Pertanian

IoT dan Smart Livestock Farming untuk Tingkatkan Efisiensi Usaha Peternakan

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Upaya peningkatan produktivitas dan mutu produk peternakan dilandasi oleh bebera hal. Diantaranya perubahan iklim global, penurunan lahan pertanian/peternakan, dan tuntutan gaya hidup akan konsumsi produk peternakan berkualitas. Serta jumlah penduduk yang meningkat tiap tahun, secara otomatis akan menaikkan permintaan pangan produk peternakan. Seperti daging ayam, daging sapi, susu, dan telur.

Disisi lain kondisi tersebut menjadi tantangan yang melahirkan permasalahan dan kendala bagi para peternak dan industri peternakan. Yakni ketidakmampuan mencapai keseimbangan pembiayaan antara biaya input, biaya operasional produksi, dan rendahnya harga jual produk. Persaingan begitu kuat antar peternak mandiri dan perusahaan peternakan untuk mempertahankan usaha dengan meningkatkan efisiensi. Sedangkan yang tidak mampu maka akan merugi dan bangkrut.

Oleh karenanya diperlukan penerapan IoT (Internet of Thing) dengan memanfaatkan sistem internet dan perangkat lain dalam manajemen usaha peternakan. Agar dapat meningkatkan efisiensi usaha, menghindari terjadinya defisit anggaran/ pembiayaan, dan mampu mempertahankan usaha yang dikelola.

Model ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras terdiri dari sensor untuk koleksi data di lapangan atau menggunakan kamera, perangkat input data, pengirim data ke pusat data, pusat data dan pemroses data, output data yang bisa diakses di PC, laptop atau di hand phone (HP) (Gambar 1).

Gambar 1. Sistem IoT dalam peternakan sapi potong

Sumber: BNAMERICAS, (2016)

Gambar diatas mengilustrasikan sistem kerja IoT dalam Smart Beef cattle management. Pada ternak sapi dilengkapi dengan dua macam perangkat yaitu sensor yang mencatat kondisi sapi dan perangkat untuk identitas sapi (misalnya chip untuk nomor sapi). Pada sensor dilengkapi pengirim pesan data dan indentiitas sapi, yang dapat diterima oleh GPRS, diteruskan ke sistem internet (cloud) yang kemudian bisa diterima oleh laptop atau HP (misalnya sistem Android) melalui online.

Sedangkan perangkat lunak (software) dipergunakan untuk menangkap dan mengolah data denga output sesuai dengan kebutuhan, misalnya jumlah, rata-rata, rangking, rentang waktu, dsb sehingga keputusan bisa diambil secara cepat dan akurat.

Data yang diinputkan ke sistem sesuai kebutuhan dan tujuan manajemen peternakan. Misalnya, untuk sistem manajemen peternakan secara lengkap perlu melibatkan data dasar: bangsa tenak, jenis kelamin, umur, pakan dan manajemen pakan. Sedangkan data yang akan dianalisis bisa meliputi status nutrisi ternak, body condition score (BCS), status reproduksi, keberhasilan perkawinan, bobot lahir, bobot sapih, pertumbuhan, konformasi tubuh, warna tubuh, dan status kesehatan.

Gambar 2. Ilustrasi pemantauan kondisi ternak domba yang digembalakan di padang rumput

Sumber:  (James, 2020)

Selanjutnya pada gambar 2 merupakan contoh ilustrasi peternakan domba yang dilepas di pandang gembalaan (pasture) dikontrol keberadaannya, kondisinya, dan kesehatannya menggunakan sensor gerah, interaksi, dan aktivitasnya. Hasil pembacaan sensor aktivitas yang dilengkapi dengan perangkap penyimpan sementara dan pengirim (transmitter) dikirimkan ke penerima atau receiver untuk diteruskan ke server untuk disimpan atau dibaca langsung oleh perangkat komputer atau laptop atau HP. Maka di perangkat pembaca inilah kita melakukan analisis dan pemantauan terhadap ternak, sehingga kita bisa menentukan langkah-langkah strategis terhadap perlakuan apa yang harus diberikan kepada individu ternak.

Many of the challenges to the welfare of animal in the world – including a lack of supervision, provision of feed, risk of predation, and long-distance transport to slaughter – arise from the constraints imposed by the harsh climatic and geographic conditions in which they are often reared,” (James, 2020)

Ruang lingkup penggunaan IoT dalam smart farming

Smat farming bidang peternakan ialah penerapan semua teknologi atau kreasi untuk meningkatkan efisiensi dan efekstivitas usaha, sehingga diperoleh pendapatan dan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penerapan teknologi atau kreasi baru.

IoT merupkan teknologi pendukung utama dalam penerapan smart farming bidang peternakan yang sangat membantu dalam pemantauan, dokumentasi dan analisis data. Maka keputusan dan tindakan dapat segera diambil tanpa harus menunggu pengumpulan data oleh petugas, kemudian tabulasi dan analisis data yang memakan waktu sangat panjang dan memerlukan tenaga ekstra yang cukup melelahkan.

Kemudahan yang didapat setelah menerapkan IoT pada peternakan sapi perah menurut Phil Dawsey,( 2017) dari Perusahaan  Precision Ag Biotech UB antara lain :

  1. Monitoring dan rekording reproduksi ternak, (mengetahui fase estrus indukan untuk menjadwalkan perkawinan, serta mendeteksi waktu menjelang melahirkan). Dengan diketahui stuatus reproduksi dan penangannya peternak akan mendapat kepastian efisiensi reproduksi dan akan dapat meningkatkan pendapatan peternak;
  2. Pemantauan tingkah laku makan pada ternak. Dengan menggunakan IoT peternak bisa memantau dari jarak jauh menggunakan aplikasi yang sudah diinstal pada HP atau komputer bagaimana keaktifan ternak makan, bagaimana kondisi pakan, sehingga dengan mudah bisa segera ditangani apabila pakan ternak habis atau ada ternak yang kurang aktif makan;
  3. Memantau kesehatan ternak. IoT juga memungkinkan untuk memantau dari jarak jauh mengenai kondisi kesehatan ternak berdasarkan ciri-ciri fisik atau fisiologis ternak. Dalam waktu yang bersamaan (real time) peternak dapat mengetahui secara langsung kondisi kesehatan umum setiap ternak, sehingga dapat segera melakukan penanganan dan pemeriksaan lanjut;
  4. Pemantauan produksi susu. Produksi susu yang merupakan produk utama harian dari peternakan sapi perah dapat direkord setiap hari dan dianalisis datanya secara otomatis oleh sistem ini, sehingga peternak dapat memantau kenormalan produksi susu masing-masing individu ternak;
  5. Tracking lokasi ternak. IoT juga dapat dirancang untuk melakukan pelacakan posisi ternak sescara individu sehingga dapat dengan mudah melakukan perlakuan bagi ternak yang memerlukan penanganan, misalnya ternak yang akan melahirkan, ternak berahi, ternak yang mengalami gangguan kesehatan, dsb.

Gambar 3. Penerapan IoT untuk mengontrol produksi susu pada sapi perah

Sumber: Libelium, (2019)

Penggunaan IoT dalam praktek smart dairy farming memberikan layanan pengumpulan informasi yang akurasinya mencapai 92 – 97 % mengenai kondisi lingkungan seperti suhu lingkungan, kelembangan, tekanan udara, kondisi sapi dan beberapa parameter lain ternya mampu meningkatkan produksi susu sampai 18 persen. Ini merupakan lonjakan efisiensi usaha yang sangat bermakna sehingga dapat mendukung optimalisasi dan keberlanjutan usaha Libelium, (2019).

Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB) merupakan salah satu lembaga yang pertama dalam menerapkan teknologi IoT dalam Smart Poultry Farming sistem kandang tertutup (closed house) untuk ayam petelur. Yangmana merupakan kerjasama hibah dari PT. Charoen Pokphan Indonesia.

IoT ini diterapkan untuk mengontrol suhu dan klimat mikro kandang, mengontrol produksi telur, data telur, tingkah laku konsumsi pakan, keadaan pakan yang tersedia, ayam sakit, ayam kanibal, kondisi ayam dalam kandang secara keseluruhan, rekording, dokumentasi dan analisis data secara waktu nyata atau real time, yang semuanya dapat dipantau menggunakan HP operator.

Dengan penerapan teknologi IoT dalam manajemen peternakan, maka berbagai keuntungan bisa diperoleh seperti meringankan beban kerja, mempecepat pemantauan, pengambilan keputusan serta sistem data, dimana sistem data ini umumnya merupakan masalah sangat besar untuk budaya peternakan di Indonesia. Berbagai efisiensi diperoleh dengan smart farming peternakan ini, sehingga diaharapkan akan mampu meningkatkan efisiensi usaha dan keuntungan yang diperoleh peternak.

Sumber: https://fapet.ub.ac.id/

Selengkapnya
IoT dan Smart Livestock Farming untuk Tingkatkan Efisiensi Usaha Peternakan

Pertanian

Platform Dengan Teknologi Terkini di Bidang Peternakan

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Industry 4.0. mengubah semua sektor industri termasuk bidang peternakan. Internet of things-IoT, big data, machine learning, artificial intelligence-AI, robot, dan sharing economy adalah wajah baru industri saat ini. Melalui Obrolan Peternakan (OPERA) seri #2 pada 12 Juni 2020, Fakultas Peternakan (Fapet) UGM memaparkan beberapa platform yang memanfaatkan teknologi terkini untuk mengoptimalkan usaha peternakan.

Galuh Adi Insani, S.Pt., M.Sc., dosen Fapet UGM sekaligus Chief Marketing Officer BroilerX mengatakan, dalam hal sumber daya alam dan sumber daya genetik, Indonesia lebih kaya dibandingkan dengan Singapura. Namun, Singapura lebih unggul karena menguasai Internet of Things, big data, dan sebagainya.

Galuh memaparkan, aplikasi BroilerX yang dikembangkannya dengan memperhatikan bahwa performance ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Namun, interaksi antara genetik dan lingkungan sering dilupakan orang karena adanya ketimpangan/kesulitan. Sebagai contoh, ada faktor penghambat dalam pemeliharaan ayam, yaitu stress. Seberapapun besar input, hasilnya tetap tidak baik karena ayam mengalami stress.

Berdasarkan hal tersebut, BroilerX menghadirkan solusi berupa Internet of Things yang dapat membaca kondisi lingkungan kemudian diproses di machine learning.  Mesin-mesin yang terkoneksi akan menyesuaikan apa yang diinginkan oleh ternak sehingga ternak akan memberikan hasil yang optimal.

Dalu Nuzlul Kirom, S.T., pemilik TERNAKNESIA mengatakan, TERNAKNESIA adalah platform pengembangan usaha peternakan yang terdiri atas investasi, pemasaran (market), dan fundraising yang berhubungan dengan pangan.

“TERNAKNESIA memaparkan peran teknologi dalam mendukung business process dalam peternakan yang dikembangkan melalui teknologi, mulai dari investasi, pendampingan peternak, hingga penjualan produk peternakan,” ujar Dalu

Dalu menambahkan, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana plafform ini berperan penting dalam memutus rantai pemasaran sehingga peternak dan pembeli tidak dirugikan. Upaya ini dilakukan melalui pembentukan komunitas pembeli (community buyer), sehingga dapat membantu dalam hal distribusi dan tentunya memberikan harga yang kompetitif baik untuk produsen dan konsumen.

“Ide yang menarik lain dari platform ini adalah membuat pasar ternak online melalui aplikasi sobat ternak, sehingga pembeli ternak dan peternak dapat saling berhubungan melalui media online. Selain itu, TERNAKNESIA membuat Ternaknesia 2.0, yaitu blueprint untuk traceability product yang memastikan produk peternak halal dan dari pakan yang diberikan hingga proses penyembelihan yang baik sesuai syariat.

Ray Rezky Ananda, S.Pt., pemilik BANTUTERNAK, mengungkapkan bahwa BANTUTERNAK merupakan platform investasi digital yang bertujuan untuk melakukan pemberdayaan peternak. Latar belakang inisiasi BANTUTERNAK adalah kondisi populasi peternak di Indonesia yang setiap tahun mengalami penurunan, sedangkan konsumsi protein hewani terus meningkat.

“Hal ini menjadi kekhawatiran kami karena Indonesia bisa kekurangan bahan pangan dan tentu akan mengandalkan impor. Oleh sebab itu, BANTUTERNAK lahir sebagai mitra ternak untuk desiminasi teknologi dan pengetahuan kepada peternak,” ujar Ray.

Ray menambahkan, BANTUTERNAK membantu memberdayakan peternak sehingga usaha yang dijalankan mendapat keuntungan. Teknologi menghubungkan antara peternak dengan investor, serta memberikan pembelajaran dan pemantauan kepada peternak supaya usaha yang dijalankan dapat sesuai dengan Standard Operational Procedure untuk mencapai target produksi. Saat ini, BANTUTERNAK telah bekerja sama dengan ribuan peternak di berbagai daerah di Indonesia. Peternak diberikan pendampingan dari pembelian bibit, pakan konsentrat, kesehatan ternak, dan penjualan ternak.

Sumber: https://fapet.ugm.ac.id/

Selengkapnya
Platform Dengan Teknologi Terkini di Bidang Peternakan

Pertanian

Ransfer Embrio (TE) salah satu bentuk Kemajuan Teknologi Reproduksi

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Kegiatan yang dilakukan mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Gelombang XXXVIII di Eks. Laboratorium Kebidanan Divisi Reproduksi Veteriner, salah satunya yaitu praktik pelaksanaan Transfer Embrio pada sapi dummy yang ada di Laboratorium. Kegiatan dilaksanakan oleh kelompok 1C yang berjumlah 8 orang, diantaranya yaitu Rekha Flora Supiah, Figa Pramarta Risambada, Theresa Nadia Angelina, Melanie Aulia Ashfiyah, Anneisya Surya Anjani, Aini Mardhiah, Siti Choirin Nisa, dan M. Sbastian Pratama dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Imam Mustofa, drh., M. Kes.

Transfer Embrio (TE) merupakan bioteknologi reproduksi kedua setelah Insseminasi Buatan (IB). kegiatan TE dimulai dari produksi, distribusi/penyebaran, dan transfer embrio. Embrio sebagai hasil pembuahan sel telur yang unggul dan dibuahi dengan sperma dari pejantan yang juga memiliki mutu genetik unggul. Menurut beberapa ahli, yang dimaksudkan dengan transfer embrio adalah suatu metode buatan dalam perkawinan dengan cara membentuk embrio dari seekor betina induk unggul yang disebut donor, kemudian dipanen dan ditrasnferkan ke dalam saluran reproduksi induk betina lainnya dalam spesies yang sama yang disebut resipien.

Melalui teknologi TE bukan hanya potensi pejantan saja yang dioptimalkan, melaikan potesi dari betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal. Hasil dari betina unggul ini ternyata secara alamiah hanya menghasilkan satu atau dua bibit unggul dalam jangka waktu sembilan bulan kelahrtan. Tetapi dengan teknik TE bisa menghasilkan lebih dari dua embrio yang di panen. Melalui teknik TE, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hayan menghasilkan embrio–embrio yang selanjutnya untuk dititpkan pada resipien yang tidak harus genetik unggul tetapi mempunyai alat reproduksi yang normal hingga dapat memelihara anak sampai tahap partus.

Beragam cara untuk mengembangkan peternakan sapi potong dan sapi perah dilakukan antara lain lewat perbaikan kualitas genetik. Namun, langkah tersebut seringkali terhambat karena sulitnya memperoleh anakan kualitas unggul. Salah satu kendala adalah hambatan perbanyakan betina kualitas unggul. Secara alami, seekor induk hanya mampu menghasilkan satu ekor anak dalam setahun atau rata-rata hanya mampu menghasilkan anak yang berkualitas kurang dari 8 ekor sepanjang hidupnya. Separuh anak biasanya pejantan.

Menghadapi kendala tersebut, teknologi Transfer Embrio (TE) bisa menjadi solusi. TE ialah suatu proses panen (flushing) embrio dari uterus sapi donor yang telah dilakukan superovulasi dan memindahkannya ke uterus sapi resipien (penerima) dengan menggunakan metode, peralatan dan waktu tertentu. Teknologi ini merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB) yang paling sering diterapkan pada ternak sapi. Program TE melalui beberapa tahapan, yaitu pemilihan sapi donor dan resipien, sinkronisasi birahi, superovulasi, inseminasi, koleksi embrio, penanganan dan evaluasi embrio, transfer embrio ke resipien sampai pada pemeriksaan kebuntingan dan kelahiran.

TE memiliki kelebihan dibandingkan IB. Hanya diperlukan waktu satu generasi (9 bulan) untuk menghasilkan bibit murni (pure breed) lewat TE. Sementara, target yang sama memerlukan waktu 15 tahun jika dilakukan lewat proses IB. Aplikasi TE dapat memberikan peningkatan perkembangan ternak bibit unggul baik dari sisi pejantan maupun sisi betina. Selain itu, TE juga mengurangi biaya transportasi penyebaran bibit unggul serta mengurangi resiko penyebaran penyakit menular. Teknologi ini merupakan dasar bioteknologi dalam mendukung rekayasa embrio yang lebih tinggi dibidang reproduksi ternak.

TE memiliki manfaat ganda karena selain dapat diperoleh keturunan sifat dari kedua induknya juga dapat memperpendek calving interval sehingga perbaikan mutu genetik ternak lebih cepat diperoleh. Diawal tahun 1990-an, Puslit Bioteknologi – LIPI bekerjasama dengan Peternakan Tri S Tapos telah berhasil mengembangkan penelitian dan mengaplikasikan teknologi TE pada sapi potong dan sapi perah. Sejak tahun 1995 embrio beku sapi perah mulai disebar ke peternak di Bogor, Lembang dan Garut dalam program bantuan Bapak Presiden (Banpres). Tahun 1997 dimulai program membuat sapi unggul jenis “Brangus” khususnya daerah Indonesia Timur (Lombok, NTB), setelah itu aplikasi TE berkembang secara meluas di Sulawesi dan Sumatera.

Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30–50 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar 5−10 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer atau dibekukan. Dengan demikian, seekor sapi donor dapat menghasilkan keturunan lebih dari 25 ekor per tahun. TE memungkinkan rekayasa hingga mendapatkan anakan kembar identik dalam jumlah banyak ataupun melalui cloning.

Sumber: https://fkh.unair.ac.id/

Selengkapnya
Ransfer Embrio (TE) salah satu bentuk Kemajuan Teknologi Reproduksi

Pertanian

Di Balik Layar Praktik Dokter Hewan: Memahami Profesi dan Tantangannya

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Dokter hewan (disebut juga medik veteriner) adalah sebuah profesi medis yang mempraktikkan ilmu kedokteran hewan. Seorang dokter hewan telah menyelesaikan pendidikan profesi secara formal dan disumpah untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya. Selain bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan, dokter hewan juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan hewan serta dalam kesehatan masyarakat veteriner.

Bidang pekerjaan

Seorang dokter hewan teregistrasi dapat membuka layanan medis dan bekerja sebagai praktisi. Dokter hewan praktisi biasanya lebih memfokuskan diri pada satu kelompok hewan tertentu, seperti hewan kesayangan yang dipelihara di rumah, misalnya anjing, kucing, dan kelinci. Seorang praktisi hewan kesayangan dapat berkarier di tempat praktik mandiri, klinik, dan rumah sakit hewan, maupun di tempat penampungan hewan. Sebagian dokter hewan lain memilih untuk menangani kesehatan hewan ternak, baik ternak mamalia seperti sapi, kambing, domba, kuda, dan babi, maupun unggas seperti ayam pedaging dan ayam petelur. Ada pula dokter hewan konservasi yang menangani satwa liar dan akuatik.

Ditinjau dari lingkup sektor ekonomi, dokter hewan dapat bekerja pada sektor privat dengan membuka layanan praktik mandiri, bekerja sama dengan rekan sejawat, atau pada perusahaan swasta, baik melalui pelayanan jasa medis ataupun konsultasi. Sebagian dokter hewan lain bekerja pada sektor publik atau pemerintahan yang menyelenggarakan layanan veteriner, lembaga penelitian, konservasi, pembibitan, produksi dan reproduksi hewan, serta lembaga sertifikasi seperti karantina hewan. Selain itu, organisasi nirlaba, yang biasanya merupakan lembaga konservasi, juga merekrut dokter hewan.

Tantangan pekerjaan

Dokter hewan berisiko mengalami luka fisik yang disebabkan oleh hewan yang ditanganinya. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1988 menyebutkan bahwa 64,6% dari dokter hewan pernah mengalami luka berat akibat hewan; tangan, lengan, dan kepala menjadi area yang paling umum terluka, sementara sapi, anjing, dan kuda menjadi hewan yang paling umum menyebabkan luka. Dokter hewan juga dapat tertular penyakit zoonotik dari hewan-hewan yang ditanganinya. Tantangan pekerjaan dokter hewan juga perihal pemerataan, bahwa belum setiap wilayah memiliki dokter hewan. Beban kerja dan cakupan wilayah yang luas menjadikan pekerjaan dokter hewan rawan mengalami kelebihan beban kerja maupun meninggal dunia. Terdapat dokter hewan yang dituntut secara hukum oleh kliennya karena ketidapuasan pelayanan. Selain itu, layanan dokter hewan swasta berbayar belum tersosialisasi secara luas.

Kompetensi

Setelah lulus pendidikan dan dilantik menjadi dokter hewan, seseorang wajib memiliki sejumlah kompetensi. Terdapat beberapa kompetensi minimum yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Secara garis besar, kompetensi-kompetensi tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi dasar dan kompetensi lanjutan.

Kompetensi dasar—yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kecakapan minimum yang diperlukan oleh seorang dokter hewan untuk mendapatkan izin dari konsil kedokteran hewan—dibagi menjadi dua kelompok: kompetensi umum dan kompetensi spesifik. Kompetensi umum dokter hewan mencakup ilmu veteriner dasar, ilmu veteriner klinis, dan produksi hewan, sementara kompetensi spesifik terdiri atas 11 aspek, yaitu:

  • Epidemiologi — menerapkan epidemiologi deskriptif untuk mengendalikan penyakit dan berpartisipasi dalam penyelidikan epidemiologi jika terjadi kasus penyakit yang wajib dilaporkan;
  • Penyakit hewan lintas batas — mengidentifikasi penyakit hewan lintas batas dan patogen yang diasosiasikan dengannya, memahami distribusinya secara global, pengambilan dan penanganan sampelnya, penggunaan alat diagnostik dan terapeutik yang tepat, implikasi peraturan dan pelaporannya, serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Zoonosis (termasuk penyakit yang ditularkan melalui makanan) — mengidentifikasi zoonosis dan penyakit bawaan makanan serta patogen yang diasosiasikan dengannya; memahami penggunaan alat diagnostik dan terapeutik, implikasinya terhadap kesehatan manusia, pelaporannya, serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Penyakit infeksius baru dan muncul kembali — memahami penyakit infeksius baru dan penyakit infeksius yang muncul kembali, mendeteksi tanda klinis dan melaporkannya ke otoritas veteriner, memahami hipotesis kemunculannya, dan tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Program pencegahan dan pengendalian penyakit — memahami program baku yang telah ditetapkan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, zoonosis, atau penyakit infeksi baru dan muncul kembali; cara mengidentifikasi hewan untuk ketertelusuran dan pengawasan oleh otoritas veteriner; memahami dan berpartisipasi dalam pelaksanaan rencana darurat untuk mengendalikan penyakit lintas batas, termasuk membunuh hewan secara manusiawi; berpartisipasi dalam kampanye vaksinasi reguler dan darurat, serta program uji-dan-potong/terapi, sistem deteksi dini, penyakit hewan yang wajib dilaporkan; serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Higiene makanan — memahami praktik keamanan pangan di peternakan, inspeksi pemotongan hewan, termasuk pemeriksaan pra- dan pascamati, serta penyembelihan yang manusiawi; integrasi antara pengendalian kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, termasuk peran dokter hewan dengan dokter, praktisi kesehatan masyarakat, dan analis risiko;
  • Produk-produk veteriner — memahami penggunaan produk-produk veteriner dengan tepat, termasuk pencatatannya; konsep waktu henti obat untuk mencegah residu pada produk hewan yang akan dikonsumsi manusia; mekanisme perkembangan resistansi obat; hubungan penggunaan antibiotik pada hewan pangan dan berkembangnya resistansi antibiotik pada manusia; penggunaan obat-obatan dan bahan-bahan biologis dengan tepat untuk memastikan keamanan rantai pangan dan lingkungan; serta tempat untuk mencari informasi terbaru;
  • Kesejahteraan hewan — memahami kesejahteraan hewan dan tanggung jawab pemilik, dokter hewan, dan orang lain yang menangani hewan; mengidentifikasi masalah kesejahteraan hewan dan berpartisipasi dalam tindakan perbaikannya; memahami informasi terbaru tentang pengaturan kesejahteraan hewan dalam lingkup lokal, nasional, dan internasional, termasuk dalam produksi hewan, transportasi hewan, dan pemotongan hewan untuk konsumsi dan eliminasi untuk mengendalikan penyakit;
  • Legislasi dan etika veteriner — memahami peraturan tentang veteriner dan profesi kedokteran hewan di tingkat lokal, provinsi, nasional, dan regional, serta tempat untuk mencari informasi terbaru; menerapkan standar tinggi dalam etika profesi dokter hewan dalam keseharian; serta kepemimpinan dalam masyarakat dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perawatan hewan;
  • Prosedur sertifikasi umum — memeriksa dan memantau individu hewan atau kelompok hewan untuk menerbitkan sertifikat bebas dari penyakit atau kondisi tertentu berdasarkan prosedur baku; serta mengisi dan menandatangani sertifikat kesehatan sesuai dengan aturan nasional;
  • Kemampuan komunikasi — mengomunikasikan informasi teknis dengan cara yang dapat dipahami masyarakat umum; dan berkomunikasi secara efektif dengan rekan tenaga kesehatan profesional untuk saling bertukar informasi ilmiah dan teknis, serta pengalaman praktis.

Jenis kompetensi kedua adalah kompetensi lanjutan, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kecakapan minimum yang diperlukan oleh seorang dokter hewan untuk bekerja sebagai otoritas veteriner. Jenis kompetensi ini terdiri atas delapan aspek, yaitu

  • Organisasi layanan veteriner (sistem kesehatan hewan nasional) — memahami penyelenggaraan layanan veteriner sebagai barang publik global; organisasi layanan veteriner pada negara atau wilayahnya (tingkat pusat dan daerah), fungsi dan kewenangan layanan veteriner pada negara atau wilayahnya; interaksi layanan veteriner nasional di negaranya berinteraksi dengan layanan veteriner di negara lain dan dengan mitra internasional; hubungan antara dokter hewan swasta dan pemerintah dalam memberikan layanan veteriner di negaranya; pentingnya evaluasi layanan veteriner sebagaimana yang diatur dalam Jalur Kinerja Layanan Veteriner oleh WOAH; serta pemahaman tentang otoritas veteriner dan badan hukum veteriner (konsil kedokteran hewan).
  • Prosedur inspeksi dan sertifikasi — memahami proses yang digunakan untuk menilai status kesehatan hewan dan keamanan produk hewan untuk tujuan transportasi atau ekspor; proses pemeriksaan berbasis risiko terhadap hewan sebelum dan sesudah kematiannya serta pemeriksaan produk hewan; serta penerbitan sertifikat kesehatan.
  • Manajemen penyakit menular — memahami pengelolaan spesimen serta penggunaan alat diagnostik dan terapeutik yang tepat; menelusuri sumber dan sebaran suatu penyakit; memantau dan melakukan surveilans awal penyakit, termasuk mengomunikasikan informasi epidemiologis kepada praktisi kesehatan masyarakat lainnya; serta memahami metode untuk mengidentifikasi dan melacak hewan; mengendalikan perpindahan hewan, produk hewan, peralatan, dan manusia; karantina tempat atau area terinfeksi dan berisiko terinfeksi; membunuh hewan terinfeksi atau terpapar secara manusiawi; memusnahkan bangkai yang terinfeksi dengan cara yang benar; mendisinfeksi atau menghancurkan bahan terkontaminasi; serta zonasi dan kompartementalisasi;
  • Higiene makanan — memahami pelaksanaan berbasis risiko untuk pemeriksaan pada pemotongan hewan, termasuk prakematian, pascakematian, penyembelihan yang manusiawi, dan pengolahan yang higienis; program pengujian residu; sanitasi di usaha pengolahan makanan, penyimpanan produk olahan hewan yang benar, keamanan penyimpanan dan penyiapan makanan di rumah, serta kesehatan dan kebersihan semua orang yang terlibat dalam rantai makanan, mulai dari peternakan hingga meja makan.
  • Aplikasi analisis risiko — memahami bagaimana penerapan analisis risiko untuk menilai risiko penyakit hewan dan residu obat hewan, termasuk impor hewan dan produk hewan serta aktivitas layanan veteriner lain yang terkait; penggunaan analisis risiko untuk memastikan layanan veteriner dapat melindungi kesehatan hewan dan manusia; serta konsep analisis risiko yang mencakup identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko.
  • Penelitian — memahami pentingnya penelitian translasional dan interdisipliner untuk memajukan pengetahuan kedokteran hewan di bidang yang relevan dengan penyelenggaraan layanan veteriner nasional (misalnya zoonosis, penyakit lintas batas, penyakit infeksius yang muncul kembali, epidemiologi, kesejahteraan hewan, obat-obatan hewan, dan bahan biologis) sehingga generasi mendatang lebih siap untuk menjamin kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, dan kesehatan ekosistem.
  • Kerangka kerja perdagangan internasional — memahami Perjanjian tentang Penerapan Tindakan Sanitari dan Fitosanitari (Perjanjian SPS) dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO); peran dan tanggung jawab organisasi penetap standar WTO, seperti WOAH dan Komisi Codex Alimentarius (CAC) dalam mengembangkan peraturan berbasis ilmu pengetahuan terkini yang mengatur perdagangan internasional untuk hewan dan produk hewan; potensi dampak penyakit lintas batas, termasuk zoonosis, terhadap perdagangan internasional, serta proses sertifikasi kesehatan untuk menjamin mutu dan keutuhan komoditas ekspor; serta mekanisme pengendalian impor dan proses sertifikasi terkait dengan perlindungan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, dan kesehatan ekosistem di negara pengimpor.
  • Administrasi dan manajemen — memahami praktik administrasi dan manajemen yang baik; pentingnya keterampilan komunikasi interpersonal yang baik, yang mencakup pengetahuan terhadap diri sendiri dan pengetahuan tentang orang lain; pentingnya komunikasi yang efektif (kesadaran dan advokasi masyarakat); serta penguasaan setidaknya satu bahasa resmi WOAH.

Dalam budaya populer

Dokter hewan telah banyak dijadikan topik budaya populer, seperti film dan serial televisi. Berikut ini beberapa di antaranya:

  • Acara televisi realitas yang menampilkan dokter hewan:
    • Bondi Vet, serial televisi faktual Australia. Acara ini menampilkan kehidupan Chris Brown, dokter hewan di Bondi Junction Veterinary Hospital.
    • Dr Oakley, Yukon Vet, tentang seorang dokter hewan di Yukon, Kanada dan dua putrinya yang membantunya.
    • The Incredible Dr. Pol, acara realitas tentang seorang dokter hewan AS yang diproduksi oleh National Geographic Wild, saluran Disney. Acara ini menampilkan kehidupan Dr. Jan Pol dan Pol Veterinarian Service di Michigan.
    • Emergency Vets dan E-Vet Interns (1998–2002), sebuah acara televisi AS yang difilmkan di Alameda East Veterinary Hospital di Denver, Colorado.
    • Rookie Vets (2005), yang menampilkan mahasiswa di Massey University di Selandia Baru.
    • Vet School Confidential (2001), yang menampilkan mahasiswa di Michigan State University College of Veterinary Medicine di AS.
    • Vets in Practice (1997–2002), sebuah serial di Inggris.
  • Karya fiksi yang menampilkan dokter hewan sebagai protagonis utama antara lain:
    • Seri buku James Herriot yang berisi cerita fiksi tentang karirnya sebagai dokter hewan hewan ternak di Inggris, yang diadaptasi menjadi serial televisi BBC All Creatures Great and Small.
    • The Three Lives of Thomasina (1963), tentang Andrew MacDhui, seorang dokter hewan di sebuah desa di Skotlandia.
    • Seri buku anak-anak Doctor Dolittle yang telah beberapa kali diadaptasi menjadi film, yaitu Doctor Dolittle (1967), Dr. Dolittle (1998), Dr. Dolittle 2 (2001), dan Dolittle (2020).
    • Film Beethoven (1992), yang menampilkan dokter hewan jahat Dr. Herman Varnick.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Di Balik Layar Praktik Dokter Hewan: Memahami Profesi dan Tantangannya

Pertanian

Pemahaman Mendalam tentang Domestikasi Hewan: Dari Definisi hingga Seleksi Positif

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Domestikasi hewan adalah proses perubahan karakter genetik, fisik, dan perilaku hewan liar dari generasi ke generasi sehingga mereka teradaptasi untuk hidup bersama manusia. Hewan domestik merupakan sebutan bagi hewan-hewan yang telah terdomestikasi. Secara umum, kelangsungan hidup hewan-hewan ini bergantung pada manusia.

Perbedaan sifat antara hewan domestik dengan nenek moyangnya yang merupakan hewan liar diamati oleh Charles Darwin. Ia juga merupakan orang pertama yang mengenali perbedaan antara seleksi buatan yang dilakukan secara sadar (saat manusia memilih sifat-sifat yang diinginkan) dengan seleksi tak sadar (saat suatu organisme berevolusi dan mengalami perubahan sifat sebagai hasil dari seleksi alam). Domestikasi tidak bisa disamakan dengan penjinakan, yaitu modifikasi perilaku terkondisi pada hewan liar agar mereka dapat menerima kehadiran manusia dan tidak menghindari manusia. Di sisi lain, domestikasi merupakan modifikasi genetik permanen pada suatu garis keturunan hewan sehingga predisposisi mereka terhadap manusia dapat diwariskan. Sejumlah peneliti mengusulkan sebuah model yang menjelaskan jalur yang dilalui hewan dalam proses domestikasi. Model ini terdiri atas tiga jalur: (1) jalur komensal, ketika hewan liar menyesuaikan diri dengan relung manusia (misalnya anjing, kucing, unggas, dan mungkin babi); (2) jalur mangsa, ketika hewan liar diburu untuk dimakan (misalnya domba, kambing, sapi, kerbau, yak, babi, rusa kutub, llama, dan alpaka); serta (3) jalur terarah, ketika hewan liar dijadikan sumber tenaga alih-alih makanan (misalnya kuda, keledai, dan unta).

Anjing merupakan hewan pertama yang didomestikasi dan hewan ini telah hidup bersama manusia di seluruh Eurasia sebelum akhir era Pleistosen Akhir, jauh sebelum budi daya tumbuhan dan sebelum domestikasi hewan-hewan lain. Tidak seperti hewan domestik lainnya yang nenek moyangnya terutama diseleksi karena sifat-sifat yang berhubungan dengan produksi, anjing pada awalnya diseleksi karena perilakunya. Data arkeologi dan genetik menunjukkan bahwa aliran gen dua arah jangka panjang antara stok liar dan domestik—termasuk pada keledai, kuda, unta, kambing, domba, dan babi—adalah hal biasa. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa seleksi buatan oleh manusia untuk memilih sifat-sifat domestik mungkin menetralkan efek homogenisasi aliran gen dari babi liar ke babi domestik dan menciptakan pulau-pulau domestikasi dalam genom. Proses yang sama juga berlaku untuk hewan domestik lainnya.

Definisi

  • Domestikasi

Domestikasi didefinisikan dengan beragam oleh berbagai sumber ilmiah. Pada tahun 2012, Melinda Zeder, ahli zooarkeologi mendefinisikan domestikasi sebagai "hubungan mutualistik multigenerasi yang berkelanjutan ketika satu organisme  mengasumsikan tingkat pengaruh yang signifikan terhadap reproduksi dan perawatan organisme lain untuk mengamankan pasokan sumber daya yang lebih dapat diprediksi, dan ketika organisme pasangannya [hewan tertentu yang didomestikasi] memperoleh keuntungan atas individu-individu yang berada di luar hubungan ini, dan hal ini menguntungkan dan sering kali meningkatkan kecocokan baik bagi organisme pendomestikasi maupun organisme yang didomestikasi." Definisi ini mengakui komponen biologis dan komponen budaya dari proses domestikasi serta efeknya pada manusia dan hewan atau tumbuhan yang didomestikasi. Semua definisi domestikasi yang dirumuskan sebelumnya telah memasukkan hubungan antara manusia dengan tumbuhan dan hewan, tetapi lebih menekankan manusia sebagai pemeran utama dalam hubungan tersebut. Sementara itu, definisi Zeder mengakui hubungan mutualistik sehingga kedua organisme mendapatkan keuntungan. Domestikasi sangat meningkatkan kinerja reproduksi tanaman pangan, ternak, dan hewan kesayangan yang jauh melebihi nenek moyang mereka yang liar. Domestikasi juga memberi manusia sumber daya yang dapat mereka kendalikan, pindahkan, dan distribusikan ulang dengan lebih aman dan terprediksi. Hal ini kemudian menjadi keuntungan yang memicu ledakan populasi agropastoralis dan penyebarannya ke seluruh penjuru Bumi.

Sebagai salah satu bentuk mutualisme, domestikasi tidak terbatas pada hubungan antara manusia dengan tumbuhan atau hewan, tetapi juga di antara organisme nonmanusia. Sebagai contoh, terdapat bukti adanya mutualisme semut–fungi yang menunjukkan bahwa semut pemotong daun melakukan domestikasi terhadap fungi tertentu.

  • Sindrom domestikasi

Sindrom domestikasi adalah istilah yang awalnya digunakan untuk menggambarkan serangkaian sifat fenotipe yang muncul selama proses domestikasi yang membedakan tumbuhan domestik dari nenek moyangnya yang merupakan tumbuhan liar. Belakangan, istilah ini juga diterapkan pada hewan. Sindrom domestikasi pada hewan di antaranya peningkatan sifat patuh dan jinak, perubahan warna dan pola mantel, pengecilan ukuran gigi, perubahan morfologi tengkorak, perubahan bentuk telinga dan ekor (misalnya telinga menjadi terkulai), siklus estrus yang lebih sering dan nonmusiman, perubahan tingkat hormon adrenokortikotropik, perubahan konsentrasi beberapa neurotransmiter, perpanjangan perilaku remaja, dan pengecilan ukuran otak secara total atau pengecilan daerah otak tertentu. Meskipun demikian, serangkaian sifat yang digunakan untuk mendefinisikan sindrom domestikasi pada hewan terkadang tidak konsisten.

  • Perbedaan dengan penjinakan

Domestikasi berbeda dengan penjinakan. Hewan jinak adalah satwa liar yang ditangkap, dipelihara, dan dilatih agar terbiasa hidup di dekat manusia. Penjinakan merupakan upaya untuk menjadikan satwa liar dapat menerima kehadiran manusia dan terkadang mampu untuk melakukan tugas tertentu, tetapi mereka tidak mengalami perubahan genetik yang berarti. Di sisi lain, domestikasi merupakan modifikasi genetik permanen pada suatu garis keturunan hewan sehingga predisposisi mereka terhadap manusia dapat diwariskan. Manusia memilih hewan bersifat jinak, tetapi tanpa adanya respons evolusioner yang sesuai, domestikasi tidak tercapai. Hewan domestik belum tentu berperilaku jinak, misalnya sapi petarung spanyol. Di sisi lain, satwa liar bisa saja berperilaku jinak, seperti citah yang dipelihara sejak lahir. Hewan-hewan yang dikembangbiakkan selama beberapa generasi di penangkaran, seperti harimau, gorila, dan beruang kutub, juga bukanlah hewan domestik. Gajah asia merupakan satwa liar yang jinak dan menunjukkan beberapa tanda domestikasi, tetapi perkembangbiakannya tidak dikendalikan oleh manusia dan mereka tidak tergolong sebagai hewan domestik.

Sejarah

Domestikasi hewan dan tumbuhan dipicu oleh perubahan iklim dan lingkungan yang terjadi setelah puncak Glasial Maksimum Terakhir sekitar 21.000 tahun yang lalu dan terus berlanjut hingga saat ini. Perubahan ini membuat manusia sulit mendapatkan makanan. Hewan domestik pertama adalah anjing (Canis lupus familiaris) yang merupakan hasil domestikasi dari serigala (Canis lupus) setidaknya sekitar 15.000 tahun yang lalu. Zaman Dryas Terkini yang terjadi 12.900 tahun lalu merupakan periode yang sangat dingin dan gersang yang menekan manusia untuk mengintensifkan strategi mereka dalam mencari makanan. Pada awal kala Holosen 11.700 tahun yang lalu, kondisi iklim menjadi lebih menguntungkan sehingga populasi manusia meningkat. Mereka kemudian melakukan domestikasi hewan dan tumbuhan berskala kecil, yang memungkinkan manusia menambah persediaan makanan yang telah mereka peroleh melalui perburuan-pengumpulan.

Meluasnya penerapan pertanian dan berlanjutnya domestikasi spesies selama Revolusi Neolitikum mengawali pergeseran evolusi, ekologi, dan demografi manusia, hewan, dan tumbuhan secara cepat. Daerah-daerah yang memiliki pertanian yang luas kemudian mengalami urbanisasi, pertambahan kepadatan penduduk, perluasan ekonomi, dan menjadi pusat domestikasi hewan dan tumbuhan.

Di kawasan Hilal Subur 10.000–11.000 tahun yang lalu, zooarkeologi menunjukkan bahwa domba, kambing, babi, dan sapi eropa merupakan hewan-hewan ternak yang pertama didomestikasi. Para arkeolog juga menemukan kuburan tua berusia sekitar 9.500 tahun di Siprus yang berisi manusia dewasa bersama kerangka kucing domestik. Dua ribu tahun kemudian, sapi zebu berpunuk didomestikasi di tempat yang sekarang disebut Balochistan di Pakistan. Di Asia Timur sekitar 8.000 tahun yang lalu, babi didomestikasi dari babi hutan yang secara genetik berbeda dari babi yang ditemukan di Hilal Subur. Sementara itu, kuda didomestikasi di stepa Asia Tengah sekitar 5.500 tahun yang lalu, sedangkan ayam didomestikasi di Asia Tenggara sekitar 4.000 tahun yang lalu.

Kategori

Domestikasi dapat dianggap sebagai tahap akhir dari intensifikasi hubungan antara subpopulasi hewan atau tumbuhan dengan manusia. Hubungan ini dapat dibagi menjadi beberapa tingkat intensifikasi. Dalam studi domestikasi hewan, para peneliti telah mengusulkan lima kategori hewan: liar, liar dalam penangkaran, domestik, persilangan, dan feral.

  • Hewan (satwa) liar — Hewan-hewan ini terutama berevolusi melaui seleksi alam, meskipun mereka mungkin juga dipengaruhi oleh peristiwa demografik pada masa lalu dan tindakan-tindakan seleksi buatan, terutama oleh pengendalian dan perusakan habitat alamiah mereka.
  • Hewan (satwa) liar dalam penangkaran — Hewan-hewan ini dipengaruhi secara langsung oleh manusia, terutama dalam hal pemberian makanan, perkembangbiakan, dan perlindungan atau pengurungan. Manusia juga terkadang melakukan seleksi buatan untuk memilih hewan-hewan yang lebih sesuai untuk ditangkarkan.
  • Hewan domestik — Hewan-hewan ini dihasilkan dari seleksi buatan, misalnya oleh praktik peternakan. Bagi mereka, seleksi alam tidak terlalu berpengaruh, terutama bagi hewan yang dipelihara dengan manajemen yang ketat.
  • Hewan persilangan — Hewan-hewan ini lahir dari persilangan hewan liar dan hewan domestik. Mereka mungkin merupakan organisme perantara antara kedua orang tuanya dan mungkin saja lebih mirip dengan salah satu orang tuanya atau bahkan menunjukkan sifat unik yang berbeda dari kedua orang tuanya. Hewan persilangan dan hewan hibrida dapat dikembangbiakkan dengan sengaja untuk tujuan tertentu atau dapat lahir tanpa sengaja sebagai hasil dari kontak antara hewan domestik dan hewan liar.
  • Hewan feral — Hewan-hewan ini merupakan hewan domestik yang kembali ke kondisi liar. Oleh karena itu, mereka mengalami seleksi alam secara intensif karena tinggal di habitat liar dan juga seleksi buatan secara ringan karena terkadang masih tinggal di lingkungan manusia.

Pada tahun 2015, sebuah studi membandingkan keragaman ukuran, bentuk, dan alometri gigi pada seluruh kategori babi domestik modern (genus Sus). Studi ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara fenotipe gigi populasi babi liar, babi liar yang ditangkarkan, babi domestik, dan babi hibrida. Temuan ini mendukung kategorisasi hewan melalui bukti fisik. Studi ini tidak melibatkan populasi babi feral tetapi mengusulkan penelitian lebih lanjut pada mereka dan mengusulkan penelitian pada perbedaan genetik dengan babi hibrida.

Karakteristik umum

Jumlah hewan domestik telah melebihi satwa liar. Biomassa vertebrata liar semakin kecil dibandingkan dengan biomassa hewan domestik. Sebagai perbandingan, biomassa sapi domestik lebih besar daripada semua mamalia liar. Karena evolusi hewan domestik masih terus berlangsung, proses domestikasi memiliki titik awal tetapi tidak memiliki titik akhir. Berbagai kriteria telah dibuat untuk mendefinisikan hewan domestik, tetapi semua keputusan tentang kapan tepatnya seekor hewan dapat diberi label "domestik" dalam pengertian zoologi bersifat sewenang-wenang, meskipun juga bermanfaat. Domestikasi merupakan proses dinamis dan nonlinier yang dapat memulai, menghentikan, membalikkan, atau menuju jalur yang tidak terduga tanpa ambang batas yang jelas atau universal yang memisahkan satwa liar dari hewan domestik. Namun, ada karakteristik umum yang dimiliki oleh semua hewan domestik.

Praadaptasi perilaku

Spesies hewan tertentu, dan individu tertentu dalam spesies tersebut, menjadi kandidat domestikasi yang lebih baik daripada hewan-hewan lain karena mereka menunjukkan karakteristik perilaku tertentu: (1) jumlah dan organisasi struktur sosial mereka; (2) ketersediaan dan tingkat selektivitas dalam memilih pasangan; (3) kemudahan dan kecepatan ikatan orang tua dengan anaknya serta kematangan dan mobilitas anaknya saat lahir; (4) tingkat fleksibilitas dalam diet dan toleransi habitat; dan (5) respons terhadap manusia dan lingkungan baru, termasuk respons untuk menghidar dan reaktivitas terhadap rangsangan eksternal. Berkurangnya kewaspadaan terhadap manusia serta rendahnya reaktivitas terhadap manusia dan rangsangan eksternal lainnya merupakan praadaptasi kunci untuk domestikasi. Perilaku-perilaku ini juga merupakan target utama dari tekanan selektif yang dialami oleh hewan yang menjalani domestikasi. Hal ini menyiratkan bahwa tidak semua hewan dapat didomestikasi karena tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut, misalnya zebra.

Jared Diamond dalam bukunya Bedil, Kuman, dan Baja mempertanyakan mengapa di antara 148 mamalia herbivor terestrial liar di dunia, hanya 14 yang didomestikasi. Ia juga mengusulkan bahwa nenek moyang liar mereka harus memiliki enam karakteristik sebelum mereka dapat dipertimbangkan untuk didomestikasi:

  1. Makanan yang efisien – Hewan yang mengonsumsi tumbuhan dan dapat memproses makanan mereka secara efisien akan lebih murah dipelihara di penangkaran. Hewan-hewan karnivor perlu memakan daging sehingga domestikator harus memelihara hewan tambahan untuk memberi makan karnivor tersebut. Oleh karena itu, hewan karnivor tidak efisien untuk ditangkarkan.
  2. Tingkat pertumbuhan yang cepat – Tingkat kedewasaan hewan yang cepat dibandingkan dengan rentang umur manusia memungkinkan menusia mengintervensi perkembangbiakan hewan dan membuat hewan tersebut berguna dalam durasi pemeliharaannya. Beberapa hewan berukuran besar membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum mencapai kedewasaan.
  3. Kemampuan untuk berkembang biak di penangkaran – Hewan yang tidak mau berkembang biak di penangkaran menyebabkan manusia hanya bisa memperoleh mereka melalui penangkapan di alam liar.
  4. Disposisi yang menyenangkan – Hewan dengan disposisi yang buruk akan membahayakan manusia.
  5. Kecenderungan untuk tidak panik – Beberapa spesies hewan mudah untuk gelisah dan kabur saat mereka merasakan ancaman.
  6. Struktur sosial – Semua spesies mamalia besar yang didomestikasi memiliki nenek moyang liar yang hidup dalam kawanan. Terdapat hierarki dominasi di antara anggota kawanan, dan berbagai kawanan memiliki teritori yang tumpang tindih alih-alih saling terpisah dan eksklusif. Pengaturan ini memungkinkan manusia untuk mengendalikan hierarki dominasi.

Ukuran dan fungsi otak

Pemilihan hewan dengan reaktivitas yang lebih rendah secara berkelanjutan telah menghasilkan perubahan besar dalam bentuk dan fungsi otak mamalia domestik. Semakin besar ukuran otak dan tingkat pelipatan otak yang dimiliki oleh nenek moyang liar hewan domestik, semakin besar pula tingkat pengurangan ukuran otak pada versi domestik hewan tersebut. Rubah perak yang dibiakkan secara selektif untuk didomestikasi selama lebih dari 40 tahun telah mengalami pengurangan tinggi dan lebar tengkorak yang signifikan yang menunjukkan pengecilan ukuran otak. Hal ini mendukung hipotesis bahwa berkurangnya ukuran otak merupakan respons awal terhadap tekanan selektif penjinakan hewan, sedangkan penurunan reaktivitas yang merupakan ciri universal domestikasi hewan. Bagian otak yang paling terpengaruh pada mamalia domestik adalah sistem limbik, yang pada anjing, babi, dan domba domestik menunjukkan pengurangan ukuran sebesar 40% dibandingkan dengan spesies liar mereka. Bagian otak ini mengatur fungsi endokrin yang memengaruhi perilaku seperti agresi, kewaspadaan, dan respons terhadap stres yang dipicu oleh lingkungan; semua atribut yang secara dramatis dipengaruhi oleh domestikasi.

Pleiotropi

Pleiotropi diduga menjadi penyebab munculnya perubahan luas yang terlihat pada sindrom domestikasi. Pleiotropi terjadi ketika satu gen memengaruhi dua atau lebih ciri fenotipe yang tampaknya tidak terkait. Perubahan-perubahan fisiologis tertentu menjadi ciri pada banyak spesies hewan domestik. Perubahan ini di antaranya adalah tanda putih yang luas (terutama di bagian kepala), telinga yang terkulai, dan ekor yang keriting. Karakteristik ini muncul bahkan ketika kejinakan menjadi satu-satunya sifat yang muncul di bawah tekanan selektif. Gen-gen yang terlibat dalam kejinakan sebagian besar tidak diketahui sehingga tidak diketahui pula bagaimana atau sejauh mana pleiotropi berkontribusi pada sindrom domestikasi. Sifat jinak juga dapat disebabkan oleh menurunnya regulasi rasa takut dan respons stres melalui reduksi kelenjar adrenal. Berdasarkan hal-hal tersebut, hipotesis pleiotropi dapat dipisahkan menjadi dua teori, yaitu "hipotesis puncak saraf" yang menghubungkan fungsi kelenjar adrenal dengan defisit sel-sel puncak saraf selama perkembangan embrio dan "hipotesis jejaring pengatur genetik tunggal" yang mengklaim bahwa perubahan genetik pada regulator hulu memengaruhi sistem hilir.

Sel-sel puncak saraf (NCC) merupakan sel punca embrionik vertebrata yang berfungsi secara langsung dan tidak langsung selama embriogenesis awal untuk menghasilkan banyak jenis jaringan. Karena ciri-ciri yang umumnya dipengaruhi oleh sindrom domestikasi semuanya berasal dari NCC, hipotesis puncak saraf menunjukkan bahwa defisit pada sel-sel puncak saraf menyebabkan perubahan fenotipe pada sindrom domestikasi. Defisit ini dapat menyebabkan perubahan yang kita lihat pada banyak mamalia domestik, seperti telinga yang terkulai (terlihat pada kelinci, anjing, rubah, babi, domba, kambing, sapi, dan keledai) serta ekor yang keriting (pada babi, rubah, dan anjing). Meskipun sel-sel puncak saraf tidak memengaruhi perkembangan korteks adrenal secara langsung, tetapi sel-sel ini mungkin terlibat dalam interaksi embriologi hulu yang relevan. Selain itu, seleksi buatan yang menargetkan sifat jinak dapat memengaruhi gen-gen yang mengendalikan konsentrasi atau pergerakan NCC dalam embrio, yang kemudian mengarah ke berbagai fenotipe.

Hipotesis jejaring pengatur genetik tunggal mengusulkan bahwa sindrom domestikasi dihasilkan dari mutasi pada gen-gen yang mengatur pola ekspresi gen-gen yang lebih hilir, misalnya warna mantel yang belang-belang atau berbintik, mungkin disebabkan oleh keterkaitan jalur biokimia melanin yang terlibat dalam pewarnaan mantel dan neurotransmiter seperti dopamin yang membantu membentuk perilaku dan kognisi. Sifat-sifat terkait ini mungkin timbul dari mutasi pada beberapa gen pengatur kunci. Kekurangan hipotesis ini adalah bahwa ia mengusulkan bahwa ada mutasi pada jejaring gen yang menyebabkan efek dramatis yang tidak mematikan, tetapi saat ini tidak ada jejaring pengatur genetik yang diketahui menyebabkan perubahan dramatis pada begitu banyak sifat yang berbeda.

Pengembalian terbatas

Mamalia feral seperti anjing, kucing, kambing, keledai, babi, dan musang yang telah hidup terpisah dari manusia selama beberapa generasi tidak menunjukkan tanda-tanda mendapatkan kembali massa otak nenek moyang liar mereka. Dingo telah hidup secara terpisah dari manusia selama ribuan tahun, tetapi masih memiliki ukuran otak yang sama dengan anjing domestik. Anjing feral yang secara aktif menghindari kontak dengan manusia masih bergantung pada sampah-sampah dari manusia untuk bertahan hidup dan belum kembali ke perilaku serigala yang dapat hidup independen.

Jalur

Sejak tahun 2011, model domestikasi hewan multitahap telah diterima oleh dua kelompok. Kelompok pertama mengusulkan bahwa domestikasi hewan berjalan melalui serangkaian tahapan, mulai dari antropofili, komensalisme, pengendalian di alam liar, pengendalian dalam penangkaran, pembiakan ekstensif, pembiakan intensif, dan akhirnya menjadi hewan kesayangan. Tahapan ini berlangsung secara lambat yang mengintensifkan hubungan antara manusia dan hewan.

Kelompok kedua mengusulkan bahwa ada tiga jalur utama yang dijalani sebagian besar hewan domestik: (1) jalur komensal, ketika hewan liar menyesuaikan diri dengan relung manusia (misalnya, anjing, kucing, unggas, dan mungkin babi); (2) jalur mangsa, ketika hewan liar diburu untuk dimakan (misalnya, domba, kambing, sapi, kerbau, yak, babi, rusa kutub, llama dan alpaka); serta (3) jalur terarah, ketika hewan liar dijadikan sumber tenaga alih-alih makanan (misalnya, kuda, keledai, unta). Pada mulanya, domestikasi hewan melibatkan proses koevolusi yang berlarut-larut dengan banyak tahapan di sepanjang jalur yang berbeda. Manusia tidak berniat mendomestikasi hewan dari, atau setidaknya mereka tidak membayangkan hewan domestik dihasilkan dari, jalur komensal atau jalur mangsa. Dalam kedua jalur ini, manusia kemudian hidup bersama spesies-spesies ini karena hubungan di antara mereka semakin intensif, terutama dengan semakin menonjolnya peran manusia dalam kelangsungan hidup dan reproduksi hewan-hewan tersebut. Meskipun jalur terarah dimulai dari penangkapan hingga penjinakan, dua jalur lainnya tidak berorientasi pada tujuan dan catatan arkeologi menunjukkan bahwa jalur komensal dan jalur mangsa berlangsung dalam kerangka waktu yang lebih lama.

  • Jalur komensal

Jalur komensal dilalui oleh hewan yang memakan sampah di sekitar habitat manusia atau oleh hewan yang memangsa hewan lain yang datang ke tempat tinggal manusia. Hewan-hewan dalam jalur ini menjalin hubungan komensalisme dengan manusia, yaitu saat hewan diuntungkan dan manusia tidak dirugikan, dan mungkin menerima sedikit manfaat. Hewan-hewan yang paling mampu mengambil keuntungan dari sumber daya di tempat tinggal manusia akan menjadi lebih jinak, kurang agresif, dan memiliki jarak lawan atau lari yang lebih pendek. Belakangan, hewan-hewan ini mengembangkan ikatan sosial atau ekonomi yang lebih dekat dengan manusia yang berujung pada hubungan domestik. Lompatan dari populasi sinantropi ke populasi domestik hanya dapat terjadi setelah hewan berkembang dari antropofili ke habituasi, ke komensalisme, dan kemudian ke kemitraan, ketika hubungan antara hewan dan manusia sampai pada situasi dasar untuk domestikasi, termasuk penangkaran dan pembiakan terkendali oleh manusia. Dari perspektif ini, domestikasi hewan adalah proses koevolusioner, ketika populasi hewan merespons tekanan selektif sambil beradaptasi dengan relung baru bersama spesies lain serta mengembangkan perilaku baru. Hewan jalur komensal di antaranya anjing, kucing, unggas, dan kemungkinan babi.

Domestikasi hewan dimulai lebih dari 15.000 tahun sebelum sekarang (YBP), yang dimulai dengan serigala (Canis lupus) oleh para pemburu-pengumpul nomaden. Serigala kemungkinan besar mengikuti jalur komensal dalam proses domestikasinya. Kapan, di mana, dan berapa kali serigala telah didomestikasi masih diperdebatkan karena hanya sejumlah kecil spesimen purba yang telah ditemukan, dan baik arkeologi maupun genetika terus memberikan bukti yang bertentangan. Sisa-sisa anjing paling awal—yang paling banyak diterima secara luas—berasal dari 15.000 YBP di Bonn–Oberkassel, Jerman. Sisa-sisa sebelumnya yang berasal dari 30.000 tahun yang lalu digambarkan sebagai anjing Paleolitikum, tetapi status mereka sebagai anjing atau serigala masih diperdebatkan. Studi pada tahun 2018 menunjukkan bahwa divergensi genetis antara anjing dan serigala terjadi 20.000–40.000 YBP, tetapi ini adalah batas waktu atas untuk domestikasi karena periode ini menunjukkan waktu divergensi dan bukan waktu domestikasi.

Ayam adalah salah satu spesies hewan domestik yang paling tersebar luas dan salah satu sumber protein terbesar bagi manusia. Meskipun ayam didomestikasi di Asia Tenggara, bukti arkeologi menunjukkan bahwa ayam ini tidak dipelihara sebagai ternak hingga 400 SM di Levant. Sebelumnya, ayam telah diasosiasikan dengan manusia selama ribuan tahun dan dipelihara sebagai hewan aduan, hewan ritual, dan koleksi bagi kebun binatang kerajaan. Pada awalnya, mereka bukanlah spesies mangsa. Ayam bukanlah makanan populer di Eropa hingga seribu tahun yang lalu.

  • Jalur mangsa

Jalur mangsa adalah cara ketika sebagian besar spesies ternak terdomestikasi karena mereka pernah diburu oleh manusia untuk diambil dagingnya. Domestikasi kemungkinan dimulai ketika manusia mulai bereksperimen dengan strategi berburu yang dirancang untuk meningkatkan ketersediaan mangsa ini, mungkin sebagai tanggapan terhadap tekanan lokal pada pasokan hewan tersebut. Seiring waktu dan dengan spesies yang lebih responsif, strategi manajemen perburuan ini berkembang menjadi strategi manajemen kawanan yang mencakup pengendalian multigenerasi yang berkelanjutan atas pergerakan, makan, dan reproduksi hewan. Ketika campur tangan manusia dalam siklus hidup hewan mangsa semakin intensif, tekanan evolusioner karena kurangnya agresi akan menyebabkan perolehan sifat sindrom domestikasi yang sama yang ditemukan pada hewan peliharaan komensal.

Hewan yang menempuh jalur mangsa di antaranya domba, kambing, sapi, kerbau, yak, babi, rusa, llama, dan alpaka. Kondisi yang tepat untuk domestikasi untuk beberapa dari mereka tampaknya ditemukan di Hilal Subur bagian tengah dan timur pada akhir penurunan iklim zaman Dryas Terkini dan awal Holosen Awal sekitar 11.700 tahun lalu. Sekitar 10.000 tahun lalu, orang-orang cenderung membunuh hewan jantan muda dan membiarkan hewan betinanya hidup untuk menghasilkan lebih banyak keturunan. Dengan menilai ukuran, rasio jenis kelamin, dan profil kematian pada spesimen-spesimen zooarkeologi, para arkeolog mampu mendokumentasikan perubahan dalam strategi pengelolaan domba, kambing, babi, dan sapi yang diburu di Hilal Subur sejak 11.700 tahun lalu. Sebuah studi demografis dan metrik tentang sisa-sisa sapi dan babi di Sha'ar Hagolan, Israel, menunjukkan bahwa kedua spesies tersebut diburu secara berlebihan sebelum didomestikasi. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi intensif mengubah strategi manusia dalam mengelola mereka yang pada akhirnya mengarah pada domestikasi keduanya melalui jalur mangsa. Pola perburuan berlebihan sebelum domestikasi ini menunjukkan bahwa jalur mangsa tidak disengaja dilakukan oleh manusia, seperti halnya jalur komensal.

  • Jalur terarah

Jalur terarah merupakan proses yang lebih disengaja yang diprakarsai oleh manusia dengan tujuan mendomestikasikan hewan yang hidup bebas. Jalur ini mungkin hanya muncul setelah orang-orang mengenal hewan domestik melalui jalur komensal atau jalur mangsa. Hewan-hewan pada jalur terarah kemungkinan besar tidak memiliki banyak praadaptasi perilaku sebelum domestikasi. Oleh karena itu, domestikasi hewan-hewan ini membutuhkan upaya lebih untuk mengatasi perilaku yang tidak mendukung domestikasi.

Manusia sudah bergantung pada tumbuhan dan hewan domestik ketika mereka membayangkan versi domestik dari suatu hewan liar. Meskipun kuda, keledai, dan unta Dunia Lama kadang-kadang diburu sebagai mangsa, mereka juga sengaja dibawa ke relung manusia untuk dijadikan sarana transportasi. Domestikasi masih merupakan adaptasi multigenerasi terhadap tekanan seleksi manusia, termasuk kejinakan, tetapi tanpa respons evolusioner yang sesuai maka domestikasi tidak tercapai. Sebagai contoh, terlepas dari kenyataan bahwa pemburu rusa Timur Dekat di Epipaleolitik menghindari pemusnahan betina reproduktif untuk meningkatkan keseimbangan populasi, baik rusa maupun zebra tidak memiliki prasyarat yang diperlukan dan tidak pernah didomestikasi. Tidak ada bukti yang jelas untuk domestikasi hewan mangsa yang digiring di Afrika, dengan pengecualian keledai, yang didomestikasi di Afrika Timur Laut sekitar milenium ke-4 SM.

  • Jalur ganda

Ketiga jalur di atas tidak saling eksklusif. Hewan bisa saja menempuh lebih dari satu jalur. Sebagai contoh, babi mungkin didomestikasi karena mereka telah terbiasa dengan relung manusia melalui jalur komensal, tetapi mereka mungkin juga diburu dan mengikuti jalur mangsa, atau kombinasi antara kedua jalur tersebut.

Aliran gen pasca-domestikasi

Saat masyarakat pertanian bermigrasi menjauhi pusat-pusat domestikasi dengan membawa hewan domestik, hewan-hewan ini kemudian bertemu dengan populasi hewan liar dari spesies yang sama atau kerabat dekatnya. Karena hewan domestik sering kali memiliki nenek moyang bersama paling terkini dengan populasi liar, mereka mampu menghasilkan keturunan yang subur. Populasi hewan domestik relatif sedikit dibandingkan populasi liar di sekitarnya sehingga hibridisasi berulang antara keduanya akan menyebabkan populasi domestik yang dilahirkan memiliki perbedaan genetik dibandingkan populasi sumber domestik aslinya.

Kemajuan dalam teknologi pengurutan DNA memungkinkan genom inti diakses dan dianalisis dalam kerangka genetika populasi. Hasil pengurutan ini menunjukkan bahwa aliran gen merupakan hal yang umum, tidak hanya di antara populasi domestik yang beragam secara geografis dari spesies yang sama, tetapi juga antara populasi domestik dan spesies liar yang tidak pernah melahirkan populasi domestik.

  • Sifat kaki kuning yang dimiliki oleh banyak ras ayam komersial modern diperoleh melalui introgresi dari ayam hutan abu-abu yang berasal dari Asia Selatan.
  • Sapi-sapi di Afrika merupakan hibrida yang memiliki sinyal mitokondria maternal sapi taurin dari Eropa dan tanda kromosom Y paternal dari sapi zebu dari Asia.
  • Banyak spesies Bovidae lainnya, seperti bison, yak, bison, dan gaur juga berhibridisasi dengan mudah.
  • Kucing dan kuda telah terbukti berhibridisasi dengan banyak spesies yang berkerabat dekat.
  • Lebah madu domestik telah dikawinkan dengan begitu banyak spesies sehingga mereka sekarang memiliki lebih banyak variasi genom dibandingkan nenek moyang mereka yang liar.

Data arkeologi dan genetik menunjukkan bahwa aliran gen dua arah jangka panjang antara stok liar dan domestik—termasuk Canidae, keledai, kuda, unta Dunia Baru dan Lama, kambing, domba, dan babi—adalah hal biasa. Aliran gen dua arah antara rusa domestik dan liar berlanjut hingga hari ini.

Konsekuensi dari introgresi ini adalah bahwa populasi domestik modern sering kali tampak memiliki afinitas genomik yang jauh lebih besar dengan populasi liar yang tidak pernah terlibat dalam proses domestikasi awalnya. Oleh karena itu, ada usulan agar istilah "domestikasi" hanya bisa digunakan untuk menggambarkan proses awal domestikasi suatu populasi diskrit dalam ruang dan waktu tertentu. Persilangan selanjutnya antara populasi domestik introduksi dan populasi liar lokal yang tidak pernah didomestikasi harus digambarkan sebagai "penangkapan introgresif". Penggabungan kedua proses yang berbeda ini dapat mengacaukan pemahaman kita tentang proses domestikasi aslinya dan dapat menyebabkan inflasi artifisial tentang berapa kali domestikasi terjadi. Dalam beberapa kasus, introgresi ini dapat dianggap sebagai introgresi adaptif, seperti yang diamati pada domba domestik yang menerima aliran gen dari mouflon eropa liar.

Persilangan secara berkelanjutan antara populasi anjing dan serigala yang berbeda, baik di Dunia Lama maupun Dunia Baru, selama setidaknya 10.000 tahun terakhir telah mengaburkan tanda-tanda genetik dan membingungkan upaya para peneliti untuk menunjukkan asal-usul anjing dengan tepat. Tak ada satu pun populasi serigala modern yang berkaitan dengan serigala Pleistosen yang pertama kali didomestikasi, dan kepunahan serigala yang merupakan nenek moyang langsung dari anjing telah memperkeruh upaya untuk menentukan waktu dan tempat domestikasi anjing.

Seleksi positif

Charles Darwin mengenali beberapa sifat yang membedakan spesies domestik dari nenek moyang mereka yang liar. Dia juga merupakan orang pertama yang mengenali perbedaan antara seleksi buatan, yaitu ketika manusia secara sadar memilih sifat-sifat yang diinginkan, dengan seleksi tak sadar, yaitu ketika suatu organisme berevolusi dan mengalami perubahan sifat sebagai hasil dari seleksi alam atau sebagai akibat dari seleksi sifat-sifat lain.

Hewan domestik memiliki variasi warna mantel dan morfologi tengkorak, ukuran otak yang mengecil, telinga yang terkulai, serta perubahan pada sistem endokrin dan siklus reproduksinya. Eksperimen domestikasi rubah perak menunjukkan bahwa seleksi sifat jinak pada rubah dalam beberapa generasi dapat menghasilkan perubahan perilaku, morfologis, dan fisiologis. Selain menunjukkan bahwa sifat fenotipe domestik dapat muncul melalui seleksi perilaku, dan sebaliknya, perilaku domestik dapat muncul melalui seleksi sifat fenotipe, percobaan ini menyediakan penjelasan tentang bagaimana proses domestikasi hewan dapat dimulai tanpa rencana dan tindakan manusia yang disengaja. Pada dasawarsa 1980-an, seorang peneliti menggunakan serangkaian penanda perilaku, kognitif, dan fenotipe yang terlihat, seperti warna mantel, untuk menghasilkan rusa Dama domestik dalam beberapa generasi. Hasil serupa untuk seleksi sifat jinak dan rasa takut juga ditemukan pada cerpelai dan burung puyuh jepang.

Perbedaan genetik antara populasi domestik dan liar dapat dibingkai dalam dua pertimbangan. Pertimbangan pertama membedakan sifat-sifat domestikasi yang dianggap penting pada tahap awal domestikasi dengan sifat-sifat perbaikan yang muncul sejak berpisahnya populasi liar dan domestik. Sifat-sifat domestik umumnya menetap pada semua hewan domestik dan dipilih pada permulaan proses domestikasi, sedangkan sifat-sifat perbaikan hanya muncul pada sebagian hewan domestik, meskipun sifat-sifat tersebut dapat menetap pada ras hewan tertentu atau pada populasi regional. Pertimbangan kedua adalah apakah sifat-sifat yang terkait dengan sindrom domestikasi dihasilkan dari relaksasi seleksi alam pada saat hewan keluar dari lingkungan liar atau dari seleksi positif yang dihasilkan dari preferensi manusia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Beberapa studi genomik tentang dasar genetik sifat-sifat tertentu diasosiasikan dengan sindrom domestikasi telah menjelaskan kedua masalah ini. Ahli genetika telah mengidentifikasi lebih dari 300 lokus genetik dan 150 gen yang diasosiasikan dengan variabilitas warna mantel. Pengetahuan tentang mutasi gen yang diasosiasikan dengan warna menunjukkan korelasi antara waktu munculnya variabel warna mantel pada kuda dengan waktu domestikasi mereka. Penelitian lain menunjukkan bahwa bagaimana seleksi yang diinduksi oleh manusia bertanggung jawab atas variasi alel pada babi. Wawasan-wawasan ini menunjukkan bahwa meskipun seleksi alam telah meminimalkan variasi mantel sebelum domestikasi, manusia secara aktif memilih warna mantel yang baru segera setelah warna tersebut muncul pada populasi yang dikelola.

Pada 2015, sebuah penelitian mengamati lebih dari 100 urutan genom babi untuk memastikan proses domestikasi mereka. Proses domestikasi diasumsikan telah diinisiasi oleh manusia dengan melibatkan beberapa individu dan mengandalkan isolasi reproduksi antara hewan liar dan domestik. Namun, penelitian ini menemukan bahwa asumsi isolasi reproduksi dengan hambatan populasi tidak didukung. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa babi didomestikasi secara terpisah di Asia Barat dan Tiongkok; babi di Asia Barat diperkenalkan ke Eropa dan mereka disilangkan dengan babi hutan. Sebuah model yang cocok dengan data memasukkan persilangan antara babi domestik dengan populasi babi liar yang sekarang sudah punah pada Pleistosen. Penelitian ini juga menemukan bahwa meskipun babi domestik melakukan persilangan balik dengan babi liar, genom babi domestik memiliki tanda-tanda seleksi yang kuat pada lokus genetik yang memengaruhi perilaku dan morfologi mereka. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa seleksi sifat-sifat domestik oleh manusia mungkin menetralkan efek homogenisasi aliran gen dari babi hutan ke babi domestik dan menciptakan pulau-pulau domestikasi dalam genom. Proses yang sama juga berlaku untuk hewan domestik lainnya.

Tidak seperti spesies domestik lainnya yang terutama dipilih untuk sifat-sifat yang berhubungan dengan produksi, anjing pada awalnya dipilih karena perilakunya. Pada tahun 2016, sebuah penelitian menemukan bahwa hanya ada 11 gen tetap yang menunjukkan variasi antara serigala dan anjing. Variasi-variasi gen ini kemungkinan kecil merupakan hasil dari evolusi alami, dan mengindikasikan dampak dari seleksi morfologi dan perilaku selama domestikasi anjing. Gen-gen ini telah terbukti memengaruhi jalur sintesis katekolamin, dengan sebagian besar gen memengaruhi respons lawan-atau-lari (yaitu seleksi untuk kejinakan) dan pemrosesan emosional. Pada umumnya, anjing memiliki rasa takut dan agresi yang lebih rendah dibandingkan dengan serigala. Beberapa gen ini diasosiasikan dengan agresi pada beberapa ras anjing, yang menunjukkan pentingnya mereka baik dalam domestikasi awal dan dalam pembentukan ras.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Pemahaman Mendalam tentang Domestikasi Hewan: Dari Definisi hingga Seleksi Positif

Pertanian

Peternakan Modern Inovasi dalam Pemeliharaan Sapi

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 14 Mei 2024


Peternakan telah menjadi bagian penting dari pertanian selama berabad-abad. namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya permintaan akan sumber daya pangan, peternakan modern telah membawa perubahan besar dalam cara ternak dipelihara, dikelola, dan dibudidayakan.artikel ini mengulas beberapa inovasi terbaru dalam peternakan yang menjadikan peternakan modern lebih efisien, berkelanjutan, dan produktif.teknologi pemantauan kesehatan.salah satu inovasi terpenting dalam peternakan modern adalah penggunaan teknologi pemantauan kesehatan. dengan menggunakan sensor dan perangkat pintar, peternak kini dapat memantau kesehatan sapinya secara real time, ini termasuk mengukur suhu tubuh, mendeteksi penyakit, memantau tingkat aktivitas, dan banyak lagi. dengan data yang lebih akurat, petani dapat mengidentifikasi masalah kesehatan lebih awal dan menanganinya secara tepat waktu. Dalam beternak sapi dalam peternakan modern, fokusnya tidak hanya pada aspek kuantitatif, tetapi juga kesejahteraan hewan. Prioritasnya adalah cara peternakan yang memperhatikan kondisi lingkungan serta kebutuhan fisik dan psikis sapi. Hal ini termasuk menyediakan ruang yang cukup, sistem ventilasi yang memadai, dan mengatasi stres pada hewan

Peternakan sapi sendiri di indonesia banyak yang masih kurang dalam mengunakan teknologie terutama dalam peternakan rumahan atau peternakan kampung yang mana masih banyak yang belum paham akan teknologie peternakan, dan juga biyaya yang sangat besar bagi peternakn kecil untuk menggunakan teknologie teknologie terkini. Sosialisai terhadap  masyarakat masih sangat penting di berikan pada masyarakat untuk kemajuan peternakan mereka sendiri dan juga utuk kemajuan sapi dengan teknologie tinggi di indonesia. Yang masih sanagat jauh tertinggal oleh negara negara tetangga.

Sistem pemberian pakan otomatis yang efisien sangat penting dalam peternakan modern. Sistem pemberian pakan otomatis memungkinkan sapi secara otomatis menerima pakan yang sesuai berdasarkan kebutuhan nutrisinya. Hal ini tidak hanya mengurangi limbah pakan tetapi juga membantu meningkatkan kesehatan dan produktivitas sapi. Mutu daging sapi ditentukan oleh keempukan daging, tekstur warna dan bau, serta perbandingan asam dan basa. Kontaminasi bakteri dapat mempengaruhi kualitas daging dan berdampak negatif terhadap kesehatan konsumen daging (Arifin, 2015). Pengelolaan Data Terpusat Pengelolaan data terpusat merupakan bagian penting dalam peternakan modern. Dengan sistem ini, seluruh data terkait sapi, baik kesehatan, nutrisi, dan reproduksi, dapat lebih mudah diakses dan dianalisis. Hal ini akan membuat petani lebih mudah mengambil keputusan yang baik.

pemantauan lingkungan atau lingkungan sekitar sapi juga menjadi elemen penting dalam peternakan modern. pemantauan lingkungan meliputi pengendalian suhu, kelembaban, dan kualitas udara di dalam kandang.sistem otomatis dapat menyesuaikan kondisi lingkungan yang optimal untuk kesejahteraan sapi, sehingga meningkatkan kesehatan dan produktivitas sapi.menggunakan energi terbarukan banyak operasi pertanian modern juga beralih ke sumber  energi terkini contoh solar panel dan wind turbine. ini bukan hanya menghilangkan akibat sekitar akan tetapi mengurangi anggaran operasional jangka panjang  bagi petani. pemantauan ternak dari jarak jauh kemajuan teknologi komunikasi telah memungkinka peternak memantau ternak dari jarak jauh melalui kamera dan sensor. hal ini meningkatkan pemantauan bahkan ketika petani tidak berada di lokasi dan memungkinkan dilakukannya intervensi cepat jika timbul masalah.

Inovasi dalam peternakan ini telah menjadikan produksi ternak modern lebih efisien dan berkelanjutan, sehingga memungkinkannya memenuhi permintaan pangan global yang terus meningkat.Ini juga berkontribusi terhadap kesejahteraan hewan dan perlindungan lingkungan. Ringkasnya, peternakan modern terus berkembang melalui pemanfaatan teknologi modern dalam peternakan sapi. Berbagai reka baru yang di ketahui oleh 3 negara ini contoh: tanaman padi amonia, tanaman padi endapan, makanan dedak, makanan lengkap, penyimpanan pakan hewan, penyortiran bibit tumbuhan hijau berkualitas, AI, penyortiran benih hewan berkualitas, gas, produksi biogas alam, metode dokumentasi, teknologi, mesin pemerah susu, mesin pencacah. AI berupa terobosan yang sungguh melimpah diambil sama pengembala, reka baru yang sungguh minim diangkut sama pengembala berupa manajemen makan, berupa tanaman padi yang mengandung amonia. Inseminasi buatan (AI) atau kawin suntik adalah suatu usaha untuk menghamili hewan dengan cara memasukkan air mani/sperma ke dalam saluran reproduksi hewan betina dalam keadaan berahi dengan menggunakan alat inseminasi (Herawati et al., 2012). Hal ini tidak hanya menguntungkan petani, namun juga memberikan dampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan. Inovasi dalam produksi peternakan dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, meningkatkan kualitas produk peternakan dan menjamin kesejahteraan hewan.

Pendidikan dan pelatihan para peternak juga menjadi bagian integral dari peternakan modern. Pengetahuan tentang teknologi terbaru dan praktik-praktik terbaik diterapkan untuk memastikan bahwa peternak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengelola peternakan mereka dengan efisien dan berkelanjutan. Dengan menerapkan inovasi-inovasi ini, peternakan modern bertujuan untuk menciptakan sistem produksi hewan yang lebih efisien, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Melalui integrasi teknologi dan praktek terbaik, peternakan modern berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan hewan, produktivitas, dan keberlanjutan industri peternakan

Secara keseluruhan, peternakan modern memandang inovasi sebagai pilar utama dalam upaya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan hewan. Melalui integrasi teknologi, pengelolaan yang ditargetkan dan penerapan metode modern, produksi ternak modern berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan di sektor peternakan. Dengan semakin canggihnya teknologi, pengelolaan yang lebih baik, dan fokus pada keberlanjutan, peternakan modern akan terus menjadi pendorong penting pasokan pangan dunia. Hal ini juga mencerminkan komitmen kami untuk menjaga keseimbangan antara pertanian produktif dan lingkungan yang sehat. Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya permintaan produk peternakan, peternakan modern yang inovatif merupakan solusi yang dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan dunia secara berkelanjutan dan efisien. 

Sumber: https://memox.co.id/

Selengkapnya
Peternakan Modern Inovasi dalam Pemeliharaan Sapi
« First Previous page 10 of 27 Next Last »