Pendidikan

UGM Luncurkan Platform Pembelajaran Daring UGM Online

Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 18 Februari 2025


Universitas Gadjah Mada melaksanakan sosialisasi platform pembelajaran daring UGM Online. Sosialisasi ini dibuka oleh Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med. Ed., Sp.OG (K), Ph.D., di Learning Center, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

UGM Online merupakan platform pembelajaran daring terbuka yang menawarkan berbagai macam program pembelajaran, mulai dari kredensial mikro (micro-credential), mata kuliah daring terbuka penuh (MOOCs), hingga kursus modular (modular course). Platform UGM Online dirancang untuk memberikan akses pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat luas, baik di Indonesia maupun di luar negeri (SDGs 4: Quality Education).

Sosialisasi platform UGM online dihadiri oleh Rektor, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan, Dekan Fakultas di UGM dan tim pengembangan Kanal Pengetahuan Fakultas/Sekolah. Rangkaian kegiatan diawali dengan sambutan dan arahan Rektor UGM. Selanjutnya pemaparan “Pemanfaatan UGM Online untuk Penguatan Kompetensi dan Skills oleh Direktur Direktorat Kajian dan Inovasi Akademik”. Direktur Direaktorat Teknologi Informasi mempresentasikan “Teknologi yang digunakan dalam UGM Online”. Pemaparan terakhir terkait Sistem Gain Sharing UGM Online” oleh perwakilan Direktorat Keuangan UGM.

“UGM Online merupakan celah dan peluang untuk kita dapat menyuarakan atau menyebarkan ilmu bukan hanya kepada mahasiswa tapi ke seluruh masyarakat Indonesia dan dunia, kita ingin UGM berperan lebih banyak dalam mencerdaskan bangsa dan masyarakat yang menggunakan platform UGM Online,” ujar Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D.

Rektor menegaskan bahwa UGM Online merupakan wujud komitmen inklusif UGM untuk memberikan akses pendidikan yang lebih luas dan berkualitas kepada masyarakat.

“Dengan UGM Online kita berharap proses pembelajaran lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan peserta, UGM Online membuka kesempatan lebih luas lagi bahwa nilai-nilai SDGs dapat ditularkan bukan hanya kepada generasi muda yang sempat belajar bertatap muka dengan dosen di Universitas Gadjah Mada tetapi dapat disebarkan lebih luas lagi ke seluruh daerah-daerah, sehingga kepentingan dari value yang ada pada SDGs ini dapat tersampaikan lebih luas lagi,” imbuhnya.

Platform UGM Online merupakan salah satu inovasi pembelajaran yang menawarkan berbagai kursus dari berbagai bidang studi, mulai dari ilmu pengetahuan alam, teknik, kedokteran, hingga humaniora. Dengan akses yang mudah melalui perangkat seluler atau komputer, pengguna dapat mengikuti kursus sesuai dengan kebutuhan dan minat.

“UGM Online memegang peranan penting dalam berkontribusi untuk meningkatkan pendidikan di masyarakat luas. Terdapat 3 model course pada UGM Online yaitu public course, free course dan paid course. Pada tahap rintisan ini terdapat 60 courses di UGM online, dan selama masa promosi ini diikuti oleh 2.223 peserta umum dan 728 mahasiswa pada platform UGM Online,” ungkap Direktur Direktorat Kajian dan Inovasi Akademik UGM, Dr.Agr.Sc. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU ASEAN Eng.

UGM Online diharapkan dapat menjadi platform pembelajaran terbuka yang bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan memberikan manfaat bagi masyarakat untuk belajar dan mengembangkan kompetensi dan skills.

Sumber: ugm.ac.id

Selengkapnya
UGM Luncurkan Platform Pembelajaran Daring UGM Online

Pendidikan

Dirjen Dikti Ristek ungkap tiga persoalan dasar pendidikan tinggi

Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 18 Februari 2025


Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan Ristek Republik Indonesia Abdul Haris mengungkapkan terdapat tiga persoalan mendasar pada pendidikan tinggi di Indonesia.

"Tiga hal itu adalah inequality of access atau ketimpangan akses pendidikan tinggi, inequality of quality atau ketimpangan dalam hal kualitas, serta kurangnya relevansi pendidikan tinggi (less relevance of higher education)," katanya dalam sarasehan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) Jawa Timur di Universitas Wahab Hasbullah (UNWAHA) Jombang, Sabtu.

Pihaknya mengungkapkan bahwa pemerintah mendorong peningkatan nilai angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi dan juga memperluas akses pendidikan tinggi yang berkualitas dalam mengatasi berbagai persoalan tersebut.

Pemerintah, kata dia, juga menemukan suatu dilema saat melihat adanya 1,2 juta pengangguran terdidik berdasarkan data BPS tahun 2022. Selain itu terjadi perubahan landscape dunia kerja bahwa ijazah dan gelar akademik tidak lagi menjadi jaminan untuk memperoleh pekerjaan.

"Dengan demikian pemerintah melalui Kemendikbud Ristek secara serius dalam membenahi hal tersebut dengan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi," kata dia.

Dirinya mengatakan, sejumlah perguruan tinggi juga terus didorong untuk meningkat pada rangking perguruan tinggi global, serta meningkatkan kualitas lulusan yang siap pada profesi tertentu.

Namun, ia menyebut ada kendala salah satunya faktor lambannya perguruan tinggi dalam beradaptasi dengan perubahan yang menjadi persoalan serius dewasa ini.

Selain itu, juga munculnya model alternatif dalam pendidikan dan pelatihan yang berbasis digital karena dapat secara fleksibel dan murah dari segi operasionalnya.

"Oleh sebab itu Dirjen Dikti partisipasi dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak bisa dinafikkan," kata dia.

Ia menyebut, dari sekitar 9,8 juta mahasiswa Indonesia, hampir 5,1 juta mahasiswa kuliah di perguruan tinggi swasta.

Untuk itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Ristek juga berkolaborasi dengan pengelola perguruan tinggi swasta, termasuk perguruan tinggi di lingkungan Nahdlatul Ulama mengurangi ketimpangan akses layanan pendidikan tinggi, kualitas pendidikan tinggi, dan relevansi pendidikan tinggi tersebut.

Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi NU Jawa Timur Achmad Jazidie mendukung dan menyambut baik apa yang disampaikan oleh Dirjen Dikti. LPTNU yang didirikan sejak 2010 telah cukup lama bersama PTS NU untuk turut serta meningkatkan SDM bangsa dalam wadah organisasi Nahdlatul Ulama.

"Di Jawa Timur, sedikitnya ada 104 PTS yang berafiliasi dengan LPTNU Jatim, hal ini tentu tidak sedikit," kata Jazidie yang juga Rektor Unusa ini.

Hadir sebagai pembicara sarasehan tersebut selain Dirjen Dikti, Direktur Diktis Kemenag yang diwakili Kasubdit Ketenagaan M. Aziz Hakim, Dewan Eksekutif BAN PT Slamet Wahyudi, serta Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi PBNU Ainun Na'im.

Kegiatan sarasehan dan halal bihalal ini diikuti sedikitnya 200 peserta PTNU se-Jawa Timur, Pengurus LPTNU Jawa Timur serta pimpinan Universitas K.H. Wahab Hasbullah. Perguruan tinggi ini berada dikawasan Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang.

Sumber: img.antaranews.com

Selengkapnya
Dirjen Dikti Ristek ungkap tiga persoalan dasar pendidikan tinggi

Pendidikan

Menantang Neoliberalisasi: Membiayai Pendidikan Tinggi secara Adil dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 18 Februari 2025


Pendidikan tinggi (mestinya) menjadi public good

Pendidikan tinggi memang telah lama menanggalkan amanat sebagai wahana demokratisasi dan bersekongkol dengan logika pasar (neoliberalisasi), ungkap Henry Giroux, akademisi asal Amerika Serikat. 

Dalam konteks Indonesia, persoalan neoliberalisasi pendidikan tinggi juga sudah jamak diulas oleh beberapa akademisi yang fokus pada ilmu pendidikan (pedagogi), seperti oleh Ben Laksana, Andrew Rosser, dan  Joko Susilo. Semua studi sepakat bahwa wujud nyata neoliberalisasi pendidikan tinggi dapat juga disebut sebagai korporatisasi kampus.

Neoliberalisasi maupun korporasi kampus bukan hanya menyangkut masalah aksesibilitas, tetapi sesungguhnya juga suasanatakademik yang membungkusnya, yaitu kurikulum pendidikan tinggi yang cenderung disusun ‘hanya’ untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. 

Di Indonesia, gejala ini semakin jelas ketika pemerintah memberikan otonomi kepada PTN melalui skema BHMN (Badan Hukum Milik Negara) pada 2000 dan kemudian PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum) pada 2012 melalui pengesahan UU No. 12 tahun 2012 (UU Pendidikan Tinggi – Dikti). Pemerintah memang tetap akan membiayai PTN, namun mereka konsisten bersikeras bahwa pendidikan tinggi bukan barang publik (public good) yang harus dibiayai penuh oleh negara. 

Hal ini terlihat dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010 yang disusun pada 2004 atau delapan tahun sebelum pemerintah meresmikan UU Dikti. Pada halaman 9 dokumen tersebut, tertera pernyataan, “Pendidikan tinggi lebih bersifat sebagai barang privat daripada barang publik. Oleh karena itu, sebagai pihak yang akan mendapatkan manfaat langsung, mahasiswa yang mampu harus ikut berpartisipasi membiayai pendidikannya.”

Padahal, di saat yang sama, pemerintah juga meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) melalui UU No.11 Tahun 2005. Dalam pasal 13 ayat (2) huruf c kovenan yang diformulasikan unit kerja PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNOHCR) tersebut dikatakan, “Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.

”Seharusnya, dengan meratifikasi Kovenan Ekosob sebagai dasar hukum yang mengikat selayaknya undang-undang, kewajiban negara terkait penyediaan pendidikan tidak hanya berhenti pada pendidikan dasar atau menengah, tetapi juga mencakup akses pada pendidikan tinggi."

Semenjak empat PTN (Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor) diresmikan menjadi BHMN pada 2000, biaya pendidikan dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terus meningkat dengan porsi pembiayaan yang mayoritas bersumber dari dana masyarakat.

Contohnya, sejak adanya otonomi pendidikan tinggi dalam bentuk PTN-BH, universitas mencari pemasukan utama dari penambahan jumlah mahasiswa, bukan dari sumber produktif lainnya. Berdasarkan data Bappenas pada 2019, pemasukan utama pembiayaan PTN-BH bersumber dari masyarakat (37%), baru disusul dana pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – APBN) sebesar 33%.

Seorang mantan petinggi Dikti pada 2016 pernah memberi gambaran ideal bahwa PTN-BH sebaiknya didanai sebesar 40% dari negara, 30% dari uang kuliah mahasiswa, dan sisa 30% dari pemasukan internal PTN yang bersangkutan. Kebutuhan dana operasional Universitas Indonesia pada 2019 misalnya, mencapai angka Rp 293,8 Miliar yang sebagian besar dipenuhi melalui alokasi BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) dan non-APBN. Hanya jika biaya operasional rutin ini terpenuhi, PTN dapat berkreasi untuk mencari dana bagi kegiatan riset, kolaborasi, dan program inovasi lainnya. 

Alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20% tidak boleh dijadikan lip service (omong kosong) belaka, tetapi harus benar-benar diwujudkan dalam bentuk investasi pendidikan. Angka 20% tidak dimaksudkan untuk membayar gaji pegawai, melainkan diperhitungkan untuk menutup student unit cost (Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi – SSBOPT). Dengan itu, kampus tidak perlu membebankan biaya tersebut ke mahasiswa, apalagi sampai membuat mahasiswa harus mencari pinjaman dana ke lembaga pemberi pinjaman online

Besarnya dana operasional perguruan tinggi yang tidak didanai secara memadai oleh pemerintah dan otonomi keuangan membuat PTN-BH kembali pada skema pembiayaan lama (tetapi baru), yaitu pinjaman mahasiswa atau student loan. Skema ini sudah pernah dijalankan di era 1980 dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia dan kini kita lihat kembali dalam kasus di ITB.

Bedanya, kasus di ITB melibatkan pihak ketiga berupa perusahaan penyedia jasa pinjaman online yang memberikan bunga pinjaman cukup mencekik. Pinjaman online semacam itu juga memiliki reputasi buruk di Indonesia, karena lebih banyak menyengsarakan masyarakat akibat bunga yang mereka bebankan.

Berbagai contoh gagal skema student loan bisa kita pelajari bersama. Implementasi student loan terburuk bisa kita lihat di Amerika Serikat yang membebaskan skema student loan ke pasar dengan bunga pinjaman variatif. Dalam studi yang dirilis oleh Brookings Institution tahun 2017, sebanyak 28-29% penerima pinjaman kuliah bahkan tidak mampu membayar kembali pinjaman yang telah diterimanya (default).

Mencari Itikad pembiayaan yang adil dan berkelanjutan?

Beberapa skema yang terbukti berhasil, seperti pemanfaatan dana abadi ala LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang mengumpulkan dana beasiswa di luar APBN, patut dipertimbangkan. Jika strategi penggunaan dana abadi dialihkan untuk keperluan biaya operasional rutin, kebutuhan untuk terus mengandalkan biaya kuliah dari mahasiswa dapat ditekan. 

Dengan kata lain, jika pemanfaatan dana abadi diestimasi dengan rata-rata biaya operasional PTN, praktik seperti perlombaan menambah jalur mandiri dan menambah jumlah mahasiswa bisa ditekan dan masyarakat tidak dibebankan dengan biaya kuliah yang tinggi. Keterampilan dalam mengelola dana abadi ini juga akan berpengaruh dalam hal kemampuan menggaji dosen dengan layak.

Selain itu, peran pemerintah daerah seharusnya lebih dioptimalkan dalam pembiayaan pendidikan tinggi ke depan, ketimbang hanya mengandalkan kenaikan UKT atau jalur mandiri yang tidak diawasi pemerintah pusat. Ini penting, sebab berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah, pemerintah daerah masih sangat minim berperan dalam mendanai penyelenggaraan pendidikan tinggi. 

Meskipun berbagai PTN-BH memiliki otonomi, pemerintah daerah tetap tidak memiliki tanggung jawab terhadap berbagai perguruan tinggi yang terdapat di wilayahnya. Kendala bagi pemerintah daerah dalam membiayai pendidikan tinggi juga terletak di beberapa regulasi yang membatasi kontribusi mereka sebatas dalam bentuk pemberian aset.

Padahal, dalam jangka panjang, pembiayaan pendidikan tinggi yang hanya mengandalkan dana pemerintah pusat tidak lagi strategis dan berkelanjutan. Apalagi, ketika pembuat kebijakan tidak memiliki orientasi untuk melihat pendidikan tinggi sebagai sebuah hak yang harus diupayakan negara.

Sumber: anotasi.org

 

Selengkapnya
Menantang Neoliberalisasi: Membiayai Pendidikan Tinggi secara Adil dan Berkelanjutan

Pendidikan

Mengkombinasikan Kelas Maya dan Kuliah Tatap Muka: Antara Harapan dan Tantangan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Februari 2025


KOMPAS.com - Terkait rencana terbatas pembelajaran tatap muka (PTM), Wakil Presiden Republik Indonesia dan Ketua Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU), Prof. Mohammad Nasir, jawabnya. Nasir berharap, perkuliahan tatap muka terbatas tidak dimaknai sebagai akhir dari perkuliahan daring. Menurutnya, perkuliahan daring merupakan sebuah langkah maju yang sangat berharga dalam dunia pendidikan. “(Dengan bantuan pembelajaran daring) kita sudah mengalami kemajuan. Bahwa perkuliahan daring tidak boleh ditolak dan ditarik kembali. “Bahkan perlu kita kombinasikan dengan pembelajaran daring dan perkuliahan tatap muka,” kata Nasir yang juga mantan Menteri Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi itu dalam Webinar Komunitas Pusat Vidya Utama (Sevima). , Selasa (27 April 2021).

Menurut Nasir, dunia pendidikan harus menggunakan metode ini sebagai alat untuk membawa pendidikan Indonesia ke jenjang yang lebih tinggi. Nasir meyakini metode pembelajaran gabungan atau kombinasi antara tatap muka dan perkuliahan daring bisa menjadi solusi untuk menciptakan hasil pendidikan yang lebih baik di Indonesia. Dengan kata lain, menggabungkan keunggulan pembelajaran daring. Dan menutupi kekurangan dengan tatap muka. -pembelajaran tatap muka.-perkuliahan tatap muka. Artinya tidak ada metode yang tertinggal dengan kombinasinya. “Perlu ditegaskan, dengan adanya pandemi ini kita memahami bahwa pembelajaran daring tidak berarti mengurangi hakikat belajar mengajar, dan sama sekali tidak menjadi hambatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang cerdas dan kompeten,” kata Nasir.

Keunggulan Blended Learning

Menggabungkan perkuliahan tatap muka dan daring mempunyai beberapa keunggulan, yaitu:

1. Peluang

Berbeda dengan komunitas pendidikan sekolah yang biasanya memilih tatap muka -belajar tatap muka, siswa dan orang tuanya justru lebih nyaman. belajar daring “Karena mahasiswa cenderung mandiri dalam belajar. Selain itu, penelitian di universitas negeri menunjukkan bahwa mahasiswa suka belajar online.”

2. Dari sudut pandang ekonomi.

Kelas online berarti mahasiswa luar kota tidak perlu belajar online. tidak perlu mengemudi atau terbang." Ini merupakan penghematan besar bagi keluarga,” tambah Nasir.

3. Pekerjaan lebih mudah bagi mahasiswa yang bekerja

Mereka dapat mengikuti perkuliahan online di mana saja, kapan saja. Rekaman kuliah online dapat dilihat kapan saja. Begitu pula dengan mata kuliah yang dapat diambil nantinya jika memenuhi batas waktu yang ditentukan. Cara ini biasa disebut pembelajaran asynchronous (tidak langsung). “Itulah kemudahan perkuliahan online, bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan di mana saja (anywhere). Meski mahasiswa menghadapi perkuliahan tatap muka terbatas, namun pembelajaran daring memungkinkan mereka memperdalam perkuliahan,” kata Nasir.

Tidak, Anda tetap dapat menyampaikan perkuliahan online secara penuh, namun perkuliahan online pun memiliki tantangannya masing-masing. Apalagi kesempatan belajar yang tidak merata. Beberapa kursus tidak memerlukan latihan. Hal ini menjadi lebih sulit karena tidak adanya perkuliahan tatap muka. Nasir mengungkapkan sebenarnya ada solusi teknis untuk mengatasi permasalahan tersebut. Misalnya saja penggunaan kecerdasan buatan (AI), virtual reality (VR) dan mekanisme pembelajaran otomatis lainnya. Namun tidak semua lapisan masyarakat mempunyai pilihan tersebut, karena harganya yang cukup mahal. “Di Kanada, mahasiswa kedokteran bisa menggunakan VR Box (kacamata virtual tiga dimensi) sehingga mereka bisa berhadapan langsung dengan pasien dan melatih keterampilannya. Tapi harus diakui fasilitas ini mahal, sangat mahal,” tambah Nasir.

Jadi solusi terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan memperbanyak penggunaan e-learning dan membatasi perkuliahan tatap muka.Nasir menyambut baik dengan adanya perkuliahan tatap muka terbatas ini dan menyarankan agar protokol kesehatan dijalankan dengan baik. Yakni menerapkan protokol 5M: mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi pergerakan. Nasir, kata ceramahnya, yaitu:

  1. Kurangi jam kerja fisik dan gantikan dengan opsi lain.
  2. Siapkan perencanaan olahraga atau olahraga yang efektif di lembaga pendidikan.
  3. Siapkan tutorial online dalam jumlah yang memadai.
  4. Anda harus benar-benar mengikuti aturan kesehatan. Demikian pendapat Nasih dan pakar kesehatan Sukadiano mengenai rencana perkuliahan perguruan tinggi.

Sumber: kompas.com

Selengkapnya
Mengkombinasikan Kelas Maya dan Kuliah Tatap Muka: Antara Harapan dan Tantangan

Pendidikan

Revitalisasi Pendidikan: Radio Suara Edukasi UMY sebagai Solusi KBM Daring

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Februari 2025


KOMPAS.com - Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan kegiatan belajar mengajar di semua jenjang pendidikan dilakukan secara daring.

Sekolah-sekolah saat ini terpaksa melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dari rumah. Bahkan situasi seperti ini sudah berjalan hampir satu tahun. Tentunya kondisi ini mendatangkan tantangan serta kejenuhan baik bagi guru maupun siswa.

Meski bisa memanfaatkan teknologi yang ada, tapi hal ini juga terkendala belum meratanya jaringan internet di tiap daerah.

Melihat kondisi ini, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mencoba menawarkan sebuah solusi.

Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) dibantu Kuliah Kerja Nyata (KKN) Muhammadiyah Mengajar meluncurkan saluran dan juga studio Radio Suara Edukasi di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Penggung, Kokap, Kulonprogo, DIY.

Solusi ini dinilai terjangkau bagi semua kalangan masyarakat untuk mengatasi problema sekolah daring.

"Solusi yang ditawarkan terbilang murah dan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat khususnya Kulonprogo dengan Radio Suara Edukasi ini," terang Rektor UMY Dr. Ir. Gunawan Budiyanto seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (19/2/2021).

SD Penggung dipilih karena daerah sekitar SD Penggung belum terjangkau jaringan internet yang mumpuni. "Sehingga ini menjadi alternatif yang sangat bagus sebagai media pembelajaran di era sekarang (pandemi)," imbuh Gunawan.

Radio Suara Edukasi yang memiliki tagline Sekolah di Udara dapat diakses pada jaringan 107.8 Mhz.

Sementara itu Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Penggung Ririn Agustian menambahkan, adanya program Radio Suara Edukasi ini menjadi angin segar bagi guru-guru SD Muhammadiyah Penggung. Karena bisa memberikan alternatif belajar yang baru bagi siswa.

"Jujur saja, siswa sudah banyak yang mengeluh dengan kondisi belajar saat ini. Jadi ini menjadi angin segar bagi kami untuk menjadikan Radio Suara Edukasi sebagai media pembelajaran yang baru," ungkap Ririn.

Di sisi lain, adanya Radio Suara Edukasi menjadi salah satu daya tarik masyarakat karena Radio Suara Edukasi sudah masuk sebagai ekstrakurikuler baru.

"Jadi siswa bisa mencoba menjadi penyiar," imbuh Ririn.

Kelompok KKN 01 UMY Muhammadiyah Mengajar yang dihadirkan di SD Muhammadiyah Penggung bertugas membentuk program pembelajaran menggunakan radio tersebut.

Ada harapan kegiatan ini akan terus berlanjut, dan akan lahir karya-karya baru dari siswa melalui media Radio tidak hanya untuk media pembelajaran saja.

Sumber: kompas.com

 

Selengkapnya
Revitalisasi Pendidikan: Radio Suara Edukasi UMY sebagai Solusi KBM Daring

Pendidikan

Pengamat Pendidikan UGM Khawatir Learning Loss Akibat PJJ Berkepanjangan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Februari 2025


KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 belum juga usai. Pelajar dan mahasiswa masih harus mengikuti kebijakan dari pemerintah untuk melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau sekolah daring.

Meski sudah didukung dengan berbagai teknologi selama menjalani PJJ, masih ada celah yang menyebabkan pembelajaran di rumah ini menjadi kurang efektif.

Salah satu hal yang dikhawatirkan jika pembelajaran di rumah ini berlangsung dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan adanya learning loss atau berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis.

Menurut Pengamat Pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Budi Santoso Wignyosukarto, ada perbedaan signifikan ketika pembelajaran dilakukan secara tatap muka dan sekarang harus dilakukan secara daring.

Prof. Budi menerangkan, proses pembelajaran yang lama mempunyai waktu komunikasi intens dengan mahasiswa. Selain itu juga ada waktu bagi mahasiswa melakukan kegiatan praktikum untuk memahami kenyataan suatu teori.

Namun dengan adanya sekolah daring, semuanya dilakukan dengan media video dan komunikasi virtual.

"Kalau ketemu mahasiswa yang haus ilmu, akan dihasilkan produk yang relatif sama. Tapi kalau ketemu dengan mahasiswa yang hanya menginginkan ijazah, hasilnya jelas berbeda," kata Prof Budi kepada Kompas.com, Jumat (12/2/2021).

Prof. Budi mengungkapkan, selama pandemi ini, pengajar tidak dapat melihat dari nilai ujian yang diperoleh mahasiswa saja. Selama PJJ ini hampir jarang ditemukan mahasiswa dengan nilai C.

Metode pemberian ujian dengan cara sebelum ada pandemi tidak dapat serta merta diterapkan pada saat ini. Pasalnya mahasiswa bisa mengupload jawaban ujian yang sama dengan temannya yang pandai. Walaupun pengajar sudah membatasi waktu ujian daring.

"Jadi harus ada cara pembelajaran yang sesuai dengan pola pembelajaran daring ini. Kalau di Luar Negeri jumlah mahasiswa di kelas hanya 20-an. Mudah untuk membuat cara penilaian, karena dosen mempunyai waktu lebih banyak," papar mantan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2Dikti) Wilayah V ini.

Prof. Budi mengungkapkan, salah satu tanda yang menunjukkan mahasiswa mengalami learning loss selama mengikuti pembelajaran jarak jauh yakni saat menulis skripsi atau Tugas Akhir (TA) tidak bisa merangkai dan menjelaskan problema dari sisi ilmu yang dipelajarinya.

Demikian pula saat bekerja nanti, mahasiswa tersebut akan menemui kesulitan berhadapan dengan problema yang harus diselesaikan.

"Kalau sekolah lanjut akan frustasi karena ilmunya tidak sampai. Kasus anak-anak jalanan yang putus sekolah adalah contoh mereka yang mengalami learning loss. Mereka menganggap sekolah itu hanya formalitas mendapatkan ijazah sebagai kunci pembuka untuk jenjang berikutnya. Bukan sebagai aset atau bekal bagi masa depannya," ungkap Prof. Budi.

Prof Budi menekankan, di masa pandemi ini bisa saja menghasilkan mahasiswa yang menganut sistem 'yang penting lulus'. Tapi pengajar juga mempunyai kesulitan untuk mengukur keberhasilan pembelajaran.

Kalau dari ujian satu mata kuliah biasanya bisa diperoleh 10 persen terbaik, sekarang bisa mencapai 80 persen. Dan pasti ada mahasiswa yang masuk klasifikasi haus ilmu, karena ada pekerjaan ujian yang betul-betul baik dan benar jawabannya.

Prof. Budi memberi contoh, dalam 2 tahun lagi berapa jumlah wisudawan yang mendapat predikat cumlaude. Jika jumlahnya lebih banyak hal tersebut belum tentu berarti sistem PJJ yang diterapkan saat ini berhasil.

"Perlu pembuktian lapangan apakah produk mereka nanti juga akan lebih baik. Yang perlu diusahakan untuk mahasiswa adalah keseriusan mereka dalam mengikuti proses pembelajaran. Mereka harus menunjukkan kesuksesan nilai yang didapat juga mencerminkan kesuksesan mereka menambah ilmu pengetahuan," imbuh Prof. Budi. 

Namun bagi anak-anak yang sudah dapat menyesuaikan dengan cara daring ini, mungkin akan bisa lebih cepat dan lebih maju daripada ilmu di tempat kuliah. Karena dia akan 'mengeruk' ilmu yang banyak dan terbuka di dunia digital.

Prof. Budi berharap, pemerintah dapat memperkuat jaringan komunikasi untuk mengantisipasi adanya learning loss. Dengan cara ini diharapkan bisa mempermudah masyarakat untuk mendapatkan sarana komunikasi yang terjangkau.

Sumber: kompas.com

 

Selengkapnya
Pengamat Pendidikan UGM Khawatir Learning Loss Akibat PJJ Berkepanjangan
« First Previous page 26 of 46 Next Last »