Pendidikan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025
Pendahuluan
Produktivitas tenaga kerja konstruksi masih menjadi tantangan besar di Indonesia, bahkan di daerah sepesat Bali yang tengah berkembang pesat secara infrastruktur. Dalam konteks inilah, penelitian yang dilakukan oleh Komang Gde Krisna Maha dan timnya dari Politeknik Negeri Bali menjadi relevan dan penting. Melalui kajian atas pengaruh kompetensi dan motivasi terhadap produktivitas, serta analisis perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan standar SNI 2022, studi ini memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan praktik konstruksi nasional.
Latar Belakang Masalah
Menurut BPS (2018), lebih dari 18,57% proyek konstruksi mengalami keterlambatan. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kompetensi tenaga kerja. Ironisnya, dari sekitar 4,9 juta pekerja konstruksi di Indonesia, hanya sekitar 3% yang telah memiliki sertifikat keahlian. Ini menegaskan adanya kesenjangan serius antara kebutuhan keterampilan dan kenyataan di lapangan.
Dalam proyek pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13, penelitian ini bertujuan mengukur sejauh mana kompetensi dan motivasi individu dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk menciptakan pendekatan produktivitas berbasis data yang relevan dan kontekstual.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelatif dengan 30 responden. Data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan observasi lapangan.
Instrumen pengumpulan data telah diuji validitas dan reliabilitasnya:
Semua item kuesioner menunjukkan nilai r-hitung > r-tabel.
Cronbach’s Alpha untuk seluruh variabel di atas 0,76 (termasuk reliabel).
Analisis dilakukan menggunakan regresi linier berganda dan perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan acuan SNI 2022.
Temuan Utama: Kompetensi, Motivasi, dan Produktivitas
A. Hasil Regresi dan Uji Statistik
Kompetensi kerja (X1) berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (t-hitung 4,218 > t-tabel 2,048).
Motivasi kerja (X2) juga berpengaruh signifikan (t-hitung 2,808 > t-tabel 2,048).
Nilai R-Square sebesar 0,936, menunjukkan bahwa 93,6% variasi produktivitas dijelaskan oleh kedua variabel tersebut.
B. Hasil Analisis Deskriptif
Rata-rata skor kompetensi: 4,20 (kategori setuju).
Rata-rata skor motivasi: 4,18.
Rata-rata produktivitas: 4,19.
Dengan nilai yang tinggi dan saling terkait, hasil ini menunjukkan bahwa meningkatkan kompetensi dan motivasi secara simultan akan memberikan hasil nyata pada produktivitas proyek.
Studi Kasus: Perbandingan Upah Riil vs SNI
Penelitian ini juga membandingkan selisih upah tenaga kerja berdasarkan dua pendekatan koefisien:
1. Pemasangan Bata Ringan (10 cm):
Total biaya lapangan: Rp 22.200/m2
Total biaya menurut SNI: Rp 233.620/m2
Selisih: Rp 211.400/m2 atau 90% lebih tinggi menurut SNI
2. Plesteran Dinding (20 mm):
Total biaya lapangan: Rp 24.280/m2
Total biaya menurut SNI: Rp 65.680/m2
Selisih: Rp 41.400/m2 atau 63% lebih tinggi menurut SNI
Temuan ini menunjukkan adanya potensi pemborosan biaya jika hanya mengandalkan standar tanpa mempertimbangkan realisasi lapangan. Selain itu, menjadi penting bahwa standar nasional harus fleksibel dan adaptif terhadap kondisi aktual proyek.
Nilai Tambah dan Refleksi Industri
A. Kontribusi Studi:
Memberikan dasar empiris untuk kebijakan peningkatan kompetensi tenaga kerja.
Menyediakan data pembanding aktual yang dapat digunakan dalam estimasi biaya konstruksi.
B. Kritik dan Keterbatasan:
Jumlah responden terbatas (30 orang), kurang representatif untuk generalisasi nasional.
Studi dilakukan hanya pada satu proyek dan belum memperhitungkan faktor eksternal seperti cuaca, teknologi, atau manajemen proyek.
C. Perbandingan Penelitian Lain:
Penelitian ini konsisten dengan hasil studi oleh Mariana et al. (2018) yang juga menegaskan bahwa motivasi kerja berkorelasi positif dengan produktivitas. Hal serupa juga ditemukan oleh Prasetyo (2022) dan Agassy (2019) dalam kajian perbandingan koefisien lapangan vs SNI.
Implikasi Praktis
Bagi kontraktor: Perlu dilakukan penyesuaian estimasi biaya berdasarkan observasi realisasi lapangan.
Bagi pemerintah: Diperlukan revisi reguler terhadap SNI agar tetap relevan dan tidak menyebabkan overestimasi.
Bagi pendidikan vokasi: Perlu memperbanyak program sertifikasi untuk tenaga kerja konstruksi.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi dan motivasi memiliki pengaruh kuat terhadap produktivitas tenaga kerja konstruksi. Dengan kontribusi 93,6% terhadap variasi produktivitas, dua faktor ini layak menjadi prioritas dalam pelatihan dan pengelolaan sumber daya manusia proyek.
Selain itu, analisis terhadap selisih koefisien biaya lapangan dan SNI menegaskan perlunya pendekatan biaya berbasis realita, bukan sekadar standar.
Penelitian ini membuka ruang untuk riset lanjutan yang lebih luas, lintas proyek dan daerah, guna mendukung pengambilan keputusan berbasis data di sektor konstruksi Indonesia.
Sumber:
Komang Gde Krisna Maha, Lilik Sudiajeng, I Made Anom Santiana. (2023). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Kerja terhadap Produktivitas serta Koefisien Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13. Politeknik Negeri Bali.
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 September 2025
Pendahuluan
Perkembangan global yang pesat di abad ke-21 menempatkan tuntutan baru pada para insinyur. Mereka tidak lagi hanya membutuhkan keahlian teknis yang kuat, tetapi juga
kompetensi global untuk bekerja secara efektif di lingkungan yang saling terhubung, beragam, dan kompleks. Namun, integrasi kompetensi ini ke dalam kurikulum pendidikan teknik sering kali menemui hambatan karena definisinya yang rumit dan tidak adanya pendekatan praktis yang teruji.
Disertasi ini bertujuan untuk membangun fondasi empiris guna memajukan pengembangan kompetensi global di institusi pendidikan insinyur. Melalui sintesis dari lima studi, penelitian ini mengeksplorasi tiga tema utama: konseptualisasi kompetensi global, pengembangannya, dan penilaiannya. Temuan-temuan disertasi ini sangat relevan untuk institusi yang ingin merumuskan strategi yang terarah dan berkelanjutan.
Konseptualisasi Kompetensi Global: Definisi dan Komponen Inti
Disertasi ini mendefinisikan kompetensi global sebagai
kemampuan untuk menunjukkan perilaku yang efektif dan tepat yang sesuai dengan kebutuhan konteks profesional yang berbeda. Perilaku ini muncul dari gabungan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki individu. Konsep ini melampaui keahlian teknis dan sangat krusial bagi para insinyur modern. Bahkan, badan akreditasi internasional seperti
ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology) dan inisiatif CDIO (Conceive-Design-Implement-Operate) telah mengeluarkan pedoman untuk atribut lulusan yang komprehensif, mencakup kompetensi non-teknis.
Penelitian ini mengidentifikasi serangkaian
komponen inti dari kompetensi global yang dianggap penting oleh para peneliti dan pemangku kepentingan industri maupun akademisi. Komponen-komponen ini mencakup:
Kesadaran Diri: Memahami kepribadian, nilai, kekuatan, dan kelemahan diri sendiri.
Wawasan Global dan Etika: Memahami peristiwa global, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap pembangunan berkelanjutan dan prinsip-prinsip etika.
Pengembangan kompetensi ini tidak hanya terjadi di dalam kelas, melainkan juga melalui pengalaman di lingkungan yang beragam dan interaktif.
Strategi Institusional untuk Pengembangan Kompetensi
Disertasi ini mengusulkan
strategi tiga langkah yang komprehensif dan praktis untuk institusi pendidikan insinyur. Strategi ini dirancang untuk mengatasi tantangan implementasi dan memastikan hasil yang nyata.
Langkah 1: Meletakkan Fondasi
Fase ini berfokus pada persiapan dan perencanaan awal. Hal ini mencakup pengembangan visi institusional yang jelas, menciptakan lingkungan yang mendukung keragaman dan inklusivitas, serta memberikan
pelatihan dan dorongan kepada staf pengajar. Pelatihan bagi dosen sangat penting untuk membantu mereka membangun keahlian dalam merancang peluang belajar yang relevan.
Langkah 2: Mengembangkan Peluang Pembelajaran
Fase ini melibatkan perancangan peluang belajar di tiga tingkatan:
Kurikuler: Mengintegrasikan kompetensi global secara langsung ke dalam mata kuliah disiplin ilmu, misalnya melalui kolaborasi virtual dengan mitra internasional atau studi kasus kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan modul yang membahas tentang etika profesi.
Ko-kurikuler: Aktivitas di luar kurikulum inti yang melengkapinya, seperti magang internasional, kunjungan lapangan, atau program sertifikasi.
Langkah 3: Menilai Pengembangan Kompetensi
Fase terakhir berfokus pada evaluasi untuk menginformasikan revisi strategi. Disertasi ini menekankan pentingnya penilaian yang valid dan andal untuk memastikan hasil pembelajaran tercapai. Disertasi menemukan bahwa hanya sekitar
32% dari publikasi yang meninjau intervensi menggunakan penilaian multi-metode, dan bahwa metode penilaian tunggal seperti survei laporan diri tidak cukup untuk mengukur kompetensi yang kompleks. Oleh karena itu, diperlukan metode penilaian yang lebih komprehensif, seperti tes penilaian situasional, untuk mengukur perilaku dan pemikiran di balik keputusan insinyur.
Kesimpulan
Disertasi ini menunjukkan bahwa persiapan insinyur yang kompeten secara global adalah inisiatif penting di seluruh dunia. Dengan menerapkan kerangka kerja dan strategi tiga langkah yang diusulkan, institusi pendidikan teknik dapat beralih dari upaya yang "terlalu bersemangat" menjadi pendekatan yang sistematis dan efektif. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas lulusan insinyur, tetapi juga memperkuat posisi institusi dalam menghadapi tuntutan global dan industri di masa depan.
Sumber
Disertasi: "Global competence education in practice" oleh Tanja Richter, KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, Swedia, 2025.
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Pendidikan teknik memainkan peran fundamental dalam mendukung pembangunan ekonomi, inovasi teknologi, dan keselamatan publik. Namun, tantangan globalisasi menuntut peningkatan kualitas dan pengakuan internasional terhadap program studi teknik. Salah satu kerangka pengakuan global yang paling berpengaruh adalah Washington Accord, sebuah perjanjian yang mengakui kesetaraan kualifikasi sarjana teknik antarnegara anggota.
Isu ini bukan sekadar akademik—ia terkait langsung dengan mobilitas tenaga kerja, daya saing ekonomi, dan keamanan infrastruktur. Tanpa akreditasi yang sesuai standar internasional, lulusan teknik dari negara berkembang akan kesulitan:
Berpraktik di luar negeri.
Berpartisipasi dalam proyek multinasional.
Mendapat kepercayaan dari industri global.
Mengapa kebijakan publik harus memprioritaskan akreditasi internasional?
Menjamin Kompetensi Insinyur di Era Globalisasi
Washington Accord menuntut penerapan Outcome-Based Education (OBE), di mana lulusan harus mampu menunjukkan penguasaan kompetensi teknis, etika, dan komunikasi profesional.
Meningkatkan Daya Saing Nasional
Negara dengan universitas terakreditasi internasional memiliki akses lebih luas ke pasar tenaga kerja global dan proyek infrastruktur internasional.
Mengurangi Hambatan Mobilitas Insinyur
Tanpa harmonisasi kurikulum dan akreditasi, insinyur akan menghadapi proses sertifikasi ulang yang mahal dan rumit di negara tujuan.
Menjamin Keselamatan Publik
Standar yang lemah meningkatkan risiko kegagalan desain dan kecelakaan industri, yang berdampak pada nyawa manusia dan ekonomi.
Namun, penelitian ini menyoroti kesenjangan besar dalam implementasi akreditasi di negara berkembang, termasuk keterbatasan sumber daya, resistensi perubahan, dan ketidaksiapan sistem pendidikan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif yang Diharapkan
Keterhubungan Global
Institusi yang terakreditasi oleh badan anggota Washington Accord (misalnya ABET) otomatis diakui di negara anggota lain, memperkuat mobilitas lulusan.
Peningkatan Mutu Pendidikan
Perguruan tinggi akan terdorong memperbarui kurikulum, mengadopsi pendekatan OBE, dan memperkuat pengajaran berbasis proyek.
Dukungan untuk Industri 4.0
Standar akreditasi internasional menggarisbawahi pentingnya penguasaan teknologi digital, yang selaras dengan transformasi industri global.
Hambatan yang Harus Diatasi
Kurangnya Pemahaman tentang OBE
Banyak dosen dan pengelola program studi masih berorientasi pada konten (content-based), bukan hasil (outcome-based).
Biaya Akreditasi yang Tinggi
Proses menuju akreditasi internasional memerlukan dana besar untuk pengembangan kurikulum, pelatihan dosen, dan audit.
Resistensi Budaya Akademik
Beberapa institusi menolak perubahan karena khawatir akan hilangnya fleksibilitas atau otonomi.
Ketimpangan Akses Teknologi
Implementasi standar internasional sering memerlukan fasilitas laboratorium canggih, yang belum tersedia di banyak perguruan tinggi.
Peluang Strategis
Kerja Sama Regional untuk Akreditasi
Negara-negara yang belum menjadi anggota Washington Accord dapat membentuk konsorsium untuk saling mengakui kualifikasi.
Pemanfaatan Platform Digital
Sistem pelaporan capaian OBE dapat dilakukan secara daring, mengurangi beban administrasi.
Penguatan Pelatihan Profesional
Pemerintah dapat memfasilitasi pelatihan terkait akreditasi dan manajemen pendidikan teknik melalui lembaga seperti Diklatkerja.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
1. Mewajibkan Penerapan Outcome-Based Education (OBE)
Kebijakan nasional harus mengamanatkan OBE di seluruh program studi teknik. Hal ini dapat dilakukan melalui:
Perubahan regulasi akreditasi nasional yang mensyaratkan capaian pembelajaran berbasis kompetensi.
Penyediaan pelatihan bagi dosen tentang perancangan kurikulum berbasis OBE.
2. Mendorong Universitas untuk Mendapatkan Akreditasi Internasional
Pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau pendanaan khusus bagi perguruan tinggi yang:
Mengajukan akreditasi ABET, EUR-ACE, atau badan anggota Washington Accord.
Mengadopsi sistem penjaminan mutu berbasis standar global.
3. Membentuk Pusat Nasional Harmonisasi Kurikulum Teknik
Pusat ini bertugas:
Menyusun pedoman kurikulum yang kompatibel dengan Washington Accord.
Memfasilitasi pelatihan untuk pengelola program studi.
Mengintegrasikan teknologi digital dalam pembelajaran teknik.
4. Memperkuat Kolaborasi dengan Dunia Industri
Industri harus dilibatkan dalam:
Penentuan capaian pembelajaran OBE.
Program magang yang terstruktur.
Penyediaan laboratorium bersama untuk pengembangan teknologi.
5. Menetapkan Program CPD (Continuing Professional Development) Wajib
Lulusan dan dosen wajib mengikuti CPD yang:
Mengacu pada standar global akreditasi teknik.
Menyertakan pelatihan etika profesional dan teknologi baru.
Dapat diakses melalui platform daring seperti Standar Pendidikan Profesi.
Refleksi: Jalan Menuju Akreditasi Global dan Kompetensi Unggul
Pencapaian akreditasi internasional bukan sekadar formalitas—ini adalah langkah strategis untuk memastikan lulusan teknik memiliki daya saing global dan siap menghadapi tantangan industri modern. Dengan mengadopsi OBE, memperkuat kemitraan industri, dan mendorong universitas untuk masuk ke ekosistem akreditasi global, negara berkembang dapat:
Memperluas akses tenaga kerja ke pasar internasional.
Menjamin keselamatan publik melalui praktik rekayasa yang berkualitas.
Memperkuat daya saing nasional di era globalisasi.
Pemangku kebijakan, akademisi, dan industri harus berkolaborasi. Langkah kecil hari ini—seperti mengikuti pelatihan tentang akreditasi dan standar pendidikan profesional—akan berdampak besar pada masa depan.
Pelajari lebih lanjut melalui ABET: Gambaran Umum dan Sejarah Organisasi Akreditasi Teknik dan Teknologi dan Standar Pendidikan Profesi.
Sumber
Quadrado, J., & Robles, R. (2014). Engineering Education and Accreditation Challenges in Global Context.
International Engineering Alliance (IEA). Washington Accord Documents.
ABET. Criteria for Accrediting Engineering Programs.
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel Model-Model Pembelajaran Kreatif dan Kolaboratif menyoroti pergeseran penting dalam dunia pendidikan: dari pendekatan tradisional yang berpusat pada guru menuju pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif. Perubahan ini sejalan dengan tuntutan Revolusi Industri 4.0 yang menekankan kreativitas, berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi sebagai keterampilan inti abad ke-21.
Beberapa model pembelajaran yang dibahas antara lain:
Problem Based Learning (PBL): siswa dilatih memecahkan masalah nyata secara sistematis.
Project Based Learning (PjBL): siswa menghasilkan produk atau karya nyata melalui kerja tim.
Inquiry & Discovery Learning: siswa didorong untuk mengeksplorasi dan menemukan konsep sendiri.
Cooperative Learning: pembelajaran berbasis kelompok dengan tanggung jawab bersama.
Peer Tutoring & Team Teaching: kolaborasi antar siswa dan guru untuk saling mendukung proses belajar.
Temuan ini relevan dengan kebijakan publik karena Indonesia masih menghadapi tantangan kualitas pendidikan: rendahnya hasil asesmen internasional (PISA), kesenjangan antarwilayah, dan keterbatasan kompetensi pedagogik guru.
Dampak, Hambatan, dan Peluang: Analisis Kebijakan
Dampak Sosial
Implementasi pembelajaran kreatif dan kolaboratif dapat meningkatkan partisipasi aktif siswa, membangun kepercayaan diri, serta memperkuat kerja sama lintas latar belakang sosial.
Dampak Ekonomi
Dengan pembelajaran yang menumbuhkan kreativitas dan kolaborasi, lulusan sekolah akan lebih siap menghadapi dunia kerja modern, mengurangi angka pengangguran terdidik, dan meningkatkan daya saing global.
Dampak Administratif
Penerapan model ini menuntut reorientasi kurikulum dan pelatihan guru. Administrasi sekolah harus memberi ruang inovasi, termasuk fleksibilitas penilaian berbasis proyek.
Hambatan
Keterbatasan fasilitas belajar interaktif, khususnya di sekolah daerah.
Guru masih banyak yang terbiasa dengan metode ceramah.
Sistem evaluasi nasional (ujian) masih lebih menekankan hasil akhir, bukan proses belajar.
Peluang
Kurikulum Merdeka memberi ruang inovasi pembelajaran berbasis proyek.
Bonus demografi: generasi muda digital-native siap menerima pendekatan interaktif.
Dukungan teknologi (platform daring, LMS, media digital) memudahkan implementasi kolaboratif.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik
1. Reformasi Sistem Evaluasi Pendidikan
Ujian nasional berbasis pilihan ganda perlu diganti dengan penilaian autentik seperti portofolio, proyek, dan presentasi kolaboratif.
2. Program Pelatihan Guru tentang Pembelajaran Kreatif
Pemerintah perlu menyediakan pelatihan wajib bagi guru tentang model PBL, PjBL, dan cooperative learning. Teknik Kreativitas dalam Lingkungan Belajar dapat menjadi sarana peningkatan kapasitas.
3. Penyediaan Infrastruktur Pendidikan Kolaboratif
Sekolah perlu didukung dengan ruang belajar fleksibel, akses internet, serta media digital yang menunjang interaksi kelompok dan proyek.
4. Insentif untuk Sekolah Inovatif
Berikan penghargaan dan insentif bagi sekolah yang berhasil menerapkan model pembelajaran kreatif dan menghasilkan prestasi siswa di bidang inovasi.
5. Integrasi Soft Skills dalam Kurikulum Nasional
Soft skills seperti komunikasi, kepemimpinan, dan kerja tim harus masuk ke kurikulum inti agar siswa tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga siap berkontribusi di masyarakat.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika pembelajaran kreatif hanya ditekankan secara teoritis tanpa dukungan nyata (pelatihan guru, fasilitas, evaluasi baru), maka penerapannya hanya akan menjadi jargon. Kebijakan harus konsisten dari level pusat hingga sekolah.
Penutup: Peta Jalan Pendidikan untuk Indonesia
Artikel ini menegaskan bahwa pendidikan abad 21 menuntut lebih dari sekadar transfer pengetahuan. Indonesia perlu kebijakan yang memprioritaskan pembelajaran kreatif dan kolaboratif sebagai inti kurikulum. Dengan itu, generasi muda akan lebih adaptif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global.
Sumber:
Artikel “Model-Model Pembelajaran Kreatif dan Kolaboratif” – Jurnal Pendidikan (2025).
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 20 Agustus 2025
Pendahuluan: Mengapa Pembelajaran Singkat Penting?
Artikel karya Buus dan Georgsen (2017) mengangkat isu mendesak dalam pendidikan tinggi kontemporer, yaitu bagaimana merancang short learning programmes (SLPs) yang efektif di ranah further and continuing education. Fenomena ini muncul karena meningkatnya kebutuhan profesional untuk meningkatkan kompetensi dalam waktu singkat, sejalan dengan dinamika teknologi, kesehatan, manajemen, dan pendidikan sosial.
Penulis menyoroti realitas bahwa institusi pendidikan tinggi kini menghadapi tekanan ganda: di satu sisi dituntut menghadirkan inovasi digital dalam pembelajaran, di sisi lain harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi tenaga pengajar yang umumnya berakar pada tradisi tatap muka. Dilema inilah yang membentuk narasi argumentatif paper.
Resensi ini akan mengulas:
Kontribusi ilmiah dari kerangka learning design methodology yang diajukan.
Pemaknaan konsep kunci seperti blended learning, peran guru sebagai fasilitator, dan kolaborasi desain.
Refleksi teoritis terhadap angka, hasil, dan tantangan yang disajikan penulis.
Kritik metodologis terhadap pendekatan penulis.
Implikasi ilmiah dari temuan ini untuk masa depan pendidikan berkelanjutan.
Kontribusi Ilmiah: Memadukan Strategi Desain, Teknologi, dan Peran Guru
Fokus Paper
Buus dan Georgsen menekankan bahwa learning design methodology tidak boleh sekadar memindahkan praktik tatap muka ke ruang digital. Esensinya adalah transformasi, bukan translasi.
Mereka menunjukkan bahwa mayoritas dosen, saat pertama kali terlibat dalam desain kursus digital, cenderung:
Fokus pada konten dan kurikulum.
Mengabaikan pengalaman belajar siswa.
Menempatkan teknologi hanya sebagai pelengkap.
Kontribusi ilmiah utama paper ini ialah menawarkan kerangka metodologi desain pembelajaran yang melibatkan guru, desainer pembelajaran, dan produser kursus secara kolaboratif. Model ini menekankan pada user-involvement—menciptakan ruang partisipatif yang mendorong guru untuk merefleksikan identitas pedagogis mereka dalam ekosistem digital.
Implikasi Teoritis
Konsep blended learning diredefinisi sebagai arena pergeseran identitas profesional guru, bukan hanya format teknis.
Guru diposisikan sebagai fasilitator pembelajaran—mengarahkan proses, bukan sekadar penyampai konten.
Metodologi ini menekankan co-creation, yaitu desain bersama yang menghubungkan strategi organisasi, keterampilan individu, dan teknologi.
Kerangka Teoretis: Antara Pedagogi, Teknologi, dan Organisasi
Lapisan Strategis, Taktis, dan Operasional
Penulis menyajikan tiga tingkat integrasi desain:
Strategic level – kebijakan institusi dalam mendorong adopsi digital.
Tactical level – program dan struktur kursus yang disesuaikan.
Operational level – praktik sehari-hari guru di ruang kelas digital.
Ketiga level ini mencerminkan perspektif sistemik dalam teori organisasi pendidikan. Artinya, tantangan desain tidak hanya persoalan pedagogi individual, tetapi juga soal kerangka institusional yang mendukung.
Peran Guru dalam Kerangka Teoretis
Dalam konteks ini, guru menghadapi transformasi identitas:
Dari “sage on the stage” menuju “guide on the side”.
Dari penyampai pengetahuan menjadi fasilitator diskusi online.
Dari otoritas tunggal menjadi bagian dari tim desain multidisipliner.
Narasi Argumentatif: Dilema dan Tantangan
Vignette sebagai Titik Berangkat
Paper dibuka dengan vignette dua guru yang diminta mendesain ulang modul “Practical Methods in Social Science.” Kasus ini menggambarkan resistensi psikologis terhadap reduksi tatap muka dan adopsi teknologi.
Guru merasa:
Kehilangan ruang observasi langsung terhadap siswa.
Sulit membayangkan bagaimana interaksi online bisa menandingi kelas fisik.
Skeptis terhadap contoh desain digital karena “tidak sesuai gaya saya.”
Dari narasi ini, penulis berargumen bahwa tantangan terbesar bukan teknologi, melainkan mindset pedagogis guru.
Tantangan yang Diidentifikasi
Kurangnya pengalaman digital: banyak guru tidak terbiasa merancang pengalaman online.
Identitas profesional terguncang: guru sulit melihat diri mereka sebagai fasilitator online.
Keterbatasan metodologi partisipatif: desainer pembelajaran kesulitan memotivasi keterlibatan aktif guru.
Data dan Temuan: Refleksi Teoritis
Meskipun paper ini tidak berfokus pada statistik kuantitatif yang kompleks, beberapa angka dan hasil studi lapangan memberikan dasar refleksi:
5 tahun pengalaman: desain digital diuji dalam berbagai bidang (kesehatan, sosial, pendidikan, manajemen). Ini menunjukkan stabilitas metodologi dalam lintas disiplin.
Siklus singkat desain-delivery: kursus berputar cepat, menuntut metodologi yang fleksibel.
Keterlibatan guru meningkat setelah workshop kolaboratif, tetapi tetap ada kesenjangan keterampilan pedagogis digital.
Refleksi Teoritis
Angka-angka ini menegaskan bahwa transformasi desain pembelajaran adalah proses jangka panjang. Data lima tahun bukan hanya ukuran waktu, tetapi bukti bahwa evolusi pedagogis menuntut pembelajaran sosial dan organisasi, bukan sekadar adopsi teknologi.
Kritik terhadap Metodologi
Kurangnya kerangka evaluasi empiris yang terukur
Paper lebih deskriptif daripada analitis kuantitatif. Misalnya, tidak ada instrumen sistematis untuk mengukur efektivitas pembelajaran hasil desain baru.
Ketergantungan pada studi kasus internal
Seluruh temuan bersandar pada pengalaman VIA University College. Hal ini menimbulkan pertanyaan: seberapa universal metodologi ini jika diterapkan di konteks budaya/organisasi lain?
Potensi bias peran penulis
Karena penulis adalah bagian dari unit desain, ada risiko narasi terlalu optimistik, dengan minim kritik diri terhadap keterbatasan institusional.
Poin-Poin Utama yang Perlu Digarisbawahi
Blended learning bukan sekadar teknis: harus dilihat sebagai transformasi pedagogis.
Guru butuh dukungan organisasi: desain digital bukan tanggung jawab individu semata.
Kolaborasi lintas peran (guru, desainer, produser) adalah kunci keberhasilan.
Mindset matters: resistensi guru bukan soal teknologi, melainkan identitas profesional.
SLPs sebagai inovasi pendidikan: mempercepat siklus belajar untuk kebutuhan dunia kerja.
Refleksi Konseptual
Melalui paper ini, tampak jelas bahwa metodologi desain pembelajaran menjadi semacam “jembatan epistemologis” antara teori pendidikan, teknologi digital, dan praktik profesional.
Dari perspektif teori belajar, paper ini menggemakan prinsip konstruktivisme sosial: pembelajaran terjadi melalui interaksi, bahkan dalam ruang digital. Namun, tantangan muncul ketika guru masih memandang diri mereka sebagai pusat pengetahuan.
Potensi dan Implikasi Ilmiah
Bagi teori pendidikan: paper ini memperkaya diskursus tentang pergeseran identitas guru di era digital.
Bagi praktik institusi: menyediakan model integrasi multi-level (strategis, taktis, operasional).
Bagi kebijakan pendidikan: menekankan perlunya dukungan kelembagaan agar guru bisa berperan aktif dalam desain digital.
Bagi penelitian lanjutan: membuka ruang untuk studi empiris kuantitatif mengenai efektivitas metodologi ini pada outcome pembelajaran.
Kesimpulan
Paper Buus & Georgsen (2017) berhasil menunjukkan bahwa inovasi dalam short learning programmes tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi pada rekonfigurasi identitas pedagogis guru. Kontribusi utama paper ini adalah metodologi desain kolaboratif yang memberi ruang bagi guru untuk bertransformasi bersama desainer pembelajaran.
Meski metodologinya masih minim uji empiris, narasi reflektif dan kerangka konseptual yang ditawarkan memiliki potensi besar untuk membentuk arah baru dalam pendidikan berkelanjutan berbasis digital.
Dengan kata lain, masa depan continuing education ditentukan bukan hanya oleh seberapa canggih teknologi yang dipakai, tetapi oleh seberapa jauh guru bersedia mengubah cara mereka melihat diri dan peran mereka dalam ekosistem pembelajaran.
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 11 Agustus 2025
Pendahuluan
Artikel ini membahas hubungan antara praktik Soft Total Quality Management (Soft TQM) dan kinerja karyawan di lembaga pendidikan tinggi. Penulis menyoroti bahwa meskipun TQM telah banyak diterapkan di sektor industri dan manufaktur, penerapannya di sektor pendidikan tinggi—terutama dalam bentuk soft practices—masih jarang dikaji secara mendalam.
Fokus utama penelitian adalah menganalisis bagaimana dimensi Soft TQM seperti kepemimpinan, pelatihan, partisipasi karyawan, kerja tim, dan fokus pelanggan memengaruhi kinerja individu di lingkungan pendidikan tinggi. Penulis menekankan bahwa konteks pendidikan memiliki karakteristik berbeda dari industri profit, sehingga pengukuran dampak TQM memerlukan adaptasi konsep dan indikator yang tepat.
Kerangka Teori dan Konseptualisasi
1. Soft TQM
Penulis mendefinisikan Soft TQM sebagai pendekatan manajemen kualitas yang menekankan dimensi manusia, perilaku, dan budaya organisasi. Berbeda dengan hard TQM yang fokus pada alat dan prosedur teknis, Soft TQM berupaya membangun ekosistem kerja yang mendukung perbaikan berkelanjutan melalui:
Kepemimpinan transformasional
Pemberdayaan dan partisipasi karyawan
Pengembangan keterampilan melalui pelatihan
Kerja tim lintas fungsi
Fokus pada kepuasan pelanggan (mahasiswa)
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa perubahan perilaku dan budaya organisasi adalah pondasi peningkatan kualitas jangka panjang.
2. Kinerja Karyawan
Kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja individu yang diukur melalui kuantitas, kualitas, ketepatan waktu, dan kreativitas. Dalam konteks pendidikan tinggi, indikator ini disesuaikan dengan peran akademik dan administratif, termasuk pelayanan kepada mahasiswa, kontribusi akademik, dan inovasi layanan.
Kontribusi Ilmiah Artikel
Artikel ini memberikan tiga kontribusi utama:
Konfirmasi empiris hubungan Soft TQM dan kinerja karyawan di sektor pendidikan tinggi, yang sebelumnya masih jarang dibahas secara kuantitatif.
Pengembangan model konseptual yang mengintegrasikan lima dimensi Soft TQM dan kinerja karyawan, cocok untuk lingkungan non-profit.
Penggunaan metode Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji validitas hubungan antarvariabel, yang memberikan kekuatan analisis lebih dibanding pendekatan regresi sederhana.
Metodologi Penelitian
Pendekatan dan Desain
Penelitian ini menggunakan survei kuantitatif dengan kuesioner terstruktur, ditujukan kepada dosen dan staf di lembaga pendidikan tinggi. Pendekatan ini memungkinkan penulis mengukur persepsi responden terhadap implementasi Soft TQM dan kaitannya dengan kinerja mereka.
Populasi dan Sampel
Populasi: Seluruh tenaga kerja di beberapa lembaga pendidikan tinggi yang menjadi objek penelitian.
Metode sampling: Purposive sampling dengan kriteria keterlibatan langsung dalam proses pelayanan pendidikan.
Ukuran sampel: 384 responden (angka ini dihitung berdasarkan Cochran’s formula untuk memastikan ukuran sampel memadai).
Instrumen dan Pengukuran
Skala Likert 5 poin digunakan untuk mengukur setiap indikator.
Dimensi Soft TQM: kepemimpinan, pelatihan, partisipasi karyawan, kerja tim, fokus pelanggan.
Variabel dependen: kinerja karyawan.
Analisis Data
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terlebih dahulu.
Analisis jalur menggunakan SEM untuk menilai kekuatan hubungan antarvariabel.
Hasil Penelitian dan Angka Penting
Kepemimpinan
Memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan. Nilai koefisien jalur: 0,35. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang mendukung, memberikan arahan jelas, dan memotivasi berkontribusi langsung pada peningkatan output kerja.
Pelatihan
Berpengaruh positif dengan koefisien 0,28. Peningkatan keterampilan teknis dan non-teknis karyawan berdampak langsung pada efektivitas layanan.
Partisipasi Karyawan
Pengaruh positif signifikan, koefisien 0,24. Keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan meningkatkan rasa memiliki terhadap pekerjaan.
Kerja Tim
Memiliki koefisien 0,22, menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas fungsi dalam menjaga mutu layanan pendidikan.
Fokus Pelanggan
Memberikan kontribusi positif dengan koefisien 0,30. Memahami kebutuhan mahasiswa mendorong perbaikan layanan.
Model penelitian menjelaskan sekitar 65% variasi dalam kinerja karyawan (R² = 0,65), yang berarti mayoritas perbedaan kinerja dapat dijelaskan oleh kelima dimensi Soft TQM.
Refleksi Teoretis atas Temuan
Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa Soft TQM bukan sekadar pelengkap hard tools, tetapi merupakan inti dari keberhasilan implementasi TQM jangka panjang. Dalam konteks pendidikan tinggi, di mana layanan bersifat intangible dan hubungan interpersonal dominan, faktor manusia menjadi lebih kritis dibandingkan sistem teknis.
Secara konseptual, temuan ini juga menguatkan paradigma resource-based view (RBV): sumber daya manusia dengan kompetensi, motivasi, dan keterlibatan tinggi adalah keunggulan kompetitif yang sulit ditiru.
Analisis Argumentatif Penulis
Penulis membangun argumen dalam urutan logis:
Memaparkan pentingnya TQM dalam meningkatkan kualitas di sektor publik dan pendidikan.
Mengidentifikasi celah penelitian: dominasi studi hard TQM dan minimnya bukti empiris Soft TQM di pendidikan tinggi.
Mengusulkan model konseptual yang mengaitkan Soft TQM dan kinerja karyawan.
Menguji model tersebut secara empiris melalui SEM.
Menyimpulkan bahwa semua dimensi Soft TQM berkontribusi positif dan signifikan.
Pendekatan ini memadukan kerangka teori yang kuat dengan analisis data kuantitatif yang komprehensif.
Kritik terhadap Metodologi dan Logika
Kekuatan
Penggunaan SEM memberi validitas struktural pada model penelitian.
Sampel besar (384 responden) meningkatkan reliabilitas hasil.
Pengukuran multidimensi pada variabel independen membuat analisis lebih kaya.
Kelemahan
Keterbatasan generalisasi: fokus pada lembaga pendidikan tinggi di wilayah tertentu membuat hasil mungkin tidak berlaku di konteks internasional.
Desain cross-sectional: tidak dapat menangkap hubungan kausal jangka panjang.
Potensi bias persepsi: data self-reported bisa dipengaruhi keinginan responden untuk memberikan jawaban positif.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Potensi Ilmiah
Memperluas teori TQM dengan menekankan peran soft practices di sektor layanan publik.
Menawarkan model konseptual yang dapat diuji di sektor lain, seperti kesehatan atau pemerintahan.
Implikasi Praktis
Pihak manajemen pendidikan tinggi dapat memprioritaskan investasi pada pelatihan, penguatan kepemimpinan, dan keterlibatan karyawan.
Memahami mahasiswa sebagai “pelanggan” mendorong perbaikan berkelanjutan pada mutu layanan.
Kesimpulan Reflektif
Penelitian ini menegaskan bahwa Soft TQM memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap kinerja karyawan di pendidikan tinggi. Kelima dimensi—kepemimpinan, pelatihan, partisipasi, kerja tim, dan fokus pelanggan—saling melengkapi dalam menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan.
Secara ilmiah, artikel ini memperkuat pemahaman bahwa faktor manusia adalah inti keberhasilan TQM, khususnya di sektor yang berbasis layanan dan interaksi. Implikasi ke depan mencakup potensi replikasi model ini di sektor publik lain, serta pengujian hubungan kausal melalui studi longitudinal.