Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Manajemen risiko merupakan komponen penting dalam pengelolaan proyek, terlebih dalam konteks proyek infrastruktur publik yang kompleks, penuh ketidakpastian, dan dikelola dalam lingkungan organisasi besar seperti lembaga pemerintah. Dalam tesis bertajuk “Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects,” Dylan Vorgers secara mendalam mengeksplorasi bagaimana strategi manajemen risiko dipilih dalam proyek-proyek publik, serta apa saja faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pilihan tersebut.
Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi kasus terhadap Rijkswaterstaat—lembaga eksekutif dari Kementerian Infrastruktur dan Manajemen Air Belanda—penelitian ini tidak hanya mengupas proses teknis pengelolaan risiko, tetapi juga menyentuh sisi budaya organisasi, dinamika tim, dan tekanan akuntabilitas publik. Artikel ini akan membahas temuan utama dari tesis tersebut, disertai studi kasus, kutipan wawancara, dan data numerik, sekaligus mengaitkannya dengan tren manajemen proyek modern.
Mengapa Strategi Manajemen Risiko Itu Penting?
Proyek infrastruktur publik seperti pembangunan jalan, bendungan, atau sistem irigasi beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan tidak pasti. Hal ini ditandai oleh banyaknya pemangku kepentingan, regulasi ketat, dan ekspektasi publik yang tinggi. Dalam lingkungan seperti itu, risiko seperti perubahan iklim, keterlambatan kontraktor, atau resistensi dari masyarakat lokal dapat muncul dengan cepat dan sulit diprediksi.
Tesis ini menyoroti bagaimana tim manajemen proyek (PMT) menghadapi dilema dalam memilih strategi pengelolaan risiko: apakah mereka akan menghindari, menerima, mengendalikan, atau mentransfer risiko. Namun, kenyataannya, sebagaimana terungkap dalam riset, pilihan tersebut jarang menjadi keputusan eksplisit.
Studi Kasus Rijkswaterstaat: Realitas Lapangan yang Kompleks
Penelitian ini berfokus pada Rijkswaterstaat sebagai studi kasus utama. Organisasi ini bertanggung jawab atas berbagai proyek infrastruktur besar di Belanda, dan telah mengintegrasikan kerangka kerja manajemen risiko berdasarkan standar internasional seperti COSO-ERM dan ISO 31000.
Dalam studi ini, Dylan melakukan analisis terhadap 16 risk file dari proyek-proyek berbeda, termasuk proyek jalan, air, dan teknologi informasi. Proyek-proyek ini mencakup fase yang beragam—dari perencanaan hingga pelaksanaan akhir—sehingga memberikan cakupan data yang luas dan variatif.
Dari 16 risk file yang dianalisis, ditemukan bahwa 89% tindakan mitigasi risiko bersifat preventif, sedangkan hanya 11% yang bersifat korektif. Ini menunjukkan adanya kecenderungan kuat dalam organisasi untuk menghindari risiko ketimbang menerima atau menanganinya saat risiko tersebut benar-benar terjadi.
Temuan Utama: Kontrol Risiko Mendominasi
Salah satu hasil penting dari penelitian ini adalah kecenderungan dominan untuk menggunakan strategi kontrol risiko. Dalam wawancara dengan 15 anggota PMT, mayoritas menyatakan bahwa strategi pengendalian (controlling) menjadi pendekatan standar, meskipun tidak selalu melalui pertimbangan eksplisit antara empat strategi yang tersedia. Bahkan, beberapa responden tidak menyadari bahwa ada empat strategi utama dalam pengelolaan risiko.
Sebagai contoh, seorang manajer proyek mengatakan, “Kami terutama berusaha mengurangi peluang dan konsekuensi dari risiko.” Ini menunjukkan bahwa pendekatan default adalah pengendalian, bukan keputusan strategis yang didasarkan pada konteks atau analisis biaya-manfaat.
Kelemahan dari Pendekatan “Over-Control”
Strategi kontrol yang berlebihan membawa dampak tersendiri. Dalam proyek besar, banyaknya tindakan kontrol menyebabkan file risiko menjadi sangat besar dan kompleks. Hal ini justru membuat tim kesulitan untuk memantau dan mengelola risiko secara efektif. Salah satu manajer proyek menyatakan bahwa sulit untuk menjaga keterlibatan semua pihak terhadap daftar risiko yang terlalu panjang.
Fakta ini mencerminkan gejala "over-management" yang pernah dikritik oleh Mikes (2009) dan Power (2009), yaitu ketika perhatian terhadap risiko berlebihan justru melemahkan efisiensi proyek.
Peran Budaya Organisasi dan Akuntabilitas Publik
Penelitian ini mengungkap bahwa strategi manajemen risiko tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan teknis, tetapi juga oleh faktor budaya organisasi. Dalam konteks Rijkswaterstaat, terdapat budaya yang sangat menekankan pada kontrol dan minimisasi risiko. Hal ini berkaitan erat dengan peran organisasi sebagai pelayan publik yang harus menjaga keselamatan dan keandalan infrastruktur nasional.
Sebanyak 7 dari 15 anggota tim PMT secara eksplisit menyebut bahwa “mengendalikan risiko adalah bagian dari budaya Rijkswaterstaat.” Nilai-nilai organisasi seperti “selalu ingin menunjukkan kontrol penuh” menjadikan penerimaan risiko sebagai hal yang tabu, karena dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian atau ketidaksiapan.
Di sisi lain, akuntabilitas publik juga menjadi faktor penekan. Risiko yang direalisasi (materialized risks) bisa memicu pertanyaan dari parlemen atau pengawasan publik, sehingga mendorong organisasi untuk lebih memilih kontrol ketat ketimbang menerima risiko.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Strategi
Vorgers membagi faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan strategi risiko menjadi dua kategori utama: faktor yang berasal dari tim proyek (PMT) dan faktor dari organisasi induk.
Dari sisi PMT, terdapat variasi persepsi risiko yang besar antar individu. Beberapa anggota tim bersifat risk-averse, sementara yang lain lebih toleran. Dalam sesi diskusi kelompok (risk sessions), perbedaan ini menjadi arena diskusi terbuka yang konstruktif. Salah satu responden menyatakan bahwa diskusi kolektif membantu menghindari penilaian risiko yang terlalu subjektif dan ekstrem.
Namun, efek seperti groupthink dan tekanan kelompok juga menjadi tantangan. Bila suasana tim tidak mendukung kritik terbuka, maka strategi yang dipilih bisa saja bias.
Dari sisi organisasi induk, selain budaya dan akuntabilitas publik, faktor seperti sistem pelaporan dan dokumentasi risiko juga berperan besar. Risk file tidak hanya digunakan untuk internal proyek, tetapi juga untuk laporan ke pemangku kepentingan, anggaran, dan negosiasi kontrak. Ini menyebabkan preferensi terhadap kuantifikasi risiko dalam angka (dampak waktu dan biaya), meskipun beberapa risiko tidak mudah dikalkulasikan secara matematis.
Implikasi Praktis dan Tantangan Strategis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemampuan memilih strategi yang tepat sangat penting untuk efisiensi sumber daya proyek. PMT perlu diberi ruang untuk membuat penilaian strategis berdasarkan konteks, bukan sekadar mengikuti prosedur standar.
Empat tantangan utama yang diidentifikasi oleh Dylan Vorgers dalam tesis ini adalah:
Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi dan Infrastruktur Global
Temuan dalam studi ini sangat relevan dengan situasi global, terutama di negara-negara dengan birokrasi besar dan proyek-proyek publik berskala raksasa. Dalam banyak proyek internasional seperti pembangunan bendungan di Ethiopia, proyek MRT di Jakarta, atau sistem pengolahan limbah di Jerman, tekanan untuk “tidak gagal” menyebabkan organisasi memilih pendekatan risk-averse yang ekstrem. Padahal, dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, justru dibutuhkan fleksibilitas dan keberanian untuk menerima risiko tertentu.
Penelitian ini menambah kontribusi penting terhadap diskursus manajemen risiko proyek, terutama karena menyatukan pendekatan teoritis dengan praktik nyata di lapangan, serta memberikan bukti empiris dari organisasi kelas dunia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Tesis Dylan Vorgers memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana strategi manajemen risiko dipraktikkan dalam proyek infrastruktur publik dan mengapa pendekatan yang terlalu kaku dapat menimbulkan inefisiensi. Organisasi publik perlu mengembangkan budaya risiko yang seimbang—berani menerima ketidakpastian saat memang diperlukan, dan fokus pada kontrol saat memang risiko dapat dikendalikan dengan efektif.
Pendekatan strategis semacam ini membutuhkan kepemimpinan organisasi yang visioner, sistem pelatihan yang baik bagi PMT, dan kerangka kerja yang mendukung penilaian kualitatif serta diskusi terbuka. Pada akhirnya, keberhasilan proyek publik tidak hanya bergantung pada seberapa banyak risiko yang dihindari, tetapi juga pada ketepatan strategi dalam mengelola risiko tersebut secara proporsional dan kontekstual.
Sumber Asli:
Vorgers, Dylan. Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects. Master Thesis. University of Twente, Faculty of Engineering Technology, Civil Engineering and Management. 2020.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Dalam dunia pembangunan infrastruktur modern, pendekatan Public-Private Partnership (PPP) telah menjadi salah satu mekanisme utama untuk mengatasi keterbatasan dana publik. Namun, di balik struktur pembiayaan inovatif ini terdapat tantangan besar terkait manajemen risiko, terutama dalam konteks likuiditas. Disertasi karya Winij Ruampongpattana yang berjudul Risk Allocation in Public-Private Partnership Infrastructure Projects from the Perspective of Liquidity Supply membongkar kompleksitas alokasi risiko dalam proyek PPP dengan fokus yang jarang dibahas: pasokan likuiditas. Penelitian ini menyoroti pentingnya penyesuaian prinsip alokasi risiko konvensional untuk menghadapi tantangan nyata di negara berkembang, khususnya dalam menghadapi kejutan likuiditas akibat bencana atau kegagalan operasional.
Paradigma Baru Alokasi Risiko: Dari Teori Mikro ke Perspektif Makro Likuiditas
Prinsip alokasi risiko tradisional dalam proyek PPP biasanya berpijak pada dua asas: risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengantisipasi dan mengelolanya, dan bila tidak ada pihak yang bisa mengelola risiko tersebut, maka pihak dengan kapasitas keuangan terbesar harus menanggungnya. Namun, pendekatan ini terlalu sempit jika diterapkan pada konteks makroekonomi, terutama di negara berkembang dengan pasar likuiditas yang dangkal. Ruampongpattana memperkenalkan kerangka berpikir baru dengan menggunakan Liquid Asset Pricing Model (LAPM) dari Holmstrom dan Tirole (1999) untuk mengevaluasi alokasi risiko berdasarkan ketersediaan pasokan likuiditas.
Menggali Akar Masalah: Kejutan Likuiditas sebagai Ancaman Nyata
Dalam proyek infrastruktur, kejadian tak terduga seperti kecelakaan konstruksi, kegagalan operasional, atau bencana alam dapat menyebabkan kebutuhan reinvestasi mendadak yang dikenal sebagai liquidity shock. Di sinilah tantangan muncul: bagaimana memastikan bahwa entitas seperti Special Purpose Company (SPC) memiliki cukup aset likuid untuk menanggapi kejutan tersebut tanpa menggagalkan proyek? Menurut penelitian ini, ketika pasokan likuiditas dalam negeri tidak mencukupi, keterlibatan penyedia likuiditas internasional seperti bank pembangunan multilateral dan perusahaan asuransi global menjadi sangat penting.
Studi Kasus Thailand: Krisis Asuransi dan Peran Pemerintah
Penelitian ini menyoroti contoh nyata dari pasar asuransi di Thailand. Ketika risiko insurable seperti bencana atau kecelakaan ditransfer ke pasar asuransi domestik, ditemukan bahwa kapasitas pasar lokal sangat terbatas. Sebagai gambaran, pada bencana banjir tahun 2011, nilai kerugian tertanggung pada sektor non-kehidupan di Thailand mencapai 15 miliar USD. Namun, dari jumlah tersebut, lebih dari 90% beban ditanggung oleh perusahaan asuransi luar negeri karena kapasitas lokal yang terbatas.
Hal ini menunjukkan bahwa negara seperti Thailand tidak memiliki cukup "amunisi" dalam sistem finansial domestik untuk menyerap guncangan besar. Pemerintah Thailand pun cenderung mendorong sektor swasta untuk membeli asuransi secara mandiri, sebuah pendekatan yang pada praktiknya meningkatkan eksposur risiko terhadap proyek dan investor.
LAPM: Model Keputusan Strategis dalam Investasi Infrastruktur
Dalam mengembangkan Liquid Asset Pricing Model, Ruampongpattana mengelaborasi kondisi permintaan dan penawaran likuiditas dalam empat skenario: pasokan dari investor korporat, konsumen, pemerintah, dan penyedia internasional. Salah satu hasil penting dari model ini adalah bahwa ketika kejutan likuiditas bersifat agregat seperti bencana nasional, hanya pemerintah atau lembaga internasional yang dapat menyediakan likuiditas dalam skala yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, pemerintah dapat menyediakan obligasi nasional atau program asuransi bencana nasional (National Catastrophe Insurance), sementara lembaga seperti Bank Dunia dapat masuk melalui skema penjaminan risiko politik atau pendanaan kontinjensi.
Prinsip Alternatif Alokasi Risiko: Model Berbasis Likuiditas
Dalam Bab 5 tesis, penulis merumuskan prinsip alternatif alokasi risiko dengan mempertimbangkan struktur pasokan likuiditas. Risiko dialokasikan berdasarkan kapasitas pasokan likuiditas dari masing-masing pihak: sponsor proyek, investor, perusahaan asuransi, konsumen, pemerintah, hingga lembaga internasional.
Sebagai contoh:
Implikasi Kebijakan: Peran Strategis Pemerintah dan Lembaga Internasional
Penelitian ini menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan sistem penyangga likuiditas nasional, baik melalui obligasi pemerintah maupun pembentukan dana asuransi nasional. Namun, terdapat tantangan informasi asimetris, seperti masalah soft budget constraint, di mana pemerintah cenderung memberikan bailout kepada proyek gagal, meski proyek tersebut tidak layak secara komersial. Untuk itu, transparansi dalam perencanaan fiskal dan keterlibatan lembaga internasional sangat penting untuk menjaga kredibilitas sistem pembiayaan PPP.
Kritik dan Komparasi dengan Studi Sebelumnya
Salah satu kontribusi utama dari penelitian ini adalah penggabungan antara teori manajemen risiko mikro dengan kebijakan makroekonomi. Dalam banyak studi sebelumnya, fokus hanya pada struktur kontrak atau teknik mitigasi risiko seperti asuransi atau hedging. Namun, tesis ini menempatkan risiko dalam konteks dinamika likuiditas nasional dan internasional.
Sebagai pembanding, penelitian oleh Zhu dan Chua (2012) tentang penetapan harga asuransi pada proyek PPP menggunakan pendekatan game theory, namun tidak memasukkan variabel makro seperti intervensi pemerintah atau keterlibatan lembaga pembangunan. Di sinilah tesis ini menjadi pelengkap yang sangat relevan untuk kebijakan publik jangka panjang.
Kesimpulan: Menuju Ekosistem Pembiayaan Infrastruktur yang Tangguh
Dalam menghadapi era ketidakpastian iklim, gejolak pasar, dan kompleksitas geopolitik, struktur pembiayaan proyek infrastruktur harus lebih tahan terhadap kejutan. Resensi terhadap tesis ini menunjukkan bahwa perspektif likuiditas adalah elemen penting namun sering terabaikan dalam alokasi risiko proyek PPP. Prinsip alokasi risiko alternatif yang diusulkan dapat membantu negara berkembang membangun ekosistem pembiayaan yang lebih tangguh, inklusif, dan efisien.
Bagi praktisi kebijakan, hasil penelitian ini menegaskan perlunya:
Sumber asli:
Winij Ruampongpattana. Risk Allocation in Public-Private Partnership Infrastructure Projects from the Perspective of Liquidity Supply. Kyoto University, 2017.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Dalam lanskap pembangunan infrastruktur yang penuh ketidakpastian, manajemen risiko telah menjadi salah satu alat penting untuk memastikan keberhasilan proyek. Artikel ilmiah berjudul “The Effect of Risk Management Practices on Project Performance: A Case Study of the Libyan Construction Industry” karya Nasreddine Ali Algremazy, Zakaria Ideris, Muhammad Abdullah Alferjany, dan Alshammakh Akram menawarkan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang bagaimana praktik manajemen risiko dapat meningkatkan kinerja proyek konstruksi, terutama di negara-negara berkembang seperti Libya.
Konteks dan Relevansi Penelitian
Penelitian ini lahir dari kegelisahan terhadap buruknya kinerja proyek konstruksi di Libya pascaperang saudara. Negara tersebut tengah berupaya membangun kembali infrastruktur vital dengan investasi besar, tetapi menghadapi masalah klasik seperti keterlambatan, pembengkakan biaya, dan kegagalan mutu. Para penulis mengidentifikasi bahwa akar masalah tersebut terletak pada lemahnya penerapan manajemen risiko di sepanjang siklus hidup proyek. Dalam konteks ini, penelitian ini sangat relevan karena tidak hanya memaparkan korelasi tetapi juga membangun model kausal antara manajemen risiko dan kinerja proyek.
Metodologi dan Desain Studi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 312 perusahaan konstruksi di Tripoli dan Benghazi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 250 tanggapan yang valid diperoleh. Pengolahan data dilakukan menggunakan teknik Structural Equation Modelling (SEM) berbasis Smart-PLS, yang memungkinkan analisis hubungan antar variabel secara mendalam. Tiga dimensi utama manajemen risiko yang diteliti meliputi identifikasi risiko (RMP-RI), penilaian risiko (RMP-RA), dan respons serta pemantauan risiko (RMP-RMR).
Studi ini juga menyempurnakan instrumen pengukuran dengan mengadopsi skala lima poin Likert dan validasi reliabilitas melalui nilai Composite Reliability (CR) dan Average Variance Extracted (AVE), yang seluruhnya memenuhi ambang batas yang direkomendasikan (CR > 0.7 dan AVE > 0.5).
Temuan Kunci dan Data Numerik
Salah satu kontribusi utama artikel ini adalah bukti empiris bahwa semua aspek manajemen risiko berdampak signifikan dan positif terhadap kinerja proyek konstruksi di Libya. Secara statistik, model struktural menjelaskan bahwa ketiga variabel manajemen risiko mampu menjelaskan hingga 83% variabilitas dalam kinerja proyek. Ini merupakan angka yang sangat tinggi dan menunjukkan kekuatan prediktif model yang dibangun.
Detail hasil dari pengujian hipotesis sebagai berikut:
Secara umum, praktik manajemen risiko berada pada tingkat “moderat” di perusahaan konstruksi Libya dengan skor rata-rata antara 3.08 dan 3.45 pada skala 1–5.
Studi Kasus dan Profil Responden
Dalam studi ini, responden mayoritas adalah direktur perusahaan (90.4%), dengan latar belakang pendidikan yang cukup baik (73.2% memiliki gelar sarjana). Sebagian besar perusahaan telah beroperasi lebih dari 10 tahun dan melibatkan proyek-proyek seperti perumahan (22.4%), hotel (4.8%), kantor (9.2%), dan pusat perbelanjaan (11.6%).
Sebanyak 57.2% perusahaan menyatakan bahwa mereka menerapkan manajemen risiko secara informal, sedangkan sisanya menggunakan pendekatan formal. Lebih menarik lagi, 44.4% perusahaan mengaku memiliki strategi manajemen risiko proyek konstruksi namun masih membutuhkan perbaikan, sementara 18.8% baru berencana mengembangkannya.
Analisis Kritis dan Perbandingan Literatur
Penelitian ini tidak berdiri sendiri. Temuan ini konsisten dengan berbagai studi sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Nguyen dan Watanabe (2017) yang menunjukkan bahwa praktik manajemen risiko dapat meningkatkan daya saing organisasi. Studi oleh Tahir et al. (2019) di Pakistan dan Sabiel (2020) di Qatar juga menemukan pengaruh signifikan dari penerapan formal manajemen risiko terhadap kesuksesan proyek.
Namun, ada satu hal yang menarik: identifikasi risiko mendapat perhatian paling tinggi dari manajer proyek di Libya, tetapi penilaian risiko justru memiliki dampak paling besar terhadap kinerja proyek. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kesadaran dan dampak aktual dari praktik manajemen risiko, yang dapat dijadikan landasan kebijakan peningkatan kapasitas di sektor ini.
Relevansi Terhadap Tren Global
Dalam era di mana proyek konstruksi semakin kompleks dan dipengaruhi oleh dinamika global seperti pandemi COVID-19, fluktuasi harga bahan bangunan, dan ketidakstabilan politik, peran manajemen risiko menjadi semakin vital. Hasil studi ini menggarisbawahi pentingnya formalitas dan sistematisasi proses risiko—sesuatu yang dapat diterapkan tidak hanya di Libya, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya dengan tantangan serupa.
Sebagai contoh, praktik terbaik dari sektor konstruksi di Eropa seperti yang dilakukan di Jerman atau Inggris menekankan pentingnya penggunaan alat analitik berbasis teknologi seperti BIM dan software prediktif lainnya dalam mengelola risiko proyek. Adopsi semacam ini masih minim di Libya, membuka peluang kolaborasi lintas negara dan lintas sektor.
Keterbatasan Studi dan Implikasi Praktis
Penulis dengan jujur menyampaikan keterbatasan riset mereka, seperti cakupan geografis yang terbatas hanya di Tripoli dan Benghazi, serta desain penelitian yang bersifat cross-sectional. Oleh karena itu, penelitian lanjutan yang bersifat longitudinal dan mencakup wilayah Libya lainnya dapat memberikan gambaran lebih utuh mengenai dinamika manajemen risiko dalam industri ini.
Dari sisi praktis, studi ini menyarankan agar perusahaan konstruksi mulai menerapkan pendekatan formal dan strategis terhadap manajemen risiko, termasuk menyusun dokumen Construction Projects Risk Management Strategy (CPRMS) yang komprehensif dan dapat diintegrasikan ke dalam proses manajemen proyek sejak awal.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan bukti kuat bahwa manajemen risiko bukan sekadar alat pendukung, melainkan pilar utama dalam mencapai keberhasilan proyek konstruksi. Dengan implementasi yang sistematis dan terukur, praktik-praktik seperti identifikasi risiko, penilaian, serta respons dan pemantauan risiko terbukti dapat meningkatkan kinerja proyek hingga 83%.
Bagi negara-negara berkembang yang tengah membangun infrastruktur secara besar-besaran, seperti Indonesia, Nigeria, atau bahkan Afghanistan, studi ini menjadi cermin penting. Risiko adalah keniscayaan dalam proyek konstruksi, tetapi bagaimana risiko tersebut diidentifikasi dan ditangani akan menentukan apakah proyek akan menjadi kisah sukses atau kegagalan monumental.
Adopsi pendekatan berbasis data, penggunaan teknologi seperti Smart-PLS atau BIM, serta pelatihan formal bagi manajer proyek harus menjadi agenda prioritas dalam reformasi sektor konstruksi. Dengan demikian, risiko bukan lagi musuh, melainkan mitra dalam membangun masa depan.
Sumber asli artikel:
Algremazy, N. A., Ideris, Z., Alferjany, M. A., & Akram, A. (2023). The Effect of Risk Management Practices on Project Performance: A Case Study of the Libyan Construction Industry. International Journal of Professional Business Review, 8(6), e01420.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Manajemen risiko dalam proyek infrastruktur publik bukanlah perkara sederhana. Dalam makalah konferensi yang ditulis oleh Gordon Chirgwin dan Eric Ancich berjudul “Risk Management in Public Infrastructure Projects”, kita diajak menyelami dunia yang sering kali terlupakan: risiko-risiko teknis yang timbul dari kesalahan detail desain dan asumsi statis yang tidak sesuai dengan realitas lapangan. Artikel ini merupakan himpunan studi kasus nyata dari proyek infrastruktur di Australia dan menyuguhkan wawasan penting tentang bagaimana detail kecil dapat berakibat besar dalam jangka panjang.
Pentingnya Risiko Teknik dalam Infrastruktur Publik
Chirgwin dan Ancich membuka diskusi dengan mengkritik pendekatan umum dalam manajemen risiko proyek konstruksi yang sering kali terfokus hanya pada aspek anggaran, keselamatan kerja secara umum, atau dampak lingkungan berskala besar. Namun, realitas menunjukkan bahwa risiko terbesar justru sering bersumber dari hal-hal kecil dalam desain teknik—seperti sambungan las, detail sambungan girder, atau pemilihan jenis baut.
Sebagai contoh nyata, mereka menyebutkan bahwa jembatan jalan raya dirancang untuk bertahan hingga 100 tahun, tetapi perhitungan umur pakai ini sering kali tidak memperhitungkan peningkatan beban kendaraan yang terus berubah seiring waktu akibat lobi industri angkutan barang. Maka, beban aktual di lapangan bisa jauh melebihi asumsi desain awal.
Studi Kasus: Finger Plate Expansion Joint dan Modular Expansion Joint
Salah satu kasus paling menarik yang diangkat dalam paper ini adalah kegagalan sambungan ekspansi tipe finger plate dan modular expansion joints (MEJ). Sambungan jenis finger plate, meski tampak sederhana, ternyata menyimpan risiko laten akibat ketidakmampuan menahan gaya dinamis yang terjadi saat kendaraan lewat.
Penelitian menunjukkan bahwa sambungan baut sering kali mengalami kehilangan ketegangan karena efek longgar (looseness) dan pergeseran akibat deformasi waktu. Bahkan, ketegangan pada baut dapat menghilang karena relaksasi dan pergerakan kecil pada beton jembatan yang tidak terlihat secara kasat mata. Dalam kasus tertentu, sambungan ini bahkan bisa terlepas, menciptakan risiko fatal bagi pengguna jalan.
Pada sambungan MEJ, para peneliti mengungkap bahwa desain tradisional cenderung mengasumsikan gaya yang bersifat statis, padahal kenyataannya beban dinamis dari kendaraan yang melaju menimbulkan efek resonansi dan amplifikasi hingga 4–11 kali lipat. Di Jembatan Pheasants Nest, sambungan MEJ bahkan mengalami retak karena beban dinamis yang tidak diperhitungkan. Biaya penggantian sambungan ini mencapai $4 juta AUD, sebagian besar untuk pengelolaan lalu lintas selama pekerjaan berlangsung.
Kasus Anzac Bridge: Kegagalan Berulang karena Retainer Springs
Anzac Bridge di Sydney merupakan jembatan kabel dengan tujuh lajur lalu lintas. Dari awal pengoperasiannya pada tahun 1996, jembatan ini mengalami masalah kebisingan dan kerusakan pada bantalan dan retainer spring. Investigasi mengungkap bahwa sambungan ekspansi mengalami gaya dinamis tinggi yang menyebabkan keausan dan perpindahan komponen, bahkan memicu retakan pada las-lasan.
Penelitian lanjutan menggunakan simulasi komputer dan pengukuran strain gauge mengungkap bahwa gaya yang diterima sambungan dapat meningkat secara signifikan apabila frekuensi putaran roda kendaraan sejalan dengan frekuensi alami struktur sambungan. Amplifikasi dinamis mencapai 11 kali lipat dari beban statis. Biaya rehabilitasi sistem sambungan ini sekitar $250 ribu AUD. Namun, jika desain awal telah mempertimbangkan bantalan berperedam tinggi, biayanya hanya sekitar $10 ribu AUD. Perbaikan ini berhasil menurunkan kebisingan hingga 3 dB dan memperpanjang usia pakai dari di bawah 5 tahun menjadi lebih dari 50 tahun.
Mooney Mooney dan Karuah Bridges: Risiko Retak Struktural
Pada Jembatan Mooney Mooney, sebuah pusat lalu lintas penting antara Sydney dan Newcastle, sambungan ekspansi mengalami kegagalan yang nyaris menyebabkan kecelakaan. Sebuah centerbeam terangkat karena retakan pada sambungan las, dan hanya tertahan oleh pelat pelindung sisi jalan. Dengan kecepatan lalu lintas mencapai 140 km/jam, kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kecelakaan fatal. Pemeriksaan sinar-X mengungkap lebih banyak retakan, dan biaya penggantian sambungan mencapai $7 juta AUD.
Sementara itu, di Jembatan Karuah, masalah utama adalah pada prosedur pengelasan yang buruk—kurangnya pemanasan awal dan proses pendinginan pasca-pengelasan menyebabkan zona yang sangat rentan terhadap retak. Meskipun pengujian awal menyatakan desain valid, kegagalan dalam pelaksanaan tetap menyebabkan kebutuhan penggantian elemen struktur.
Sambungan Stringer ke Girder: Bahaya dari Detail yang Terlewat
Sambungan antara stringer dan girder menjadi perhatian utama dalam beberapa jembatan tua. Pada jembatan seperti Kempsey dan Macksville, sambungan yang dirancang secara statis ternyata mengalami beban dinamis yang melebihi kapasitas desain. Retak pada sambungan, pecahnya baut dan paku keling, serta kegagalan las umum terjadi, sering kali tidak terdeteksi dalam inspeksi rutin.
Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan beban kendaraan menyebabkan beban siklik tinggi pada daerah cope (lekukan ujung balok), terutama jika sambungan dilas tanpa prosedur pelepasan tegangan yang benar. Solusi yang diusulkan adalah penggunaan peredam gaya seperti Belleville washers untuk memberikan fleksibilitas tambahan dan mengurangi risiko keretakan.
Kasus Fitzgerald Bridge: Splice Joint di Truss yang Rentan
Fitzgerald Bridge di Aberdeen menghadapi masalah unik pada sambungan las splice mid-span. Ketika jalan raya ini diusulkan untuk peningkatan kapasitas kendaraan hingga 68 ton, investigasi mengungkap bahwa dinamika struktur telah menyebabkan tegangan jauh di atas batas desain. Umur sisa dari sambungan las diperkirakan hanya sekitar 10 tahun jika digunakan untuk dua jalur lalu lintas berat. Karena biaya perbaikan yang sangat tinggi dan potensi risiko keselamatan, solusi akhir adalah mengganti jembatan sepenuhnya.
Pelajaran Strategis dari Investigasi Selama Satu Dekade
Dari semua studi kasus ini, dapat disimpulkan bahwa banyak kegagalan infrastruktur tidak berasal dari kesalahan besar dalam perencanaan makro, melainkan dari kegagalan memahami perilaku elemen mikro secara realistis. Beban dinamis, frekuensi alami struktur, desain sambungan, dan teknik pengelasan menjadi elemen-elemen kritis yang jika diabaikan, berisiko mengancam keselamatan publik dan menyebabkan kerugian ekonomi besar.
Makalah ini juga memberikan contoh positif dari bagaimana manajemen infrastruktur publik di Australia merespons temuan-temuan teknis ini dengan merevisi standar desain seperti RTA B316 dan AS1554.5 serta menerapkan inspeksi ketat dan kebijakan pemeliharaan berbasis risiko.
Kesimpulan
Makalah karya Chirgwin dan Ancich ini adalah pengingat kuat bahwa dalam infrastruktur publik, kegagalan besar sering kali bermula dari detail kecil. Desain yang mengabaikan perilaku dinamis, asumsi statis yang keliru, dan praktik pengelasan yang tidak tepat telah terbukti menjadi pemicu utama kerusakan struktural. Mengadopsi pendekatan berbasis risiko yang lebih mendalam, meningkatkan kesadaran terhadap perilaku aktual struktur, serta memperkuat pengawasan teknik merupakan langkah yang tidak hanya menghemat biaya jangka panjang, tetapi juga menyelamatkan nyawa.
Sebagai pembaca modern dan pengambil kebijakan, kita diajak untuk tidak lagi memandang manajemen risiko sebagai formalitas administratif, tetapi sebagai inti dari keberlanjutan infrastruktur publik yang aman, efisien, dan tahan masa depan.
Sumber asli artikel:
Chirgwin, G., & Ancich, E. (2012). Risk Management in Public Infrastructure Projects. Proc. Risk Engineering Society Conference – RISK 2012, Engineers Australia, Newcastle, NSW, Australia.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Dalam dunia pembangunan infrastruktur publik, istilah “manajemen risiko” telah menjelma menjadi mantra modern yang dipercaya dapat menekan biaya, mengendalikan waktu, dan menjamin kesuksesan proyek. Namun, seiring masifnya penggunaan praktik ini di proyek-proyek skala besar (mega-projects), muncul pertanyaan fundamental: apakah manajemen risiko benar-benar berfungsi sebagaimana yang dijanjikan? Tim Neerup Themsen, melalui disertasinya di Copenhagen Business School, menghadirkan jawaban mendalam dan kritis terhadap pertanyaan tersebut. Studi yang berjudul Risk Management in Large Danish Public Capital Investment Programmes ini merupakan hasil observasi dan penelitian selama lebih dari tiga tahun terhadap dua proyek mega di sektor publik Denmark—Signalling Programme dan Hospital Programme.
Manajemen Risiko: Antara Idealisme dan Realitas Praktis
Themsen memulai dengan menyoroti pertumbuhan eksponensial penggunaan manajemen risiko dalam sektor publik, khususnya dalam proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar. Pemerintah Denmark, seperti banyak negara lain, mengadopsi praktik ini dengan keyakinan bahwa pendekatan sistematis terhadap risiko akan mencegah terulangnya skandal biaya seperti pada pembangunan gedung radio nasional. Salah satu proyek paling ambisius dalam konteks ini adalah Signalling Programme, sebuah proyek modernisasi sistem sinyal perkeretaapian senilai DKK 23,7 miliar (sekitar €3,2 miliar) yang dijadikan proyek percontohan oleh pemerintah.
Namun, alih-alih menunjukkan keberhasilan mutlak dari implementasi manajemen risiko, Themsen justru menemukan bahwa hanya jenis-jenis ketidakpastian tertentu yang diakui sebagai "risiko". Dalam istilahnya, ia membedakan antara pure risks—risiko-risiko yang sesuai dengan model perhitungan teknis dan dapat didaftarkan dalam sistem—dan impure risks, yaitu risiko-risiko sosial, politik, atau strategis yang secara sistematis dikesampingkan meskipun dianggap relevan oleh pelaku proyek.
Kasus Signalling Programme: Saat Risiko Menjadi Konsepsi Politis
Signalling Programme tidak hanya menjadi arena implementasi teknologi sinyal baru berbasis European Rail Traffic Management System (ERTMS), melainkan juga eksperimen besar terhadap sistem manajemen risiko publik. Melalui analisis mendalam terhadap dokumen, wawancara semi-struktural dengan berbagai aktor seperti manajer proyek, konsultan eksternal, serta pengamatannya dalam lebih dari 50 pertemuan risiko, Themsen mengungkap bagaimana model risiko yang digunakan menghasilkan apa yang disebutnya sebagai “realitas risiko buatan”.
Misalnya, pada fase awal proyek, ditemukan bahwa perangkat manajemen risiko seperti risk matrices dan traffic light systems (yang digunakan untuk menunjukkan status risiko—merah, kuning, hijau) lebih menekankan pada aspek teknis seperti keterlambatan pengadaan perangkat lunak. Sementara itu, potensi resistensi organisasi, tekanan politik, atau pengaruh pergantian kebijakan pemerintahan tidak dimasukkan dalam sistem karena dianggap terlalu subjektif atau sulit diukur.
Akibatnya, proyek justru menciptakan blind spots terhadap sumber risiko utama yang sangat mungkin berdampak pada kelangsungan proyek. Dalam satu contoh penting, adanya konflik antara persyaratan teknis dari vendor internasional dan regulasi perkeretaapian nasional menghasilkan keterlambatan signifikan yang sebenarnya telah diidentifikasi secara informal, namun tidak dicatat sebagai risiko resmi karena tidak sesuai dengan kategori yang sudah ditetapkan dalam kerangka kerja.
Hospital Programme: Ketika Ketidakpastian Meledak di Luar Sistem
Jika Signalling Programme memberikan gambaran bagaimana sistem risiko “menciptakan” realitasnya sendiri, Hospital Programme menunjukkan sisi lain dari dilema ini: munculnya ketidakpastian baru yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka manajemen risiko konvensional.
Hospital Programme, yang mencakup pembangunan dan renovasi 16 rumah sakit besar dengan anggaran DKK 41,4 miliar, memperlihatkan bagaimana proyek yang sangat kompleks justru menjadi medan lahirnya “ketidakpastian baru” (emerging uncertainties). Dalam proses pelaksanaannya, berbagai isu seperti perubahan peraturan tata ruang, kekurangan tenaga kerja spesialis, hingga inflasi biaya material akibat krisis global, tidak dapat dengan cepat diterjemahkan menjadi risiko kuantitatif. Akibatnya, risiko-risiko tersebut “meluap” dari sistem—fenomena yang disebut Themsen sebagai risk overflowing.
Lebih parah lagi, manajer proyek seringkali harus memilih antara mempertahankan angka risiko yang “terlihat baik” di dashboard kementerian atau melaporkan masalah sebenarnya yang justru akan menunjukkan kegagalan sistem. Ini memperlihatkan bahwa sistem manajemen risiko juga memiliki efek performatif—ia menciptakan tekanan agar proyek terlihat seolah terkendali, meskipun kenyataannya sebaliknya.
Membongkar Ilusi Objektivitas dan Netralitas
Salah satu kontribusi utama disertasi ini adalah pembongkaran mitos bahwa manajemen risiko adalah praktik netral dan obyektif. Melalui pendekatan actor-network theory (ANT), Themsen menunjukkan bahwa risiko bukanlah entitas yang “ada di luar sana” dan tinggal diidentifikasi, melainkan dikonstruksi melalui interaksi antara aktor manusia dan non-manusia (seperti software, model kuantitatif, template laporan, dan dokumen regulasi).
Dengan kata lain, keputusan tentang apa yang dianggap sebagai risiko—dan bagaimana seharusnya dikelola—sangat tergantung pada relasi kekuasaan, tujuan politik, serta keterbatasan teknologi yang digunakan. Sistem tersebut tidak hanya mendefinisikan risiko, tetapi juga menentukan siapa yang berwenang untuk mendefinisikannya dan bagaimana risiko itu akan berdampak pada keputusan-keputusan besar.
Kritik dan Implikasi: Saat Sistem Mengabaikan Realitas Lapangan
Resensi ini tidak lengkap tanpa menyinggung implikasi kebijakan dan manajerial dari temuan Themsen. Pertama, penerapan sistem manajemen risiko yang terlalu kaku dapat menjadi kontra-produktif. Alih-alih membantu pengambilan keputusan, sistem ini bisa mendorong organisasi untuk memanipulasi data demi menciptakan ilusi kontrol.
Kedua, Themsen secara halus mengkritik penggunaan model seperti reference class forecasting ala Flyvbjerg, yang hanya melihat data historis sebagai referensi untuk memproyeksikan biaya dan waktu. Dalam kenyataannya, banyak aspek proyek bersifat non-repetitif dan sangat kontekstual. Dengan kata lain, pendekatan statistik tidak cukup untuk menangkap kompleksitas sosial-politik dari proyek infrastruktur publik.
Ketiga, temuan dari proyek ini menunjukkan perlunya redefinisi terhadap praktik manajemen risiko. Sistem tidak bisa hanya berorientasi pada angka dan matriks; ia harus adaptif terhadap dinamika sosial dan politik yang berubah-ubah. Selain itu, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu memahami bahwa risiko tidak akan hilang dengan membuat sistem pelaporan lebih rumit; justru pendekatan fleksibel dan partisipatif lebih diperlukan.
Kesimpulan: Dari Keyakinan ke Kewaspadaan
Themsen berhasil membalik narasi dominan tentang manajemen risiko. Ia menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah jaminan sukses proyek, melainkan sistem yang bisa menciptakan efek samping berupa penyempitan fokus dan pengabaian terhadap ketidakpastian penting. Resensinya menjadi alarm bagi pemerintah dan pengelola proyek di seluruh dunia: jangan terbuai dengan dashboard berwarna hijau jika kenyataan di lapangan berkata lain.
Studi ini sangat relevan dalam konteks global saat ini, di mana banyak negara sedang membangun infrastruktur dalam skala besar untuk mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Kajian ini menyarankan bahwa ketimbang mengejar sistem risiko yang sempurna, lebih penting membangun sistem manajemen yang reflektif, terbuka terhadap perubahan, dan peka terhadap dinamika sosial-politik yang tak bisa dikuantifikasi.
Sumber Asli Artikel
Neerup Themsen, Tim. Risk Management in Large Danish Public Capital Investment Programmes. PhD Series 41.2014, Copenhagen Business School.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Risiko konstruksi telah lama menjadi momok dalam pengadaan proyek infrastruktur, terutama dalam skema tradisional yang banyak digunakan oleh sektor publik. Artikel “Construction Risk in Infrastructure Project Finance” yang ditulis oleh Frederic Blanc-Brude dan Dejan Makovsek memberikan gambaran yang sangat tajam tentang bagaimana risiko ini dapat diminimalisasi secara signifikan melalui pendekatan pembiayaan proyek (project finance). Berangkat dari analisis empiris atas 75 proyek di seluruh dunia, penelitian ini membedah bagaimana kontrak berbasis risiko, penggunaan entitas khusus (Special Purpose Entities atau SPE), serta struktur insentif yang tepat dapat menjinakkan salah satu risiko terbesar dalam proyek infrastruktur: pembengkakan biaya konstruksi.
Kontras antara Skema Tradisional dan Project Finance
Penelitian ini dimulai dari realitas yang sering kali ditemui dalam pengadaan proyek publik secara tradisional, yaitu terjadinya pembengkakan biaya secara sistemik. Studi Flyvbjerg et al. yang dijadikan rujukan mendokumentasikan bahwa dari 110 proyek infrastruktur yang diamati antara tahun 1950 hingga 2000, rata-rata mengalami pembengkakan biaya sebesar 26,7%. Skema tradisional tidak hanya rentan terhadap kesalahan estimasi biaya, tetapi juga terbuka terhadap moral hazard, karena kontraktor tidak menanggung risiko atas lonjakan biaya.
Sebaliknya, pendekatan project finance mengadopsi struktur kontrak tetap (fixed-price) dan batas waktu pasti (date-certain), dengan risiko konstruksi dialihkan kepada kontraktor utama yang biasanya juga menjadi pemegang saham dalam SPE. Dengan demikian, insentif untuk menyelesaikan proyek sesuai anggaran dan waktu menjadi lebih kuat karena risiko finansial atas pembengkakan biaya ditanggung oleh pelaksana konstruksi, bukan oleh pemerintah.
Studi Kasus dan Temuan Empiris
Data yang digunakan dalam artikel ini berasal dari database internal bank komersial besar (NATIXIS) yang menangani pembiayaan proyek infrastruktur global. Dari 75 proyek yang diamati (meliputi sektor transportasi, energi, akomodasi sosial, lingkungan, dan telekomunikasi), distribusi risiko konstruksi (∆C) menunjukkan bahwa secara median, risiko pembengkakan biaya adalah nol. Ini berarti, dalam mayoritas kasus, biaya konstruksi aktual berada dalam rentang ekspektasi awal yang telah ditentukan saat penutupan finansial.
Satu proyek bahkan mencatat cost underrun (pengeluaran lebih rendah dari anggaran) sebesar 50%, mengindikasikan kemungkinan adanya pengurangan lingkup proyek setelah penutupan finansial. Jika dikeluarkan dari analisis, temuan menunjukkan bahwa lebih dari 75% proyek tidak mengalami cost overrun yang signifikan.
Sebaliknya, proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan metode tradisional memperlihatkan tingkat deviasi biaya yang jauh lebih tinggi dan memiliki distribusi data yang sangat miring ke kanan, menunjukkan bahwa meskipun sebagian proyek berjalan sesuai anggaran, sebagian lainnya mengalami pembengkakan biaya yang sangat besar hingga mencapai 200%.
Peran Insentif dan Kontrak EPC
Salah satu kontribusi signifikan dari artikel ini adalah pembahasan tentang efektivitas paket insentif dalam kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction). Paket ini biasanya mencakup jaminan penyelesaian, penalti atas keterlambatan, serta tanggung jawab finansial atas kerusakan atau keterlambatan yang ditanggung oleh kontraktor.
Namun, hasil regresi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara keberadaan insentif tersebut dengan pengurangan risiko konstruksi tidak signifikan secara statistik. Bahkan, keberadaan penalti atau jaminan tambahan tidak berkorelasi kuat dengan berkurangnya risiko pembengkakan biaya. Hal ini bisa dimaknai bahwa struktur risiko yang telah dibangun dalam skema project finance—di mana kontraktor juga menjadi pemegang saham—telah cukup efektif menciptakan self-enforcing mechanism yang mendorong efisiensi tanpa perlu tambahan insentif formal.
Dimensi Risiko: Endogen vs Eksogen
Salah satu kerangka analisis paling menarik dalam artikel ini adalah pembedaan antara risiko konstruksi eksogen (misalnya cuaca buruk, kondisi tanah tak terduga) dan risiko endogen yang muncul dari desain kontrak atau struktur insentif. Dalam skema tradisional, risiko endogen ini sangat tinggi karena kontraktor tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya. Sebaliknya, dalam skema project finance, risiko ini dapat ditekan karena pihak kontraktor tidak hanya bertanggung jawab, tetapi juga berkepentingan langsung terhadap keberhasilan proyek secara finansial.
Artikel ini menegaskan bahwa sebagian besar risiko konstruksi bersifat idiosinkratik (terisolasi pada proyek tertentu) dan karenanya dapat didiversifikasi oleh perusahaan konstruksi besar yang menangani banyak proyek di berbagai sektor dan wilayah.
Analisis Berdasarkan Sektor dan Wilayah
Dalam upaya mengidentifikasi apakah terdapat sektor atau wilayah yang memiliki risiko konstruksi lebih tinggi, artikel ini melakukan regresi linier terhadap dummy variabel sektoral dan regional. Hasilnya menunjukkan bahwa proyek energi di Timur Tengah merupakan satu-satunya kategori dengan pengaruh signifikan terhadap kenaikan risiko konstruksi. Di luar itu, baik dari sisi sektor maupun wilayah, tidak ada korelasi yang cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa sektor tertentu lebih rentan terhadap pembengkakan biaya dalam skema project finance.
Ini memperkuat argumen bahwa skema ini cukup robust dalam mengelola risiko lintas sektor dan geografi. Bahkan proyek jalan raya dalam database NATIXIS menunjukkan rata-rata pembengkakan biaya hanya sebesar 3,21%, jauh lebih rendah dibandingkan angka 5,6–9,3% dalam proyek jalan yang dikerjakan melalui skema tradisional seperti yang ditunjukkan oleh penelitian terdahulu.
Implikasi Praktis dan Kebijakan
Resensi ini menyoroti satu kesimpulan penting dari artikel: skema project finance memiliki efektivitas yang nyata dalam mengelola risiko konstruksi, bahkan dengan variasi sektor dan geografi yang cukup luas. Pembelajaran praktis dari sini adalah perlunya pemerintah dan sektor publik mempertimbangkan secara serius penggunaan project finance, terutama dalam proyek infrastruktur skala besar dan kompleks. Insentif finansial dan struktur kepemilikan yang tertanam dalam SPE memberikan keunggulan tersendiri dibandingkan pendekatan tradisional yang mengandalkan pengadaan kontraktual konvensional.
Kritik yang relevan terhadap pendekatan ini terletak pada keterbatasan skala. Tidak semua proyek infrastruktur cocok untuk project finance karena keterbatasan kapasitas pengelolaan, biaya transaksi, serta ketersediaan investor swasta. Namun, untuk proyek yang strategis dan berdampak besar secara ekonomi, pendekatan ini terbukti lebih efisien dalam mengontrol anggaran dan menghindari pembengkakan biaya.
Kesimpulan
Makalah ini menyajikan kontribusi empiris yang sangat penting terhadap literatur pengelolaan risiko dalam proyek infrastruktur. Dengan data yang solid, metode statistik yang kuat, dan pembahasan mendalam, penelitian ini menunjukkan bahwa project finance bukan hanya strategi pendanaan, tetapi juga alat manajemen risiko yang sangat efektif. Ketika diterapkan secara tepat, pendekatan ini dapat mengubah lanskap risiko konstruksi menjadi sesuatu yang dapat diprediksi dan dikelola, alih-alih menjadi sumber ketidakpastian dan pemborosan.
Skema pembiayaan proyek, dengan struktur insentif yang kuat dan penempatan tanggung jawab yang tepat, mampu menciptakan kondisi di mana pembengkakan biaya bukanlah keniscayaan. Justru efisiensi dan pengendalian biaya menjadi norma baru dalam pengadaan infrastruktur.
Sumber Artikel Asli:
Blanc-Brude, F., & Makovsek, D. (2013). Construction Risk in Infrastructure Project Finance. EDHEC-Risk Institute.