Manajemen Risiko

Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi di Libya melalui Praktik Manajemen Risiko yang Efektif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025


Dalam lanskap pembangunan infrastruktur yang penuh ketidakpastian, manajemen risiko telah menjadi salah satu alat penting untuk memastikan keberhasilan proyek. Artikel ilmiah berjudul “The Effect of Risk Management Practices on Project Performance: A Case Study of the Libyan Construction Industry” karya Nasreddine Ali Algremazy, Zakaria Ideris, Muhammad Abdullah Alferjany, dan Alshammakh Akram menawarkan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang bagaimana praktik manajemen risiko dapat meningkatkan kinerja proyek konstruksi, terutama di negara-negara berkembang seperti Libya.

Konteks dan Relevansi Penelitian

Penelitian ini lahir dari kegelisahan terhadap buruknya kinerja proyek konstruksi di Libya pascaperang saudara. Negara tersebut tengah berupaya membangun kembali infrastruktur vital dengan investasi besar, tetapi menghadapi masalah klasik seperti keterlambatan, pembengkakan biaya, dan kegagalan mutu. Para penulis mengidentifikasi bahwa akar masalah tersebut terletak pada lemahnya penerapan manajemen risiko di sepanjang siklus hidup proyek. Dalam konteks ini, penelitian ini sangat relevan karena tidak hanya memaparkan korelasi tetapi juga membangun model kausal antara manajemen risiko dan kinerja proyek.

Metodologi dan Desain Studi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 312 perusahaan konstruksi di Tripoli dan Benghazi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 250 tanggapan yang valid diperoleh. Pengolahan data dilakukan menggunakan teknik Structural Equation Modelling (SEM) berbasis Smart-PLS, yang memungkinkan analisis hubungan antar variabel secara mendalam. Tiga dimensi utama manajemen risiko yang diteliti meliputi identifikasi risiko (RMP-RI), penilaian risiko (RMP-RA), dan respons serta pemantauan risiko (RMP-RMR).

Studi ini juga menyempurnakan instrumen pengukuran dengan mengadopsi skala lima poin Likert dan validasi reliabilitas melalui nilai Composite Reliability (CR) dan Average Variance Extracted (AVE), yang seluruhnya memenuhi ambang batas yang direkomendasikan (CR > 0.7 dan AVE > 0.5).

Temuan Kunci dan Data Numerik

Salah satu kontribusi utama artikel ini adalah bukti empiris bahwa semua aspek manajemen risiko berdampak signifikan dan positif terhadap kinerja proyek konstruksi di Libya. Secara statistik, model struktural menjelaskan bahwa ketiga variabel manajemen risiko mampu menjelaskan hingga 83% variabilitas dalam kinerja proyek. Ini merupakan angka yang sangat tinggi dan menunjukkan kekuatan prediktif model yang dibangun.

Detail hasil dari pengujian hipotesis sebagai berikut:

  • H1 (Identifikasi Risiko): Koefisien jalur β = 0.251, t = 4.891, p < 0.001. Artinya, identifikasi risiko berkontribusi terhadap peningkatan kinerja proyek sebesar 25%.
  • H2 (Penilaian Risiko): Koefisien β = 0.517, t = 8.021, p < 0.001. Ini menunjukkan bahwa penilaian risiko berkontribusi hingga 52%, menjadikannya variabel paling berpengaruh dalam studi ini.
  • H3 (Respons dan Pemantauan Risiko): β = 0.210, t = 3.312, p < 0.001. Artinya, variabel ini berkontribusi sebesar 21% terhadap kinerja proyek.

Secara umum, praktik manajemen risiko berada pada tingkat “moderat” di perusahaan konstruksi Libya dengan skor rata-rata antara 3.08 dan 3.45 pada skala 1–5.

Studi Kasus dan Profil Responden

Dalam studi ini, responden mayoritas adalah direktur perusahaan (90.4%), dengan latar belakang pendidikan yang cukup baik (73.2% memiliki gelar sarjana). Sebagian besar perusahaan telah beroperasi lebih dari 10 tahun dan melibatkan proyek-proyek seperti perumahan (22.4%), hotel (4.8%), kantor (9.2%), dan pusat perbelanjaan (11.6%).

Sebanyak 57.2% perusahaan menyatakan bahwa mereka menerapkan manajemen risiko secara informal, sedangkan sisanya menggunakan pendekatan formal. Lebih menarik lagi, 44.4% perusahaan mengaku memiliki strategi manajemen risiko proyek konstruksi namun masih membutuhkan perbaikan, sementara 18.8% baru berencana mengembangkannya.

Analisis Kritis dan Perbandingan Literatur

Penelitian ini tidak berdiri sendiri. Temuan ini konsisten dengan berbagai studi sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Nguyen dan Watanabe (2017) yang menunjukkan bahwa praktik manajemen risiko dapat meningkatkan daya saing organisasi. Studi oleh Tahir et al. (2019) di Pakistan dan Sabiel (2020) di Qatar juga menemukan pengaruh signifikan dari penerapan formal manajemen risiko terhadap kesuksesan proyek.

Namun, ada satu hal yang menarik: identifikasi risiko mendapat perhatian paling tinggi dari manajer proyek di Libya, tetapi penilaian risiko justru memiliki dampak paling besar terhadap kinerja proyek. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kesadaran dan dampak aktual dari praktik manajemen risiko, yang dapat dijadikan landasan kebijakan peningkatan kapasitas di sektor ini.

Relevansi Terhadap Tren Global

Dalam era di mana proyek konstruksi semakin kompleks dan dipengaruhi oleh dinamika global seperti pandemi COVID-19, fluktuasi harga bahan bangunan, dan ketidakstabilan politik, peran manajemen risiko menjadi semakin vital. Hasil studi ini menggarisbawahi pentingnya formalitas dan sistematisasi proses risiko—sesuatu yang dapat diterapkan tidak hanya di Libya, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya dengan tantangan serupa.

Sebagai contoh, praktik terbaik dari sektor konstruksi di Eropa seperti yang dilakukan di Jerman atau Inggris menekankan pentingnya penggunaan alat analitik berbasis teknologi seperti BIM dan software prediktif lainnya dalam mengelola risiko proyek. Adopsi semacam ini masih minim di Libya, membuka peluang kolaborasi lintas negara dan lintas sektor.

Keterbatasan Studi dan Implikasi Praktis

Penulis dengan jujur menyampaikan keterbatasan riset mereka, seperti cakupan geografis yang terbatas hanya di Tripoli dan Benghazi, serta desain penelitian yang bersifat cross-sectional. Oleh karena itu, penelitian lanjutan yang bersifat longitudinal dan mencakup wilayah Libya lainnya dapat memberikan gambaran lebih utuh mengenai dinamika manajemen risiko dalam industri ini.

Dari sisi praktis, studi ini menyarankan agar perusahaan konstruksi mulai menerapkan pendekatan formal dan strategis terhadap manajemen risiko, termasuk menyusun dokumen Construction Projects Risk Management Strategy (CPRMS) yang komprehensif dan dapat diintegrasikan ke dalam proses manajemen proyek sejak awal.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Secara keseluruhan, artikel ini memberikan bukti kuat bahwa manajemen risiko bukan sekadar alat pendukung, melainkan pilar utama dalam mencapai keberhasilan proyek konstruksi. Dengan implementasi yang sistematis dan terukur, praktik-praktik seperti identifikasi risiko, penilaian, serta respons dan pemantauan risiko terbukti dapat meningkatkan kinerja proyek hingga 83%.

Bagi negara-negara berkembang yang tengah membangun infrastruktur secara besar-besaran, seperti Indonesia, Nigeria, atau bahkan Afghanistan, studi ini menjadi cermin penting. Risiko adalah keniscayaan dalam proyek konstruksi, tetapi bagaimana risiko tersebut diidentifikasi dan ditangani akan menentukan apakah proyek akan menjadi kisah sukses atau kegagalan monumental.

Adopsi pendekatan berbasis data, penggunaan teknologi seperti Smart-PLS atau BIM, serta pelatihan formal bagi manajer proyek harus menjadi agenda prioritas dalam reformasi sektor konstruksi. Dengan demikian, risiko bukan lagi musuh, melainkan mitra dalam membangun masa depan.

Sumber asli artikel:
Algremazy, N. A., Ideris, Z., Alferjany, M. A., & Akram, A. (2023). The Effect of Risk Management Practices on Project Performance: A Case Study of the Libyan Construction Industry. International Journal of Professional Business Review, 8(6), e01420.

 

Selengkapnya
Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi di Libya melalui Praktik Manajemen Risiko yang Efektif

Manajemen Risiko

Mengurai Risiko dalam Proyek Infrastruktur Publik – Sebuah Pelajaran dari Detail Teknis yang Terabaikan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025


Manajemen risiko dalam proyek infrastruktur publik bukanlah perkara sederhana. Dalam makalah konferensi yang ditulis oleh Gordon Chirgwin dan Eric Ancich berjudul “Risk Management in Public Infrastructure Projects”, kita diajak menyelami dunia yang sering kali terlupakan: risiko-risiko teknis yang timbul dari kesalahan detail desain dan asumsi statis yang tidak sesuai dengan realitas lapangan. Artikel ini merupakan himpunan studi kasus nyata dari proyek infrastruktur di Australia dan menyuguhkan wawasan penting tentang bagaimana detail kecil dapat berakibat besar dalam jangka panjang.

Pentingnya Risiko Teknik dalam Infrastruktur Publik

Chirgwin dan Ancich membuka diskusi dengan mengkritik pendekatan umum dalam manajemen risiko proyek konstruksi yang sering kali terfokus hanya pada aspek anggaran, keselamatan kerja secara umum, atau dampak lingkungan berskala besar. Namun, realitas menunjukkan bahwa risiko terbesar justru sering bersumber dari hal-hal kecil dalam desain teknik—seperti sambungan las, detail sambungan girder, atau pemilihan jenis baut.

Sebagai contoh nyata, mereka menyebutkan bahwa jembatan jalan raya dirancang untuk bertahan hingga 100 tahun, tetapi perhitungan umur pakai ini sering kali tidak memperhitungkan peningkatan beban kendaraan yang terus berubah seiring waktu akibat lobi industri angkutan barang. Maka, beban aktual di lapangan bisa jauh melebihi asumsi desain awal.

Studi Kasus: Finger Plate Expansion Joint dan Modular Expansion Joint

Salah satu kasus paling menarik yang diangkat dalam paper ini adalah kegagalan sambungan ekspansi tipe finger plate dan modular expansion joints (MEJ). Sambungan jenis finger plate, meski tampak sederhana, ternyata menyimpan risiko laten akibat ketidakmampuan menahan gaya dinamis yang terjadi saat kendaraan lewat.

Penelitian menunjukkan bahwa sambungan baut sering kali mengalami kehilangan ketegangan karena efek longgar (looseness) dan pergeseran akibat deformasi waktu. Bahkan, ketegangan pada baut dapat menghilang karena relaksasi dan pergerakan kecil pada beton jembatan yang tidak terlihat secara kasat mata. Dalam kasus tertentu, sambungan ini bahkan bisa terlepas, menciptakan risiko fatal bagi pengguna jalan.

Pada sambungan MEJ, para peneliti mengungkap bahwa desain tradisional cenderung mengasumsikan gaya yang bersifat statis, padahal kenyataannya beban dinamis dari kendaraan yang melaju menimbulkan efek resonansi dan amplifikasi hingga 4–11 kali lipat. Di Jembatan Pheasants Nest, sambungan MEJ bahkan mengalami retak karena beban dinamis yang tidak diperhitungkan. Biaya penggantian sambungan ini mencapai $4 juta AUD, sebagian besar untuk pengelolaan lalu lintas selama pekerjaan berlangsung.

Kasus Anzac Bridge: Kegagalan Berulang karena Retainer Springs

Anzac Bridge di Sydney merupakan jembatan kabel dengan tujuh lajur lalu lintas. Dari awal pengoperasiannya pada tahun 1996, jembatan ini mengalami masalah kebisingan dan kerusakan pada bantalan dan retainer spring. Investigasi mengungkap bahwa sambungan ekspansi mengalami gaya dinamis tinggi yang menyebabkan keausan dan perpindahan komponen, bahkan memicu retakan pada las-lasan.

Penelitian lanjutan menggunakan simulasi komputer dan pengukuran strain gauge mengungkap bahwa gaya yang diterima sambungan dapat meningkat secara signifikan apabila frekuensi putaran roda kendaraan sejalan dengan frekuensi alami struktur sambungan. Amplifikasi dinamis mencapai 11 kali lipat dari beban statis. Biaya rehabilitasi sistem sambungan ini sekitar $250 ribu AUD. Namun, jika desain awal telah mempertimbangkan bantalan berperedam tinggi, biayanya hanya sekitar $10 ribu AUD. Perbaikan ini berhasil menurunkan kebisingan hingga 3 dB dan memperpanjang usia pakai dari di bawah 5 tahun menjadi lebih dari 50 tahun.

Mooney Mooney dan Karuah Bridges: Risiko Retak Struktural

Pada Jembatan Mooney Mooney, sebuah pusat lalu lintas penting antara Sydney dan Newcastle, sambungan ekspansi mengalami kegagalan yang nyaris menyebabkan kecelakaan. Sebuah centerbeam terangkat karena retakan pada sambungan las, dan hanya tertahan oleh pelat pelindung sisi jalan. Dengan kecepatan lalu lintas mencapai 140 km/jam, kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kecelakaan fatal. Pemeriksaan sinar-X mengungkap lebih banyak retakan, dan biaya penggantian sambungan mencapai $7 juta AUD.

Sementara itu, di Jembatan Karuah, masalah utama adalah pada prosedur pengelasan yang buruk—kurangnya pemanasan awal dan proses pendinginan pasca-pengelasan menyebabkan zona yang sangat rentan terhadap retak. Meskipun pengujian awal menyatakan desain valid, kegagalan dalam pelaksanaan tetap menyebabkan kebutuhan penggantian elemen struktur.

Sambungan Stringer ke Girder: Bahaya dari Detail yang Terlewat

Sambungan antara stringer dan girder menjadi perhatian utama dalam beberapa jembatan tua. Pada jembatan seperti Kempsey dan Macksville, sambungan yang dirancang secara statis ternyata mengalami beban dinamis yang melebihi kapasitas desain. Retak pada sambungan, pecahnya baut dan paku keling, serta kegagalan las umum terjadi, sering kali tidak terdeteksi dalam inspeksi rutin.

Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan beban kendaraan menyebabkan beban siklik tinggi pada daerah cope (lekukan ujung balok), terutama jika sambungan dilas tanpa prosedur pelepasan tegangan yang benar. Solusi yang diusulkan adalah penggunaan peredam gaya seperti Belleville washers untuk memberikan fleksibilitas tambahan dan mengurangi risiko keretakan.

Kasus Fitzgerald Bridge: Splice Joint di Truss yang Rentan

Fitzgerald Bridge di Aberdeen menghadapi masalah unik pada sambungan las splice mid-span. Ketika jalan raya ini diusulkan untuk peningkatan kapasitas kendaraan hingga 68 ton, investigasi mengungkap bahwa dinamika struktur telah menyebabkan tegangan jauh di atas batas desain. Umur sisa dari sambungan las diperkirakan hanya sekitar 10 tahun jika digunakan untuk dua jalur lalu lintas berat. Karena biaya perbaikan yang sangat tinggi dan potensi risiko keselamatan, solusi akhir adalah mengganti jembatan sepenuhnya.

Pelajaran Strategis dari Investigasi Selama Satu Dekade

Dari semua studi kasus ini, dapat disimpulkan bahwa banyak kegagalan infrastruktur tidak berasal dari kesalahan besar dalam perencanaan makro, melainkan dari kegagalan memahami perilaku elemen mikro secara realistis. Beban dinamis, frekuensi alami struktur, desain sambungan, dan teknik pengelasan menjadi elemen-elemen kritis yang jika diabaikan, berisiko mengancam keselamatan publik dan menyebabkan kerugian ekonomi besar.

Makalah ini juga memberikan contoh positif dari bagaimana manajemen infrastruktur publik di Australia merespons temuan-temuan teknis ini dengan merevisi standar desain seperti RTA B316 dan AS1554.5 serta menerapkan inspeksi ketat dan kebijakan pemeliharaan berbasis risiko.

Kesimpulan

Makalah karya Chirgwin dan Ancich ini adalah pengingat kuat bahwa dalam infrastruktur publik, kegagalan besar sering kali bermula dari detail kecil. Desain yang mengabaikan perilaku dinamis, asumsi statis yang keliru, dan praktik pengelasan yang tidak tepat telah terbukti menjadi pemicu utama kerusakan struktural. Mengadopsi pendekatan berbasis risiko yang lebih mendalam, meningkatkan kesadaran terhadap perilaku aktual struktur, serta memperkuat pengawasan teknik merupakan langkah yang tidak hanya menghemat biaya jangka panjang, tetapi juga menyelamatkan nyawa.

Sebagai pembaca modern dan pengambil kebijakan, kita diajak untuk tidak lagi memandang manajemen risiko sebagai formalitas administratif, tetapi sebagai inti dari keberlanjutan infrastruktur publik yang aman, efisien, dan tahan masa depan.

Sumber asli artikel:
Chirgwin, G., & Ancich, E. (2012). Risk Management in Public Infrastructure Projects. Proc. Risk Engineering Society Conference – RISK 2012, Engineers Australia, Newcastle, NSW, Australia.

Selengkapnya
Mengurai Risiko dalam Proyek Infrastruktur Publik – Sebuah Pelajaran dari Detail Teknis yang Terabaikan

Manajemen Risiko

Menakar Ulang Manajemen Risiko dalam Proyek Mega Infrastruktur Publik: Pelajaran dari Denmark

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025


Dalam dunia pembangunan infrastruktur publik, istilah “manajemen risiko” telah menjelma menjadi mantra modern yang dipercaya dapat menekan biaya, mengendalikan waktu, dan menjamin kesuksesan proyek. Namun, seiring masifnya penggunaan praktik ini di proyek-proyek skala besar (mega-projects), muncul pertanyaan fundamental: apakah manajemen risiko benar-benar berfungsi sebagaimana yang dijanjikan? Tim Neerup Themsen, melalui disertasinya di Copenhagen Business School, menghadirkan jawaban mendalam dan kritis terhadap pertanyaan tersebut. Studi yang berjudul Risk Management in Large Danish Public Capital Investment Programmes ini merupakan hasil observasi dan penelitian selama lebih dari tiga tahun terhadap dua proyek mega di sektor publik Denmark—Signalling Programme dan Hospital Programme.

Manajemen Risiko: Antara Idealisme dan Realitas Praktis

Themsen memulai dengan menyoroti pertumbuhan eksponensial penggunaan manajemen risiko dalam sektor publik, khususnya dalam proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar. Pemerintah Denmark, seperti banyak negara lain, mengadopsi praktik ini dengan keyakinan bahwa pendekatan sistematis terhadap risiko akan mencegah terulangnya skandal biaya seperti pada pembangunan gedung radio nasional. Salah satu proyek paling ambisius dalam konteks ini adalah Signalling Programme, sebuah proyek modernisasi sistem sinyal perkeretaapian senilai DKK 23,7 miliar (sekitar €3,2 miliar) yang dijadikan proyek percontohan oleh pemerintah.

Namun, alih-alih menunjukkan keberhasilan mutlak dari implementasi manajemen risiko, Themsen justru menemukan bahwa hanya jenis-jenis ketidakpastian tertentu yang diakui sebagai "risiko". Dalam istilahnya, ia membedakan antara pure risks—risiko-risiko yang sesuai dengan model perhitungan teknis dan dapat didaftarkan dalam sistem—dan impure risks, yaitu risiko-risiko sosial, politik, atau strategis yang secara sistematis dikesampingkan meskipun dianggap relevan oleh pelaku proyek.

Kasus Signalling Programme: Saat Risiko Menjadi Konsepsi Politis

Signalling Programme tidak hanya menjadi arena implementasi teknologi sinyal baru berbasis European Rail Traffic Management System (ERTMS), melainkan juga eksperimen besar terhadap sistem manajemen risiko publik. Melalui analisis mendalam terhadap dokumen, wawancara semi-struktural dengan berbagai aktor seperti manajer proyek, konsultan eksternal, serta pengamatannya dalam lebih dari 50 pertemuan risiko, Themsen mengungkap bagaimana model risiko yang digunakan menghasilkan apa yang disebutnya sebagai “realitas risiko buatan”.

Misalnya, pada fase awal proyek, ditemukan bahwa perangkat manajemen risiko seperti risk matrices dan traffic light systems (yang digunakan untuk menunjukkan status risiko—merah, kuning, hijau) lebih menekankan pada aspek teknis seperti keterlambatan pengadaan perangkat lunak. Sementara itu, potensi resistensi organisasi, tekanan politik, atau pengaruh pergantian kebijakan pemerintahan tidak dimasukkan dalam sistem karena dianggap terlalu subjektif atau sulit diukur.

Akibatnya, proyek justru menciptakan blind spots terhadap sumber risiko utama yang sangat mungkin berdampak pada kelangsungan proyek. Dalam satu contoh penting, adanya konflik antara persyaratan teknis dari vendor internasional dan regulasi perkeretaapian nasional menghasilkan keterlambatan signifikan yang sebenarnya telah diidentifikasi secara informal, namun tidak dicatat sebagai risiko resmi karena tidak sesuai dengan kategori yang sudah ditetapkan dalam kerangka kerja.

Hospital Programme: Ketika Ketidakpastian Meledak di Luar Sistem

Jika Signalling Programme memberikan gambaran bagaimana sistem risiko “menciptakan” realitasnya sendiri, Hospital Programme menunjukkan sisi lain dari dilema ini: munculnya ketidakpastian baru yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka manajemen risiko konvensional.

Hospital Programme, yang mencakup pembangunan dan renovasi 16 rumah sakit besar dengan anggaran DKK 41,4 miliar, memperlihatkan bagaimana proyek yang sangat kompleks justru menjadi medan lahirnya “ketidakpastian baru” (emerging uncertainties). Dalam proses pelaksanaannya, berbagai isu seperti perubahan peraturan tata ruang, kekurangan tenaga kerja spesialis, hingga inflasi biaya material akibat krisis global, tidak dapat dengan cepat diterjemahkan menjadi risiko kuantitatif. Akibatnya, risiko-risiko tersebut “meluap” dari sistem—fenomena yang disebut Themsen sebagai risk overflowing.

Lebih parah lagi, manajer proyek seringkali harus memilih antara mempertahankan angka risiko yang “terlihat baik” di dashboard kementerian atau melaporkan masalah sebenarnya yang justru akan menunjukkan kegagalan sistem. Ini memperlihatkan bahwa sistem manajemen risiko juga memiliki efek performatif—ia menciptakan tekanan agar proyek terlihat seolah terkendali, meskipun kenyataannya sebaliknya.

Membongkar Ilusi Objektivitas dan Netralitas

Salah satu kontribusi utama disertasi ini adalah pembongkaran mitos bahwa manajemen risiko adalah praktik netral dan obyektif. Melalui pendekatan actor-network theory (ANT), Themsen menunjukkan bahwa risiko bukanlah entitas yang “ada di luar sana” dan tinggal diidentifikasi, melainkan dikonstruksi melalui interaksi antara aktor manusia dan non-manusia (seperti software, model kuantitatif, template laporan, dan dokumen regulasi).

Dengan kata lain, keputusan tentang apa yang dianggap sebagai risiko—dan bagaimana seharusnya dikelola—sangat tergantung pada relasi kekuasaan, tujuan politik, serta keterbatasan teknologi yang digunakan. Sistem tersebut tidak hanya mendefinisikan risiko, tetapi juga menentukan siapa yang berwenang untuk mendefinisikannya dan bagaimana risiko itu akan berdampak pada keputusan-keputusan besar.

Kritik dan Implikasi: Saat Sistem Mengabaikan Realitas Lapangan

Resensi ini tidak lengkap tanpa menyinggung implikasi kebijakan dan manajerial dari temuan Themsen. Pertama, penerapan sistem manajemen risiko yang terlalu kaku dapat menjadi kontra-produktif. Alih-alih membantu pengambilan keputusan, sistem ini bisa mendorong organisasi untuk memanipulasi data demi menciptakan ilusi kontrol.

Kedua, Themsen secara halus mengkritik penggunaan model seperti reference class forecasting ala Flyvbjerg, yang hanya melihat data historis sebagai referensi untuk memproyeksikan biaya dan waktu. Dalam kenyataannya, banyak aspek proyek bersifat non-repetitif dan sangat kontekstual. Dengan kata lain, pendekatan statistik tidak cukup untuk menangkap kompleksitas sosial-politik dari proyek infrastruktur publik.

Ketiga, temuan dari proyek ini menunjukkan perlunya redefinisi terhadap praktik manajemen risiko. Sistem tidak bisa hanya berorientasi pada angka dan matriks; ia harus adaptif terhadap dinamika sosial dan politik yang berubah-ubah. Selain itu, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu memahami bahwa risiko tidak akan hilang dengan membuat sistem pelaporan lebih rumit; justru pendekatan fleksibel dan partisipatif lebih diperlukan.

Kesimpulan: Dari Keyakinan ke Kewaspadaan

Themsen berhasil membalik narasi dominan tentang manajemen risiko. Ia menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah jaminan sukses proyek, melainkan sistem yang bisa menciptakan efek samping berupa penyempitan fokus dan pengabaian terhadap ketidakpastian penting. Resensinya menjadi alarm bagi pemerintah dan pengelola proyek di seluruh dunia: jangan terbuai dengan dashboard berwarna hijau jika kenyataan di lapangan berkata lain.

Studi ini sangat relevan dalam konteks global saat ini, di mana banyak negara sedang membangun infrastruktur dalam skala besar untuk mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Kajian ini menyarankan bahwa ketimbang mengejar sistem risiko yang sempurna, lebih penting membangun sistem manajemen yang reflektif, terbuka terhadap perubahan, dan peka terhadap dinamika sosial-politik yang tak bisa dikuantifikasi.

Sumber Asli Artikel
Neerup Themsen, Tim. Risk Management in Large Danish Public Capital Investment Programmes. PhD Series 41.2014, Copenhagen Business School.

Selengkapnya
Menakar Ulang Manajemen Risiko dalam Proyek Mega Infrastruktur Publik: Pelajaran dari Denmark

Manajemen Risiko

Mengelola Risiko Konstruksi dalam Proyek Infrastruktur melalui Skema Pembiayaan Proyek

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025


Risiko konstruksi telah lama menjadi momok dalam pengadaan proyek infrastruktur, terutama dalam skema tradisional yang banyak digunakan oleh sektor publik. Artikel “Construction Risk in Infrastructure Project Finance” yang ditulis oleh Frederic Blanc-Brude dan Dejan Makovsek memberikan gambaran yang sangat tajam tentang bagaimana risiko ini dapat diminimalisasi secara signifikan melalui pendekatan pembiayaan proyek (project finance). Berangkat dari analisis empiris atas 75 proyek di seluruh dunia, penelitian ini membedah bagaimana kontrak berbasis risiko, penggunaan entitas khusus (Special Purpose Entities atau SPE), serta struktur insentif yang tepat dapat menjinakkan salah satu risiko terbesar dalam proyek infrastruktur: pembengkakan biaya konstruksi.

Kontras antara Skema Tradisional dan Project Finance

Penelitian ini dimulai dari realitas yang sering kali ditemui dalam pengadaan proyek publik secara tradisional, yaitu terjadinya pembengkakan biaya secara sistemik. Studi Flyvbjerg et al. yang dijadikan rujukan mendokumentasikan bahwa dari 110 proyek infrastruktur yang diamati antara tahun 1950 hingga 2000, rata-rata mengalami pembengkakan biaya sebesar 26,7%. Skema tradisional tidak hanya rentan terhadap kesalahan estimasi biaya, tetapi juga terbuka terhadap moral hazard, karena kontraktor tidak menanggung risiko atas lonjakan biaya.

Sebaliknya, pendekatan project finance mengadopsi struktur kontrak tetap (fixed-price) dan batas waktu pasti (date-certain), dengan risiko konstruksi dialihkan kepada kontraktor utama yang biasanya juga menjadi pemegang saham dalam SPE. Dengan demikian, insentif untuk menyelesaikan proyek sesuai anggaran dan waktu menjadi lebih kuat karena risiko finansial atas pembengkakan biaya ditanggung oleh pelaksana konstruksi, bukan oleh pemerintah.

Studi Kasus dan Temuan Empiris

Data yang digunakan dalam artikel ini berasal dari database internal bank komersial besar (NATIXIS) yang menangani pembiayaan proyek infrastruktur global. Dari 75 proyek yang diamati (meliputi sektor transportasi, energi, akomodasi sosial, lingkungan, dan telekomunikasi), distribusi risiko konstruksi (∆C) menunjukkan bahwa secara median, risiko pembengkakan biaya adalah nol. Ini berarti, dalam mayoritas kasus, biaya konstruksi aktual berada dalam rentang ekspektasi awal yang telah ditentukan saat penutupan finansial.

Satu proyek bahkan mencatat cost underrun (pengeluaran lebih rendah dari anggaran) sebesar 50%, mengindikasikan kemungkinan adanya pengurangan lingkup proyek setelah penutupan finansial. Jika dikeluarkan dari analisis, temuan menunjukkan bahwa lebih dari 75% proyek tidak mengalami cost overrun yang signifikan.

Sebaliknya, proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan metode tradisional memperlihatkan tingkat deviasi biaya yang jauh lebih tinggi dan memiliki distribusi data yang sangat miring ke kanan, menunjukkan bahwa meskipun sebagian proyek berjalan sesuai anggaran, sebagian lainnya mengalami pembengkakan biaya yang sangat besar hingga mencapai 200%.

Peran Insentif dan Kontrak EPC

Salah satu kontribusi signifikan dari artikel ini adalah pembahasan tentang efektivitas paket insentif dalam kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction). Paket ini biasanya mencakup jaminan penyelesaian, penalti atas keterlambatan, serta tanggung jawab finansial atas kerusakan atau keterlambatan yang ditanggung oleh kontraktor.

Namun, hasil regresi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara keberadaan insentif tersebut dengan pengurangan risiko konstruksi tidak signifikan secara statistik. Bahkan, keberadaan penalti atau jaminan tambahan tidak berkorelasi kuat dengan berkurangnya risiko pembengkakan biaya. Hal ini bisa dimaknai bahwa struktur risiko yang telah dibangun dalam skema project finance—di mana kontraktor juga menjadi pemegang saham—telah cukup efektif menciptakan self-enforcing mechanism yang mendorong efisiensi tanpa perlu tambahan insentif formal.

Dimensi Risiko: Endogen vs Eksogen

Salah satu kerangka analisis paling menarik dalam artikel ini adalah pembedaan antara risiko konstruksi eksogen (misalnya cuaca buruk, kondisi tanah tak terduga) dan risiko endogen yang muncul dari desain kontrak atau struktur insentif. Dalam skema tradisional, risiko endogen ini sangat tinggi karena kontraktor tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya. Sebaliknya, dalam skema project finance, risiko ini dapat ditekan karena pihak kontraktor tidak hanya bertanggung jawab, tetapi juga berkepentingan langsung terhadap keberhasilan proyek secara finansial.

Artikel ini menegaskan bahwa sebagian besar risiko konstruksi bersifat idiosinkratik (terisolasi pada proyek tertentu) dan karenanya dapat didiversifikasi oleh perusahaan konstruksi besar yang menangani banyak proyek di berbagai sektor dan wilayah.

Analisis Berdasarkan Sektor dan Wilayah

Dalam upaya mengidentifikasi apakah terdapat sektor atau wilayah yang memiliki risiko konstruksi lebih tinggi, artikel ini melakukan regresi linier terhadap dummy variabel sektoral dan regional. Hasilnya menunjukkan bahwa proyek energi di Timur Tengah merupakan satu-satunya kategori dengan pengaruh signifikan terhadap kenaikan risiko konstruksi. Di luar itu, baik dari sisi sektor maupun wilayah, tidak ada korelasi yang cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa sektor tertentu lebih rentan terhadap pembengkakan biaya dalam skema project finance.

Ini memperkuat argumen bahwa skema ini cukup robust dalam mengelola risiko lintas sektor dan geografi. Bahkan proyek jalan raya dalam database NATIXIS menunjukkan rata-rata pembengkakan biaya hanya sebesar 3,21%, jauh lebih rendah dibandingkan angka 5,6–9,3% dalam proyek jalan yang dikerjakan melalui skema tradisional seperti yang ditunjukkan oleh penelitian terdahulu.

Implikasi Praktis dan Kebijakan

Resensi ini menyoroti satu kesimpulan penting dari artikel: skema project finance memiliki efektivitas yang nyata dalam mengelola risiko konstruksi, bahkan dengan variasi sektor dan geografi yang cukup luas. Pembelajaran praktis dari sini adalah perlunya pemerintah dan sektor publik mempertimbangkan secara serius penggunaan project finance, terutama dalam proyek infrastruktur skala besar dan kompleks. Insentif finansial dan struktur kepemilikan yang tertanam dalam SPE memberikan keunggulan tersendiri dibandingkan pendekatan tradisional yang mengandalkan pengadaan kontraktual konvensional.

Kritik yang relevan terhadap pendekatan ini terletak pada keterbatasan skala. Tidak semua proyek infrastruktur cocok untuk project finance karena keterbatasan kapasitas pengelolaan, biaya transaksi, serta ketersediaan investor swasta. Namun, untuk proyek yang strategis dan berdampak besar secara ekonomi, pendekatan ini terbukti lebih efisien dalam mengontrol anggaran dan menghindari pembengkakan biaya.

Kesimpulan

Makalah ini menyajikan kontribusi empiris yang sangat penting terhadap literatur pengelolaan risiko dalam proyek infrastruktur. Dengan data yang solid, metode statistik yang kuat, dan pembahasan mendalam, penelitian ini menunjukkan bahwa project finance bukan hanya strategi pendanaan, tetapi juga alat manajemen risiko yang sangat efektif. Ketika diterapkan secara tepat, pendekatan ini dapat mengubah lanskap risiko konstruksi menjadi sesuatu yang dapat diprediksi dan dikelola, alih-alih menjadi sumber ketidakpastian dan pemborosan.

Skema pembiayaan proyek, dengan struktur insentif yang kuat dan penempatan tanggung jawab yang tepat, mampu menciptakan kondisi di mana pembengkakan biaya bukanlah keniscayaan. Justru efisiensi dan pengendalian biaya menjadi norma baru dalam pengadaan infrastruktur.

Sumber Artikel Asli:
Blanc-Brude, F., & Makovsek, D. (2013). Construction Risk in Infrastructure Project Finance. EDHEC-Risk Institute.

Selengkapnya
Mengelola Risiko Konstruksi dalam Proyek Infrastruktur melalui Skema Pembiayaan Proyek

Manajemen Risiko

Strategi Manajemen Risiko yang Efektif dalam Proyek Infrastruktur: Pembelajaran Penting dari Studi McKinsey

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025


Proyek infrastruktur berskala besar merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi, namun sejarah telah menunjukkan bahwa proyek-proyek ini kerap menghadapi kegagalan akibat manajemen risiko yang buruk. Laporan McKinsey Working Papers on Risk No. 52 berjudul "A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution" menjadi referensi penting yang menawarkan kerangka kerja sistematis untuk mengidentifikasi, mengelola, dan mengalokasikan risiko sepanjang siklus hidup proyek infrastruktur. Artikel ini memberikan resensi kritis terhadap temuan McKinsey, menyoroti studi kasus kegagalan proyek global, serta mengeksplorasi strategi mitigasi risiko yang dapat mengubah pendekatan pelaksanaan proyek publik dan swasta secara lebih efektif.

Manajemen Risiko: Kebutuhan Mendesak dalam Proyek Infrastruktur Global

Menurut McKinsey, nilai total pipeline proyek infrastruktur global diperkirakan mencapai $9 triliun, di mana sepertiganya berada di Asia. India, misalnya, merencanakan investasi sebesar $550 miliar dalam lima tahun ke depan, terutama untuk sektor energi dan utilitas. Namun, kendati kebutuhan meningkat pesat, mayoritas proyek ini masih diwarnai oleh pembengkakan biaya, keterlambatan, dan kerugian besar akibat kurangnya pengelolaan risiko yang terstruktur.

Contohnya, proyek Eurotunnel antara Inggris dan Prancis mencatat biaya akhir sebesar €15 miliar, lebih dari dua kali lipat anggaran awal €7,5 miliar. Jalur kereta barang Betuwe Line di Belanda awalnya direncanakan sebesar €2,3 miliar, namun realisasi biayanya melebihi €5 miliar. Proyek Bandara Kuala Lumpur Terminal Baru pun mengalami penundaan lebih dari satu tahun dengan biaya yang terus membengkak.

Dampak Ekonomi dari Risiko yang Tidak Dikelola

McKinsey memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, nilai kerugian langsung akibat risiko yang tidak dikelola dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar bisa melebihi $1,5 triliun. Ini belum termasuk dampak terhadap pertumbuhan PDB dan efek reputasi yang merugikan negara dan masyarakat. Hal ini terjadi karena manajemen risiko tidak terintegrasi secara menyeluruh dalam siklus proyek, mulai dari tahap perencanaan, desain, pengadaan, pelaksanaan konstruksi, hingga operasi.

Kesalahan Umum: Risiko Tidak Dialokasikan ke Pihak yang Tepat

Salah satu akar masalah paling serius adalah kesalahan dalam mengalokasikan risiko. Dalam proyek-proyek publik, pemerintah seringkali gagal memahami batas kemampuan dan selera risiko dari pihak swasta, terutama dalam struktur kemitraan publik-swasta (PPP). Hasilnya adalah pembiayaan swasta menjadi mahal, berisiko tinggi, atau bahkan tidak tersedia, yang akhirnya dibebankan ke anggaran negara dan masyarakat umum.

Pendekatan Manajemen Risiko Berbasis Siklus Hidup Proyek

McKinsey menawarkan model manajemen risiko yang mencakup seluruh siklus hidup proyek, mulai dari perencanaan hingga operasional. Model ini meliputi:

  1. Risiko harus dipetakan dan dianalisis sebelum proyek dimulai. Ini mencakup skenario terburuk seperti bencana alam, konflik sosial, inflasi biaya material, dan keterlambatan pengadaan.
  2. Risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelolanya, baik itu pengembang, kontraktor, pemerintah, atau penyedia dana.
  3. Proyek harus dinilai berdasarkan risiko dan potensi imbal hasilnya, termasuk dalam studi kelayakan dan pemodelan ekonomi.
  4. Perlu ada mekanisme komunikasi risiko yang berjalan dari manajemen puncak ke lapangan, serta pelatihan risiko untuk semua pemangku kepentingan.
  5. Misalnya, penggunaan KPI kontrak berbasis milestone, kontrol kualitas mingguan, dan pelaporan risiko harian di lapangan.

Studi Kasus: Gagalnya Manajemen Risiko di Proyek Nyata

Laporan ini memuat beberapa studi kasus sebagai bukti nyata dari risiko yang tidak dikelola secara benar:

  • Proyek Jalur Kereta HSL-Zuid di Belanda: Meski sempat memenangkan penghargaan “PPP Deal of the Year”, proyek ini mengalami pembengkakan biaya sebesar 43% karena desain proyek dibagi menjadi tiga subproyek tanpa koordinasi yang memadai, memunculkan risiko antarmuka yang tidak diantisipasi sejak awal.
  • Bandara Hong Kong: Penundaan dalam pembukaan bandara menyebabkan kerugian ekonomi sebesar $600 juta akibat konektivitas dan fungsi operasional yang tidak optimal.
  • Proyek Oedo Subway Line di Tokyo: Perkiraan pendapatan awal sangat optimistik, namun pada kenyataannya realisasi pendapatan jauh di bawah ekspektasi, menunjukkan pentingnya stress-testing dan forecasting berbasis realita.

Transformasi Budaya Risiko: Contoh Penerapan Nyata

Salah satu perusahaan transportasi besar pada tahun 2011 memutuskan untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem manajemen risikonya. Tujuannya adalah mengurangi provision risiko sebesar sepertiga. Permasalahan awal yang mereka hadapi antara lain:

  • Tidak adanya definisi risiko yang seragam antarproyek.
  • Silo antar departemen dalam mengelola risiko.
  • Kurangnya pelatihan risiko di semua tingkatan organisasi.

Setelah perubahan dilakukan, perusahaan membentuk struktur tata kelola risiko yang baru, menetapkan KPI risiko yang transparan, dan melakukan pelaporan risiko secara reguler. Hasilnya adalah peningkatan efisiensi, pengurangan keterlambatan, dan pengelolaan portofolio proyek yang lebih efektif.

Relevansi dan Penerapan di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini sangat relevan mengingat banyak proyek besar seperti tol trans-Jawa, MRT Jakarta, dan Ibu Kota Negara (IKN) yang melibatkan investasi multi-miliar dolar dan kompleksitas tinggi. Seringkali proyek tersebut mengalami keterlambatan atau pembengkakan biaya akibat faktor cuaca, perubahan desain, atau ketidakjelasan tanggung jawab antar lembaga. Jika pemerintah dan mitra swasta dapat mengadopsi pendekatan siklus hidup dan mengintegrasikan praktik manajemen risiko sejak tahap perencanaan, maka kualitas dan efisiensi pembangunan bisa meningkat secara signifikan.

Kritik terhadap Praktik Saat Ini dan Rekomendasi Perubahan

Laporan ini memberikan kritik tajam terhadap ketergantungan pada pendekatan ad hoc, administratif, dan sekadar kepatuhan terhadap regulasi. Sebaliknya, McKinsey mendorong transformasi mendalam menuju manajemen risiko yang terintegrasi dan strategis. Untuk mencapai ini, rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

  • Membentuk tim risiko proyek independen sejak tahap inisiasi.
  • Menyusun risk register berbasis probabilitas dan dampak serta memperbarui secara berkala.
  • Menggunakan sistem insentif/punitive berbasis kepatuhan risiko untuk kontraktor dan mitra.
  • Menerapkan manajemen perubahan yang adaptif terhadap fluktuasi pasar dan dinamika sosial-politik.

Kesimpulan: Mengelola Risiko, Meningkatkan Kesuksesan Proyek

Pendekatan McKinsey terhadap manajemen risiko proyek infrastruktur adalah seruan untuk bertindak di tengah besarnya nilai proyek global dan seringnya kegagalan pelaksanaan. Tanpa pendekatan risiko yang matang dan menyeluruh, proyek-proyek besar akan terus menghadapi krisis reputasi, pembengkakan biaya, dan pemborosan anggaran. Namun dengan mengadopsi kerangka kerja yang mencakup seluruh siklus hidup, mengalokasikan risiko secara strategis, dan menanamkan budaya risiko dari atas ke bawah, infrastruktur masa depan dapat dibangun lebih cepat, lebih murah, dan lebih andal. Ini adalah perubahan paradigma yang harus diadopsi tidak hanya oleh negara maju, tetapi juga oleh negara berkembang yang tengah melakukan pembangunan besar-besaran seperti Indonesia.

Sumber asli:
Frank Beckers, Nicola Chiara, Adam Flesch, Jiri Maly, Eber Silva, Uwe Stegemann. A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution. McKinsey Working Papers on Risk, No. 52, November 2013.

Selengkapnya
Strategi Manajemen Risiko yang Efektif dalam Proyek Infrastruktur: Pembelajaran Penting dari Studi McKinsey

Manajemen Risiko

Evaluasi Risiko Konstruksi Jalan Lintas Selatan Lumajang–Jember: Studi Kritis terhadap Dampak Biaya, Waktu, dan Mutu Proyek

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025


Pembangunan infrastruktur jalan di wilayah pesisir dan perbukitan seperti proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) Lumajang–Jember merupakan tantangan besar dalam dunia konstruksi. Tesis karya Kardian Susilo S dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya memberikan kontribusi penting dalam memahami risiko-risiko utama pada proyek jalan berskala regional. Melalui pendekatan berbasis studi kasus dan analisis risiko kualitatif, penelitian ini mengkaji tiga dimensi krusial: biaya, waktu, dan mutu. Artikel ini menyajikan resensi mendalam terhadap temuan dan relevansi penelitian tersebut dalam konteks konstruksi jalan nasional dan manajemen risiko modern.

Mengapa Risiko Jalan Perlu Dievaluasi?

Risiko dalam proyek konstruksi tidak hanya menyangkut faktor teknis, tapi juga sosial, politik, dan lingkungan. Dalam kasus proyek JLS ini, panjang total trase Lumajang–Jember mencapai 149,5 km dengan konstruksi melalui medan yang rumit: hutan, sawah, area pantai, dan perbukitan. Ini menjadikannya rentan terhadap banjir, longsor, abrasi pantai, dan gangguan sosial-politik seperti konflik tambang pasir. Evaluasi ini sangat penting mengingat proyek merupakan bagian dari Regional Road Development Project (RRDP) yang didanai pemerintah.

Metodologi yang Kuat Berbasis Data Historis dan Responden Profesional

Penelitian ini menggunakan data primer melalui wawancara dan kuesioner kepada sepuluh responden ahli—mulai dari Kasatker JLS, PPK, kepala proyek, hingga staf PU Jember. Sebagian besar dari mereka memiliki pengalaman kerja lebih dari 15 tahun, dan mayoritas berlatar pendidikan teknik sipil S2, menunjukkan bahwa penilaian terhadap risiko dilakukan oleh profesional berpengalaman.

Selain itu, data sekunder dikumpulkan dari studi literatur, laporan proyek sebelumnya, serta dokumen resmi dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V. Peneliti juga menggunakan Matriks Probabilitas dan Dampak (skala 1–5) untuk menghitung level risiko (R = P x I).

Temuan Kunci: Delapan Risiko Utama

Dari total 16 variabel risiko yang teridentifikasi, delapan di antaranya dikategorikan sebagai risiko dengan tingkat keparahan tertinggi:

  1. Terjadi akibat penutupan tambang pasir Lumajang selama 3 bulan karena konflik sosial. Hal ini menyebabkan suplai material terganggu, yang berdampak langsung pada biaya konstruksi.
  2. Terjadi lebih dari 20 kali selama proyek, sangat mengganggu jadwal konstruksi dan kualitas pekerjaan tanah serta perkerasan jalan.
  3. Memberikan tekanan pada anggaran, terutama dalam pembelian material dan biaya tenaga kerja.
  4. Beberapa titik pembangunan hanya dapat dicapai dengan alat berat melalui medan berbukit.
  5. Terjadi akibat ketidaksesuaian kondisi lapangan dengan asumsi awal.
  6. Akibat kualitas pekerjaan yang kurang baik serta kesalahan dalam pengukuran awal.
  7. Terjadi karena faktor eksternal seperti hujan dan abrasi pantai.
  8. Terjadi terutama pada titik lokasi dengan lereng tinggi dan struktur tanah tidak stabil.

Efektivitas Mitigasi: Studi Empiris yang Bernilai Tinggi

Studi ini tidak berhenti pada identifikasi risiko, tetapi melangkah lebih jauh dengan mengevaluasi efektivitas langkah mitigasi yang telah diterapkan. Misalnya, untuk mengatasi banjir dan abrasi, pembangunan saluran drainase dan dinding penahan gelombang dilakukan. Setelah mitigasi, kejadian banjir yang sebelumnya terjadi sebanyak 6 kali berhasil ditekan menjadi nol, menunjukkan intervensi tersebut efektif.

Untuk masalah harga material dan inflasi, peneliti merekomendasikan sistem kontrak payung yang menjamin stok dan harga tetap melalui kerjasama dengan pemasok lokal. Di sisi teknis, rework dicegah dengan peningkatan koordinasi antara mandor, pengawas, dan pekerja serta pengecekan progres secara rutin.

Nilai Tambah: Integrasi Evaluasi Historis dengan Risiko Masa Depan

Salah satu keunggulan tesis ini adalah penggunaan data historis (2007–2015) untuk mengevaluasi risiko pada masa depan (2017–2019). Sebagai contoh, berdasarkan kejadian sebelumnya, proyek telah menghadapi 16 jenis gangguan besar dengan frekuensi yang beragam. Dengan mengetahui jenis dan frekuensi kejadian masa lalu, seperti hujan deras (lebih dari 20x), tanah longsor (4x), dan abrasi pantai (4x), maka risiko pembangunan tahap lanjutan dapat diantisipasi lebih matang.

Kekuatan Analisis: Matriks Risiko dan Penilaian Dampak

Penilaian risiko dilakukan dengan metode semi-kuantitatif yang melibatkan scoring probabilitas dan dampak. Dalam skala risiko 1–5, dampak terhadap mutu paling tinggi terjadi pada risiko pekerjaan ulang dan gangguan perkerasan jalan, dengan nilai tertinggi mencapai 5 (sangat besar). Dampak terhadap waktu dominan pada hujan deras, longsor, dan keterlambatan peralatan, sedangkan biaya paling terdampak oleh kenaikan harga material dan inflasi. Risiko-risiko ini kemudian dipetakan dalam matriks risiko, yang memberikan gambaran prioritas tindakan. Risiko dengan nilai 20–25 (skala maksimal) dikategorikan sebagai ekstrem dan harus ditangani segera.

Relevansi Industri: Mengaitkan Temuan dengan Tren Nasional

Dalam konteks nasional, proyek-proyek jalan strategis seperti JLS merupakan tulang punggung konektivitas antarwilayah. Studi ini sangat relevan dengan pergeseran pendekatan manajemen risiko ke arah yang lebih prediktif dan berbasis data historis. Banyak proyek jalan di Indonesia yang menghadapi risiko serupa, mulai dari gangguan cuaca ekstrem hingga konflik sosial. Oleh karena itu, pendekatan komprehensif seperti ini bisa direplikasi di wilayah lain. Selain itu, temuan penelitian ini juga selaras dengan standar manajemen risiko global seperti ISO 31000 dan pedoman PMBOK (Project Management Body of Knowledge), memperkuat validitas akademik dan aplikatifnya.

Kritik dan Ruang untuk Pengembangan

Meski tesis ini menyajikan data yang sangat kaya dan mendalam, ruang pengembangan tetap terbuka. Pertama, aspek risiko lingkungan seperti gangguan pada flora-fauna atau polusi udara tidak dibahas secara mendalam, padahal ini krusial dalam konteks keberlanjutan. Kedua, keterlibatan komunitas lokal dan analisis risiko sosial seperti protes masyarakat bisa diperdalam agar aspek sosial-politik lebih terwakili. Penggunaan metode Monte Carlo Simulation atau analisis sensitivitas juga bisa ditambahkan untuk memperkuat dimensi kuantitatif dari analisis risiko.

Kesimpulan: Sebuah Model Evaluasi Risiko yang Layak Direplikasi

Tesis ini memberikan gambaran utuh dan realistis mengenai risiko pada proyek konstruksi jalan di Indonesia, khususnya di kawasan dengan topografi dan kondisi sosial-politik yang menantang. Melalui kombinasi data historis, wawasan lapangan, dan metode analisis yang komprehensif, studi ini berhasil menyusun model evaluasi dan respons risiko yang dapat diadopsi pada proyek sejenis di seluruh Indonesia. Kunci keberhasilannya terletak pada keberanian mengevaluasi proyek masa lalu secara jujur, kejelasan dalam penentuan risiko dominan, serta saran mitigasi yang dapat diimplementasikan secara langsung.

Sebagai penutup, studi ini layak menjadi referensi wajib bagi pemangku kepentingan proyek jalan—baik dari pemerintah, konsultan, maupun kontraktor. Jika dikelola dengan baik, risiko bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperbaiki sistem dan membangun infrastruktur yang lebih tangguh.

Sumber asli:
Kardian Susilo S. (2017). Evaluasi dan Analisis Risiko Terhadap Biaya, Waktu dan Mutu Konstruksi JLS Kabupaten Lumajang-Kabupaten Jember. Tesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Selengkapnya
Evaluasi Risiko Konstruksi Jalan Lintas Selatan Lumajang–Jember: Studi Kritis terhadap Dampak Biaya, Waktu, dan Mutu Proyek
« First Previous page 5 of 8 Next Last »