

Peternakan sapi modern merujuk pada jenis peternakan sapi yang mengadopsi teknologi modern dalam kegiatan budidaya sapi. Peternakan sapi modern umumnya terdapat di daerah perkotaan atau di negara-negara maju. Berikut adalah beberapa ciri khas dari peternakan sapi modern:

  • Penggunaan kandang atau ladang

Sapi yang dikembangkan di peternakan sapi modern biasanya ditempatkan di kandang atau ladang. Tujuan utamanya adalah untuk mempermudah pengawasan dan perawatan sapi.

  • Penggunaan pakan buatan

Sapi yang dirawat di peternakan sapi modern diberikan pakan buatan yang terdiri dari jagung, kedelai, atau tepung tulang sebagai pakan utama. Jenis pakan buatan ini disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi.

  • Penggunaan teknologi modern

Peternakan sapi modern memanfaatkan teknologi modern seperti mesin pengaduk pakan, alat pengendali suhu, dan berbagai teknologi lainnya untuk mempercepat dan mempermudah proses budidaya sapi.

1. Kelebihan Peternakan Sapi Modern

  • Produksi yang tinggi

Peternakan sapi modern memiliki potensi menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan sapi konvensional. Hal ini disebabkan oleh penggunaan teknologi modern dan perawatan yang optimal terhadap sapi.

  • Kualitas yang lebih konsisten

Sapi yang dirawat di peternakan sapi modern umumnya memiliki kualitas yang lebih konsisten. Hal ini dikarenakan penggunaan pakan buatan yang disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi.

  • Lebih aman terhadap kesehatan sapi dan manusia

Peternakan sapi modern menerapkan standar sanitasi dan kesehatan yang tinggi. Hal ini menjaga keamanan sapi dan manusia dari penyakit dan infeksi.

2. Kekurangan Peternakan Sapi Modern

  • Biaya yang lebih tinggi

Peternakan sapi modern membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan sapi konvensional. Hal ini disebabkan oleh penggunaan teknologi modern dan perawatan yang lebih intensif terhadap sapi.

  • Dampak lingkungan yang besar

Peternakan sapi modern umumnya memerlukan lahan yang lebih luas dan menghasilkan limbah yang lebih banyak. Dampaknya dapat merugikan lingkungan sekitar peternakan, seperti pencemaran air dan udara.

  • Kurangnya keberlanjutan

Peternakan sapi modern sering kali menerapkan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, seperti menggunakan pakan buatan yang mengandung bahan-bahan tidak ramah lingkungan dan penggunaan antibiotik secara berlebihan. Dampaknya dapat mengurangi kualitas lingkungan dan mengancam keberlanjutan usaha peternakan.

Sebagai seorang penulis, pendapat saya adalah bahwa peternakan sapi modern memiliki potensi sebagai solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan daging sapi di masa depan. Namun, saya juga menyadari bahwa peternakan sapi konvensional memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan pangan di banyak daerah, terutama di daerah pedesaan.

Dalam konteks ini, saya yakin bahwa peternakan sapi modern memberikan alternatif yang positif bagi peternakan sapi konvensional. Penerapan teknologi modern dapat membantu meningkatkan produksi daging sapi serta meningkatkan kualitas sapi yang dihasilkan. Namun, penting untuk melakukannya dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kesehatan lingkungan.

Selain itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas peternakan sapi konvensional. Pemerintah dan organisasi terkait dapat memberikan dukungan berupa pelatihan dan penyediaan teknologi sederhana yang dapat membantu peternak sapi konvensional meningkatkan produksi dan kualitas sapi mereka.

Secara keseluruhan, saya meyakini bahwa peternakan sapi modern dan peternakan sapi konvensional memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun, kedua jenis peternakan ini dapat berjalan berdampingan dan saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat di masa depan. (Dosen Universitas Teknokrat Indonesia, Pakar Sistem Tertanam, Tim Kelompok Keilmuan IoT dan Sistem Tertanam)

Sumber: https://teknokrat.ac.id/

Selengkapnya
Perternak Sapi Konvensial vs Perternak Sapi Modern

Pertanian

Mengenal Apa itu Etologi

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024


Etologi atau Ilmu perilaku hewan adalah suatu cabang ilmu zoologi yang mempelajari perilaku atau tingkah laku hewan, mekanisme serta faktor-faktor penyebabnya.

Sepanjang sejarah telah banyak naturalis yang mempelajari aneka aspek tingkah laku hewan, berakar pada penelitian-penelitian Charles Darwin (1809-1882). Namun disiplin ilmu etologi modern dianggap lahir sekitar tahun 1930-an atas penilitian-penilitian yang dilakukan ornitologis asal Belanda, Nikolaas Tinbergen (1907-1988), dan ornitologis asal Austria, Konrad Lorenz (1903-1989) serta zoologis Karl von Frisch (1886-1982). Atas jerih payahnya, ketiga peneliti ini kemudian dianugerahi Hadiah Nobel dalam Fisiologi dan Kedokteran pada tahun 1973.

Etologi merupakan kombinasi antara pekerjaan laboratorium dan pengamatan di lapangan, yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti neuroanatomi, ekologi, dan evolusi. Seorang ahli perilaku hewan cenderung menaruh minat pada proses terjadinya sebuah perilaku dari pada kelompok hewan tertentu, dan sering kali mempelajari satu jenis perilaku, seperti agresi, pada sejumlah spesies yang tidak berkerabat.

Etologi adalah bidang yang berkembang pesat. Sejak awal abad ke-21, para peneliti telah memeriksa kembali dan mencapai kesimpulan baru dalam banyak aspek komunikasi hewan, emosi, budaya, pembelajaran, dan seksualitas yang telah lama dipahami oleh komunitas ilmiah. Bidang-bidang baru, seperti neuroetologi, juga mulai berkembang.

Etimologi dan terminologi

Istilah etologi diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu kata ethos (ήθος) yang berarti "kebiasaan", seperti kata etis dan etika. lalu kata -logia (-λογία) yang berarti "ilmu mengenai-". Pertama kali istilah ini diperkenalkan dalam bahasa Inggris oleh mirmekolog asal Amerika William Morton Wheeler pada 1902.

Meski tidak diterima dalam kalangan akademisi, John Stuart Mill dalam bukunya Sistem Logika, Ratiosinatif dan Induktif (1843) mendefinisikan Etologi sebagai "ilmu pembentukan karakter" yang akan menjadi ilmu tentang sifat manusia yang tidak dapat disediakan oleh Psikologi.

Dia menyarankan psikologi akan menjadi ilmu untuk menemukan hukum pikiran universal, sedangkan Etologi akan menjadi ilmu yang menjelaskan pikiran individu atau karakter menurut hukum umum disediakan oleh Psikologi. Etologi juga akan memiliki hukumnya sendiri, tetapi mereka akan menjadi turunan; yaitu, mereka akan disimpulkan dari hukum-hukum universal Psikologi.[5] Studi semacam ini kemudian dikenal sebagai Psikologi Komparatif.

Sejarah

  • Periode awal etologi

Karena dianggap sebagai bagian dari biologi, para ahli perilaku hewan mengkhususkan perhatian mereka kepada evolusi perilaku dan pemahamannya terkait dengan seleksi alam. Charles Darwin dianggap sebagai etologis modern pertama, dia menulis The Expression of the Emotions in Man and Animals (1872) yang memberikan pengaruh kepada para etologis. Dia menyalurkan minatnya dalam perilaku dengan mendorong muridnya George Romanes, yang menyelidiki pembelajaran dan kecerdasan hewan menggunakan metode antropomorfik, kognitivisme anekdot, yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat ilmiah.

Etologis periode awal lain, seperti Eugène Marais, Charles O. Whitman, Oskar Heinroth, Wallace Craig, dan Julian Huxley, berkonsentrasi pada perilaku naluriah atau alami yang terjadi pada semua anggota spesies dalam keadaan tertentu. Permulaan mereka dalam mempelajari perilaku spesies baru adalah dengan menyusun etogram (deskripsi jenis perilaku umum beserta frekuensi kemunculannya). Ini memberikan database perilaku kumulatif yang objektif, yang dapat diperiksa dan ditambahkan oleh peneliti selanjutnya.

  • Perkembangan bidang studi

Karena penelitian Konrad Lorenz dan Nikolaas Tinbergen, etologi berkembang pesat di Eropa selama tahun-tahun menjelang Perang Dunia II. Setelah perang, Tinbergen pindah ke Universitas Oxford dan etologi menjadi lebih kuat di Inggris, dengan pengaruh tambahan dari William Thorpe, Robert Hinde, dan Patrick Bateson di Sub-departemen Perilaku Hewan di Universitas Cambridge. Pada periode ini pula, etologi mulai berkembang pesat di Amerika Utara.

Lorenz, Tinbergen, dan von Frisch bersama-sama dianugerahi Hadiah Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1973 untuk karya mereka dalam mengembangkan etologi.

Etologi menjadi disiplin ilmu yang terpandang, dan memiliki sejumlah jurnal yang membahas perkembangan dalam subjek tersebut, seperti Animal BehaviourAnimal WelfareApplied Animal Behaviour ScienceAnimal CognitionBehaviourBehavioral Ecology and Ethology: International Journal of Behavioural Biology. Pada tahun 1972, International Society for Human Ethology didirikan untuk mempromosikan pertukaran pengetahuan dan pendapat tentang perilaku manusia yang diperoleh dengan menerapkan prinsip dan metode etologis dan menerbitkan jurnal mereka, The Human Ethology Bulletin.

  • Etologi sosial dan perkembangan terkini

Pada tahun 1972, etologis Inggris John H. Crook membedakan 'etologi komparatif' dari 'etologi sosial', dan berpendapat bahwa sebagian besar etologi yang ada sejauh ini benar-benar etologi komparatif—memeriksa hewan sebagai individu—sementara di masa depan, ahli etologi perlu berkonsentrasi pada perilaku kelompok sosial hewan dan struktur sosial di dalamnya.

Pada tahun 1975, Edward O. Wilson mengeluarkan buku Sociobiology: The New Synthesis, dan sejak saat itu studi tingkah laku meletakkan perhatian lebih pada aspek sosial. Hal ini juga didorong oleh Darwinisme yang lebih kuat, tetapi lebih canggih, yang diasosiasikan dengan E.O. Wilson, Robert Trivers, dan W.D. Hamilton. Perkembangan terkait ekologi perilaku juga telah membantu mengubah etologi. Selain itu, pemulihan hubungan yang substansial dengan psikologi komparatif telah terjadi, sehingga studi ilmiah modern tentang perilaku menawarkan spektrum pendekatan yang lebih mulus: dari kognisi hewan hingga psikologi komparatif yang lebih tradisional, etologi, sosiobiologi, dan ekologi perilaku. Pada tahun 2020, Dr. Tobias Starzak dan Profesor Albert Newen dari Institut Filsafat II di Universitas Ruhr Bochum mendalilkan bahwa hewan mungkin memiliki 'kepercayaan'.

Kaitan dengan psikologi komparatif

Etologi dapat dibedakan dengan psikologi komparatif, yang juga mempelajari perilaku hewan dalam konteks dan kaidah psikologi. Sedangkan etologi memandang studi perilaku hewan dalam konteks dari apa yang dikenal tentang anatomi dan fisiologi hewan yang cenderung mengikuti kaidah biologi. Lebih lanjut, psikolog komparatif awal berkonsentrasi pada studi pembelajaran dan cenderung memahami perilaku dalam keadaan buatan, sedangkan para etolog awal berkonsentrasi pada perilaku dalam keadaan alami, cenderung menggambarkannya secara naluriah.

Kedua pendekatan ini saling melengkapi alih-alih bersaing, tetapi mereka memberikan perspektif yang berbeda dan kadang berbeda pendapat mengenai hal yang substansial. Ditambah lagi dengan fakta bahwa selama abad ke-20 psikologi komparatif berkembang paling kuat di Amerika Utara dan etologi lebih kuat di Eropa sehingga menimbulkan berbeda fondasi filsafat dalam kedua studi itu. Dari sudut pandang praktis, psikolog komparatif awal berkonsentrasi untuk memperoleh pengetahuan luas tentang perilaku spesies yang sangat sedikit. Para etolog lebih tertarik untuk memahami perilaku di berbagai spesies untuk memfasilitasi perbandingan berprinsip di seluruh kelompok taksonomi. Para ahli etologi lebih banyak menggunakan perbandingan lintas spesies seperti itu daripada yang para psikolog komparatif.

Insting

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'insting' mengenai zoologi diartikan sebagai "Kecenderungan pada tingkah laku yang diwarisi dari nenek moyang dan kebiasaan pada binatang jenis tertentu tanpa pengalaman sebelumnya atau tanpa tujuan yang mendasar"

  • Pola tindakan tetap

Langkah penting yang dikaitkan dengan Konrad Lorenz, walau kemungkinan lebih kepada gurunya, Oskar Heinroth, ialah pengenalan pola tindakan tetap. Lorenz mempopulerkan hal ini sebagai respons naluriah yang akan terjadi dengan keterandalan disebabkan stimulus yang dikenali yang disebut stimulus penanda atau "stimulus pelepas". Pola tindakan tetap sekarang dianggap sebagai urutan perilaku naluriah yang relatif tidak berubah di dalam spesies dan hampir pasti berjalan sampai selesai.

Lorenz mengidentifikasi 6 karakteristik pola tindakan tetap, yaitu; stereotip, kompleks, karakteristik spesies, dilepaskan, dipicu, dan tidak bergantung pada pengalaman. Terdapat 4 pengecualian kondisi dari pola tindakan tetap, yaitu; ambang toleransi respon yang menurun, terlalu lama tidak dirilis, perilaku displacement, respon yang bertingkat.

Pola tindakan tetap telah diamati pada banyak spesies, tetapi terutama pada ikan dan burung. Studi klasik oleh Konrad Lorenz dan Niko Tinbergen melibatkan perilaku kawin ikan stickleback jantan dan perilaku pengambilan telur angsa greylag. Oskar Heinroth kenyakan melakukan pengamatan pada Anatidae sebagai studi kasusnya.

Salah satu studi populer tentang hal ini juga dilakukan Karl von Frish mengenai "Tarian Kibasan" (Waggle Dance) atau "Bahasa Tari" yang diamati pada lebah madu. Dengan melakukan tarian ini, lebah pekerja dapat berbagi informasi tentang arah dan jarak ke petak bunga yang menghasilkan nektar dan serbuk sari, ke sumber air, atau ke lokasi sarang baru dengan anggota koloni lainnya.

Pembelajaran

  • Habituasi

Habituasi adalah bentuk pembelajaran yang sederhana dan terjadi di banyak taksa hewan. Ini adalah proses di mana hewan berhenti merespons stimulus. Seringkali, responsnya adalah perilaku bawaan. Pada dasarnya, hewan itu belajar untuk tidak menanggapi stimulus yang tidak relevan. Stimulus diberikan secara terus-menerus maka respon yang dihasilkan akan mengalami penurunan, tidak akan berasosiasi dengan respon tertentu.

Meskipun terjadi penurunan respon pada proses habituasi, efek yang ditimbulkan tidak membahayakan bagi makhluk. Hal ini dikarenakan saat stimulus terus-menerus diberikan pada makhluk tersebut, maka ia akan menyesuaikan diri dengan baik, sehingga respon tidak ditampilkan dan stimulus akan diabaikan.

  • Pembelajaran asosiatif

Pembelajaran asosiatif dalam perilaku hewan adalah setiap proses pembelajaran di mana respons baru dikaitkan dengan stimulus tertentu. Studi pertama pembelajaran asosiatif dilakukan oleh ahli fisiologi Rusia Ivan Pavlov, yang mengamati bahwa anjing yang dilatih untuk mengasosiasikan makanan dengan bunyi bel akan mengeluarkan air liur saat mendengar bel.

  • Perakaman

Perakaman memungkinkan anakan untuk membedakan anggota spesies mereka sendiri, penting untuk keberhasilan reproduksi. Jenis pembelajaran penting ini hanya berlangsung dalam jangka waktu yang sangat terbatas. Lorenz mengamati bahwa anak burung seperti angsa dan ayam mengikuti induknya secara spontan hampir dari hari pertama setelah mereka menetas, dan dia menemukan bahwa respons ini dapat ditiru oleh stimulus yang berubah-ubah jika telur diinkubasi secara artifisial dan stimulus diberikan. selama periode kritis yang berlanjut selama beberapa hari setelah menetas.

  • Imitasi (Peniruan)

Imitasi adalah perilaku tingkat lanjut di mana seekor hewan mengamati dan secara tepat meniru perilaku hewan lain. Peniruan merupakan proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh model dengan melibatkan indra sebagai penerima stimulus dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari stimulus dengan kemampuan aksi. Proses ini melibatkan kemampuan kognisi tahap tinggi karena tidak hanya melibatkan bahasa namun juga pemahaman terhadap pemikiran orang lain. Spesies monyet menghabiskan banyak waktu dengan para peniru bahkan lebih suka terlibat dengan mereka, meski disediakan opsi untuk melakukan aktifitas yang sama tanpa diikuti oleh para peniru. Imitasi telah diamati dalam penelitian terbaru tentang simpanse, mereka tidak hanya meniru tindakan individu lain, ketika diberi pilihan, simpanse lebih suka meniru tindakan simpanse yang lebih tua dari pada simpanse muda yang berperingkat lebih rendah.

Berkawanan

Beberapa spesies hewan, termasuk manusia, cenderung hidup berkawanan. Ukuran kawanan adalah aspek utama dari lingkungan sosial mereka. Kehidupan sosial mungkin merupakan strategi bertahan hidup yang kompleks dan efektif. Ini dapat dianggap sebagai semacam simbiosis di antara individu-individu dari spesies yang sama: suatu masyarakat terdiri dari sekawanan individu yang termasuk dalam spesies yang sama yang hidup dalam aturan yang jelas tentang pengelolaan makanan, pembagian peran, dan ketergantungan timbal balik.

Ketika ahli biologi yang tertarik pada teori evolusi pertama kali mulai meneliti perilaku sosial, beberapa pertanyaan yang tampaknya tidak dapat dijawab muncul, seperti bagaimana kelahiran kasta steril, seperti pada lebah, dapat dijelaskan melalui mekanisme evolusi yang menekankan keberhasilan reproduksi sebanyak mungkin individu, atau mengapa, di antara hewan yang hidup dalam kelompok kecil seperti tupai, seseorang akan mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan anggota kelompok lainnya. Perilaku ini mungkin merupakan contoh altruisme. Tentu saja, tidak semua perilaku bersifat altruistik, seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini. Misalnya, perilaku balas dendam pada satu titik diklaim telah diamati secara eksklusif pada Homo sapiens. Namun, spesies lain telah dilaporkan pendendam termasuk simpanse, serta laporan anekdot dari unta pendendam.

Empat Pertanyaan Tinbergen

Pada tahun 1963, Nikolaas Tinbergen menerbitkan sebuah makalah berjudul 'On the aims and methods of ethology', yang meletakkan dasar bagaimana melakukan penelitian di bidang perilaku hewan yang terbilang baru. Kontribusi abadi dari makalah ini adalah bahwa di dalamnya Tinbergen merumuskan empat pendekatan yang berbeda, meskipun agak saling terkait, untuk mempelajari perilaku hewan, atau empat jenis pertanyaan berbeda yang dapat kita ajukan tentang perilaku yang diamati.

Fungsi (Adaptasi)

Mengapa hewan melakukan perilaku tersebut? Bagaimana caranya perilaku tersebut mempengaruhi kebugaran hewan (dalam hal kesintasan dan reproduksi)?

Contoh:

  • Merawat anakan akan meningkatkan peluang kesintasan mereka.
  • Migrasi ke habitat yang lebih hangat atau kaya sumberdaya.
  • Kabur atau menghindari perhatian predator.

Evolusi (Filogeni)

Bagaimana perilaku tersebut berkembang? Bagaimana seleksi alam merubah perilaku tersebut selama masa evolusinya? Biasanya jawaban pertanyaan ini dicari dengan melakukan perbandingan dengan spesies yang berkerabat dekat dengan hewan tersebut.

Contoh:

  • Bagaimana kemampuan terbang burung berkembang dari yang sekedar meluncur pada masa dinosaurus?
  • Bagaimana mata vertebrata dan sefalopoda berkembang secara konvergen, di mana pendahulunya memiliki titik buta dan yang terkini tidak?

Penyebab (Mekanisme)

  • Apa yang menyebabkan perilaku tersebut dilakukan? Stimulus atau mekanisme fisiologi apa yang menyebabkan perilaku tersebut terjadi?

Contoh:

  • Perilaku display pada pejantan beberapa jenis burung terjadi karena kadar testosteron yang berubah disebabkan perubahan durasi panjang hari. (Peranan feromon atau hormon).
  • Bayangan bergerak membuat ragworms masuk kembali ke lubang mereka.

Perkembangan (Ontogeni)

Bagaimana perilaku berkembang selama kehidupan? Dalam hal apa pengalaman dan pembelajaran mempengaruhi perilaku tersebut?

Contoh:

  • Bagaimana cara berpacaran beberapa jenis burung berkembang seiring usia mereka?
  • Bagaimana para hewan pemangsa memahami cara menghindari racun dan mangsa berbahaya berdasarkan pengalaman mereka?

Keempat pertanyaan tersebut dipahami melalui dua pendekatan yang berbeda. Pertanyaan (1) dan (2) memberikan pembahasan yang pamungkas atau bersifat evolusioner. Mereka memberikan jawaban dengan sudut pandang yang luas untuk membahas mengapa sebuah perilaku berkembang. Pertanyaan (3) dan (4) cenderung memberikan pembahasan yang taktis. Mereka memberikan jawaban berdasarkan mekanisme langsung atas mengapa hewan tersebut melakukannya. Untuk mendapatkan pemahaman penuh apa pengorbanan, manfaat, dan kendala yang telah membentuk perilaku tertentu, kedua pendekatan jawaban harus didapatkan.

Catatan

  • Sering ada ketaksepadanan antara pandangan manusia dan organisme yang sedang diamatinya. Sebagai gantinya, para etologis sering mencapai seluruhnya kembali ke epistemologi untuk memberi mereka peralatan untuk memperkirakan dan menghindari kesalahan penafsiran data.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Etologi

Pertanian

Praktik Dokter Hewan dan Telemedicine di Indonesia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024


Pandemi memaksa bangsa Indonesia untuk menggunakan teknologi e-commerce sehingga orang tidak perlu keluar rumah dan mengurangi penyebaran COVID-19. Hal ini telah diterapkan pada dunia kedokteran manusia, yaitu melalui telemedicine. Pasien dapat berkonsultasi dengan mudah tanpa perlu pergi ke layanan kesehatan secara langsung. World Health Organization (WHO) (2010) mendefinisikan telemedicine sebagai healing at a distance yang berarti penyembuhan dari jauh. WHO juga menyatakan terdapat empat elemen yang berhubungan erat dengan telemedicine, di antaranya: 1) bertujuan untuk memberikan dukungan klinis, 2) dimaksudkan untuk mengatasi hambatan geografis dan menghubungkan pengguna yang tidak berada di lokasi fisik yang sama, 3) melibatkan penggunaan berbagai jenis teknologi informasi dan komunikasi, dan 4) bertujuan untuk meningkatkan kesehatan. Pada bidang kesehatan manusia, pelayanan telemedicine diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Permenkes 20/2019, telemedicine adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.

American Veterinary Medical Association (AVMA) menggolongkan telemedicine bersama teleconsulting, telemonitoring, teleadvice, teletriage, serta electronic prescribing sebagai subkategori dari telehealth. Telehealth merupakan istilah yang menjelaskan seluruh cakupan penggunaan teknologi untuk menyampaikan informasi kesehatan, edukasi, dan perawatan secara jarak jauh. Menurut kebijakan yang ditetapkan oleh AVMA, telemedicine di kedokteran hewan hanya dapat dilakukan bila sudah terbentuk Veterinarian-Client-Patient Relationship (VCPR) atau hubungan antara Dokter Hewan-Klien-Pasien. Selain itu, dasar hukum pelaksanaan telemedicine di Amerika Serikat juga diatur oleh hukum di setiap negara bagian. Telemedicine untuk dokter hewan di Indonesia meskipun masih belum banyak dikenal masyarakat, namun telah ada dalam praktiknya. Dokter hewan dalam mengaplikasikan telemedicine tentunya memiliki tantangan tersendiri, pada bagian pemeriksaan misalnya, dokter hewan tidak bisa secara langsung menilai kondisi pasiennya melainkan hanya dari keterangan pemilik hewan. Tidak hanya itu, bidang kerja dokter hewan yang luas juga menjadi faktor unik dalam pelaksanaan telemedicine.

Keuntungan

Tentunya penerapan telemedicine menawarkan beberapa keuntungan. Salah satunya ialah menekan risiko penyebaran COVID-19 di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan hewan. Jalur penularan ini dapat terjadi baik di klinik, rumah sakit, puskeswan maupun lingkungan fasilitas kesehatan hewan lainnya. Tidak hanya risiko penularan antara dokter hewan dan klien di ruang pemeriksaan, ruang tunggu juga berpotensi sebagai lokasi penyebaran COVID-19 antara klien satu dan yang lainnya. Perlu diperhatikan bahwa selain berinteraksi dengan tim pelayan kesehatan hewan (dokter hewan, paramedis dan resepsionis), pada masa pandemi ini klien berisiko terpapar penyakit dari lingkungan umum di luar kediamannya. Pelayanan kesehatan hewan melalui telemedicine akan menekan risiko penyebaran COVID-19 karena klien tidak perlu berinteraksi secara langsung dengan dokter hewan dan timnya. Klien juga dapat menerima layanan kesehatan tanpa meninggalkan tempat tinggalnya. Dengan ini, potensi penyebaran COVID-19 dapat ditekan melalui pengalihan metode pelayanan kesehatan hewan dari langsung menjadi tidak langsung.

Lebih lanjut, penerapan telemedicine juga berpotensi meningkatkan pelayanan kesehatan hewan di Indonesia. Meskipun menempati peringkat tinggi untuk total penduduk, jumlah dokter hewan di Indonesia berdasarkan CIVAS (2019) berkisar di angka 13.000 yang berarti masih jauh dari cukup. Persebaran profesi ini juga belum merata, dilihat dari fakta bahwa enam dari sebelas perguruan tinggi dengan program kedokteran hewan terletak di pulau Jawa. Dokter hewan merupakan tenaga kesehatan yang berkualifikasi untuk memberikan pelayanan kesehatan pada hewan, meliputi: hewan kesayangan, ternak besar, unggas, satwa liar, satwa akuatik, dan sebagainya. Tidak terbatas pada praktik mandiri, dokter hewan memiliki peran penting di masyarakat melalui sektor pemerintahan, swasta, konservasi dan lainnya. Ketimpangan proporsi antara jumlah, persebaran dan kebutuhan dokter hewan di Indonesia menyebabkan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan hewan yang berkualitas.

Aksesibilitas yang rendah cenderung mendorong pemilik hewan atau klien untuk mencari solusi dari sumber yang lebih mudah dijumpai. Alih-alih berkonsultasi dengan dokter hewan, media sosial seringkali menjadi referensi bagi para pemilik hewan. Apabila tidak berlandaskan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, informasi dari media sosial akan menyebabkan misinformasi yang dapat berkembang menjadi miskonsepsi. Kesalahan informasi dan kesalahan pemahaman tentang kesehatan hewan dapat membahayakan keselamatan dan kesejahteraan hewan tersebut. Interaksi antara masyarakat dan dokter hewan cenderung lebih rendah ketika akses pelayanan kesehatan hewan tidak mudah didapat. Akibatnya, masyarakat tidak terbiasa dengan konsep mengunjungi tenaga kesehatan hewan profesional ketika hewannya sakit, terlebih lagi untuk tindakan preventif seperti vaksinasi. Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telemedicine dapat meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan hewan untuk masyarakat. Pemilik hewan dapat menghubungi dokter hewan melalui berbagai jalur komunikasi untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, keselamatan dan kesejahteraan hewan akan lebih terjamin.

Tantangan

Berbagai keuntungan di atas tidak dapat serta-merta diraih tanpa adanya halang rintang mengingat dokter hewan merupakan profesi penyedia jasa kesehatan yang unik dengan bidang kerja yang sangat luas serta beragam. Beberapa tantangan tersebut di antaranya:

1. Sulitnya menegakkan diagnosis tanpa pemeriksaan secara langsung.

Diagnosis merupakan aspek esensial dalam pelayanan kesehatan. Berbekal diagnosis yang tepat, seorang dokter dapat menentukan prognosis dan rencana terapi yang sesuai. Proses diagnostik klinik meliputi pengumpulan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang menyeluruh (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, membaui, mengukur) diikuti dengan pemeriksaan laboratorium klinik dan alat diagnostik lain untuk peneguhan diagnosis. Telemedicine membatasi kemampuan dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien, sehingga diagnosis melalui metode ini hanya dapat ditentukan berdasarkan informasi verbal yang disampaikan.

Perbedaan mendasar antara kedokteran manusia dan kedokteran hewan terletak pada subjek pasien yang dilayani. Manusia dapat mengkomunikasikan keluhannya secara langsung kepada dokter, sedangkan hewan tidak demikian. Saat melakukan telemedicine, dokter hewan mengandalkan keterangan klien sebagai satu-satunya sumber informasi kondisi pasien. Perlu digaris bawahi, klien pada umumnya tidak memiliki kualifikasi untuk mengidentifikasi kelainan anatomis dan fisiologis. Akibatnya, klien berpotensi menyampaikan informasi yang tidak selaras dengan keadaan pasien sebenarnya. Problematika ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Oleh sebab itu, dokter hewan harus melakukan proses diagnostik klinik secara utuh yang tidak dapat dijalankan melalui telemedicine.

2. Adanya risiko penyalahgunaan obat hewan dan rekam medis pasien.

Seiring zaman, cara-cara dalam melancarkan kejahatan pun turut berkembang. Kebutuhan yang semakin meningkat juga menimbulkan banyak fenomena sosial. Hadirnya telemedicine juga dapat membuka peluang kejahatan baru, dalam hal ini penyalahgunaan obat hewan dan rekam medis pasien. Penyalahgunaan ini dapat berupa pemberian dosis obat yang tidak sesuai diagnosis dokter hewan, perdagangkan obat hewan tanpa pengawasan, pembocoran data rekam medis pasien dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem keamanan dan keselamatan data dari platform telemedicine yang digunakan. Maka dari itu batasan-batasan serta platform yang akan digunakan dalam telemedicine untuk praktik dokter hewan harus dikaji lebih dalam.

3. Perlu regulasi yang mengatur tata laksana telemedicine di bidang veteriner

Regulasi yang tegas dan mengikat dibutuhkan untuk menjamin keamanan pasien, klien dan dokter hewan yang menggunakan layanan telemedicine. Pelaksanaan telemedicine untuk bidang kesehatan manusia di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Permenkes ini mengatur mulai cakupan pelayanan telemedicine, pihak penyelenggara, pihak pemberi konsultasi, pihak peminta konsultasi, hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, hingga pembinaan dan pengawasan pelaksanaannya.

Regulasi tersebut nantinya akan berfungsi sebagai jaminan perlindungan bagi pasien, klien dan dokter hewan. Sebagai negara yang telah lebih dulu mengatur telemedicine di bidang veteriner, Amerika Serikat dapat dijadikan sebagai salah satu referensi. Menurut kebijakan AVMA, layanan telemedicine untuk praktik dokter hewan hanya dapat dilaksanakan apabila telah terbentuk Veterinarian-Client-Patient Relationship (VCPR) atau hubungan antara dokter hewan-klien-pasien yang berarti dokter hewan pernah secara langsung menangani pasien tersebut. Berbekal VCPR, dokter hewan diharapkan telah memiliki data yang memadai untuk melayani konsultasi, menetapkan diagnosa dan memberikan terapi. Tanpa VCPR, kecuali dalam kasus gawat darurat, dokter hewan tidak diperkenankan untuk menentukan diagnosis dan terapi yang spesifik. Selain regulasi etika yang ditetapkan oleh AVMA, pelaksanaan telemedicine untuk praktik dokter hewan di Amerika Serikat juga telah diatur oleh hukum yang berlaku di masing-masing negara bagian.

Pada praktiknya, layanan telemedicine sudah banyak dilakukan oleh dokter hewan di Indonesia. Produk perkembangan teknologi komunikasi seperti WhatsApp menyediakan fitur text message dan video call yang marak digunakan klien untuk berkonsultasi serta digunakan dokter hewan untuk melakukan follow up. Namun keterbatasan jumlah dan tidak meratanya persebaran dokter hewan menjadi kendala tersendiri bagi Indonesia dalam menerapkan sistem telemedicine yang berdasar pada VCPR.

Sumber: https://unair.ac.id/

Selengkapnya
Praktik Dokter Hewan dan Telemedicine di Indonesia

Pertanian

Startup Peternakan dan Pertanian di Indonesia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024


Geliat startup di Indonesia sampai saat ini terbilang semakin berkembang pesat dari tahun ke tahunnya. Menariknya, perkembangan startup tersebut bergerak di berbagai bidang, tidak terkecuali startup peternakan dan pertanian. Adanya kesadaran dari generasi muda Indonesia terhadap pentingnya pasokan ketersediaan pangan memicu kreativitas yang sangat luar biasa.

Berawal dari sebuah masalah yang dihadapi para peternak dan petani. Kemudian memicu kaum milenial sehingga memberikan sumbangsih ide, gagasan, dan inovasi untuk menjawab masalah yang ada. Berikut ini beberapa penjelasan mengenai contoh-contoh startup peternakan dan pertanian di Indonesia.

Daftar Startup Peternakan

1. Angon

Angon merupakan startup bidang peternakan di Indonesia yang termasuk unique marketplace di mana seseorang bisa melakukan jual beli dan beternak secara online. Berlokasi di Semarang, angon memulai debutnya dalam bidang startup peternakan sejak 28 Oktober 2016. Bergerak di bidang jasa peternakan online, angon berusaha menghubungkan peternak rakyat dengan masyarakat yang menginginkan beternak tetapi tidak memiliki lahan, waktu dan keterampilan khusus beternak.

Adapun jenis ternak yang dikelola yaitu berupa sapi, kambing dan domba. Cara kerjanya melalui aplikasi angon yang telah tersedia di Play Store. Di mana nantinya pengguna hanya perlu membeli ternak melalui aplikasi, sedangkan mitra peternak rakyat sebagai tempat penitipan sementara sebelum ternak tersebut diambil member.

Menurut keterangan di website resminya angon.id, sampai saat ini kurang lebih sudah ada 11.000 hewan ternak yang diternakkan di Sentra Peternakan Rakyat yang tersebar di berbagai daerah.

2. Kandang.in

Berbeda dengan angon yang merupakan unique marketplace, kandangin merupakan startup peternakan yang menghimpun dana melalui website kemudian menyalurkannya ke proyek peternakan di Indonesia. Menariknya, kandangin menerapkan sistem syariah dalam proses kegiatan yang dilakukan. Terdapat dua pihak yaitu pemberi modal dan pengelola peternakan.

Adapun keuntungan yang akan diperoleh yaitu berdasarkan kesepakatan kontrak yang disepakati sebelumnya. Apabila terjadi kerugian, maka sepenuhnya ditanggung pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat dari kelalaian pengelola.

Sebaliknya, apabila pengelola berbuat curang atau lalai sehingga mengakibatkan kerugian, maka pengelolalah yang akan bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Sampai saat ini sudah ada 520 pemilik modal yang berkontribusi dengan total dana tersalurkan hingga lebih dari Rp 4.9 miliar.

Dengan adanya startup peternakan yang bergerak di bidang permodalan seperti ini, setidaknya lebih dari 130 peternak terberdayakan.

3. Chickin

Berbeda dengan angon dan kandangin, chickin merupakan startup peternakan yang bergerak di bidang ternak ayam broiler. Melalui pengembangan sistem perkandangan yang berbasis IoT, menjadikan chickin sebagai startup bidang peternakan yang dapat mengontrol sistem kandang secara otomatis melalui sebuah aplikasi. Dengan begitu, peternak dapat menghemat listrik hingga Rp 397 juta dan pakan hingga Rp 1.7 miliar. Sehingga efisiensi peternakan menjadi lebih tinggi daripada beternak secara tradisional.

Selain itu, dalam aplikasi chickin juga memiliki fitur update harga ayam broiler setiap harinya, sehingga para peternak dapat memantau perkembangan harga secara terintegerasi. Melalui inovasi tersebut, 1 September 2021 chickin menempati “Top 3 Pertamuda Seed and Scale” yang diselenggarakan oleh pertamina.

Daftar Startup Pertanian

1. Sayurbox

Sayurbox merupakan startup pertanian yang menghubungkan petani lokal dengan konsumen. Melalui konsep Farm-to-Table, mempermudah pengiriman hasil tani ke depan pintu rumah konsumen dengan harga yang terjangkau dan bersahabat bagi petani. Dengan konsep tersebut, hasil produksi pertanian seperti buah dan sayuran menjadi lebih segar.

Selain itu, adanya startup pertanian seperti sayurbox sebagai tempat penjualan hasil tani membuat petani lokal menjadi mampu bersaing dengan produk impor.

2. iGrow

iGrow adalah startup pertanian yang ada di Indonesia dengan konsep menghubungkan investor (pemberi modal) dan petani (penerima modal). Dalam hal ini pemberi modal menginginkan bertani tetapi tidak memiliki skill pertanian juga lahan.

Dari sisi lain para petani mempunyai kemampuan mengelola pertanian dan memiliki lahan. Namun modal untuk menjalankan produksi pertanian terhambat karena kurangnya modal.

Melalui sistem yang dikembangkan iGrow inilah lebih dari 7500 petani dapat mengelola lahan seluas 2500 hektar dengan hasil panen yang berkualitas. Dengan begitu, para petani, pemilik lahan, dan pemilik modal memperoleh penghasilan yang layak.

3. Habibi Garden

Habibi garden adalah startup pertanian yang memanfaatkan teknologi dalam proses berkegiatan pertanian. Sejalan dengan visinya untuk membangun peradaban melalui IoT agriculture, perusahaan rintisan ini menghadirkan solusi dalam perawatan tanaman berbasis IoT. Hanya melalui aplikasi yang dikembangkan, para petani dapat dengan mudah memperoleh data-data dari lingkungan pertanian yang sedang digarap.

Data-data tersebut antara lain suhu, tekanan udara, intensitas cahaya, kandungan nutrisi dll. Dengan memperoleh data-data tersebut, maka para petani dapat dengan mudah mengambil keputusan secara efektif. Pada akhirnya dapat mengurangi biaya kesalahan, meningkatkan produktivitas pertanian, dan yang terpenting menghindari gagal panen.

Itulah sedikit penjelasan mengenai beberapa startup peternakan dan pertanian yang terdapat di Indonesia. Semoga dengan berkembangnya usaha rintisan di bidang pertanian dan peternakan dapat meningkatkan daya saing hasil tani dan ternak petani lokal dengan produk impor.

Sumber: https://www.budidaya.id/

Selengkapnya
Startup Peternakan dan Pertanian di Indonesia
« First Previous page 11 of 27 Next Last »